Ceritasilat Novel Online

Cheng Hoa Kiam 12


Cheng Hoa Kiam Karya Kho Ping Hoo Bagian 12



Baiknya ia dapat mendesak Kun Hong dengan ilmu pedang yang dimainkan dengan suling, berdasarkan Ilmu Silat Pat-sian-lo (Jalan Delapan Dewa) yang sudah diubah dan dicipta oleh Thian Te Cu. Dan lebih menguntungkan lagi pertempuran di rombongan lain juga berhasil baik. Pak-thian Koai-jin yang lebih banyak jumlah kawan yang berilmu silat tinggi, dapat mendesak lawan. Akhirnya Tok-sim Sian-li dan Bu-ceng Tok-ong. juga Hek-mo Sai-ong. tidak kuat lagi. Atas isyarat Bu-ceng Tok-ong, mereka bertiga melompat ke dalam barisan dan Hek-mo Sai-ong memberi aba-aba. Barisan panah lalu menghujankan anak panah ke arah Pak-thian Koai-jin berlima! Mereka adalah orang-orang lihai, akan tetapi menghadapi hujan anak panah ini tentu saja mereka tak berani melanjutkan pertempuran. Bahkan Pui Eng Lan yang tadi dengan gagahnya mendesak Hek-mo Sai-ong kini dalam sibuknya terluka sedikit pundaknya oleh sebatang anak panah. Lima orang ini terpaksa lari lagi turun gunung.

   Wi Liong melihat hal ini. cepat mengirim serangan maut sambil berseru keras. Hebat sekali pengerahan tenaganya, sampai-sampai pedang Cheng-hoa-kiam yang dipakai menangkis sulingnya terpental. Kun Hong terkejut dan saat itu digunakan oleh Wi Liong untuk berkelebat lenyap dari depannya.

   Kun Hong marah sekali.

   "Kejar mereka! Bunuh semua! Hujani anak panah."

   Akan tetapi. Pak-thian Koai-jin dan kawan-kawannya sudah berlari cepat sekali turun gunung, sedangkan Wi Liong sudah lenyap entah ke mana. Ke manakah perginya Wi Liong? Apakah dia juga jerih menyaksikan kehebatan pasukan lawan dan melarikan diri ketakutan?

   Thio Wi Liong takkan pantas disebut mund Thian Te Cu kalau dia takut dan melarikan diri. Apa lagi dalam keadaan seperti itu. di mana orang-orang yang dibelanya, karenanya ia anggap mereka itu di fihak yang benar, sedang terancam bahaya. Pemuda ini tadi sengaja mempergunakan kesempatan selagi keadaan ribut-ribut, untuk menyelinap pergi dari depan Kun Hong dan secara cepat sekali ia melakukan pengejaran terhadap perwira yang tadi ia lihat membawa pergi gadis langsing yang roboh oleh Tok-sim Sian-li. Perwira itu tadi membawa lari gadis itu dengan menunggang seekor kuda putih yang baik sekali dan cepat larinya.

   Berbeda dengan gadis-gadis lain yang dalam keadaan seperti itu pasti akan menjerit-jerit minta tolong. Siok Lan sama sekali tidak mengeluarkan suara. Dia maklum bahwa dia telah terjatuh ke dalam tangan musuh dan keselamatannya terancam bahaya hebat, namun gadis pendekar ini tidak takut sama sekali. Selama napasnya masih ada, ia tidak akan putus asa dan akan berdaya menolong diri sendiri.

   "Gadis jelita, kau manis sekali!"

   Berkali-kali perwira Mongol itu berkata. Perwira itu masih muda. tinggi besar dan mukanya buruk sekali. Sepasang matanya sipit sampai seperti meram terus, hidungnya bundar pesek dengan lubang hidung besar-besar, bibirnya tebal dan giginya kuning menjijikkan.

   "Sayang kau sudah dipesan oleh Kam-taihiap, kalau tidak...... hemmm, aku mau dipotong usiaku satu tahun kalau bisa mendapatkan engkau.........!"

   Dapat dibayangkan betapa mendongkol dan marah hati Siok Lan. Gadis ini mewarisi watak keras sekali seperti ibunya. Akan tetapi mulutnya tetap terkunci rapar-rapat bahkan melirik sedikit saja ia tidak sudi. Diam-diam ia mengerahkan seluruh tenaganya untuk membebaskan totokan yang masih membuat kaki tangannya lemas tak berdaya itu. Ia seperti seorang anak kecil dalam pondongan perwira itu. Masih baik nasibnya bahwa perwira ini tahu siapa adanya Tok-sim Sian-li dan Kam Kun Hong, maka ia sekali-kali tidak berani mengganggunya, sungguhpun kata-kata yang keluar dari mulutnya cukup menyakitkan hati.

   Perwira itu tahu ke mana harus membawa gadis tawanan ini. Ke kota raja Peking dan ke rumah gedung Kok-konghu (istana pangeran). Gedung ini merupakan kelompok istana di mana selain tinggal orang-orang Mongol. juga disediakan gedung-gedung untuk tempat bermalam orang-orang gagah yang dipandang tinggi sebagai tempat kehormatan. Tentu saja Bu-ceng Tok-ong. Tok-sim Sian-li, Kam Kun Hong juga Hek-nio Sai-ong bermalam di gedung-gedung ini.

   Dengan hati berdebar girang Siok Lan merasa bahwa jalan darahnya mulai pulih berkat usahanya yang tekun dan sungguh-sungguh. Ternyata Tok-sim Sian-li terlalu memandang rendah nona ini dan dikiranya totokannya itu akan membuat nona ini tidak berdaya untuk waktu yang cukup lama. Ia tidak tahu bahwa Siok Lan sudah memiliki lweekang yang cukup tinggi tingkatnya dan sebagai murid Siang-jiu Lo-thian Kwa Cun Ek, tentu saja ia sanggup memunahkan totokan ini. biarpun tidak secara serentak.

   Hatinya sudah girang sekali. Gatal-gatal tangannya. Ia sabar menanti, karena kalau tenaganya belum pulih betul, ia tidak berani gegabah menyerang perwira Mongol ini. Hampir rata-rata perwira Mongol memiliki kepandaian lumayan dan kalau dia gagal karena terlampau tergesa-gesa, bukankah berarti sia-sia saja usahanya selama ini?

   Tiba-tiba. seperti diterjang angin taufan, perwira itu terlempar dari atas kudanya, jatuh bergulingan di atas tanah dan Siok Lan juga ikut terlempar, terlepas dari pondongannya. Perwira itu cepat bangun berdiri, mencabut pedangnya, akan tetapi ia bengong terheran-heran memandang ke depan. Ternyata Wi Liong sudah berdiri di situ dengan suling di tangan dan sepasang matanya berapi-api memandang perwira itu penuh kemarahan dan kebencian!

   "Nona, jangan khawatir, aku akan menolongmu dari bangsat ini."

   Kata Wi Liong sambil memandang ke arah gadis yang masih duduk di atas tanah. Setelah berkata demikian, Wi Liong melangkah maju perlahan-lahan ke arah perwira itu, penuh ancaman.

   "Jangan sentuh dia!"

   Tiba-tiba gadis itu berseru marah dan melompat bangun.

   "Aku tidak butuh pertolonganmu! Biarkan aku sendiri membunuhnya!"

   Secepat kilat Siok Lan yang kini sudah pulih kembali sebagian dari kekuatannya itu menyerang perwira tadi. Akan tetapi perwira itu ternyata gesit juga, cepat dapat mengelak dan mengirim serangan balasan dengan pedangnya! Siok Lan terkejut, apa lagi setelah mendapat kenyataan bahwa tenaganya baru pulih tujuh bagian saja, dan sekarang dia bentangan kosong menghadapi lawan berpedang yang tidak lemah.

   Siok Lan menyerang terus, akan tetapi perwira itu membela diri mati- matian. Kalau saja gadis itu memegang pedang, kiranya biarpun tenaganya belum pulih semua, ia akan dapat menangkan lawannya. Atau. biarpun ia bertangan kosong, kalau tenaganya sudah pulih semua tentu ia takkan begitu sibuk.

