Ceritasilat Novel Online

Pendekar Bodoh 16


Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo Bagian 16



Sejahat-jahatnya manusia, ia masih mempunyai perasaan kasih sayang yang bersifat suci murni terhadap anaknya. Demikian pun Hek Moko biarpun manusia ini telah terkenal sebagai iblis yang jahat dan kejam, akan tetapi kini setelah bertemu kembali dengan puteranya, ia memperlakukan Kwee An dengan baik sekali hingga diam-diam Kwee An menjadi terharu dan timbul rasa kasihan di dalam hatinya terhadap iblis tua ini. Kwee An memang telah kehilangan Ayahnya dan dulu ia telah lama meninggalkan Ayahnya, yaitu ketika merantau mempelajari ilmu, maka kini biarpun maklum akan kejahatan dan kekejaman Hek Moko, namun mendapat perlakuan yang demikian penuh perhatian dan baik, serta menerima latihan-latihan silat dengan penuh keikhlasan, timbul juga rasa sayang dalam hatinya terhadap Iblis Hitam ini!

   Atas paksaan Hek Moko, Kwee An menyebut Ayah kepada iblis pendek yang luar biasa ini, sedangkan Hek Moko menyebutnya Siauw Moko atau Setan Kecil. Kwee An belajar dengan tekun dan rajin dan biarpun ia merasa girang menerim latihan ilmu silat yang amat tinggi dan lihai dari Ayah angkatnya ini, namun diam-diam ia bergidik menyaksikan betapa ilmu silat yang dipelajarinya ini benar-benar keji dan ganas! Akan tetapi baru satu bulan saja mendapat kemajuan pesat sekali, oleh karena memang ia telah mempunyai dasar ilmu silat tinggi hingga tambahan pelajaran ini, mudah saja diterima olehnya dan tentu saja Moko menjadi girang sekali. Ketika merasa bahwa ilmu silat yang diajarkan sudah cukup, Hek Moko lalu berkata,

   "Siauw Mo anakku, sekarang kau takkan kalah menghadapi Hai Kong!"

   Kwee An menghaturkan terima kasih dengan sepenuh hatinya.

   "Ayah, sekarang juga anakmu mau pergi mencari Hai Kong untuk membalas dendam karena kekalahan yang lalu!"

   "Bagus, bagus! Tidak ada orang di dunia ini yang boleh menghina anakku! Aku akan pergi bersamamu dan menghajar Hwesio gundul itu!"

   Kwee An terkejut, karena ia ingin mencari Cin Hai, bagaimana ia bisa membawa serta Ayah angkatnya ini? Ia lalu mencari akal dan berkata,

   "Ayah, apakah Ayah mau membikin aku menjadi malu? Kalau Ayah ikut, Hai Kong akan menganggap bahwa aku takut kepadanya dan sengaja mengajak kau orang tua! Untuk menghadapi Hai Kong saja, aku yang telah menerima kepandaianmu, sudah cukup. Untuk apa Ayah harus mencapaikan diri dan mengotori tangan untuk menghukum dia. Dan pula, bagaimana dengan hewan ternak di sini kalau Ayah ikut pergi?"

   Hek Moko terdiam dan tak dapat menjawab, ia memikir bahwa anaknya ini benar juga dan pantas alasan-alasannya, maka ia lalu mengurungkan maksudya hendak ikut.

   "Baiklah, kau pergi dan hajarlah Hwesio itu. Aku menunggumu di sini! Tetapi kau harus lekas kembali, dan jangan meninggalkan Ayahmu lama-lama, Siauw-Mo. Ingat, aku sudah tua sekali dan mungkin hidupku di dunia ini takkan lama lagi!"

   Ucapan ini menusuk perasaan Kwee An dan menyentuh sanubarinya. Ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Iblis Hitam itu dan berkata,

   "Ayah, aku takkan melupakan kau selama hidupku!"

   Setelah berkata demikian, Kwee An lalu meninggalkan tempat itu.

   Ia segera menuju ke tempat di mana dulu dia dan Cin Hai bertemu dengan Pangeran Vayami, akan tetapi di situ telah sunyi dan tidak terlihat sedikit pun bekas-bekas adanya Cin Hai. Kwee An berdiri termenung di tepi sungai dengan hati bingung dan sedih. Tiba-tiba terdengar gerakan perlahan di belakangnya dan ia tahu bahwa itu adalah Hek Moko yang datang! Benar saja, suara Hek Moko segera terdengar dan Iblis Hitam itu telah berada di belakangnya. Kwee An segera menengok dan melihat bahwa Ayah angkatnya itu telah datang beserta Pek Moko yang kelihatan menyeramkan sekali oleh karena wajahnya yang buruk itu kini nampak muram dan marah, sedangkan rambutnya telah putih semua yang membuat ia nampak tua sekali! Iblis putih ini memandang kepada Kwee An dengan tajam dan ia mengangguk-angguk sambil berkata,

   "Anak pungutmu ini terlalu cakap, Suheng, tapi ia cukup baik menjadi anakmu!"

   Hek Moko tertawa senang dan berkata kepada Kwee An,

   "Anakku, ini adalah Susiokmu yang bernama Pek Moko. Kau cukup menyebutnya Pek-Susiok saja!"

   Kwee An berpura-pura belum pernah melihat Pek Moko dan ia lalu berlutut memberi hormat,

   "Pek-Susiok, terimalah hormat Teecu."

   Pek Moko mengeluarkan suara jengekan dari hidungnya.

   "Jangan terlalu menghormat, Siauw-Mo, aku tidak biasa dihormati orang seperti ini!"

   Kwee An terkejut, akan tetapi Hek Moko hanya tertawa senang.

   "Siauw-Mo, kau takkan dapat mencari Hai Kong oleh karena Hwesio itu telah pergi mencari Pulau Emas! Bahkan aku dan Susiokmu ini pun hendak pergi ke sana pula. Hayo kau ikut kami dan tentu di sana kau akan dapat bertemu dengan Hai Kong Hosiang!"

   Kwee An menjadi girang, akan tetapi sebetulnya ia tidak senang harus pergi bersama sepasang iblis ini.

   "Bagaimana Ayah bisa tahu bahwa dia pergi ke Pulau Emas dan dimanakah letak pulau itu?"

   Tanyanya. Hek Moko lalu menceritakan pengalaman Pek Moko. Ternyata bahwa ketika mencari anak perempuannya, yaitu Pek Bin Moli, Pek Moko dapat menemukan anak perempuannya itu dalam keadaan mati!

   Ong Hu Lin, mantunya yang menjadi suami Pek Bin Moli dalam keadaan terpaksa itu, setelah dibawa pergi oleh isterinya yang gila, di tengah jalan lalu mencari akal dan akhirnya pada suatu malam, ketika isterinya yang berotak miring itu sedang tidur pulas, ia dengan kejam telah membunuh isterinya ini! Ketika Pek Moko mendengar tentang hal ini, lalu mencari Ong Hu Lin dan setelah bertemu, ia menyiksa dan membunuh Ong Hu Lin dengan penuh kemarahan hingga tubuh Ong Hu Lin dihancurkan sampai tidak karuan macamnya lagi! Peristiwa ini membuat Pek Moko berduka sekali hingga seluruh rambutnya memutih dan wajahnya menjadi kejam dan muram selalu. Kemudian dengan kebetulan Iblis Putih ini mendengar tentang adanya Pulau Emas yang kini sedang dicari-cari dan agaknya dijadikan rebutan antara orang-orang Turki, suku bangsa Mongol,

   Dan oleh Pemerintah Kaisar sendiri! Ia segera mencari kakak seperguruannya, yaitu Hek Moko dan setelah ia menceritakan semua ini, Hek Moko lalu mengajak menyusul Kwee An yang baru saja pergi dari situ untuk diajak bersama-sama pergi mencari Pulau Emas. Kwee An yang mendengar semua cerita ini, lalu berpikir pula bahwa besar kemungkinan Hai Kong Hosiang juga pergi mencari pulau itu dan apabila Hai Kong pergi ke sana, maka jika Cin Hai masih hidup, tentu pemuda itu mengejar juga ke sana! Oleh karena ini, tanpa ragu-ragu pula ia lalu menyatakan kesediaannya untuk ikut dengan Hek Moko ini. Berbeda dengan rombongan Nelayan Cengeng, Hek Pek Moko menuju ke laut melalui jalan darat dan mengikuti sepanjang tepi sungai.

   Cin Hai yang tertolong oleh Bu Pun Su dan telah sembuh dari pengaruh madu merah yang mujijat dan setelah pikirannya pulih kembali seperti biasa dan dapat mengingat semua kejadian telah lalu, merasa berduka sekali oleh karena tidak tahu bagaimana keadaan Kwee An dan Lin Lin. Terutama sekali ia merasa gelisah dan bingung jika teringat akan nasib Lin Lin yang tertawan oleh Perwira Boan Sip! Ingin sekali ia segera bertemu dengan Boan Sip untuk membuat perhitungan dan menumpahkan rasa dendam dan marahnya, akan tetapi ke mana harus mencari orang she Boan itu? Ang I Niocu maklum akan kesedihan Cin Hai ini, akan tetapi ia sendiri pun tidak berdaya dan hanya mengucapkan kata-kata hiburan di sepanjang perjalanan. Untuk menghibur hati pemuda yang gelisah ini, Ang I Niocu lalu bertanya dan minta ia mengutarakan tentang pertempuran dengan Hai Kong Hosiang.

   "Hwesio itu benar-benar telah mendapat kemajuan dalam ilmu silatnya,"

   Kata Cin Hai.

   "Sukar sekali bagiku untuk merobohkannya, walaupun aku dapat mengimbangi semua serangannya. Ia agaknya sudah kenal baik serangan-seranganku yang berdasarkan Liong-San Kun-Hwat dan Ngo-Lian-Hwat, hingga dapat berjaga diri dengan baik. Juga dalam ilmu kepandaian Lweekang, Hwesio itu kini amat kuat dan jauh lebih kuat daripada dulu."

   Ang I Niocu mendengarkan dengan penuh perhatian ketika Cin Hai menuturkan jalannya pertempuran. Kemudian Gadis Baju Merah yang telah banyak mengalami pertempuran-pertempuran ini, lalu berkata,

   "Hai-ji, cabutlah Pedangmu dan mari coba kuuji sampai di mana kepandaianmu!"

   Cin Hai terkejut, akan tetapi ketika ia melihat sinar mata Ang I Niocu, ia maklum bahwa Dara Baju Merah ini hendak memberi petunjuk-petunjuk kepadanya, maka tanpa ragu-ragu lagi ia lalu mencabut Pedangnya Liong-Coan-Kiam, sedangkan Ang I Niocu juga sudah mencabut keluar Pedangnya.

   "Awas serangan!"

   Kata Ang I Niocu yang lalu menyerang dengan Pedangnya. Sebagaimana biasa, sekali pandang saja secara otomatis Cin Hai dapat mengenal dasar gerakan serangan ini, maka dengan mudah ia pun lalu mengelak dan balas menyerang. Ang I Niocu terus menyerang dan mengeluarkan ilmu Pedangnya yang paling lihai, yakni Sianli Kiam-Sut yang mempunyai gerakan indah dan daya serang luar biasa dahsyatnya. Akan tetapi Cin Hai dengan amat mudahnya mengelak dan menangkis serangan ini dengan tepat dan sempurna.

   "Kau balaslah menyerang, jangan menahan diri saja,"

   Teriak Ang I Niocu sambil mengirim tusukan.

   (Lanjut ke Jilid 15)

   Pendekar Bodoh (Seri ke 03 - Serial Pendekar Sakti)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 15

   Cin Hai lalu balas menyerang dan oleh karena ia tidak mengenal lain ilmu Pedang maka ia pun lalu menyerang dengan Sianli Kiam-Sut yang ditirunya dari Ang I Niocu. Tentu saja serangan ini amat mudah dikenal dan diketahui perubahan atau perkembangannya oleh Ang I Niocu hingga gadis ini mudah saja mengelak atau menangkis.

   "Jangan menyerang dengan Sianli Kiam-Sut, tidak ada gunanya! Pakailah ilmu Pedang lain!"

   Ang I Niocu berseru lagi sambil terus menyerang lagi. Cin Hai tahu kekeliruannya oleh karena menghadapi gadis yang menjadi ahli Silat Bidadari itu, sungguh tolol kalau mempergunakan ilmu Pedangnya dan kini memainkan Ilmu Pedang Liong-San Kiam-hwat yang dipelajarinya dari Kanglam Sam-Lojin. Ia sekarang telah memiliki ilmu Ginkang dan Lweekang yang sangat tinggi oleh karena menerima latihan dari Bu Pun Su secara istimewa yakni mempelajari dasar-dasarnya hingga boleh dibilang Cin Hai telah memiliki kepandaian pokok yang mutlak. Akan tetapi oleh karena pengetahuannya tentang ilmu silat hanya dangkal saja, yaitu terbatas pada ilmu silat dari Liong-San-Pai dan ilmu silat yang ia pelajari dari An I Niocu, maka daya tempurnya amat lemah.

   Memang kalau menghadapi orang yang belum matang betul dalam hal ilmu silat tinggi, dengan mudah saja Cin Hai akan dapat mengalahkannya, akan tetapi apabila menghadapi tokoh persilatan yang tinggi dan matang ilmu Pedangnya, pemuda ini hanya dapat bertahan saja dengan luar biasa uletnya, akan tetapi juga sukar untuk melancarkan serangan-serangan lain kecuali kedua macam ilmu silat yang telah dipelajarinya itu, hingga menghadapi tokoh-tokoh tinggi seperti Hek Pek Moko atau Hai Kong Hosiang, juga menghadapi Ang I Niocu pemuda ini menjadi pihak yang selalu didesak dan diserang, sungguhpun harus diakui bahwa semua serangan itu dapat ditangkis atau dielakkannya dengan amat mudah oleh karena ia telah tahu betul akan perkembangan selanjutnya dari tiap serangan!

   Ang I Niocu menghabiskan seluruh kepandaiannya untuk digunakan menyerang anak muda itu, akan tetapi tak sedikit pun ia dapat mempengaruhi atau mengacaukan Cin Hai yang istimewa. Diam-diam gadis ini merasa kagum sekali oleh karena boleh dibilang di dunia ini tidak ada keduanya bila dicari orang yang dapat mempertahankan diri sedemikian baiknya terhadap serangan-serangannya yang dilakukan sampai semua jurus Sianli Kiam-Sut habis dimainkan tanpa nampak terdesak sedikit pun! Akan tetapi biarpun serangan-serangan Cin Hai luar biasa dahsyatnya, namun baginya serangan-serangan itu kurang berbahaya, dan kelihaiannya hanya terdorong oleh tenaga Lweekang dan gerakan yang hebat dari anak muda itu dan sama sekali bukan karena ilmu Pedangnya yang hebat.

   "Benar seperti yang kuduga!"

   Ang I Niocu berseru sambil melompat mundur. Cin Hai menahan Pedangnya.

   "Memang benar, Susiok-Couw hanya memberi pokok-pokok dasar ilmu silat kepadamu, tanpa memberi pelajaran penting untuk melakukan penyerangan. Mengapa engkau dulu tidak mau minta supaya orang tua yang aneh itu menurunkan satu atau dua macam ilmu silat agar dapat kau gunakan untuk menyerang lawan?"

   Dengan tersenyum Cin Hai berkata,

   "Niocu, apakah kau masih belum kenal adat Suhu yang Kukoai (Aneh)? Kalau dia sendiri tidak menghendaki, biarpun diminta sampai menangis pun takkan ia berikan!"

   Ang I Niocu memang sungguh-sungguh sayang kepada Cin Hai, maka pada saat itu gadis ini memutar-mutar otaknya demi kebaikan anak muda itu.

   Ia tahu bahwa dengan kepandaiannya yang sekarang ini, Cin Hai tak usah merasa takut terhadap seorang lawan yang mana pun juga, akan tetapi, tanpa memiliki daya serang yang lihai, bagaimana ia akan dapat menjatuhkan musuh-musuhnya? Apalagi sekarang masih ada seorang musuh yang amat tangguh, yaitu Hai Kong Hosiang yang agaknya dibantu oleh Pendeta tua renta yang gagu dan lihai sekali itu. Kalau pemuda ini tidak memiliki ilmu serangan yang dahsyat, banyak kemungkinan mendapat celaka dari tangan Hai Kong Hosiang. Cin Hai yang melihat betapa Ang I Niocu termenung, lalu meninggalkan gadis itu untuk mengumpulkan kayu kering. Mereka telah tiba dalam sebuah hutan dan hari telah mulai gelap, sedangkan di tempat itu banyak nyamuk dan hawa dingin. Tiba-tiba Ang I Niocu melompat ke atas dan berkata dengan girang.

   "Benar, benar! Kau harus melakukan itu,"

   Katanya kepada Cin Hai hingga pemuda ini tentu saja menjadi terheran-heran oleh karena tidak mengerti apakah yang dimaksudkan oleh gadis itu yang nampak demikian gembira.

   "Hai-ji, kau harus menciptakan ilmu Pedang sendiri!"

   Katanya kepada Cin Hai. Cin Hai terkejut dan mukanya menjadi merah.

   "Ah, Niocu, kau ini ada-ada saja! Aku yang bodoh dan tolol ini mana bisa menciptakan ilmu Pedang? Jangan mentertawakan aku, Niocu!"

   "Anak bodoh! Merendahkan diri di depan orang lain memang baik, akan tetapi memandang rendah kesanggupan sendiri hanya dilakukan oleh orang-orang malas dan kurang semangat. Kau dapat melihat dasar-dasar segala ilmu silat, maka kalau kau memang mau, mengapa kau tidak bisa menggabungkan semua ilmu silat itu menjadi satu dan menciptakan sendiri gerakan-gerakan serangan yang kau anggap tepat dan lihai?"

   Cin Hai memandang dengan sinar mata bodoh oleh karena memang belum mengerti.

   "Niocu, tolong kau beri tahu kepadaku, bagaimana caranya!"

   Ang I Niocu lalu memberi penjelasan dengan sabar dan telaten.

   "Hai-ji, terus terang saja kuberitahukan kepadamu bahwa Sianli Utauw atau Tarian Bidadari itu pun aku sendiri yang menciptakan. Maka kalau kau memang tekun, kau pun pasti akan dapat mencipta ilmu Pedang yang tidak ada keduanya di dunia ini. Caranya begini. kau perhatikan dan ingat semua ilmu silat yang telah kau lihat dan lalu kau pilih gerakan-gerakan serangan musuh yang dilancarkan kepadamu. Mana yang kau anggap lihai dan baik, boleh kau pilih. Kemudian gerakan-gerakan ini lalu kau rangkai menjadi semacam ilmu Pedang yang lihai. Tentu saja kau harus merubahnya sedikit agar tidak sama dengan aselinya lagi, dan bahkan harus diperbaiki mana yang kurang tepat. Hanya kau dan Susiok-Couw yang mempunyai kemampuan seperti ini."

   Mendengar ucapan Ang I Niocu, diam-diam Cin Hai lalu tertarik hatinya. Mengapa tidak ia coba? Memang tidak enak kalau selalu mempertahankan serangan orang, dan pula memang memalukan kalau menghadapi seorang lawan lalu menyerang lawan itu dengan ilmu silat yang ditirunya dari lawan itu sendiri. Alangkah senangnya kalau ia memiliki ilmu Pedang sendiri yang dapat dibanggakan. Cin Hai lalu duduk termenung dan ia lalu bersamadhi mengumpulkan seluruh perhatian dan perasaannya.

   Ia bayangkan semua ilmu-ilmu silat yang telah dilihatnya. Oleh karena ia telah mempunyai dasar batin yang kuat dan pikirannya telah jernih oleh latihan-latihan napas dan samadhi, maka sebentar saja di dalam otaknya terlintas semua gerakan ilmu silat yang pernah dilihatnya. Di antara semua ilmu silat, gerakan-gerakan Hek Pek Moko yang paling dahsyat dan kejam, sedangkan ilmu silat dan gerakan-gerakan Ang I Niocu yang ia anggap paling indah dan baik. Ia lalu mengumpulkan ingatannya dan mencatat di dalam hati gerakan-gerakan yang dianggapnya paling lihai, kemudian dengan mata masih meram dan membayangkan gerakan-gerakan itu, tubuhnya lalu berdiri dan bergerak-gerak menurut gambaran gerakan yang masih tampak di dalam matanya yang meram itu. Ang I Niocu mengikuti gerakan pemuda ini dengan heran dan kagum.

   Ia melihat betapa Cin Hai memainkan ilmu-ilmu silat yang aneh-aneh dan bermacam-macam, bahkan di situ ia lihat pula Cin Hai memainkan Sianli Utauw, dan juga Liong-San Kun-Hwat. Ia tahu bahwa pemuda itu sedang memilih-milih, maka ia tidak mau mengganggu, hanya mencari tambahan kayu kering dan menjaga agar api unggun itu tidak padam. Setengah malam lebih Cin Hai tiada hentinya bergerak ke sana ke mari sambil memejamkan mata. Ia tidak merasa bahwa ia telah bersilat selama itu, sedangkan Ang I Niocu masih tetap duduk di dekat api dengan setia. Ia sedikitpun tidak mau mengganggu Cin Hai dan hanya mernandang pemuda yang disayanginya itu dengan penuh harapan. Setelah lewat tengah malam tiba-tiba Cin Hai menghentikan gerakan-gerakannya dan mukanya menjadi agak pucat. Ia memandang kepada Ang I Niocu dan berkata,

   "Niocu, terima kasih atas petunjuk dan nasihatmu tadi. Agaknya aku telah mendapatkan semacam ilmu silat ciptaanku sendiri."

   Ang I Niocu girang sekali dan berkata,

   "Coba kau sempurnakan ilmu itu dengan Pedang, Hai-ji!"

   Cin Hai lalu mencabut Pedangnya dan berkata lagi,

   "Ketika aku bersilat dan mengumpulkan tipu-tipu gerakan semua cabang persilatan yang pernah kulihat, tiba-tiba aku melihat bahwa memang selama ini aku terlalu lemah dan tidak mempunyai pikiran untuk membalas menyerang lawan. Aku tidak ingat bahwa tak perlu aku kerahkan seluruh perhatian untuk pertahanan, karena sebetulnya aku telah memiliki daya tahan yang otomatis dan tak perlu menggunakan seluruh perhatian lagi. Oleh karena kesalahan itu, maka dulu aku tidak melihat lowongan-lowongan dan kesempatan-kesempatan yang sebenarnya dapat kumasuki untuk merobohkan lawan."

   Setelah berkata demikian, ia menghampiri serumpun Bambu dan tetumbuhan lain yang tumbuh dengan suburnya di dekat situ. Tetumbuhan itu penuh dengan daun-daun hingga batang-batangnya yang kecil hampir tak tampak dari luar dan oleh karena angin malam pada saat itu bertiup kencang, maka semua daun-daun itu yang berbentuk runcing bagaikan ratusan senjata menyerang ke depan dan melindungi batang-batang mereka yang kecil. Cin Hai lalu membayangkan bahwa ratusan daun itu adalah senjata-senjata musuh yang melindungi tubuh musuh, dan bahwa ia harus berusaha menyerang tubuh-tubuh musuh yang kini dilindungi oleh ratusan pisau yang bergerak-gerak itu. Ia lalu menggerakkan Liong-Coan-Kiam di tangan kanannya dan mulai bersilat dengan gerakan aneh.

   Gerakannya mula-mula lambat dan mengintai rumpun itu, akan tetapi makin lama makin cepat. Ia berusaha untuk melukai tubuh-tubuh yang bersembunyi di balik ratusan senjata itu tanpa mengadu Pedangnya dengan senjata itu! Hal ini tentu saja sukar bukan main oleh karena ratusan daun itu bergerak-gerak cepat dan tidak menentu karena tertiup angin hingga tubuh-tubuh atau batang-batang itu hanya nampak sekelebat dan sekilat saja! Akan tetapi, Cin Hai berlaku cepat dan hati-hati dan tiap kali daun-daun itu bergerak dan sebatang pohon kecil nampak, biarpun hanya sekilas, namun dengan Pedangnya telah memasuki lowongan itu dan tepat ujung Pedangnya menusuk batang itu tanpa mematahkannya! Gerakan-gerakan Pedangnya ini luar biasa sekali hingga Ang I Niocu yang masih duduk di dekat api, ketika melihat ini menjadi kagum sekali.

   Ia merasa begitu bergembira, hingga diam-diam ia pun menggerakkan kedua tangan dan bersilat meniru-niru dan mengimbangi gerakan Pedang Cin Hai! Ia melihat betapa gerakan-gerakan anak muda itu masih nampak kaku, maka sambil menggerakkan kedua tangannya, ia berkali-kali menyerukan bahwa tangan kiri pemuda itu harus begini dan sikap tubuhnya harus begitu! Pendeknya, Cin Hai pada saat itu sedang menciptakan semacam ilmu Pedang bersama-sama Ang I Niocu. Cin Hai mencipta ilmu Pedangnya, sedangkan Gadis Baju Merah itu memperbaiki gerak gayanya! Setelah Cin Hai selesai bersilat, Ang I Niocu lalu menghampiri rumpun Bambu dan ketika ia membuka daun-daun yang menutupnya, ternyata batang-batang yang puluhan jumlahnya itu semua telah berlubang bekas tusukan ujung Pedang Ci Hai! Ang I Niocu bersorak girang dan menari-nari bagaikan anak kecil!

   Cin Hai juga merasa girang sekali dan ia tidak menolak ketika Ang I Niocu mengajak ia sekali lagi bertanding dan ia harus mempergunakan ilmu Pedangnya yang baru saja diciptakannya itu! Dan hasilnya benar-benar hebat! Tiap jurus apabila Cin Hai menyerang selalu serangannya ini membingungkan Ang I Niocu dan kalau saja pemuda itu menyerang dengan sungguh-sungguh, dalam sepuluh jurus saja Pendekar Wanita Baju Merah ini pasti akan roboh! Ternyata bahwa Cin Hai telah menciptakan sebuah ilmu Pedang yang benar-benar luar biasa, oleh karena ilmu Pedangnya ini didasarkan atas kelemahan-kelemahan dan kekurangan-kekurangan ilmu silat lain yang telah dilihatnya. Ia menggunakan kesempatan untuk mengisi lowongan-lowongan dan menyerbu bagian-bagian yang lemah dari gerakan-gerakan aneh,

   Bahkan kadang-kadang kedudukan kaki atau tangannya berbalik dan merupakah kebalikan daripada gerakan ilmu silat biasa! Ang I Niocu merasa girang sekali dan minta Cin Hai bersilat Pedang lagi seorang diri. Pada gerakan yang kaku, gadis yang memang ahli tari dan memiliki gerak gaya indah ini lalu memperbaiki tanpa merusak gerakan aseli. Sampai fajar menyingsing, kedua orang ini tiada hentinya melatih, atau lebih tepat lagi Cin Hai melatih diri dan Ang I Niocu membantunya dengan nasihat-nasihat mengenai keindahan gerakannya. Semalam suntuk mereka tidak beristirahat. Pada keesokan harinya mereka hanya beristirahat sebentar kemudian Cin Hai kembali melatih diri dengan ilmu silat Pedangnya yang baru itu. Ang I Niocu melihat dari samping memberi petunjuk di bagian yang masih kaku gerakannya.

   Walaupun ilmu Pedang ini dapat dilihat dan ditiru oleh Ang I Niocu, akan tetapi oleh karena untuk mempergunakan ilmu Pedang ini harus sebelumnya dimiliki kepandaian dan pengertian pokok tentang segala gerakan ilmu silat sebagaimana yang telah dimiliki Cin Hai, maka ilmu Pedang ini tidak akan ada gunanya bagi Ang I Niocu. Pendeknya, tanpa pengetahuan dasar yang diajarkan oleh Bu Pun Su, orang lain tidak mungkin mempergunakan ilmu ini dalam menghadapi lawan! Demikianlah, setelah berlatih terus-menerus selama tiga hari tiga malam, akhirnya ilmu Pedang ini dapat dimainkan dengan baik sekali oleh Cin Hai hingga Ang I Niocu menjadi puas dan girang. Ketika ia mencoba untuk melawan ilmu Pedang ini dengan ilmu Pedangnya, maka dalam tiga jurus saja Pedangnya telah dapat dirampas oleh Cin Hai.

   "Aduh Hai-ji! Ilmu Pedangmu ini benar-benar luar biasa dan jangankan Hai Kong Hosiang biarpun Hek Pek Moko sendiri tentu akan roboh di tanganmu! Kionghi, kionghi! (Selamat)."

   Tiba-tiba terdengar suara orang berkata dengan suara nyaring,

   "Ya, kionghi, kionghi! Akan tetapi hati-hatilah kau, Cin Hai agar ilmu jahat ini tidak merusak hatimu menjadi jahat dan kejam pula!"

   Cin Hai dan Ang I Niocu terkejut sekali dan tahu-tahu Bu Pun Su telah berdiri di dekat mereka! "Cin Hai, ilmu Pedang tadi memang baik sekali dan tidak kusangka bahwa kau yang bodoh ini dapat mencipta ilmu Pedang seperti itu! Akan tetapi oleh karena kau melatih dengan melukai batang-batang Bambu dengan ujung Pedangmu, maka apabila menghadapi lawan, kau baru akan dapat merobohkan dia dengan tusukan yang melukainya pula! Ini jahat sekali, muridku!"

   Cin Hai merasa bingung dan terkejut sekali oleh karena memang betul seperti yang dikatakan oleh gurunya ini. Tadi ia berhasil merampas Pedang Ang Niocu oleh karena gadis Pendekar itu terlalu terdesak oleh ilmu Pedangnya hingga memungkinkan ia menyambar dan merampas Pedang gadis itu, sedangkan kalau bertempur dengan lawan yang melawan mati-matian, maka untuk merobohkannya ia harus mempergunakan Pedangnya yang mengirim serangan-serangan maut itu!

   "Mohon ampun, Suhu, dan sudi memberi petunjuk-petunjuk kepada Teecu,"

   Katanya. Bu Pun Su tersenyum dan tiba-tiba dengan suara sungguh-sungguh ia berkata,

   "Coba cabutlah Pedangmu itu dan seranglah aku!"

   Cin Hai tidak ragu-ragu untuk melakukan hal ini oleh karena ia mempunyai kepercayaan penuh akan kesaktian Suhunya, maka setelah memberi hormat sekali lagi, ia lalu mencabut Liong-Coan-Kiam dan menyerangnya dengan hebat. Pedangnya berkelebat merupakan sinar yang melenggang-lenggok dan ia telah mempergunakan jurus ke lima yang dianggapnya cukup berbahaya. Ia maklum bahwa Suhunya memiliki mata tajam sekali dan telah hafal sekali akan segala gerakan pundak yang mendahului semua gerakan pukulan tangan dan juga telah tahu akan pergerakan lutut yang mendahului semua gerakan kaki, maka ia lalu mengeluarkan serangan jurus ke lima ini.

   Memang dalam menciptakan ilmu Pedangnya, Cin Hai juga memikirkan kemungkinan apabila menghadapi seorang yang telah mempunyai kepandaian melihat gerakan orang seperti yang sudah dipelajarinya dari Bu Pun Su, maka dalam beberapa gerakan ia sengaja membuat ilmu serangan yang dilakukan dengan gerakan-gerakan terbalik! Menurut gerakan ilmu silat biasa, jika pundaknya bergerak itu tentu menjadi tanda bahwa Pedang di tangan kanannya akan ditusukkan ke depan, akan tetapi belum juga Pedangnya menusuk, secepat kilat gerakan itu telah dibalik dan menjadi sabetan pada kedua kaki lawan dan sebelum sabetan ini diteruskan, telah dibalikkan pula dan menjadi sebuah serangan memutar ke arah leher!

   "Ganas sekali!"

   Bu Pun Su berseru sambil meloncat ke belakang oleh karena Guru yang lihai ini benar-benar tercengang dan terkejut melihat kehebatan serangan muridnya.

   "Hayo kau serang terus dan keluarkan semua ilmu Pedangmu yang liar ini!"

   Katanya dan Cin Hai tak berani membantah dan segera maju menyerang terus. Akan tetapi, ilmu meringankan tubuh dari Bu Pun Su sudah sampai di tingkat tertinggi hingga boleh dibilang tubuhnya seperti sehelai bulu yang dapat bergerak pergi tiap kali angin Pedang menyambar hingga biarpun Pedang Cin Hai hampir menyerempet pakaian Kakek itu,

   Namun tetap Pedang itu tak dapat melukainya! Namun benar-benar kali ini Bu Pun Su menghadapi semacam ilmu Pedang yang luar biasa dan hanya dengan mengerahkan seluruh Ginkangnya saja maka ia dapat mengelak bagaikan seekor burung beterbangan di antara sambaran Pedang! Ang I Niocu memandang demonstrasi yang dilakukan oleh Guru dan murid ini dengan mata terbelalak saking kagum dan herannya. Selama hidupnya belum pernah ia melihat kelihaian seperti ini dan hatinya diam-diam girang sekali memikirkan bahwa Cin Hai kini telah menjadi seorang jago Pedang tingkat tinggi! Ilmu Pedang Cin Hai semuanya ada tiga puluh sembilan dan setelah dimainkan semua, akhirnya pemuda ini meloncat ke belakang sambil berkata dengan napas terengah-engah,

   "Sudahlah, Suhu, Teecu tak kuat lagi!"

   Ia lalu berlutut dengan muka merah karena hatinya kecewa betapa dengan mudahnya Kakek itu dapat mengelak serangannya. Ia anggap ilmu Pedangnya ini tiada gunanya sama sekali dan bahwa ia telah menyia-nyiakan waktu tiga hari tiga malam!

   "Ha, ha ha."

   Bu Pun Su tertawa terkekeh-kekeh karena Kakek ini maklum dan dapat membaca isi hati Cin Hai dari muka pemuda itu.

   "Jangan kau kecewa, Cin Hai. Ketahuilah, ilmu Pedang yang baru saja kau mainkan ini kehebatannya jauh melebihi dugaanku semula!"

   "Mohon Suhu jangan mentertawakan kebodohan Teecu,"

   Kata Cin Hai.

   "Siapa mentertawakan kau? Anak bodoh, dengan ilmu Pedangmu ini, kau boleh menjelajah di seluruh negeri dan mengharapkan kemenangan dari setiap pertempuran! Akan tetapi, jangan kira bahwa aku merasa senang atau bangga melihat ilmu Pedangmu ini! Kau kira aku tidak percaya atau tidak suka kepadamu maka aku tak pernah menurunkan ilmu kepandaian menyerang kepadamu? Ketahuilah, dan kau juga Im Giok, aku memang sengaja tidak mengajarkan ilmu serangan kepadamu, oleh karena apakah baiknya menyerang orang? Akan tetapi, memang segala apa sudah ditentukan oleh takdir hingga kau yang tidak mempelajari ilmu menyerang, ternyata kini menghadapi banyak musuh yang lihai. Dan jangan kau anggap bahwa ilmu Pedangmu ini saja akan cukup kuat untuk menghadapi Si Rangka Hidup Kam Ki Sianjin, Supek dari Hai Kong Hosiang itu! Ah, kau terlalu mengunggulkan diri kalau kau mempunyai pikiran demikian! Di dunia ini banyak sekali terdapat orang-orang pandai dan mungkin kalau sewaktu-waktu kau akan menemui musuh yang lebih lihai lagi! Sekarang kau telah berhasil menciptakan semacam ilmu menyerang, maka biarlah agar jangan kepalang tanggung, kau pelajari juga Ilmu Pek-In Hoat-Sut (Ilmu Sihir Awan Putih) dan Ilmu Silat Tangan Kosong Kong-Ciak Sin-Na."

   Bukan main girang rasa hati Cin Hai dan segera mengangguk-anggukkan kepala menghaturkan terima kasih.

   "Juga kau yang telah banyak membuat jasa boleh mempelajari ilmu ini, Im Giok."

   Ang I Niocu lalu berlutut dan mengucapkan terima kasih pula.

   Demikianlah, selama dua pekan, Bu Pun Su memberi pelajaran dua macam ilmu silat itu kepada Cin Hai dan Ang I Niocu yang dipelajari dengan penuh perhatian oleh kedua Pendekar muda itu. Pek-In Hoat-Sut adalah ilmu sihir yang sebetulnya hanya sebutannya saja ilmu sihir, oleh karena ilmu ini gerakan ilmu silat yang sepenuhnya digerakkan oleh tenaga Khikang hingga dari kedua kepalan tangan yang memainkannya keluar uap putih bagaikan awan yang dapat menolak setiap hawa serangan yang bagaimana jahat pun dari lawan! Uap ini terjadi dari keringat yang berubah menjadi uap sebagai akibat dari dorongan tenaga Khikang yang panas dan disalurkan ke arah kedua lengan dalam setiap serangan.

   Biarpun lawan menggunakan ilmu hitam atau pukulan keji seperti Ang-See-Ciang (Tangan Pasir Merah) dan lain-lain, apabila bertemu dengan orang yang mempergunakan Pek-In Hoat-Sut ini akan mati kutunya, tenaga serangan mereka yang buyar dengan sendirinya. Oleh karena tenaga hebat inilah maka ilmu ini disebut ilmu sihir! Ilmu ke dua adalah Ilmu Silat Tangan Kosong Kong-Ciak Sin-Na atau Ilmu Silat Tangan Kosong Burung Merak. Gerakan-gerakan ilmu silat ini selain memukul, juga menggunakan jari-jari tangan untuk mencengkeram dan merampas senjata musuh hingga tepat sekali dipergunakan dengan tangan kosong apabila menghadapi lawan yang bersenjata. Setelah kedua orang itu mempelajari dua macam ilmu silat itu dengan sempurna, Bu Pun Su lalu berkata,

   "Cin Hai dan Im Giok! Biarpun kalian tidak bertanya, akan tetapi aku maklum bahwa kalian ingin sekali mendengarkan tentang nasib Lin Lin."

   Cin Hai mendengarkan dengan wajah tiba-tiba berubah pucat, sedang Ang I Niocu juga mendengarkan dengan hati berdebar khawatir.

   "Kalian jangan khawatir, menurut dugaanku Lin Lin telah selamat dan kalau tidak keliru ia sedang melakukan perjalanan dengan kawan-kawan baik. Sekarang ada hal yang lebih penting lagi. Orang-orang Turki dan orang-orang Mongol sedang berlomba untuk merebut sebuah pulau di laut Timur dan apabila pulau ini sampai terjatuh ke dalam tangan mereka, maka bahaya besar mengancam seluruh negeri! Aku menyaksikan dengan mata sendiri, betapa ratusan orang-orang Turki dan Mongol dengan diam-diam dipimpin oleh orang-orang berilmu dari kedua bangsa itu dan secara bersembunyi mereka menyerbu ke daerah Timur untuk berlomba menemukan pulau itu. Oleh karena ini, kalian berdua segera berangkatlah ke laut Timur melalui sungai yang mengalir di sebelah Utara ini, oleh karena hanya di sana saja, maka kalian akan dapat bertemu dengan Lin Lin, bahkan mungkin dapat bertemu dengan musuh besarmu yang bernama Hai Kong Hosiang itu. Nah, sekarang aku hendak pergi!"

   Cin Hai dan Ang I Niocu maklum akan sikap aneh dari orang tua ini yang bicaranya selalu mengandung rahasia. Mereka maklum pula bahwa mereka secara membuta mereka harus menurut petunjuk ini,

   Oleh karena petunjuk ini pasti betul dan biarpun tidak jelas, namun kalau tidak nyata takkan dikeluarkan dari mulut Kakek luar biasa itu. Tanpa menunda lagi, Cin Hai dan Ang I Niocu berlari cepat ke Utara dan tak lama kemudian mereka bertemu dengan sungai yang melintang dan mengalir ke arah Timur itu. Di situ tidak terlihat perahu dan keadaannya sunyi sekali, maka keduanya lalu mempergunakan ilmu lari cepat dan mengikuti aliran sungai menuju ke Timur. Akan tetapi, jalan di tepi sungai itu sukar sekali, penuh rawa dan hutan-hutan berbahaya, juga amat sukar dilalui. Setelah mereka berlari selama dua hari, akhirnya mereka melihat sebuah dusun kecil dan mereka menjadi girang ketika melihat beberapa buah perahu diikat di pinggir sungai. Segera Cin Hai mencari pemilik perahu untuk disewa atau dibelinya. Dua orang menghampiri mereka dan bertanya,

   "Jiwi membutuhkan perahu?"

   "Betul,"

   Kata Cin Hai dengan girang.

   "Kami berdua hendak menyewa atau membeli sebuah perahu."

   "Membeli?"

   Kedua orang itu saling pandang "Ah, Kongcu. Di sini tidak ada yang mau menjual perahunya. Pernah kau mendengar ada orang menjual isterinya?"

   "Apa katamu?"

   Cin Hai bertanya heran, dan tak senang, oleh karena menyangka bahwa nelayan itu hendak mempermainkannya.

   "Kongcu hendak membeli perahu, sedangkan sebuah perahu adalah sama dengan seorang isteri bagi seorang nelayan. Siapakah yang mau menjual perahu atau isterinya? Tidak, Kongcu, kalau kalian berdua hendak menyewa, boleh kalian pakai perahuku ini. Biarpun kecil, tetapi kuat dan laju!"

   Cin Hai tersenyum geli.

   "Boleh, aku hendak menyewa perahumu ini."

   "Jiwi hendak ke manakah?"

   Tanya nelayan yang seorang lagi. Ang i Niocu tidak senang melihat ada orang lain ikut bicara, bahkan bertanya tentang maksud kepergian mereka.

   "Apa perlunya kau ikut campur dan bertanya ke mana kami hendak pergi?"

   
Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tanyanya tak senang. Orang itu berkata sambil mengangkat dadanya,

   "Aku berhak penuh untuk ikut campur, oleh karena perahu ini adalah milik kami berdua!"

   Cin Hai tertawa.

   "Aha, kalau begitu isterimu ini mempunyai dua orang suami?"

   Kedua orang nelayan itu tertawa.

   "Kongcu, kami adalah orang-orang miskin, dan dua orang memiliki sebuah perahu saja."

   "Kami berdua hendak menuju ke laut dan hendak mencari sebuah pulau."

   Kedua orang itu nampak terkejut sekali.

   "Apa? Hendak mencari pulau? Apakah Pulau Emas?"

   Cin Hai dan Ang I Niocu tercengang, akan tetapi mereka memang hendak menyelidiki pulau yang belum pernah meraka ketahui ini sedangkan Bu Pun Su juga tidak memberi penjelasan, maka Cin Hai lalu tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepalanya.

   "Ya, kami mencari Pulau Emas!"

   Tiba-tiba seorang di antara kedua nelayan itu menjadi pucat dan berkata kepada kawannya,

   "Twako, marilah kita pergi dan jangan melayani mereka ini. Agaknya mereka ini pun sudah kegilaan emas dan mungkin akan timbul malapetaka lagi apabila kita membawa mereka seperti hal kita tempo hari itu!"

   Cin Hai menjadi tertarik, dan Ang I Niocu segera membentak,

   "Apakah yang terjadi? Apa ada orang lain yang juga mencari Pulau Emas itu?"

   Kedua nelayan itu saling pandang dan keduanya lalu berdiri hendak meninggalkan tempat itu, sama sekali tidak berani menjawab. Ang I Niocu lalu meloncat dan sekali tangannya bergerak, maka Pedang yang tajam telah dicabutnya dari Pedang itu kini menempel di leher seorang nelayan,

   "Ke mana engkau hendak pergi? Jangan main-main, sebelum kalian menceritakan hal itu kepada kami, jangan harap akan dapat pergi dengan kepala menempel di lehermu!"

   Nelayan itu menghela napas.

   "Apa kataku, Twako? Benar-benar Pulau Emas itu pulau berhantu dan Setan-Setan saja yang berani mengunjungi pulau itu! Toanio, harap kau berlaku murah dan jangan begini galak. Kami hanya nelayan-nelayan biasa saja dan kalau Toanio menghendaki, baiklah kami tuturkan pengalaman kami. Beberapa hari yang lalu, kami kedatangan seorang asing yang sangat murah hati dan royal dengan hadiah-hadiahnya. Ia minta kami suka mendayung perahunya yang besar, oleh karena ia berkata bahwa ia tidak kenal daerah sini. Ia hendak pergi ke laut dan mencari Pulau Emas seperti kalian pula. Akan tetapi, pada suatu malam, perahu orang asing bangsa Turki ini kedatangan seorang Perwira yang galak dan gagah, sedangkan Perwira ini ketika datangnya saja sudah sangat aneh dan menakutkan yaitu ia mengempit tubuh seorang gadis muda yang cantik jelita!"

   Berdebarlah hati Cin Hai dan Ang I Niocu. Bukankah gadis yang dimaksudkan ini Lin Lin adanya? Akan tetapi Cin Hai lalu mendesak,

   "Teruskan, teruskan ceritamu!"

   "Setelah Perwira galak ini naik ke dalam perahu kami, maka kami berdua lalu mendapat perintah untuk mendayung perahu dan sepanjang yang kami dengar, Perwira itu tadinya hendak membunuh gadis yang ditawannya, akan tetapi maksudnya dihalangi oleh orang asing itu, dan agaknya Si Perwira takut dan tunduk kepadanya. Gadis itu lalu ditahan di dalam kamar perahu dan tidak diganggu. Akan tetapi, memang Setan berkeliaran di atas sungai ini! Tiba-tiba perahu yang kami dayung itu bertumbuk dengan sebuah perahu lain yang biarpun kecil, akan tetapi maju dengan kuat hingga perahu kami terhalang. Dan yang lebih hebat lagi, ketika kami menegur nelayan tua yang berada di perahu kecil itu, ia menjadi marah dan sekali pukulkan dayungnya yang besar, perahu yang kami dayung menjadi pecah dan bocor hingga tenggelam!"

   "Nelayan Cengeng!"

   Tak terasa lagi Cin Hai berseru. Nelayan yang bercerita itu menjadi kaget karena menyangka bahwa dialah yang dimaki cengeng tetapi sebelum ia sempat bertanya, Cin Hai sudah mendesaknya lagi.

   "Teruskanlah, teruskanlah!"

   "Penumpang-penumpang kami orang Turki yang aneh dan Perwira yang galak itu menjadi marah dan melompat ke darat, sedangkan gadis cantik yang ditawan itu pun tak tersangka-sangka lihai juga dan dapat melompat ke darat! Kami berdua tak dapat melompat sejauh itu maka kami lalu menceburkan diri ke dalam air dan berenang ke tepi. Ternyata di tepi itu terjadi pertempuran hebat! Orang Turki bertempur melawan nelayan tua yang memegang dayung dan yang telah memecahkan perahu kami, sedangkan Si Perwira dikeroyok oleh gadis tawanannya dan seorang pemuda tampan kawan nelayan tua itu."

   "Ma Hoa!"

   Kata Ang I Niocu dan kembali nelayan itu memandang heran karena tidak tahu maksud Dara Baju Merah yang berseru karena amat tertarik mendengar penuturan ini.

   "Dan bagaimana hasil pertempuran itu?"

   Cin Hai mendesak dengan tak sabar, karena ia telah merasa pasti bahwa yang mengeroyok Perwira itu tentu Lin Lin dan Ma Hoa dan yang bertempur melawan orang Turki tentu Si Nelayan Cengeng.

   "Kesudahannya mengerikan sekali..."

   Nelayan yang pandai bercerita itu sengaja berhenti sebentar untuk membikin pendengar-pendengarnya makin bernafsu dan ceritanya makin menarik.

   "Perwira yang galak dan gagah itu tewas. Kepalanya remuk dipukul oleh dayung yang dipegang gadis tawanannya, sedangkan dadanya bolong-bolong tertembus Pedang Si Pemuda tampan!"

   Baik Cin Hai maupun Ang I Niocu menghela napas lega.

   "Mampuslah si keparat!"

   Seru Cin Hai dengan gembira, kemudian ia menegaskan.

   "Bukankah Perwira itu masih muda, kira-kira tiga puluh tahun, dan bibirnya tebal?"

   Nelayan itu memandangnya heran,

   "Betul sekali, apakah Kongcu kenal padanya?"

   Akan tetapi Cin Hai tidak menjawab pertanyaan ini, hanya bertanya lagi,

   "Dan bagaimana hasil pertempuran orang Turki melawan nelayan tua itu?"

   "Mereka bertempur secara luar biasa sekali hingga kami berdua tidak dapat melihat siapa menang siapa kalah. Tiba-tiba mereka berhenti bertempur dan agaknya lalu mengikat persahabatan. Si Nelayan Tua itu benar-benar Setan air! Ia menyelam ke dalam air dan berhasil mencari dan mengambil perahu yang telah tenggelam itu. Bukan main! Selama hidupku belum pernah aku melihat orang dapat melakukan hal semacam itu. Tentu ia iblis air sungai itu!"

   "Hush! Jangan membuka mulut sembarangan saja. Sekali lagi kau memaki dia, kutampar mulutmu!"

   Kata Cin Hai sambil mendelikkan matanya hingga nelayan itu terkejut dan takut.

   "Teruskan ceritamu, bagaimana selanjutnya dengan mereka itu?"

   "Selanjutnya? Tidak ada apa-apa lagi. Mereka berempat setelah memperbaiki perahu lalu berangkat pergi dan kami ditinggalkan dengan perahu kecil ini dan hadiah uang!"

   "Jadi perahu kecil ini adalah perahu kepunyaan nelayan tua itu?"

   Tanya Cin Hai dengan girang. Kedua nelayan itu menjadi pucat karena mereka telah kelepasan omong.

   "Kalau begitu kami hendak memakai perahu ini,"

   Kata Ang I Niocu yang merogoh keluar dua potong uang perak dari sakunya.

   "Nih, kalian ambil seorang satu! Perahu ini kami ambil!"

   Melihat bahwa perahu itu hanya diganti dengan dua potong uang perak, kedua nelayan itu menjadi bingung,

   "Eh, Siocia, eh... Toanio, nanti dulu, perahu... perahu kami ini harganya lebih dari lima potong uang perak!"

   Ang I Niocu mengangkat tangan mengancam.

   "Perahu ini bukan perahu kalian! Memberi dua potong perak sudah terlalu banyak untukmu dan itu pun bukan untuk membeli perahu ini, akan tetapi sebagai upah kalian bercerita tadi!"

   Cin Hai dan Ang I Niocu lalu melompat ke dalam perahu dan mendayung perahu itu ke tengah sungai. Kedua nelayan itu tidak berani berbuat sesuatu, hanya melihat perahu itu pergi makin jauh dengan hati memaki-maki kalang kabut, akan tetapi mulut tidak berani bersuara! Dua hari kemudian ketika perahu melalui sebuah hutan, Ang I Niocu melihat pohon-pohon buah Lenci di dekat pantai.

   Melihat buah yang bergantungan dan sudah masak itu, timbul seleranya dan ia mengusulkan untuk berhenti dan beristirahat sebentar sambil mencari dan makan buah. Cin Hai setuju, oleh karena ia pun merasa ingin makan buah yang segar nampaknya itu. Mereka lalu mendayung perahu ke pinggir dan menarik perahu kecil itu ke darat. Kemudian, oleh karena melihat tempat itu sunyi dan indah sekali, timbul kegembiraan mereka dan keduanya lalu melompat ke atas cabang pohon dan memilih buah sesuka hati mereka. Akan tetapi tiba-tiba Cin Hai berseru kaget dan cepat melompat turun dan ketika Ang I Niocu memandang ke arah perahu mereka, ia pun terkejut sekali. Seorang Tosu (Pendeta penganut Agama Tao) sedang menarik perahu mereka ke arah air, dan agaknya ia hendak mempergunakan kesempatan itu untuk mencuri perahu mereka!

   Ang I Niocu menjadi marah sekali dan ia pun cepat melompat turun dari atas pohon. Ketika Cin Hai dan Ang I Niocu berlari ke arah perahu mereka, tiba-tiba dari balik batang pohon besar melompat keluar seorang Hwesio (Pendeta penganut Agama Buddha) yang bertubuh pendek tapi gemuk sekali. Hwesio ini kelihatan lucu sekali, mukanya seperti muka anak kecil yang gemuk, dan jika dilihat, ia persis seperti boneka besar atau Jilaihud yang berwajah baik dan peramah. Mukanya yang bulat itu selalu tersenyum ramah, tubuhnya bagian atas yang serba bulat dan gemuk hanya menutup kedua pundak dan lengannya saja, sedangkan tubuh atas bagian depan terbuka sama sekali! Dadanya yang bergajih dan pusarnya yang besar kelihatan menambah kelucuannya. Ia menghadang Cin Hai dan Ang I Niocu sambil tertawa dan berkata,

   "Ai, ai, kalian sepasang burung dara yang bahagia! Mengapa melayang turun dari pohon dan berlari-lari. Bukankah lebih senang bermain-main di atas pohon?"

   Bukan main marahnya Cin Hai mendengar ini, sedangkan Ang I Niocu dengan muka merah lalu membentak,

   "Bangsat gundul kurang ajar! Tutup mulutmu dan minggirlah!"

   Akan tetapi Hwesio tadi memandang heran dan tertawa lagi,

   "Eh, eh, mengapa marah-marah? Apakah aku mengganggu kalian?"

   "Hwesio gemuk, jangan kau menghadang di depan kami!"

   Kata Cin Hai yang lebih sabar.

   "Kami akan mengejar pencuri perahu itu!"

   Si Hwesio tertawa terus dan berkata,

   "Pencuri perahu? Kau maksudkan Tosu itu? Ah, dia adalah saudaraku! Kami hanya ingin pinjam sebentar perahumu itu!"

   "Bagus, Hwesio maling!"

   Kata Ang I Niocu yang segera melompat maju dan mengayun kepalan tangan menghantam dada Hwesio yang gemuk itu. Akan tetapi Ang I Niocu terkejut sekali karena tidak menyangka bahwa Hwesio segemuk ini dapat bergerak gesit sekali ketika ia mengelak dari pukulan Ang I Niocu.

   "Waduh, ganas... ganas...!"

   Seru Hwesio gendut itu yang masih saja tertawa-tawa sungguhpun Ang I Niocu menyerang bertubi-tubi dengan pukulan cepat hingga ia harus mengelak ke sana ke mari dengan repot sekali. Sementara itu, Tosu yang hendak mencuri perahu tadi, ketika melihat betapa saudaranya diserang oleh Ang I Niocu dan terdesak sekali, segera menarik kembali perahu itu ke darat dan berlari-lari ke arah tempat pertempuran.

   "Jangan kau memukul Adikku!"

   Teriaknya dan segera menyerang Ang I Niocu. Melihat serangan ini hebat juga datangnya, Cin Hai lalu maju menangkis dan keduanya lalu bertempur ramai! Keadaan Tosu ini sama sekali berbeda dengan Hwesio itu. Kalau Hwesio itu gemuk dan pendek bermuka ramah dan mulutnya selalu tersenyum, adalah Si Tosu ini mukanya seperti orang mewek dan menangis, matanya yang sipit itu seakan-akan memandang dengan sedih hingga membikin sedih pula kepada orang yang melihatnya.

   Ang I Niocu biarpun sedang marah, akan tetapi melihat betapa Hwesio itu biarpun terdesak sekali masih saja tertawa-tawa dengan muka sama sekali tidak memperlihatkan ketakutan, menjadi tidak tega hati untuk melukainya, dan hanya mendesak dengan ilmu silat yang baru dipelajarinya dari Bu Pun Su, yaitu ilmu Silat Kong-Ciak Sin-Na hingga Hwesio itu tak dapat membalas menyerang dan dipermainkan oleh Ang I Niocu bagaikan seekor kucing. Ang I Niocu memang sengaja menggunakan Hwesio itu sebagai ujian bagi ilmu silatnya yang baru dan ia merasa girang sekali mendapat kenyataan bahwa ilmu silat yang dipelajarinya dari Bu Pun Su ini memang betul-betul luar biasa. Sebaliknya dengan mudah Cin Hai pun dapat mendesak Si Tosu. Kemudian, sebelah kakinya berhasil menggaet kaki Tosu itu yang segera jatuh terguling-guling dan mengeluh kesakitan.

   "Nah, biar kau kapok mendapat hajaran sedikit!"

   Kata Cin Hai.

   "Dan agar lain kali tidak berani mencoba untuk mencuri perahu lain orang."

   Si Tosu itu dengan muka seperti orang menangis menoleh ke arah Hwesio yang masih diserang kalang-kabut oleh Ang I Niocu. Ia mengeluh lagi dan berseru.

   "Ceng Tek, sudahlah baik kita menyerah. Mereka ini bukan makanan kita!"

   Mendengar kata-kata ini, Hwesio gemuk itu lalu melompat mundur dan berkata sambil tertawa,

   "Sudahlah Nona, pinceng mengaku kalah!"

   Ang I Niocu menjadi geli hatinya dan ia pun tidak tega untuk menyerbu terus.

   "Kalian dua orang tua ini siapakah dan mengapa hendak mencuri perahu kami?"

   Tanyanya. Kedua Pendeta itu saling pandang dan sambil menjura, Tosu itu berkata.

   "Kami dua kakak beradik adalah Pendeta-Pendeta perantau. Adikku ini bernama Ceng Tek Hwesio dan pinto sendiri bernama Ceng To Tosu. Tadinya kami kira bahwa kalian berdua adalah sepasang orang muda yang hendak berpelesir di sini, maka kami berani mengganggu dan hendak meminjam perahu kalian. Tidak tahunya, melihat pakaian dan kepandaian Nona ini, kami tidak akan heran apabila kau mengaku wanita yang berjuluk Ang I Niocu!"

   Ang I Niocu tersenyum.

   "Memang dugaanmu tepat sekali, Totiang. Aku adalah Ang I Niocu dan saudaraku ini adalah Pendekar Bodoh!"

   Kedua mata Ceng To Tosu yang sipit itu dipentang lebar.

   "Apa? Dengan kepandaiannya seperti itu, ia masih disebut Pendekar Bodoh? Ah, kalau yang bodoh saja kepandaiannya setinggi ini, apalagi yang pintar?"

   Biarpun Tosu ini mengucapkan kata-kata yang mengandung kelakar, namun tetap saja mukanya mewek seperti mau menangis! Dan Hwesio pendek gemuk itu tetap tersenyum dengan muka sesenang-senangnya! Cin Hai tertarik sekali melihat dua saudara yang aneh ini, maka ia lalu bertanya.

   "Harap kau dua orang suci suka berkata terus terang saja. Sebetulnya mau meminjam perahu kami hendak pergi ke manakah?"

   Kini Hwesio gemuk itu yang menjawab dan ucapannya penuh kejujuran.

   "Kami hendak pergi ke laut dan mencari sebuah pulau."

   "Pulau Emas?"

   Cin Hai cepat menyambung dan kedua Pendeta itu tercengang.

   "Kau... sudah tahu?"

   "Tentu saja! Kami hendak pergi ke sana!"

   "Aha! Sungguh kebetulan sekali. Sudahkah kalian dua anak muda tahu di mana letaknya Kim-San-To (Pulau Gunung Emas)?"

   Terus terang saja Cin Hai menyatakan belum tahu. Kedua Pendeta itu lalu saling pandang dan akhirnya Si Tosu berkata,

   "Baiklah, sekarang diatur begini saja. Perahu ini cukup lebar untuk ditumpangi empat orang. Kami berdua membonceng kalian dan sekalian menjadi penunjuk jalan. Kalian mempunyai perahu akan tetapi tidak kenal jalan, sedangkan kami berdua yang kenal jalan tidak mempunyai perahu! Bukankah kita dapat saling menolong?"

   Cin Hai dan Ang I Niocu kini saling berpandangan dan akhirnya Cin Hai mengangguk dan berkata,

   "Kata-katamu ini pantas juga. Biarlah kita sama-sama mencari pulau itu dan kalian berdua menjadi petunjuk jalan!"

   "Akan tetapi perahu kita kecil dan Hwesio gemuk ini tentu berat sekali! Asal saja kau tidak banyak bergerak hingga jangan-jangan perahu kita akan terguling dan tenggelam!"

   Kata Ang I Niocu sambil tertawa sehingga mereka berempat sama-sama tertawa gembira. Cin Hai dan Ang I Niocu merasa suka kepada dua orang aneh itu dan mereka dapat menduga bahwa kedua orang ini tentulah orang-orang kang-ouw yang berwatak baik. Beberapa hari kemudian, keempat orang dalam perahu kecil itu telah sampai di samudera dan mulai dengan usaha mereka mencari Pulau Kim-San-tho.

   Atas petunjuk kedua Pendeta itu, perahu didayung ke kiri dan melalui pantai yang curam dan batu-batu karang yang tinggi. Ketika perahu mereka bergerak perlahan di tepi batu karang yang tinggi dan hitam, tiba-tiba dari atas menyambar turun bayangan yang cepat sekali gerakannya! Bayangan ini menyambar ke arah dada dan perut Ceng Tek Hwesio yang telanjang. Kaget sekali empat orang di dalam perahu itu ketika melihat bahwa yang menyambar adalah seekor burung Rajawali yang besar dan buas sekali! Agaknya burung ini tertarik oleh kegemukan dada dan perut Ceng Tek Hwesio yang bergajih dan montok itu, hingga ia menyambar turun hendak mencengkeram daging gemuk itu! Ceng Tek Hwesio kaget dan hendak berkelit, akan tetapi berat badannya membuat perahu berguncang!

   "Hai, jangan bergerak!"

   Ang I Niocu mencegah dan gadis ini dengan cepat lalu menendang ke arah burung yang menyambar turun itu dan alangkah kagetnya ketika burung itu dengan cepat dapat mengelak tendangannya dan melayang ke atas lagi!

   Cin Hai yang berdiri di kepala perahu dan memandang tajam, juga ia merasa kagum melihat ketangkasan dan kecepatan burung yang besar itu. Sedangkan Hwesio pendek gemuk itu, melihat bahwa dirinya diserang oleh burung Rajawali, hanya tersenyum-senyum dan tertawa ha-ha-hi-hi saja, dan biarpun hatinya berdebar ngeri, akan tetapi mukanya tetap tersenyum. Sebaliknya, muka Ceng To Tosu makin nampak sedih dan mewek bagaikan benar-benar hendak menangis tersedu-sedu oleh karena ia merasa kuatir dan juga marah kepada burung pemakan manusia itu. Kini burung Rajawali menyambar turun dari atas dengan cepatnya. Ang I Niocu yang merasa mendongkol melihat tendangannya tadi dapat dikelit oleh burung besar itu, berkata kepada kawan-kawannya,

   "Jangan bergerak dan biarkan aku bikin mampus burung celaka itu!"

   Ketika burung itu mengulur cakarnya dan kembali hendak menyerang Hwesio gendut itu, Ang I Niocu cepat menghantam dengan tangan kanannya sekerasnya! Kembali ia tertegun oleh karena burung itu dapat miringkan tubuh dan mengibas dengan sayapnya seakan-akan menangkis pukulan Ang I Niocu!

   Akan tetapi pukulan itu bukanlah pukulan biasa dan dilakukan dengan tenaga Lweekang hingga biarpun burung itu menangkis dengan sayap, namun tubuh burung itu terlempar jauh dan oleh karena sakitnya, tiba-tiba sambil memekik keras burung yang terlempar ke atas itu mengeluarkan kotoran yang jatuh menimpa berhamburan ke arah perahu bagaikan hujan. Kebetulan sekali kotoran itu jatuh tepat ke arah Ceng To Tosu dan Ceng Tek Hosiang hingga muka dan baju kedua Pendeta itu menjadi kotor kena kotoran burung itu. Ang I Niocu makin gemas dan marah karena burung itu agaknya tidak terluka dan hanya terpental dan kaget saja. Juga burung itu kini terbang berputaran di atas perahu sambil mengeluarkan suara nyaring. Ang I Niocu mencabut keluar Pedangnya dan dengan muka merah karena gemas ia berkata,

   "Burung keparat, turunlah kalau kau berani!"

   Seakan-akan mengerti dan dapat mendengar tantangan gadis itu, burung Rajawali yang berbulu kuning emas dan berparuh merah itu memekik panjang dan kembali menyerang turun dan kini bukan menyerang kepada Hwesio gendut, akan tetapi langsung menyerang Ang I Niocu, oleh karena agaknya ia marah sekali kepada Dara Baju Merah yang telah dua kali menyerangnya itu. Burung ini adalah semacam Kim-Tiauw atau Rajawali Emas yang jarang terdapat dan yang disebut Raja segala burung. Ketika ia menyerang Ang I Niocu, gerak tubuhnya cepat dan tak terduga oleh karena ia bukan menyerang langsung dari atas, akan tetapi turun sambil bergerak-gerak ke kanan kiri dengan cepatnya. Ang I Niocu bukanlah sembarangan gadis yang takut akan segala macam burung.

   

Pendekar Sakti Eps 17 Pendekar Sakti Eps 31 Pendekar Kelana Eps 17

Cari Blog Ini