Ceritasilat Novel Online

Pendekar Remaja 21


Pendekar Remaja Karya Kho Ping Hoo Bagian 21



"Mengapa, Ayah? Bukankah dengan demikian mereka jadi saling mengenal tingkat kepandaian masing-masing?"

   Kemudian ia lalu melanjutkan penuturannya, betapa Goat Lan merasa berkuatir ketika mendengar Hong Beng ditantang Pibu okeh para pemimpin Hek-Tung Kai-Pang. Setelah selesai dengan penuturannya dan gadis ini pergi ke belakang mengunjungi Lo Sian di kebun di mana Lo Sian mengerjakan taman bunga, membuangi daun kering dan rumput, Pendekar Bodoh berkata kepada isterinya,

   "Ah, kurang pantas sekali kalau Hong Beng melakukan perjalanan berdua saja dengan Goat Lan. Mereka itu belum menikah dan sudah terlalu lama mereka pergi berdua. Hal ini tidak baik... tidak baik..."

   Ia menggeleng-geleng kepalanya.

   "Apanya yang tidak baik?"

   Lin Lin membantah.

   "Mereka sudah bertunangan."

   "Masih belum pantas melakukan perjalanan bersama dalam masa pertunangan, itu melanggar adat kesopanan kita,"

   Kata suaminya.

   "Ah, kau terlalu kukuh! Tidak ingatkah kau betapa dahulu kita sebelum menikah juga melakukan perantauan, bahkan lebih jauh dan lebih lama lagi? Asalkan kita dapat menjaga kesopanan, apa salahnya? Lagi pula, aku percaya penuh Beng-ji akan tahu menjaga kesopanan, demikian pula Goat Lan."

   "Kita lain lagi, isteriku,"

   Kata Cin Hai.

   "Ketika kita melakukan perjalanan bersama, kita sudah yatim piatu. Akan tetapi anak-anak itu masih ada orang tuanya. Boleh saja secara kebetulan mereka bertemu di jalan dan menyelesaikan urusan bersama, akan tetapi tidak untuk selanjutnya merantau dan tidak pulang sampai sekarang!"

   "Sudahlah, suamiku, mengapa ribut-ribut? Siapa tahu kalau mereka juga menjumpai urusan yang penting? Lebih baik untuk menenteramkan hati, kita pergi mnengunjungi Enci Hwa dan suaminya di Tiang-An, menetapkan hari pernikahan kedua anak itu. Sekalian kita melihat-lihat kalau-kalau mereka sudah pulang ke sana."

   Sie Cin Hai menyetujui pikiran isterinya ini. Demikianlah, pada keesokan harinya kedua suami-isteri Pendekar ini lalu melakukan perjalanan ke Tiang-An. Lili yang ditinggalkan berdua dengan Lo Sian, melewatkan waktunya bersama Pengemis Sakti ini. Dicobanya terus menerus oleh Lili untuk mengembalikan ingatan bekas Suhunya ini, akan tetapi hasilnya sia-sia belaka. Kini Lo Sian nampak senang dan gembira selalu. Di dalam rumah keluarga Sie, ia seperti seekor burung yang akhirnya menemukan sarang yang baik. Badannya menjadi segar dan gemuk dan tiap hari ia minum arak yang selalu disediakan oleh keluarga Sie. Untuk menyenangkan hati Lo Sian yang telah menolong jiwanya dan telah melepas budi besar, Lili lalu menyuruh pelayan membeli arak terbaik dari Hang-ciu sehingga Lo Sian merasa girang bukan main.

   Dengan ditemani oleh Lili, seringkali ia minum arak di loteng belakang sambil menikmati keindahan taman bunga yang dirawatnya dan yang berada di bawah loteng itu. Pada malam hari itu, Lo Sian nampak masih duduk di atas loteng di bagian belakang rumah, minum arak seorang diri. Baru saja datang seguci besar arak wangi yang dibeli oleh Lili dan gadis itu bahkan membuat kue yang diberikan kepada Suhunya. Pengemis Sakti ini makan minum seorang diri sambil bernyanyi-nyanyi. Ketika Lili yang berada di bagian bawah mendengar suara nyanyian Suhunya, ia merasa heran. Suara pengemis Sakti itu tidak seperti biasanya, kini terdengar bernada sedih. Ia cepat naik ke atas loteng dan melihat betapa bekas Suhunya itu minum arak langsung dari guci dan kaki kirinya ditumpangkan di atas meja!

   "Pek-pek, kau kenapakah?"

   Tanya Lili sambil menghampiri Kakek itu. Lo Sian menunda minumnya dan ketika ia menengok kepada Lili, gadis ini terkejut melihat pipi Lo Sian telah basah dengan air mata!

   "Pek-pek, mengapa kau bersedih?"

   Lo Sian terpaksa tersenyum ketika ia memandang wajah Lili. Alangkah sukanya ia kepada gadis ini, seperti kepada puterinya sendiri.

   "Tidak, Lili, aku tidak bersedih. Dengan kau dan orang tuamu yang mulia berada di dekatku, bagaimana aku dapaf bersedih? Hanya aku menyesal sekali, Lili, menyesal bahwa aku telah menjadi seorang yang begini tiada guna! Aku hanya menjadi pengganggu orang tuamu, aku telah banyak mengecewakan. Kau dan orang tuamu karena tidak mampu mengingat-ingat hal yang telah terjadi. Terutama sekali aku tidak dapat ingat lagi di mana dan bagaimana Lie Kong Sian Taihiap meninggal dunia! Ah, aku menjadi sebuah boneka hidup!"

   "Pek-pek, mengapa hal begitu saja dibuat menyesal? Kau tidak berdaya dan bukan salahmu kalau kau kehilangan ingatanmu. Lebih baik menghibur hati, agar tubuhmu menjadi sehat dan siapa tahu kalau kesehatanmu akan dapat memulihkan ingatanmu. Dengan banyak berpikir serta banyak pusing, kurasa tidak akan mendatangkan manfaat bagi ingatammu, Pek-pek."

   "Kau betul, Lili. Kau selalu benar, sungguh aneh seorang gadis muda seperti kau dapat mengeluarkan ucapan yang demikian bijaksana. Pantas benar kau menjadi puteri Pendekar Bodoh..."

   Lili tidak menjawab, hanya tersenyum sambil menghampiri meja dan menyalakan lilin di atas meja yang belum dipasang oleh Lo Sian. Melihat kue-kue di atas piring belum termakan oleh Lo Sian, Lili bertanya,

   "Eh, kenapa kue-kue ini belum kau makan, Pek-pek?"

   "Nanti dulu, aku lebih senang minum arak yang wangi dan enak ini! Kau pandai benar memilih arak baik!"

   Setelah berkata demikian, Lo Sian lalu mengangkat guci besar itu dengan kedua tangannya, menuangkan isinya yang masih setengah itu langsung ke mulutnya dengan sikap seperti tadi, yaitu kaki kiri di atas meja! Lili hanya berdiri di belakang Pengemis Sakti itu sambil tersenyum geli, karena ia menduga bahwa Lo Sian tentu sudah setengah mabuk.

   Akan tetapi pada saat itu, Lili terkejut sekali melihat berkelebatnya sesosok bayangan hitam yang melayang turun bagaikan seekor burung besar dari atas wuwungan! Bayangan itu gerakannya gesit sekali dan melihat betapa ia melayang dengan kedua lengan dikembahgkan, dapat diduga bahwa ia memiliki ilmu kepandaian tinggi! Lo Sian yang sedang enak minum arak, tidak melihat berkelebatnya bayangan itu, akan tetapi Lili yang bermata tajam tentu saja dapat melihatnya. Dengan amat kuatir, gadis ini lalu meninggalkan Lo Sian, berlari turun ke bawah melalui anak tangga untuk mencegat bayangan tadi di bawah. Lo Sian masih saja minum arak, Kakek ini tidak heran melihat Lili berlari-larian yang sudah menjadi kebiasaan gadis jenaka ini. Ketika tiba di bawah, Lili tidak melihat bayangan orang. Cepat ia melompat keluar dan mengelilingi rumahnya.

   Bayangan tadi dilihatnya melompat ke bawah ke arah depan rumah, akan tetapi mengapa sekarang tidak nampak lagi? Apakah ia salah lihat? Tak mungkin, pikirnya, dan dengan penasaran sekali ia lalu menyelidiki seluruh pinggir rumahnya. Ketika tidak menemukan sesuatu, ia cepat masuk lagi ke dalam rumah dan tiba-tiba ia teringat bahwa Ayah Bundanya mempunyai banyak musuh. Cepat ia menuju ke kamar Ayah dan Ibunya yang berada di sebelah dalam. Kagetlah ia ketika melihat bahwa kamar Ayah Bundanya ternyata telah kemasukan orang, karena pintu kamar yang tadinya terkunci dibuka dengan paksa! Cepat ia ke dalam dan di situ kosong saja. Hanya sebuah lemari kayu, tempat pakaian Ayah Bundanya telah dibongkar orang dengan paksa dan kini terbuka dengan isinya berantakan ke bawah.

   Ia merasa heran, karena pakaian itu masih utuh, tidak ada yang hilang, demikian pula tempat uang tidak diganggu. Siapakah bayangan tadi dan apa maksudnya membongkar lemari dan memasuki kamar Ayah Bundanya? Ia cepat mengejar lagi keluar dari kamar. Lili marah sekali dan ingin ia menangkap maling itu. Kini ia berlari menuju ke belakang. Makin marah dan gemas hatinya melihat tiga orang pelayan rumahnya, seorang pelayan laki-laki dan dua orang pelayan wanita telah berada dalam keadaan tertotok di ruangan belakang. Ketika ia menghampiri mereka untuk membebaskan mereka dari totokan, ia mendapat kenyataan yang mengejutkan hatinya ketika melihat bahwa ketiga orang pelayan ini terkena totokan yang sama dengan ilmu totok yang dipelajarinya sendiri yakni ilmu totok dari Ilmu Silat Kong-Ciak Sin-Na!

   Tiba-tiba teringatlah dia akan sesuatu dan mukanya menjadi merah padam. Siapa lagi kalau bukan pemuda kurang ajar yang telah merampas sepatunya dulu? Pemuda yang mengaku putera Ang I Niocu? Hanya pemuda itu saja yang pandai Ilmu Silat Kong-Ciak Sin-Na! Kalau memang betul bayangan orang yang menjadi maling ini ternyata adalah pemuda putera Ang I Niocu yang belum diketahui namanya itu, mengapa ia datang seperti seorang maling? Tak mungkin putera Ang I Niocu melakukan hal ini! Tiba-tiba ia teringat kepada Lo Sian yang berada di atas loteng dan wajahnya menjadi pucat ketika ia teringat betapa dulu di rumah Thian Kek Hwesio, pemuda itu pernah menyerang Lo Sian karena marah mendengar Pengemis Sakti itu menyatakan bahwa Lie Kong Sian telah mati!

   Ia cepat berlari-lari melalui anak tangga menuju ke loteng dan alangkah kagetnya ketika ia melihat guci arak yang tadi diminum oleh Lo Sian, kini telah menggeletak di atas lantai dan isinya mengalir keluar. Lo Sian sendiri tidak kelihatan pergi ke mana! Lili menjadi bingung. Ia mencari ke sana ke mari, akan tetapi biarpun ia memanggil-manggil, tetap saja ia tidak dapat menemukan Lo Sian. Marah sekali hati gadis ini. Segera diambilnya Pedang Liong-Coan-Kiam dan kipasnya, kemudian dengan cepat sekali ia lalu melompat keluar rumah dan mencari di sekitar rumah itu. Tiba-tiba ia melihat bayangan dua orang sedang bertempur dengan hebatnya. Karena malam itu gelap, Lili hanya dapat melihat bahwa yang bertempur itu adalah dua orang laki-laki yang masih muda.

   "Bangsat rendah, berani sekali kalian mengganggu rumahku!"

   Seru Lili dengan marah sekali. Ia tidak tahu yang mana di antara kedua orang ini yang tadi datang ke rumahnya, akan tetapi ia lalu menyerbu mereka! Akan tetapi, kedua orang muda itu ketika mendengar suaranya, tiba-tiba mereka lalu menghentikan pertempuran, bahkan keduanya lalu berlari pergi meninggalkan tempat itu. Kebetulan sekali, sinar lampu dari dalam rumahnya masih menerangi sedikit tempat itu dan ketika ia melihat orang yang berlari menerjang sinar penerangan ini, ia melihat bahwa orang itu adalah Song Kam Seng! Bukan main marahnya hati Lili. Ia maklum bahwa pemuda ini tentu datang untuk mencari Ayahnya, karena bukankah Kam Seng sudah berjanji hendak membalaskan dendam hatinya karena Ayahnya dulu dibunuh oleh Pendekar Bodoh?

   "Kam Seng, manusia pengecut! Jangan berlaku sebagai maling hina dina! Kalau kau berani, mari kita mengadu nyawa!"

   Teriak Lili sambil mengejar cepat.

   Akan tetapi Kam Seng tidak menjawab bahkan berlari makin cepat, dikejar terus oleh Lili. Pemuda ini memang maklum akan kepandaian Lili dan kalau ia melawan juga, ia takkan menang. Apalagi, betapapun juga, tak dapat ia bertempur melawan Lili, gadis musuh besarnya, gadis yang sesungguhnya amat dicintainya itu. Maka ia lalu melarikan diri lebih cepat lagi. Bukan saja karena Ginkang dari Kam Seng sudah amat maju akan tetapi terutama sekali karena malam itu gelap, sebentar saja pemuda itu sudah meninggalkan Lili dan menghilang di dalam gelap! Lili menjadi jengkel sekali. Ia memaki-maki, memanggil-manggil nama Kam Seng sambil menantang-nantang, akan tetapi karena tidak memperoleh jawaban, akhirnya ia kembali ke rumahnya.

   Dan ternyata Lo Sian masih belum nampak sehingga gadis ini menjadi makin bingung. Sebetulnya, ke manakah perginya Lo Sian? Ketika ia sedang minum arak dan Lili telah berlari ke bawah, tiba-tiba dari atas wuwungan menyambar turun bayangan yang cepat masuk loteng itu. Lo Sian terkejut ketika melihat seorang pemuda telah berdiri dihadapannya. Ia mengenal pemuda ini sebagai pemuda yang pernah menyerangnya di rumah Thian Kek Hwesio, yaitu pemuda yang mengaku sebagai putera Lie Kong Sian. Sebelum ia sempat bertanya, Lie Siong, pemuda itu, telah mengulurkan tangan menotok jalan darah Thian-Hu-Hiat di pundaknya. Totokan ini berdasarkan gerakan serangan dari Ilmu Silat Kong-Ciak Sin-Na, ilmu silat warisan Bu Pun Su yang ia pelajari dari Ang I Niocu, maka bukan main cepat dan hebatnya.

   Lo Sian sedang memegang guci arak dan ia berada dalam keadaan setengah mabuk, bagaimana ia dapat menghindarkan diri dari serangan ini? Tiba-tiba tubuhnya menjadi lemas terkena totokan itu dan guci arak itu tertepas dari pegangannya. Lie Siong cepat menyambar guci arak itu dan meletakkannya di atas lantai. Akan tetapi oleh karena ia tidak memperhatikan guci itu, ia meletakkan guci dalam keadaan miring sehingga isinya mengalir keluar. Kemudian, secepat kilat pemuda ini lalu mengempit tubuh Lo Sian dan membawanya melompat turun! Agar tidak membingungkan, baiknya diceritakan secara singkat bahwa semenjak berpisah dari Lo Sian dan Lili, pikiran Lie Siong amat terganggu oleh ucapan Lo Sian yang menerangkan tentang kematian Ayahnya.

   Oleh karena itu, ia menunda niatnya mengajak Lilani ke Utara mencari rombongan suku bangsa Haimi untuk mengembalikan Lilani kepada bangsanya, sebaliknya lalu mengajak gadis itu menuju ke Pulau Pek-Hio-To untuk mencari Ayahnya! Akan tetapi, ia mendapatkan pulau itu berada dalam keadaan kosong! Hatinya menjadi gelisah sekali. Keadaan pemuda ini makin menderita batinnya, pertama-tama ia merasa menyesal karena telah mengikat diri dengan Lilani, gadis yang amat mencintanya. Kedua, ia merasa menyesal dan bingung karena mendengar bahwa Ayahnya telah meninggal dunia seperti yang dikatakan oleh Lo Sian Si Pengemis Sakti. Ia harus dapat mencari orang tua itu untuk mencari keterangan tentang Ayahnya, akan tetapi kalau teringat betapa ia telah bertempur dan bentrok dengan Lili, puteri Pendekar Bodoh, ia menjadi bingung.

   Semenjak ia dapat mencabut sepatu Lili, sepatu yang kecil mungil itu selalu tersimpan di dalam saku bajunya sebelah dalam, disembunyikan sebagai sebuah jimat! Adapun Lilani, gadis yang bernasib malang itu, makin lama makin merasa hancur hatinya. Ia amat mencinta Lie Siong, bersedia menyerahkan jiwa raganya, akan tetapi melihat pemuda itu sama sekali tidak mengacuhkannya, ia menjadi sedih sekali. Kalau teringat betapa ia telah kehilangan Ayah Bundanya, kehilangan Kakeknya, dan kini ia menderita karena mencinta seorang pemuda yang tidak mengacuhkannya, ah, gadis ini seringkali mengucurkan air mata di waktu malam. Betapapun juga, ia selalu menyembunyikan perasaan dukanya dari mata Lie Siong. Setelah mendapatkan Pulau Pek-Hio-To kosong dan tidak diketahuinya ke mana perginya Ayahnya, Lie Siong lalu berkata kepada Lilani,

   "Lilani, terpaksa aku harus menyusul ke Shaning..."

   "Ah, ke rumah nona cantik jelita yang galak itu? Kau dulu bilang bahwa dia puteri Pendekar Bodoh, sungguh cocok sekali..."

   Lie Siong memandang tajam.

   "Apa maksudmu, Lilani? Kau cemburu?"

   "Tidak, Taihiap, mengapa cemburu? Ada hak apakah maka aku dapat cemburu? Aku seorang tidak berharga, tidak seperti nona puteri Pendekar Bodoh itu, yang cantik, pandai, lihai... dan..."

   "Sudahlah, jangan kau bicara tidak karuan! Hatiku sedang bingung memikirkan Ayah. Siapa yang peduli gadis liar itu?"

   Kata Lie Siong sambil mengajak gadis itu melanjutkan perjalanan.

   "Sekarang aku terpaksa harus menyusul ke Shaning untuk menangkap pengemis gila itu. Dari dia agaknya aku akan mengetahui di mana adanya Ayahku. Terpaksa urusan mencari suku bangsamu di Utara ditunda dulu."

   Lilani tidak membantah, hanya merasa dadanya sesak oleh cemburu. Cinta orang muda manakah yang tidak terhias oleh cemburu? Bukan cinta tulen kalau tidak ada rasa cemburu di dalamnya, kata orang tua. Pada malam harinya, Lie Siong dan Lilani bermalam di sebuah Hotel. Tidak seperti biasanya, Lie Siong berkeras tidak mau tidur sekamar dan minta kepada pelayan untuk menyediakan dua kamar yang berdampingan. Lilani makin merasa tidak enak, gelisah dan berduka. Sampai tengah malam gadis ini tidak dapat tidur dan karena hatinya selalu teringat kepada Lie Siong, tak tertahan lagi ia lalu keluar dari kamarnya dengan perlahan. Ia sengaja membuka kedua sepatunya agar tindakan kakinya tak sampai mengagetkan Lie Siong yang ia tahu amat tajam pendengarannya itu.

   Ia ingin melihat apakah pemuda pujaan hatinya itu telah tidur. Dengan kaki telanjang ia berjalan menghampiri jendela kamar Lie Siong, lalu mengintai ke dalam setelah mendapatkan sebuah lubang di antara celah-celah jendela itu. Ia melihat kamar itu masih terang dan ternyata pemuda pujaannya itu masih belum tidur. Lie Siong nampak tengah duduk melamun di atas kursi dan kedua tangannya memegang sebuah benda kecil. Jari-jari tangannya mempermainkan benda itu dan ketika Lilani memandang dengan tegas, ternyata bahwa benda itu adalah sebuah sepatu yang bagus dan kecil mungil bentuknya! Bukan main panas dan perihnya hati Lilani. Itu adalah sepatu wanita, pikirnya, dan terang bukan sepatunya. Sepatunya tidak sekecil itu!

   Ah, sepatu siapa lagi kalau bukan sepatu gadis puteri Pendekar Bodoh itu? Biarpun Lie Siong tidak menceritakan tentang hasil pertempurannya melawan Lili namun Lilani dapat menduga dengan tepat. Hal ini mudah saja bagi seorang wanita yang berada dalam keadaan cemburu, karena wanita yang sedang cemburu memiliki kecerdikan luar biasa dalam hal menyelidiki sesuatu mengenai hubungan laki-laki yang dicintainya dengan wanita lain! Bagaikan terpukul, Lilani terhuyung ke belakang dan ia menahan isak tangisnya. Karena tangisnya tak dapat tertahan lagi, maka ia tidak berani kembali ke kamarnya, takut kalau-kalau Lie Siong akan mendengar tangisnya. Sebaliknya ia malah lari ke belakang dan keluar dari pintu belakang Hotel itu menuju ke kebun belakang yang sunyi dan gelap!

   Di situ ia menjatuhkan diri di atas rumput dan menangis tersedu-sedu seperti seorang anak kecil kehilangan Ibunya. Ia merasa sedih, gemas, dan marah. Sedih karena merasa kehilangan seorang kekasih yang dicinta sepenuh hatinya. Gemas melihat Lie Siong yang tidak mengacuhkannya, sebaliknya tergila-gila kepada sebuah sepatu wanita lain dan marah kepada diri sendiri mengapa ia sampai demikian dalam jatuh dalam jurang asmara terhadap pemuda itu. Di dalam kesedihannya, Lilani sampai tidak tahu bahwa ia tidak berada seorang diri di dalam taman itu. Tidak tahu bahwa di situ duduk dua orang laki-laki pemabukan yang sudah lama duduk minum arak berdua saja di situ dan keadaannya sudah setengah mabuk ketika Lilani datang ke situ dan menangis. Lilani yang sedang menangis itu tiba-tiba merasa lehernya dipeluk orang dan terdengar suara parau,

   "Nona manis, kenapa kau menangis? Marilah kuhibur kau""

   Lilani melompat berdiri dengan mata terbelalak. Dengan penuh kebencian dan kengerian hati ia melihat dua orang laki-laki menyeringai dan memandangnya seperti orang kelaparan, kemudian tangan kedua orang itu terulur maju hendak menangkapnya!

   Lilani sedang merasa sedih, marah, kecewa dan perasaan yang sudah amat menggencet batinnya ini ditambah lagi oleh kebencian dan kengerian yang amat besar melihat lagak dua orang laki-laki ini. Hampir saja Lilani menjerit sekerasnya kalau ia tidak ingat bahwa jeritannya akan terdengar oleh Lie Siong dan ia tidak mau keadaannya diketahui oleh pemuda itu. Maka sambil menahan berdebarnya hati yang membuat dadanya terasa sakit itu, ia lalu mengelak ke kiri dan tak disangkanya sama sekali, seorang di antara mereka itu memiliki gerakan yang cepat juga. Lilani sedang menderita dan keadaan malam itu agak gelap, maka gadis ini kurang cepat elakannya dan tahu-tahu lengannya telah tertangkap oleh seorang di antara dua pemabukan itu.

   "Ha-ha-ha-ha, lenganmu lemas seperti sutera, Nona... ha-ha-ha!"

   Orang ini lalu merangkulnya dan hendak menciumnya.

   "Buk!"

   Disusul oleh pekik mengerikan dari laki-laki itu yang segera roboh tersungkur dalam keadaan tak bernyawa lagi! Pukulan Lilani amat hebat karena selain gadis ini memiliki kepandalan silat yang lumayan, dan kini lebih lihai karena seringkali mendapat latihan dari Lie Siong, juga pukulan dari jarak dekat ini tepat mengenai ulu hati lawan sehingga jantung di dalam dada orang itu menjadi terluka! Orang ke dua yang masih mabuk tidak tahu bahwa kawannya sudah mati, bahkan tertawa-tawa dan berkata kepada kawannya itu,

   "A-siok, terlalu sekali kau... nona manis ditinggal tidur..."

   Dan ia maju pula hendak merangkul Lilani. Gadis ini sekarang sudah seperti seorang gila dan gelap mata. Sebelum tangan orang ke dua ini dapat menyentuh bajunya ia kembali mengirim serangan dengan pukulan keras ke arah dada disusul dengan tendangan ke arah lambung pemabukan ini. Terdengar jerit keras dan pemabukan ke dua ini pun roboh dalam keadaan mati!

   "Eh, eh, eh, apakah yang terjadi di sini?"

   Seorang pelayan Hotel datang berlari-lari sambil membawa sebuah lampu minyak. Akan tetapi, jawaban yang didapat hanyalah sebuah pukulan tiba-tiba yang tepat mengenai lehernya. Pelayan ini terputar di atas kakinya lalu roboh. Celaka baginya, lampu yang dibawanya itu jatuh menimpanya dan terbakarlah pakaiannya!

   Melihat betapa di dalam cahaya api, pelayan itu berkelojotan, Lilani memandang dengan muka sepucat mayat dan kedua mata terbuka lebar sedangkan kedua tangannya menutup mulutnya menahan jeritannya. Alangkah ngerinya! Dan kemudian, seperti baru sadar, ia melihat pula dua orang pemabukan yang sudah dibunuhnya di tempat itu juga. Dengan perasaan amat tergoncang gadis yang masih bertelanjang kaki ini lalu lari secepatnya, kembali ke dalam kamarnya! Ia berdiri di tengah kamarnya sambil terengah-engah dan meramkan kedua matanya. Kepalanya terasa pening sekali, dadanya berdetak-detak seakan-akan ada orang memukul-mukulkan palu di dalamnya. Tubuhnya lemas kedua kaki menggigil dan kedua tangan gemetar. Telinganya mendengar suara gaduh yang tak karuan terdengarnya, sedangkan pemandangan yang mengerikan dari tiga mayat itu, terutama sekali pelayan yang terbakar, selalu terbayang di depan matanya.

   "Aku harus tenang... harus tenang""

   Pikirnya dan ia lalu menjatuhkan diri di tengah kamar itu juga, duduk bersila lalu untuk menenangkan pikiran dengan bersamadhi. Untuk memperdalam Lweekangya, memang gadis ini sudah mempelajari Siulian (Samadhi) dari Lie Siong.

   Suara ribut-ribut di luar kamarnya itu mengagetkan Lie Siong. Pemuda ini cepat menyalakan lilin di dalam kamarnya. Lalu berjalan keluar hendak melihat apa gerangan yang ribut-ribut di tengah malam seperti itu. Ketika ia mendengar bahwa ada tiga orang terbunuh oleh seorang gadis, ia terkejut sekali. Cepat ia menuju ke kamar Lilani dan alangkah kagetnya ketika mendapat kenyataan bahwa pintu kamar gadis itu setengah terbuka! Ia cepat melangkah masuk dan biarpun kamar itu gelap, ia masih dapat melihat bayangan gadis itu duduk bersila di atas lantai. Sungguh cara Siulian yang aneh, pikirnya. Mengapa tidak di atas pembaringan? Akan tetapi, ia tidak berani mengganggu seorang yang sedang samadhi dan diam-diam hendak meninggalkan kamar itu lagi kalau saja tidak mendengar isak tertahan dari gadis itu.

   "Lilani, kau kenapakah?"

   Tanyanya heran dan kuatir. Gadis itu tidak menjawab sama sekali. Lie Siong menjadi heran dan segera menyalakan sebatang lilin di dalam kamar itu. Ketika sinar lilin di atas meja itu sudah menerangi seluruh kamar dan ia memutar tubuh memandang, Lie Siong menjadi terkejut sekali. Dilihatnya Lilani dengan kedua kaki telanjang duduk bersila di atas lantai, pakaiannya kusut, pipinya yang amat pucat itu basah dengan air matanya.

   "Lilani...!"

   Lie Siong melangkah maju, berlutut di dekat gadis itu dan tangannya memegang pundak kanannya.

   "Kau kenapa...?"

   Akan tetapi Lie Siong terpaksa memutuskan kata-katanya karena tiba-tiba kedua tangan Lilani mendorong dadanya dengan gerakan cepat dan amat kuat. Lie Siong yang sama sekali tak pernah menyangka gadis ini akan menyerangnya, tidak mengelak atau menangkis sama sekali. Dadanya terdorong ke belakang dan terlempar ia ke belakang dengan cepatnya sampai membentur bangku! Lie Siong membelalakkan matanya. Tenaga dorongan dan tarikan muka gadis lebih mengherankannya daripada sikap gadis itu sendiri. Dorongan tenaga Lilani tidak seperti biasa, akan tetapi mengandung tenaga yang kuat dan aneh, sedangkan ketika gadis itu mendorongnya, gadis memandang dengan penuh kebencian, akan tetapi bibirnya tersenyum!

   "Ha, kau takkan dapat mendekatiku... kau akan mampus..."

   Bisik gadis ini dengan suara aneh. Ternyata bahwa pukulan batin yang bertubi-tubi dan hebat itu membuat pikiran gadis ini terganggu dan berubah!

   "Lilani..."

   Lie Siong melompat bangun.

   "Apa maksudmu? Kau kenapakah...?"

   Melihat Lie Siong melompat bangun, gadis itu pun melompat bangun pula, menunduk dan memandangi kedua kakinya yang telanjang, lalu berkata sambil menyeringai.

   "Ha-ha, sepatu itu... sepatuku! Lihat, Taihiap, bukankah kedua kakiku telanjang? Aku perlu sepatu... akan tetapi sepatu itu terlalu kecil... terlalu kecil..."

   Dan ia lalu menangis! Tiba-tiba ia menghentikan tangisnya dan berkata lagi dengan mata bersinar dan mulut tersenyum.

   "Aku bunuh dia! Aku bunuh mereka! Berani sekali main gila kepada Lilani, puteri kepala suku bangsa Haimi!"

   Semenjak tadi, Lie Siong memandang keadaan gadis ini dengan bengong. Melihat senyum di bibir Lilani, pemuda ini merasa bulu tengkuknya meremang. Ini tidak sewajarnya, pikirnya. Lebih-lebih terkejutnya ketika ia mendengar ucapan terakhir tentang pembunuhan yang keluar dari mulut Lilani.

   "Lilani, jadi yang membunuh tiga orang di belakang Hotel itu... kaukah orangnya?"

   Lilani tertawa terkekeh.

   "Ya, aku!"

   Teriaknya keras.

   "Aku Lilani sekali mencinta orang, akan berlaku setia selama hidup! Aku takkan sudi main gila dengan laki-laki lain, lebih baik aku mati! Kubunuh mereka itu, kubakar dia hidup-hidup!"

   Dan tiba-tiba gadis ini lalu menjatuhkan diri di atas pembaringan sambil tersedu-sedu. Lie Siong berdiri tertegun, hatinya terharu bukan main ketika mendengar Lilani berkata seperti keluhan menyedihkan.

   "Taihiap... Taihiap... aku cinta padamu..."

   Teriakan Lilani telah terdengar oleh orang-orang yang berada di luar kamar dan kini mereka menyerbu ke arah kamar Lilani sambil berteriak-teriak,

   "Tangkap pembunuh! Tangkap Siluman perempuan...!"

   Memang tadi ketika Lilani berlari kembali ke kamarnya, kebetulan sekali ada seorang tamu yang menjenguk dari jendelanya karena ia tertarik oleh teriakan-teriakan dua orang pemabukan yang terpukul oleh Lilani. Maka ketika terjadi geger, ia lalu menceritakan pengalamannya dan kini mendengar teriakan-teriakan Lilani yang mengaku bahwa dia yang membunuh tiga orang itu, semua orang lalu menyerbu ke arah kamar Lilani! Ketika belasan orang itu telah berada di depan pintu kamar Lilani, mereka tiba-tiba berhenti karena siapa orangnya yang tidak merasa gentar menghadapi seorang Siluman wanita yang sebentar saja sudah membunuh tiga orang laki-laki dalam keadaan mengerikan?

   "Siluman perempuan, menyerahlah untuk kami bawa ke depan pengadilan! Kalau kau melawan kami akan mengeroyok dan membakarmu!"

   Teriak seorang di antara para penyerbu itu. Lilani yang mendengar ini lalu bangkit berdiri, wajahnya menyeramkan.

   "Akan kubunuh kalian semua!"

   Katanya. Lie Siong merasa gelisah sekali.

   "Lilani, jangan..."

   Katanya. Akan tetapi Lilani tidak peduli dan hendak melompat menerjang keluar. Lie Siong mendahuluinya, mengirim serangan kilat dan robohlah gadis itu dalam pelukannya dengan tubuh lemas tak berdaya sedikit pun juga.

   "Serahkan dia kepada kami!"

   Terdengar teriakan berulang-ulang dari para penyerbu itu.

   Lie Siong maklum bahwa mereka itu sedang marah sekali, tak perlu bicara dengan mereka, maka ia lalu menyambar pakaian gadis itu, dan sekali ia berkelebat keluar pintu, ia telah melompat keluar sambil menggendong Lilani. Beberapa orang yang berdiri menghalangi pintu terlempar ke kanan kiri ketika terdorong oleh sebelah tangannya! Lie Siong tidak mempedulikan teriakan-teriakan mereka, dan langsung ia memasuki kamarnya, menyambar pedang dan buntalannya, dikejar beramai-ramai oleh orang-orang itu. Akan tetapi ketika mereka tiba di depan kamar pemuda ini Lie Siong telah berkelebat keluar dan orang-orang itu hanya berdiri melongo ketika melihat betapa pemuda yang menggendong gadis itu sekali mengenjotkan tubuh, telah dapat melompat ke atas genteng dan menghilang di dalam gelap!

   Ketika Lie Siong melihat betapa keadaan gadis itu makin lama makin tidak beres pikirannya, ia menjadi bingung sekali. Ia tidak tega dan merasa amat kasihan kepada Lilani, sungguhpun harus ia akui bahwa ia tidak mencinta gadis ini seperti cinta Lilani kepadanya. Ia hanya merasa kasihan dan bertanggung jawab. Kini melihat keadaan Lilani yang demikian, ia merasa makin kasihan. Hatinya tidak tega untuk meninggalkan gadis ini, sungguhpun ia tahu kalau ia terus menerus berada di dekat gadis ini, ia takkan dapat bergerak bebas. Sekarang ia hendak mencari Lo Sian untuk bertanya tentang keadaan Ayahnya, akan tetapi dengan Lilani yang telah menjadi gila ini di dekatnya, bagaimana ia dapat mencapai maksudnya? Untuk membiarkan gadis ini terlepas seorang diri saja, ia tak sampai hati.

   Akhirnya ia teringat kepadaThian Kek Hwesio di kuil Siauw-Lim-Si di Kota Ki-Ciu. Bukankah dulu Pendeta gundul yang gemuk itu pernah mengobati Lo Sian? Pikiran ini membuat ia merubah niatnya untuk ke Shaning, dan ia langsung membawa Lilani ke Ki-Ciu. Ketika ia memasuki kuil itu, mau tak mau ia berdebar dan mukanya berubah merah. Ia teringat betapa di sini ia bertempur melawah Lili, puteri Pendekar Bodoh itu dan betapa ia terluka pundaknya akan tetapi berhasil merampas sebuah sepatu gadis itu yang sampai kini masih disimpannya baik-baik di dalam kantong bajunya! Thian Kek Hwesio menerimanya dengan muka ramah tamah. Hwesio ini segera mengenalnya sebagai pemuda yang mengaku menjadi putera Lie Kong Sian, maka ia segera menyambut dengan ucapan halus,

   "Anak muda, keperluan apakah yang membawamu datang ke tempatku yang buruk ini? Jangan kau menghunus pedangmu, pinceng sama sekali tidak pandai melayanimu dan pinceng paling takut melihat berkelebatnya pedang!"

   Makin merah wajah Lie Siong mendengar sindiran ini. Betapapun kerasnya hatinya, ia masih mempunyai perasaan juga dan kalau perlu, ia dapat menjadi seorang pemuda yang ramah tamah, sopan santun, dan halus. Memang pemuda ini merupakan bayangan ke dua dari sifat Ibunya, Ang I Niocu, Pendekar Baju Merah yang aneh itu. Ia cepat menjura dengan hormat sekali dan berkata,

   "Lo-suhu, mohon kau orang tua sudi memberi maaf sebesarnya kepada aku yang muda, kasar dan bodoh. Kedatanganku ini tak lain hendak mohon pertolonganmu. Sahabatku, Nona ini, entah mengapa tiba-tiba menjadi aneh sekali dan pikirannya berubah, mohon kau orang tua sudi mengobatinya."

   Thian Kek Hwesio memandang kepada Lilani dengan mata tajam, sedangkan gadis itu berdiri bengong dan sama sekali tidak melihatnya, melainkan melihat ke arah patung-patung batu sambil melamun.

   "Nona, kau kenapakah?"

   Tanya Hwesio itu dengan suara halus, akan tetapi Lie Siong merasa kagum sekali karena di dalam suara yang halus ini timbul pengaruh yang kuat sekali, yang dapat membuat orang menjadi tunduk. Mungkin karena suara ini, atau memang jalan pikiran Lilani sedang ingat kepada Kakeknya ketika melihat betapa Hwesio itu memandangnya dengan mata mengasihani, karena tiba-tiba gadis ini lalu menjatuhkan diri berlutut dan menangis tersedu-sedu. Kemudian Lilani berkata-kata dalam bahasa Haimi yang sama sekali tidak dimengerti oleh Lie Siong, akan tetapi ia menjadi kagum sekali karena Thian Kek Hwesio ternyata dapat mengerti ucapan gadis ini, bahkan lalu menjawab dalam bahasa Haimi pula!

   "Sicu, sahabatmu ini menderita tekanan batin yang hebat sehingga mengganggu urat syarafnya. Pinceng tidak tahu mengapa ia mengalami kedukaan dan kekecewaan sedemikian rupa, akan tetapi mudah sekali untuk menyembuhkannya asal saja dia mau beristirahat di sini."

   Dengan girang sekali Lie Siong lalu menjura dan menghaturkan terima kasih.

   "Lo-suhu, sesungguhnya aku mempunyai urusan yang amat penting, maka kalau kiranya Lo-suhu sudi menolong, aku hendak meninggalkannya untuk sementara waktu di sini."

   "Boleh saja, Sicu. Pinceng percaya bahwa kau tentu kelak akan datang mengambilnya kembali setelah dia menjadi sembuh. Pinceng merasa bahwa gadis ini dapat ditinggal begitu saja olehmu."

   "Tentu, Lo-suhu. Aku takkan pergi lama dan pasti akan kembali mengambil Lilani, karena memang tujuan kami hendak ke Utara."

   "Pinceng percaya penuh kepada omongan putera Lie Kong Sian Taihiap."

   Lie Siong memandang dengan penuh terima kasih, kemudian ia menghampiri Lilani.

   "Lilani, harap kau beristirahat di sini dulu dan aku akan kembali mengambilmu lagi apabila urusanku sudah selesai."

   Akan tetapi gadis itu tidak menjawabnya, hanya berkata-kata dalam bahasa Haimi yang tidak dimengerti oleh Lie Siong. Akan tetapi Thian Kek Hwesio terharu ketika mendengar gadis itu berkata,

   "Taihiap, hanya kau seorang yang kucinta, dan aku akan menurut segala kata-katamu."

   Ucapan yang tidak dimengerti oleh Lie Siong akan tetapi dapat dimengerti baik oleh Hwesio ini membuat Thian Kek Hwesio dapat menduga bahwa gadis ini tentulah menderita asmara tak terbalas! Lie Siong lalu meninggalkan kuil dan segera menuju ke Shaning. Demikianlah, pada malam hari itu, sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Lie Siong melompat ke atas wuwungan rumah keluarga Pendekar Bodoh. Siangnya ia telah mendapat keterangan bahwa Lo Sian masih tinggal di rumah Sie Cin Hai dan bahwa Pendekar Bodoh beserta isterinya tidak berada di rumah.

   Yang ada hanya Lo Sian dan Lili, puteri Pendekar Bodoh. Hal ini menggirangkan hatinya, karena betapapun juga, Lie Siong merasa gentar juga menghadapi Pendekar Bodoh suami isteri. Kepandaian puterinya saja sudah sedemikian hebat, apalagi mereka! Ia sama sekali tidak mengira bahwa kedatangannya pada malam hari itu kebetulan sekali bertepatan dengan datangnya seorang pemuda lain, yakni Song Kam Seng! Berbeda dengan Lie Siong, maksud kedatangan ini adalah untuk membalas dendamnya kepada Pendekar Bodoh! Akan tetapi dengan kecewa Kam Seng mendengar keterangan bahwa Pendekar Bodoh dan isterinya sedang keluar Kota , maka ia lalu datang dengan maksud mencuri pedang Liong-Cu-Kiam, pedang yang dulu telah mengalahkan mendiang Ayahnya, Song Kun!

   Kedatangan Kam Seng di malam hari itu lebih dulu dari Lie Siong. Kam Seng langsung masuk ke dalam dan berhasil mencari kamar Pendekar Bodoh yang digeledahnya, akan tetapi ia tidak dapat menemukan pedang itu karena pedang itu dibawa oleh Pendekar Bodoh. Adapun Lie Siong yang masuk dari kebun belakang, melihat tiga orang pelayan yang cepat ditotoknya sehingga mereka itu tidak berdaya lagi. Kemudian, pemuda ini lalu melayang naik ke atas loteng ketika ia melihat berkelebatnya bayangan Lili yang mencari-cari di luar rumah! Saat yang baik itu merupakan kesempatan baginya. Ia merobohkan Lo Sian dengan totokan dan membawa orang tua itu melompat turun. Akan tetapi, tiba-tiba ia mendengar seruan perlahan,

   "Bangsat, jangan kau berani menculik Suhu!"

   Sesosok bayangan yang cukup gesit tiba-tiba telah menyerangnya dari samping. Lie Siong menjadi kaget dan juga heran. Siapakah adanya pemuda yang menjadi murid Lo Sian ini? Ia cepat mengelak dan meloncat jauh, dan bahwa ilmu lari larinya hanya menang sedikit saja dari pemuda yang mengejarnya itu. Mudah saja kita duga bahwa pemuda ini bukan lain adalah Song Kam Seng yang juga sudah keluar dari gedung itu dengan tangan hampa.

   
Pendekar Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Melihat pengejarnya juga dapat berlari cepat, Lie Siong lalu menyembunyikan Lo Sian yang tak dapat bergerak itu di dalam serumpun tetumbuhan, kemudian ia keluar dan menghampiri Song Kam Seng. Keduanya bertempur tanpa banyak cakap lagi dan ternyata kepandaian mereka berimbang. Harus diketahui bahwa Song Kam Seng sekarang bukan seperti dulu ketika ia dikalahkan oleh Lili. Kam Seng telah melatih diri dengan hebat dan tekunnya, telah banyak mewarisi kepandaian Wi Kong Siansu, maka tidak mudah bagi Lie Siong untuk mengalahkannya. Dan pada saat mereka bertempur dengan

   (Lanjut ke Jilid 20)

   Pendekar Remaja (Seri ke 04 - Serial Pendekar Sakti)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 20

   serunya, datanglah Lili yang mengejar. Keduanya takut kepada gadis ini, bukan takut kalah bertempur, akan tetapi Lie Siong tidak mau usahanya membawa Lo Sian akan terganggu, adapun Song Kam Seng betapapun juga tidak mau bertempur dengan gadis yang lihai dan yang dicintainya ini.

   Keduanya lalu berlari dan kebetulan sekali Lili mengejar Kam Seng, mendiamkan Lie Siong yang dengan enaknya lalu dapat membawa lari Lo Sian! Demikianlah, seperti sudah kita ketahui, Lili menjadi bingung dan sedih sekali. Ketika ia mendengar keterangan para pelayannya yang dibuat tak berdaya oleh totokan Lie Siong, barulah gadis ini dapat menduga bahwa yang datang di rumahnya malam itu adalah dua orang, yaitu Kam Seng dan Lie Siong! Tak salah lagi, pikirnya, yang mencuri Lo-Pekhu tentulah manusia kurang ajar yang mengaku putera Ang I Niocu itu! Ia setengah dapat menduga bahwa penculikan ini tentu ada hubungannya dengan ucapan Lo Sian tentang kematian Lie Kong Sian. Rupanya ucapan itu ada betulnya dan kini pemuda yang mengaku putera Lie Kong Sian itu tentu menculik Lo Sian untuk mendapat keterangan tentang Ayahnya.

   Hanya perbuatan Kam Seng yang membongkar kamar dan membuka lemari Ayahnya itu masih membingungkannya. Munculnya Kam Seng di malam hari di rumahnya tidak aneh, karena memang pemuda itu telah mengancam hendak membalas dendam kepada Ayahnya, akan tetapi mengapa pemuda itu membongkar-bongkar lemari seperti seorang maling biasa? Benar-benar ia tidak mengerti. Pada keesokan harinya, Lili lalu menyerahkan perawatan rumahnya kepada para pelayan, sedangkan ia sendiri lalu pergi menyusul orang tuanya di Tiang-An. Tak enak ia berdiam di rumah saja, maka sambil mencoba untuk mengejar "Pemuda kurang ajar"

   Yang menculik Lo Sian, ia menuju ke Tiang-An untuk menyusul Ayah-Bundanya dan memberi laporan tentang terjadinya peristiwa itu.

   Mari kita mengikuti perjalanan Sie Cin Hai atau Pendekar Bodoh dengan Lin Lin isterinya yang menuju ke Tiang-An untuk mengunjungi Kwee An dan Ma Hoa untuk membicarakan tentang perjodohan putera mereka. Mereka melakukan perjalanan berkuda dan seperti biasa, Lin Lin bergembira di dalam perjalanan itu sehingga suaminya seringkali memandang dengan kagum karena merasa seakan-akan isterinya ini masih seperti dulu saja! Baginya, Lin Lin sampai sekarang tidak berubah, masih seperti Lin Lin di waktu remaja puteri, lincah dan jenaka.

   Pada suatu hari, ketika sepasang suami isteri Pendekar ini berada di sebelah Selatan Tiang-An, kurang lebih tiga puluh li lagi dari Tiang-An, dan mereka sedang menjalankan kuda dengan cepat, tiba-tiba pada sebuah tikungan jalan, hampir saja kuda mereka beradu dengan seekor kuda yang dilarikan cepat dari depan! Penunggang kuda itu seorang pemuda yang tampan dan gagah, cepat menarik kendali kudanya dan sambil mengeluarkan suara keras, kudanya yang besar itu berhenti dengan tiba-tiba, mengangkat kedua kaki depan ke atas dan meringkik-ringkik! Pemuda ini adalah Kam Liong, Panglima muda yang sedang menuju ke Selatan untuk mengadakan pemeriksaan pada penjagaan di Selatan, serta sekalian hendak singgah di Shaning untuk mengabarkan kepada Pendekar Bodoh tentang malapetaka yang menimpa diri puteranya.

   Kam Liong membelalakkan matanya dan tadinya ia hendak marah kepada dua orang penunggang kuda itu, akan tetapi akhirnya ia menjadi heran dan terkejut sekali betapa dua orang penunggang kuda itu pun dapat menghentikan kuda mereka dengan tiba-tiba dan tenang saja, seakan-akan tidak pernah terjadi sesuatu. Dia sendiri yang terkenal sebagai seorang ahli penunggang kuda hanya dapat menghentikan larinya kuda dengan kekerasan sehingga kudanya merasa sakit pada hidungnya dan berjingkrak-jingkrak, akan tetapi bagaimanakah kedua orang itu demikian tenang dan kuda mereka berhenti seakan-akan empat kaki kuda mereka tiba-tiba berakar pada tanah? Ia dapat menduga bahwa dua orang yang nampaknya gagah ini tentulah orang-orang berkepandaian tinggi, maka cepat Kam Liong melompat turun darikudanya dan menjura dengan hormatnya.

   "Harap Ji-wi sudi memberi maaf kepada Siauwte kalau Siauwte mendatangkan kekagetan kepada Ji-wi."

   "Siapa yang kaget?"

   Jawab Lin Lin sambil tersenyum manis karena ia merasa suka kepada pemuda yang sopan ini.

   "Kalau ada yang kaget, agaknya kudamu itulah yang kaget."

   Merah muka Kam Liong mendengar ucapan nyonya setengah tua yang cantik itu. Biarpun nyonya itu mengatakan bahwa yang kaget adalah kudanya, akan tetapi tentu mereka itu telah melihat bahwa yang kaget sebenarnya adalah dia sendiri!

   "Siauwte she Kam bernama Liong,"

   Ia memperkenalkan diri.

   "karena Siauwte mempunyai urusan penting, maka buru-buru membalapkan kuda. Sungguh amat hebat kepandaian Ji-wi menunggang kuda, benar-benar membuat Siauwte tunduk sekali."

   Cin Hai dan Lin Lin memandang tajam. Jadi inikah pemuda putera Panglima Hong Sin seperti yang telah diceritakan oleh Lili itu? Tentu saja mereka tidak menduga sama sekali oleh karena Kam Liong memang selalu berpakaian biasa saja apabila melakukan pemeriksaan.

   "Kaukah putera dari Panglima Kam Hong Sin?"

   Tanya Cin Hai tiba-tiba dengan langsung, sesuai dengan wataknya yang jujur. Kam Liong tertegun.

   "Benar, Lo-Enghiong, tidak tahu Siauwte berhadapan dengan siapakah?"

   "Ayahmu seorang yang jujur dan baik,"

   Kata Cin Hai tanpa menjawab pertanyaan pemuda itu.

   "kami kenal baik dengan Ayahmu itu. Sayang kami belum dapat bertemu lagi sebelum ia gugur dalam perjalanan."

   Kam Liong memandang makin tajam dan tiba-tiba ia teringat akan sesuatu. Cepat ia mengerling ke arah nyonya itu dan sekilas memandang saja lenyaplah keraguannya. Wajah nyonya itu sama benar dengan wajah Lili, gadis yang dirindukannya! Dengan hati berdebar girang ia menjura lagi sambil berkata,

   "Salahkah kalau Siauwte mengatakan bahwa Sie-Taihiap, Pendekar Bodoh yang terhormat bersama dengan isteri yang Siauwte hadapi ini?"

   "Pandangan matamu tajam juga, orang muda. Kau tidak menduga salah,"

   Jawab Lin Lin. Tiba-tiba Kam Liong menjatuhkan diri berlutut di atas tanah.

   Cin Hai dan Lin Lin saling pandang dengan senyum di bibir, kemudian terpaksa mereka pun melompat turun dari kuda. Cin Hai cepat memegang pundak Kam Liong untuk mengangkatnya bangun. Pemuda ini amat cerdik. Ia tertarik oleh Lili dan ingin sekali meminang gadis itu menjadi isterinya, maka kini bertemu dengan orang tua gadis itu, cepat ia memberi hormat. Ketika merasa betapa kedua tangan Cin Hai menyentuh pundaknya, Kam Liong sengaja mengerahkan tenaga Jeng-Kin-Kang (Tenaga Seribu Kati) untuk memperlihatkan kesanggupannya. Akan tetapi, alangkah kagetnya ketika pundaknya yang tadinya dikeraskan oleh tenaga Jeng-Kin-Kang itu ketika tersentuh dan tertekan oleh jari-jari tangan Cin Hai, tiba-tiba lenyap tenaganya sama sekali dan tubuhnya berubah menjadi lemas, sehingga ia terpaksa menurut saja ketika ia diangkat bangun.

   "Mohon ampun sebanyaknya bahwa Siauwte yang bodoh bermata buta, tidak melihat dan mengenal pendekar-pendekar besar! Sesungguhnya, pertemuan ini amat membahagiakan hatiku, karena sesungguhnya Siauwte memang hendak pergi ke Shaning ingin bertemu dengan Ji-wi."

   "Ada keperluan apakah Ciangkun hendak bertemu dengan kami?"

   Tanya Cin Hai sambil memandang dengan penuh perhatian, karena sesungguhnya ia tidak begitu suka untuk berhubungan dengan segala perwira atau Panglima Kerajaan. Hatinya masih terluka oleh sepak terjang para perwira Kerajaan yang banyak menyusahkan hidupnya di waktu ia muda dulu (baca cerita Pendekar Bodoh). Akan tetapi, Lin Lin hatinya tertarik oleh kesopanan pemuda ini. Biarpun ia memiliki kedudukan tinggi, akan tetap pandai sekali membawa diri, tidak sombong dan sopan santun. Bagi pembaca yang sudah pernah membaca cerita Pendekar Bodoh, tentu masih ingat bahwa Lin Lin sendiri adalah puteri dari seorang perwira maka tentu saja dia tidak merasakan ketidak-sukaan terhadap kaum perwira seperti yang dirasakan oleh suaminya.

   "Tentu ada keperluan yang amat penting sehingga Ciangkun meninggalkan Kota Raja untuk mencari kami,"

   Kata Lin Lin dengan suara lebih halus.

   "Sesungguhnya, Siauwte membawa berita yang amat penting mengenai keadaan putera Ji-wi, yaitu Sie Hong Beng."

   "Dia di mana? Apa yang terjadi?"

   Lin Lin mendesak dengan muka berubah mengandung kekuatiran. Sudah lajimnya para lbu selalu menguatirkan keadaan puteranya. Cin Hai tetap tenang saja dan hanya sinar matanya yang mendesak kepada Kam Liong untuk cepat-cepat menceritakan apa yang telah terjadi atas diri Hong Beng. Kam Liong lalu menuturkan dengan sejelasnya betapa Goat Lan dan Hong Beng dengan kekerasan telah berhasil menolong Putera Mahkota , dan betapa kemudian Goat Lan diberi karunia, diangkat menjadi selir pertama untuk Putera Mahkota yang ditolak dengan tegas oleh Goat Lan sehingga gadis itu dihukum buang ke Utara dan dikawani oleh Hong Beng! Tentu saja ia tidak lupa untuk menuturkan betapa ia telah menyusul kedua orang muda itu dan memberi kuda serta memberi petunjuk.

   "Siauwte telah memberi tahu kepada Saudara Hong Beng dan Nona Kwee agar supaya mereka dan para pengawal mereka mengambil kedudukan di lereng Gunung Alkata-San, di mana Siauwte dahulu mempunyai sebuah Benteng yang cukup baik kedudukannya dan kuat. Kalau Siauwte sudah selesai tugas Siauwte ke Selatan, Siauwte juga akan memimpin pasukan ke Utara. Hal ini penting sekali oleh karena bukan hanya bangsa Tartar saja yang mengacau, akan tetapi ada desas-desus yang mengabarkan bahwa kini bangsa Mongol di Utara di bawah pimpinan Raja mereka, Malangi Khan, juga hendak menyerbu ke Selatan!"

   Mendengar penuturan pemuda ini, Cin Hai menggigit bibirnya, akan tetapi Lin Lin membanting-banting kedua kakinya dengan gemas.

   "Kaisar bu-to (tiada pribudi)! Sudah ditolong nyawa anaknya, masih tidak berterima kasih, bahkan hendak menjadikan calon mantuku sebagai selir Putera Mahkota! Dia kira macam apakah Goat Lan itu? Sungguh tak tahu membedakan orang!"

   Kam Liong adalah seorang Panglima muda yang mempunyai kesetiaan terhadap Kaisar, seperti Ayahnya dahulu. Oleh karena itu, mendengar betapa Lin Lin memaki Kaisar, ia menjadi tak senang juga. Ia pun terkejut mendengar bahwa Goat Lan adalah tunangan Hong Beng sebagaimana baru saja disebut oleh Lin Lin bahwa Goat Lan adalah calon mantunya. Untuk membela nama Kaisar, Kam Liong berkata,

   "Sayang sekali bahwa Nona Kwee Goat Lan atau Saudara Sie Hong Beng tidak berterus terang saja kepada Hong-Siang bahwa mereka berdua sudah bertunangan. Kalau Kaisar mengetahui akan hal ini, Siauwte merasa pasti Nona Kwee takkan dipaksa menjadi selir Putera Mahkota. Sesungguhnya, menjadi selir pertama dari Putera Mahkota adalah suatu kehormatan yang tinggi sekali, karena siapa tahu kalau Putera Mahkota kelak menjadi Kaisar dan selir pertama amat dicintanya, wanita itu mempunyai harapan untuk menjadi permaisuri? Dengan penolakan Nona Kwee, penolakan secara langsung di hadapan para Menteri dan pembesar tinggi, sudah tentu saja Kaisar terhina sekali sehingga menjatuhkan hukum buang. Siauwte menjelaskan hal ini agar Ji-wi tidak menjadi salah mengerti."

   Cin Hai dan Lin Lin mengangguk-angguk bahkan Cin Hai lalu menarik napas panjang dan berkata,

   "Semenjak dahulu sampai sekarang, selalu kaum bangsawan dan pembesar mempunyai kekuasaan dan kebenaran tersendiri, tanah yang mereka injak berada di atas kepala rakyat kecil!"

   "Kita harus menyusul Beng-ji ke Utara!"

   Kata Lin Lin.

   "Baiknya kita memberi tahu kepada Engko An dan Enci Ma Hoa tentang hal ini. Mereka juga berhak mendengar berita perihal puteri mereka."

   "Ke Utara bukan tempat dekat dan tidak dapat dilakukan dalam waktu pendek. Kalau kita langsung ke sana, bagaimana dengan Lili? Apakah dia takkan gelisah dan menanti-nanti kita?"

   Kata Cin Hai. Kedua suami-isteri ini dalam ketegangannya sampai lupa bahwa di situ masih ada Kam Liong yang diam-diam mendengarkan dengan penuh perhatian.

   "Maaf, Ji-wi harap jangan mengira kurang ajar. Akan tetapi sesungguhnya perjalanan Siauwte ke Selatan akan melalui Shaning. Kalau kiranya Ji-wi tidak berkeberatan, Siauwte dapat menyampaikan berita ini ke rumah ji-wi, karena Siauwte pernah mendapat kehormatan bertemu dengan puteri Ji-wi."

   Cin Hai mengerutkan keningnya, akan tetapi Lin Lin menjawab dengan girang,

   "Bagus, kau baik sekali, Ciangkun. Lili juga sudah menceritakan pertemuannya denganmu. Baiklah, kalau kau melalui Shaning, tolong kau beritahukan kepada puteri kami bahwa kami mungkin akan terus ke Utara untuk menyusul Hong Beng."

   Kam Liong girang sekali, akan tetapi ia tidak memperlihatkan perasaan hatinya pada wajahnya, hanya menyatakan kesanggupannya dengan sikap sopan. Mereka lalu berpisah, kedua suami-isteri Pendekar itu cepat mengaburkan kudanya ke Tiang-An, adapun Kam Liong dengan hati girang lalu menuju ke Shaning. Ketika tiba di pekarangan depan rumah gedung yang ditinggali oleh Kwee An di Tiang-An, seorang pelayan tua yang segera mengenal mereka lalu menyambut dan memegang kendali kuda mereka untuk dibawa ke kandang kuda.

   "Selamat datang, Sie-Taihiap berdua, selamat datang!"

   Katanya girang. terdengar suara teriakan girang dan seorang anak laki-laki yang bermuka putih dan bundar berusia kurang lebih sembilan tahun berlari keluar dari pintu depan.

   "Kouw-Kouw dan Kouw-Thio datang..."

   Serunya.

   "Cin-ji (Anak Cin), kau sudah besar sekarang!"

   Seru Lin Lin yang segera menyambut anak itu dengan kedua tangan terbuka. Dipeluknya Kwee Cin, anak ke dua dari Kwee An dan Ma Hoa dengan girang dan. ketika Cin Hai memeluknya pula, anak itu berbisik kepadanya,

   "Kouw-Thio (Paman, suami Bibi), kapan kau mau mengajarku Liong-Cu Kiam-Sut?"

   Cin Hai tertawa. Ketika anak ini baru berusia lima tahun, anak ini telah pula mengajukan permintaan untuk belajar Ilmu Pedang darinya. Dan sekarang anak ini menanyakan hal itu pula, sungguh seorang anak yang teguh kehendaknya.

   "Bukankah Ilmu Pedang Ayahmu juga bagus sekali? Dan ilmu Bambu runcing Ibumu tiada keduanya di dunia ini!"

   Kata Cin Hai. Kwee Cin berkata bangga,

   "Memang ilmu Bambu runcing Ibu tidak ada bandingannya di atas dunia ini, akan tetapi kata Ayah, dalam hal Ilmu Pedang, tidak ada yang melebihi Ilmu Pedang Liong-Cu Kiam-Sut dari Kouw-Thio!"

   "Baiklah, Cin-ji, kelak kalau ada waktu, kau boleh mempelajari Ilmu Pedang dariku."

   Kwee Cin menjadi girang sekali dan ia lalu menarik tangan bibi dan Pamannya itu, diajak masuk ke dalam rumah. Akan tetapi, sebelum mereka melangkah ke ambang pintu, dari dalam keluarlah Kwee An dan Ma Hoa dengan wajah girang sekali. Kedua suami isteri ini telah mendengar dari pelayan akan kedatangan kedua orang tamu dari Shaning ini. Mereka segera bercakap-cakap dengan gembira sekali, akan tetapi kegembiraan mereka itu tidak berlangsung lama, terutama bagi pihak tuan rumah. Ketika Lin Lin menceritakan kembali penuturan Kam Liong tentang peristiwa yang terjadi di Istana Kaisar dan hukuman yang dijatuhkan Kaisar kepada Goat Lan, wajah Ma Hoa menjadi pucat. Seperti juga suaminya, Ma Hoa juga puteri seorang perwira, maka ia tahu betul akan arti semua peristiwa ini.

   "Keputusan Kaisar tak dapat diubah. Tidak ada jalan lain, kita harus menyusul ke Utara untuk membantu tugas yang diberikan kepada anak kita!"

   Kata Ma Hoa setelah dapat menenteramkan hatinya dari berita mengejutkan ini.

   "Memang kami berdua pun telah mengambil keputusan untuk menyusul ke sana,"

   Kata Lin Lin yang kemudian menceritakan bahwa Hong Beng dan Goat Lan telah mendapat pertolongan Kam Liong bahkan telah diberi nasihat untuk menempati bekas Benteng di lereng Bukit Alkata-San.

   "Biar aku saja yang pergi bersama Lin Lin dan Cin Hai,"

   Kata Kwee An kepada isterinya.

   "Kita tak dapat pergi berdua meninggalkan Cin-ji seorang diri di rumah. Banyak orang-orang jahat sedang memusuhi kita, maka tidak baik rumah ditinggalkan, apalagi kalau meninggalkan Cin-ji seorang diri tanpa ada yang menjaganya."

   "Ayah, aku mau pergi! Aku mau ikut pergi menyusul Enci Lan dan membantunya menghancurkan pengacau-pengacau yang mengganggu orang-orang di daerah perbatasan!"

   Tiba-tiba Kwee Cin berkata dengan penuh semangat. Anak ini nampak lucu sekali, kedua tangannya dikepal dan sepasang matanya bersinar-sinar!

   "Tidak boleh, sama sekali tidak boleh!"

   Kata Ayahnya.

   "Perjalanan ke Utara bukanlah perjalanan mudah. Kau tinggal di rumah dengan Ibumu!"

   Kwee Cin nampak murung, akan tetapi Ma Hoa yang dapat merasakan kebenaran ucapan suaminya ini, menghibur puteranya dan berkata.

   "Ayahmu berkata benar, Cin-ji. Kau tidak boleh ikut dan kita berdua tinggal di rumah menjaga kalau-kalau ada musuh datang."

   "Kalau ada musuh datang, jangan sembunyikan aku di dalam kamar, Ibu. Biarkan aku ikut menghadapi mereka!"

   Setelah Ibunya menyanggupi, baru Kwee Cin tidak murung lagi. Cin Hai dan Lin Lin hanya bermalam satu malam saja di rumah Kwee An, dan pada keesokan harinya, Kwee An, Cin Hai dan Lin Lin berangkat naik kuda menuju ke Utara.

   Kam Liong yang merasa senang sekali, membalapkan kudanya menuju ke Kota Shaning. Ia merasa amat bahagia, karena dapat bertemu dengan Pendekar Bodoh dan isterinya dan dapat membantu mereka. Tak dapat tidak, ia tentu telah mendatangkan kesan baik di dalam hati mereka. Akan lebih licinlah jalan menuju kepada cita-citanya, yaitu melakukan pinangan terhadap Lili. Dan sekarang ia bahkan mendapat perkenan mereka untuk menyampaikan berita tentang Hong Beng dan tentang kedua suami isteri itu kepada Lili, gadis yang membuatnya tidak nyenyak tidur setiap malam.

   

Pendekar Bodoh Eps 33 Pendekar Bodoh Eps 16 Dara Baju Merah Eps 12

Cari Blog Ini