   Tiba-tiba perwira itu mengeluarkan seruan kaget dan kakinya tertumbuk pada akar pohon, membuat ia roboh terguling! Kesempatan ini dipergunakan oleh Siok Lan untuk menendang pundaknya, membuat tangan kanannya lumpuh dan di lain saat pedang perwira itu sudah berpindah ke tangan Siok Lan. Sekali pedang itu berkelebat dan......... tubuh perwira itu lenyap, bagaikan terbawa angin melayang ke dalam jurang yang berada tak jauh dari tempat itu! Untuk sesaat Siok Lan melenggong, kemudian ia membalik dan memandang kepada Wi Liong dengan mata penasaran.

   "Kau manusia usilan! Mengapa tidak mengurus urusanmu sendiri dan mengejar sampai di sini?"

   Wi Liong gelagapan. Tak dinyana tak dikira pertolongannya akan disambut dengan sikap demikian galak.

   "Aku....... aku........ tadinya kukira kau berada dalam bahaya, nona......... maka aku mengejar ke sini."

   "Kau pcrduli apa aku dalam bahaya atau tidak?"

   Bentak Siok Lan marah- marah.

   Selagi Wi Liong "ap-ap, ep-ep"

   Sukar menjawab, gadis itu sudah membentak lagi.

   "Dan kenapa kau lancang-lancang menghalangiku membunuhnya, dan membunuh dia dengan tanganmu sendiri? Apa kau sengaja hendak memamerkan kepandaian? Apa kaukira di kolong langit ini hanya kau sendiri yang pandai? Pemuda sombong!!"

   Wi Liong berdiri seperti patung dengan muka bodoh. Ia diberondong caci maki, dan gadis itu kelihatan betul-betul marah sekali kepadanya. Ia benar-benar tidak mengerti. Masa gadis ini demikian buruk wataknya? Akan tetapi benar- benar ia merasa lebih heran terhadap perasaan hatinya sendiri. Kenapa melihat gadis itu memaki-makinya dan marah-marah malah nampak lebih manis?

   "Maafkan, aku sebanyaknya nona. Bukan sekali-kali aku hendak memamerkan kepandaian. Aku seorang bodoh, kepandaian apakah yang patut dipamerkan? Aku hanya......... hanya merasa sayang kalau kau mengotorkan tangan melakukan pembunuhan."

   Siok Lan masih mendongkol. Pertama-tama ia marah karena sakit hati mendengar pemuda itu menyatakan tidak suka ditunangkan dengan puteri Kwa Cun Ek atau dirinya sendiri. Kedua kalinya ia yang hendak membantu pemuda ini malah ditawan, dan sekarang malah ditolong oleh pemuda ini. Benar-benar memalukan sekali, pikirnya. Alangkah kecil tak berarti aku tampak di depan matanya, pikir Siok Lan kecewa, mendongkol dan marah. Ketika ia melirik dan melihat pemuda itu memandang kepadanya dengan mata mengandung penuh penyesalan dan minta maaf, ia memutar tubuhnya dan pergi dari situ cepat-cepat sambil membawa pedang rampasannya tadi.

   "Nona. kau hendak ke manakah?"

   Wi Liong bertanya, agaknya kaget melihat nona itu tiba-tiba meninggalkannya.

   Tanpa menoleh Siak Lan menjawab.

   "Ke mana aku pergi ada sangkut-paut apakah dengan kau?"

   Mendengar jawaban ketus ini. Wi Liong menarik napas panjang. Memang kalau dipikir-pikir betul juga teguran nona ini. Ia bertanya-tanya maksud kepergian orang ada perlu apakah? Dengan hati sedih Wi Liong melihat betapa tubuh langsing menarik itu berlari cepat sekali pergi dari situ. Tiba-tiba ia mendengar ringkik kuda. Ia menoleh dan melihat kuda putih bekas tunggangan perwira yang sudah ia lemparkan dengan hawa pukulan ke dalam jurang itu berada di bawah pohon. Aah. ada jalan untuk menyenangkan hatinya, pikirnya girang. Cepat ia melompat dan dengan mudah ia menangkap kuda itu pada kendalinya. Lalu ia melompat dan membedal kuda itu mengejar nona cantik menarik tadi.

   "Kuda bagus."

   Pikirnya.

   "Dia tentu senang melihat perhatianku."

   Kuda itu memang kuda baik sekali, kuda yang tinggi besar dan dapat berlari cepat. Tak lama kemudian Wi Liong dapat menyusul nona itu. Dari jauh ia sudah berteriak-teriak,

   "Nona. harap tunggu sebentar!"

   Siok Lan berhenti dan menengok, mukanya tetap cemberut.

   "Ada apa lagi kau mengejar-ngejar aku?"

   Wi Liong merasa bingung lagi. Entah mengapa dia yang biasanya tenang-tenang saja, menghadapi nona ketus galak ini mendadak menjadi bingung dan pemalu. Akan tetapi diam-diam ia merasa penasaran juga. Nona ini benar-benar tak memandang mata kepadaku, pikirnya. Hemm, kalau bukan dia, kalau bukan dia yang membikin hatinya demikian kacau-balau tidak karuan tentu ia sudah meninggalkan gadis itu dan selamanya takkan mau melihatnya lagi!

   "Nona. kalau kau melakukan perjalanan jauh. lebih baik kau memakai kuda ini supaya tidak lelah dan perjalananmu dapat dilakukan lebih cepat. Aku sengaja menangkap kuda ini untuk kuberikan kepadamu. Pakailah!"

   "Aku tidak pergi jauh! Aku hendak kembali kepada kawan-kawanku,"

   Jawab Siok Lan, sukar untuk bersikap keras dan ketus lagi melihat kebaikan pemuda ini. Juga diam-diam gadis ini girang di dalam hatinya dan bangga bahwa agaknya pemuda tunangannya yang di depan orang lain secara terang-terangan menyatakan tidak suka ditunangkan dengan dia, agaknya sekarang "ada hati"

   Padanya! Benar-benar lucu!

   Akan tetapi kalau dia tertawa di dalam hati, mukanya tetap cemberut. Tentu saja ia kaget dan heran ketika tiba-tiba Wi Liong yang tertawa. Wajah yang ganteng dan gagah itu kelihatan muda sekali, bahkan seperti muka bocah ketika tertawa, membuat orang yang melihat ia ketawa menjadi ketularan dan ingin ikut-ikut tertawa.

   "Ha-ha. kau lucu, nona. Kalau kau hendak kembali ke sana, bukan ini jalannya, seharusnya ke sana. Kau telah salah jalan! Mari kau kuantar saja. nona. Duduklah di kuda ini. biar aku berjalan kaki di belakang kuda.

   "

   "Tak usah, aku bisa berjalan sendiri."

   "Apa boleh buat,"

   Wi Liong menghela napas.

   "Sayang kalau kuda ini tidak dipakai. Apa kau berkeberatan kalau aku berjalan bersamamu?"

   "Kau naiki saja kudamu, aku tidak butuh melakukan perjalanan bersama orang lain. Laginya. kau seorang pemuda, sudah bertunangan lagi. Bukankah amat mencemarkan namaku kalau orang melihat aku bersamamu? Tunanganmu akan marah-marah dan aku yang akan mendapat nama busuk! Cih, kau laki-laki tidak setia!"

   Wi Liong tersenyum dan menjalankan kudanya terus di samping nona itu. Ucapan nona itu menarik perhatian dan menimbulkan harapan baru baginya. Jadi nona ini bersikap keras dan ketus kepadanya hanya kaarena dia sudah bertunangan.

   "Nona, percayalah bahwa aku belum tentu akan suka berjodoh dengan orang yang dipaksakan menjadi tunanganku itu."

   "Kau......... kau orang puthauw (tidak berbakti)!"

   Cela gadis itu.

   "Tidak, nona. Aku akan mentaati perintah pamanku dalam segala hal, akan tetapi dalam hal perjodohan, aku tidak mau dijerumuskan begitu saja. Aku belum pernah melihat gadis yang ditunangkan dengan aku, akan tetapi aku......... aku tidak suka kepadanya."

   "Mengapa?"

   "Dia puteri Siang-jiu Lo-thian Kwa Cun Ek seorang tokoh kang-ouw yang terkenal. Dan aku mendengar bahwa ada sesuatu yang tidak beres antara tokoh itu dengan isterinya. Entah apa sebabnya pamanku (Lanjut ke Jilid 13)

   Cheng Hoa Kiam (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 13

   tidak memberi tahu, hanya memberi tahu bahwa tokoh itu sudah bercerai semenjak anaknya masih kecil. Anak dari suami isteri yang tak dapat menjaga kesetiaan macam itu ditunangkan dengan aku. Hemm tentu saja aku tidak mau. Tentu gadis itu wataknya tidak jauh dari ayah bundanya, tidak setia dan kasar!"

   Alangkah kagetnya hati Siok Lan mendengar ini dapat dibayangkan! Wajahnya menjadi pucat dan ia menahan-nahan diri untuk tidak menjerit menangis.

   "Kau percayalah, nona,"

   Kata pula Wi Liong sambil merenung karena ia merasa amat berduka kalau teringat akan keputusan Kwee Sun Tek yang menjodohkannya dengan seorang gadis yang tak pernah dilihatnya dan yang menjadi anak tunggal suami isteri yang tidak rukun.

   "Percayalah, begitu bertemu dengan engkau, hatiku memastikan bahwa hanya dengan seorang gadis seperti kau inilah kiranya aku mau berjodoh, dan........."

   Pada saat itu terjadi dua hal yang berbareng dan amat mengejutkan hati Wi Liong. Dari sebelah kanan, yaitu dari jurusan Kelenteng Siauw-lim-si itu kelihatan api berkobar tinggi dan pada saat itu pula terdengar seruan nyaring dan tahu-tahu gadis jelita itu menyerang Wi Liong dengan pedangnya dari samping. Gadis itu menusukkan pedangnya sambil melompat, serangannya hebat sekali!

   Namun Wi Liong telah memiliki kecepatan luar biasa. Melihat berkelebatnya sinar pedang, ia menggenjot tubuhnya melayang dari atas punggung kudanya dan ketika pedang itu menusuk lewat di depannya, ia cepat menangkap pergelangan tangan gadis itu.

   "Nona, apa yang kau lakukan ini?"

   Katanya dan di lain saat gadis itu telah ia tangkap dan ia dudukkan di atas punggung kuda yang sementara itu sudah lari lagi ke depan. Siok Lan berusaha melepaskan diri, namun ia sama sekali tidak berdaya. Wi Liong yang duduk di belakangnya sudah memegang kedua pergelangan tangannya, membuat ia tidak dapat berkutik.

   "Nona. tahan dulu kebencianmu kepadaku. Kau lihat di sana itu, kebakaran besar. Apa kau tidak ingat akan nasib para locianpwe? Entah apa yang telah terjadi di sana. Hayo kita cepat ke sana untuk menolong mereka!"

   Baru sekarang Siok Lan melihat cahaya api itu dan ia menjadi khawatir sekali. Paman gurunya berada di sana dan sahabat-sahabat lain termasuk....... ibunya! Karena ingin tahu apa yang telah terjadi di sana dan bagaimana keadaan para sahabat itu, ia tidak memberontak lagi dan Wi Liong segera melepaskan pegangannya, maiah pemuda itu cepat melompat turun lalu berlari cepat di samping kuda putih itu. Diam-diam Siok Lan kagum melihat pemuda ini yang begitu sopan, begitu lihai, begitu tampan dan begitu..... begitu menyakitkan hatinya!

   Setelah tiba kembali di tempat pertempuran tadi, mereka melihat hal yang hebat. Pasukan-pasukan Mongol sudah pergi, juga Pak-thian Koai-jin dan yang lain-lain tidak nampak lagi. Yang kelihatan hanya di seberang jurang. Kelenteng Siauw-lim-si yang megah dan kuat itu. kini menjadi makanan api! Ternyata kelenteng itu telah dibakar oleh Kun Hong dan kawan-kawannya untuk melampiaskan kemarahan mereka dan di antara para hwesio di situ. hanya Souw Lo Hosiang ketuanya saja yang berhasil menyelamatkan diri dengan jalan menuruni jurang melalui jalan rahasia. Sedangkan hwesio-hwesio lain yang kurang tinggi kepandaiannya, terbunuh semua!

   Dengan hati penuh kekhawatiran. Siok Lan mencari ke sana ke mari kalau- kalau melihat jejak kawan-kawannya. Ia baru bernapas lega ketika tidak melihat mayat kawan-kawannya.

   Akan tetapi biarpun tahu bahwa di antara rombongannya tidak ada yang tewas, ia masih gelisah juga. Siapa tahu kalau mereka itu tertawan oleh musuh seperti dia tadi?

   "Jangan khawatir, nona. Orang-orang seperti para locianpwe itu tidak sembarangan dapat ditawan. Aku percaya mereka itu sudah dapat menyelamatkan diri."

   "Mudah-mudahan begitu......."

   Kata gadis itu perlahan.

   Wi Liong melirik, melihat betapa wajah yang jelita itu nampak sedih. Ia tidak tahu bahwa gadis itu teringat akan ibunya dan ia masih terharu sekali. Pertemuan dengan ibunya, orang yang semenjak ia kecil sudah dirindukannya, juga amat dibencinya karena ibunya itu meninggalkan ayahnya yang ia tahu amat merindukan ibunya pula, pertemuan tadi benar-benar telah mengguncangkan hati dan perasaannya. Ia sendiri tidak tahu apakah dia cinta atau benci kepada ibunya. Ia memang merindukannya dan melihat ibunya begitu cantik, begitu gagah, ia menjadi bangga dan ingin sekali ia menangis dalam pelukan ibunya. Akan tetapi kalau ia teringat akan ayahnya, yang hidup menyepi dan menderita kesengsaraan batin akibat perginya ibunya, ia menjadi benci kepada Tung-hai Sian-li. Ia tidak tahu mengapa ibunya pergi meninggalkan dia dan ayahnya. Ayahnya hanya memberi tahu bahwa ibunya pergi, pergi semenjak ia masih amat kecil dan ayahnya selalu menggeleng kepala dan nampak sedih kalau ia bertanya sebab kepergian ibunya.

   Melihat sinar mata sedih di wajah gadis itu, Wi Liong merasa terharu dan kasihan.

   "Kau suka memaafkan aku atas kelancangan mulutku tadi. nona?"

   Tanyanya, merasa menyesal bahwa tadi. karena dorongan nafsunya, ia telah menyatakan perasaan hatinya yang mencinta, membuat gadis ini menjadi marah.

   Merah wajah gadis itu. ia menoleh dan menatap muka Wi Liong. Tidak cemberut lagi akan tetapi nampak sedih. Sedih karena ucapan Wi Liong tadi. yang menganggap ayah bundanya suami isteri tidak setia dan karenanya anaknyapun tentu tidak mempunyai hati setia!

   "Kau tidak marah lagi kepadaku, nona?"

   Siok Lan sadar kembali dari lamunannya.

   "Hemmm? Ah, mengapa aku harus marah? Asal kau tidak bicara yang bukan-bukan........"

   "Aku akan berlaku hati-hati. Bolehkah aku mengetahui siapa nama nona? Seperti kau ketahui aku Thio Wi Liong, anak keponakan paman Kwee Sun Tek. Aku seorang sebatangkara. tiada ayah bunda lagi....... dan aku......aku......"

   "Kau tunangan puteri Siang-jiu Lo-thian Kwa Cun Ek, calon mantu seorang tokoh kang-ouw!"

   Wi Liong menarik napas panjang. Ia menyesal sekali mengapa nona ini lagi-lagi mengemukan persoalan ini. Untuk menyimpangkan pembicaraan dari persoalan yang tak disukainya itu. Wi Liong pura-pura tidak mendengar dan melanjutkan kata-katanya,

   "Nona sudah tahu aku siapa, akan tetapi tentang dirimu sama sekali aku tidak tahu. Yang kuketahui hanya bahwa kau adalah murid keponakan kakek gagah perkasa yang mukanya seperti Kwan Kong itu. Kau siapakah, nona?"

   Bagaimana Siok Lan mampu menjawab? Tak mungkin ia bisa memperkenalkan dirinya sebagai Kwa Siok Lan, tunangan pemuda itu sendiri!

   "Apa sih gunanya kuperkenalkan nama? Tidak perlu sama sekali. Yang lebih perlu pada saat ini adalah mencari tahu di mana adanya susiok dan yang lain-lain. Nah. aku pergi!"

   Kata Siok Lan sambil mengeprak kudanya supaya lari cepat.

   Di tikungan jalan ia menengok dan masih melihat Wi Liong berdiri seperti patung memandang kepadanya. Siok Lan tersenyum geli dan membalapkan kudanya lebih cepat lagi keluar dari hutan itu menuju ke selatan. Akan tetapi, baru saja ia keluar dari hutan itu, ia telah dihadang oleh pasukan orang-orang Mongol yang dikepalai oleh tiga orang Perwira Mongol. Melihat nona yang tadi tertawan telah terlepas lagi dan menunggang kuda seorang diri saja. pasukan itu menjadi girang dan cepat para komandannya memerintahkan untuk menawan nona manis itu.

   Siok Lan tidak menjadi gentar. Dicabutnya pedang rampasannya tadi dan sambil mengajukan kudanya ia mengamuk. Sebentar saja beberapa orang serdadu Mongol roboh binasa. Yang lain-lain menjadi gentar juga. Perintah para komandan adalah untuk menawan si nona. dan hal ini jauh lebih mudah diperintahkan dari pada dilaksanakan.

   "Robohkan kudanya!"

   Bentak seorang perwira. Golok dan pedang berkelebatan dan kuda putih yang ditunggangi Siok Lan roboh. Kaki belakangnya luka-luka. Siok Lan terpaksa melompat agar jangan terbawa jatuh, akan tetapi ia disambut oleh keroyokan. Betul ia dapat menusukkan pedangnya yang amblas ke dalam perut seorang musuh, akan tetapi sebelum ia sempat mencabut pedangnya, ia telah disergap dan diikat.

   Akan tetapi pada saat itu, rombongan serdadu itu lari cerai-berai dan tiga orang perwiranya sudah terlempar ke kanan kiri seperti daun-daun kering tertiup angin. Sebentar saja mereka pada melarikan diri tunggang-langgang. Kiranya Wi Liong yang datang menolong. Dengan kepandaiannya yang tinggi, pemuda ini dapat melempar-lemparkan para serdadu yang tentu saja menjadi ketakutan melihat pemuda itu mengalahkan tiga orang komandan mereka dengan cara demikian mudah, seperti orang mencabuti rumput saja.

   Sebelum Wi Liong sempat membebaskan Siok Lan dari ikatannya,, baru dihampiri saja gadis itu sudah mengerahkan tenaganya dan memutus tali itu sampai kulit lengannya agak lecet-lecet. Melihat ini Wi Liong menggeleng kepala. Benar-benar seorang gadis yang amat angkuh!

   "Nona,, mari kutemani kau mencari susiokmu. Di daerah ini banyak sekali tentara Mongol yang dipimpin oleh perwira-perwira kosen, malah di sampingnya dibantu oleh orang-orang seperti Bu-ceng Tok-ong dan kawan-kawannya."

   Siok Lan memang seorang gadis yang keras hati dan angkuh. Pula ia mempunyai kepercayaan besar kepada diri sendiri. Kecelakaan yang menimpanya tadi. tertawan oleh musuh adalah karena di sana terdapat Tok-sim Sian-li yang kepandaiannya jauh lebih tinggi. Baru tadi ia hampir tertawan kembali oleh rombongan serdadu Mongol adalah karena ia terpelanting dari atas kudanya. Kalau tidak demikian, jangan harap pasukan kecil dengan tiga perwiranya itu dapat menangkap dia! Biarpun di daerah itu berkeliaran orang-orang Mongol. Siok Lan sama sekali tidak merasa takut. Akan tetapi, pemuda ini biarpun tanpa disengaja telah menghina dan menyakiti hatinya dengan pernyataan menolak pertunangannya dengan dia, namun tak dapat disangkal lagi telah memperlihatkan sikap yang amat ramah dan baik terhadap dia. Siok Lan maklum betul bahwa sekali pemuda itu tahu siapa dia. pasti pemuda itu akan menyesali pengakuan sendiri. Karena kebaikan sikap Wi Liong, Siok Lan merasa malu sendiri kalau terus-menerus memperlihatkan keangkuhannya.

   Ia tidak menjawab ajakan Wi Liong untuk menemaninya mencari kakek muka merah, hanya mengangguk. Dua orang muda itu berjalan pergi dari situ tanpa berkata-kata dan Siok Lan yang tidak begitu hafal akan daerah ini mengikuti saja arah yang ditempuh Wi Liong.

   Pemuda ini sendiri juga baru kali ini menginjak daerah utara, akan tetapi karena ketika berangkatnya ia melakukan penyelidikan secara teliti, ia masih hafal akan jalan menuju ke selatan. Ia dapat menduga bahwa rombongan orang gagah itu kalau sudah berhasil menyelamatkan diri tentu akan kembali ke selatan.

   Hari telah malam ketika Wi Liong dan Siok Lan tiba di tepi sungai yang mengalir di sebelah selatan kota raja. Keadaan di situ sunyi bukan main. Perahu-perahu yang nampak agak jauh bergerak-gerak perlahan di pinggir sungai, tak sebuahpun yang berisi manusia. Pada waktu seperti itu memang tidak pernah ada orang menyeberang.

   Tiba-tiba sebuah perahu yang berada dekat tempat mereka berdiri, bergerak dan sebuah kepala manusia menjenguk keluar.

   "Ji-wi mencari siapa?"

   Tanya suara yang parau. Keadaan gelap, tak dapat melihat muka orang itu kecuali bayangannya yang menyatakan bahwa dia seorang laki-laki berkepala bulat besar.

   "Kami hendak menyeberang.,"

   Jawab Wi Liong.

   "Dapatkah kau menyeberangkan kami?"

   Orang itu tidak menjawab dan kedua tangannya bekerja membuat api. lalu menyalakan obor yang diangkat tinggi-tinggi. Tangan kanan yang memegang obor itu bergerak-gerak untuk dapat menerangi wajah dua orang yang baru tiba. Akan tetapi pandang mata Wi Liong yang tajam dapat melihat betapa gerakan tangan itu aneh dan teratur, seakan-akan merupakan isyarat, bergerak-gerak dari kanan ke kiri dua kali berturut-turut, lalu dari depan ke belakang. Apakah gerangan maksud orang itu? Ia memandang teliti dan melihat bahwa sungguhpun pakaian orang itu seperti nelayan, namun sepasang matanya bersinar tajam dan tubuhnya nampak kuat berisi.

   Laki-laki setengah tua itu tercengang ketika melihat bahwa yang datang adalah seorang pemuda tampan dan seorang gadis cantik jelita.

   "'Malam-malam gelap begini ji-wi hendak menyeberang? Mengapa begitu tergesa-gesa? Lebih baik besok pagi saja."

   Kata orang itu sambil keluar dari perahunya.

   "Kami perlu menyeberang sekarang,"

   Kata Siok Lan ketus.

   "Apakah kau melihat tiga orang kakek, seorang nyonya dan seorang nona menyeberang sungai ini siang tadi?"

   Tanpa dilihat orang itu, Wi Liong menowel lengan Siok Lan, akan tetapi terlambat, gadis itu sudah mengajukan pertanyaan ini. Orang itu menggerakkan obornya sehingga mukanya bersembunyi di dalam gelap, hanya terdengar suaranya.

   
Cheng Hoa Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Tiga orang kakek aneh dan dua orang wanita cantik? Ada......ada....... malah aku sendiri yang menyeberangkan mereka sore tadi!"

   Kata tukang perahu itu, suaranya gembira sekali. Kembali obornya bergoyang-goyang, akan tetapi hanya Wi Liong yang dapat melihat ini tanpa mengetahui artinya. Siok Lan sama sekali tidak memperhatikannya, malah dengan girang gadis ini berkata.

   "Lekas seberangkan kami dan turunkan kami di tempat mereka tadi mendarat di seberang sana. Jangan khawatir, aku mau membayar sepuluh kali lipat dari pada biaya yang biasa."

   Kembali orang itu tertawa aneh. mengangguk-angguk dan mundur ke dalam perahunya.

   "Silahkan masuk, silahkan masuk.........!"

   Katanya.

   Wi Liong hendak menolak, akan tetapi Siok Lan sudah mendahuluinya melompat ke dalam perahu, terpaksa diapun melangkah ke dalam perahu itu.

   "Tentu akan terjadi sesuatu", pikirnya.

   "Tukang perahu ini mencurigakan sekali. Hendak kulihat dia akan berbuat apa".

   Tukang perahu itu menancapkan obornya di kepala perahu, lalu mengambil dayung, melepaskan tambang dari batang pohon, lalu mulai menggerakkan perahunya ke tengah sungai yang lebar itu.

   Siok Lan berdiri memandang ke seberang. Hatinya girang akan tetapi tidak sabar lagi, hendak cepat-cepat menyeberang dan mengejar rombongannya, terutama ingin sekali lagi bertemu dengan ibunya! Setelah bertemu dengan Wi Liong dan mendengar buah pikiran Wi Liong tentang perhubungan ayah bundanya, Siok Lan diam-diam mengambil keputusan untuk membujuk atau memaksa ibunya kembali kepada ayahnya!

   Wi Liong juga diam saja, duduk di belakang perahu sambil diam-diam memperhatikan tukang perahu yang mendayung perahunya perlahan-lahan, nampaknya sama sekali tidak tergesa-gesa. Akan tetapi orang itu mempergunakan tenaganya karena ia mendayung perahunya mudik, melawan arus sungai.

   "Sahabat tukang perahu, mengapa kau dayung perahu mudik?"

   Tanya Wi Liong sambil lalu agar tidak kentara bahwa dia menaruh hati curiga.

   Tukang perahu itu tertawa.

   "Orang muda. agaknya kau tak pernah naik perahu menyeberang sungai. Untuk menyeberang sungai, perahu harus didayung mudik lebih dulu agar ketika menyeberang terbawa arus sungai ke hilir, dapat tepat mendarat di seberang. Pula, bukankah nona ini minta supaya aku mendaratkan di tempat rombongan kakek-kakek aneh tadi? Nah. inilah jurusannya."

   Merah muka Wi Liong. Memang benar ucapan nelayan ini, ia sampai lupa untuk memperhatikan hal itu. Akan tetapi tetap saja ia menaruh hati curiga, apa lagi ketika dari seberang kelihatan bayangan empat buah perahu yang bentuknya sama benar dengan perahu ini, menuju ke tengah sungai seakan-akan hendak menjemput mereka! Akan tetapi ia diam saja dan makin memperhatikan tukang perahu itu yang kini menayung perahunya cepat-cepat.

   "Dukk!"

   Perahu itu tiba-tiba menempel pada perahu-perahu yang telah mengurung di depan dan kanan kiri.

   "Eh-eh, apa artinya ini?"

   Siok Lan berseru kaget dan mencabut pedangnya.

   Tukang perahu tertawa.

   "Kawan-kawan, dua ekor domba ini adalah teman-teman yang tadi!"

   "Bangsat, jangan kau main-main! Apa artinya ini?"

   Siok Lan mengancam tukang perahu dengan pedangnya. Akan tetapi tukang perahu itu tiba-tiba sudah memegang sebatang golok yang dipergunakannya untuk menangkis pedang itu.

   "Jangan kalian bergerak!"

   Bentaknya dengan suara mengancam.

   "Percuma saja melawan. Satu kali kugulingkan perahu, kalian akan menjadi makanan ikan! Lebih baik menurut dan menyerah saja!"

   "Jahanam, kau yang mampus lebih dulu!"

   Bentak Siok Lan sambil menyerang dengan pedangnya. Akan tetapi ia berteriak kaget dan terhuyung, terpaksa membatalkan niatnya menyerang ketika tiba-tiba perahu menjadi miring dan hampir saja ia terjungkal. Tukang perahu itu ternyata telah memegangi pinggiran perahu dan mengguncang-guncangnya! Kalau ia menjungkalkan perahu, celakalah Wi Liong dan Siok Lan yang tidak bisa berenang, sebaliknya tukang perahu itu tentu saja amat pandai.

   "Ha-ha-ha-ha........ auppp!"

   Tiba-tiba tukang perahu yang tadinya tertawa-tawa itu berhenti dan ia terduduk di kepala perahu, diam seperti patung batu! Sehelai tambang yang tadi dipakai mengikat perahunya, telah meluncur seperti ular dan tahu-tahu ujungnya menotok jalan darahnya, seketika membuat ia kaku. Tentu saja perbuatan lihai ini dilakukan oleh Wi Liong.

   "Bu Beng Siocia (Nona Tiada Nama), kau pegang dayung dan jaga perahu supaya tidak hanyut. Biar aku bereskan mereka!"

   Kata Wi Liong yang tidak mengenal nama nona itu sambil berkelakar.

   Siok Lan maklum bahwa saat genting itu amat berbahaya. Ia melompat dan mengambil dayung dari tangan tukang perahu yang sudah kaku. Ketika ia merampas dayung, tukang perahu itu roboh terguling ke dalam perahu, rebah miring tak bergerak seperti balok. Biarpun bukan ahli, kalau hanya menggerakkan dayung supaya perahu tidak berputar-putar saja Siok Lan sudah pandai.

   Sementara itu, melihat bahwa di tiap perahu terdapat dua orang yang berpakaian seperti serdadu Mongol, tahulah Wi Liong bahwa tukang perahu itu memang seorang mata-mata Mongol. Ia cepat melompat, bagaikan seekor burung hantu yang sukar diikuti mata gerak-geriknya. ia berloncatan dari perahu ke perahu. Terdengar seruan-seruan kesakitan dan orang-orang di dalam perahu itu sudah dapat dibikin tak berdaya dalam waktu singkat. Perahu-perahu mereka yang empat buah jumlahnya itu mulai hanyut berputaran dibawa arus sungai.

   "Jangan bunuh dia!"

   Teriak Wi Liong yang tahu-tahu telah melompat kembali ke dalam perahu dan mencegah Siok Lan yang hendak menusuk tukang perahu itu.

   "Lagi-lagi kau menghalang-halangiku,"

   Kata Siok Lan tak puas, akan tetapi tidak marah lagi. Ia kini makin kagum melihat sepak-terjang Wi Liong yang betul-betul memiliki kelihaian yang luar biasa sekali itu.

   "Apa kau lupa bahwa susiokmu dan yang lain-lain tadi juga menumpang perahunya? Kita bisa memaksa dia mengaku apa yang telah terjadi dengan mereka."

   Ingin Siok Lan menampar kepalanya sendiri. Mengapa ia begitu bodoh? Di samping ini, timbul rasa gelisahnya. Jangan-jangan susiok dan ibunya telah terpedaya oleh tukang perahu ini dan telah mengalami kecelakaan!

   "Lekas katakan, apa yang telah terjadi dengan rombongan itu!"

   Bentak Siok Lan, mengancam tukang perahu itu dengan ujung pedang, siap ditusukkan ke lehernya.

   Melihat betapa pemuda itu dengan mudahnya merobohkan semua kawannya, tukang perahu atau mata-mata Mongol itu menjadi pucat, tubuhnya gemetar dan ia berlutut di atas perahunya dengan kedua kaki lemas.

   "Ampun, aku......... aku hanya tukang perahu biasa....... aku tidak ikut- ikut.......!"

   "Bohong!"

   Siok Lan membentak marah.

   "Tak usah pura-pura, hayo lekas ceritakan apa yang terjadi dengan mereka."

   "Rombongan itu, tiga orang kakek dan dua orang wanita......... mereka menumpang perahuku, lalu datang pasukan kerajaan......... mereka menggulingkan perahu......... mereka menawan dua orang yang wanita. Tiga orang kakek berhasil melarikan diri........."

   Siok Lan menjadi pucat. Celaka, ibunya tertawan, bersama Pui Eng Lan.

   "Yang tertawan itu dibawa ke mana?"

   Kini Wi Liong yang bicara.

   "Mana aku tahu? Tentu ke kota raja........ ke mana lagi.........?"

   "Pergilah!"

   Siok Lan tak dapat menahan kemarahan hatinya lagi. Sekali tendang tukang perahu itu terlempar ke dalam air dan tidak timbul lagi.

   "Kita harus menolong mereka"

   Kata Wi Liong sambil mengambil dayung.

   "lebih dekat kita mengambil jalan melalui sungai itu, lebih cepat dan aman. Tentu di belakang penangkapan ini berdiri Kun Hong jahanam busuk itu"

   Siok Lan memandang dengan terima kasih. Tanpa pemuda ini. agaknya ia tidak mempunyai harapan untuk dapat menolong ibunya. Dengan pemuda ini di sampingnya, ia merasa kuat, aman dan sanggup melakukan pekerjaan yang betapapun beratnya. Ia hanya mengangguk dan mukanya tidak cemberut lagi.

   Pada keesokan harinya pagi-pagi sekali perahu mereka telah tiba di sebelah selatan kota raja. Siok Lan bangun dari tidurnya. Saking lelahnya, ketika ia duduk di dalam perahu, ia tertidur sambil menyandarkan tubuhnya pada papan perahu. Wi Liong mengemudi perahu hanyut oleh arus sungai, tidak berani mengeluarkan suara berisik agar dara itu tidak terganggu tidurnya. Makin dipandang makin meresap, makin lama makin mendalam perasaan kasih sayangnya kepada dara yang pemarah ini. Di balik sifat marah ini Wi Liong mendapatkan sesuatu yang menarik hatinya, mendapatkan watak yang mulia dan kedukaan yang menimbulkan kasihan di hatinya terhadap gadis ini.

   "Selamat pagi. Bu Beng Siocia."

   Kelakar Wi Liong menyambut gadis yang baru bangun itu.

   Siok Lan menggosok kedua matanya. Masih mengantuk rasanya. Lelah dan kurang tidur, lapar pula, membuat tubuhnya lesu.

   "Aku sampai tertidur tanpa kurasa."

   Katanya perlahan sambil mencuci muka dengan air sungai yang mudah saja dicapai tangan di pinggir perahu.

   "Apa kau tidak tidur?"

   Tanyanya, mengangkat mukanya yang menjadi segar kemerahan setelah digosok-gosoknya dengan air.

   Wi Liong tersenyum, menggeleng kepala.

   "Kau tidak mengantuk?"

   "Rasa kantuk sih ada, akan tetapi dapat kutahan. Melihat kau dapat tidur enak saja sudah puas hatiku."

   Wajah Siok Lan makin memerah. Tiba-tiba ia mengangkat mukanya lagi, memandang tajam sambil bertanya.

   "Mengapa kau begini baik terhadap aku?"

   Ketika mengajukan pertanyaan ini matanya bersinar dan bibirnya yang merah agak tersenyum, bukan main manisnya dalam pandangan Wi Liong.

   "Aku baik terhadapmu?"

   Wi Liong berkata sambil mengangkat alis dan menggerakkan bahunya.

   "Entahlah, ada sesuatu yang memaksa aku harus bersikap baik kepadamu, lebih kepada semua orang di dunia ini."

   "Apa maksudmu! Apa yang kau harapkan dari sikap baikmu ini? Tentu agar akupun bersikap baik dan suka kepadamu, bukan?"

   Wi Liong berdebar hatinya. Gadis ini luar biasa sekali. Sinar matanya menunjukkan bahwa di balik sinar mata itu terdapat kecerdikan yang tinggi, yang sekaligus sudah dapat menebak isi hatinya.

   "Tak perlu aku bicara panjang lebar dan berputar-putar, nona. Sungguhpun baru satu kali aku bertemu denganmu, bahkan namamupun aku belum tahu, akan tetapi ada sesuatu di dalam dadaku yang membuat aku amat suka kepadamu, membuat aku ingin selalu berada di sampingmu, membuat aku ingin selama hidupku menjadi pelindungmu. Memang ada pula perasaan yang menginginkan supaya kaupun suka kepadaku, akan tetapi, melihat kau selamat dan bebas dari pada bahaya dan kedukaan saja rasanya aku sudah puas!"

   Siok Lan adalah seorang gadis yang cerdik bukan main. Semenjak pemuda itu menolongnya untuk pertama kali, bahkan semenjak pemuda itu memandang kepadanya di Kelenteng Siauw-lim-si, ia dapat menduga bahwa pemuda ini jatuh cinta kepadanya. Pemuda ini, tunangannya, calon suaminya yang sah, jatuh cinta kepadanya dan pada saat itu juga, di depan orang lain menyangkal atau menolak ikatan pertunangannya dengan dia pula. Alangkah lucu dan anehnya! Dapat dibayangkan betapa hatinya menjadi bahagia, kecewa, marah dan banyak macam lagi teraduk menjadi satu. Ia merasa bahagia oleh karena melihat bahwa tunangannya ternyata seorang pemuda yang menarik hatinya. Tak dapat disangkal pula bahwa diapun suka dan bangga mempunyai tunangan seperti Thio Wi Liong ini. Akan tetapi ia marah dan kecewa karena pemuda ini tidak setia terhadap ikatan jodoh yang sudah dilakukan oleh paman pemuda itu dan ayahnya, sehingga di luaran berani menyatakan tidak cocok dengan pertunangan itu. Malah ia marah sekali karena pemuda ini di depannya berani mencela ayah bundanya!

   Melihat pemuda itu berdiri sambil memegang dayung tersenyum ganteng sekali kepadanya, Siok Lan makin berdebar hatinya. Kemudian ia membuang muka dan memandang ke darat.

   "Kurasa........."

   "Ya.........?"

   Wi Liong mendesak melihat gadis itu ragu-ragu.

   "Kau ini.........seorang pemuda yang terlalu baik hati akan tetapi........"

   "Akan tetapi apa.........? Teruskan......"

   "Akan tetapi......... bodoh, sombong dan tidak setia!"

   Wi Liong melengak, kemudian mukanya menjadi merah sekali. Ia mendongkol juga. Ingin ia memaksa gadis itu menengok memandangnya, akan tetapi gadis itu tetap menghadapi daratan dan sedikitpun tidak mengerling kepadanya.

   "Hemm, begitukah........? Kau maksudkan aku tidak setia terhadap pertunanganku dengan gadis bernama Kwa Siok Lan yang selama hidupku belum pernah kulihat itu? Bu Beng Siocia (Nona Tiada Nama), kau tidak adil! Andaikata kau yang menjadi nona yang ditunangkan dengan seorang pemuda yang selama hidupmu belum pernah kaulihat, apakkah kau juga akan suka hati? Aku tidak melanggar kesetiaan, karena di dalam hati aku merasa belum ada ikatan sesuatu dengan gadis yang dipaksa menjadi tunanganku itu. Akan tetapi terhadap kau....... aku......."

   "Sttt. diam! Kulihat susiok di sana!"

   Kata gadis itu sambil melambai ke darat. Wi Liong menengok dan betul saja, ia melihat kakek muka merah itu sudah berada di darat seorang diri.

   "Kita berpisah di sini......"

   Bisik Siok Lan.

   "Akan tetapi......... ke mana aku harus mencarimu kelak.........?"

   "Kau masih bertunangan, untuk apa mencariku? Kalau kau sanggup memutuskan tali perjodohanmu dengan gadis she Kwa itu. kelak pasti kita saling bertemu......"

   Ia berbisik lalu disambungnya keras-keras.

   "Hayo dayung ke pinggir!''

   Berseri wajah Wi Liong.

   "Betulkah?"

   Bisiknya.

   "Baik, aku akan memutuskan pertunangan itu, kemudian akan kucari kau!"

   Ia lalu mendayung perahunya ke pinggir. Sebelum perahu menempel daratan, Siok Lan berbisik pula.

   "Aku mendarat dan sini jangan kau ke pinggir, tak usah kau menemui susiok!"

   Dalam kata-kata ini terkandung permintaan yang amat sangat sehingga Wi Liong berdiri mematung, tidak mendayung perahunya lagi. Adapun Siok Lan dengan gerakan lincah ringan, melompat seperti seekor burung melayang ke darat di mana susioknya, See-thian Hoat-ong. kakek gagah perkasa yang berpakaian baju perang itu, telah menanti dengan muka girang.

   "Syukur kau telah dapat terlepas dari cengkeraman musuh!"

   Kata kakek itu menyambut kedatangan Siok Lan.

   "Mengapa dia tidak ikut ke sini? Apakah dia yang telah menolongmu? Pemuda itu sungguh lihai!"

   Karena gadis itu meminta dengan suara mengandung penuh permohonan, Wi Liong merasa tidak enak untuk menolak, maka iapun cepat-cepat mendayung perahunya ke tengah lagi dan sebentar saja perahunya menghilang di sebuah tikungan. Gadis aneh, benar-benar aneh sekali, akan tetapi menarik! Anehnya itukah yang menjadi daya paling menarik? Kemudian ia teringat akan gadis yang seorang lagi, yang agak hitam manis, gadis yang oleh gurunya, Pak-thian Koai-jin. hendak dijodohkan dengan dia! Gadis itu kini tertawan musuh, juga wanita gagah Tung-hai Sian-li. Mereka ini, dua orang wanita dan tiga orang kakek aneh, seperti juga gadis langsing yang aneh itu, adalah orang-orang kang-ouw yang mengagumkan. Orang-orang gagah yang tidak mau diam membiarkan, para penghianat bangsa mempergunakan kedudukan untuk memeras rakyat. Mereka ini memang patut disebut pendekar-pendekar perkasa, karena bukankah gurunya juga memberi petunjuk bahwa kalau dia hendak memilih jalan benar, harus ia bersatu dan membela rakyat jelata?

   "Aku harus menolong mereka,"

   Pikirnya.

   "Dia bersama susioknya si muka merah itu tentu kembali ke kota raja juga. Di sana berbahaya, ada Kun Hong yang lihai sekali. Aku harus membantunya menolong kawan-kawannya yang tertawan."

   Dengan pikiran ini. Wi Liong lalu mendayung perahunya cepat-cepat ke depan, kemudian iapun mendarat dan menuju ke kota raja yang temboknya sudah kelihatan dari tempat itu.

   Adapun Siok Lan begitu bertemu dengan See-thian Hoat-ong, segera bertanya apa yang telah terjadi semenjak mereka berpisah.

   "Berbahaya sekali........."

   Kata See-thian Hoat-ong sambil menggeleng kepalanya. Kemudian ia menceritakan pengalamannya. Seperti telah dituturkan di bagian depan. See-thian Hoat-ong, Pak-thian Koai-jin Lam-san Sian-ong. Tung-hai Sian-li. dan Pui Eng Lan, terpaksa melarikan diri karena pasukan Mongol menyerang mereka dengan hujan anak panah. Mereka lari turun gunung dan terus ke selatan. Mereka bermaksud untuk memasuki kota raja melalui sungai dan mencoba menyelamatkan Siok Lan yang tertawan. Tukang perahu yang ternyata mata-mata Mongol itu menyeberangkan mereka, akan tetapi setelah tiba di tengah sungai, tukang perahu itu melompat ke dalam air dan menyelam. Rupa-rupanya memang sudah diatur lebih dulu karena begitu tukang perahu melompat ke air. dari kedua seberang sungai datang banyak perahu yang ditumpangi oleh pasukan Mongol. Belasan orang serdadu Mongol ahli renang melompat ke dalam air menyelam dan menyerang perahu itu dari bawah. Perahu itu mereka balikkan dan lima orang gagah itu tidak berdaya sama sekali. Mau melompat, melompat ke mana? Daratan masih terlampau jauh. Terpaksa mereka melompat ke air dan segera dikeroyok oleh banyak orang serdadu yang pandai bermain di air.

   Celakalah Pui Eng Lan dan Tung-hai Sian-li. Mereka lihai sekali kalau di darat, akan tetapi di air. mereka tak berdaya dan sebentar saja mereka telah dapat ditawan dalam keadaan setengah pingsan. Sungguh menyedihkan. Apa lagi bagi Tung-hai Sian-li seorang tokoh besar di dunia kang-ouw begitu mudah tertawan oleh serdadu-serdadu Mongol yang kalau di darat, biar ada limapuluh orang sekalipun tak mungkin akan dapat menawannya!

   Tiga orang kakek itu biarpun tak boleh dibilang ahli. namun masih dapat berenang, maka serdadu-serdadu itu mana dapat menangkap mereka? Beberapa orang serdadu yang berani mendekat, tewas oleh pukulan-pukulan mereka dan sambil mengikuti arus air, tiga orang kakek ini akhirnya berhasil mendarat. Akan tetapi mereka tidak berdaya sama sekali untuk menolong Tung-hai Sian-li dan Pui Eng Lan yang sudah dibelenggu dan dibawa pergi dengan perahu oleh para serdadu.

   Demikianlah pengalaman yang dituturkan oleh See-thian Hoat-ong.

   "Pak-thian Koai-jin tidak sabar lagi, langsung mengejar ke kota raja untuk menolong muridnya."

   Berkata kakek muka merah itu.

   "Lam-san Sian-ong mengawaninya. Aku menanti di sini kalau-kalau Tung-hai Sian-li atau nona Pui itu muncul, karena ketika kami bertiga mati-matian berusaha mendarat, mereka yang tertawan sudah tidak ada lagi. Aku sudah mencari-cari di sekitar sini. khawatir kalau- kalau kawan-kawan yang tertawan tidak dibawa ke kota raja. Akan tetapi menurut beberapa orang nelayan yang melihatnya, memang Tung-hai Sian-li dan nona Pui dibawa ke kota raja."

   "Susiok kita harus menolong dia............"

   Kata Siok Lan.

   "Ibumu.........?"

   Siok Lan mengangguk, lalu berkata pasti.

   Cheng Hoa Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Kita harus menolong dia dan membawanya ke Poan-kun!"

   See-thian Hoat-ong memandang tajam, lalu menarik napas panjang dan berkata.

   "Alangkah baiknya kalau usahamu berhasil. Akan tetapi aku amat menyangsikannya. Ibumu itu terkenal berwatak keras seperti baja, kemauannya tak dapat dirobah lagi........."

   Mereka lalu melakukan perjalanan cepat, kembali ke kota raja untuk berusaha menolong Tung-hai Sian-li dan Pui Eng Lan yang tertawan.

   Semenjak dunia berkembang, cinta memang merupakan sesuatu yang amat berpengaruh. Cinta memegang peran penting sekali dalam kehidupan manusia, menguasai hati manusia sepenuhnya, baik ia seorang bodoh atau pintar, jahat atau baik. Demikian besar pengaruh cinta kasih terhadap manusia sehingga ia kadang- kadang bahkan mengalahkan watak. Orang bodoh sewaktu-waktu bisa menjadi cerdik orang pintar bisa menjadi tolol, orang jahat bisa berbuat kebaikan sebaliknya orang baik bisa melakukan perbuatan jahat, ini semua gara-gara cinta!

   Kam Kun Hong adalah seorang pemuda yang biasanya memandang rendah kaum wanita. Melihat wanita baginya sama dengan melihat boneka-boneka cantik yang adanya hanya untuk ditimang-timang kemudian dibuang setelah bosan. Atau seperti kembang-kembang segar yang adanya hanya untuk dipetik kemudian dibuang setelah layu. Wataknya yang tidak baik ini terutama sekali adalah pengaruh dari watak dua orang gurunya yang mendidiknya sejak ia kecil, yaitu Tok-sim Sian-li wanita cabul itu dan Bu-ceng Tok-ong tokoh yang terkenal paling mbocengli (tidak tahu aturan)! Kemudian gurunya yang terakhir, Thai Khek Sian yang juga seorang manusia iblis berwatak rendah dan cabul. Ini semua masih ditambah lagi oleh lingkungan atau perhubungannya dengan orang-orang yang memang tidak bersih pikirannya.

   Sudah banyak wanita yang dikenal Kun Hong, yang dipermainkannya seperti orang mempermainkan boneka atau kembang. Dia pemuda pembosan. Akan tetapi aneh bin ajaib, begitu bertemu dengan Pui Eng Lan, tak sedetikpun ia dapat melupakan wajah yang manis itu, tak dapat ia mengusir bayangan senyum gadis itu, kerlingnya yang tajam, lesung pipit di ujung bibirnya.

   "Aku harus mendapatkan dia!"

   Berkali-kali pemuda ini mengambil keputusan.

   "Aku bisa mati karena rindu kalau tidak bisa mendapatkan dia!"

   Oleh karena itu, dapat dibayangkan betapa gembira hatinya ketika ia mendengar bahwa gadis pujaan hatinya itu telah tertawan, bersama Tung-hai Sian-li! Cepat ia mendatangi tempat tahanan mereka dan melarang semua orang mengganggu dua orang tawanan itu, terutama sekali si gadis. Biarpun baru sebentar di kota raja, namun Kam Kun Hong sudah mempunyai pengaruh dan kekuasaan besar sekali. Ini bukan hanya karena dia datang sebagai wakil Thai Khek Sian, akan tetapi terutama sekali karena semua orang sudah menyaksikan sendiri betapa lihatnya pemuda ini. Apa lagi melihat betapa Tok-sim Sian-li dan Bu-ceng Tok-ong, tokoh-tokoh yang amat terkenal di antara pasukan-pasukan penjaga Mongol, bersikap demikian takut-takut terhadap Kun Hong.

   Kekuasaan pemuda, ini menguntungkan Tung-hai Sian-li dan Pui Eng Lan. Oleh larangan Kun Hong ini, tak seorangpun berani mengganggu mereka, bahkan Bu-ceng Tok-ong sendiripun tidak berani!

   Pada hari ke dua, selagi Pui Eng Lan merenung menantikan nasibnya di dalam kamar tahanan, pintu kamar itu terbuka dari luar. Nona ini mendapat perlakuan baik. Biarpun masih diborgol kaki tangannya, akan tetapi ia berada di dalam sebuah kamar yang bersih, duduk di atas kursi dan di atas meja tersedia makanan dan minuman. Borgol kaki tangannya berantai panjang, tidak menghalangi apa bila ia hendak makan atau minum.. Akan tetapi mana bisa gadis ini mengisi perutnya? Ia hanya menanti datangnya musuh yang hendak membunuhnya sambil mengharapkan munculnya suhu dan kawan-kawannya untuk menolong dia dari kamar tahanan ini. Ia menyesal sekali karena dipisahkan dari Tung-hai Sian-li yang tiada hentinya memaki-maki menantang orang-orang Mongol mengadakan pertandingan secara jujur.

   Eng Lan kaget sekali ketika mendengar pintu tahanannya terbuka dari luar. Tak salah lagi. pasti musuh yang datang. Kalau suhunya atau kawan-kawannya yang hendak menolong, tentu datang pada malam hari tidak pada pagi hari seperti itu. Akan tetapi ia tidak takut. Pui Eng Lan tidak mengenal takut. Rasa takut akan bahaya sudah habis dideritanya ketika ia masih berusia enam tahun dahulu, ketika bala tentara Mongol menyerbu ke Tiongkok desanya dihancurkan, orang tuanya binasa dalam rumahnya yang dibakar. Dia lari, lari terus menjauhkan diri dari segala kengerian itu sampai akhirnya dipungut oleh Pak-thian Koai-jin dan menjadi muridnya. Kalau di waktu masih kecil sudah mengalami kengerian seperti itu apa lagi yang dapat mendatangkan rasa takut dalam hatinya? Tidak, Pui Eng Lan tidak kenal lagi terutama sekali tidak takut akan bahaya yang dapat membawa maut.

   Mukanya yang agak pucat menjadi merah secara tiba-tiba dan matanya yang indah jeli berapi-api, bibirnya yang manis bentuknya itu merengut.

   "Kau?? Mau apa kau datang ke sini? Penghianat, pengecut! Tak usah membuka mulut, kalau mau bunuh lekas bunuh, aku Pui Eng Lan tidak takut!"

   Katanya, menyambut masuknya pemuda tampan itu dengan makian pedas.

   Kun Hong tersenyum, senyum mengejek yang sudah menjadi kebiasaannya dan sepasang matanya berseri-seri. penuh godaan dan penuh kegembiraan.

   "Kalah madu olehmu......"

   Katanya dan pandangannya penuh gairah.

   "Kalah apa? Madu bagaimana? Jangan ngaco-belo!"' Eng Lan memang tidak tahu apa yang dimaksudkan oleh pemuda ini.

   "Kalah manis!"

   "Setan jahanam, siapa sudi mendengar pujianmu? Jangan coba bermain gila di sini!"

   "Main gila apa? Memang aku sudah tergila-gila kepadamu. Nona Pui Eng Lan, tahukah kau bahwa selama hidupku baru kali ini aku bertemu dengan seorang gadis yang gagah perkasa, cantik jelita, manis denok, tiada cacad seujung rambut-pun! Adikku yang baik, aku tidak main-main kali ini, aku betul-betul cinta kepadamu. Katakan saja kau suka, aku akan meminangmu untuk menjadi isteriku!"

   "Keparat busuk, siapa sudi mendengarkan omonganmu? Kau penghianat dan pengecut, kau menyuruh anjing-anjing Mongol itu menawan aku dan Tunghai Sian-li secara curang, dan sekarang kau masih ada muka untuk pura-pura bersikap manis? Hemm. kaukira aku orang macam apa mudah kautipu dan bujuk?"

   "Kau galak, akan tetapi aku lebih suka gadis bersemangat. Kau menuduh orang sembarangan saja. Yang menawanmu memang pasukan kerajaan, akan tetapi apa kau tidak ingat akan perbuatanmu yang amat ceroboh dan menggegerkan kota raja? Kau telah membunuh seorang hartawan she Liu yang mempunyai pengaruh besar. Masih herankah kau kalau kau ditawan? Memang mudah menyalahkan orang, alangkah sukarnya meneliti kesalahan diri sendiri."

   Sambil berkata demikian, Kun Hong menggerakkan kedua tangannya, terdengar suara pletak- pletok dan belenggu yang mengikat kaki tangan gadis itu putus semua! Bukan main kagumnya hati Eng Lan. Ia sejak malam tadi sudah mengerahkan seluruh lweekangnya untuk mencoba mematahkan belenggu, akan tetapi tambang itu terbuat dari pada kulit binatang yang amat kuat, ulet dan mulur. Sekarang dengan gerakan demikian ringan dan cepat, pemuda ini sudah berhasil memutuskan semua ikatannya. Benar-benar hebat pemuda ini.

   Eng Lan mengangkat dadanya.

   "Memang aku yang membunuh hartawan okpa (jahat) itu. Kau hanya menegur karena aku membunuh, tidak bertanya mengapa aku membunuhnya. Bandot tua she Liu itu karena ingin memaksa enciku menjadi selirnya, telah membunuh enciku dan suaminya berikut seorang anaknya setelah enciku menolak. Coba kau pikir, apa bandot macam itu tidak patut dibunuh?"

   "Sudah sepatutnya! Dia harus seribu kali dibunuh!"

   Kun Hong mengangguk-angguk dengan muka sungguh-sungguh.

   "Akan tetapi dengar. Aku dan pasukan itu adalah petugas-petugas, penjaga keamanan kota Peking dan sekitarnya. Kau sudah datang bersama kawan-kawanmu dan melakukan pembunuhan atas diri seorang bangsawan kaya, sudah tentu kami menangkapmu."

   Eng Lan mengedikkan kepalanya.

   "Aku yang membunuh anjing tua itu! Kau boleh tangkap aku, boleh bunuh aku. Akan tetapi jangan mengganggu yang lain. Tung-hai Sian-li tidak berdosa, mengapa ikut-ikut ditangkap? Akulah pembunuhnya dan aku siap menerima hukumannya, jangan bawa-bawa orang lain. Lepaskan dia!"

   Kun Hong mengangguk-angguk.

   

Kumbang Penghisap Kembang Karya Kho Ping Hoo Harta Karun Jenghis Khan Karya Kho Ping Hoo Pendekar Lembah Naga Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini