Ceritasilat Novel Online

Dendam Membara 2


Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo Bagian 2



"Akupun akan menotokmu agar lumpuh dan lemas!"

   Katanya dan cepat sekali jari tangannya menotok punggung Cin Hin.Karena marah, dia menotok dengan sepenuh tenaga, tidak seperti yang diajarkan gurunya.

   "Tukk...!"

   "Aughhh...!"

   Cin Han terjungkal dan menggeliat kesakitan, mulutnya mengeluarkan darah. Melihat ini, anak perempuan itu terkejut dan merasa khawatir sekali. Cepat ia berjongkok dekat Cin Han dan berusaha untuk mengurut punggung yang tertotok tadi, akan tetapi sentuhannya bahkan menambah rasa nyeri dan Cin Han merintih.

   "Bagaimana, Cin Han? Sakit sekalikah? Yang mana yang sakit?"

   "Punggungku... dan napasku sesak..."

   Kata Cin Han terengah-engah.

   "Suheng, bagaimana ini? Jangan berdiri enak-enak saja di situ! Nah, bagaimana kalau sudah begini? Engkau menyiksa orang!"

   Anak perempuan itu menegur suhengnya yang masih berdiri acuh saja.

   "Sudahlah, nanti juga sembuh. Kenapa ribut-ribut karena kacung ini sedikit kesakitan saja?"

   "Suheng! Dia muntah darah! Itu tandanya dia luka dalam. Bagaimana kalau dia sampai mati?"

   "Aughhh...!"

   Cin Han terjungkal dan menggeliat kesakitan, mulutnya mengeluarkan darah! Melihat ini, anak perempuan itu terkejut dan merasa khawatir sekali. Mendengar ini, barulah anak laki-laki itu merasa khawatir. Kalau sampai kacung ini mati, berarti dia telah membunuh orang dan tentu akan menimbulkan keributan. Diapun berjongkok mendekat dan ikut memeriksa punggung yang tertotok. Nampak kulit punggung di bagian itu matang biru, juga di pundak yang tertotok tadi. Dia ikut pula mengurut untuk melancarkan jalan darah yang tertotok.

   "Sakitkah, Cin Han?"

   Tanyanya. Sebetulnya, di dalam hatinya Cin Han marah sekali. Dia merasa betapa dadanya panas oleh kemarahan mendorongnya untuk membalas perbuatan anak laki-laki itu.

   Akan tetapi, dia teringat akan sikap gurunya, juga kata-kata gurunya, yang penting bukanlah bersabar, melainkan melenyapkan kemarahan, demikian gurunya berkata. Dan inilah kemarahan. Dia marah sekali! Anak laki-laki ini terlalu memancang rendah kepadanya, dan bertindak sewenang-wenang! Akan tetapi justeru kenangan ini yang mendatangkan kemarahan, makin berkobar rasanya api kemarahan kalau dia mengingat-ingat apa yang dilakukan orang terhadap dirinya. Dia membuang pikiran yang mengingat-ingat itu dan api kemarahan itupun padam, kemarahan itupun tidak ada lagi. Akan tetapi hanya sebentar karena segera dia teringat lagi dan marah lagi. Cin Han merasakan benar pertentangan dalam batinnya ini, membuat dia tertegun keheranan dan dia menjadi lupa lagi untuk marah!

   "Tidak, tidak sakit,"

   Jawabnya sebagai pencetusan kemarahannya dalam bentuk ketinggian hati. Dia tidak sudi memperlihatkan kelemahannya kepada anak laki-laki ini. Diapun tidak suka memperlihatkan kelemahannya kepada anak perempuan itu, akan tetapi agaknya berbeda alasannya dengan sikapnya terhadap anak laki-laki itu.

   "Cin Han, kau maafkan kami..."

   Anak perempuan itu berkata halus.

   "Benar permintaan sumoi, maafkan kami, Cin Han,"

   Anak laki-laki itu menyambung. Tadinya, mendengar ucapan anak perempuan itu, Cin Han sudah siap untuk memaafkan, dan untuk mengatakan bahwa hal itu tidak apa-apa. Akan tetapi mendengar sambungan kata-kata anak itu, dia membungkam mulutnya dan tidak mau menjawab. Pada saat itu muncul Hek-bin Lo-han dari dalam. Sebelum tiba di situ dia sudah berseru,

   "Cin Han, engkau diterima menjadi pembantuku!"

   Akan tetapi ketika dia tiba di situ dan melihat Cin Han diurut-urut punggungnya oleh dua orang anak itu, dia terkejut.

   "Cin Han, ada apakah?"

   Tanyanya, mendekat dan semakin terkejut melihat tanda matang biru di punggung dan pundak dekat leher, dan melihat darah masih bertepatan di tepi mulut anak itu.

   "Engkau terluka? Muntah darah?"

   Anak perempuan itu yang menjawab,

   "Lo-han, kami tadi hendak berlatih ilmu tian-hiat-hoat yang kami pelajari dari suhu dan kami bertemu dengan Cin Han, kacung baru ini. Kami menggunakan tubuhnya untuk berpraktek..."

   "Omitohud... Kalian sungguh anak-anak yang lancang, ceroboh, dan sewenang-wenang. Perbuatan kalian itu dapat membunuh orang, tahukah kalian? Kalau sampai hal ini terjadi kepada kalian sendiri, apakah kalian mau? Lihat saja kalau sampai suhu kalian tahu akan hal ini, tentu kalian akan dijatuhi hukuman!!"

   Mendengar ini, dua orang anak itu kelihatan menjadi ketakutan, dan anak laki-laki itu mencoba untuk membela diri,

   "Akan tetapi, sebelum kami melakukannya, kami sudah bertanya dan Cin Han mau membantu kami..."

   Anak perempuan yang juga ketakutan itu segera memegang lengan Hek-bin Lo-han dan berkata dengan suara memohon,

   "Lo han yang budiman, tolonglah kami, harap jangan laporkan kepada suhu. Aku... aku takut kalau sampai beliau marah dan menjatuhkan hukuman..."

   Hek-bin Lo-ban menggeleng kepala dengan alis berkerut.

   "Kalian nakal dan jahat, perlu mendapat hukuman."

   Melihat betapa anak perempuan itu ketakutan, hati Cin Han sudah mencair dan kemarahannya lenyap seketika.

   "Sudahlah, suhu. Teecu tidak apa-apa, harap urusan ini dihabiskan saja."

   Wajah Hek bin Lo han yang tadinya nampak muram, kini tiba tiba menjadi cerah berseri-seri. Dia berkata kepada dua orang anak-anak itu.

   "Kalian pergilah, pinceng tidak akan melaporkan kalian."

   Dua orang anak-anak itu kelihatan girang sekali dan merekapun segera pergi dari situ. Hek-bin Lo-han lalu menggandeng tangan muridnya, diajak pergi ke kamarnya dekat dapur dan di dalam kamar itu, dia lalu mengurut punggung dan pundak Cin Han dan tak lama kemudian lenyaplah semua rasa nyeri.

   "Cin Han, sekarang ceritakan apa yang telah terjadi tadi,"

   Kata Hek bin Lo-han.

   "Mereka tadi bertemu dengan teecu yang sedang menyapu pekarangan karena tempat itu penuh daun kering dan di sana terdapat sebatang sapu pula. Lalu mereka minta bantuan teecu untuk berlatih semacam ilmu. Sebagai pendatang baru tentu saja teecu bersedia membantu mereka dan mereka menyuruh teecu membuka baju."

   Dia menceritakan betapa totokan-totokan anak laki-laki itu amat menyakitkan, dan betapa totokan anak perempuan itu hampir berhasil membuat dia menjadi lumpuh dan lemas. Hek-bin Lo-ban mengangguk-angguk.

   "Mereka itu sungguh lancang sekali. Mencobakan ilmu tiam-hiat-hoat yang masih belum sempurna di pelajari kepada seorang manusia, amatlah berbahaya."

   "Suhu, siapakah mereka itu? Tadinya teecu mengira bahwa di kuil ini hanya dihuni oleh para hwesio seperti suhu. Apakah banyak anak-anak seperti mereka yang menjadi murid di sini dan siapakah yang menjadi suhu mereka?"

   Hek-bin Lo-han menarik napas panjang dan menggeleng kepala.

   "Mereka itu datang dari jauh, dari Tong-an. Sebetulnya, para hwesio di sini tidak ada yang menerima murid, juga Thian Cu. Hwesio yang menjadi ketua kuil ini tidak pernah menerima murid, walaupun dia adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai yang pandai. Akan tetapi, dua tahun lalu, ketika Thian Cu Hwesio mengadakan perjalanan ke luar kuil, di tengah perjalanan dia melihat dua orang pembesar dengan keluarganya diganggu perampok. Tentu saja dia lalu menolong mereka dan berhasil mengusir para perampok dengan kepandaiannya. Dua orang pembesar itu berterima kasih sekali, berkunjung ke kuil ini dan mereka mengeluarkan biaya besar untuk mempeibaiki bangunan kuil ini. Kemudian, mereka lalu (Lanjut ke Jilid 02)

   Dendam Membara (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 02

   memohon kepada Thian Cu Hwesio agar suka mendidik anak-anak mereka menjadi muridnya dan mengajarkan ilmu silat kepada mereka."

   "Dan Thian Cu Hwesio tidak dapat menolak karena mereka sudah membangun kuil ini?"

   Kata Cin Han. Gurunya memandang kepadanya dengan kagum dan mengangguk.

   "Anak laki-laki itu adalah Kim Cong Bu, putera Kim-ciangkun kepala pasukan keamanan dari kota Tong an, sedangkan anak perempuan itu bernama Ciu Lian Hwa, puteri dari Ciu Taijin, kepala daerah kota Tong-an. Sudah dua tahun mereka belajar ilmu silat dari Thian Cu Hwesio dan agaknya mereka memperoleh kemajuan karena memang keduanya berbakat."

   Kakek itu lalu menghentikan ceritanya.

   "Sudahlah, sekarang lebih baik engkau beristirahat dan tidur agar rasa lelah dan nyeri lenyap. Besok pagi-pagi sudah menanti tugas pekerjaanmu di sini."

   Sementara itu, Kim Cong Bu dan Ciu Lian Hwa, dua orang anak itu, juga membicarakan Cin Han.

   "Untung anak itu baik sekali, suheng. Dialah yang memintakan maaf untuk kita kepada Hek-bin Lo-han. Kalau tidak, kita tentu dilaporkan dan mendapat hukuman dari suhu."

   Kata Lian Hwa.

   "Akan tetapi aku tidak suka melihat mata anak itu, matanya bsgitu tajam memandang orang, dan dia memintakan maaf untuk kita seolah-olah dia itu sederajat dengan kita. Pada hal dia hanya seorang kacung!!"

   Kata Cong Bu, masih mendongkol karena kegagalan praktek ilmu menotoknya tadi.

   "Dia menyebut suhu kepada Lo-han, agaknya dia murid Hek-bin Lo-han. Dan mengingat bahwa Hek-bin Lo han merupakan seorang hwesio tua di sini, maka kalau Cin Han menjadi muridnya, berarti tingkat atau kedudukannya sejajar dengan kita. Engkau melihat betapa suhu sendiri bersikap hormat kepada Hek-bin Lohan, tidak seperti terhadap para hwesio lainnya."

   "Betapapun juga, Hek-bin Lo-han hanyalah seorang kepala dapur, tukang mencari air, kayu dan tukang masak. Cin Han menjadi muridnya? Ha, tentu diajar memikul air dan memasak. Apa lagi?"

   Kata Cong Bu mengejek untuk melampiaskan kedongkolan hatinya.

   "Jangan menghina, suheng. Memasakpun merupakan ilmu yang amat berguna! Kalau tidak ada Lo-han yang pandai masak, kita tentu hanya akan makan sayur dan buah-buahan mentah!"

   Bantah Lian Hwa. Cong Bu tidak berani membantah kata-kata Lian Hwa yang diucapkan dengan nada agak marah. Memang anak laki-laki ini selalu bersikap manis dan melindungi kepada Lian Hwa.

   Hal ini bukan saja karena dia merasa sepenanggungan dengan anak perempuan itu, jauh dari rumah dan keluarga dan di kuil ini hanya ada mereka berdua saja sebagai murid, akan tetapi juga karena sebelum mereka dikirim ke kuil itu, Cong Bu mendapat pesan dari ayahnya bihwa dia harus menjaga dan melindungi Lian Hwa. Diapun tahu bahwa Lian Hwa adalah puteri kepala daerah yang menjadi atasan dari ayahnya. Karena Cong Bu selalu berjikap manis dan melindunginya, tentu saja Lian Hwa juga suka kepadanya dan menganggapnya sebagai seorang suheng dan kawan yang baik sekali, walaupun kadang-kadang ia merasa tidak suka akan sikap dan watak Cong Bu yang tinggi hati dan angkuh. Cong Bu memiliki watak yang keras dan tidak mau mengalah, kecuali tentu saja terhadap Lian Hwa,

   Sebaliknya, anak perempuan itu memiliki watak yang lincah, manis dan berbudi halus. Ejekan yang diucapkan Cong Bu mengenai Cin Han yang berguru kepada seorang tukang masak, kepala dapur, yang pekerjaannya hanya memikul air, mencari kayu bakar, memasak dan sebagainya, memang ternyata benar. Mulai pagi-pagi sekali keesokan harinya, Cin Han mendapat tugas memikul air untuk mengisi bak-bak air di dapur! Sumber air berada jauh di bawah puncak sehingga anak itu harus memikul dua ember kayu penuh air, mendaki anak tangga yang lebih dari lima ratus langkah banyaknya. Terseok-seok dia memikul ember kayu penuh air itu dan pada hari hari pertama, banyak sekali air tumpah dari ember sehingga setibanya di dapur, air yang berada dalam dua ember kayu itu tinggal sedikit saja! Namun, dengan kemauan yang amat keras, dengan semangat membaja,

   Cin Han tak pernah mau berhenti memikul air biarpun dia harus terhuyung dan terseok, kadang-kadang jatuh dan semua air di kedua ember tumpah, membuat dia terpaksa turun lagi untuk mengisi ember yang dipikulnya. Ketekunannya itu akhirnya berhasil. Setelah kurang lebih tiga bulan, dia mampu memikul air dalam dua ember kayu itu tanpa tumpah, sampai ke dapur, menuangkan dua ember itu ke dalam bak, kemudian berlari menuruni anak tangga untuk mengambil air lagi. Dia tidak pernah mengeluh, tidak pernah mengomel, bahkan tidak berani bertanya kepada suhunya mengapa sampai berbulan-bulan dia tidak pernah diberi pelajaran ilmu silat. Bahkan kini pekerjaannya ditambah, bukan hanya memikul air yang dapat dilakukannya semakin cepat sehingga sebelum tenga hari semua bak telah dapat dipenuhinya.

   Agaknya karena ada waktu tersisa setelah memenuhi semua bak air, kini gurunya menambah tugasnya untuk mencari kayu di hutan bawah puncak, membawanya ke dapur dan membelah kayu-kayu itu menjadi kayu bakar yang kecil-kecil. Pertama kali mengerjakan tugas baru ini tentu saja dia merasa tersiksa dan lelah sekali. Memanggul kayu berbeda dengan memikul air. Air dalam ember mempunyai gaya gerak dan pikulannya juga dapat memantul sehingga dia dapat meminjam tenaga pantulan pikulan dan tenaga gerakan air yang dipikulnya, membuat pekerjaan itu tidak lagi terasa berat. Akan tetapi, kayu merupakan benda yang mati tak bergerak sama sekali, seluruh beratnya menindih pundak sehingga tertatih-tatih dia melangkahi anak tangga dan semakin lama terasa semakin berat. Juga ketika dia mempergunakan kapak membelah kayu, telapak tangannya sampai bengkak-bengkak dan lecet-lecet.

   Namun, anak yang memiliki semangat membaja ini tak pernah mengeluh dan dengan tekun melakukan pekerjaan itu sampai beberapa bulan kemudian, dia dapat memanggul cukup banyak kayu ke dapur, dan membelahnya, dengan cepat bukan main tanpa mengalami kulit telapak tangan lecet lagi. Akan tetapi, gurunya seolah-olah memang sengaja hendak menyiksanya. Kini dia diharuskan mengena-kan sepatu kayu yang berat sebagai pengganti sepatunya yang sudah butut. Sepatu kayu itu berat sekali karena di bagian bawahnya dilapisi besi seperti tapal kaki kuda! Dan kalau dia berjalan, mengeluarkan bunyi keras seperti kuda. Yang menyakitkan hati Cin Han adalah seringnya Cong Bu menggoda dan mengejeknya. Hanya kalau Cin Han ditemani oleh Lian Hwa, anak laki-laki itu tidak berani mengejeknya, karena tentu akan ditegur oleh Lian Hwa yang selalu bersikap manis dan lembut kepada Cin Han.

   Bahkan, melihat betapa Cin Han harus bekerja berat, pandang mata anak perempuan itu mengandung iba. Pada hari pertama Cin Han mengenakan sepatu kayu baru itu, menaiki anak tangga tertatih-tatih memanggul kayu-kayu besar, setiap langkahnya mengeluarkan suara keras seperti kaki kuda, muncullah Cong Bu seorang diri saja, Apak itu berdiri di atas, sambil tertawa-tawa melihat Cin Han mendaki anak tangga itu dengan susah payah dan setiap langkahnya mengeluarkan suara keras. Cin Han maklum bahwa Cong Bu mentertawakannya di atas. Dia merasa malu dan mendongkol, akan tetapi dia dapat mengusir perasaan ini dan melanjutkan pekerjaannya. Setelah tiba di atas, seperti yang sudah diduganya, Lian Hwa tidak nampak di situ dan Cong Bu segera menyambutnya dengan suara ketawa.

   "Ha-ha-ha, kukira tadi ada seekor kuda yang naik ke sini, Cin Han. Kiranya engkau yang menjadi kuda!"

   Karena kedua kakinya terasa gemetar saking lelahnya dibebani sepatu berat, membuat kayu yang dipanggulnya terasa lebih berat dari pada biasanya, dan keringat menetes-netes dari mukanya, Cin Han berhenti sebentar untuk menyusut keringatnya dengan tangan.

   "Ha-ha-ha, sudah hampir dua tahun engkau berada di sini, menjadi murid Hek-bin Lo-han, apa saja yang sudah kau pelajari, Cin Han? Memikul air dan memanggul kayu, dan masak-masak barangkali?. Dan kini engkau belajar menjadi seekor kuda. Akan tetapi engkau tidak mirip kuda, mirip keledai bodoh!"

   "Suheng...!"

   Terdengar suara Lian Hwa menegur dan anak perempuan itu datang dengan langkah lebar ke tempat itu. Muka Cin Han sudah menjadi merah sekali dan dia cepat melanjutkan pekerjaannya, memanggul kayu itu ke arah dapur. Betapapun dia sudah berhati-hati melangkah, tetap saja setiap langkahnya mengeluarkan bunyi keras yang membuat Lian Hwa juga memandang dengan heran. Ketika dia kembali dari dapur untuk turun dan mencari kayu lagi karena persediaannya belum cukup, Lian Hwa dan Cong Bu masih berada di tempat tadi dan dari jauh dia melihat Lian Hwa bicara dengan suhengnya, kelihatan anak perempuan itu menegurnya karena dia masih dapat menangkap akhir kalimatnya.

   "...sebaliknya dari rasa iba, engkau malah menggodanya."

   Cin Han pura-pura tidak melihat mereka dan hendak menuruni anak tangga. Karena tidak memanggul kayu, dia dapat meringankan langkahnya, namun tetap saja sepatu kayu berlapis besi itu mengeluarkan suara yang cukup keras. Melihat betapa Cin Han hendak lewat saja tanpa memandang kepada mereka, Lian Hwa lalu menghadangnya.

   "Cin Han, kenapa engkau memakai sepatu kayu yang kelihatan berat itu? Bukankah hal itu mengganggu sekali pekerjaanmu? Lebih baik bertelanjang kaki dari pada memakai sepatu kayu seperti itu!"

   "Ini perintah suhu!"

   Kata Cin Han singkat dan melibat betapa Cong Bu memandangnya dengan mata mentertawakan, Cin Han tidak mau melayani mereka lagi lalu dia berlari menuruni anak tangga sehingga sepatunya mengeluarkan bunyi lebih keras lagi. Lian Hwa mengikuti Cin Han dengan pandang matanya, kemudian ia berkata penasaran,

   "Terlalu sekali Hek-bin Lo-han. Aku akan menegurnya, dia terlalu kejam dan tidak adil terhadap Cin Han!"

   "Aih, sumoi? Kenapa engkau hendak mencampuri urusan mereka? Apa lagi Cin Han hanya seorang kacung, seorang pelayan, dan gurunya, Hek-bin Lo-han hanya seorang kepala dapur!"

   Akan tetapi pada malam hari itu, setelah berlatih silat bersama suhengnya di bawah pengawasan Thian Cu Hwesio sendiri,

   Lian Hwa lalu menyelinap ke bagian belakang kuil mencari Hek-bin Lo-han yang tinggal di kamar dekat dapur. Ketika ia tiba di ruangan belakang, dekat ruangan makan, ia melihat Cin Han di luar dan anak itu masih bekerja membelahi kayu dengan sebatang kapak kecil. Betapa mudahnya Cin Han membelah kayu, sekali bacok saja kayu terbelah dua. Ia menyelinap agar jangan sampai terlihat oleh anak itu karena ia hendak menegur Hek-bin Lo-han di luar tahu Cin Han. Ia mendapatkan kakek bermuka hitam itn sedang duduk bersila di luar dapur yang sunyi. Tidak nampak hwesio lain yang pada siang hari bekerja di situ dan kakek itu duduk bersila sambil memejamkan mata seperti orang sedang bersamadhi. Hwesio ini biasa bersikap manis dan ramah, maka Lian Hwa tidak merasa takut atau sungkan kepadanya.

   "Hek-bin Lo-han..."

   Katanya lirih sambil mendekati. Karena hwesio ini hanya seorang kepala dapur yang sederhana sekali sikapnya, maka Lian Hwa biasa memanggil dia begitu saja tanpa banyak peng-hormatan. Hwesio tua itu membuka mata dan tersenyum lebar ketika melihat bahwa yang memanggil-nya adalah Lian Hwa.

   "Aih, Ciu-siocia (nona Ciu), ada keperluan apakah malam-malam begini mencari pincang dan engkau tidak beristirahat di dalam kamarmu?"

   "Lo-han, aku ingin bicara tentang Cin Han!"

   "Ah? Mengapa dia? Nakalkah dia, kepadamu, siocia?"

   "Tidak, aku hanya ingin menegurmu, Lo-han, karena engkau sungguh bertindak tidak berperikemanusiaan, tidak adil dan kejam sekali kepadanya! Mengapa kau lakukan kekejaman itu kepadanya, Lo-han?"

   Kakek itu membelalakkan mata memandang anak perempuan itu, terheran-heran.

   "Nona Ciu, apa yang kau maksudkan itu? Pinceng tidak mengerti!" "Lo-han, engkau telah menyiksa Cin Han, jangan pura-pura tidak mengerti!"

   "Omitohud..., dijauhkan pinceng kiranya dari perbuatan itu. Pinceng menyiksa Cin Han?"

   "Bukankah dia itu muridmu? Akan tetapi, engkau memperlakukan dia seperti seekor keledai saja. Engkau suruh memikul air, memanggul dan mencari kayu bakar, bahkan akhir-akhir ini engkau memaksa dia memakai sepatu kayu berlapis besi yang demikian beratnya. Kenapa engkau begini kejam menyiksanya? Dan pelajaran apa saja yang sudah kau berikan sebagai gurunya kepadanya?"

   "Omitohud... Ciu-siocia, katakanlah, apa dia mengeluh akan semua ini kepadamu?"

   "Tidak, dia tidak pernah mengeluh, akan tetapi aku kasihan padanya dan penasaran. Engkau tidak boleh sekejam itu!"

   Kakek itu tertawa bergelak dengan gembira sekali.

   "Ha-ha-ha-ha, nona Ciu yang cerdik, pinceng tidak pernah kejam padanya, pinceng bahkan amat sayang kepadanya."

   Anak perempuan itu terbelalak.

   "Sayang? Kenapa menyuruh dia bekerja seberat itu dan pelajaran apa yang pernah kau berikan?"

   "Itulah pelajaran yang dilatihnya setiap hari, nona. Apa sekiranya nona atau Kim-kongcu (tuah muda Kim) mampu, memenuhi semua bak air, lalu mengumpulkan semua kayu itu dan membelahnya, seperti yang dilakukan Cin Han setiap hari, apalagi mengenakan sepatu kayu itu?"

   Lian Hwa semakin heran.

   "Jadi... pekerjaan itu... itukah yang kau maksud dengan pelajaran? Untuk itukah dia berguru kepadamu, Lo-han?"

   Kakek itu mengangguk-angguk.

   "Kelak nona akan mengerti, bahkan sekarangpun akan mengerti kalau nona suka berpikir. Nah, beristirahatlah, nona, hari sudah mulai larut, malam sudah tiba."

   Lian Hwa meninggalkan kakek itu dengan hati penuh keheranan. Akan tetapi ketika ia melewati ruangan belakang dia melihat Cin Han asyik membaca buku di bawah sinar lampu gantung. Cin Han membaca kitab! Sungguh hal ini di luar dugaannya. Seorang kacung dapat membaca kitab. Agaknya Cin Han tenggelam ke dalam bacaannya. Dia duduk di atas bangku di luar ruangan itu, di tempat terbuka dan malam itu sejuk sekali hawanya, apa lagi bulan muda mulai muncul, mendatangkan sinar kehijauan yang nyaman.

   "Cin Han, kitab apakah yang kau baca itu?"

   Tanyanya sambil menghampiri. Cin Han terkejut dan menoleh. Melihat Lian Hwa, dia memandang dengan wajah berseri.

   "Ah, kiranya engkau, nona Lian Hwa. Kitab ini... ah, hanya kitab sejarah kuno milik suhu."

   "Boleh kulihat?"

   Cin Han memberikan kitabnya yang sudah tua sekali itu dan Lian Hwa membalik-balik lembarannya. Alisnya berkerut. Tulisannya juga kuno dan tulisan seperti itu sukar sekali dimengerti, memiliki arti yang dalam sekali seperti pada umumnya kitab-kitab kuno. Biarpun sejak kecil ia sudah belajar membaca, namun untuk dapat mengerti isi kitab ini, sukar sekali baginya. Ia mengembalikan kitab itu, diam-diam merasa malu sendiri bahwa dalam hal ilmu membaca jelas ia kalah pandai dibandingkan Cin Han.

   "Nona Cin, duduklah. Lihat, betapa indahnya malam ini. Bulan sepotong itu demikian lembut, seolah-olah ia berjalan-jalan di antara awan-awan, kadang-kadang bersembunyi lalu perlahan-lahan mengintai keluar dari tirai aWan dan tersenyum lagi. Dan pohon-pohon di sana itu, Nampak aneh sekali dalam cuaca remang-remang, bukan kau lihat, di selatan itu nampak pula bintang-bintang. Indah bukan main!"

   Melihat kegembiraan Cin Han, Lian Hwa semakin heran. Anak ini aneh sekali. Sejak pagi sampai sore disiksa seperti itu, malamnya sudah bergembira seperti ini.

   "Cin Han, kenapa engkau gembira sekali?"

   "Kenapa tidak, nona? Bukankah hidup ini indah selali? Dan kita memiliki semua anggauta badan yang serba lengkap. Mata untuk melihat keindahan pandangan, telinga untuk menikmati kemerduan suara, hidung untuk menikmati keharuman penciuman, segalanya ada pada kita dan semua keindahan sudah terbentang di depan kita. Bayangkan betapa sengsaranya kalau kita kehilangan satu di antara semua alat perasa itu. Buta misalnya, atau tuli..."

   Lian Hwa bengong! Seorang kacung, bicara seperti ini? Ia bingung Bagi Lian Hwa, kata-kata yang keluar dari mulut Cin Han tadi terdengar amat aneh, akan tetapi juga dapat dirasakan sekali kebenarannya. Ia membayangkan, bagaimana kalau ia buta? Wah, akan sengsara sekali! Dan tuli? Hanya orang buta yang dapat membayangkan keindahan segala sesuatu yang dapat dipandang dan hanya orang tuli yang dapat membayangkan keindahan segala sesuatu yang dapat didengar. Akan tetapi orang yang tidak buta dan tidak tuli, bahkan mengabaikan semua keindahan itu! Bukankah orang begitu sama saja dengan buta dan tuli? Iapun memandang ke luar, ke arah awan dan bulan, ke arah bayangan pohon-pohon, kearah bintang-bintang dan hatinyapun terasa riang sekali.

   "Engkau benar, Cin Han. Hidup memang indah sekali. Akan tetapi...semua itu, dari siapa engkau tahu? Dan engkau membaca kitab, dari siapa engkau belajar?"

   "Nona, guruku di dunia ini hanyalah suhu seorang. Dari siapa lagi kalau bukan dari dia?"

   "Tapi, apakah engkau menjadi muridnya hanya untuk mempelajari segala macam itu? Bukan belajar silat?"

   "Memang aku menjadi muridnya untuk belajar ilmu silat."

   "Dan engkau sudah pernah dilatih silat? Apakah dia pandai ilmu silat?"

   
Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Cin Han menggeleng kepalanya.

   "Aku belum pernah dilatih silat, dan suhu adalah orang yang paling pandai dalam ilmu silat."

   "Hemmm, sudah dua tahun belajar akan tetapi sama sekali belum diajar ilmu silat. Bagaimana mungkin ini? Kalau begitu, jelas engkau dibohonginya. Cin Han. Agaknya dia sama sekali tidak pandai ilmu silat. Coba, selama ini engkau hanya disuruh memikul air, memanggul kayu, mengenakan sepatu kayu berat, untuk apa itu? Hanya ilmu membaca kitab itu memang berguna. Akan tetapi semua pekerjaan berat itu..."

   "Amat bermanfaat, nona. Dari pekerjaan itu, aku mendapatkan kekuatan pada tubuhku, juga ketenangan dan kesabaran bagi batinku. juga semua itu memupuk ketahanan terhadap penderitaan yang amat diperlukan untuk kehidupan ini."

   "Akan tetapi apa artinya semua itu? Engkau tidak diajar bagaimana harus menyerang dan merobohkan orang!"

   "Belajar silat bukan hanya berarti harus merobohkan orang, nona!"

   Kembali anak perempuan itu terbelalak memandang wajah Cin Han.

   "Lalu untuk apa?"

   Ciu Han tersenyum. Anak perempuan ini masih kanak-kanak, akan tetapi manis, mungil dan lucu sekali.

   "Untuk menjaga kesehatan, nona. Untuk membela diri dari ancaman bahaya..."

   "Hemm, kalau aku tidak! Aku ingin menjadi seorang pendekar wanita yang membela kebenaran dan keadilan, menentang kejahatan seperti watak para pendekar yang kubaca dalam cerita kitab, sudah malam, Cin Han. Aku harus beristirahat, besok harus bangun pagi-pagi sekali untuk berlatih jurus-jurus baru yang sulit, bersama suheng di dekat sumber air!"

   Anak perempuan itu dengan lincahnya lalu meloncat dan berlari kecil menanggalkan Cin Han yang kini duduk termenung. Ucapan anak itu sedikit banyak mendatangkan bahan pemikiran. Memang sering dia merindukan pelajaran ilmu silat yang belum juga diturunkan gurunya. Akan tetapi diapun cukup waspada dan melihat hasil dari semua pekerjaan berat itu.

   Apa lagi memikul air itu. Suhunya sengaja memberi pikulan yang terbuat dari belahan bambu-bambu kecil yang dijadikan satu dan diikat. Selama dua tahun ini, ikatan seratus batang bambu kecil itu setiap bulan dikurangi oleh suhunya. Dia tidak merasakan ini dan tahu-tahu sekarang ikatan itu tinggal dua puluh batang saja! Akan tetapi dia sanggup memikul air di dua ember kayu itu dengan pikulan yang kecil itu! Juga dia sanggup memanggul sebatang kayu besar dengan mudah mendaki anak tangga, sambil lari lagi dan tidak pernah terengah-engah napasnya, bahkan sedikit saja peluh yang keluar. Tidak, dia tidak boleh ragu-ragu. Semua ini tentu sudah diatur oleh suhunya. Dia mengingat-ingat lagi pelajaran atau pekerjaan apa saja yang telah diberikan oleh gurunya kepadanya selama dua tahun ini. Memikul air dengan pikulan yang setiap bulan dikurangi besarnya.

   Mengangkat dan memanggul kayu bakar, kemudian membelah kayu bakar itu menjadi kayu-kayu kecil memperguna-kan kapak yang setiap bulan diganti semakin besar akan tetapi semakin tumpul. Kalau dia disuruh menanak nasi atau memasak air, dia harus mengipasi api dengan berdiri dalam posisi yang tertentu, mula-mula seperti orang menunggang kuda dan dia tidak boleh mengubah posisi kedua kaki dan tubuh itu sebelum nasi yang ditanaknya matang atau air yang dimasaknya mendidih. Mula-mula pekerjaan ini membuat kedua kakinya terasa lelah dan kaku, bahkan kalau dipakai berjongkok saja terasa nyeri semua otot kedua kaki, akan tetapi lambat laun dia menjadi biasa dan kedudukan kaki itu diubah ubah, makin lama semakin sulit. Gurunya tidak memberitahu apa gunanya dun kelihatannya memang seperti siksaan.

   Namun dia yakin semua ini diperintahkan gurunya untuk kebaikan dirinya, untuk menggemblengnya. Bahkan beberapa bulan terakhir ini, kalau dia memikul air atau memanggul kayu, dia diharuskan melalui lorong kecil yang dibuat gurunya, lorong dari batu-batu yang tidak rata dan licin bukan main. Beberapa kali dia terjatuh ketika melintasi lorong ini, sampai lambat laun dia mampu memikul air atau memanggul kayu melalui lorong itu sambil berlari! Dan yang terakhir ini, dia diharuskan memakai sepatu kayu yang amat berat! Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia sudah bangun dan bersembunyi di dekat sumber air untuk mengintai dan menonton Lian Hwa dun Cong Bu berlatih silat. Tak lama kemudian, dua orang anak itu datang dan mereka lalu berlatih jurus jurus ilmu silat baru.

   Cin Han memperhatikan, akan tetapi dia tidak mengerti. Gerakan mereka itu baginya terlalu cepat dan terlalu sukar untuk diikuti, hanya dia melihat bahwa kaki mereka itu membentuk kedudukan kedudukan seperti yang pernah dilakukannya ketika dia menanak nasi dan mengipasi api. Dia mengenal kedudukan-kedudukan dua kaki, akan tetapi tidak tahu bagaimana caranya bergerak memindah-mindahkan kaki dan mengubah-ngubah posisi seperti kedua orang anak itu. Juga kedua tangan mereka amat cepat, dan amat indah. Diam-diam dia mencatut beberapa gerakan dalam hatinya untuk ditirunya nanti. Demikianlah, kini seringkah Cin Han bersembunyi dan mengintai latihan silat dua orang anak ini, sementara itu, gurunya memberinya pekerjaan yang semakin lama semakin berat.

   Bahkan gurunya menyerahkan sebuah ikat pinggang dari besi yang berat sekali, yang harus dipasang di balik bajunya setiap kali dia bekerja berat! Demikianlah, dua tahun lagi lewat dengan cepatnya, Empat tahun sudah Cin Han tinggal di dalam kuil itu dan dia telah menjadi seorang pemuda remaja berusia empat belas tahun! Demikian tekun dia bekerja mentaati semua perintah suhunya sehingga digembleng selama empat tahun ini, tubuhnya telah memiliki kekuatan yang luar biasa sekali sehingga tak seorangpun hwesio yang bekerja di dapur mampu menandinginya dalam hal kekuatan atau kecepatan memikul air atau memanggul kayu, membelah kayu dan semua pekerjaan dapur. Dan karena Cin Han amat rajin, tak pernah mengomel, juga bersikap hormat, sopan dan ramah, semua hwesio di kuil itu, termasuk Thian Cu Hwesio, suka kepadanya.

   Kalau Cin Han sudah empat tahun berada di kuil itu, Cong Bu dan Lian Hwa sudah belajar silat sampai enam tahun lamanya! Kini Cong Bu telah menjadi seorang pemuda berusia lima belas tahun sedangkan Lian Hwa seorang gadis kecil berusia tiga belas tahun yang semakin manis, lincah dan lucu. Semenjak pertemuan mereka pada pertama kali itu, hubungan antara Cin Han dan Lian Hwa semakin akrab, walaupun jarang sekali mereka berkesempatan untuk bicara berdua saja dan rasa saling suka antara mereka lebih banyak terpendam di dalam hati masing-masing. Hubungan antara Cin Han dan Cong Bu biasa saja, dan pemuda putera komandan pasukan keamanan itu kini menjadi semakin congkak saja setelah merasa bahwa dia telah menguasai ilmu silat yang lumayan tingginya.

   Tentu saja dia meman-dang rendah kepada Cin Han yang diketahuinya hanya seorang kacung yang belum pernah belajar ilmu silat, walaupun diam-diam dia mengagumi kekuatan Cin Han kalau memikul air menggunakan pikulan kecil dan memanggul kayu besar dengan kaki memakai sepatu kayu yang berat akan tetapi dapat berlari cepat mendaki anak tangga itu. Namun baginya, semua itu tidak ada gunanya. Apa artinya tenaga besar kalau tidak dapat bersilat? Seperti gentung kosong berisi angin belaka, demikian dia pernah berkata kepada sumoinya. Pada suatu pagi, seperti biasa, Cong Bu dan Lian Hwa berlatih ilmu silat di dekat sumber air. Mereka tidak tahu bahwa Cin Han mengintai dan nonton mereka berlatih silat, seperti biasa pula.

   Sudah ada beberapa jurus yang dipelajari Cin Han dari hasil mencuri lihat ini, akan tetapi hal ini disimpan rahasia, bahkan kepada Hek-bin Lo-han sendiri tak pernah dia memperlihatkan hasil "curiannya"

   Itu. Akan tetapi pada pagi hari ini, hanya perkiraan Cin Han saja bahwa dua orang itu tidak tahu akan pengintaiannya. Sebetulnya, Cong Bu dan Lian Hwa sudah mengetahuinya. Ada seorang hwesio memberitahu kepada mereka akan perbuatan Cin Han, setelah tanpa disengaja hwesio ini melihat perbuatan Cin Han mengintai itu. Hwesio ini memang agak tidak suka kepada Cin Han, terdorong rasa iri karena kepala dapur amat menyayang pemuda itu. Cong Bu dan Lian Hwa berlatih dengan sengaja berpura-pura tidak tabu bahwa Cin Han sedang mengintai mereka dari balik batang pohon dan batu besar di dekat sumber air.

   "Mari kita berlatih Sin-eng-kun, sumoi"

   Kata Cong Bu.

   "Baik, suheng!"

   Jawab Lian Hwa dan mereka berdua lalu bersilat saling serang dengan ilmu silat Sin-eng-kun (Silat Garuda Sakti).

   Gerakan mereka cepat bukan main akan tetapi Cin Han melihat betapa dalam latihan saling serang dengan ilmu silat yang sama ini, nampaklah bahwa gerakan Lian Hwa masih lebih gesit dan ringan dibandingkan suhengnya. Tubuh mereka berkelebat dan kadang-kadang tubuh Lian Hwa melayang ke atas lalu menyambar ke bawah. Mereka benar-benar tangkas dan gagah. Gerakan mereka mirip sepasang burung garuda yang saling serang, membuat Cin Han kagum bukan main. Pengetahuannya tentang ilmu silat terlalu dangkal untuk dapat mengikuti gerakan mereka. Akan tetapi dia melihat betapa Cong Bu terdesak dan mulai mundur-mundur mendekati tempat di mana dia bersembunyi. Dia tidak tahu bahwa memang latihan ini disengaja oleh mereka dan Cong Bu sengaja mundur untuk mendekati tempat dia bersembunyi.

   "Haiiiiitt!"

   Lian Hwa menyerang dengan cepat.

   "Hynaaah!"

   Cong Bu meloncat menghindar, akan tetapi loncatannya jauh dan tahu-tahu dia telah tiba di samping Cin Han yang tentu saja menjadi terkejut sekali.

   "Wah, kiranya di sini ada orang mengintai kita, sumoi!"

   Kata Cong Bu sambil menangkap lengan Cin Han dan menarik pemuda itu keluar dari balik batu besar. Dengan muka merah Cin Han membiarkan dirinya ditarik keluar.

   "Cin Han, engkau mengintai kami berlatih? Sudah seringkah engkau melakukan hal ini?"

   Tanya Lian Hwa sambil mengerutkan alisnya, tidak mengerti bagaimana seorang seperti Cin Han yang diketahuinya selalu terbuka dan jujur itu kini dapat bersembunyi sambil mengintai orang lain.

   "Sudah sering sekali,"

   Kata Cin Han mengangguk.

   "Tapi mengapa?"

   Tanya pula Lian Hwa.

   "Aku ingin sekali melihat kalian berlatih silat. Karena tidak mau mengganggu dan khawatir kalian berkeberatan, maka aku mengintai. Maafkan aku, kongcu dan siocia."

   Dia membungkuk dengan sikap hormat meminta maaf.

   "Enak saja kau! Sudah mencuri lalu meminta maaf begitu saja! Tidak, engkau harus diperlakukan sebagai pencuri! Kau kembalikan hasil curianmu dan engkau harus dihukum!"

   "Aku tidak mencuri apa-apa, akan tetapi aku sudah bersalah melakukan pengintaian dan terserah kalau mau menghukum aku,"

   Kata Cin Han pasrah karena dia sudah merasa bersalah. Sementara itu, Lian Hwa diam dan menonton saja karena bagaimanapun juga, tidak senang ia melihat Cin Han melakukan pengintaian yang dianggapnya perbuatan yang tidak layak, ia kecewa melihat Cin Han yang dikaguminya itu ternyata kini suka mengintai orang.

   "Engkau menyangkal bahwa engkau telah mencuri? Engkau mengintai kami berlatih silat, tentu engkau telah menirunya, bukankah itu berarti engkau mencuri ilmu kami? Huh, kiranya Hek-bin Lo-ban mengajarmu untuk mencuri, ya? Pantas, memang dia bekas perampok!"

   Cin Han mengangkat mukanya dan memandang wajah Cong Bu dengan sinar mata mencorong dan alis berkerut.

   "Aku memang telah bersalah, akan tetapi itu kesalahanku sendiri dan sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan suhu! Suhuku bukan perampok, jangan engkau menghina orang!"

   "Hemm, bukan perampok, ya? Dia bekas perampok besar yang kini menjadi seorang hwesio. Tanya saja kepada para hwesio di sini. Semua orang tahu, kecuali engkau yang pura-pura tidak tahu. Buktinya sekarang dia mengajar engkau mencuri ilmu kami. Sungguh cocok guru dan muridnya!"

   "Omitohud...!"

   Tiba-tiba terdengar seruan halus dan ketika mereka menengok, tahu-tahu di situ telah berdiri Hek-bin Lo-han, Lian Hwa merasa rikuh sekali, akan tetapi Cong Bu tidak. Dia adalah putera seorang perwira, dan murid ketua kuil itu. Takut apa menghada-pi tukang masak pengurus dapur ini? Pula, dia bicara apa adanya secara terbuka karena memang dia mendengar bahwa hwesio bermuka hitam ini bekas perampok. Melihat gurunya, Cin Han cepat menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu.

   "Suhu, maafkan teecu yang membuat keributan,"

   Katanya penuh penyesalan.

   "Cin Han, kongcu ini benar. Memang pin-ceng adalah seorang bekas perampok, seorang tokoh sesat yang telah menyadari kekeliruannya dan kembali ke jalan benar. Akan tetapi pinceng tidak pernah mengajarkan engkau untuk mencuri. Benarkah engkau suka mengintai mereka dan meniru jurus-jurus mereka?"

   "Benar, suhu."

   Jawab Cin Han sejujurnya.

   "Sudah seringkali?"

   "Sudah, suhu."

   "Sudah berapa banyak jurus yang kau tiru dan kau pelajari?"

   "Sudah banyak yang teecu lihat akan tetapi teecu tidak berhasil menirukannya, suhu, kecuali satu jurus saja, kalau tidak salah mereka menyebut jurus itu Harimau Putih Menerkam Ular. Jurus ini sudah taecu pelajari dan teecu latih."

   Hek-bin Lo-hati kini menghadapi Cong Bu dengan sikap tenang dan muka ramah.

   "Nah, engkau sudah mendengar sendiri, kongcu dan siocia. Muridku yang bodoh dan bersalah ini telah mencuri hanya satu jurus saja ilmu silat kalian, terserah kepada kalian untuk menghukumnya."

   "Aib, Lo-han, urusan kecil tidak berarti ini, sudahlah. Perlu apa dibesarkan?"

   Kata Lian Hwa dengan hati tidak enak mengingat betapa tadi suhengnya memburuk-burukkan kakek ini sebagai bekas perampok.

   "Tidak, sumoi. Hek-bin Lo-han benar. Siapa mencuri haruslah dihukum dan hasil curiannya harus dikembalikan."

   "Aku sudah merasa bersalah, kongcu. Kalau hendak menghukumku, silakan, akan tetapi bagaimana aku harus mengembalikan jurus yang kau anggap telah kucuri itu?"

   Kata Cin Han dengan penasaran dan penuh penyesalan karena urusan itu ternyata telah menyangkut diri gurunya, bahkan tadi gurunya telah mengalami penghinaan.

   "Cin Han, engkau tadi mengaku telah melatih diri dengan jurus Harimau Putih Menerkam Ular. Nah, engkau kini pergunakan jurus itu untuk menyerangku, hendak kulihat apakah engkau benar telah menguasainya atau belum. Kalau belum, biarlah kubebaskan engkau dari mengembalikan jurus itu dan hanya akan kuhukum yang layak bagi seorang pencuri.

   Nah, kau seranglah aku dengan jurus itu!"

   Berkata demikian, Cong Bu memasang kuda-kuda, siap menyambut serangan Cin Han dengan jurus yang telah dikenalnya dengan baik itu. Lian Hwa meman-dang dengan khawatir, tidak tahu harus berbuat apa. Tentu saja Cin Han menjadi bingung dan ragu-ragu, tidak berani menyerang Cong Bu dan dia menoleh ke arah gurunya. Dia melihat hwesio tua itu juga memandang kepadanya dan Hek-bin Lo-han mengangguk sambil berkata,

   "Engkau harus berani mempertanggungjawabkan perbuatanmu. Dia minta engkau menyerangnya dengan jurus itu, nah, lakukanlah. Tunggu apa lagi?"

   Cin Han merasa bingung sekali, akan tetapi karena dia sudah mengaku salah dan sudah sanggup menerima hukumannya, maka diapun lalu melangkah maju sambil berseru,

   "Beginilah jurus itu!"

   Dia meloncat ke arah Cong Bu, mengangkat kedua tangan ke atas lalu menceng-keram ke bawah, ke atas dan ke bawah lagi dengan cepatnya,

   Mula-mula menyerang muka, kemudian mencengkeram ke arah leher dan perut Cong Bu tentu saja mengenal baik jurus ini yang sudah dilatihnya selama bertahun-tahun, dan biarpun dia kaget melihat betapa baiknya gerakan jurus itu dilakukan oleh Cin Han, namun dia tahu bagaimana harus menghadapinya. Karena dia ingin sekaligus menghadapi jurus ini dan merobohkan Cin Han, maka dia mengerahkan tenaga untuk menangkis dan terus mendorong dengan kekuatan sepenuhnya! Di sinilah letak kesalahan Cong Bu. Begitu dia menangkis dan mendorong, bukan tubuh Cin Han yang terdorong atau terpelanting, sebaliknya dia merasa seolah-olah tenaganya membalik dan dia sendiri yang terdorong sampai terhuyung-huyung ke belakang! Hal ini tidaklah mengherankan.

   Walaupun Cong Bu tentu saja lebih mahir menggunakan jurus itu, namun latihan selama empat tahun telah memberi kepada Cin Han tenaga yang luar biasa, bukan sekedar tenaga otot melainkan tenaga dalam karena selain berlatih badan, diapun digembleng dengan ilmu siu-lian (samadhi) dan cara menghimpun tenaga di dalam tubuh oleh gurunya, walaupun belum dijelaskan bagaimana kegunaan tenaga dalam itu. Cong Bu salah perhitungan dan dia terlalu meman-dang ringan kepada Cin Han. Kalau saja dia mengelak dan mempergunakan kecepatannya, tak mungkin dia sampai terhuyung dan tentu Cin Han takkan pernah mampu mengenai tubuhnya. Akan tetapi dia terlalu bernapsu untuk merobohkan Cin Han, maka dia menggunakan tenaga untuk menangkis, tidak tahu bahwa dalam hal adu tenaga, dia sama sekali bukan tandingan Cin Han.

   "Ehhh...!"

   Dia berseru ketika terhuyung dan hampir terjengkang. Kemarahan membuat mukanya berubah merah sekali.

   "Sekarang, terimalah hukumanmu sebagai pencuri!"

   Teriaknya dan diapun menyerang kalang kabut, mempergunakan ilmu silat Siauw-lim-pai yang dipelajari selama enam tahun ini dari Thian Cu Hwesio! Cin Han tidak mau melawan karena dia sudah berjanji menerima hukumannya dan diapun bingung melihat gerakan Cong Bu sedemikian cepatnya dan tahu-tahu tangan kanan Cong Bu-sudah menghan-tam ke arah dadanya, keras sekali.

   "Bukkk!!"

   Hampir Cong Bu berteriak kaget.

   Pukulannya yang mengenai dada itu meleset seperti memukul benda keras yang licin saja dan tubuh Cin Han hanya terpukul miring, akan tetapi pemuda kecil itu sama sekali tidak terhuyung karena kakinya dapat tegak di tempatnya! Hal inipun tidak aneh. Latihan kerja berat dan samadhi telah membuat Cin Han memiliki tenaga yang kuat dan otomatis tenaga di dalam tubuhnya bergerak melindungi bagian yang akan dipukul, membuat bagian dada tadi dipenuhi tenaga yang amat kuat. Sementara itu, kedua kakinya juga sudah dilatih memasang kuda-kuda yang dilakukan dengan tekun sambil mengipasi api di dapur sehingga kedua kakinya dapat merpasang kuda-kuda sedemikian kuatnya seolah-olah berakar. Karena penasaran, kembali Cong Bu memukul, tidak kalah kuatnya dari pukulan pertama tadi, sekarang leher yang menjadi sasaran!

   "Desss...!"

   Kembali leher Cin Han yang sebelah kiri terkena pukulan kuat sekali dan untuk kedua kalinya pukulan itu meleset. Sekali inipun Cin Han tidak roboh atau terhuyung, hanya melangkah ke samping satu langkah saja untuk menahan keseimbangan tubuhnya. Marahlah Cong Bu. Dua kali pukulannya tidak mampu merobohkan Cin Han, bahkan selalu meleset dan kacung itu terhuyungpun tidak!. Dia lalu menyerang dengan cepat dan bertubi-tabi, memukul, menampar dan menendang!

   Repotlah Cin Han sekarang. Dia dipukul dan ditendang bertubi-tubi, akan tetapi anehnya, dia tidak pernah roboh dan kedua kakinya melangkah ke sana-sini dengan amat sigapnya! Ini adalah berkat latihannya memikul air dan memanggul kayu melalui lorong yang dibuat oleh gurunya, yang amat licin itu. Latihan ini membuat dia mampu mengatur langkah-langkah sedemikian rupa sehingga dia dapat bertahan dan tidak akan terjatuh biarpun diserang secara hebat dan bertubi-tubi oleh Cong Bu. Suara pukulan dan tendangan yang mengenai tubuhnya itu terdengar bak-bik-buk dan pakaiannya sudah robek-robek. Melihat betapa Cin Han belum juga roboh, Cong Bu menjadi semakin penasaran dan marah, dan dia terus menyerang tanpa ingat lagi bahwa hukuman yang dijatuhkannya itu sudah melampaui batas!

   Biarpun tubuh Cin Han amat kuat seolah-olah memiliki kekebalan liar, namun dia tidak dapat melindungi mukanya ketika Cong Bu yang penasaran itu kini menyerang mukanya. Bibirnya pecah berdarah, juga hidungnya berdarah ketika terkena pukulan. Akan tetapi, pengalaman dihajar orang ini mendatangkan sesuatu yang menarik hati Cin Han. Dia mulai dapat melihat meluncurnya pukulan atau tendangan, dan dengan kelincahan kakinya, dia mulai mampu mengelak! Hajaran ini baginya seperti latihan saja, walaupun bukan latihan silat, setidaknya latihan menghindarkan diri dari serangan lawan!!. Melihat betapa muka Cin Han berdarah, Lian Hwa cepat meloncat ke depan dan menengahi mereka sambil berteriak,

   "Suheng, cukup, suheng!"

   Cong Bu sudah mandi keringat, berbeda dengan Cin Han yang sama sekali belum mengeluarkan peluh dan kini dia berdiri sambil menyusuli darah yang keluar dari hidung dan bibirnya yang terluka. Mukanya ada tanda-tanda pukulan, agak membengkak dan membiru. Dengan napas agak memburu, karena lelah, dan juga marah, Cong Bu hendak mendorong sumoinya agar minggir.

   "Tidak, aku harus menghajarnya!"

   Bentaknya.

   "Engkau sudah menghajarnya, dan sudah berlebihan!"

   Kata pula Lian Hwa.

   "Sudah, mari kita pergi..."

   "Tidak...!!"

   "Suheng, kalau kau lanjutkan, aku akan marah dan aku akan membela Cin Han untuk menandingimu!!"

   Tiba-tiba anak perempuan itu mengambil sikap tegas dan keras. Cong Bu terkejut dan sejenak mereka saling pandang dengan marah. Akhirnya Cong Bu mengalah. Tak mungkin dia akan berkelahi melawan Lian Hwa. Akan tetapi hatinya tidak puas karena dia belum berhasil merobohkan Cin Han! Lian Hwa menghampiri Cih Han.

   "Cin Han, engkau tidak apa-apa?"

   Cin Han tersenyum dan menggeleng kepala.

   "Ciu-siocia (nona Ciu), harap maafkan aku yang telah mengintai engkau berlatih silat."

   "Ahh, sudahlah, Cin Han. Engkau maafkan kami!"

   Kata Lian Hwa yang segera pergi meninggalkan tempat itu. Ditinggalkan sendirian, Cong Bu merasa agak jerih juga, dan setelah mendengus diapun pergi menyusul Lian Hwa. Sejak tadi, Hek-bin Lo-han tersenyum saja melihat betapa muridnya dihajar. Kini dia memanggil.

   

Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Si Tangan Sakti Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini