Tawon Merah Bukit Hengsan 12
Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo Bagian 12
"Kami berdua, yaitu aku dan sute Thio Kam Ki, adalah murid-murid suhu Leng-hong Hoatsu di Himalaya."
"Ohh! Leng-hong Hoatsu yang mendirikan Hwe-coa-kauw?"
Tanya Bwee Hwa yang pernah mendengar cerita mendiang Siong Li tentang Hwe-coa-kauw dan tentang pertapa sakti itu.
Bun Sam menggeleng kepala.
"Kabar itu sama sekali tidak benar, nona Lim Bwee Hwa"""
"Ih, twako (kakak), kenapa begitu sungkan menyebut aku dengan nona segala? Namaku Bwee Hwa, Lim Bwee Hwa, tanpa nona bagi seorang sahabat,"
Cela Bwee Hwa.
"Baiklah, Hwa-moi (adik Hwa). Kuulangi, kabar bahwa guruku menjadi pendiri Hwe-coa-kauw itu sama tidak benar. Dahulu, tigapuluh tahun lebih yang lalu, suhu Leng-hong Hoatsu pernah turun gunung dan merantau ke timur, mengajarkan agama dan kebajikan, menolong orang-orang sakit. Beliau memang mempunyai seekor ular yang aneh yang beliau temukan dalam perjalanan dan memelihara ular itu. Ular kecil itu memang mempunyai tonjolan di kanan kiri seperti sayap, dan keadaannya yang aneh itu orang-orang menamakannya Hwe-coa (Ular Terbang). Sesungguhnya ular itu tidak dapat terbang, hanya melompat dari pohon ke bawah dan tonjolan di kanan kiri itu dibentangkan untuk menahan lajunya peluncuran. Nah, orang-orang bodoh yang tahyul itu mulai menyembah-nyembah ular itu yang mereka anggap sebagai penjelmaan dewa dan bahkan mengabarkan bahwa semua kepandaian suhu adalah berkat pertolongan ular itu. Ketika orang-orang itu tidak memperdulikan bantahan suhu, maka suhu menjadi kecewa dan agar ketahyulan itu tidak berlarut-larut, beliau kembali ke Himalaya membawa ularnya. Begitulah ceritanya."
Para pendengarnya mengangguk-angguk. Bwee Hwa lalu berkata.
"Aku pernah mendengar cerita itu, Sam-ko (kakak Sam) dan ternyata cocok dengan ceritamu. Sekarang lanjutkan ceritamu tentang Thio Kam Ki."
"Sejak kecil Thio Kam Ki yatim piatu seperti juga aku. Dia dirawat dan diambil murid suhu dan sejak kecil kami berdua tinggal bersama suhu. Aku lebih tua dua tahun daripada sute, dan aku banyak membimbingnya. Beberapa bulan yang lalu, seperti biasa sute mengajak aku berlatih silat dan mengadu tenaga sakti. Dan seperti yang sudah-sudah, aku mengalah dan tidak mengerahkan seluruh tenaga karena khawatir dia terluka. Akan tetapi ketika kami mengadu sin-kang, aku terkena pukulan beracun yang asing sehingga aku jatuh pingsan. Suhu menolongku dan ternyata sute telah pergi meninggalkan pondok suhu. Suhu mengatakan bahwa aku terkena pukulan beracun yang sesat dan menduga bahwa sute telah mempelajari ilmu sesat dari orang lain. Karena suhu tidak ingin melihat sute tersesat melakukan kejahatan, maka aku disuruh mencari sute dan menghalangi kalau dia melakukan kejahatan. Ketika aku lewat di kaki bukit ini, aku mendengar keluh kesah penduduk dusun bahwa gerombolan yang berada di puncak ini sering melakukan gangguan. Aku lalu mendaki bukit dan tiba-tiba aku melihat rombongan pasukan juga mendaki bukit ini. Ketika saudara Ui Kong bicara dengan kakaknya tentang pemimpin gerombolan yang bernama Kam Ki, aku terkejut dan cepat mendahului mereka naik ke sini dan kebetulan aku dapat membebaskan adik Bwee Hwa dan kedua adik kembar ini. Selanjutnya kalian sudah tahu. Aku bertanding melawan Thio Kam Ki, akan tetapi sayang dia dapat meloloskan diri."
"Sam-ko, maafkan pendapatku ini. Aku yakin bahwa kalau engkau menghendaki, tentu Thio Kam Ki sekarang telah menggeletak tanpa nyawa. Engkau sengaja membiarkan dia lolos!"
Bun Sam diam-diam terkejut walaupun tidak dia perlihatkan, lalu sambil mena-tap tajam wajah gadis yang menawan hatinya itu, dia bertanya.
"Hwa-moi, bagaimana engkau dapat menduga begitu?"
Bwee Hwa tersenyum nakal.
"Bukan duga sembarang duga, twako. Tadi aku mendengar betapa engkau membujuk Kam Ki dan mengajaknya kembali kepada suhumu. Aku yakin engkau amat menyayang sutemu yang sejak kecil kaukenal itu, dan engkau yang memiliki budi pekerti halus dan bijaksana, tentu tidak tega untuk membunuhnya."
Bun Sam menghela napas.
"Engkau benar, Hwa-moi. Aku memang tidak mau mendesaknya, bukan karena aku berbudi baik dan bijaksana, melainkan karena aku lemah. Aku tidak patut dipuji, sepantasnya dicela!"
"Aku kagum padamu dan aku selalu memujimu, Sam-ko. Sekarang tiba giliranmu, Kong-ko. Ceritakan pengalamanmu, bagaimana engkau dapat melo-loskan diri dan datang bersama Kiang-ko dan pasukan."
"Hwa-moi, engkau dulu ceritakan apa yang terjadi. Kami sudah ingin sekali mendengarnya, terutama aku,"
Kata Ui Kiang.
"Baiklah, dan karena Sam-ko dan kedua enci kembar belum mengetahui, biar kuceritakan dari semula. Kami bertiga, aku, Kong-ko ini, dan mendiang twako Ong Siong Li, melakukan pengejaran terhadap penjahat Pek-lian-kauw yang merampok patung emas Dewi Kwan Im dari kuil Ban-hok-si dan telah membunuh paman Ui Cun Lee, ayah kakak Ui Kiang dan Ui Kong ini. Setelah kami menemukan sarang Pek-lian-kauw di puncak bukit ini, kami bertiga mendaki puncak dan....... ah, kalau aku teringat lalu aku menyadari betapa bodoh dan lancangnya aku. Mendiang kakak Ong Siong Li sudah memperingatkan bahwa tempat ini berbahaya dan sebaiknya mencari bala bantuan. Akan tetapi aku....... aku yang dungu ini membantah dan aku memaksanya nekat menyerbu perkampungan Pek-lian-kauw. Dan akibatnya....... Li-ko telah tewas....... ah, aku menyesal sekali tidak menaati peringatannya."
Teringat akan ini, Bwee Hwa memejamkan matanya mencegah mengalirnya kembali air matanya.
"Hwa-moi, akulah yang bersalah!"
Ui Kong berkata sambil mengepal tangannya.
"Aku juga membantah pendapat Li-ko dan memaksanya terus naik ke sarang Pek-lian-kauw. Dia tewas karena kebodohanku yang sombong mengandalkan kekuatan sendiri sehingga akhirnya dia malah yang menjadi korban. Li-ko tewas karena kecerobohanku!"
"Kecerobohan kita berdua, Kong-ko."
Can Gin Siang yang duduk dekat Bwee Hwa, merangkul gadis itu dan membujuk.
"Sudahlah, Bwee Hwa, tiada gunanya disesali dan ditangisi lagi. Bagaimanapun juga, dia tewas sebagai seorang pendekar yang gagah perkasa."
Can Kim Siang juga menghibur Bwee Hwa.
"Benar apa yang dikatakan A Gin itu, Bwee Hwa. Setiap orang bisa saja melakukan kekeliruan perhitungan seperti itu. Lebih baik lanjutkan ceritamu."
Bwee Hwa mengangguk. Menyadari bahwa Siong Li tewas sebagai seorang pendekar gagah sedikitnya dapat menghibur hatinya.
"Setelah kami bertiga tiba di perkampungan Pek-lian-kauw, kami segera dihadapi Thio Kam Ki dan dikeroyok para anggauta Pek-lian-kauw yang dipimpin oleh Ang-bin Moko dan Pek-bin Moko. Aku sendiri menghadapi Thio Kam Ki, akan tetapi dia terlalu lihai bagiku sehingga aku tertawan dan aku masih sempat melihat kakak Ong Siong Li dikeroyok banyak anak buah Pek-lian-kauw. Si jahanam Thio Kam Ki itu menawanku dan mengikat aku ke dalam sebuah kamar. Tak lama kemudian aku mendengar ribut-ribut di luar seperti orang berkelahi dan tak lama kemudian jahanam itu masuk kamar sambil membawa kedua enci ini sebagai tawanan pula. Dia juga mengikat kaki tangan mereka seperti aku. Kami sama sekali tidak berdaya dan jahanam itu mengeluarkan ancaman-ancaman yang mengerikan. Akan tetapi ketika dia keluar dari kamar, katanya hendak mandi, muncullah Sam-ko ini yang membebaskan kami bertiga. Kami segera bersama Sam-ko keluar dan mengamuk! Nah, itulah ceritaku. Sekarang aku minta kakak Ui Kong menceritakan pengalamannya karena ketika Siong Li dikeroyok dan aku tertawan, dia masih dikeroyok banyak orang."
Ui Kong menghela napas panjang.
"Wah, menyeramkan sekali ceritamu, Hwa-moi. Untung ada Sam-ko ini! Tentang diriku....... ah, semakin sedih kalau kuingat pengalamanku. Ketika terjadi pertempuran itu aku berhadapan dengan Pek-bin Moko yang amat kubenci karena dialah yang dulu membunuh ayahku. Biarpun dikeroyok banyak orang, dengan nekat aku menerjangnya dan akhirnya aku berhasil membalaskan kematian ayah, berhasil membunuh Pek-bin Moko. Akan tetapi keadaan Li-ko dan aku semakin terdesak. Dalam keadaan seperti itu Li-twako mendesak aku agar supaya aku melarikan diri dan mencari bala bantuan. Tadinya aku membantah, akan tetapi Li-ko mendesak dan mengatakan agar aku mencari bantuan untuk menolong Hwa-moi yang tertawan. Terpaksa aku mencari jalan keluar dan Li-ko mengamuk, menahan mereka yang hendak mengejar aku. Aku berhasil mendapatkan kuda kami dan aku melarikan diri turun gunung."
"Kami berpapasan denganmu ketika kami berdua menunggang kuda mendaki puncak!"
Kata Can Gin Siang sambil memandang wajah Ui Kong.
"Ya, aku ingat dan aku sempat heran melihat dua orang gadis yang persis sama segalanya,"
Kata Ui Kong sambil tersenyum.
"Setelah tiba di lereng bawah, aku bertemu dengan kakakku Ui Kiang ini yang membawa duaratus orang perajurit. Kami lalu menyerbu ke puncak dan selanjutnya kalian sudah mengetahui."
Ui Kong mengakhiri ceritanya.
(Lanjut ke Jilid 13)
Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan (Cerita Lepas)
Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 13
"Engkau tidak perlu menyesal telah meninggalkan Li-ko, karena bagaimanapun juga, Li-ko benar. Kalau engkau tidak melarikan diri mencari bala bantuan, tentu engkaupun akan tewas dikeroyok begitu banyak orang, terutama di sana ada Kam Ki dan Ang-bin Moko yang lihai,"
Kata Bwee Hwa.
"Sekarang giliranmu, Kiang-ko. Dahulu engkau kami tinggalkan di kota Ki-lok, lalu bagaimana engkau dapat mengajak pasukan untuk menolong kami?"
Ui Kiang menghela napas panjang dan berkata dengan suaranya yang lembut.
"Setelah kalian bertiga berangkat untuk mencari penjahat yang membunuh ayah dan mencuri patung, aku merasa gelisah dan juga bersedih. Ayah dibunuh orang dan aku yang lemah ini tidak mampu berbuat apa-apa. Aku hanya seorang kutu buku, seorang siucai (sastrawan) yang lemah dan tiada guna. Patung kuil Ban-hok-si dicuri orang akupun tidak dapat bantu mencarinya. Aku khawatir kalian bertiga akan menghadapi bahaya, maka aku lalu menghubungi komandan pasukan keamanan yang menjadi sahabat baik ayah dan minta bantuannya. Dia segera membantuku dengan mengirim pasukan beserta tiga perwiranya. Aku lalu mengajak mereka pergi mencari gerombolan Kiu-liong-pang dan berhasil memaksa pimpinan mereka untuk mengatakan di mana adanya sarang Pek-lian-kauw. Setelah mendapatkan keterangan, aku lalu mengajak pasukan itu ke sini dan selanjutnya kalian tahu apa yang terjadi."
Ui Kong memegang lengan kakaknya.
"Kiang-ko, biarpun engkau tidak pernah belajar ilmu silat, akan tetapi engkau berjasa besar dalam peristiwa ini. Engkau pula yang dulu memberi petunjuk kepada kami untuk mencari keterangan kepada Kiu-liong-pang dan sekarang, engkau yang menolong kami membasmi Pek-lian-kauw. Biarpun tubuhmu tidak mengandung tenaga kuat seperti kami yang telah mempelajari ilmu silat selama bertahun-tahun, namun engkau memiliki pikiran yang kuat dan pandai. Aku bangga sekali, Kiang-ko!"
"Nah, semua orang telah menceritakan pengalamannya. Kini tinggal kalian berdua, enci (kakak perempuan) kembar. Aih, aku bingung sekali kalau memandang kalian ini. Tadi kalian sudah memperkenalkan nama kalian dan aku ingat benar, yaitu Can Kim Siang dan Can Gin Siang, akan tetapi kalian begitu sama segala-galanya, bagaimana aku tahu mana yang Kim (emas) mana yang Gin (perak)?"
Kata Bwee Hwa sambil tertawa.
Mereka semua ikut tertawa. Betapa cepatnya gadis itu melupakan kedukaannya karena kematian Ong Siong Li, sahabatnya yang paling baik. Pada umumnya orang akan beranggapan bahwa Bwee Hwa tidak mengenal budi atau tidak sayang kepada sahabat baiknya itu. Anggapan ini sebenarnya keliru sehingga banyak orang, demi "jangan dianggap demikian", suka berlarut-larut dalam perkabungannya karena kematian keluarga. Bahkan ada yang mengenakan pakaian berkabung sampai setahun atau beberapa tahun sebagai tanda kedukaannya! Biar dianggap mengenal budi dan setia kepada orang yang telah meninggal dunia. Padahal, semua kedukaan yang tampak atau sengaja diperlihatkan itu kebanyakan hanya pada luarnya saja. Dalam batinnya sudah lama tidak ada lagi kedukaan itu!
Bwee Hwa adalah seorang gadis yang polos, tidak suka berpura-pura. Orang seperti Bwee Hwa ini tidak mudah terbawa emosi, tidak akan larut dalam duka dan tidak akan mabok dalam suka. Suka dan duka hanya bagaikan angin yang melandanya, namun hanya sebentar dan setelah lewatpun tiada bekasnya lagi.
"Ah, aku tahu mana yang bernama Can Kim Siang dan mana yang Can Gin Siang,"
Kata Ui Kiang dengan senyum yang khas, senyuman yang membayangkan kesabaran hatinya.
"Aku juga tahu mana Nona Can Gin Siang, tidak mungkin salah!"
Kata pula Ui Kong dengan gembira.
Bwee Hwa membelalakkan mata dan mengangkat alisnya, senyumnya melebar. Hemm, kakak beradik yang salah satu akan dijodohkan dengannya ini ternyata menaruh perhatian kepada gadis kembar itu! Kalau benar dugaannya, ia merasa lega dan girang sekali.
Sesungguhnya, ia sendiri bingung kalau harus menentukan siapa di antara mereka yang harus dipilihnya. Kedua orang pemuda itu memiliki keistimewaan masing-masing dan ia merasa yakin bahwa keduanya dapat menjadi suami yang baik. Akan tetapi, harus ia akui bahwa biarpun ia merasa kagum dan suka kepada kedua orang kakak beradik Ui itu, seperti juga rasa kagum dan sukanya kepada Ong Siong Li, tidak ada keinginan dalam hatinya untuk menjadi isteri seorang di antara mereka bertiga.
Dulu pernah ia mengira bahwa ia mencinta Siong Li, akan tetapi akhir-akhir ini ia menyadari bahwa rasa sukanya itu hanyalah rasa sayang di antara sahabat. Siong Li terlalu baik kepadanya sehingga ia merasa berhutang budi, kagum dan juga sayang karena ia merasa benar betapa Siong Li amat menyayangnya. Karena itu, melihat kini kedua orang kakak beradik Ui itu tampaknya tertarik kepada sepasang gadis kembar, ia merasa senang sekali.
Karena selain ia merasa tidak ingin menjadi isteri seorang di antara mereka, juga ia merasa bingung dan kasihan kalau harus memilih salah satu karena itu akan membikin kecewa yang lain. Sejak pertemuan pertama, kedua kakak beradik itu seolah bersaing atau berlumba untuk menarik hatinya!
"Kiang-ko dan Kong-ko, coba buktikan kalau kalian memang benar dapat membedakan antara kedua orang enci kembar ini! Rasanya tidak mungkin engkau dapat membedakan. Mereka begitu persis, tidak ada perbedaannya sedikitpun juga. Wajahnya, bentuk badannya, gelung rambutnya, pakaiannya! Wah, benar-benar membingungkan!"
Kata Bwee Hwa dan melihat gadis kembar itu tertawa, ia berseru.
"Lihat, ketawanya juga sama. Bukan main!"
"Akan tetapi aku akan selalu mengenal adik Can Kim Siang!"
Kata Ui Kiang dengan suara penuh keyakinan dan sepasang matanya memandang ke arah wajah Kim Siang.
"Dan aku akan selalu dapat mengenal adik Can Gin Siang!"
Kata pula Ui Kong tidak kalah yakin.
"Sekarang begini saja! Aku akan menguji kalian!"
Kata Bwee Hwa dan ia merasa sangat gembira.
"Akan tetapi kalian berdua pergilah dulu ke belakang semak belukar itu agar jangan dapat melihat ke sini. Nanti akan kupanggil untuk memilih satu demi satu. Jangan mengintai, jangan curang dan Sam-ko di sini yang menjadi saksinya!"
Mereka semua merasa gembira seperti sekumpulan anak-anak sedang bermain-main. Ui Kiang dan Ui Kong dengan gembira lalu pergi ke belakang semak belukar. Bwee Hwa berbisik kepada dua orang gadis kembar itu.
"Eh, yang mana sih enci Kim Siang?"
Kim Siang sambil tersenyum menjawab.
"Aku Kim Siang dan ini adikku Gin Siang."
Bwee Hwa mengambil sehelai sapu tangan merah dari saku bajunya.
"Kalian menurut saja, aku akan menguji mereka apakah benar-benar mereka dapat mengenal kalian."
Ia lalu menyelipkan saputangan merah itu di ikat pinggang Kim Siang sehingga tentu saja kini ia tidak bingung lagi. Kim Siang yang memakai saputangan merah di sabuknya dan Gin Siang tidak.
"Kiang-ko, engkau keluarlah!"
Bwee Hwa berseru ke arah semak belukar. Ui Kiang keluar dan menghampiri, dipandang oleh Bwee Hwa, dua orang gadis kembar, dan Bun Sam dengan senyum.
"Nah, Kiang-ko, coba katakan yang mana enci Kim Siang?"
Sejenak Ui Kiang memandang kepada dua orang gadis kembar yang tersenyum itu, kemudian tanpa ragu dia mendekati Kim Siang dan berkata.
"Inilah adik Can Kim Siang!"
Dia menuding ke arah gadis yang memakai tanda merah di ikat pinggangnya itu.
Bwee Hwa dan Bun Sam mengangguk-angguk, dan Bwee Hwa lalu berseru ke arah semak belukar.
"Kong-ko, sekarang engkau keluarlah!"
Kepada Ui Kiang ia berkata.
"Kiang-ko, sekarang engkau kembalilah ke belakang semak itu."
Ui Kong datang dan Ui Kiang kembali ke belakang semak.
"Nah, katakan yang mana enci Gin Siang, Kong-ko?"
Tanya Bwee Hwa.
Ui Kong sejenak memandang dua orang gadis kembar itu dan tanpa ragu lagi dia menunjuk ke arah gadis yang tidak memakai saputangan merah sambil berkata.
"Inilah adik Can Gin Siang!"
"Bagus, sekarang aku hendak menguji kalian sekali lagi. Kembalilah ke belakang semak, Kong-ko."
Sambil tersenyum Ui Kong kembali ke balik semak di mana Ui Kiang sudah lebih dulu bersembunyi. Bwee Hwa cepat mengambil saputangan merah dari ikat pinggang Kim Siang dan memasangnya di ikat pinggang Gin Siang. Dua orang gadis kembar itu tersenyum geli dan Bun Sam juga tersenyum, memandang kagum kepada Bwee Hwa melihat kecerdikan gadis itu menguji kebenaran pengakuan dua orang pemuda itu bahwa mereka dapat mengenal dan membedakan dua orang gadis kembar itu.
"Kiang-ko dan Kong-ko, sekarang kalian berdua keluarlah!"
Bwe Hwa berseru. Dua orang pemuda itu keluar dan sambil tersenyum menghampiri dua orang gadis kembar itu.
"Sekarang, coba kalian pilih, yang mana Emas yang mana Perak?"
Kelakar Bwee Hwa. Dengan menukar tanda sapu tangan merah itu, ia yakin bahwa dua orang pemuda itu akan keliru atau salah pilih.
Akan tetapi yang membuat Bwee Hwa dan Bun Sam terheran-heran adalah ketika dua orang pemuda itu tanpa ragu dan tanpa meneliti lagi sudah melakukan pilihan masing-masing dengan tepat. Ui Kiang menghampiri Kim Siang dan memegang tangan gadis itu.
"Inilah adik Kim Siang!"
Dan Ui Kong tanpa ragu-ragu menghampiri gadis yang mengenakan sapu tangan merah di sabuknya, memegang tangannya dan berkata dengan tegas.
"Inilah adik Gin Siang!"
Bwee Hwa tertawa dan bertepuk tangan memuji.
Bun Sam merasa kagum, dan berkata.
"Hebat sekali kalian, Kiang-te dan Kong-te, bagaimana kalian dapat mengenal dan membedakan antara mereka dengan baik? Padahal aku harus mengakui bahwa aku sendiri akan bingung kalau disuruh membedakan di antara kedua orang adik kembar ini!"
"Kiang-ko dan Kong-ko, bagaimana kalian dapat memilih begitu tepat? Pada hal aku sudah memindahkan saputangan merah itu dari sabuk enci Kim Siang ke sabuk enci Gin Siang! Tentu ada rahasianya sehingga kalian dapat melihat perbedaan di antara mereka! Katakanlah, apa rahasia mereka itu?"
"Tidak ada rahasianya. Akan tetapi aku akan mudah mengenal adik Gin Siang, biarpun andaikata ia mempunyai seratus orang saudara kembar. Sinar pandang matanya itulah yang membuat aku dapat mengenalnya dengan segera!"
Kata Ui Kong sambil menatap tajam wajah gadis itu.
Gin Siang balas memandang dan ketika dua pasang mata itu bertemu pandang, ada sesuatu yang membuat jantung mereka berdebar dan Gin Siang, gadis gagah perkasa itu menundukkan mukanya yang menjadi kemerahan seperti seorang gadis dusun yang pemalu!
"Dan bagaimana dengan engkau, Kiang ko? Apa yang membuat engkau begitu mudah mengenal enci Kim Siang?"
Tanya Bwee Hwa.
Ui Kiang tampak malu-malu, apalagi dia baru menyadari bahwa sejak tadi dia masih memegangi tangan Kim Siang dan anehnya, gadis itupun membiarkan saja tangannya sejak tadi dipegang pemuda sasterawan itu!
"Kalau aku....... ah, mudah saja....... begitu adik Kim Siang tersenyum aku segera mengenalnya karena ""
Karena ada yang gingsul (bertumpang tindih) pada giginya yang atas, yang membuat senyumnya menarik sekali."
Semua orang tertawa dan Kim Siang menjadi perhatian. Iapun ikut tertawa dan tampaklah oleh semua orang bahwa memang benar ada giginya yang gingsul sedangkan Gin Siang tidak. Kalau keduanya tidak tersenyum, perbedaan itu sama sekali tidak tampak!
"Hei, kenapa kita semua lupa bahwa kita belum mendengar cerita kedua adik kembar ini? Enci Kim Siang, ceritakanlah pengalamanmu, bagaimana kalian berdua sampai tertawan pula oleh si jahanam Kam Ki,"
Kata Bwee Hwa.
Kim Siang menghela napas panjang.
"Kami berdua telah menjadi yatim piatu sejak kami berusia sembilan tahun. Ayah dan ibu tewas ketika terjadi perang saudara dan kami pasti terlantar kalau saja tidak ada piauw-ci (Kakak perempuan misan) kami yang menolong kami. Ia memelihara dan mendidik kami, mengajarkan ilmu silat kepada kami. Ketika kami berusia enambelas tahun, kami menjadi murid Hoa-san Kui-bo dan tinggal di Hoa-san selama tiga tahun. Setelah itu, kami kembali ke rumah piauw-ci di Kim-ke-san (Bukit Ayam Emas).
"Piauw-ci kami minta kepada kami untuk membalaskan dendam kepada seorang pemuda bernama Thio Kam Ki karena pemuda yang menjadi kekasihnya itu telah melakukan penyelewengan dan menyakitkan hatinya. Mengingat akan budi kebaikan piauw-ci itu kepada kami, terpaksa kami menyanggupi. Akan tetapi kami berdua diam-diam mengambil keputusan bahwa kalau Thio Kam Ki itu seorang pemuda yang baik-baik, kami tidak akan membunuhnya, hanya minta dia kembali ke Kim-ke-san untuk menghadap piauw-ci mempertanggungjawabkan perbuatannya.
"Akan tetapi di kaki bukit ini kami mendengar keluhan penduduk pedusunan tentang gerombolan pengganggu rakyat yang berada di puncak ini. Kami lalu naik untuk membasmi gerombolan. Sungguh tidak disangka bahwa pemimpin gerombolan Pek-lian-kauw ini mengaku bernama Thio Kam Ki, orang yang kami cari-cari. Tentu saja kami lalu menyerang untuk membunuhnya, pertama karena seorang kepala gerombolan yang jahat, kedua untuk memenuhi permintaan piauw-ci kami.
Kemudian, kami dikeroyok dan dibuat pingsan oleh asap pembius dari ledakan benda peledak. Dalam keadaan pingsan itu kami tidak tahu apa yang terjadi dan ketika siuman, kami sudah berada di dalam kamar, terikat kaki tangan kami, bersama Bwee Hwa ini. Nah, demikianlah kisah kami."
Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sungguh luar biasa!"
Ui Kiang berkata.
"Betapa anehnya kalau Tuhan mengatur perjalanan hidup para manusia! Kita berenam ini secara kebetulan bertemu dan berkumpul di sini, bersama-sama menentang gerombolan penjahat dan kini aku mendapat kenyataan bahwa kami semua ini adalah orang-orang yatim piatu! Sungguh merupakan suatu kebetulan yang luar biasa. Karena itu, aku dan Kong-te dalam kesempatan ini mengundang kalian semua, kakak Sie Bun Sam, adik Lim Bwe Hwa, dan kedua adik Can Kim Siang dan Can Gin Siang, untuk bersama-sama berkunjung ke rumah kami. Secara kebetulan kita semua telah menjadi sahabat-sahabat baik, dan di rumah kami, kita dapat mempererat persahabatan kita dan dapat bercakap-cakap lebih leluasa. Marilah, kalian berempat kami undang!"
Kim Siang dan Gin Siang saling pandang dan Gin Siang berkata.
"Akan tetapi....... kami belum berhasil membunuh jahanam Thio Kam Ki, kami harus mengejar dan mencarinya."
"Gin Siang-moi, jangan khawatir aku akan membantumu mencari penjahat itu. Sekarang. kuharap engkau sudi singgah ke rumah kami seperti yang diminta kakakku tadi."
"Hemm, bukan aku tidak menghargai undangan kalian, akan tetapi aku harus mengejar Kam Ki agar dia tidak mendatangkan kekacauan mengganggu rakyat lebih lanjut!"
Kata Sie Bun Sam.
"Akan tetapi, Sam-ko, mengapa engkau begitu tergesa-gesa? Kam Ki itu tidak akan dapat menghilang. Seorang yang sesat biasanya tidak dapat mengubah kelakuannya yang jahat dan dia pasti akan meninggalkan jejak kejahatannya. Singgah dulu di Ki-lok hanya memakan waktu beberapa hari. Marilah, Sam-ko, kita bersama-sama singgah dulu ke rumah kakak beradik Ui. Baru nanti dari sana kita mencari jejak Kam Ki!"
Kata Bwee Hwa.
"Kita?"
Bun Sam bertanya ragu.
"Ya, twako, karena aku sendiripun tidak mau sudah begitu saja! Jahanam itu terlalu menghinaku dan aku akan terus merasa penasaran sebelum melihat dia tewas!"
"Akan tetapi, aku berniat untuk membujuknva untuk menyerah dan menghadap suhu agar dia dapat bertaubat dan mengubah jalan hidupnya yang sesat, bukan membunuhnya."
"Kalau dia tidak mau?"
Tanya Bwee Hwa.
"Kalau dia tidak mau, baru aku akan menggunakan kekerasan dan paksaan, akan tetapi bukan membunuhnya,"
Kata Bun Sam.
Ui Kiang mengangguk-angguk.
"Ah, kak Bun Sam sungguh merupakan seorang pendekar budiman. Ilmu silatnya tinggi dan hatinya penuh kelembutan. Dia benar, Hwa-moi. Kita harus belajar memberi maaf kepada orang lain, apa lagi kalau orang itu mau bertaubat dan mengubah jalan hidupnya yang sesat. Manusia manakah di dunia ini yang sempurna? Hanya Thian (Tuhan) Yang Maha Sempurna. Setiap orang manusia pasti berdosa, pasti pernah melakukan kesalahan, hanya kadarnya saja yang berbeda menurut ukuran kebudayaan dan peradaban manusia sendiri. Kalau kita tidak dapat memaafkan kesalahan orang lain, bagaimana Tuhan akan sudi mengampuni kesalahan kita? Setiap orang dari kita pasti mempunyai kesalahan, maka kalau ada orang lain bersalah, sudah sepatutnya kalau kita memberi maaf. Sam-ko, kebijaksanaanmu semakin mengagumkan hatiku, maka kuharap sukalah engkau menerima undangan kami!"
"Sam-ko, aku sendiri menganggap Kiang-ko dan Kong-ko seperti kakak sendiri, maka akupun ikut mengundangmu!"
Kata Bwee Hwa yang entah bagaimana, ingin sekali memperdalam hubungan persahabatnya dengan Sie Bun Sam.
"Kalau Bu Sam-ko tidak mau menerima undangan itu, kamipun merasa tidak enak untuk menerimanya!"
Kata pula Can Gin Siang.
"Ah, Gin-moi, engkau harus datang!"
Kata Ui Kong sambil memandang wajah gadis itu dengan penuh harapan.
Melihat semua orang membujuknya untuk memenuhi undangan kakak beradik Ui itu, Bun Sam tertawa.
"Aha, baiklah kalau begitu. Aku akan pergi bersama kalian."
Semua orang bergembira dan karena tadi Ui Kiang minta kepada para perwira pasukan untuk memberi dua ekor kuda lagi, maka kini enam orang itu meninggalkan tempat itu dengan menunggang kuda.
Enam orang muda itu tiba dengan selamat di rumah gedung keluarga Ui. Ui Kiang dan Ui Kong lalu memerintahkan para pelayan untuk menyiapkan pesta untuk menghormati para tamunya. Dan atas permintaan Bwee Hwa, mereka juga mempersiapkan sebuah meja sembahyang untuk mendoakan agar arwah Ong Siong Li mendapatkan tempat yang baik.
Sepasang gadis kembar memperoleh sebuah kamar, dan masing-masing sebuah kamar untuk Sie Bun Sam dan Lim Bwee Hwa. Gedung keluarga Ui yang kaya itu memang merupakan gedung besar dan memiliki banyak kamar. Kini keluarga Ui itu tinggal Ui Kiang dan Ui Kong yang tentu saja merasa repot sekali harus mengurus semua perusahaan peninggalan ayah mereka. Untung bagi mereka, mendiang Hartawan Ui Cun Lee adalah seorang dermawan sehingga para pegawainya amat setia sehingga dapat dipercaya untuk mengurus perusahaan itu.
Malam itu, Ui Kiang dan Ui Kong menjamu empat orang tamu mereka. Di dalam kamarnya Bwee Hwa duduk melamun. Ia masih bingung memikirkan urusannya dengan kedua orang saudara Ui itu. Oleh mendiang ibunya, ia dijodohkan dengan seorang dari mereka, dan mendiang ayah ibu dua orang muda itupun sudah setuju menerimanya sebagai mantu. Akan tetapi bagaimana dengan Ui Kiang dan Ui Kong sendiri? Mereka berdua tampak kagum dan tertarik kepadanya, bahkan seperti berlumba mengambil hatinya. Akan tetapi hal itu bukan menjadi bukti bahwa mereka mencintanya.
Dan yang terpenting, ia sendiri tidak mempunyai rasa cinta terhadap mereka, walaupun ia suka kepada mereka berdua yang merupakan pemuda-pemuda yang baik. Tidak ada sedikitpun keinginan dalam hatinya untuk diperisteri seorang di antara mereka. Akan tetapi, apakah ia harus membangkang terhadap pesan terakhir ibunya? Inilah yang membuat Bwee Hwa melamun dengan hati risau.
Dua orang kakak beradik itu memang tampan. Yang seorang adalah sastrawan yang memiliki kebijaksaan dan berpemandangan luas tentang kehidupan. Yang lain adalah seorang pendekar yang memiliki ilmu silat tinggi. Ditambah lagi mereka itu kaya-raya. Mereka akan dapat menjadi suami yang baik, hal ini tidak diragukan hati Bwee Hwa.
Tampan, pandai, bijaksana, kaya-raya. Apalagi yang kurang bagi seorang wanita? Akan tetapi, ia harus mengaku dalam hatinya bahwa ia tidak mempunyai perasaan cinta seorang wanita terhadap pria, tidak ingin menjadi isteri mereka, hanya suka menjadi sahabat baik atau saudara.
Kerisauan hatinya membuat Bwee Hwa merasa panas dan ia segera keluar dari kamarnya yang menghadap ke taman. Ia ingin mencari udara segar untuk menenangkan hatinya. Begitu keluar dari kamar, udara segar, angin semilir lembut dan keharuman bunga-bunga menyambutnya. Ia merasa senang dan berjalan-jalan di dalam taman yang luas dan penuh tanaman pohon-pohon buah dan bunga-bunga yang mekar semerbak harum. Taman itu memang indah. Apalagi malam itu bulan tiga perempat bulat berseri di langit yang tiada mendung.
Bwee Hwa menemukan sebuah kolam ikan di tengah taman dan di tepi kolam terdapat bangku panjang. Ia lalu duduk di atas bangku. Kerisauan hatinya sudah terbawa angin semilir dan hatinya kini merasa tenteram kembali.
Tiba-tiba ia mendengar orang-orang bicara dan langkah kaki mereka menuju ke tempat di mana ia duduk. Bwee Hwa cepat bangkit dari bangku dan menyelinap ke balik sebatang pohon yang besar. Siapa tahu mereka itu musuh yang datang dengan niat jahat, pikirnya. Akan tetapi hatinya lega ketika melihat bahwa yang datang adalah Ui Kiang dan Ui Kong. Ia hendak keluar menyambut mereka, akan tetapi menahan gerakannya ketika ia mendengar namanya disebut-sebut.
"Urusan dengan Hwa-moi harus kita selesaikan sekarang juga, Kiang-ko, selagi ia masih berada di sini agar keraguan ini dapat segera diakhiri dan diambil keputusan di antara kita."
Demikian Bwee Hwa mendengar suara Ui Kong yang berkata kepada Ui Kiang.
"Mari kita duduk dan bicara dengan hati terbuka, Kong-te. Memang selama ini aku merasa seolah kita bersaing untuk memperisteri Hwa-moi,"
Ajak Ui Kiang.
Dua orang muda itu duduk dan tentu saja Bwee Hwa makin tertarik untuk mendengarkan percakapan mereka yang menyangkut dirinya.
"Biar, Kiang-ko. Terus terang saja, tadinya akau amat tertarik kepada Hwa-moi. Siapa yang tidak akan tertarik? Ia cantik jelita dan ilmu silatnya tinggi. Akan tetapi setelah aku melihat Can Gin Siang, baru aku menyadari bahwa aku jatuh cinta kepada Gin-moi dan terhadap Hwa-moi aku hanya merasa kagum dan suka sebagai seorang sahabat atau saudara. Karena itu, menikahlah dengan Lim Bwee Hwa, Kiang-ko karena engkau yang lebih berhak sebagai saudara tua."
"Wah, keadaan kita sama, Kong-te. Akupun menganggap Hwa-moi sebagai sahabat atau saudara saja. Engkau sebenarnya lebih tepat dan cocok untuk menjadi suaminya, kalian sama-sama pendekar. Selain itu, aku juga perlu membuat pengakuan, yaitu bahwa pertemuanku dengan Can Kim Siang membuat aku yakin bahwa aku mencintanya."
"Aduh, bagaimana sekarang?"
Kata Ui Kong dengan suara sedih.
Kedua orang pemuda itu berdiam diri, tenggelam dalam lamunan masing-masing. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa di balik batang pohon besar itu, Bwee Hwa mendengarkan percakapan mereka dan gadis itu hampir bersorak kegirangan mendengar pengakuan mereka! Seketika lenyap keraguan dan kerisauan dari dalam hatinya.
"Akupun bingung memikirkan persoalan ini. Aku tidak berani mengaku di depan Hwa-moi bahwa aku tidak dapat menjadi suaminya. Hal itu akan menyinggung perasaannya, padahal ia begitu baik terhadap keluarga kita."
"Akupun tidak berani, koko. Padahal ia yang datang kepada kita untuk me-menuhi pesan mendiang ibunya untuk menyerahkan diri menjadi isteri seorang di antara kita. Sekarang bagaimana kita dapat menolaknya? Siapa yang berani bicara terus terang kepadanya? Ia tentu akan merasa tersinggung, merasa ditolak dan mungkin penolakan kita akan dianggap sebagai penghinaan baginya. Ah, aku bingung sekali, Kiang-ko? Bagaimana baiknya ini?"
Ui Kiang menghela napas panjang.
"Ah, aku sendiri masih bingung memikirkan hal ini, Kong-te. Dulu, aku mengira bahwa adik Lim Bwee Hwa saling mencinta dengan adik Ong Siong Li. Akan tetapi, sekarang dia telah tewas. Kalau masih ada dia, tentu saja dia dapat menolong kita. Kalau Hwa-moi dapat berjodoh dengan dia, berarti kita terbebas dari ikatan jodoh yang ditentukan ibu kita itu. Akan tetapi Ong Siong Li telah tiada."
"Bukan soal adik Lim Bwee Hwa saja yang membingungkan, Kiang-ko, akan tetapi juga mengenai perasaan cinta kita terhadap dua orang gadis kembar itu. Bagaimana kalau mereka tidak mau menerima cinta kita? Dan bagaimana pula kita akan mengajukan pinangan seandainya mereka membalas cinta kita? Ingat bahwa bukan hanya kita yang yatim piatu, akan tetapi mereka juga sudah tidak mempunyai ayah ibu lagi."
"Ah, aku sendiri bingung, Kong-te. Engkau tahu bahwa akupun sama sekali tidak mempunyai pengalaman dalam urusan cinta dan perjodohan."
Kedua orang kakak beradik itu tampak bingung dan tidak dapat mengambil keputusan apa yang harus mereka lakukan menghadapi urusan mereka dengan Bwee Hwa dan dengan dua orang gadis kembar.
"Marilah malam ini kita masing-masing pikirkan secara mendalam agar besok kita dapat menemukan jalan terbaik untuk mengatasi masalah ini,"
Kata Ui Kiang dan kedua orang kakak beradik itu, lalu meninggalkan taman itu, kembali ke kamar masing-masing.
Setelah mereka pergi, Bwee Hwa keluar dari tempat sembunyiannya, sepasang matanya bersinar dan wajahnya cerah, bibirnya tersenyum. Hatinya merasa girang bukan main mendengar percakapan dua orang kakak beradik itu. Masalah yang ia hadapi dengan hati bingung kini telah terpecahkan oleh pengakuan dua orang pemuda dalam percakapan mereka tadi. Mereka tidak ingin berjodoh dengannya karena mencinta sepasang gadis kembar itu! Hatinya merasa lega. Ia sendiri walaupun kagum dan suka kepada mereka, akan tetapi tidak ada keinginan sedikitpun untuk menjadi isteri seorang dari mereka.
Bwee Hwa tersenyum seorang diri ketika ia mendapatkan sebuah gagasan yang amat baik menurut pendapatnya. Ia akan menjadi comblang di antara mereka! Kalau kedua orang kakak beradik itu dapat menjadi suami isteri Kim Siang dan Gin Siang, berarti ia bebas! Ikatan perjodohan dengan seorang di antara kedua kakak beradik yang dulu dibuat oleh mendiang ibunya dan mendiang ibu mereka, telah putus. Kalau hal itu terjadi karena kedua orang pemuda itu tidak ingin berjodoh dengannya, bukan berarti ia telah tidak menaati pesan terakhir ibunya!
Dengan senyum masih menghias bibirnya karena ia gembira sekali dan telah merencanakan apa yang akan dilakukannya besok untuk memenuhi gagasannya tadi, Bwee Hwa meninggalkan taman dan kembali ke kamarnya dan dapat tidur dengan nyenyak. Sama sekali ia tidak tahu bahwa tadi ketika ia mendengarkan percakapan kedua kakak beradik itu, ada bayangan lain yang melihatnya dan ikut mendengarkan percakapan Ui Kiang dan Ui Kong itu. Bayangan itu adalah Sie Bun Sam yang secara kebetulan, tanpa disengaja, juga mencari hawa segar di taman itu.
Pada keesokan harinya, setelah mandi dan bertukar pakaian, Bwee Hwa men-datangi kamar sepasang gadis kembar itu. Mereka tinggal sekamar dalam se-buah kamar yang besar yang diperuntukkan mereka oleh kakak beradik Ui. Setelah dipersilakan masuk, Bwee Hwa mendapatkan sepasang gadis kembar itu juga telah mandi dan memakai pakaian yang bersih dan rapi.
"Wah, sepagi ini engkau sudah begini cantik dan rapi! hendak ke manakah engkau, kami harap engkau tidak ingin segera pergi meninggalkan tempat ini,"
Kata Kim Siang.
Bwee Hwa tersenyum mengamati mereka berdua.
"Wah, siapa yang lebih rapi dan cantik? Kalian juga tampak segar bagaikan dua kuntum bunga yang amat indah menarik. Masa aku hendak meninggalkan tempat yang indah dan menyenangkan ini? Apakah kalian tidak menganggap rumah kedua orang kakak angkatku ini kurang nyaman dan enak untuk dijadikan tempat tinggal?"
"Wah, kami senang sekali berada di sini, Hwa-moi. Rumah ini besar dan indah, juga terawat bersih dan rapi. Dari jendela kamar ini kami dapat melihat taman bunga yang juga amat indah. Kami senang sekali tinggal di sini dan pagi ini kami berdua ingin sekali melihat-lihat keadaan kota Ki-lok ini,"
Kata Gin Siang.
"Nah, itu baik sekali. Kota ini lumayan ramainya dan mendiang ayah kedua kakak Ui adalah salah seorang hartawan yang amat terkenal di sini karena kedermawanannya. Juga di luar kota kira-kira sepuluh lie (mil) dari sini terdapat Kuil Bah-hok-si yang amat terkenal dengan patung Kwan-im yang kita rampas dari sarang Pek-lian-kauw itu. Kuil itu amat besar dan indah, dikunjungi banyak orang, bahkan dari kota-kota besar lain."
"Wah, kalau begitu mari kita pergi ke sana, adik Bwee Hwa!"
Kata Kim Siang dengan gembira.
"Boleh saja, akan tetapi nanti dulu. Kunjunganku ke kamar kalian ini sesung-guhnya membawa tugas yang amat penting."
"Tugas penting?"
Gin Siang memandang penuh selidik, diikuti Kim Siang.
"Tugas apakah itu dan siapa pula yang menugaskan, Hwa-moi?"
"Terus terang saja, aku telah dianggap sebagai adik sendiri oleh kedua kakak Ui. Mereka sudah tidak mempunyai ayah ibu, maka akulah yang kejatuhan tugas ini dari mereka. Sebelumnya aku harap kalian tidak menjadi marah kepadaku."
Sepasang gadis kembar itu semakin heran.
"Eh, apa sih maksudmu, Hwa-moi? Apa hubungannya pula dengan kami berdua?"
"Nanti dulu, kalian harus berjanji dulu bahwa kalian tidak akan marah kepadaku kalau aku menceritakan apa tugasku ini."
"Tentu saja kami tidak akan marah! Kenapa kami mesti marah kalau engkau menceritakan tentang tugasmu?"
Tanya Gin Siang.
"Karena hal ini menyangkut diri kalian berdua."
"Eh? Benarkah? Engkau membuat kami ingin tahu sekali, adik Bwee Hwa! Tugas apakah itu? Katakan, kami berjanji tidak akan marah!"
Kata Gin Siang.
"Nah, kalau begitu baru aku berani menceritakan. Begini, seperti kukatakan tadi, kakak Ui Kiang dan kakak Ui Kong sudah tidak mempunyai keluarga lagi, maka mereka mengangkat aku menjadi utusannya. Dan tugasku menemui kalian berdua pagi hari ini adalah"""
Bwee Hwa berhenti lagi dan memandang wajah kedua gadis kembar itu.
"Akan tetapi benar, kalian berjanji tidak akan marah, ya?"
Sepasang gadis kembar itu menjadi tidak sabar.
"Kami berjanji tidak akan marah! Katakanlah!"
Kata mereka hampir berbareng.
"Kakak Ui Kiang dan Ui Kong adalah dua orang pemuda yang amat baik budi, sopan dan juga pemalu, maka mereka minta tolong kepadaku untuk menyatakan perasaan mereka berdua kepada kalian. Aku bertugas memberitahu kalian bahwa Kiang-ko jatuh cinta kepadamu, enci Kim Siang, dan Kong-ko jatuh cinta kepada enci Gin Siang, lega hatiku karena telah menyampaikan pesan itu! Kalian tidak marah, bukan?"
Bwee Hwa memandang wajah kedua orang gadis kembar itu dan melihat mereka segera menundukkan muka yang menjadi merah dan mereka tersenyum malu-malu, ia berani melanjutkan.
"Dan selanjutnya, biarpun ini belum resmi, kedua Kiang-ko dan Kong-ko meminang kalian untuk menjadi isteri mereka. Tentu saja kalau diharuskan, mereka akan mengajukan pinangan secara resmi, setelah itu akan diadakan upacara pernikahan dengan pesta meriah!"
Dua orang gadis itu masih menundukkan muka. Mereka berdua merasa heran, dan malu-malu, akan tetapi juga di dalam hati mereka merasa girang sekali. Sebetulnya secara diam-diam mereka berdua juga mengagumi kedua orang pemuda kakak beradik itu. Ui Kong pemuda gagah perkasa dengan ilmu silat yang cukup tinggi, dan Ui Kiang, biarpun tidak pandai ilmu silat, namun dia seorang sastrawan yang cerdas dan pandai. Lebih lagi, keduanya adalah pemuda-pemuda kaya-raya, memiliki banyak perusahaan dan mereka terkenal dermawan dan baik budi pula.
"Hei, bagaimana sih kalian ini? Diajak bicara serius malah diam saja, menunduk dan hanya tersenyum-senyum! Jawablah! Bagaimana aku harus memberi jawaban kepada kedua kakak Ui itu kalau mereka bertanya bagaimana hasil pelaksanaan tugasku ini? Enci Kim Siang dan Gin Siang, jawablah apa yang harus kuberikan kepada mereka? Hayo, jawablah dan katakan sesuatu, bukan menunduk dengan muka kemerahan dan diam seribu bahasa!"
Bwee Hwa sengaja menggoda karena sebagai seorang wanita, ia dapat merasakan bahwa bidikannya itu mengenai sasaran yang tepat. Kalau tidak, tentu dua orang gadis itu akan marah, atau setidaknya memperlihatkan ketidak-senangan atau penolakan mereka. Akan tetapi mereka diam dan menunduk malu-malu sambil tersenyum, ia dapat merasakan bahwa mereka itu sesungguhnya sama-sama mau tapi malu!
Akhirnya Kim Siang yang lebih pandai bicara dibandingkan adik kembarnya, menjawab dengan pertanyaan.
"Adik Bwee Hwa, benarkah semua ucapanmu tadi? Apakah engkau hanya bergurau hendak menggoda kami? Rasanya tidak mungkin dua orang pemuda sehebat mereka itu mau...... sama kami, dua orang gadis yatim-piatu melarat dan bodoh lagi......."
"Heiit! Jangan merendahkan diri seperti itu! Dan kalian menganggap mereka dua orang pemuda hebat, ya? Nah, kalau benar mereka itu hebat, lalu apalagi yang menghalangi kalian untuk segera menerima pinangan mereka? Jawablah ya, bahwa kalian sudah menerima pinangan mereka dan suka menjadi isteri mereka agar aku dapat segera menceritakan kepada mereka dan upah jerih payahku tentu banyak sekali!"
Bwee Hwa tertawa dan dua orang gadis itu juga merasa geli dan tertawa.
"Hemm, jadi sekarang engkau telah bekerja sebagai mak comblang, adik Bwee Hwa?"
Gin Siang bertanya dan kembali ketiganya tertawa.
"Mak comblang bayaran?"
"Sudah, jangan berkelakar lagi. Aku menghendaki jawaban yang tegas. Mereka itu sudah menanti-nanti dengan tidak sabar. Hayo beri jawaban, ya atau tidak?"
"Adik Bwee Hwa, bagaimana mungkin perkara perjodohan diputuskan secara kilat dan tergesa-gesa seperti ini? Bagaimanapun juga, kami masih mempunyai seorang piauw-ci (kakak misan) yang juga menjadi guru pertama kami, maka urusan perjodohan kami haruslah dilaporkan kepadanya lebih dulu untuk minta pertimbangan dan restunya,"
Kata Kim Siang.
"Enci Kim benar, adik Bwee. Kami harus mendapatkan persetujuan dari guru pertama kami, yaitu Pek-hwa Sianli yang tinggal di lereng Bukit Ayam Emas,"
Kata Gin Siang.
"Ia dapat menjadi wali kami."
"Baik, hal itu mudah dilakukan. Akan tetapi yang paling penting sekarang adalah pengakuan kalian berdua. Dua orang kakak Ui sudah menyatakan cintanya kepada kalian berdua. Sekarang bagaimana dengan kalian? Apakah kalian juga mencinta mereka...... eh, maksudku, apakah kalian berdua pada hakekatnya suka menjadi isteri mereka?"
Dua orang gadis kembar itu saling pandang, kulit wajah mereka yang cantik itu menjadi semakin merah, lalu keduanya....... mengangguk sambil tersenyum malu-malu.
"Nah, begitu dong! Wah, sebagai seorang mak comblang amatir, hasil karya pertamaku ini tidak mengecewakan!"
Bwee Hwa berseru gembira sekali dan kembali tiga orang gadis itu tertawa riuh.
"Heii! Kalian bertiga begitu gembira! Bolehkah kami ikut merasakan kegembi-raan itu?"
Sepasang gadis kembar itu terbelalak kaget dan menundukkan muka mereka ketika melihat bahwa yang datang adalah Ui Kiang dan Ui Kong yang agaknya tertarik oleh suara tawa tiga orang gadis itu. Melihat mereka, Bwee Hwa terkejut. Celaka, permainannya bisa ketahuan, pikirnya. Maka ia lalu berlari keluar dan di depan pintu ia memegang tangan Ui Kiang dan Ui Kong, lalu di-ajaknya pergi ke ruangan lain.
"Tentu saja kalian boleh ikut gembira karena aku membawa kabar baik!"
Seru Bwee Hwa nyaring agar terdengar dua orang gadis dalam kamar itu.
Kakak beradik itupun heran dan terkejut melihat Bwee Hwa menggandeng tangan mereka dan menariknya ke ruangan lain.
"Eh, Hwa-moi, ada apakah ini?"
Mereka tentu saja merasa heran karena gadis ini belum, pernah bersikap sedemikian akrab, apalagi sampai memegang tangan mereka dan menariknya masuk ke ruangan dalam itu!
Setelah tiba di ruangan itu, Bwee Hwa melepaskan tangan mereka dan berkata.
"Silakan duduk, Kiang-ko dan Kong-ko. Aku membawa kabar yang amat baik dan menggembirakan kalian!"
Kedua orang kakak beradik itu duduk berhadapan dengan Bwee Hwa meman-dang wajah ayu itu penuh selidik.
"Kabar apakah, Hwa-moi? Engkau begini penuh rahasia!"
Kata Ui Kong.
"Coba sekarang jawablah dulu pertanyaanku. Kiang-ko, engkau mencinta Can Kim Siang dan Kong-ko mencinta Can Gin Siang, bukan?"
Kakak dan adik itu terkejut sekali dan merasa khawatir kalau-kalau hal itu membuat gadis yang telah dipertunangkan dengan seorang di antara mereka itu menjadi marah.
Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bagaimana engkau dapat berkata begitu?"
Tanya mereka hampir berbareng. Melihat pandang mata kedua orang pemuda itu kepadanya mengandung kekhawatiran, maka Bwee Hwa tersenyum dan berkata.
"Akuilah saja terus terang, aku tidak akan marah. Aku akan marah kalau kalian berbohong dan tidak mau mengaku secara jantan. Nah, kuulangi pertanyaanku. Kiang-ko, engkau mencinta enci Can Kim Siang, bukan?"
Ui Kiang memandang Bwee Hwa dengan muka berubah kemerahan. Dia menghela napas panjang lalu menjawab.
"Tidak kusangkal, Hwa-moi, aku mencinta adik Can Kim Siang."
"Dan engkau mencinta Can Gin Siang, Kong-ko?"
Ui Kong akhirnya menjawab dengan tegas.
"Benar, Hwa-moi, aku mencinta adik Can Gin Siang! Akan tetapi bagaimana engkau tahu akan hal itu?"
"Ya, bagaimana engkau mengetahui rahasia hati kami itu, Hwa-moi?"
Ui Kiang juga bertanya.
"Dengarlah baik-baik! Semalam secara tidak sengaja aku mendengar percakapan kalian berdua di taman......."
"Ahh.......!"
Kakak beradik itu terkejut sekali.
"Tenanglah! Aku sama sekali tidak marah dan susah, bahkan aku merasa gembira sekali. Untuk membuktikan bahwa aku tidak marah atau susah, pagi ini aku mendatangi kedua enci kembar itu dan aku mewakili kalian berdua untuk menyatakan keinginan kalian untuk memperisteri mereka, mengajukan pinangan secara tidak resmi......"
"Ahhh......!"
Kakak beradik itu semakin terkejut.
"Jangan ber ah-ah ber uh-uh, karena hasilnya amat menggembirakan. Kedua enci kembar itu menerima cinta kasih kalian dengan girang. Mereka bersedia menjadi isteri kalian, sekarang tinggal melamar dan menanti laporan mereka kepada piauw-ci mereka di Bukit Ayam Emas, yaitu Pek-hwa Sianli. Nah, bu-kankah itu kabar yang amat membahagiakan kalian?"
Kakak beradik itu saling pandang, lalu menatap wajah Bwee Hwa.
"Aduh, terima kasih atas semua kebaikanmu ini, Hwa-moi!"
Kata Ui Kong.
"Hwa-moi, kami mohon maaf kepadamu kalau tanpa disengaja kami telah menyinggung perasaanmu,"
Kata Ui Kiang.
Bwee Hwa tersenyum.
"Sama sekali tidak, Kiang-ko, aku bahkan merasa gembira sekali karena sesungguhnya, aku sendiri sama sekali belum mempunyai keinginan untuk menikah. Kalau aku sampai menghubungi kalian, itu adalah karena aku ingin menaati pesan terakhir ibuku."
"Ah, kalau begitu, sekali lagi terima kasih, Hwa-moi. Engkau sungguh seorang gadis yang bijaksana dan baik budi!"
Kata Ui Kong.
"Hwa-moi, karena kita bertiga ini sama-sama sudah yatim piatu dan tidak mempunyai sanak keluarga lain, maka kami akan merasa berbahagia sekali kalau engkau mau menjadi adik angkat kami agar hubungan baik antara ibu kita dapat dilanjutkan!"
Kata Ui Kiang.
"Aku akan senang sekali menjadi adik angkat kalian!"
Jawab Bwee Hwa.
"Bagus! Wah, kami yang merasa beruntung sekali!"
Kata Ui Kong.
"Siang ini kita rayakan pengangkatan saudara ini! Kita rayakan bersama kedua adik kembar dan juga kakak Sie Bun Sam! Kita mengadakan pesta antara kita!"
Seru Ui Kiang.
"Pesta pengangkatan saudara ataukah, pesta pertunangan kalian?"
Bwee Hwa menggoda.
"Yah....... kedua-duanya!"
Biarpun sudah mendapat kabar yang menentukan dari Bwee Hwa bahwa cinta mereka kepada dua orang gadis kembar itu mendapat sambutan, namun kakak beradik Ui itu masih belum yakin benar. Pula mereka berdua sama sekali tidak mempunyai pengalaman tentang hubungan cinta kasih sehingga kalau bertemu dengan dua orang gadis kembar itu, mulut mereka seperti dibungkam dan mereka tidak dapat berkata apa-apa. Melihat hal ini Bwee Hwa menjadi gemas dan penasaran juga.
Pagi hari itu Bwee Hwa menemani sepasang gadis kembar melihat-lihat keadaan kota Ki-lok, bahkan pergi berkunjung ke kuil Ban-hok-si.
Ketika mereka pulang, mereka melihat bahwa sebuah meja sembahyang telah diatur rapi karena kedua orang kakak beradik Ui itu hendak melakukan upacara sembahyangan untuk acara angkat saudara antara mereka dan Bwee Hwa. Sie Bun Sam tampak membantu kesibukan dua orang kakak beradik itu.
Tak lama kemudian semua telah dipersiapkan. Dari alat-alat upacara sembahyang sampai pesta antara mereka berenam di ruangan dalam, di mana ter-dapat sebuah meja besar dengan enam buah kursinya.
Dengan Ui Kiang sebagai pengatur karena dia yang lebih tahu akan upacara itu, mereka bertiga melakukan sumpah di depan meja sembahyang, sumpah pengangkatan saudara antara dua orang kakak beradik Ui itu dengan Lim Bwee Hwa. Setelah selesai upacara pengangkatan saudara antara tiga orang itu yang disaksikan dengan penuh perhatian oleh Sie Bun Sam dan sepasang gadis kembar, Ui Kiang lalu berkata.
"Sekarang, untuk merayakan upacara pengangkatan saudara ini, kami bertiga, aku sendiri, adik Ui Kong dan adik Bwee Hwa, mengundang kakak Sie Bun Sam dan kedua adik Kim Siang dan adik Gin Siang untuk bersama kami berpesta makan minum."
Mereka berenam lalu duduk menghadapi meja makan bundar yang besar itu. Segera para pelayan datang menghidangkan masakan-masakan yang mewah dan mahal ke atas meja, disertai anggur dan arak. Tiga orang gadis itu tidak berani minum arak yang keras, dan hanya minta anggur yang lebih halus. Mereka makan minum dengan gembira.
Sie Bun Sam mengangkat cawan araknya lalu dengan wajah gembira berkata.
"Aku memberi selamat kepada adik-adik Ui Kiang, Ui Kong dan Bwee Hwa atas pengangkatan saudara ini, semoga kalian bertiga dapat menjadi kakak beradik yang rukun, setia dan saling membantu. Marilah kita minum untuk itu!"
Semua orang minum dari cawan masing-masing dan pesta itu dirayakan oleh mereka berenam dengan gembira. Setelah selesai makan, Bwee Hwa mengangkat cawan anggurnya.
"Sekarang aku hendak memberi selamat kepada Kiang-ko dan Kong-ko, dan kepada enci Kim dan enci Gin atas hubungan kasih antara mereka. Semoga hubungan itu akan segera membawa mereka dua pasangan ke jenjang pernikahan yang berbahagia."
Biarpun wajah mereka berubah kemerahan, kedua saudara Ui dan kedua gadis kembar terpaksa minum dari cawan masing-masing, diikuti Bun Sam yang tersenyum.
"Sam-ko, aku ingin bicara denganmu, akan tetapi jangan didengar orang lain. Maka marilah kita keluar dan tinggalkan dua kakakku dengan kekasih mereka masing-masing!"
Ajak Bwee Hwa pada Sie Bun Sam.
Pemuda itu yang sudah maklum apa yang terjadi, tersenyum dan bangkit lalu bersama Bwee Hwa meninggalkan runangan itu.
Setelah tiba di ruangan depan, Bun Sam dan Bwee Hwa duduk di atas bangku berhadapan.
"Hwa-moi, apakah yang ingin kau bicarakan dengan aku?"
Tanya pemuda itu.
Bwee Hwa tersenyum.
"Aku hanya ingin memberi kesempatan kepada dua pasang kekasih itu untuk bercakap-cakap dengan leluasa. Kehadiran kita hanya akan mengganggu mereka."
Bun Sam menghela napas panjang dan memandang gadis itu dengan sinar mata kagum.
"Adik Lim Bwee Hwa, engkau selain gagah perkasa, juga engkau memiliki kebijaksanaan. Apa yang telah kaulakukan terhadap dua pasangan itu, sungguh luar biasa dan cerdik sekali."
"Eh? Apa maksudmu?"
Tanya Bwee Hwa heran karena tidak mengira ada orang yang mengetahui akal yang ia pergunakan untuk mempertemukan dua pasang hati itu.
"Aku tahu dan menyaksikan ketika engkau mendengarkan percakapan kedua orang adik Ui di taman, dan aku tahu pula betapa pagi tadi engkau beraksi sebagai mak comblang! Padahal, menurut apa yang kudengar dari semua percakapan itu, engkaulah yang sebetulnya dijodohkan dengan seorang di antara dua kakak beradik itu."
"Ah, aku sama sekali tidak menginginkan hal itu dan kenyataan bahwa kedua orang kakak angkatku itu mencinta kedua enci kembar, merupakan jalan keluar terbaik untuk membatalkan ikatan yang dulu diadakan oleh ibu kami. Sekarang, kedua orang pemuda itu menjadi kakak angkatku dan aku merasa gembira sekali. Akan tetapi sudahlah, hal itu tidak perlu kita bicarakan lagi, Sam-ko, setelah meninggalkan kota ini, engkau hendak pergi ke mana?"
"Sudah kukatakan bahwa aku ingin mencari sute-ku Thio Kam Ki untuk memenuhi pesan guruku."
"Kalau begitu, ijinkan aku ikut dan membantumu menangkap sutemu itu!"
"Akan tetapi...... setelah engkau menjadi adik angkat kedua saudara Ui, seharusnya engkau tinggal di sini membantu pekerjaan mereka, Hwa-moi."
"Hemm, jadi engkau tidak suka kalau aku ikut dan membantumu menangkap Thio Kam Ki itu?"
Bwee Hwa bertanya dan matanya mencorong memandang wajah pemuda itu.
"Ohh, tidak, bukan begitu, Hwa-moi!"
Cepat Bun Sam membantah sambil menggoyangkan kedua tangan untuk menyangkal.
"Kalau begitu, aku boleh ikut?"
Bwee Hwa cepat menyerang pemuda yang masih gelagapan itu.
"Eh, oh....... begini, Hwa-moi. Terus terang saja, aku tidak pernah melakukan perjalanan bersama seorang gadis asing......"
"Aku bukan gadis asing! Kita telah bekerja sama dan menjadi sahabat. Ataukah keliru anggapanku ini dan engkau tidak sudi menganggap aku sahabat?"
Bertubi-tubi serangan kata-kata Bwee Hwa sehingga Bun Sam menjadi kewalahan dan tidak berdaya.
"Begini maksudku......"
Katanya gagap.
"ah, engkau membikin aku bingung, Hwa-moi."
Naga Beracun Karya Kho Ping Hoo Pendekar Super Sakti Karya Kho Ping Hoo Si Teratai Merah Karya Kho Ping Hoo