Pedang Asmara 33
Pedang Asmara Karya Kho Ping Hoo Bagian 33
"Ha-ha-ha, matamu awas sekali, Siang Bwee! Tongkat itu memang sengaja kutinggalkan, berabe saja membawanya ke sini."
Siang Bwee terlampau cerdik untuk dapat dibohongi sesederhana itu. Akan tetapi ia berpura-pura tidak sadar bahwa ia dibohongi dan ia berseru heran.
"Tapi, Ayah! Bukankah Ayah naik ke Thai-san ini untuk bertanding mengadu ilmu melawan saingan-saingan Ayah yang paling lihai seperti Pak Ong, See Mo dan Tung Kiam? Justeru untuk melawan mereka Ayah membutuhkan sekali senjata yang ampuh itu. Kenapa malah Ayah tinggalkan?"
Ia memandang ayahnya dengan khawatir.
"Ha-ha-ha! Engkau terlalu memandang rendah ayahmu sendiri, Siang Bwee! Apa kaukira tanpa tongkat itu ayahmu tidak mampu mengalahkan mereka? Ha-ha-ha! Apalagi sebagai gantinya Ayah mempunyai pedang pusaka ini!"
Nam Tok menepuk sarung pedang di punggungnya. Mendengar ucapan itu, Siang Bwee diam diam merasa semakin gelisah. Tanpa di sengaja, ayahnya telah kelepasan bicara dan kata "sebagai gantinya"
Tadi tentu mengandung arti penting. Akan tetapi dengan cerdik ia membiarkan kata itu lewat.
"Ayah berpedang? Sungguh aneh. Apalagi, mana ada pedang yang cocok untuk Ayah? Pedang pusaka apakah yang begitu Ayah andalkan?"
"Anak bodoh! Ini adalah pedang pusaka yang disebut Pedang Dewa Hijau atau Pedang Asmara! Ampuhnya bukan main!"
Siang Bwee terbelalak dan ia melirik kepada San Hong. Akan tetapi pemuda itu sejak tadi diam dan menundukkan kepala saja, seolah tidak mempedulikan atau tidak tertarik.
Padahal, di dalam hatinya San Hong juga bertanya-tanya dan merasa heran mengapa Pedang Asmara yang oleh pemiliknya, Yeliu Cutay, diberikan kepadanya setelah dia berhasil, merampasnya kembali dari Bu Tiong Sin, kini tahu-tahu telah berada di tangan Nam Tok. Akan tetapi karena takut kalau dia salah bersikap atau bicara, dia pun menunduk saja dan menyerahkan urusan itu kepada Siang Bwee.
"Pedang Asmara? Aih, begitu indah namanya. Aku belum percaya akan keampuhannya kalau tidak melihat sendiri. Ayah, aku ingin melihat pedang pusaka itu!"
Nam Tok sedang bersenang hati melihat kelihaian puterinya dan San Hong yang membesarkan hatinya. Sekali ini dia merasa yakin bahwa pertandingan antar murid tentu akan dimenangkan pihaknya. Maka dia pun melolos sarung pedang itu dan menyerahkan kepada puterinya. Dengan senyum seperti mengejek dan tidak percaya, Siang Bwee mencabut pedang itu.
"Singgg.. .!"
Sinar hijau berkilauan dan Siang Bwee merasa betapa jantungnya berdebar kencang.
"Wah, bagus sekali pedang ini, Ayah!"
Ia mengibas-ngibaskan dan membuat gerakan membacok dan menusuk.
"Dan enak sekali dipakai, tidak terlalu berat, juga tidak terlalu ringan."
Ia lalu memainkan beberapa jurus ilmu pedang dari Tung Kiam. Gerakannya Indah sekali.
"Haiii... ! Bukankah itu Tung-kiam Liong-kiam, ilmu pedang andalan Tung Kiam?"
Nam Tok berseru kaget dan heran.
Siang Bwee menghentikan gerakannya, menoleh kepada ayahnya dan tersenyum manis.
"Tentu saja, Ayah. Dengan pedang ini di tangan, dan ilmu pedang itu, aku akan mengalahkan murid-murid Tung Kiam!"
"Ha-ha-ha, bagus sekali! Mengalahkan mereka dengan ilmu pedang mereka sendiri. Ha-ha-ha, alangkah lucunya!"
"Ayah, kalau aku berhadapan dengan murid-murid Tung Kiam, bolehkah aku meminjam pedang Ayah ini untuk melawan dan mendapatkan kemenangan?"
"Ha-ha-ha, tentu saja boleh, anakku."
"Kalau begitu, aku harus berlatih dengan pedang ini agar tidak kaku kalau nanti menggunakannya. Ayah, aku pinjam sebentar untuk berlatih! Mari, Koko..... eh, Suheng, kita berlatih di sana agar tidak mengganggu Ayah!"
"Hati-hati jangan sampai hilang pedang itu, Siang Bwee"
Nam Tok berseru melihat anaknya pergi membawa pedang itu.
San Hong memberi hormat lalu mengikuti Siang Bwee yang lari menuju ke sebuah lapangan rumput tak jauh dari situ. Nam Tok tersenyum lalu duduk bersamadhi lagi untuk menghimpun kekuatan. Hatinya tenang dan tenteram rasanya. Dia yakin bahwa dengan bantuan dua orang muda itu, akhirnya dia akan mencapai kemenangan, dan bahkan akan mampu menghadapi Tung Kiam dan See Mo yang bersekongkol dengan orang Mongol. Mereka telah berada di lapangan rumput, tidak begitu jauh dari goa itu, akan tetapi mereka dapat melihat goa itu sehingga mereka akan tahu andaikata Nam Tok keluar dari goa.
"Cepat, Koko. Kita harus bekerja cepat."
Kata gadis itu dan ia duduk di atas sebuah batu, menghadap ke arah goa agar ia dapat terus mengamati kalau-kalau ayahnya keluar dari dalam goa.
"Bekerja apa?"
Tanya San Hong, menghampiri.
Kadang-kadang Siang Bwee merasa gemas akan kelambatan jalan pemikiran kekasihnya.
"Aih, tidakkah engkau melihat bahwa ini adalah Pedang Asmara yang kita cari-cari?"
"Tentu saja aku tahu, dan pedang ini telah menjadi milik ayahmu."
"Tidak, pedang ini adalah milikmu, milik kita. Bukankah Yeliu Ciangkun telah memberikannya kepadamu?"
"Tapi aku harus merampasnya dari Bu Tiong Sin, dan sekarang telah menjadi milik ayahmu. Apa yang dapat kita lakukan?"
"Bodoh, lupakah engkau bahwa aku telah membuat pedang tiruannya ini?"
Siang Bwee mengeluarkan pedang tiruan itu dari dalam buntalan yang sejak tadi dibawanya.
San Hong terbelalak.
"Bwee-moi.....apa yang hendak kau lakukan?"
"Bodoh kau Hong-ko! Untuk apa aku membuat pedang tiruan ini? Sekarang tiba saatnya yang baik. Kita tukar pedang ini, kita tukar gagangnya dan sarungnya."
"Tidak, Bwee-moi. Tidak! Aku tidak berani....."
"Eh? Engkau takut kepada ayah?"
"Bukan takut kepada ayahmu atau kepada siapapun, melainkan takut melakukan sesuatu yang tidak benar. Kalau sampai ketahuan, ke mana akan kutaruh muka ini?"
"Tentu saja dikepalamu, Koko! Sudahlah, jangan bodoh. Kau tahu milik siapa pedang pusaka ini?"
"Milik ayahmu."
"Huh, bagaimana sih jalan pikiranmu itu? Pedang Asmara ini milikmu, milik kita! Pemiliknya yang aseli, Yeliu Ciang-kun sudah memberikannya kepada kita. Kalau tadinya berada di tangan Tiong Sin adalah karena dia mencurinya, jadi tidak sah. Pemiliknya yang sah adalah engkau. Dan sekarang terjatuh ke tangan ayahku....."
"Mungkin ayahmu sudah membunuh Tiong Sin, atau setidaknya merampas pedang ini dari tangannya."
"Bukan begitu! Kau tidak melihat betapa Tongkat Naga itu tidak berada pada ayah? Aku mengenal benar watak ayah. Sampai mati pun dia tidak akan melepaskan tongkat itu, kecuali kalau....."
Ia berhenti.
"Kalau apa, Moi-moi?"
"Kalau tongkat itu diberikan kepada orang lain dan sebagai gantinya ayah menerima pedang ini."
"Untuk apa?"
"Tanda ikatan jodoh tentunya. Bodoh sekali engkau! Aku khawatir bahwa ayah telah bersepakat dengan Pak Ong untuk menjodohkan aku dengan Tiong Sin murid Pak Ong itu, dan sebagai ikatan jodoh, dua pusaka itu ditukar."
"Aduh celaka.....! Kau dijodohkan Tiong Sin? Habis, aku bagaimana.....?"
San Hong bengong dan sekali ini memang nampak bodoh sekali.
Mau tidak mau Siang Bwee tersenyum geli dan kemarahannya pun terbang pergi.
"Karena itulah, Koko, kita harus bertindak. Kalau pedang ini kita ganti dengan tiruan, dan kukatakan kepada ayah bahwa dia ditipu, diberi pedang tiruan oleh Pak Ong, tentu ayah marah dan ikatan jodoh itu dibatalkan. Dan pedang aselinya menjadi milikmu, karena memang engkau pemiliknya yang sah. Nah, hayo cepat bantu aku. Gagangnya harus dicopot dan diganti yang tiruan. Cepat, kau cabut. Akan tetapi hati-hati, jangan sampai rusak."
Mendengar bahwa tindakan mereka itu untuk menggagalkan perjodohan antara Siang Bwee dengan Tiong Sin, timbullah semangat San Hong dan dia lalu perlahan-lahan mengerahkan tenaganya dan mencabut gagang pedang yang aseli dan yang palsu.
"Aku akan beritahu ayah tentang palsunya Pedang Asmara ini kalau sudah selesai pertemuan puncak itu. Biarkan ayah bersama Pak Ong menghadapi Tung Kiam dan See Mo yang bersekutu dan kita membantu ayah. Setelah semua selesai dan ayah bicara tentang perjodohanku dengan orang lain, baru aku akan beri tahu tentang palsunya pedang. Mengerti engkau?"
San Hong mengangguk-angguk dan kini dia telah selesai menukar gagang kedua pedang itu.
"Wah, yang ini sukar!"
Tiba-tiba Siang Bwee berkata sambil memegang kedua pedang itu dengan kedua tangan, membanding-bandingkan. San Hong juga ikut melihat dan dia kagum. Buatan ahli pembuat pedang itu memang hebat. Kedua pedang itu presis sekali bentuknya.
"Apanya yang sukar?"
Tanyanya.
"Engkau tidak melihat perbedaannya yang menyolok?"
San Hong menggeleng kepala.
"Bagiku sudah mirip sekali, sukar dilihat perbedaannya."
Siang Bwee cemberut dan melirik tajam.
"Tidak kau lihat noda merah pada pedang yang aseli ini?"
San Hong mengamati dan benar saja. Ada noda kemerahan pada pedang yang aseli, sedangkan yang palsu tidak ada tanda kemerahan itu. Dia meneliti dan mencium.
"Hemmm, agaknya ini noda darah."
Katanya.
Gadis itu tersenyum manis sekali.
"Sekali ini engkau benar. Ah, ternyata engkau dapat juga bersikap cerdik, Koko. Ini memang noda darah. Dan untuk menyamakannya, kita harus memberi noda darah kepada pedang tiruan ini."
Siang Bwee melepas tusuk konde dan hendak menusuk betisnya setelah menyingkap celana sebelah kaki kiri. Akan tetapi San Hong menangkap tangan yang memegang tusuk konde itu dan merampasnya.
"Jangan! Sayang kalau betismu yang kulitnya mulus itu nanti dinodai bekas luka. Biar betisku saja!"
"Ah, apa bedanya. Betismu pun tentu akan ada tanda lukanya."
"Tapi betisku kan tidak semulus betismu, dan luka kecil bekas tusukan tusuk konde ini akan tertutup bulu kakiku!"
Kata San Hong dan dia pun menusukkan tusuk konde itu kepada jalan darah di betisnya. Ketika dicabutnya, mengalirlah darah keluar dari luka kecil itu. Tanpa ragu-ragu Siang Bwe mengambil darah dari betis itu dengan jari telunjuk kanannya dan dioleskannya pada pedang tiruan, digambarnya presis seperti bentuk noda darah pada Pedang Asmara yang aseli. Kini, kedua pedang itu presis, atau mirip sekail dan sukar dibedakan.
Mereka saling pandang dengan hati puas.
"Biar kuobati luka di betismu itu."
Kata Siang Bwee yang mengeluarkan, buntalan obat bubuk mengobati luka kecil di betis yang sebetulnya tidak ada artinya itu.
Ketika la membungkuk dan mengobati kaki itu, muka Siang Bwee begitu dekati dengan muka San Hong. Dua buah jantung itu bergoncang hebat, membuat muka mereka kemerahan dan pandang mata mereka sayu.
"Bwee-moi, engkau sungguh cantik jelita..."
Bisik San Hong, memandang bagaikan terpesona. Siang Bwee mengangkat muka. Kedua muka saling berhadapan. Dua pasang mata bertaut.
"Aih, Koko....."
Tiba-tiba saja mereka itu saling rangkul dan saling dekap, saling berciuman dengan sepenuh perasaan yang berkobar penuh gairah. Demikian penuh semangat mereka itu sehingga mereka terguling dan rebah miring sambil masih saling rangkul dan saling berciuman. Mereka sama sekali tidak menyadari bahwa mereka berdua telah tercengkeram oleh pengaruh ajaib dari Pedang Asmara! Pada dasarnya, mereka memang saling mencinta sehingga sudah terdapat kemesraan di antara mereka, saling merindukan dan selalu ingin berdekatan dan bermesraan sebagai pernyataan dari rasa asmara.
Namun selama ini mereka masih dapat mengekang diri, terutama San Hong, tidak mau menurunkan dorongan gairah hati dan selalu membatasi diri. Akan tetapi, kini pengaruh ajaib dari Pedang Asmara membuat mereka bagaikan lupa diri. Bagaimanapun juga, pada dasarnya San Hong adalah seorang pemuda yang amat kuat pertahanan batinnya. Seorang yang jujur polos dan jantan. Begitu merasa bahwa ada sesuatu kekuatan ajaib mendorongnya dan membuatnya seperti mabuk, dia cepat memejamkan mata dan mengerahkan tenaga sin-kang Perisai Diri yang baru saja dipelajarinya dan dilatihnya dari Lo Koay.
"Aahhhhh.....!"
Dengan kekuatan sakti yang amat kuat ini, seketika buyarlah kekuatan mujijat yang mencengkeramnya dan dia pun melepaskan rangkulannya, kemudian dengan lembut dia mendorong tubuh Siang Bwee. Gadis itu terpental sampai beberapa meter jauhnya dan terbanting jatuh.
"Aih, Koko, kenapa kau menyerangku..,..?"
Siang Bwee bangkit berdiri. Rasa nyeri pada pantatnya yang terbanting ke atas tanah itu juga membuyarkan pengaruh asmara yang membuat gairahnya berkobar tadi.
"Bwee-moi, kita... kita tidak boleh....."
Sadarlah kini Siang Bwee. Mukanya berubah merah dan ia pun cepat menutupkan kembali bajunya yang setengah terbuka. Gadis yang amat cerdik ini memandang ke arah dua batang pedang telanjang di atas tanah dan ia pun mengerti. Gara-gara Pedang Asmara! Ia meloncat dan menyambar kedua batang pedang itu, dimasukkan ke dalam sarung masing-masing, yaitu sarung yang ditukar. Kini pedang yang aseli memiliki gagang dan sarung palsu, sebaliknya pedang yang palsu memiliki gagang dan sarung yang aseli. Ia memandang kepada Pedang Asmara aseli di tangan kanannya dengan gentar dan bulu tengkuknya meremang.
"Ihhh....! Pedang ini ada setannya! Engkau saja yang menyimpannya, Koko. Engkau kuat menahan pengaruh mengerikan itu!"
San Hong menerima Pedang Asmara dan menarik napas panjang.
"Kalau ayahmu mengetahui hal ini, dia tentu akan membunuhku."
"Dia tidak akan tahu. Pula, dia tidak berhak menentukan perjodohanku! Bukankah dulu sudah dia ketahui bahwa aku hanya memilih engkau untuk menjadi jodohku? Kalau dia tahu dan marah, kita hadapi berdua, dan kalau perlu, kita mati bersama! Hong-ko, maukah engkau mati bersama dengan aku?"
San Hong tersenyum memandang wajah kekasihnya.
Dia merasa kasihan sekali dan tidak tega untuk tidak mengiyakan saja permintaan gadis itu. Akan tetapi dia terlampau jujur.
"Kalau disuruh memilih, aku lebih suka memilih hidup bersama denganmu, Bwee-moi, bukan mati bersama. Aku akan melindungimu dan siapapun juga, biar ayahmu sendiri, tidak akan dapat membunuhmu selama aku masih hidup. Aku boleh mati, akan tetapi engkau harus tetap hidup!"
Tiba-tiba Siang Bwee cemberut dan marah, la melempar pedang palsu ke atas tanah, lalu kedua tangannya bertolak pinggang dan kedua kakinya dibanting-banting bergantian.
"Engkau tidak cinta padaku, Koko! Ah, engkau tidak cinta padaku!"
"Ehhh? Siapa bilang? Aku cinta padamu, Bwee-moi. Karena itu pula aku ingin melihat engkau tetap hidup."
"Kalau engkau mati dan aku hidup sendiri, bagaimana engkau akan dapat melihat aku hidup? Engkau tidak mau mati bersamaku, berarti engkau tidak cinta padaku!"
Ia hampir menangis.
San Hong menjadi bingung, akhirnya dia terpaksa menyerah.
"Baiklah, Bwee-moi, kalau itu yang kaukehendaki. Aku mau mati bersamamu, kapan saja!"
"Hong-ko.....!"
Gadis itu meloncat, merangkulkan kedua lengan di leher pemuda itu, bergantung beberapa lamanya dan membenamkan mukanya di dada yang bidang itu.
"Aku tahu engkau cinta padaku, Koko. Kita hidup bersama mati bersama pula."
San Hong mengusap kepala gadis itu penuh kasih sayang. Hatinya membantah. Hidup bersama, itu biasa dan mudah dilakukan. Akan tetapi mati bersama? Apakah kalau yang seorang mati, yang lain lalu harus membunuh diri?
Gila! Akan tetapi untuk menyenangkan hati kekasihnya dia pun menjawab lirih.
"Kita hidup bersama dan mati bersama pula, Bwee-moi,"
Gadis itu melepaskan diri dan kini ia tersenyum cerah sekali walaupun matanya masih basah berair.
"Koko, cepat simpan pedang itu, tidak perlu disembunyikan, bahkan pasang saja di punggungmu biar ayah melihatnya. Sarung dan gagangnya lain sama sekali, tentu dia tidak akan mencurigai sesuatu." "Tapi aku biasanya membawa Pek-lui-kiam di punggung."
"Aih, benar juga. Kalau tiba-tiba ada perubahan tentu akan menimbulkan perhatian. Nah, sembunyikan di balik bajumu saja, Koko. Mari kita kembali kepada ayah. Jangan sampai dia menjadi curiga kalau terlalu lama."
Gadis itu memang cerdik sekali. Sambil menanti datangnya bulan purnama, ia lebih sering meminjam pedang dari ayahnya itu sehingga boleh dibilang hampir tiada kesempatan bagi Nam Tok untuk memegang pedangnya. Hal ini tentu sajak melegakan hati kedua orang muda itu. Kini mereka berdua semskin sadar dan yakin akan bahayanya pengaruh ajaib dari Pedang Asmara. Biasanya, sebelum San Hong membawa pedang itu, kalau mereka bersama, mereka mampu menguasai diri dan untuk menyalurkan kerinduan dan gairah mereka, cukup dengan sendau gurau, saling pandang, saling senyum dan mengucapkan kata-kata mesra, atau paling banyak hanya saling berpegang tangan dan sekali-kali saling peluk dan jarang sekali saling berciuman. Akan tetapi sekarang, setiap kali berdekatan, mereka dirangsang oleh gairah yang tidak wajari Karena itu, untuk menjaga agar mereka tidak sampai menjadi mabuk dan lupa, mereka selalu saling menjauh.
Hal ini mudah mereka lakukan karena di situ ada Nam Tok. Kehadiran orang tua ini sudah cukup membuat mereka harus saling menjauh dan tidak terlalu akrab agar tidak memancing kemarahan Nam Tok. Beberapa hari kemudian, malam yang dinanti-nanti tiba. Sore-sore mereka sudah siap siaga. Nam Tok memanggil puterinya dan San Hong yang segera menghadap. Mereka duduk di depan goa dan kini sikap Nam Tok bersungguh-sungguh.
"Kalian dengar baik-baik. Pertemuan puncak sekali ini tidak boleh disamakan dengan dahulu, Siang Bwee."
"Tentu saja, Ayah. Sekarang ini jauh lebih berbahaya, bahkan mungkin yang akan terjadi bukan pertandingan adu kepandaian lagi, melainkan pertempuran mati-matian."
"Eh, apa maksudmu?"
Pedang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kakek itu bertanya, alisnya berkerut. Puterinya ini seringkali membuatnya terkejut dan terheran, juga bangga. Biarpun anaknya itu hanya seorang wanita, namun memiliki kecerdikan yang kadang membuat dia sendiri kewalahan.
"Mungkin saja dalam pertemuan ini. Tung Kiam dan See Mo akan menggunakan orang-orang Mongol untuk mengeroyok kita, Ayah."
"Hai, dari mana engkau tahu?"
"Aku tidak pantas menjadi puteri Ayah kalau tidak tahu segalanya!"
Gadis itu berkata dengan bangga. Tentu saja ucapan ini dimaksudkan untuk menyenangkan hati ayahnya karena secara tidak langsung ia memuji ayahnya.
"Ketahuilah, Ayah. Aku belum menceritakan betapa aku dan Koko..... eh, Suheng ini telah memergoki ketika Tung Kiam dan See Mo mengadakan pertemuan di mana mereka membicarakan persekongkolan mereka dengan orang-orang Mongol. Suheng marah sekali dan keluar memaki mereka sehingga kami diserang oleh mereka. Tentu kami akan tewas kalau saja tidak muncul Lo Koay yang telah menolong kami, bahkan kemudian mengajarkan beberapa ilmu kepada kami."
Gadis itu lalu menceritakan dengan jelas dan lengkap apa yang ia dengar dari percakapan rahasia antara dua orang datuk yang bersekutu dengan orang Mongol itu. Nam Tok mengangguk-angguk.
"Aku juga sudah mendengarnya dan memang keadaan amat berbahaya. Akan tetapi, dua orang tua bangka pengkhianat bangsa itu sudah gila kalau mengira aku dan Pak Ong adalah orangorang bodoh. Sekarang Pak Ong sedang mengumpulkan para patriot untuk menghadapi orangorang Mongol, dan kurasa sekarang sudah tiba saatnya dia datang."
"Ha-ha-ha, engkau benar, Nam Tok. Kami datang!"
Terdengar suara parau dan muncullah kakek tinggi kurus itu, diikuti oleh Ji Kui Lan dan Bu Tiong Sin. Melihat munculnya Pak Ong, Siang Bwee yang pernah mengakali kakek Itu cepat maju memberi hormat sambil tersenyum manis.
"Aih, kiranya Paman Ji Hiat telah datang. Paman, terimalah hormatku. Heiii, suheng Kwee San Hong, cepat memberi hormat kepada Paman Ji!"
Ia sengaja menyebut San Hong dengan suheng untuk meyakinkan mereka bahwa San Hong adalah murid ayahnya dan akan mewakili ayahnya dalam pertandingan adu kepandaian!
San Hong cepat maju dan memberi hormat kepada Pak Ong.
"Lo-cian-pwe, saya menghaturkan selamat datang dan terimalah hormat saya."
Pak Ong Ji Hiat tertawa. Tentu saja dia sudah tahu bahwa San Hong adalah murid Nam Tok, bahkan telah dijodohkan dengan puterinya! Adapun Kui Lan dan Tiong Sln kini memandang kepada San Hong dan Siang Bwee dengan muka merah dan jantung berdebar. Melihat sikap puteri dan muridnya, Pak Ong berseru.
"Ihhh! Kalian ini bagaimana sih? Tidak cepat-cepat memberi hormat kepada Nam Tok? Memalukan aku yang menjadi orang tua saja!"
Kui Lan dan Tiong Sin cepat melangkah maju dan memberi hormat kepada Nam Tok. Kakek ini menerima penghormatan mereka sambil tersenyum dan mengangguk. Siang Bwee melihat betapa Tongkat Naga milik ayahnya kini dipegang Bu Tiong Sin. Perasaannya mendongkol bukan main. Kini jelaslah sudah. Dugaan yang mengkhawatirkan hatinya memang ternyata benar. Tentu ayahnya telah menjodohkan ia dengan Bu Tiong Sin maka ayahnya menukar tongkatnya dengan Pedang Asmara.
Ia pun tahu bahwa ayahnya melakukan hal itu karena menginginkan Pedang Asmara. Di dalam hatinya ia mencela ayahnya. Masa ayahnya lebih memberatkan sebatang pedang pusaka daripada puterinya! Akan tetapi ia pura-pura tidak mengerti dan ia memandang kepada Bu Tiong Sin, lalu berkata dengan suara nyaring.
"Ahhh....! Bu Tiong Sin, bagaimana engkau berani mencuri pusaka Tongkat Naga milik Ayah? Kembalikan!"
Tentu saja Tiong Sin terkejut dan sejenak dia menjadi gugup. Gadis yang dijodohkan dengan dia itu memahg cantik molek dan manis bukan main, akan tetapi galaknya tidak kalah oleh Kui Lan, bahkan kint gadis itu memandang kepadanya seperti seorang dewasa memandang seorang anak kecil nakal yang sedang ditegur dan dimarahinya.
"Ahhh..... ehhh..... ini..... ini oleh Ang Lo-cian-pwe ditukar dengan pedangku....."
"Huh? Apa kau mimpi? Siapa percaya omongan itu? Tongkat Naga ayah adalah sebuah pusaka ampuh yang selama puluhan tahun telah mengangkat nama besar ayah di dunia persilatan, jauh sebelum engkau lahir! Dan ayah mau menukar pusaka ampuh itu dengan pedangmu? Pedang picisan yang tidak ada harganya itu?"
"Ahhh..... tapi..... tapi....."
Kui Lan memandang dengan alis berkerut dan mulut mengejek. Ia muak melihat betapa suhengnya itu mendadak saja menjadi seperti seorang tolol yang penakut begitu menghadapi Siang Bwee.
Melihat keadaan muridnya, Pak Ong tertawa.
"Ha-ha-ha, Nam Tok! Apakah engkau belum memberitahu puterimu? Heiii, Siang Bwee yang nakal! Engkau adalah calon mantuku, calon isteri Bu Tiong Sin. Karena itu, ayahmu menukar tongkatnya dengan pedang, sebagai tukar tanda ikatan jodoh! Jodoh antara engkau dengan Bu Tiong Sin, dan antara puteriku dengan Kwee San Hong! Ha-ha-ha!"
Biarpun sudah menduga bahwa ia dijodohkan dengan Tiong Sin, Siang Bwae terkejut mendengar bahwa Kwea San Hong juga sudah dijodohkan dengan Ji Kui Lan! Ia merasa dada dan perutnya panas oleh cemburu! Nam Tok mengerutkan alisnya. Bodoh benar Pak Ong, pikirnya. Menghadapi urusan besar masih mengganggu dengan urusan pribadi yang hanya akan menimbulkan perasaan tidak enak saja. Maka, sebelum puterinya mengamuk, dia mendahului.
"Pak Ong, bukan waktunya bicara tentang urusan pribadi. Bagaimana dengan usahamu mengumpulkan balabantuan?"
"Mereka sudah siap. Ada lima puluh orang kawan-kawan kita yang siap membela negara dan bangsa, kini mereka sudah siap di sekitar puncak dan setiap saat dapat kita pergunakan. Dan dalam perjalanan tadi, penyelidikku memberitahu bahwa mereka itu telah mengatur barisan pendam yang terdiri dari orang-orang Mongol dengan para ahli panahnya, berjumlah kurang lebih seratus orang."
Nam Tok mengerutkan alisnya.
"Hemm, dua kali lebih banyak dari orang yang kau kumpulkan?"
"Tapi jangan khawatir, Nam Tok. Lima puluh orang kawan kita adalah orang-orang yang tidak akan kalah menghadapi pengeroyokan dua atau tiga orang Mongol."
Tiba-tiba mereka semua menengok.Mereka, enam orang itu, adalah ahli-ahli silat yang sudah memiliki tingkat kepandaian tinggi dan pendengaran mereka amat tajam. Sedikit suara saja dapat mereka tangkap dan kini mereka semua menengok ke arah timur. Malam mulai tiba, cuaca mulai gelap karena cahaya bulan belum berjaya. Dari kegelapan itu muncullah dua sosok bayangan orang yang gerakannya cepat sekali. Yang seorang pendek gendut dan orang ke dua tinggi kurus, dua bentuk tubuh yang berlawanan. Setelah mereka tiba di depan mereka, nampaklah si gendut pendek itu berkepala botak dan si tinggi kurus itu matanya sipit sekali.
Kalau si gendut itu seperti orang menyeringai tersenyum terus, si kurus itu mulutnya tiada hentinya cemberut."Hek I Siang-mo (Sepasang Iblis Baju Hitam), kalian baru datang?"
Kata Siang Bwee sebagai salam kepada dua orang berpakaian hitam yang usianya sekitar lima pulun tahun itu.Mereka adalah Thian-te-mo dan Im-yang-mo, keduanya dikenal sebagai Hek I Siang-mo dan mereka menjadi pembantu-pembantu setia dari Nam Tok. Mereka memberi hormat kepada Nam Tok dengan membungkuk dalam, kemudian memberi hormat pula kepada Siang Bwee.
"Nona Bwee, ternyata telah tiba lebih dulu, heh-heh-heh."
Kata Thian-te-mo sambil tersenyum lebar.
"Ceritakan hasil penyelidikan kalian."
Kata Nam Tok singkat.
Akan tetapi sebelum dua orang itu menjawab, tiba tiba saja ada bayangan berkelebat dan San Hong telah berdiri di depan mereka dengan mata berkilat.
"Kiranya kalian ini yang berjuluk Hek I Siang-mo. Kalian yang enam tahun lalu membunuh penduduk dusun Po-lim-cun di kaki Pegunungan Thian san". Dua orang datuk sesat itu saling pandang, lalu Thian-te mo si gendut pendek yang selalu menjadi juru bicara mereka berdua, mengamati Sun Hong dan bertanya.
"Orang muda, siapakah engkau? Kami tidak mengenalmu."
"Namaku Kwee San Hong. Orang tuaku tinggal di dusun Po-lim-cun dan menjadi korban pembunuhan yang kalian lakukan terhadap penduduk dusun itu."
Thian-te mo menyeringai lebar.
"Hemmm kami sudah lupa lagi. lalu kalau benar begitu, engkau mau apa, orang muda?"
"Bersiaplan kalian untuk menebus dosa. Aku akan membunuh kalian!"
Kata San Hong marah.
Thian-te-mo terkekeh.
"Engkau? Mau membunuh kami? ha-ha-ha, jangan melawan di sini....."
"Jahanam, lihat seranganku!"
Bentak San Hong dan dia sudah menyerang dengan tamparan kedua tangannya secara bertubi ke arah Thian-te-mo dan Im-yang-mo. Dua orang datuk sesat itu tadinya memandang rendah kepada San Hong, maka mereka sambil mendengus mengangkat lengan menangkis dengan pengerahan tenaga untuk mematahkan tulang kedua lengan pemuda yang mereka anggap lancang itu.
"Dukkk! Dukkk!"
Dua orang itu terpelanting ke kanan kiri! Mereka terkejut bukan main. Kiranya pemuda itu memiliki tenaga yang amat kuat sehingga bukan tulang kedua lengan pemuda itu yang patah-patah, melainkan tulang lengan mereka yang rasanya remuk! Mereka cepat bergulingan lalu meloncat berdiri, sekali ini dengan marah mereka siap melawan pemuda itu.
"Hong ko.....!"
Siang Bwee hendak meloncat maju, akan tetapi lengannya dipegang oleh ayahnya. Ketika ia menoleh, ayahnya tersenyum menggeleng kepala.
"Biarkan dulu mereka berlatih. Aku ingin melinat kemajuan San Hong."
Siang Bwee mengenal watak ayahnya yang aneh, maka ia pun diam saja, hanya siap membantu kalau San Hong terancam bahaya, juga ia tidak ingin San Hong membunuh dua orang itu sebelum mereka itu mengaku telah membunuhi orang tua San Hong dan penduduk dusun Po-lim-cun. Sementara itu, Pak Ong, puterinya dan muridnya hanya diam saja karena menganggap bahwa keributan itu tidak ada sangkut pautnya dengan mereka.
San Hong mengamuk dan menyerang bagaikan seeekor naga marah. Dua orang datuk itu kini terdesak dan mereka semakin terkejut. Baru mereka tahu bahwa mereka berhadapan dengan seorang pemuda yang amat linai. Yang membuat mereka semakin gentar adalah ketika melihat betapa Nam Tok dan puterinya hanya diam saja. Ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara pemuda lihai ini dengan mereka, maka tentu saja hal ini amat menggelisahkan hati. Mereka mencoba untuk bertahan dan balas menyerang, namun gerakan San Hong terlalu cepat dan kuat sehingga mereka terus terdesak. Tiba-tiba San Hong mendesak Tnian-te-mo dengan tamparan tamparan yang amat kuat. Si gendut pendek itu kehilangan senyumnya dan dia bertahan dengan tangkisan-tangkisan kedua lengannya.
Pada saat itu, Im yang mo menyerang dari belakang, memukulkan tangan kanannya ke arah punggung San Hong. Pemuda ini tidak menghentikan desakannya terhadap Thian-te-mo, seolah tidak melihat datangnya pukulan itu.
"Dukkk! Desss.....!"
Dua orang Hek I Siang mo itu terpelanting roboh! Thian-te-mo roboh oleh tamparan tangan kanan San Hong yang biarpun sudah ditangkis tetap saja masih mengenai pundaknya, sedangkan Im yang mo roboh setelah pukulannya mengenai punggung San Hong. Pukulan itu membalik dan hawa pukulannya menghantam dirinya sendiri. Kiranya diam-diam San Hong telah mengerahkan tenaga sin-kang Perisai Diri yang dipelajarinya dari Lo Koay sehingga ketika hantaman tiba, maka tubuhnya bagaikan perisai kokoh kuat yang membuat hawa pukulan itu membalik menyerang si pemukul sendiri! San Hong hendak melompat untuk menghabisi dua orang musuhnya itu, akan tetapi Siang Bwee meloncat dan merangkul pinggang San Hong dari belakang.
"Suheng, jangan! Engkau belum yakin benar bahwa mereka yang melakukan pembunuhan itu!"
Karena pinggangnya dirangkul kekasihnya, San Hong tidak berani meronta dan dia pun hanya memandang kepada dua orang yang mulai merangkak bangun itu dengan sinar mata berkilat.
"Mereka telah membunuh ayah ibuku! Mereka telah membunuh penduduk dusun kami, aku harus membalas kematian semua orang itu!"
Kata San Hong dengan marah.
Siang Bwee tetap melingkarkan lengannya di pinggang San Hong dan kini gadis itu berkata kepada Hek I Siangmo.
"Siang mo, kami sudah melakukan penyelidikan ke dusun Po-lim-cun dan ada saksi yang mengatakan bahwa yang membunuh orang-orang dusun itu bukanlah ayahku, melainkan perampok-perampok dan juga kalian. Nah, sekarang saatnya kalian bicara terus terang. Kalau tidak, aku akan membiarkan Suheng membunuh kalian!"
Sepasang Iblis Baju Hitam itu memandang ke arah Nam Tok, wajah mereka gelisah. Mereka memang serba salah. Kalau hendak mengaku, mereka takut kepada Nam Tok. Kalau tidak, mereka takut kepada San Hong dan Siang Bwee.
"Hah, dalam keadaan seperti ini, mengapa ribut-ribut urusan pribadi? Kalian ceritakan saja sebenarnya apa yang terjadi."
Kata Nam Tok dengan sikap acuh. Thian-te-mo menarik napas lega, kemudian dia memandang kepada San Hong dan berkata,
"Terus terang saja, ketika malam itu kami berdua tiba di dalam dusun yang sedang dirampok, kami melihat penduduk melawan para perampok yang dipimpin oleh Tiat-liong Mo-ko. Perlawanan yang sia-sia. Banyak sudah orang dusun yang tewas, diantaranya suami isteri yang agaknya memimpin penduduk dusun yang gagah perkasa."
"Ceritakan bagaimana rupanya suami isteri itu!"
San Hong berkata dan suaranya terdengar dingin dan penuh ancaman.
"Yang pria berusia sekitar lima puluh tahun, isterinya beberapa tahun lebih muda. Orang itu bertubuh tinggi besar, memegang sebatang tombak. Isterinya tidak pandai berkelahi akan tetapi penuh semangat memberi dorongan kepada penduduk....."
"Siapa membunuh suami isteri itu?"
"Mereka pun roboh oleh Tiat-liong Mo-ko. Kami adalah dua orang yang suka berkelahi. Melihat perkelahian yang berat sebelah itu, kami lalu terjun ke dalam medan pertempuran dan mengamuk. Mula-mula Tiat-liong Mo-ko kami bunuh, lalu seluruh anak buahnya yang belasan orang, tidak ada satu pun yang lepas. Ha-ha-ha!"
"Dan ada pula penduduk dusun yang kalian bunuh?"
Tanya Siang Bwee.
Im-yang-mo hanya cemberut saja, Akan tetapi Thian-te-mo menyeringai ketika, berkata.
"Kami mana tahu? Kami tidak dapat membedakan mana perampok mana penduduk. Kami hanya main sikat saja!"
"Hong-ko, eh, Suheng. Hek I Siang-mo ini memang haus darah. Mereka membunuh siapa saja tanpa pandang bulu. Kalau dihitung, mereka ini bahkan telah berjasa membunuh semua perampok berikut kepala mereka yang sudah membunuhi orang tuamu. Kurasa hal ini tidak perlu diperpanjang. Pembunuh orang tuamu telah terbunuh dan urusan ini sudah habis. Bukankah begitu, suheng?"
San Hong termenung. Dari Thian-san Ngo-sian dia sudah mendengar banyak tentang kehidupan para datuk sesat yang sama sekali tidak pernah memakai aturan. Siapa membunuh siapa, dengan alasan apa pun, agaknya bukan hal yang aneh bagi mereka. Lebih aneh lagi sikap Nam Tok, ayah Siang Bwee. Kakek itu sama sekali tidak melakukan pembunuhan terhadap penduduk dusun, kenapa dia mengakui semua pembunuhan itu? Kalau mencari nama besar dengan mengaku menjadi pembunuh keji, sungguh cara mencari nama yang aneh sekali. Bukan nama besar yang diperoleh, melainkan nama busuk, tersohor busuk.
"Sudahlah, cukup semua urusan pribadi ini. San Hong, sebagai muridku engkau harus tunduk kepada perintahku. Sekarang kita harus pergi ke puncak, lihat, bulan purnama mulai naik, Siang-mo, ceritakan laporanmu."
"Kami melihat kedua lo-cian-pwe Tung Kiam dan See Mo berada di puncak. Ada banyak sekali orang, puluhan mungkin sampai seratus orang Mongol bersembunyi di sekitar puncak, di utara, timur dan barat. Sikap mereka mencurigakan sekali. Juga kami melihat banyak bayangan berkelebat di hutan sebelah selatan puncak."
"Nah, yang di utara timur dan barat itu adalah orangorang Mongol yang membuat baris pendam. Sedangkan yang di hutan sebelah selatan adalah kawan-kawan kita,"
Kata Pak Ong.
"Bagus, kalau begitu jalan satu-satunya untuk mendaki puncak dengan aman dan tidak terjebak adalah melalui selatan. Mari kita berangkat!"
Kata Nam Tok.
"Nanti dulu, Ayah!"
Tiba-tiba Siang Bwee berseru.
"Eh, ada apa lagi, Siang Bwee?"
Tanya Nam Tok.
"Ada dua hal penting yang perlu kita pertimbangkan.
Pertama, pertemuan puncak adalah pertemuan antara Empat Datuk Besar secara pribadi dan menyendiri. Biarpun kita semua sudah tahu bahwa Tung Kiam dan See Mo bersekongkol, akan tetapi sebaiknya kalau kita pura-pura tidak tahu akan hal itu agar mengurangi kewaspadaan mereka. Maka, sebaiknya diatur agar Ayah dan Paman Ji tidak melakukan pendakian berbareng. Hal itu akan menimbulkan kesan bahwa sudah ada apa-apa di antara Ayah dan Paman Ji sehingga pihak lawan akan berhati-hati."
"Aih, hebat sekali kecerdikan puterimu, Nam Tok. Aku setuju sepenuhnya. Mengapa kita sampai melupakan hal itu? Benar, kita memang harus pergi sendiri-sendiri agar tidak sampai menimbulkan kecurigaan mereka. Kalau begitu, biarlah rombonganku berangkat lebih dulu!"
Kata Pak Ong.
"Ada satu lagi!"
Kata Siang Bwee.
"Ayah akan menghadapi lawan-lawan tangguh, bagaimana mungkin Ayah tidak memegang Tongkat Naga? Hal itu akan menimbulkan dua macam kerugian. Pertama, Ayah akan menjadi bahan tertawaan karena sungguh janggal melihat Nam-san Tok-ong Ang Leng Ki maju ke medan laga tanpa tongkat saktinya! Ke dua, hal itu akan mengurangi wibawa Ayah dan juga membuat Ayah canggung kalau menghadapi lawan tangguh. Biarpun pertukaran senjata itu merupakan tanda ikatan jodoh, mengapa untuk sementara tidak ditukar saja dulu untuk keperluan pertemuan puncak ini?"
Biarpun dia seorang yang membenci penjajah Mongol, akan tetapi tetap saja Pak Ong adalah seorang datuk besar yang sesat yang selalu mempunyai watak yang licik seperti para datuk besar lainnya. Mendengar usul ini, diam-diam dia merasa khawatir. Dalam menghadapi Tung Kiam dan See Mo yang sudah bersekutu dan bersekongkol dengan orang Mongol dia memang membutuhkan kerja sama dengan Nam Tok. Akan tetapi setelah Tung Kiam dan See Mo dapat dikalahkan, dia harus dapat mengalahkan Nam Tok agar dia yang diakui menjadi datuk besar nomor satu di dunia! Kalau Nam Tok tidak memegang Tongkat Naga, tentu dia akan mampu menundukkan Nam Tok. Akan rugilah dia kalau Nam Tok memegang lagi tongkatnya.
"Ha-ha-ha! Nam Tok, jangan engkau kena bujukan puterimu yang cerdik luar biasa ini. Tongkat pusaka telah ditukar dengan pedang pusaka sebagai tanda ikatan jodoh. Tanda ikatan jodoh itu mana dapat ditukar-tukar lagi begitu saja? Seperti juga jodoh, mana bisa ditukar-tukar begitu saja? Nam Tok, engkau sendiri sudah menentukan pertukaran pusaka untuk tanda ikatan jodoh!"
Nam Tok tertegun dan tidak mampu menjawab. Di dalam hatinya, tentu saja dia akan lebih mantap dan kepercayaan pada diri sendiri akan menebal kalau dia memegang Tongkat Naga. Akan tetapi ucapan Pak Ong itu membuat dia tidak mampu membenarkan usul Siang Bwee. Kembali Siang Bwee yang membantah.
"Paman Ji Hiat, apakah Paman hendak memandang rendah kepada Ayah?"
Nam Tok merasa tidak enak.
"Siang Bwee, Pak Ong bukan memandang rendah, akan tetapi apa yang dikatakannya itu benar."
"Ayah, sudah puluhan tahun Tongkat Naga menjadi senjata pusaka Ayah, ikut suka duka Ayah dan ikut pula mengangkat nama besar Ayah. Kalau Ayah memegang Tongkat Naga, Ayah bagaikan harimau yang tumbuh sayap. Akan tetapi Ayah menukarnya dengan pedang. Namanya saja Pedang Asmara, mana bisa untuk bertanding! Paling-paling untuk bermain asmara. Aku masih belum percaya akan keampuhan pedang itu."
"Sudahlah, Nam Tok. Aku tidak ingin berbantah dengan putrimu, calon isteri muridku. Aku akan berangkat lebih dulu!"
"Nanti dulu!"
Siang Bwee berseru dan sekali kakinya bergerak, ia sudah menghadang di depan Pak Ong. Datuk besar ini lihai sekali, akan tetapi sekali ini dia terkejut menyaksikan gerakan itu, gerakan yang luar biasa cepatnya. Dia tidak tahu bahwa gadis itu menggunakan ilmu Langkah Berlingkar yang dipelajarinya dari nenek Coa Eng Cun!
Berkerut alis Pak Ong ketika dia menatap wajah gadis itu dan suaranya terdengar penuh teguran.
"Ang Siang Bwee, engkau calon isteri muridku, berani engkau menghalangi langkahku?"
"Aku sama sekali tidak ingin menghalangi, Paman Ji. Aku hanya ingin engkau mendengar dulu kata-kataku. Kita semua tahu belaka bahwa Tung Kiam dan See Mo telah bersekongkol dan bersekutu dengan orang Mongol dan bahwa kita harus membasmi anjing-anjing pengkhianat. Ayah dan Paman keduanya adalah patriot-patriot sejati, tentu akan bekerja sama menentang para pengkhianat. Tentu saja Paman menghendaki agar Ayah dapat turun tangan dengan kekuatan sepenuhnya agar kita dapat membasmi musuh. Akan tetapi, mengapa Paman tidak mengembalikan tongkat Ayah untuk sementara? Apakah Paman tidak percaya kepada Ayah? Ketahuilah, Paman. Bagi Ayah, janjinya jauh lebih berharga daripada segala macam senjata pusaka! Itulah sebabnya maka aku minta agar tongkat itu dikembalikan dulu kepada Ayah, dan pedang itu akan dikembalikan kepada pemiliknya?"
Siang Bwee mengerling ke arah Tiong Sin yang memegang tongkat itu dan ia melihat betapa wajah pemuda itu membayangkan kegembiraan.
Memang, Tiong Sin merasa canggung memegang tongkat naga itu yang baginya terlalu panjang dan terlampau berat. Juga, dia agak gelisah harus berpisah dari Pedang Asmara yang amat diandalkannya itu. Dia ingin mendapatkan Siang Bwee, akan tetapi juga tanpa mengorbankan pedangnya. Maka, usul yang diajukan Siang Bwee itu sungguh menyenangkan sekali baginya.
"Maaf, Suhu,"
Katanya.
"Teecu (murid) kira apa yang dikatakan nona Ang Siang Bwee itu memang tepat sekali. Kita menghadapi musuh-musuh yang tangguh, maka perlu mempersiapkan diri sekuat mungkin. Bukan hanya Ang Locian-pwe yang akan merasa kurang mantap kalau tidak memegang Tongkat Naga, akan tetapi teecu sendiri juga merasa canggung kalau tidak menggunakan pedang teecu. Untuk menghadapi peristiwa penting ini, tidak ada salahnya kalau untuk sementara kedua pusaka ditukar dan dikembalikan kepada pemilik masing-masing."
Pak Ong bukan orang bodoh dan dia memang dapat melihat kebenaran ucapan muridnya itu.
Kalau tadi dia bersikap menolak adalah karena dia ingin mempertahankan gengsinya.
"Bagaimana pendapatmu, Nam Tok?"
Dia bertanya kepada rekannya itu. Nam Tok balas memandang.
"Hemmm, tergantung kepadamu. Pak Ong, apakah engkau percaya kepadaku ataukah tidak."
Jawaban ini saja sudah cukup.
Kalau dia menyatakan tidak percaya, tentu Nam Tok akan merasa terhina dan mereka akan bentrok sendiri! Dia sudah mengenal benar watak Nam Tok yang tidak banyak bedanya dengan wataknya sendiri. Kini dia harus mengakui kecerdikan Siang Bwee. Gadis itu dengan segala macam sikap dan kata-katanya ternyata telah mengatur siasat yang sedemikian rapi dan halusnya sehingga dia dan Nam Tok seolah-olah "terpaksa"
Dan tidak mungkin lagi untuk tidak menukar senjata pusaka Itu! Dan memang penukaran itu akan amat menguntungkan. Setidaknya, Nam Tok dan juga Tiong Sin akan dapat menjadi tenaga bantuan yang lebih kuat dibandingkan kalau mereka menukar pusaka.
"Tiong Sin, serahkan kembali Tongkat Naga kepada calon mertuamu, dan kau-terima kembali untuk sementara pedang pusakamu itu."
Pedang Asmara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Katanya memerintah. Tiong Sin melangkah maju dengan wajah riang, memberi hormat kepada Nam Tok dan menyerahkan tongkat itu dengan kedua tangannya.
"Harap Lo-cian-pwe suka menerima kembali Tongkat Naga ini untuk sementara."
Kalau menurunkan wataknya, Nam Tok merasa enggan untuk mengembalikan Pedang Asmara. Biasanya, sekali dia menginginkan sebuah benda, siapapun tidak akan mampu merampasnya kembali dan dia pun tidak ingin mengembalikan pedang itu. Akan tetapi, dia memang membutuhkan Tongkat Naga sekali ini, dan dia merasa ngeri membayangkan apa yang dikatakan puterinya tadi, yaitu dia ditertawakan oleh Tung Kiam dan See Mo, bahkan lebih celaka lagi, tanpa Tongkat Naga dia akan kalah oleh mereka! Maka, terpaksa dia pun menerima tongkatnya dan melolos pedang bersama sarungnya dari punggung dan melemparkan kepada Tiong Sin. Pemuda ini menyambutnya dengan girang bukan main dan cepat menalikan pedang itu di punggungnya. Sekarang Tiong Sin merasa dirinya baru lengkap dan besar hati!.
Sejak tadi San Hong mengikuti semua aksi yang dilakukan Siang Bwee dengan jantung berdebar. Tentu saja dia khawatir kalau-kalau pedang yang dipertukarkan itu dicabut dan ketahuan bahwa pedang itu palsu. Sedangkan pedang aselinya berada di balik jubahnya! Akan tetapi hatinya lega karena Tiong Sin langsung saja menyimpan pedang itu tanpa melihat isinya. Pemuda yang jujur ini sama sekali tidak tahu bahwa hal itu memang sudah diperhitungkan masak-masak oleh Siang Bwee. Gadis ini sama sekali tidak merasa khawatir kalau-kalau Tiong Sin memeriksa pedangnya. Murid Pak Ong itu pasti tidak berani melakukan hal itu, karena bukankah perbuatan itu sama saja dengan memperlihatkan ketidakpercayaan kepada Nam Tok? Itu dapat diterima oleh Nam Tok sebagai penghinaan dan tentu ayahnya akan marah sekali.
Andaikata hal itu terjadi, yaitu andaikata Tiong Sin mencabut dan memeriksa pedangnya, Siang Bwee sudah mempersiapkan akal yang lebih cerdik lagi. Kalau Tiong Sin mengetahui bahwa pedang itu palsu, maka ia bahkan akan menuduh pemuda itu menipu ayahnya dan memberikan sebatang pedang palsu kepada ayahnya! Kiranya tak seorang berani menuduh ayahnya memalsukan dan mencuri pedang! karena kalau ada yang berani, tentu Nam Tok takkan mau sudah sebelum menghancurkan kepala orang yang menuduhkan melakukan kecurangan itu! Biarpun hatinya meresa tidak nyaman dengan penukaran pusaka itu, namun Pak Ong menutupinya dengan suara ketawanya.
"Ha-ha-ha, aku percaya sepenuhnya bahwa Nam Tok takkan pernah mau melanggar janjinya. Kita kini menjadi satu keluarga untuk menghadapi musuh-musuh yang harus kita basmi. Nam Tok, kita adalah besan ganda. Puteriku dan muridku menjadi mantu-mantumu, sedangkan puterimu dan muridmu menjadi mantu mantuku. Nah, mari kita sekeluarga berangkat dan menang!"
Sambil
(Lanjut ke Jilid 33)
Pedang Asmara (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 33
berkata demikian, Pak Ong mendahului mereka melangkah maju untuk mendaki puncak itu melalui arah selatan. Nam Tok tidak menjawab, hanya melangkah lebar menyusul dan berjalan di samping Pak Ong.
Siang Bwee yang bertemu pandang dengan San Hong, mengedipkan matanya dengan lucu dan ia pun tanpa ragu atau sungkan lagi menggandeng tangan San Hong dan diajaknya pemuda itu berjalan cepat mengikuti dua orang kakek itu. Biarpun hati mereka merasa tidak senang melihat tunangan masing-masing itu saling bergandeng tangan, namun Kui Lan dan Tiong Sin tidak berani berbuat sesuatu dan mereka pun mengikuti dari belakang dengan bersungut-sungut.. Sementara itu, keadaan di kota raja Yen-king masih tetap kacau balau berhubung dengan kepergian Kaisar Wai Wang yang lari mengungsi ke selatan. Perbuatan Kaisar Wai Wang ini yang membuat Nam Tok menjadi muak dan dia meninggalkan Istana dan kota raja.
Bukan hanya Nam Tok yang merasa muak melihat sifat yang pengecut dan kaisar itu. Banyak menteri dan panglima juga merasa penasaran dan marah. Kaisar Wai Wang memang masih berusaha mempertahankan kekuasaannya dengan meninggalkan putera mahkota. Para ponggawa dan pangeran berjiwa patriot segera berkumpul dan mereka ini yang mengambil keputusan untuk mempertahankan negara dari tangan orang Mongol dan bersumpah setia terhadap kerajaan, walaupun rajanya telah mengecewakan hati mereka! Akan tetapi banyak pula yang merasa tidak puas dan merasa tidak perlu lagi setia terhadap kaisar pengecut dan mereka inilah yang meninggalkan kota raja bahkan banyak pula yang menyeberang dan menyerah kepada pasukan Mongol, membantu musuh!
Para panglima dan pangeran yang masih setia terhadap Kerajaan Cin, mengerahkan segenap pasukan yang ada dan mereka itu membuat gerakan pembalasan ke utara. Mereka itu bertempur dengan penuh semangat karena merasa sakit hati, terutama didorong oleh perasaan kecewa melihat sikap kaisar mereka dan serbuan-serbuan ke utara ini di luar dugaan berhasil dengan baik. Mereka memperoleh kemenangan dan berhasil merobohkan benteng-benteng ke pos-pos penjagaan pasukan Mongol yang tersebar di banyak tempat itu.
Berita yang mengejutkan ini terdengar oleh Jenghis Khan dan dia menjadi marah. Jenghis Khan mengirim pasukan besar yang paling baik untuk melakukan gerakan ke selatan dan mengejar Kaisar Wai Wang yang melarikan diri. Pada waktu itu musim dingin telah tiba, namun pasukan Mongol ini terus maju dengan pesatnya dan memaksa rombongan kaisar yang melarikan diri untuk terpaksa memasuki daerah Kerajaan Sung yang dahulu menjadi musuh lama Kerajaan Cin. Namun, pasukan Jenghis Khan itu mengejar terus sehingga akhirnya terpaksa sekali kaisar yang melarikan diri itu tanpa malu-malu minta tolong kepada Raja Sung.
Hanya oleh perintah dari Jenghis Khan yang mengirim kurir untuk memanggil kembali pasukan itu saja yang memaksa pasukan Mongol yang gagah berani itu untuk meninggalkan daerah Sung, menyeberangi Sungai Kuning yang sedang beku, kembali ke utara. Pengejaran oleh pasukan Mongol ini amat mengejutkan hati dan menggelisahkan perasaan Kaisar Wai Wang. Dia lalu mengirim utusan untuk memanggil putera mahkota agar menyusul keluarga kaisar lari ke selatan. Para ponggawa dan menteri setia merasa tidak setuju dan membujuk putera mahkota agar jangan pergi, akan tetapi karena Kaisar Wai Wang, berkeras, akhirnya putera mahkota terpaksa memenuhi perintah itu dan meninggalkan istana, lari mengungsi ke selatan! Kini kosonglah istana.
Hanya beberapa orang wanita dari keluarga kaisar yang tinggal dan di kota raja yang masih sunyi karena banyak penduduk lari mengungsi itu hanya tinggal para pejabat yang setia, orang-orang kebiri, dan pasukan penjaga yang masih dipimpin para perwira yang setia. Di antara mereka ini termasuk pula Yeliu Cutay. Dari yang menggantikan pimpinan di kota raja, menggantikan pangeran mahkota, adalah Pangeran Wang Yen yang menjadi panglima.
Pangeran Wang Yen adalah adik misan dari Kaisar Wai Wang dan dari darah ibunya dia adalah keturunan mendiang Pangeran Wang-yen Si Kan yang terkenal sebagai seorang jenderal yang amat gagah perkasa dan seorang pahlawan. Pangeran Wang-yen atau lengkapnya Wang-yen Ki Bu inilah yang memimpin para ponggawa dan panglima yang masih setia terhadap Kerajaan Cin dan dialah yang dengan mati-matian hendak mempertahankan kedaulatan Kerajaan Cin walaupun pasukan Mongol sudah mengepung dengan setengah lingkaran dari utara, barat dan timur? Di bawan pimpinan Pangeran Wang-yen yang patriotik inilah semangat para pasukan masih berkobar dan pantang menyerah.Kini Jengnis Khan menyusun kekuatan sepenuhnya untuk menyerang kota raja Yen-king. Dianggapnya saat yang paling baik telah tiba, kesempatan terbuka luas dengan larinya kaisar dari kota raja. Dia pun mendapat laporan tentang kacaunya kota raja, dan banyak pasukan yang menyerah dan bergabung dengan pasukan Mongol. Jengnis Khan sendiri kini telah berusia lima puluh lima tahun.
Tidak lagi dia memimpin sendiri pasukannya, apalagi karena kini tubuhnya mulai lemah akibat luka-luka yang pernah dideritanya dalam pertempuran. Namun otaknya masih bekerja dengan baik dan dia yang mengatur siasat penyerbuan ke Yen-king itu. Jengnis Khan menunjuk Panglima Muhuli yang berpengalaman untuk memimpin pasukan inti yang hanya terdiri dari lima ribu orang perajurit pilihan. Panglima Muhuli ini dibantu oleh Pangeran Ming-an, seorang pangeran dari Liao-tung. Dan sebagai perwira pendobraknya adalah Sabotai yang sudah seringkali memperlihatkan kegagahannya dalam semua aksi gerakan pasukan Mongol.
Sesuai dengan petunjuk Jenghis Khan, ketika pasukannya bergerak ke arah timur melalui Go-bi, Panglima Muhuli menerima para perajurit pelarian Yen-king. Mereka ini adalah perajurit-perajurit Cin yang tentu saja sudah hafal akan keadaan kota raja Yen-king dan dapat menjadi penunjuk jalan yang baik sekali. Setelan tiba di luar benteng Yen-king, pasukan Mongol itu mendirikan perkemahan di dekat tembok benteng.
Dengan bayaran tinggi dan janji muluk, para perajurit pelarian ini dijadikan mata-mata dan mereka menyusup dengan mudah ke dalam kota raja sebagai rakyat biasa. Dan mereka inilah yang bergerak di dalam, membuat kekacauan, menyebar berita bahwa kota raja telah dikepung oleh ratusan ribu orang tentara Mongol. Gegerlah kota raja setelah mendengar berita ini. Pangeran Wang-yen Ki Bu yang menjadi panglima, segera mengumpulkan seluruh pasukan dan menyerbu keluar. Terjadilah pertempuran pertempuran di luar benteng kota raja.
Sementara itu, di kota raja menjadi geger dan kacau balau. Banyak perwira yang menjadi kecut hatinya dan diam-diam mereka melarikan diri dari kota raja, membawa harta benda dan keluarga mereka. Para mata-mata Mongol yang bertugas mengacaukan keadaan, bersama para penjahat yang hendak mengambil kesempatan dalam kesempitan, mengail di air keruh, melakukan pembakaran dan perampokan-perampokan! Belum juga pasukan musuh memasuki kota,para penjahat telah lebih dahulu melakukan perampokan, pembakaran, pembunuhan dan perkosaan. Nafsu setan merajalela karena tidak ada pengekangan sama sekali, tidak ada pasukan keamanan karena semua pertahanan ditujukan untuk melawan pasukan Mongol. Para wanita dan pelayan, orang-orang kebiri, pengawal-pengawal istana Juga melarikan diri dari istana, tidak lupa untuk membawa barang-barang berharga dari Istana itu. Bukan itu saja, bahkan banyak perajurit mulai meninggalkan pasukan.
Bersama para penjahat ikut pula merampok. Dalam keadaan negara aman dan tenteram, di mana pasukan penjaga keamanan masih bertugas, banyak sekali orang memakai kedok kepura-puraan di muka mereka banyak orang munafik berkeliaran. Akan tetapi, kalau negara dalam keadaan kacau dan .tidak ada petugas keamanan yang mengatur, maka semua kedok ditanggalkan dan nampaklah belang dari setiap orang. Kita akan terkejut nelihat kenyataan betapa orang-orang yang tadinya kita anggap sebagai orang baik-baik, tiba-tiba saja berubah menjadi hamba setan penuh kemurkaan, dendam kebencian dan kekejaman yang mengerikan.
Pasukan pemerintah yang bertempur melawan pasukan Mongol di luar kota raja, mengalami pukulan hebat dan banyak di antara mereka yang roboh dan lebih banyak pula yang melarikan diri. Dengan latar belakang pemerintah yang sudah rapuh itu, mana dapat menimbulkan semangat juang yang besar dalam pasukan? Kekalahan demi kekalahan mereka derita dan Panglima atau Pangeran Wang-yen Ki Bu kekurangan tenaga dalam pasukan pertahanan yang menjadi semakin lemah dan semakin kecil jumlahnya di samping semakin mengendur semangatnya. Kejatuhan kota raja hanya tinggal menanti saat saja rupanya.
Pangeran Wang-yen mencoba usaha yang terakhir. Dia mengumumkan bahwa semua penjahat yang melakukan perampokan, semua tawanan yang dipenjara diampuni dosanya kalau mereka mau menjadi perajurit, dan dia pun menjanjikan upah besar bagi para perajurit. Kalau perlu dia akan menghabiskan seluruh harta kekayaannya untuk membayar para perajurit. Namun, agaknya semua usahanya ini sia-sia saja belaka. Para perajurit dan rakyat sudah ketakutan dan semakin banyak saja yang melarikan diri mengungsi ke luar kota raja Yen-king.
Kini pasukan Mongol yang dibantu oleh perajurit perajurit Cin sendiri yang berkhianat, sudah mulai mendesak sampai ke pintu gerbang kota raja! Melihat bahwa semua usahanya untuk membela negara sia-sia belaka, pada sore hari itu Pangeran Wang-yen mengumpulkan seluruh keluarganya yang terdiri dari seorang isteri, tiga orang selir dan dua orang anaknya. Pangeran ini mempunyai lima orang anak akan tetapi tiga orang yang tertua, semua pria, telah gugur ketika memimpin pasukan melawan musuh. Kini tinggal dua orang anaknya yang ikut berkumpul di ruangan dalam gedung mereka. Seorang gadis berusia delapan belas tahun bernama Wang-yen Lin, puterl dari Isteri pertama dan adiknya Wang-yen Kong, laki-laki berusia enam belas tahun, putera dari selir.
Ketika tiga orang Isteri dan dua orang anak itu menghadap, Sang Pangeran sedang duduk menuliskan surat pada baju. kebesarannya. Seorang perajurit yang usianya sudah lima puluh tahun, berdiri di situ dengan sikap hormat. Perajurit tua ini adalah Tang Gun, yang sejak muda telah menjadi pengawal dan sahabat baik Pangeran Wang-yen Ki Bu. Melihat betapa suami mereka itu duduk menulis dengan muka pucat dan dengan pakaian serba putih, tiga orang wanita yang menjadi isterinya menghampiri, berlutut dan menangis. Wang-yen Lin dan Wang-yen Kong sudah cukup dewasa untuk mengerti apa yang sedang terjadi, dan mereka pun menjatuhkan diri dekat ibu mereka, ikut pula menangis. Keluarga itu maklum bahwa dalam keadaan putus asa, Pangeran Wang-yen Ki Bu akan mengorbankan nyawanya demi kesetiaannya. Pangeran Wang-yen Ki Bu membiarkan keluarganya menangis tanpa menghentikan tulisannya. Setelah selesai, barulah dia melempar alat tulis itu ke atas meja dan dia berkata dengan suara yang penuh wibawa.
Rajawali Emas Karya Kho Ping Hoo Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo Jodoh Si Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo