Pedang Asmara 13
Pedang Asmara Karya Kho Ping Hoo Bagian 13
"Orang muda, engkau berbaringlah di tengah meja ini, buka bajumu dan menelungkup!"
Kata Tung Kiam sambil membuka buntalan jarum-jarumnya dan nemilih beberapa batang jarum, memasukkannya ke dalam cairan yang berada di dalam mangkok besar.
Biarpun hatinya masih tidak setuju melihat Siang Bwee mengorbankan diri, mau menjadi calon mantu datuk besar ini untuk menyembuhkannya, namun San Hong tidak melihat jalan lain kecuali menurut apa yang diperintahkan Tung-hai Kiam-ong Cu Sek Lam. Dia membuka bajunya, lalu merebahkan diri menelungkup di atas meja yang panjang itu. Siang Bwee berdiri di dekat meja, memandang dengan hati penuh ketegangan, namun wajahnya cerah, berseri dan ia tersenyum, senyum yang ia sengaja pasang dengan sikap mengejek seolah-olah ia mewakili ayahnya memandang rendah kemampuan Tung Kiam dan memperlihatkan sikap tidak percaya bahwa Tung Kiam akan mampu mengobati dan menyembuhkan korban pukulan ayahnya itu!
Sebelum memulai dengan pengobatanuya, Tung Kiam lebih dulu memeriksa keadaan luka bekas tangan Nam Tok di punggung. Dia melihat bahwa pukulan itu tidak sampai merusak terlalu hebat bagian dalam punggung, akan tetapi hawa beracun yang mengeram di dalam tubuh itu lambat laun akan menjadi pembunuh yang kejam. Memang tidak ada obatnya bagi luka seperti itu, kecuali kalau mengeluarkan hawa beracun itu lebih dulu Akan tetapi Nam Tok sungguh licik karena hawa beracun yang disalurkan lewat pukulan telapak tangan di punggung itu telah menyusup ke dalam di antara dada dan perut sehingga tidak mungkin disedot dengan sin-kang tanpa membahayakan bagian-bagian lemah di dalam rongga dada.
Jalan satu-satunya hanya mencairkannya dengan jalan menusuk syaraf-syaraf halus dan bagian tertentu sehingga hawa beracun itu akan dapat terseret oleh hawa dalam tubuh dan menguap melalui lubang-lubang kulit tubuh. Memang tidak mudah, akan tetapi dia, ahli tusuk jarum nomor satu di daerah timur, pasti dapat melakukannya! Diapun memeriksa kekuatan pemuda itu, karena untuk menerima pengobatan tusuk jarum membersihkan hawa beracun ini, tubuh si sakit harus memiliki kekuatan yang cukup.
Ketika dia menekan tubuh pemuda itu, dia terkejut sekali, terbelalak seperti tidak percaya. Tekanannya bertemu dengan tenaga dalam tubuh yang amat hebat! Padahal, pemuda itu sama sekali tidak mengerahkan tenaga, hal yang memang wajar karena kalau dia mengerahkan tenaga, luka itu akan menusuknya dari dalam. Dia menekan lagi untuk meyakinkan, kemudian tertawa gembira sambil memandang kepada Siang Bwee.
"Ha-ha-ha, sekali ini Nam Tok ketemu batunya dan kecelik! Korbannya ini bukan orang sembarangan, bahkan kalau pukulannya itu tidak beracun, belum tentu pemuda itu roboh olehnya, ha-ha-ha! Hei, orang muda, engkau memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat, mengapa engkau dijadikan korban oleh Nam Tok? Siapakah engkau sesungguhnya?"
"Namaku Kwee San Hong dan Nam Tok adalah musuh besarku!"
Kata San Hong terus terang.
"Ahhh? Begitukah? Akan tetapi mengapa dia mengirimmu kepadaku kalau memang dia musuh besarmu?"
"Lo-cian-pwe, engkau hendak mengobatinya ataukah hendak mengajaknya mengobrol? Hong-ko,engkau adalah tawananku, bukan orang bebas, ingat? Engkau tidak perlu banyak bicara. Lo-cian-pwe, memang benar Kwee San Hong ini musuh besar ayahku,dan dia ini juga sahabatku. Karena itu, maka ayah masih memberi kesempatan kepadanya dan hanya melukainya saja, belum membunuhnya. Ayah sengaja hendak menggunakan dia sebagai korban untuk mengujimu dan dia mengutus aku membawa Kwee San Hong ke sini untuk menguji kepandaianmu mengobati. Kalau dia sudah sembuh benar, sama sekali sembuh, dia masih boleh sekali lagi mencari dan menyerang ayah dan yang ke dua kalinya itulah ayah akan membunuhnya!"
Tung Kiam mengangguk-angguk, tidak heran akan keputusan aneh sekali itu. Bagi dia, sikap aneh itu memang sudah sewajarnya bagi seorang datuk besar. Dia sendiri pun suka melakukan hal yang aneh-aneh, di luar dugaan dan perhitungan manusia biasa!
"Bagus! Kalau begitu, aku akan menyembuhkan dia!"
Pengobatan dimulai. Pertama-tama, dengan jari telunjuknya, Tung Kiam menotok San Hong yang menjadi lemas dan tidak mampu bergerak. Hal ini dilakukan agar semua syarafnya mengendur dan dia tidak akan bergerak selama dalam pengobatan.
Mulailah Tung Kiam menusukkan jarum-jarum emasnya. Tiga buah jarum ditusukkan di ubun-ubun kepala dan kedua pelipis. Lalu tengkuknya ditusuk pula, dan beberapa bagian punggung di sekitar luka. Masing-masing jarum itu dibiarkan tinggal beberapa menit, dicabut ditusukan lagi di lain bagian. Ketika ia melakukan ini, suasana hening sekali dan semua mata mengikuti gerakan tangannya dengan penuh kagum. Memang tangan itu cekatan sekali, tidak pernah bergetar sedikit pun ketika menusukkan jarum, dan begitu pasti, begitu tepat. Mata itu pun tidak pernah berkedip dan agaknya seluruh perhatian dan tenaga dikerahkan dan dipusatkan pada titik-titik penusukan jarum.
Dahi dan leher Tung Kiam penuh keringat dan bahkan dari kepalanya keluar uap putih! Dari kenyataan ini saja jelaslah bahwa dia telah mempergunakan banyak tenaga untuk mengobati luka yang amat berbahaya itu, dan dari ini saja dapat diketahui betapa hebatnya pukulan dari Nam Tok! Tusukan-tusukan jarum itu berlangsung terus menerus dan bertubi-tubi sampai satu jam lamanya! Kemudian disusul dengan pemanasan bagian luka di punggung dengan mendekatkan bara api.
Dari dekat meja, dengan sepasang matanya yang jeli dan amat tajam, Siangi Bwee mengamati semua gerakan pengobatan itu dan ia melihat betapa perlahan-lahan, warna menghitam di punggung itu semakin menipis dan akhirnya setelah Tung Kiam meloncat mundur dan menjatuhkan diri di atas kursi sambil memejamkan mata, kemudian turun dari kursi dan duduk bersila di lantai sambil mengatur pernapasan, ia melihat punggung San Hong sudah bersih sama sekali! Tahulah ia bahwa Raja Pedang Lautan Timur itu telah berhasil menyembuhkan San Hong! Dan bukan mudah pekerjaan itu, karena kini buktinya Tung Kiam seperti kehabisan napas dan duduk bersila memulihkan tenaganya.
Tak lama kemudian, Tung Kiam bangkit lagi dan wajahnya berseri-seri, senyumnya melebar dan dia menggapai seorang pelayan wanita tercantik, menyuruhnya mengusapi muka dan lehernya yang penuh keringat dengan saputangan wanita itu. Dengan penuh gairah dan kasih sayang, pelayan itu melakukan perintah ini. Setelah selesai, Tung Kiam menghadiahinya dengan cubitan di dagu yang manis meruncing itu dan menyuruhnya mundur.
"Ang Siang Bwee, lihat! Pemuda itu sudah sembuh, tinggal memberinya sebutir pil dan dia akan sehat kembali seperti sebelum dia terkena pukulan ayahmu yang tidak berapa hebat!"
"Lo-cian-pwe, memang engkau hebat. Akan tetapi kulihat tidak mudah engkau menyembuhkan satu pukulan ayah, dan telah memeras banyak tenagamu!"
Tung Kiam menghela napas.
"Tidak kusangka bahwa selama hidupku, belum pernah aku melihat bekas pukulan seperti itu. Akan tetapi, bagaimanapun juga, buktinya aku telah mampu menundukkannya, mampu menyembuhkan akibat pukulan itu, bukan?"
Tung Kiam lalu membebaskan totokan pada tubuh San Hong dan memberinya sebutir pil untuk ditelan. Setelah menelan pil itu, San Hong merasa betapa tubuhnya segar. Dia mencoba untuk diam-diam mengerahkan sin-kang di dalam tubuhnya dan dia tidak lagi merasa nyeri. Maka, dia pun cepat memberi hormat dan bersoja mengangkat kedua tangan ke dada kepada Tung Kiam.
"Banyak terima kasih atas pertolongan Lo-cian-pwe sehingga saya menjadi sehat kembali!"
Akan tetapi, Tung Kiam tidak mempedulikan ucapan terima kasih dari San Hong, melainkan kini dia memandang pemuda itu dengan sinar mata tajam penuh selidik, dan bertanya,
"Orang muda, engkau tadi mengatakan bahwa engkau adalah musuh besar Nam Tok, katakan, mengapa engkau memusuhinya?"
San Hong sebetulnya tidak suka membicarakan urusan permusuhannya dengan Nam Tok karena membicarakan urusan itu hanya mendatangkan perasaan tidak suka kepada Siang Bwee. Akan tetapi, datuk besar ini baru saja menyembuhkannya, maka bagaimanapun juga dia harus berterima kasih kepadanya. Maka, dia pun menjawab sejujurnya, bahkan jawaban ini seolah-olah dia katakan untuk membela dirinya di depan Siang Bwee.
"Karena Nam Tok telah membunuh ayah dan ibuku!". Mendengar ini, tiba-tiba Tung Kian. tertawa bergelak-gelak. Dan mendadak pula segera ketawanya berhenti dan kini dia sudah memandang lagi wajah pemuda itu penuh selidik.
"Siapakah gurumu dalam ilmu silat?"
"Saya murid Thian-san Ngo-sian."
"Uhhh!"
Tung Kiam mengerutkan alisnya.
"Murid mereka berlima?"
San Hong mengangguk dan Tung Kiam berkata lagi.
"Masing-masing dari mereka tidak akan mampu menandingi Nam Tok, akan tetapi kalau kelimanya yang maju, belum tentu Nam Tok kuat bertahan. Bagaimana engkau sampai terluka olehnya! Apa yang membuatmu sampai kalah?"
Wajah San Hong berubah kemerahan "Dia lihai sekali, terutama ilmu tongkatnya dan ilmu pukulannya yang beracun"
San Hong mengerling ke arah Siang Bwee dan dia merasa heran sekali melihat wajah gadis itu berseri dan agaknya gadis itu sama sekali tidak menaruh keberatan mendengarkan percakapan itu bahkan ada bayangan kegembiraan pada wajah yang cantik itu.
"Ha-ha-ha, tentu saja! Nam Tok terkenal dengan ilmu tongkatnya dan ilmu pukulan beracunnya. Nona, bukankah ilmu tongkat ayahmu itu Hek-liong-jio-cu dan pukulannya adalah Hek-in Pay-san?"
"Engkau sudah mengetahuinya, Lo-cian-pwe. Apalagi hanya pemuda ini, biar Lo-cian-pwe sendiri pun tidak akan mampu menandingi ilmu tongkat dan ilmu pukulan dari ayahku!"
Jelas bahwa gadis ini memandang rendah sekali kepada datuk besar ini walaupun tadi diakuinya ilmu pengobatan dari Tung Kiam yang bernasil menyembuhkan luka yang diderita San Hong.
"Hemmm, engkau sombong, Nona, seperti ayanmu! Kaukira ilmu-ilmu ayahmu itu tidak ada yang mampu menandingi? Oya, orang muda, apakah engkau akan kembali mengadu ilmu dengan Nam Tok?"
"Tentu saja!"
Siang Bwee mendahului San Hong.
"Dia akan kembali bersamaku menghadap ayah dan melanjutkan perkelahian mereka. Akan tetapi sekali ini ayah pasti akan memukulnya sampai mati!"
San Hong tertegun, sama sekali tidak mengerti akan sikap gadis itu. Bukankah Siang Bwee selalu melindunginya dan sama sekali tidak menginginkan dia bermusuhan dengan ayahnya? Akan tetapi sekarang, kenapa kepada Tung Kiam gadis itu berkata demikian? Apa maksudnya?
Ataukah sikapnya memang sudah berubah? Tung Kiam mengerutkan alisnya, lalu dia tertawa kembali. Agaknya datuk besar ini pun seorang yang pandai sekali menutupi perasaan hatinya. Biarpun dia merasa mendongkol dipandang rendah akan tetapi dia masih mampu menutupi rasa dongkolnya itu dengan suara ketawanya.
"Bagus, bagus! Orang muda, maukah engkau ikut denganku ke lian bu-thia (ruangan berlatih silat) dan akan kuajarkan kepadamu beberapa jurus pilihanku agar engkau dapat menandingi, bahkan mengalahkan Nam Tok!"
San Hong memang merasa bingung bagaimana agar dia dapat mengalahkan Nam Tok yang amat jahat dan kejam yang telah membunuh orang sekampungnya itu. Maka, begitu mendengar betapa datuk besar yang amat lihai ini hendak mengajarkan silat untuk menjatuhkan Nam Tok, tentu saja dia menjadi girang dan tanpa banyak cakap lagi dia mengangguk dan siap mengikuti datuk besar itu. Tung Kiam berpaling kepada para tamunya, mempersilakan mereka untuk melanjutkan makan minum dan sesudah itu mempersilakan pula untuk kembali ke tempat masing-masing. Lalu dia menyuruh seorang pelayan untuk menyediakan sebuah kamar untuk Siang Bwee.
"Engkau boleh tunggu sampai kurang lebih seminggu, baru boleh membawa pemuda ini pulang. Sementara itu, engkau boleh tinggal di sini menjadi tamu kami, sekalian menanti pulangnya Cu See Han, tunanganmu agar kalian dapat saling berkenalan."
Siang Bwee hendak membantah atau mengeluarkan ucapan yang tidak enak, akan tetapi hatinya terlampau girang mendengar bahwa San Hong akan diberi pelajaran silat oleh datuk besar itu. Dia memang sedang dalam keadaan gembira bukan main. Gembira karena San Hong sudan sembuh sama sekali, hal itu berarti bahwa satu di antara syarat ayahnya telah dapat dipenuhi. San Hong sudah sembuh dan dapat ia ajak menghadapi ayahnya sebagai calon suaminya! Syarat ke dua adalah bahwa San Hong harus mampu menahan serangan ayahnya selama dua ratus jurus!
Kalau San Hong tidak mendapat gemblengan-gemblengan orang pandai, mana mungkin dapat bertahan sedemikian lamanya? Maka, kini Tung Kiam hendak menggemblengnya walaupun dengan alasan yang sama sekali berlainan, maka tentu saja ia merasa gembira bukan main. Tentang perkenalan dengan "tunangan"
Yang bernama Cu Se Han itu, ia tidak peduli amat. Maka, ia pun mengangguk dan mengikuti pelayan cantik yang; membawanya ke sebuah kamar yang indah dan mewah yang jendelanya menghadap kebun bunga yang indah, sementara itu, San Hong diajak masuk ke dalam lian-bu-thia ole Tung Kiam.
Karena Siang Bwee tidak diperkenankan bertemu dengan San Hong, apalagi nonton cara pemuda itu digembleng oleh Tung Kiam, maka untuk melewatkan waktu, ia selalu berjalan-jalan di dalam kebun bunga. Memang taman itu indah sekali dan terawat baik. Luas dan ditanami bermacam-macam bunga yang pada waktu itu sedang berkembang. Di tengah taman yang luas itu terdapat beberapa buah pondok kecil mungil yang dicat warna-warni, juga di antara kelompok pondok kecil ini terdapat sebuah danau kecil buatan yang penuh dengan bunga teratai dan ikan-ikan emas yang gemuk-gemuk.
Siang Bwee senang sekali duduk di atas bangku panjang yang berkasur, di depan pondok yang menghadap danau, atau kadang-kadang ia mendayung perahu kecil yang tersedia di situ sambil minum anggur. Ia boleh minta makanan atau minuman apa saja dari para pelayan dan di tempat itu ia benar-benar dianggap sebagai tamu agung, apalagi karena semua pelayan meuganggapnyu sebagai tunangan kongcu mereka, tentu saja nona itu mereka layani dengan penuh penghormatan. Malam itu adalah malam yang ke enam, Siang Bwee menghitung. Sudah enam hari ia tidak bertemu dengan San Hong maupun.Tung Kiam.
Ia sudah berusaha menyelidiki, namun selalu gagal karena lian-bu-thia yang berada di bagian belakang bangunan itu selalu tertutup dan terjaga oleh para pelayan wanita. Agaknya para tamu sudah pulang semua sehingga keadaan di gedung itu sunyi, ia mencoba untuk bertanya kepada para pelayan itu, namun selalu mereka itu menggeleng kepala mengatakan tidak tahu ke mana perginya Kwee San Hong dan Tung Kiam, walaupun mereka memberi jawaban dengan sikap hormat.
"Tung Kiam mengatakan akan mengajarkan ilmu selama seminggu kepada Hong-ko,"
Pikirnya.
"Dan sudah lewat enam hari. Tentu besok, hari. ke tujuh, dia .akan membebaskan Hong ko dan kita dapat meninggalkan tempat yang menyeramkan ini."
"Aiiih, bidadari dari manakah duduk termenung seorang diri dan merasa kesepian di sini? Bolehkah aku menemanimu dan bersama-sama mengusir kesunyian malam terang bulan ini, bidadari jelita?"
Siang Bwee terkejut, lalu cepat menoleh. Ia melihat munculnya seorang pemuda, bertubuh sedang dan berwajah tampan, bahkan terlalu tampan sampai seperti wanita dengan wajahnya yang berkulit halus dan putih.
Pakaiannya seperti seorang sastrawan muda, serba bersih, akan tetapi pakaian sastrawan itu menjadi aneh ketika ia melihat gagang pedang tersembul di balik pundaknya. Usia pemuda itu kurang lebih dua puluh tiga tahun, senyumnya memikat dan matanya mencorong aneh sehingga Siang Bwee seolah-olah merasa betapa sinar mata yang memandangnya, itu seperti hendak mencopoti pakaiannya dan menelanjanginya! Dan sinar mata itu seperti meraba-raba seluruh tubuhnya sehingga ia diam-dram menggigil ngeri.
Kemudian teringatlah ia. Mata dan mulut itu, dagu yang membayangkan ketinggian hati. Ah, sudah pasti inilah pemuda putera Tung Kiam yang bernama Cu See Han itu.
"tunangannya"! Seketika wajahnya terasa panas dan berubah kemerahan. Pemuda itu agaknya memang seorang yang sudah mengenal betul gerak-gerik wanita. Biarpun perubahan wajah yang menjadi kemerahan itu sukar dapat di-lihat di bawah sinar bulan, namun agaknya dia mengetahuinya dari gerak-gerik dan sikap gadis itu.
"Wahai bidadari yang jelita, mengapa wajahmu tiba-tiba menjadi kemerahan, denyut jantungmu menjadi kencang dan dadamu yang indah itu berdebar-debar?"
Siang Bwee telah mampu menekan perasaannya dan mengembalikan ketenangannya. Diam-diam ia memuji pemuda ini. Sungguh seorang pemuda yang berbahaya sekali bagi wanita, pikirnya. Tampan,! pandai bicara dengan kata-kata yang manis merayu, sikapnya menarik dan menyenangkan! Tentu banyak sekali wanita yang belum apa-apa sudah bertekuk lutut hanya karena kepandaiannya merayu dan mengambil hati, pikirnya.
Akan tetapi, ketika ia teringat bahwa kepada pemuda inilah ia hendak dipaksa berjodoh, hatinya menjadi panas sekali karena merasa penasaran. Andaikata tidak ada urusan jodoh itu, tentu ia akan menyambut pemuda ini dengan lebih ramah karena ia pun seorang yang jenaka dan lincah, tentu akan senang bertemu dengan orang yang juga jenaka dan pandai bicara seperti pemuda ini.
"Eh, bukankah engkau ini yang bernama Cu See Han?"
Tanyanya. Pemuda itu tertegun, merasa seperti ditodong saja!
Sungguh seorang gadis yang luar biasa, pikirnya. Tadi dia pulang dan mendengar dari para pelayan, yaitu gadis-gadis pelayan cantik yang juga menjadi selir-selir ayahnya, juga menjadi para kekasih gelapnya, bahwa di rumah itu kedatangan dua orang, seorang pemuda dan seorang gadis cantik. Si pemuda sedang sibuk di lian-bu-thia bersama ayahnya dan katanya tidak boleh diganggu, sedangkan si gadis kini sedang duduk seorang diri di taman bunga.Karena tidak dapat menemui ayahnya, maka dia pun pergi ke taman, hatinya segera tertarik mendengar bahwa di sana malam ini terdapat seorang tamu, seorang gadis cantik duduk seorang diri! Dan kini, gadis itu dengan sikap begitu biasa, terbuka dan tanpa sopan santun, begitu saja mengemukakan dugaannya yang tepat.
Agaknya gadis ini pernah mendengar namanya. Gadis itu seolah-olah tidak menghiraukan semua rayuannya tadi, seperti hembusan angin lalu saja. Padahal, lain gadis kalau dirayu seperti itu, bukan hanya menjadi merah mukanya, akan tetapi juga biasanya menjadi lemas, tak mampu bicara dan hanya memejamkan mata ketika jatuh ke dalam pelukannya! Akan tetapi gadis ini seolah-olah tidak terpengaruh sama sekali, hanya merah mukanya sebentar lalu bahkan menodongnya dengan pertanyaan yang lantang dan terbuka! Kini dialah yang menjadi salah tingkah, merasa berkurang harga dirinya dan dia pun tersenyum masam, lalu duduk di atas bangku panjang itu, di sebelah Siang Bwee.
Dan gadis itu tidak berdiri, seolah-olah tidak merasa kikuk melihat ada seorang pemuda asing duduk di sebelahnya. Dia tidak tahu bahwa gadis itu bukanlah gadis dusun pemalu, atau gadis kota yang congkak, melainkan seorang gadis kang-ouw yang sudah biasa bergaul, menganggap sama antara pria dan wanita! Timbul pula harapan See Han, pemuda itu. Melihat gadis itu memperbolehkan dia duduk di sebelahnya, dia mengira bahwa bagaimanapun juga, gadis ini sudah tertarik kepadanya dan tidak keberatan untuk duduk bersanding. Maka kembali senyumnya menjadi manis menarik dan matanya berkilat.
"Aih, tentu engkau seorang bidadari tulen yang baru turun dari angkasa melalui sinar bulan! Engkau cantik jelita seperti bidadari dan engkau juga pandai mengenal orang tanpa bertanya dulu, sudah tahu namaku.....!"
"Sudahlah, buang saja sikap menjilat-jilat itu, Cu See Han. Katakan apakah benar engkau Cu See Han putera Tung Kiam?"
Kembali senyum di bibir pemuda itu berubah masam. Kurang ajar, pikirnya dongkol. Perempuan ini sungguh tidak menghargainya sama sekali! Dia yang menjadi rebutan semua gadia di daerah pantai timur, kini dianggap seperti seorang pelayan saja, bahkan seperti sampah!
"Hemmm, memang benar. Aku Cu See Han, putera Tung-hai Kiam-ong Cu Sek Lam, pemilik rumah ini! Dan engkau ini siapakah, Nona?"
"Namaku Ang Siang Bwee, puteri Nam-san Tok-ong Ang Leng Ki yang menjadi utusan ayah berkunjung kepada Tung Kiam untuk menguji kepandaiannya"
Jawaban itu dikeluarkan dengan sikap yang tidak kalah tinggi hati, dan sekali ini benar-benar Cu See Han terbelalak! Tentu saja dia sudah mendengar akan nama Nam-san Tok-ong, datuk sesat yang setingkat dengan kedudukan ayahnya! Pelayannya tadi tidak memberi tahu sehingga dia terkejut karena tidak menyangka sama sekali.
Gadis ini demikian cantik manis, dan sebagai puteri Nam-san Tok-ong tentu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi pula! Jelas bukan seorang gadis biasa seperti yang selama ini dia dapatkan berganti-ganti setiap hari sehingga membosankan. Tiba-tiba saja timbul gairahnya, sedemikian hebatnya sehingga seketika dia pun jatuh cinta kepada gadis itu.
Inilah gadis yang selama ini diidam-idamkannya, pikirnya. Cantik, jelita, manis, nampaknya cerdik dan tentu gagah perkasa, puteri seorang yang setingkat kedudukannya dengan ayahnya! Pantas menjadi isterinya Dia pun melempar kebiasaannya merayu seperti kalau berhadapan dengan wanita biasa dan dia pun cepat bangkit berdiri, lalu bersoja dengan tubuh membungkuk dan sikapnya sopan sekali.
"Ah, harap engkau sudi memaafkan aku, Nona. Kiranya Ang-siocia yang menjadi tamu ayah! Selamat bertemu, Nona dan terimalah hormatku sebagai seorang tamu yang kami hormati!"
Menghadapi sikap seorang "terpelajar"
Seperti ini, tentu saja Siang Bwee terpaksa juga membalas penghormatan itu, dan biarpun kini suaranya halus, namun tetap saja ia tidak meninggalkan kepolosannya.
"Aih, sudahlah, Cu-kongcu, tidak perlu engkau mengambil sikap yang terlalu sungkan. Aku menjadi tamu di sini hanya karena harus menanti sampai ayahmu selesai mengajarkan ilmu kepada Kwee San Hong."
Mendengar ini, tentu saja See Han menjadi penasaran sekali. Ayahnya mengajarkan ilmu kepada seorang lain? Dia yang tadinya sudah sama-sama duduk kembali dengan Siang Bwee, walaupun keduanya menempati kedua ujung bangku sehingga agak berjauhan dalam batas yang sopan, kini bangkit kembali dan kedua tangannya terkepal. Bagaimana mungkin ayahnya mengajarkan ilmu kepada orang lain?
"Siapakah itu Kwee San Hong?"
Tanyanya dan karena marah dan penasaran, dia pun lupa akan sikap sopan santun. Melihat betapa pemuda ini seperti orang penasaran dan marah, Siang Bwee mendapat kesempatan untuk memanaskan hatinya, juga sekaligus untuk menyatakan perasaan hatinya bahwa ia tidak mau dijodohkan begitu saja dengan pemuda ini. Biarpun harus ia akui bahwa pemuda ini tidak kalah tampan dibandingkan San Hong bahkan lebih pandai mengambil hati, dan dalam hal ilmu kepandaian juga belum tentu pemuda ini kalah, akan tetapi ia sudah terlanjur panas dan tidak suka kalau perjodohan kepadanya dipaksakan seperti itu!
"Hemmm, Kwee San Hong itu adalah..... calon suamiku!"
Katanya sambil tersenyum manis sekali, matanya ngerling dari samping, amat tajam dan indahnya. Ia melihat dengan jelas betapa sepasang mata pemuda itu terbelalak dan kini pandang matanya mengandung kekecewaan dan penasaran yang lebih besar. Akan tetapi sebelum dia sempat bicara tiba-tiba terdengar suara nyaring.
"See Han, engkau baru pulang? Bagus kulihat engkau sudah berkenalan dengan tunanganmu!"
Dan muncullah Tung-hai Kiam-ong Cu Sek Lam bersama Kwee San Hong. Tentu saja See Han menjadi terheran heran mendengar ucapan ayahnya itu. Dia memandang ayahnya, kemudian memandang kepada pemuda sederhana yang .muncul bersama ayahnya. Hatinya merasa semakin penasaran.
"Ayah, apa maksudmu dengan tunangan itu? Dan mengapa pula Ayah mengajarkan ilmu silat kepada orang ini?"
Dia menuding ke arah San Hong dengan pandang mata tidak senang, apalagi ketika dia teringat bahwa pemuda yang bernama San Hong ini diakui sebagai calon suami oleh gadis cantik itu, gadis yang menurut ayahnya adalah tunangannya!
Tung Kiam tertawa.
"Ha-ha-ha, tentu engkau heran kalau tidak diberi penjelasan, Nona ini adalah puteri Nam Tok bernama Ang Siang Bwee. Ia datang ke sini diutus ayahnya untuk menguji ilmu pengobatan dengan membawa korban pukulan beracun ayahnya, yaitu Kwee San Hong ini yang menjadi musuh besar Nam Tok. Aku menyanggupi akan tetapi Siang Bwee lebih dulu harus memenuhi syaratku, yaitu ia harus mau menjadi calon mantuku, atau calon isterimu!"See Han
(Lanjut ke Jilid 13)
Pedang Asmara (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 13
mengerutkan alisnya. Kalau gadis ini sudah menyatakan mau menjadi calon isterinya, kenapa tadi mengakui bahwa pemuda itulah calon suaminya?
"Akan tetapi mengapa Ayah mengajarkan ilmu silat kepadanya?"
Kembali pandang matanya menatap wajah San Hong dengan tidak senang.
"Hemm, itu pun perlu kauketahui. Setelah aku berhasil menyembuhkan San Hong ini, baru kuketahui bahwa San Hong menaruh dendam kepada Nam Tok dan dia akan kembali lagi ke sana untuk menantang Nam Tok berkelahi mati-matian. Maka aku pun melihat kesempatan untuk membalas keangkuhan Nam Tok dengan mengajarkan beberapa pukulan simpanan kepada Kwee San Hong agar dia dapat menandingi Nam Tok."
Kini Siang Bwee melangkah maju "Lo-cian-pwe, sekarang sudah tiba saatnya yang Kau janjikan. Bukankah Hong ko ini sudah selesai menerima latihan darimu?"
"Sudah, dia memang berbakat dan cerdik sekali."
"Kalau begitu, sudah tiba waktunya bagi kami untuk berpamit. Sekarang juga aku hendak mengajaknya kembali menghadap ayahku. Mari, Hong-ko, kita pergi sekarang juga."
"Ayah, yakin benarkah Ayah bahwa ia mau menjadi calon isteriku? Jangan-jangan ia hanya menipu kita saja!"
Tiba-tiba See Han berseru. Pada saat itu, Siang Bwee dan San Hong sudah melangkah hendak meninggalkan taman itu.
"Tunggu dulu, Siang Bwee!"
Tung Kiam berseru dan kedua orang muda itu terpaksa berhenti.
"Ada apa lagi, Lo-cian-pwe?"
"Anakku masih belum yakin bahwa engkau benar mau menjadi isterinya kelak! Hayo kau ulangi pernyataanmu itu, atau aku terpaksa akan menahan kalian!"
Biarpun hatinya mendongkol bukan main, namun Siang Bwee yang cerdik itu maklum bahwa mempergunakan kekerasan melawan datuk besar ini, amatlah berbahaya. Apalagi di situ terdapat pula puteranya yang tentu juga amat lihai. Maka ia pun cemberut.
"Ih, apakah kaukira aku ini seorang yang suka menipu dan berbohong? Sekali, berjanji, tentu kupegang teguh. Locian-pwe, engkau sudah mendengar janjiku bahwa aku mau menjadi calon mantumu. Akan tetapi, pernikahan seorang gadis ditentukan oleh keputusan ayahnya, maka andaikata ayahku kelak menolak, tentu saja aku tidak mungkin memaksanya! Dan tentu saja aku pun tidak mungkin menentang kehendak ayah, maka biarpun aku mau, jadi atau tidaknya pernikahan itu tentu tergantung dari keputusan ayahku!"
"Bagus. urusan ayahmu serahkan ke-padaku. Asal engkau sudah sanggup. Sekarang, untuk menyatakan kebenaran ucapanmu bahwa engkau mau menjadi calon isteriya, engkau harus buktikan?"
"Engkau harus membiarkan dirimu dicium oleh puteraku dan menyebutnya koko (kanda) untuk membuktikan bahwa pengakuan dan janjimu setulus hatimu."
Wajah gadis itu berubah merah sekali. Kalau menuruti hatinya yang panas dan dongkol, mau rasanya ia berteriak memaki ayah dan anak itu. Akan tetapi kecerdikannya membuat dia dapat menduga bahwa datuk itu sedang mengujinya dan bahwa ia dan San Hong berada dalam bahaya. Maka, ia pun melangkah maju ke depan See Han dan berkata dengan suara lembut.
"Koko Cu See Han, aku minta diri."
Dan ia memejamkan kedua matanya, siap menanti datangnya ciuman.
See Han gembira bukan main, Dia adalah seorang yang sudah biasa melakukan kecabulan, maka mencium seorang gadis di depan ayahnya atau di depan siapa saja, bukan merupakan pantangan baginya. Maka, diapun berkata lembut.
"Baiklah, moi-moi Ang Siang Bwee, dan terimalah ciumanku, selamat jalan"
Dia lalu merangkul dan mencium kedua pipi gadis itu sampai mengeluarkan suara ngak-ngok.
Setelah dilepaskan, Siang Bwee mundur, memegang tangan Sun Hong dan menariknya pergi dari situ. Suara ketawa Tung Kiam melihat ulah puteranya tadi mengantar mereka keluar dari halaman gedung itu setelah mereka keluar dari taman. Mereka lalu berlari cepat, atau lebih tepat, Siang Bwe menarik tangan San Hong dan mengajaknya berlari cepat tanpa bicara. Diam-diam San Hong merasa heran sekali karena gadis itu mengajaknya berlari cepat dan tak pernah berhenti, juga bukan menuju ke selatan, melainkan ke utara! Akan tetapi hatinya sendiri sedang mengkal bukan main, maka dia pun diam saja hanya mengikuti gadis itu berlari cepat. Sementara itu, setelah dua orang muda itu pergi, Cu See Han mencela ayahnya.
"Ayah kenapa Ayah membiarkan ia pergi? Kalau memang Ayah setuju bahwa gadis itu menjadi isteriku, aku pun setuju sekali dan mengapa kita tidak menahannya saja di sini dan langsung menjadi isteriku?"
"Ha-ha-ha, mengapa tergesa-gesa, See Han? Kalau engkau begitu membutuhkan wanita, engkau boleh mencari di sini juga banyak. Siang Bwee tidak boleh kau perlakukan seperti wanita lain. Bagaimanapun juga, ia adalah puteri Num Tok. Jangan khawatir, ia pasti akan menjadi isterimu. Bukankah ia sudah menyatakan mau, bahkan tadi membiarkan dirinya kau cium? Ha ha ha!"
"Tapi aku masih belum percaya padanya, Ayah. Ia cerdik sekali dan agaknya kita berdua telah menjadi korban penipuannya!"
Tung Kiam mengerutkan alisnya.
Pedang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apa kau bilang? Apa maksudmu?"
"Ayah, ketika tadi kami bicara di sini, ia mengaku bahwa pemuda yang bernama Kwee San Hong itu adalah calon suaminya!"
"Ehhh? Benarkah itu?"
"Ia yang memberitahu begitu, Ayah."
Kini Tung Kiam mengerutkan alisnya dan berpikir keras.
"Wah, memang ada dua kemungkinan. Pertama, ia memang utusan ayahnya dan agaknya ia jatuh cinta kepada pemuda yang memusuhi ayahnya sendiri itu. Akan tetapi, ada pula kemungkinan lain! Mungkin ia hanya bermain sandiwara dalam usahanya mencari penyembuhan untuk pemuda yang dicintanya. Bagaimanapun juga, aku kelak dapat menemui Nam Tok untuk minta penjelasan, sekalian meminangnya dengan resmi."
"Tapi, pemuda itu harus kubunuh, Ayah. Dia menjadi penghalang. Sekarang juga aku akan mengejarnya!"
Tung Kium memegang lengan puteranya.
"Jangan, See Han. Pertama, ilmu kepandaiannya cukup tinggi. Dia murid dari kelima Thian-san Ngo sian, dan dia sudah kuberi beberapa jurus ilmu simpanan yang ampuh untuk menghadapi Nam Tok."
"Apakah Ayah masih percaya dia benar-benar musuh Nam Tok?"
"Tentu saja! Kalau bukan, tentu dia tidak dipukul sehebat itu, pukulan yang membahayakan nyawanya, dan pemuda itu kulihat jujur bukan main, tentu tidak mungkin dapat berbohong. Jadi, jangan kejar, biarkan saja dia berkelahi sendiri melawan Nam Tok. Kalau perlu, kelak masih banyak waktu untuk mencarinya. Sekarang yang penting, engkau harus memperdalam ilmu-ilmumu, jangan berkeliaran mencari perempuan saja!"
Akan tetapi diam-diam See Han merasa penasaran sekali. Bagaimanapun juga, dia memang merasa perlu untuk memperdalam ilmunya dan agaknya kini ayahnya akan menurunkan ilmu-ilmu simpanannya dan dia harus tekun berlatih diri.
"Bwee-moi, berhenti dulu......"
San Hong berseru. Mereka telah berlari hampir setengah malam penuh. Kini sinar matahari pagi sudah mulai membayang di ufuk timur. Mereka terus berlari tanpa berkata sepatah pun dan kini San Hong merasa perlu untuk menghentikan gadis itu. Siang Bwee berhenti dan mereka tiba di luar sebuah hutan. Mereka berdiri saling pandang di keremangan subuh dan keduanya menggunakan saputangan untuk mengusap keringat.
"Bwee-moi, kenapa kita berlari-lari seperti dikejar setan?"
San Hong mengeluarkan isi hatinya, perasaan penasaran yang pertama.
"Hong-ko, kalau hanya setan yang mengejar, aku tidak akan mengajakmu berlari-lari seperti itu! Akan tetapi yang mengejar jauh lebih ganas dan kejam daripada setan, yaitu Tung Kiam dan puteranya."
"Apakah mereka mengejar kita? Kenapa?"
"Belum tentu, akan tetapi besar kemungkinannya. Dan kalau benar dugaanku mereka mengejar kita, maka kalau sampai kita tersusul, kita tentu akan ditawan atau dibunuh!"
"Tapi mengapa?"
"Karena tentu Tung Kiam telah mengetahui atau dapat menduga bahwa semua itu adalah siasatku belaka, permainan sandiwara dengan tujuan agar dia mau menyembuhkanmu."
"Tidak mungkin! Bukankah dia sudah percaya kepadamu dan telah mengobatiku sampai sembuh?"
"Aih, Hong-ko. Engkau adalah seorang yang jujur dan belum banyak pengalaman. Engkau tidak tahu betapa berbahaya dan jahatnya orang-orang kang-ouw dan betapa cerdiknya seorang datuk besar seperti Tung Kiam. Dia tentu sudah tahu akan tipu muslihatku, karena aku telah salah bicara. Sedikit saja salah bicara, dia tentu akan dapat membongkar semua rahasiaku."
"Salah bicara bagaimana, Bwee-moi? Aku tidak mengerti,"
"Di taman itu, ketika engkau dan Tung Kiam belum muncul, Cu See Han menemuiku dan mengajak aku bercakap-cakap. Dalam percakapan itulah aku telah kesalahan bicara, aku mengatakan kepadanya bahwa engkau adalah calon suamiku....."
"Ahhh!"
San Hong mengerutkan alisnya dan dia menjatuhkan dirinya di atas rumput untuk menenangkan hatinya. Siang Bwee juga ikut duduk di atas rumput. Mereka kelelahan, tidak peduli bahwa rumput itu basah oleh embun sehingga membasahi celana mereka.
"Bwee-rnoi, dua kali engkau membohongi orang dengan mengatakan bahwa aku adalah calon suamimu. Yang pertama kali, engkau membohongi ayahmu sendiri....."
"Aku membohonginya agar dia tidak membunuhmu, Hong-ko."
San Hong menghela napas panjang. Justeru alasan itulah yang selalu menyakitkan hati bila dikenang. Pengakuan calon suami. itu hanya bohong belaka, hanya untuk menyelamatkan dirinya.
"Dan kali ini? Untuk apa kebohongan itu kau katakan kepada putera Tung Kiam?"
"Karena..... karena aku mendongkol sekali kepadanya, karena aku terpaksa harus menyetujui dijodohkan dengan dia! Biar dia tahu bahwa aku tidak suka kepadanya, maka aku katakan bahwa engkau adalah calon suamiku."
"Lalu, kenapa dengan pengakuan itu maka Tung Kiam akan mengetahui bahwa engkau telah bersiasat.....?"
"Aih, kenapa engkau begini bodoh, Hong-ko?"
"Memang aku bodoh, dan aku ingin penjelasanmu."
Jawab San Hong, kini tidak merasa sakit hatinya lagi kalau dibodohkan gadis itu. Dia sudah mulai menjadi terbiasa.
"Setelah kita pergi, tentu anak manja itu akan memberitahukan ayahnya tentang pengakuanku dan tentu Tung Kiam yang amat cerdik itu akan dapat menduga bahwa semua yang kulakukan itu hanya siasat belaka untuk menipunya, agar dia mau mengobatimu, mempergunakan kelemahan hatinya yang penuh kesombongan itu. Dan tentu mereka akan melakukan pengejaran, maka aku memaksamu untuk berlari cepat tanpa henti-henti."
San Hong mengangguk-angguk. Diam-diam dia kagum.
Memang gadis ini luar biasa cerdiknya. Cerdik, berani, tabah, cantik jelita, manis dan juga pandai sekali ilmu silatnya. Gadis yang aduhai, tiada bandingnya di dunia ini! Pertanyaan-pertanyaan yang tadi mengaduk hatinya, sudah banyak yang sudah terjawab, di antaranya mengapa mereka lari seperti dikejar setan. Akan tetapi masih ada beberapa pertanyaan lagi menggodanya.
"Tapi mengapa kita lari dengan meninggalkan semua barang kita? Bungkusan pakaian dan lain-lainnya? Sebaiknya kalau tadi kita ambil dulu barang-barang kita."
"Dan untuk pakaian itu kita tertawan oleh mereka? Aih, apa artinya pakaian itu dibanding keselamatan kita, Hong-ko?"
"Tapi...., tapi tanpa bekal pakaian, kita tidak dapat berganti pakaian....."
Gadis itu tertawa, suara ketawanya renyah dan ia kini nampak sudah biasa kembali, tidak dicekam kekhawatiran.
"Aih, Kong-ko. Engkau ini ribut soal pakaian saja. Tentu tidak mungkin kita tidak pernah berganti pakaian. Itu tidak sehat dan kotor menjijikkan. Namun, betapa mudahnya membeli pakaian baru..."
"Harus memakai uang....."
"Jangan khawatir, perhiasanku selalu berada di saku bajuku. Baru sebuah gelangku ini saja, cukup untuk ditukar dengan sepuluh stel pakaian untukmu dan untukku, Hong-ko!"
"Tapi kita butuh untuk makan dan lain-lain. Ah, kalau saja aku dapat membawa kantung emasku itu....."
"Inikah?"
Bagaikan bermain sulap saja gadis itu sudah mengeluarkan buntalan kain berisi emas milik San Hong. Pemuda itu terbelalak dan menerima buntalan itu.
"Tapi, bagaimana engkau....."
"Memang sudah kupersiapkan pelarian ini, Hong-ko. Maka ketika aku menantimu di taman, buntalan emas itu sudah kubawa."
"Terima kasih engkau memang cerdik bukan main, Bwee-moi. Tadinya kukira emas ini tertinggal di sana."
"Tapi aku masih memiliki perhiasan..."
"Ah, aku seorang laki-laki, Bwee moi. Tentu aku malu sekali kalau harus menerima pakaian hasil penjualan perhiasanmu. Andaikata engkau tidak membawa emasku ini, aku tentu akan mencari pekerjaan untuk dapat memperoleh uang pembeli pakaian dan makanan kita. Sudahlah, kini kita dapat melakukan perjalanan dengan tenang. Akan tetapi, Bwee-moi, bukankah seharusnya kita menuju ke selatan? Kenapa engkau mengajak aku melarikan diri ke utara?."
"Tentu saja, Hong-ko. Kalau kita melarikan diri ke selatan, tentu sekarang ini kita sudah dapat dikejar oleh mereka Tung Kiam dan puteranya tentu melakukan pengejaran ke selatan,mengira kita kembali ke sana. Karena itu, aku mengambil jalan memutar, menuju ke utara, kemudian membelok ke barat, baru ke selatan."
San Hong merasa bingung, akan tetapi dia hanya mengangguk dan tidak membantah. Bicara dengan gadis ini dia memang merasa ketinggalan dalam segala hal. Dia tidak tahu bahwa memang di samping alasan yang dikemukakan Siang Bwee, gadis ini mempunyai niat lain. Ia ingin memperpanjang perjalanannya berdua dengan San Hong, untuk mengenal, pemuda itu lebih baik, dan untuk memberi kesempatan kepada San Hong agar kesehatannya pulih sama sekali dan agar pemuda itu mematangkan ilmu silatnya sehingga kelak akan benar dapat bertahan kalau diuji ayahnya selama dua ratus jurus!
Memang benar pemuda itu telah menerima gemblengan dari Tung Kiam, akan tetapi apa artinya gemblengan yang hanya seminggu itu? Pemuda ini harus menerima gemblengan lain yang lebih hebat, agar dia benar-benar menjadi seorang yang akan keluar sebagai pemenang di depan ayahnya, agar ayahnya menganggap bahwa pemuda ini benar-benar pantas menjadi calon suaminya! Tanpa setahu San Hong, diam-diam Siang Bwee telah jatuh cinta setengah mati kepada pemuda tinggi besar dan serba canggung ini!
Perkumpulan Hek-eng-pang (Perkumpulan Garuda Hitam) di kota Wang-cun terkenal sebagai perkumpulan orang orang yang pandai silat. Kota Wang-cun terletak di sebelah selatan Tembok Besar dan merupakan kota perbatasan yang banyak dilewati para pedagang yang suka membawa dagangan untuk dijual kepada para suku bangsa di luar Tembok Besar. Karena itu, kota ini cukup ramai dan setiap hari tentu ada saja rombongan pedagang lewat dan bermalam di situ.
Para anggauta Hek-eng-pang semua memiliki ilmu silat yang bagi para penghuni kota itu sudah amat mengagumkan. Dan para anggauta Hek-eng-pang juga bersikap gagah, selalu menentang kerusuhan, bahkan oleh pejabat setempat perkumpulan ini diandalkan untuk ikut menjaga ketenteraman, membantu pasukan keamanan yang ada. Oleh karena itu, maka kedudukan perkumpulan itu kuat dan namanya pun amat baik, disegani oleh semua penduduk.
Hek-eng-pang kini diketuai oleh Tang Cin Siok yang menggantikan mendiang ayahnya. Tang Cin Siok atau biasa disebut Tang Pangcu ini berusia "empat puluh"
Lima tahun dan isterinya telah meninggal dunia. meninggalkan seorang puteri bernama Tang Li Hwa yang kini sudah berusia delapan belas tahun, seorang gadis yang berkulit putih mulus dan berwajah manis. Tang Pangcu menikah lagi dengan seorang wanita bernama Teng Kwi Nio yang kini berusia .kurang lebih tiga puluh tahun, seorang wanita yang cukup cantik. Karena kedudukan Hek eng-pang yang baik dan berpengaruh, menerima banyak sumbangan dari para saudagar yang merasa terlindungi keselamatan dan keamanan mereka.
Maka kehidupan keluarga Tang ini cukup berlebihan, bahkan para anggauta Hek-eng-pang juga kebagian rejeki dan mereka hidup berkecukupan. Anggauta Hek-eng-pang berjumlah kurang lebih lima puluh orang, diantaranya terdapat lima orang murid wanita yang usianya antara dua puluh sampai tiga puluh tahun. Lima orang murid wanita ini tinggal di rumah ketua mereka, bekerja sebagai pembantu rumah tangga dan juga penjaga keselamatan dalam rumah keluarga Tang. Bahkan Teng Kwi Nio yang kini menjadi nyonya Tang Cin Siok, tadinya juga seorang anggauta atau murid wanita Hek-eng-pang. Adapun para murid lain, yang belum berkeluarga tinggal di asrama Hek-eng-pang, sebuah bangunan yang bersambung dengan rumah keluarga Tang, sedangkan mereka yang sudah berkeluarga tinggal di luar asrama.
Pada suatu hari, ketika matahari mulai menggunakan sinarnya mengusir kegelapan dan hawa dingin, disambut oleh semua mahluk termasuk manusia dengan perasaan gembira, dari pintu gerbang selatan masuklah seorang pemuda berusia dua puluh tahun lebih ke dalam kota Wang-cun. Dia memasuki pintu gerbang sambil menuntun kudanya, seekor kuda yang baik dengan tubuh yang tinggi besar dan ramping, berbulu hitam Akan tetapi kuda itu tidak ditunggang karena kaki depan sebelah kanan agak pincang. Kuda ini terjatuh ketika tiba di luar kota, saking lelahnya, dan kaki depan itu terluka sehingga pincang.
Maka terpaksa pemiliknya tidak menungganginya dan menuntunnya memasuki kota, dengan niat untuk mengobati kuda itu atau menjualnya. Kemunculan pemuda dengan kuda pincang ini tidak menarik perhatian karena kota itu seringkali didatangi bermacam orang dari segala golongan. Pemuda itu berpakaian ringkas, berwajah tampan gagah dengan sepasang mata yang tajam. Ketika melihat sebuah rumah penginapan, dia pun menuntun kudanya memasuki pekarangan rumah penginapan itu.
Seorang pelayan segera menyambutnya dan kepada pelayan, pemuda itu minta agar kudanya dirawat, dibawa ke dalam kandang dan diberi makan secukupnya. Dia sendiri minta sebuah kamar dan langsung minta disediakan air untuk mandi. Tak larna kemudian, pemuda itu sudah keluar lagi dari rumah penginapan, berjalan kaki, dengan wajah segar dan pakaian bersih. Di rumah penginapan tadi dia sudah bertanya-tanya di mana letaknya asrama dari perkumpulan Hek-eng-pang. Keterangan tentang perkumpulan itu dapat diperoleh dengan mudah karena semua orang di kota itu tahu belaka di mana adanya Hek-eng-pang.
Pemuda tampan itu bukan lain adalan Yeliu Tiong Sin, atau sesudah dia melarikan diri dari ayah angkat dan juga gurunya, Yeliu Cutay, dia mengenakan nama keturunan asalnya, yaitu Bu. Selanjutnya dia pun bernama lengkap Bu Tiong Sin. Seperti kita ketahui, Bu Tiong Sin minggat dari rumah gurunya; dan membawa serta Pedang Asmara, di samping beberapa potong emas berharga yang diperlukannya sebagai bekal dalam perjalanan merantau. Ayah angkat dan juga gurunya melakukan pengejaran, akan tetapi, ketika tersusul. Bu liong Sin melawan dengan Pedang Asmara di tangan, dia berhasil membuat gurunya sendiri kewalahan.
Kini Bu Tiong Sin tiba di kota Wang cun dengan-maksud mencari perkumpulan Hek eng-pang. Dia mempunyai perhitungan dengan perkumpulan itu, karena dia mendengar dari gurunya bahwa mendiang ayahnya yang bernama Bu Siang Hok tewas di tangan orang-orang Hek-eng pang. Dia mendendam kepada Hek-eng-pang, walaupun mendiang ibu kandungnya sendiri adalah puteri ketua Hek-eng-pang.
Berita yang dia dapat bahwa kini Hek-eng-pang dipimpin oleh ketuanya yang. bernama Tang Cin Siok membuat dia agak bingung. Bukankah menurut penuturan gurunya, ketuanya, ayah dari Ibunya atau kakeknya sendiri itu kini sudah berusia tujuh puluh lima tahun lebih?
Dan menurut keterangan yang diperolehnya ketua ini usianya baru empat puluh lima tahun. Namun Tiong Sin adalah seorang pemuda yang cerdik. Dia menduga-duga. Kalau ibunya masih hidup, tentu usia ibunya sudah empat puluh tahun. Dan ibunya she Tang, sama dengan she Tang Cin Siok, ketua Hek-eng pang yang sekarang. Mudah diduga bahwa tentu ada hubungan keluarga antara ibunya dan ketua itu. Agaknya, ketua yang sekarang adalah kakak dari ibunya.
Dia harus menyelidiki dengan teliti sebelum turun tangan membalas mereka yang dulu membunuh ayahnya. Hek-eng-pang tidak menyetujui perjodohan antara ibunya dan ayannya, dan menurut gurunya, ayah kandungnya tentu tewas oleh orang-orang Hek-eng-pang yang melakukan pengejaran, sedangkan ibunya meninggal dunia ketika melahirkan dia. Dia akan menyelundup ke Hek-eng-pang dan mencari keterangan sejelasnya, siapakah di antara mereka yang dulu ikut mengeroyok dan membunuh ayahnya. Satelah itu, baru dia akan turun tangan melakukan balas dendamnya!
Demikianlah, dengan sikap gagah namun sopan, dia memasuki pintu gerbang perkumpulan Hek-eng-pang yang garang itu. Segera dua orang murid Hek-eng-pang yang bertugas, jaga, menghadangnya. Dua orang murid itu memandang tajam penuh selidik dan seorang di antara mereka bertanya dengan tegas, matanya menatap wajah tampan itu.
"Saudara siapakah dan ada keperluan apa datang ke tempat kami?"
Dengan sikap sopan Tiong Sin memberi hormat dan menjawab.
"Namaku Tiong Sin, Yeliu Tiong Sin, dan kedatanganku ini hendak menghadap pangcu dari Hek-eng-pang untuk urusan pribadi. Harap ji-wi suka berbaik hati menyampaikan berita kedatanganku agar pangcu suka menerimaku."
Dua orang murid Hek-eng-pang itu senang melihat sikap yang sopan dari pemuda itu, maka mereka pun mengangguk.
"Baiklah, saudara Yeliu. Silakan duduk dan menunggu di sini sebentar, akan kulaporkan kepada pangcu."
Kata seorang di antara mereka dengan sikap ramah. Tiong Sin menghaturkan terima kasih dan duduk menunggu di atas bangku, ditemani anggauta penjaga yang seorang lagi. Tiong Sin melemparkan pandangan ke empat penjuru. Pekarangan itu lebar, bangunan itu besar dan megah dan di kanan kirinya masih terdapat tanah pekarangan yang luas. Lalu pandang matanya terpancang pada papan nama perkumpulan itu. Huruf-huruf besar berbunyi HEK ENG PANG dengan gagahnya tertulis di papan tulis berdasar warna kuning.
"Aku telah mendengar bahwa Hek-eng-pang kini telah menjadi sebuah perkumpulan yang maju sekali,"
Kata Tiong Sin sambil lalu kepada murid penjaga itu, tentu sekarang para murid yang menjadi anggauta Hek-eng-pang amat banyak. Apakah ada seratus orang, Toako?"
Melihat sikap yang sopan dan ramah dari tamu muda itu, murid Hek-eng-pang itu menjawab dengan sejujurnya.
"Ah, tidak begitu banyak, hanya kurang lebih lima puluh orang saja. Akan tetapi, kami semua adalah murid yang sudah belajar sedikitnya sepuluh tahun, jadi..... ya boleh diandalkan begitulah!"
Kata murid Hek-eng-pang itu tanpa bermaksud menyombongkan diri. Tiong Sin mengangguk-angguk.
"Aku sudah lama mendengar akan kehebatan. ilmu dari para anggauta Hek eng-pang. Tentu pangcunya lebih lihai lagi, dan entah siapa di antara para murid Hek-eng-pang yang paling lihai."
Karena cara Tiong Sin bicara-bukan seperti orang melakukan penyelidikan, maka mudah saja anggauta itu dipancing.
"Ah, kalau tingkat kepandaian para murid hanya terbagi dua, yaitu tingkat pertama dan ke dua. Akan tetapi, di antara para murid, kiranya tidak ada yang akan mampu menandingi tingkat kepandaian nona Tang yang telah mewarisi semua kepandaian pangcu kami."
"Nona Tang?"
Tiong Sin bertanya, akan tetapi sikapnya juga sambil lalu, tidak terlalu serius.
"Ah, benar, engkau agaknya seorang pendatang baru di sini maka belum tahu tentang nona kami!"
Dalam suaranya terkandung kebanggaan.
"Nona kami merupakan puteri dan anak tunggal dari pangcu kami, namanya nona Tang Li Hwa. Ia bukan saja ahli silat yang terpandai di antara kami, bahkan sukar mencari bandingnya di kota Wang-cun ini, baik mengenai kelihaiannya maupun kecantikannya!"
Mendengar ini, tentu saja hati. Tiong Sin tergerak sekali dan dia merasa amat tertarik. Dia hendak menyelidiki siapa saja di antara para anggauta Hek-eng-pang yang dulu ikut mengeroyok dan membunuh ayah kandungnya, dan sudah pasti bahwa gadis yang bernama Tang Li Hwa itu tidak ikut mengeroyok ayahnya! Mendengar puji-pujian yang demikian muluk mengenai diri Tang Li Hwa, timbul keinginan hatinya untuk melihat sendiri bagaimana keadaan gadis itu. Pada saat itu, penjaga yang melapor ke dalam nampak datang .sambil tersenyum dan mempersilakan Tiong Sin mengikutinya masuk ke dalam karena Tang Pangcu berkenan menerimanya di ruangan tamu yang berada di samping rumah. Setelah tiba di depan pintu ruangan tamu, murid Hek-eng-pang itu berseru dengan suara lantang,
"Saudara Yeliu Tiong Sin datang menghadap Pangcu!"
Dari dalam kamar itu terdengar suara yang tenang dan berwibawa.
"Silakan masuk!"
Penjaga itu memberi isyarat kepada Tiong Sin untuk masuk, sedangkan dia sendiri lalu kembali ke depan karena tugasnya telah selesai. Tiong Sin memasuki ruangan itu dan ternyata ruangan itu cukup luas, dengan kursi-kursi yang diatur dengan santai. Seorang laki-laki berusia empat puluh lima tahun bangkit dari duduknya ketika melihat dia melangkah masuk. Pria itu berpakaian sederhana, namun sikapnya gagah dan pandang matanya tajam, wajahnya berwibawa. Mudah bagi Tiong Sin untuk menduganya bahwa tentu pria ini yang menjadi ketua Hek-eng-pang dan diam-diam ada perasaan bangga di hatinya bahwa pria gagah ini masih saudara dari mendiang ibu kandungnya.
Akan tetapi, perasaan bangga ini segera lenyap ketika dia teringat betapa keluarga Tang telah bersikap kejam, menentang perjodohan ibunya dengan ayahnya sehingga mengakibatkan ayah ibunya tewas. Kalau ibunya tidak terpaksa melarikan diri dalam keadaan mengandung tua, belum tentu ibunya meninggal dunia, adapun ayahnya, jelas dibunuh oleh orang-orang Hek-eng-pang. Tiong Sin cepat memberi hormat, merangkap kedua tangan di dada sambil membungkuk. Tuan rumah juga membalas pengnormatan itu.
"Tang Pangcu, harap maafkan aku kalau kedatanganku ini mengganggu."
Kata Tiong Sin, hormat namun tidak merendahkan diri.
Pria itu memang Tang Cin Siok, ketua dari Hek-eng-pang, kakak dari mendiang Tang Siok Hwa ibu kandung Tiong Sin. Setelah memandang tajam kepada tamu muda itu dan diam-diam merasa kagum, Tang Cin Siok lalu menggerakkan tangan mempersilakan.
"Duduklah, orang muda, dan jangan sungkan-sungkan."
"Terima kasih, Pangcu."
Setelah keduanya duduk berhadapan, terhalang meja, ketua Hek-eng-pang itu lalu berkata sambil menatap wajah tamunya.
"Nah, Saudara Yeliu, katakan apa yang dapat kami lakukan untuk membantumu? Ada persoalan apakah?"
Dari sikap dan ucapan ketua ini saja hati Tiong Sin sudah merasa senang. Dia sama sekali tidak pernah mengetahui bahwa sikap yang amat ramah dan baik dari tuan rumah itu sebagian besar karena pengaruh pedang pusaka yang berada di balik jubahnya. Pedang Asmara itu di mana memancarkan pengaruhnya yang aneh, membuat kaum pria merasa senang berhadapan dengan Tiong Sin, dan kaum wanita seketika jatuh cinta.
"Sekali lagi maaf, Pangcu. Kedatanganku ini untuk menghaturkan terima kasih kepada Hek-eng-pang yang telah membunuh musuh besarku pada sekitar dua puluh tahun yang lalu. Karena baru sekarang aku mengetahui, maka aku merasa berterima kasih sekali dan aku ingin sekali berjumpa dengan mereka yang telah membunuh musuh besarku itu untuk dapat menghaturkan terima kasih secara. langsung kepada mereka, dan memberi sekedar tanda mata untuk menyatakan terima kasihku itu."
Tang Pangcu memandang heran.
"Dua puluh tahun yang lalu? Apa yang kaumaksudkan ini, orang muda? Ceritakanlah yang jelas karena sungguh aku tidak mengerti peristiwa mana yang kau maksudkan."
Tiong Sin menarik napas panjang.Dia harus bersikap sabar dan tenang, karena tanpa mempergunakan akal, rasanya tidak akan mudah baginya untuk dapat mengetahui siapa saja yang dulu mengeroyok dan membunuh ayah kandungnya.
"Begini ceritanya, Pangcu. Mendiang ayahku, pada dua puluh tahun lebih yang lalu, tewas di tangan seorang musuh besar. Karena ketika itu aku masih kecil, maka ibu membawaku melarikan diri. Setelah dewasa, aku pergi hendak mencari musuh besar itu, untuk membalas dendam kematian ayahku. Akan tetapi, aku mendengar bahwa musuh besar itu telah tewas di tangan para pendekar Hek-eng-pang. Oleh karena itu, selain untuk minta keterangan apakah hal itu benar terjadi, aku pun datang hendak menghaturkan. terima kasihku kepada mereka yang telah berjasa membunuh musuh besarku itu."
Tang Cin Siok mengerutkan alisnya semakin dalam, mengingat-ingat.
"Dua puluh tahun yang lalu adalah waktu yang sudah lama. Ketika itu aku belum menjadi ketua Hek-eng-pang, dan ketuanya masih mendiang ayahku. Katakanlah siapa nama musuh besarmu itu, orang muda?"
Sambil mengamati wajah tuan rumah dengan sinar matanya yang mencorong Tiong Sin menjawab.
"Namanya adalah Bu Siang Hok!"
"Ah, dia....??"
Jelas nampak betapa tuan rumah terkejut bukan main mendengar nama yang agaknya tidak disangka-sangkanya itu.
"Karena musuh besarku itu dibunuh oleh para pendekar Hek-eng-pang, sudah tentu Pangcu mengenalnya, bukan?"
Tang Cin Siok termenung, seolah olah tidak mendengar pertanyaan pemuda itu. Karena tidak menyangka sama sekali bahwa musuh besar tamunya ini adalah Bu Siang Hok, maka disebutnya nama itu membuat dia terkejut dan tercengang kemudian melamun karena dia teringatkan adiknya yang tercinta, yaitu Tang Siok Hwa!
"Bagaimana, Pangcu? Tentu Pangcu mengenal Bu Siang Hok, bukan?"
Tiong Sin mendesak ketika melihat tuan rumah termenung.
Tang Pangcu baru sadar dan terkejut.
"Ah, ya..... ya, tentu saja aku mengenal nama itu. Dia..... dia dimusuhi Hek eng pang, dia dibunuh oleh..... mendiang ayahku dan dibantu oleh beberapa orang murid Hek-eng-pang."
Tiong Sin mengangguk-angguk.
"Aku sudah mendengar akan hal itu, Pangcu. Sayang bahwa ayah Pangcu, yaitu locian-we Tang sudah meninggal dunia sehingga aku tidak dapat langsung menghaturkan terima kasih kepada beliau. Akan tetapi dapat diwakili Pangcu, dan aku mohon sudilah kiranya Pangcu memanggil para murid yang telah ikut membunuh musuh besarku itu agar aku dapat menghaturkan terima kasih secara langsung kepada mereka!"
Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Siluman Gua Tengkorak Karya Kho Ping Hoo Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo