Pendekar Remaja 27
Pendekar Remaja Karya Kho Ping Hoo Bagian 27
Menurut taksirannya, Ilmu Pedang yang dimainkan oleh Kam Seng ini baru paling banyak tujuh puluh bagian tingkatnya. Maka ia lalu mencabut sulingnya yang selalu terselip di pinggangnya. Pendekar Bodoh boleh ketinggalan pakaian atau uang, akan tetapi ia tak pernah ketinggalan suling dan pedangnya! Suling ini merupakan senjatanya yang istimewa, bahkan lebih lihai daripada pedangnya Liong-Cu-Kiam! Setelah mencabut sulingnya, makin ramailah pertempuran itu. Pendekar Bodoh kini mempergunakan sulingnya untuk mengimbangi Ilmu Pedang Kam Seng. Sesungguhnya kalau dia mau, dalam dua puluh jurus saja pasti ia akan dapat merobohkan Kam Seng, akan tetapi Pendekar Bodoh memang ingin sekali mengukur sampai di mana kelihaian Ilmu Pedang ini yang kelak akan dihadapinya pula.
Sampai penuh keringat tubuh Kam Seng. Cin Hai berhasil memancingnya sehingga pemuda itu menghabiskan seluruh jurus dari Ilmu Pedang yang dipelajarinya dari Wi Kong Siansu! Memang inilah maksudnya, dan setelah Ilmu Pedang itu habis dimainkan, Cin Hai lalu mengerahkan tenaga pada sulingnya sehingga ketika pedang dan suling menempel, pedang itu tak dapat ditarik kembali! Betapapun hebat Kam Seng mengeluarkan tenaga untuk membetot pedangnya, tetap saja pedang itu tak dapat terlepas dari suling yang menempelnya. Akhirnya Cin Hai menggerakkan tangannya membetot dan sambil berseru keras Kam Seng terpaksa melepaskan gagang pedangnya karena tidak kuat menghadapi tenaga tarikan luar biasa ini.
"Kam Seng, kau memiliki bakat yang cukup baik. Sayang sekali kau mempelajari ilmu silat yang keliru. Kepandaianmu kalau dibandingkan dengan kepandaian Ayahmu, ah, kau ketinggalan amat jauh! Kalau saja kau tidak dibikin buta oleh dendam dan sakit hati yang bodoh dan sesat, aku akan suka sekali memberi bimbingan kepadamu, mengingat hubunganku dengan mendiang Ayahmu."
Kam
(Lanjut ke Jilid 25)
Pendekar Remaja (Seri ke 04 - Serial Pendekar Sakti)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 25
Seng menjadi malu sekali.
"Aku sudah kalah..."
Katanya dengan muka ditundukkan dan air matanya hampir menitik turun, wajahnya merah sekali.
"Kalau Ji-wi menganggap aku tersesat dan jahat, bunuhlah, apa gunanya hidup dalam kesesatan dan kehinaan?"
Cin Hai merasa terharu melihat keadaan putera dari Song Kun ini, maka ia lalu melangkah maju mengembalikan pedang yang dirampasnya dan menepuk-nepuk pundaknya.
"Anak muda, aku tidak dapat menyalahkan engkau! Aku sendiri di waktu muda selalu menjadi korban dari nafsu sendiri, melakukan perbuatan tanpa dipikir dulu dan menganggap diri sendiri selalu benar! Ketahuilah, bahwa kebaktian terhadap orang tua bukan asal berbakti saja. Membela nama orang tua bukanlah asal kau dapat membasmi musuh-musuh orang tuamu saja. Kau harus dapat mempergunakan akal sehat dan otak yang jernih. Apabila orang tuamu melakukan sesuatu kesalahan, sebagaimana sudah menjadi lajimnya setiap manusia kadang-kadang tersesat dari jalan kebenaran, jalan satu-satunya bagimu untuk berbakti ialah dengan menebus kesalahan orang tuamu itu. Biarpun Ayahmu telah dianggap jahat oleh dunia kang-ouw dan oleh orang-orang gagah, akan tetapi kalau kau sebagai putera tunggalnya dapat melakukan kebaikan, nama buruk Ayahmu itu akan terhapus oleh perbuatan-perbuatanmu yang mulia. Sebaliknya, kalau kau dibutakan oleh dendam tanpa melihat sebab-sebab kematian Ayahmu, kau berarti akan menambah kotor nama Ayahmu sehingga kau merupakan seorang anak yang durhaka!"
Kam Seng memandang dengan wajah pucat dan kedua matanya terbelalak. Tak pernah disangkanya bahwa ia akan menerima wejangan seperti ini dari mulut musuh besarnya! Ia makin ragu-ragu, tak tahu apa yang harus diucapkan maupun dilakukannya.
"Ketahuilah bahwa kita semua ini berada di bawah pengaruh hukum alam, yaitu sebab dan akibat. Segala peristiwa yang terjadi merupakan akibat dan juga menjadi sebab peristiwa lain yang akan terjadi. Kematian Ayahmu di dalam tanganku juga merupakan akibat yang kini menyebabkan kau mencari dan hendak membalas padaku! Maka aku tidak marah kepadamu, karena di dalam segala petistiwa yang kujumpai, aku menengok dan mencari pada sebabnya. Tak mungkin kau hendak membunuhku tanpa sebab, seperti juga tidak mungkin tanganku membunuh Ayahmu jika tidak ada sebab-sebab yang kuat! Carilah sebab-sebabnya dan kau tidak akan kaget melihat akibatnya karena kalau sebab-sebabnya sudah kau ketahui, akibat-akibatnya akan kau anggap sewajarnya!"
Tunduklah hati Kam Seng mendengar ucapan yang mengandung filsafat tinggi akan tetapi mudah ditangkap ini. Ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Cin Hai dan tak dapat menahan isak tangisnya!
"Susiok (Paman guru), ampunkanlah Teecu dan ampunkan pula semua dosa mendiang Ayahku..."
Katanya dengan hati terharu.
"Tidak ada salah atau benar dalam hal ini, Kam Seng, dan tidak perlu maaf-memaafkan. Di dalam setiap perbuatan itu terkandung kesalahan dan kebenaran, tergantung yang melihatnya. Aku sudah cukup girang melihat kau dapat berpikir dengan otak sehat."
Cin Hai mengangkat pemuda itu berdiri lagi.
"Bagus, semua kegelapan sudah menjadi terang sekarang,"
Kata Kwee An.
"Akan tetapi, Kam Seng, kau masih harus menerangkan tentang keadaan puteraku dan juga tentang keadaan Goat Lan dan Hong Beng. Kedatanganmu memberitahukan kepada mereka itu bukankah hanya satu pancingan belaka?"
"Tidak, Kwee Taihiap, sama sekali tidak! Biarpun harus kuakui bahwa aku telah salah memilih kawan dan telah terjerumus ke dalam lembah kejahatan, namun aku tetap tidak menjadi seorang pengkhianat negara dan bangsa! Aku merasa jijik melihat Susiok Ban Sai Cinjin, dan merasa sayang bahwa aku tak dapat menegurnya. Sesungguhnya, ketika aku melihat bahwa puteramu yang masih kecil itu datang bersama Ban Sai Cinjin dan mendengar bahwa ia hendak menggunakan puteramu itu untuk mencegah orang-orang gagah membantu Tentara Kerajaan, aku menjadi gelisah sekali. Hendak menolong dan membawa pergi puteramu, aku tidak berani. Maka aku lalu berlaku nekat dan diam-diam mengunjungi Benteng Alkata-San di mana aku bertemu dengan Nona Goat Lan dan Saudara Hong Beng. Aku menjelaskan maksud kedatanganku dan bahwa aku memberi gambaran tentang jalan belakang yang akan membawa mereka ke tempat kediaman Ban Sai Cinjin dan yang lain-lain. Sudah kukatakan bahwa tempat itu berbahaya sekali, akan tetapi ternyata Nona Goat Lan dan Saudara Hong Beng nekat dan datang juga ke sana..."
"Lalu bagaimana? Apa yang terjadi dengan mereka?"
Tanya Kwee An dengan rasa ingin tahu sekali.
"Mereka juga telah tertawan oleh Ban Sai Cinjin!"
Kata Kam Seng.
"Oleh karena itu Siauwte sengaja hendak pergi ke Benteng Ji-wi untuk memberitahukan hal ini dan tak terduga sama sekali telah bertemu dengan Ji-wi di sini."
"Tak mungkin!"
Kata Kwee An.
"Sukar dipercaya bahwa Hong Beng dan Goat Lan akan dapat tertawan sedemikian mudahnya,"
Kata Cin Hai. Kam Seng tersenyum.
"Harus diakui bahwa kepandaian Nona Goat Lan dan Saudara Hong Beng cukup lihai dan memang agaknya akan sukar sekali mengalahkan dan menawan mereka. Akan tetapi dalam hal kecerdikan, mereka itu masih kalah jauh oleh orang-orang seperti Ban Sai Cinjin! Mereka berdua bukan tertawan karena kekerasan, akan tetapi mereka terpaksa mengalah dan menurut setelah Ban Sai Cinjin mengancam hendak membunuh Kwee Cin kalau mereka melawan terus!"
"Pengecut hina dina yang curang!"
Kwee An berseru marah.
"Akan kuhancurkan kepala manusia itu!"
"Kwee Taihiap, bagaimana kalau Ban Sai Cinjin mengancam padamu untuk membinasakan puteramu sebelum kau turun tangan?"
Tanya pemuda itu. Kwee An tak dapat menjawab, hanya mengertak gigi dengan marah dan gemas sekali.
"Kam Seng, kau yang mengetahui keadaan mereka, tidak maukah kau menolong kami? Tidak maukah kau melawan kejahatan dan membela kebenaran untuk menebus nama buruk mendiang Ayahmu?"
Kata Cin Hai.
"Susiok, kedatangan Teecu seperti telah kuceritakan tadi, sesungguhnya untuk memberi tahu kepada Benteng Tentara Kerajaan. Sebetulnya tak usah dikuatirkan karena Kwee Cin telah diminta oleh Malangi Khan dan dijadikan kawan bermain putera Malangi Khan yang bernama Kamangis dan yang usianya sebaya. Untuk sementara ini, biarpun Ban Sai Cinjin sendiri tidak boleh berlaku sesuka hatinya untuk membunuh Kwee Cin yang disuka oleh Kamangis putera Malangi Khan! Akan tetapi, untuk merampas kembali anak itupun bukan merupakan hal yang mudah."
Kemudian dengan jelas Kam Seng lalu menggambarkan tempat kedudukan Ban Sai Cinjin dan juga Istana Malangi Khan di dalam Benteng itu yang berada di tengah-tengah. Setelah menuturkan semua ini, Kam Seng lalu minta diri untuk kembali ke Benteng Mongol itu. Ia berjanji bahwa ia akan memasang telinga dan mata serta akan berusaha menolong Goat Lan dan Hong Beng.
"Betapapun juga, kita harus berusaha menolong Cin-ji,"
Kata Kwee An kepada Cin Hai setelah Kam Seng pergi. Cin Hai mengerutkan kening.
"Sekarang lebih ruwet lagi. Kalau kita berkeras memasuki Istana Malangi Khan dan andaikata berhasil merampas dan menyelamatkan Cin-ji bagaimana dengan nasib Goat Lan dan Hong Beng? Dan di mana pula adanya Lili? Ah, kita harus mencari akal dan berlaku hati-hati."
Kedua orang Pendekar besar itu duduk di bawah pohon dan bertukar pikiran. Kemudian mereka mengambil keputusan untuk berpisah. Cin Hai hendak menuju ke tengah Benteng, masuk ke dalam Istana Malangi Khan, adapun Kwee An akan mencari Goat Lan dan Hong Beng di belakang Benteng, di tempat tinggal Ban Sai Cinjin dan kaki tangannya.
Kwee An menyetujui hal ini oleh karena ia pun mengakui bahwa Cin Hai memiliki kepandaian yang lebih tinggi maka patut menerima tugas yang lebih berbabaya dan berat. Dengan ilmu lari cepat mereka, keduanya lalu melanjutkan perjalanan, mengitari bukit itu untuk masuk melalui belakang Benteng. Tepat seperti yang dituturkan oleh Nurhachu orang Haimi itu dan juga seperti yang digambarkan oleh Kam Seng, jalan itu sunyi saja, akan tetapi penuh hutan yang amat liar dan menyeramkan. Ketika mereka melintas dengan cepat melalui sebuah hutan, dari jauh nampak bayangan orang yang berjalan cepat. Cin Hai dan Kwee An merasa curiga, cepat mereka melompat ke arah bayangan itu, akan tetapi ketika mereka tiba di situ, bayangan itu berkelebat dan lenyap dari pandangan mata mereka! Cin Hai dan Kwee An saling pandang heran.
"Apakah ada setan di tengah hari?"
Tanya Kwee An. Siapakah orangnya yang dapat menghilang dari depan mata mereka sedemikian anehnya? Juga Cin Hai merasa heran sekali. Kalau bayangan tadi benar-benar seorang manusia, maka kepandaian Ginkangnya agaknya tidak berada di sebelah bawah kepandaiannya sendiri! Gerakan seperti itu menurut ingatannya hanya dimiliki oleh Suhunya, yakni Bu Pun Su, atau orang-orang seperti Swi Kiat Sansu, Pok Pok Sianjin, Hok Peng Taisu dan tokoh-tokoh tinggi lain yang kesemuanya telah meninggal dunial
"Mungkin kita salah lihat,"
Katanya karena bukan menjadi watak Pendekar Bodoh untuk mengganggu orang yang tidak memperlihatkan diri.
"kita mempunyai tugas yang lebih penting."
Mereka melanjutkan perjalanan dan tak lama kemudian mereka tibalah di bawah tembok Benteng sebelah belakang dari Benteng Tentara Mongol itu.
Mereka mempergunakan Ginkang yang hebat dan melompat ke atas tembok. Dari sini mereka berpisah. Cin Hai terus berlari-larian di atas tembok yang tingginya kira-kira empat tombak dan lebarnya hanya kurang dari satu kaki itu. Tembok ini memanjang sampai beberapa belas li dan Cin Hai terus berlari mencari-cari bangungan Istana kepala bangsa Mongol. Beberapa orang penjaga yang mulai banyak terlihat setelah ia berlari kurang lebih dua li, melihat bayangannya, akan tetapi tak seorang pun di antara mereka yang dapat mengejar. Bahkan sebagian besar mengira bahwa yang melayang itu bukanlah seorang manusia, melainkan seekor burung besar. Gerakan Cin Hai amat cepat sehingga kalau tidak kebetulan, jarang ada penjaga yang dapat melihatnya!
Sementara itu, Kwee An setelah berada di atas tembok dan melihat betapa keadaan di bawah sunyi saja, lalu melayang turun. Memang benar bahwa di situ tidak terjaga sama sekali dan di bawah dinding ini hanya merupakan belukar yang tidak terurus. Jauh di depan nampak tembok-tembok bangunan yaitu bagian paling belakang dari Benteng Mongol itu. Kwee An berlaku hati-hati sekali. Waktu itu udara mulai gelap karena matahari telah bersembunyi di Barat. Ia pikir bahwa kalau ia berlaku sembrono dan menyerbu pada malam hari itu sehingga terlihat oleh musuh, maka keselamatan Goat Lan dan Hong Beng akan terancam. Dari Kam Seng ia mendapat keterangan bahwa Goat Lan dan Hong Beng ditahan di dalam rumah kecil yang berada di tengah-tengah kampung dalam Benteng itu, tidak jauh dari rumah yang ditinggali oleh Ban Sai Cinjin.
Goat Lan ditahan di dalam kamar sebelah kiri dan Hong Beng di kamar ke dua sebelah kanan. Di depan dan belakang, pendeknya rumah itu dikelilingi oleh penjaga-penjaga yang sebenarnya bukan menjaga untuk menghalangi dua orang muda ini pergi, hanya untuk melihat saja kalau mereka pergi, akan segera dilaporkan dan Kwee Cin akan dibunuh! Kwee An dengan perlahan bergerak maju di balik belukar dan mengintai ke arah kampung itu. Ia menanti sampai gelap benar barulah ia menggunakan kepandalannya masuk ke dalam kampung itu dan melompat naik ke atas wuwungan rumah. Ia melompat dari genteng ke wuwungan lain dan akhirnya dapat mendekati rumah kecil di mana puterinya dan Hong Beng ditahan.
Benar saja, di seputar rumah itu dipasang kursi dan meja di mana duduk para penjaga yang nampaknya enak-enak saja, karena mereka tidak ditugaskan untuk mencegah kedua orang muda itu melarikan diri. Kalau sampai dua orang muda itu memberontak dan melarikan diri, apakah yang dapat mereka lakukan terhadap dua orang gagah itu? Kwee An memandang ke arah jendeta dan dalam cahaya yang remang-remang ia melihat bayangan seorang gadis yang berpinggang langsing melalui tirai jendela. Hatinya berbedar. Itulah Goat Lan, tak salah lagi! Ingin ia melompat turun dan mengamuk, membunuh para penjaga yang tak berarti itu bahkan kalau perlu mencari dan membunuh Ban Sai Cinjin. Akan tetapi ia tidak berani melakukan ini sebelum Kwee Cin dapat tertolong oleh Cin Hai.
Pula, sudah jelas bahwa Goat Lan dan Hong Beng tidak mengalami penderitaan dan hanya ditahan karena dua orang muda itu takut kalau-kalau Kwee Cin dibunuh, maka perlu apa menguatirkan keadaan dua orang muda ini? Lebih baik aku menyusul Cin Hai dan lebih dulu menyelamatkan Kwee Cin pikirnya. Akan tetapi, sebelum ia berangkat meninggalkan tempat itu untuk menuju ke Selatan di mana terdapat Istana Malangi Khan yang terpisah jauh, ia mendengar suara orang memaki-maki dan nampaklah Ban Sai Cinjin yang diikuti oleh lima orang lain berjalan ke arah rumah kecil itu. Di bawah sinar lampu, Kwee An melihat dengan heran betapa Kakek pesolek ini nampak matang biru mukanya, bahkan pipinya sebelah kanan nampak ada tanda goresan-goresan dan kedua matanya serta pipinya nampak biru seakan-akan mukanya telah berkali-kali ditampar orang! Kakek ini tidak hentinya menyumpah-nyumpah,
"Akan kubunuh tujuh turunan... kubunuh tujuh turunan...!"
Kemudian ia memegang pinggangnya dan membungkuk-bungkuk.
"Aduh"
Aduh"
Jahanam benar Pendekar Bodoh aduh"!"
Setelah tiba di depan rumah itu, para penjaga segera berdiri dan memberi hormat kepada Ban Sai Cinjin. Kwee An melihat bahwa Ban Sai Cinjin berjalan dengan sukar, dibantu Coa-Ong Lojin dan di belakangnya nampak beberapa orang lain. Mereka ini sebetulnya adalah pengurus-pengurus dari Coa-Tung Kai-Pang atau pembantu-pembantu dari Coa-Ong Lojin yang dahulu membantu Ban Sai Cinjin melakukan pencurian di Tiang-An dan selain menculik Kwee Cin juga telah mencuri kitab Thian-Te Ban-Yo Pit-Kip.
"Apakah dua orang muda itu masih berada di kamar masing-masing?"
Tanyanya kepada para penjaga.
"Masih ada, mereka tak pernah pergi keluar dari kamar!"
Jawab para penjaga. Tiba-tiba terdengar suara Hong Beng dari kamarnya,
"Ban Sai Cinjin, kau orang yang berhati curang dan pengecut! Kalau kau tidak mau disebut seorang rendah yang tidak pantas hidup di dunia kang-ouw, kau lepaskan Kwee Cin dan mari kita bertempur seribu jurus sampai seorang di antara kita mampus!"
"Tutup mulut! Kau... kau anak Pendekar Bodoh si bangsat kurang ajar! Awas kalau ada kesempatan, akan kubunuh tujuh turunan. Aku tak hendak bicara dengan kau! Kau mau pergi dari sini, pergilah! Aku hanya akan membunuh Kwee Cin dan Nona Goat Lan. Pergi dari sini, aku tidak butuh orang macam kau!"
Terdengar Hong Beng tertawa bergelak, mentertawakan Ban Sai Cinjin yang menyumpah-nyumpah tiada hentinya, kemudian Kakek pesolek ini memasuki kamar Goat Lan diikuti oleh Coa-Ong Lojin. Dengan hati berdebar Kwee An memasang telinga mendengarkan percakapan itu. Dengan amat pandainya, ia dapat mempergunakan kesempatan ketika Ban Sai Cinjin ribut mulut dengan Hong Beng, untuk melompat ke atas genteng dan kini berada di atas kamar Goat Lan!
"Nona Kwee,"
Ia mendengar suara parau dari Ban Sai Cinjin.
"Apakah kau masih belum mau insyaf? Alangkah keras kepala kau? Kau sudah ditipu oleh Kaisar lalim, sudah dihina, akan tetapi masih saja kau bersetia kepadanya? Kau menyelamatkan nyawa Putera Mahkota, akan tetapi apa yang kau dapat? Hukuman buang! Kau dihina, hendak dijadikan selir, kemudian kau dibuang ke tempat yang seperti neraka di Utara ini. Apakah kau tidak mempunyai perasaan keangkuhan sama sekali? Sekarang adikmu berada di tanganku, dan aku tidak minta banyak. Asal kau suka membantu kami, membantu sampai Kaisar lalim itu terguling dari kedudukannya, tidak saja adikmu akan selamat, bahkan banyak kemungkinan adikmu akan menjadi seorang pangeran!"
"Ban Sai Cinjin, percuma saja kau mengoceh di sini! Aku tetap tidak mau mendengar ocehanmu dan aku akan menuruti permintaanmu tidak keluar dari tempat ini. Akan tetapi sebaliknya, kau pun jangan sekali-kali berani mengganggu adikku, karena kalau kau sampai berani mengganggunya, aku akan mempertahankan nyawaku untuk memukul sampai remuk batok kepalamu!"
Ban Sai Cinjin menyumpah-nyumpah dan tersaruk-saruk keluar dari kamar itu. Masih terdengar keluhannya ketika ia menuju ke bangunan di mana ia tinggal. Malam itu masih terdengar terus keluhannya ketika ia mengobati luka-luka di tubuhnya yang membuat ia merasa sakit seluruh tubuhnya, terutama sekali hatinya yang terasa amat sakit. Malam hari itu sial sekali baginya. Siang tadi ia menghadap Malangi Khan dan hendak minta Kwee Cin, akan tetapi Malangi Khan tidak memperbolehkan, karena Kwee Cin ternyata telah menjadi sahabat yang karib sekali dengan puteranya, Pangeran Kamangis. Dengan hati mendongkol Ban Sai Cinjin kembali ke kampung di belakang Istana akan tetapi di tengah jalan ia bertemu dengan Pendekar Bodoh!
"Bangsat tua bangka, kau sungguh curang dan tidak tahu malu!"
Pendekar Bodoh memaki.
"Orang macam kau sepatutnya dibunuh, akan tetapi karena kita ada perjanjian untuk bertemu di puncak Thai-San, kali ini kau takkan kubunuh, hanya ingin memberi hajaran!"
Setelah berkata demikian, tanpa banyak cakap lagi Cin Hai menyerangnya dengan hebat! Coa-Ong Lojin dan kawan-kawannya cepat membantu, akan tetapi ketika Cin Hai mencabut Liong-Cu-Kiam, sekali gerakan saja senjata mereka terbabat putus!
Terpaksa mereka mundur lagi dan Ban Sai Cinjin yang melawan mati-matian dibuat permainan oleh Cin Hai! Mukanya ditampar berkali-kali dan pukulan serta tendangan menghujani tubuhnya. Cin Hai sengaja tidak memukul atau menendang dengan sepenuh tenaga, namun cukup membuat muka Kakek itu menjadi matang biru dan tubuhnya menjadi sakit semua. Setelah Ban Sai Cinjin menjadi setengah pingsan, barulah Cin Hai meninggalkannya! Tentu saja si Huncwe Maut merasa terhina sekali dan ia menyumpah-nyumpah. Kebenciannya terhadap Pendekar Bodoh makin meluap, akan tetapi apa yang dapat ia lakukan? Sementara itu, Pendekar Bodoh telah menghilang di malam gelap, entah ke mana perginya. Setelah Ban Sai Cinjin pergi, Goat Lan menengok ke atas dan berkata sambil tersenyum,
"Ayah, turunlah sekarang!"
Kwee An girang sekali melihat ketajaman mata dan telinga puterinya. Ia segera membuka genteng dan melompat turun ke dalam kamar anaknya. Goat Lan memegang tangan Ayahnya dan berkata,
"Ayah, bagaimana kau bisa datang ke tempat ini?"
Gadis ini mengeluarkan ucapan dengan keras sehingga Kwee An cepat memberi tanda dengan tangannya. Akan tetapi Goat Lan tertawa,
"Ayah, kita bukan ditawan. Aku berada di sini atas kehendakku sendiri, mengapa mesti takut? Biarlah Ban Sai Cinjin monyet tua itu mengetahui bahwa kau berada di sini, biar dia makin panas dan jengkel. Dia bisa berbuat apa terhadap kita?"
Mendengar ucapan ini, Kwee An menarik napas panjang.
"Asal saja dia tidak dapat mengganggu Cin-ji, aku pun tidak takut apa-apa."
Sementara itu, Hong Beng yang mendengar suara Goat Lan, dengan girang lalu datang dan memberi hormat kepada Kwee An. Mereka bertiga bicara dengan asyik sekali sehingga melupakan waktu. Ketika Hong Beng mendengar bahwa Ayahnya juga masuk ke dalam Benteng ini dan bahkan mendatangi Istana Malangi Khan dan mendengar bahwa sebetulnya Kwee Cin telah berada di Istana dan tidak di dalam tangan Ban Sai Cinjin, Hong Beng lalu bangkit berdiri.
"Ah, kalau kita tahu hal itu, tidak usah lama-lama kita berada di tempat ini,"
Katanya kepada Goat Lan yang mengangguk menyatakan persetujuannya.
"Kalau begitu, biarlah aku pergi sekarang juga menyusul Ayah. Siapa tahu kalau dia membutuhkan bantuan!"
Kwee An dan Goat Lan tidak mencegahnya, maka Hong Beng lalu melompat keluar dan pergi dari rumah itu dengan cepat!
Ketika Ban Sai Cinjin mendapat laporan bahwa Hong Beng pergi dari kamar tahanan dan Goat Lan menerima seorang tamu laki-laki yang disebut sebagai Ayahnya, ia merasa terkejut dan juga marah sekali. Cepat ia mengumpulkan orang-orangnya dan mengerahkan semua perajurit Mongol yang berada di situ untuk mengurung rumah tahanan itu! Kemudian, pada keesokan harinya setelah ia merasa bahwa tubuhnya tidak begitu sakit-sakit lagi, bersama Coa-Ong Lojin ia menghampiri rumah itu dan sekali ia mendorong, daun pintu terbuka. Ia menjadi marah sekali ketika melihat bahwa Goat Lan telah berdiri di situ dengan seorang laki-laki yang bukan lain adalah Kwee An, orang yang pernah dijumpainya dan yang telah memaksa Coa-Ong Lojin mengobati Lie Siong dahulu itu. Kwee An melihat Goat Lan hendak bergerak menyerang Ban Sai Cinjin, maka cepat ia memegang pundak anaknya.
"Sabar dulu, Lan-ji,"
Katanya, kemudian sambil tersenyum mengejek ia memandang kepada Ban Sai Cinjin.
"Selamat pagi, Ban Sai Cinjin, dan selamat bertemu kembali. Agaknya kau masih belum puas menerima gebukan dari Pendekar Bodoh dan masih hendak minta tambah dari aku!"
Ban Sai Cinjin marah sekali dan kemarahannya ini membuat dadanya yang kena tendang oleh Cin Hai terasa sakit lagi. Ia berdiri tidak tetap dan hanya setelah Coa-Ong Lojin memegang punggungnya, ia dapat berdiri teguh. Huncwenya terpegang dengan tangan kiri, kosong tak berasap, dan dengan tangan kanannya ia menudingkan telunjuknya ke arah Kwee An.
"Orang she Kwee, jangan kau banyak berlagak di sini! Sudah habis kesabaranku dan sekarang juga aku hendak menyuruh orang membunuh puteramu yang telah kutawan!"
Akan tetapi, Goat Lan dan Kwee An hanya tertawa, bahkan Kwee An tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, Ban Sai Cinjin, memang sudah menjadi kebiasaan orang macammu ini selalu menggunakan gertakan, ancaman, penipuan dan lain-lain perbuatan curang dan licin. Apa kau kira sekarang kau dapat menggertak lagi? Aku tahu bahwa puteraku setelah kau culik secara curang dan pengecut, sekarang telah berada bersama putera Malangi Khan dan kau tidak dapat mengganggunya! Sekarang, aku tidak akan berlaku murah seperti Pendekar Bodoh! Untuk perbuatanmu menculik puteraku saja kau sudah layak kubunuh. Akan tetapi, aku masih hendak memberi kelonggaran kepadamu. Kembalikanlah Thian-Te Ban-Yo Pit-Kip, baru aku akan mengampuni nyawa anjingmu!"
"Manusia sombong! Bukalah lebar-lebar matamu dan lihat, rumah ini telah terkurung oleh seratus lebih Tentara, dan kau masih sanggup menyombong? Ha, untuk apa kitab itu kalau sebentar lagi kau dan anakmu akan mampus dibawah hujan senjata?"
"Setan Tua, mampuslah kau!"
Goat Lan yang sudah tak dapat menahan sabarnya lagi lalu menyerang dengan tangan kosong! Biarpun serangan ini dilakukan dengan tangan kosong, namun Ban Sai Cinjin maklum akan kelihaian gadis ini, cepat ia melompat keluar dari pintu, diikuti oleh Coa-Ong Lojin. Goat Lan mencabut Bambu runcingnya dan mengejar ke luar, disusul oleh Ayahnya yang sudah mencabut pedangnya. Akan tetapi, benar saja, di luar mereka disambut oleh keroyokan hebat. Tidak saja Ban Sai Cinjin dan Coa-Ong Lojin yang mengeroyok, bahkan di situ terdapat Can Po Gan dan Can Po Tin, dua orang jago dari Shan-Tung yang menjadi sahabat Wi Kong Siansu dan yang pernah bertemu dengan Lili dan Lo Sian di rumah makan.
Juga di situ terdapat pengurus-pengurus tingkat satu dari Coa-Tung Kai-Pang, perwira-perwira Mongol yang pandai bermain golok yang jumlahnya semua menjadi empat belas orang! Kagetlah Goat Lan melihat ini, karena sesungguhnya ia tidak pernah menduga bahwa di tempat itu terdapat orang-orang sedemikian banyaknya, yaitu orang-orang pandai. Melihat gerakan-gerakan senjata mereka, ia maklum bahwa orang-orang ini tidak boleh dipandang ringan dan keadaannya bersama Ayahnya bukannya tidak berbahaya. Apalagi ketika ia menengok, tempat itu sudah terkurung oleh barisan yang amat tebal, barisan orang Mongol yang bersenjata lengkap, jumlahnya tidak kurang dari seratus orang! Ban Sai Cinjin biarpun sudah dihajar sampai babak bundas oleh Cin Hai, akan tetapi ia tidak menderita luka dalam.
Kini setelah menghadapi pertempuran besar dan karena ia memang marah sekali, seketika itu juga tubuhnya terasa segar kembali. Ia menyerang dengan Huncwenya, dan permainan Huncwenya ini tetap saja yang paling berbahaya di antara semua pengeroyok. Ban Sai Cinjin menyerang Kwee An dan dibantu juga oleh Coa-Ong Lojin, yang masih merasa sakit hati terhadap Kwee An. Raja pengemis ini mainkan sebatang Tongkat ular yang ujungnya berbisa sehingga sekali saja ujung tongkatnya mengenai kulit musuhnya, pasti lawannya akan roboh dan tewas! Selain Ban Sai Cinjin dan Coa-Ong Lojin, masih ada lagi lima orang perwira Mongol yang cukup kosen yang mengeroyok Kwee An! Adapun Goat Lan yang mainkan sepasang Bambu runcing, menghadapi keroyokan dua orang jago Shan-Tung itu.
Sebagaimana diketahui, dua orang ini memiliki kepandaian yang cukup tinggi, barangkali tidak di bawah tingkat kepandaian Coa-Ong Lojin, apalagi Po Tin yang bertubuh kecil itu ternyata memiliki gerakan yang amat lincah dan tenaga Lweekangnya hebat, berbeda dengan Po Gan yang memiliki tenaga Gwakang seperti seekor gajah! Selain dua orang jago Shan-Tung yang berhasil dibeli oleh Ban Sai Cinjin ini, Goat Lan masih dikeroyok oleh lima orang pengurus kelas satu dari Coa-ong Kai-pang yang mengeroyok dengan Tongkat ular mereka yang berbahaya. Akan tetapi Goat Lan dan Kwee An tidak menjadi gentar, bahkan dua orang ini merasa gembira. Wajah mereka berseri-seri dan mereka seakan-akan hendak berlomba merobohkan lawan! Ayah dan anak ini merasa lega karena berita tentang Kwee Cin yang tidak berada dalam cengkeraman Ban Sai Cinjin lagi.
"Ayah, mari kita berlomba-lomba menghabiskan tujuh ekor tikus ini!"
Seru Goat Lan sambil tersenyum.
"Baik, mari kita coba!"
Kata Kwee An dan berbareng dengan ucapan itu, terdengar jerit kesakitan karena seorang perwira Mongol telah kena ditendang oleh tendangan berantai dari Kwee An sehingga tubuh lawan ini terlempar empat tombak lebih!
"Satu...!"
Seru Kwee An. Mendengar ini, Goat Lan merasa penasaran sekali. Dengan Bambu runcing di tangan kirinya ia menyerang Po Gan dengan cepat tak terduga, ketika Po Gan dengan kaget melempar tubuh ke samping, Goat Lan lalu menyambarkan Bambu runcingnya ke arah dada seorang pengurus Coa-Tung Kai-Pang yang berdiri di belakang Po Gan. Orang itu menjerit lalu roboh tak dapat bangun lagi.
"Satu...!"
Goat Lan juga berseru keras. Kwee An tersenyum dan tak lama kemudian, hampir berbareng Ayah dan anak ini berseru,
"Dua...!"
Dan terlemparlah dua orang pengeroyok! Seruan ini disusul dan disusul lagi sehingga empat orang lawan masing-masing telah dirobohkan! Yang mengeroyok Kwee An kini tinggal Ban Sai Cinjin, Coa-Ong Lojin dan seorang perwira Mongol, sedangkan pengeroyok Goat Lan tinggal Can Po Gan, Can Po Tin, dan seorang pengemis Coa-Tung Kai-Pang yang sudah empas-empis napasnya! Melihat hal ini, bukan main marahnya Ban Sai Cinjin. Ia berseru keras memberi aba-aba dan menyerbulah puluhan perajurit, mengurung rapat-rapat sambil menyerang dan bersorak-sorak! Tentu saja Goat Lan dan Kwee An menjadi terkejut sekali.
Mereka tak usah takut menghadapi keroyokan para perajurit yang hanya merupakan orang-orang kasar, memiliki kepandaian biasa saja, akan tetapi karena jumlah mereka banyak sekali, maka untuk melepaskan diri dari kepungan mereka harus membunuh banyak sekali orang! Hal inilah yang tidak mereka kehendaki. Kalau saja pertempuran ini merupakan sebuah peperangan, tentu mereka mengamuk dan takkan segan-segan untuk menjatuhkan pukulan maut, akan tetapi sekarang pertempuran ini hanya merupakan perselisihan mereka dan Ban Sai Cinjin, maka kurang baik kalau harus membunuh banyak orang sungguhpun mereka itu adalah orang-orang Mongol yang menjadi musuh negara. Pada saat Goat Lan dan Kwee An dikeroyok oleh perajurit-perajurit Mongol bagaikan ribuan ekor semut mengeroyok dua ekor burung, tiba-tiba terdengar bentakan keras,
"Mundur semua! Lihat siapa yang berada dalam tawananku!"
Semua orang Mongol menengok dan mereka melihat dua orang laki-laki datang dan di tengah-tengah mereka terdapat seorang anak laki-laki yang membuat mereka semua segera menjatuhkan diri berlutut! Ternyata bahwa yang datang itu adalah Cin Hai dan Hong Beng, sedangkan yang mereka tawan adalah Pangeran Kamangis, putera dari Malangi Khan! Melihat betapa semua perajurit mongol berlutut dan tidak berani pula mengeroyok, dan melihat betapa Pangeran Kamangis telah tertawan oleh Pendekar Bodoh, Ban Sai Cinjin menjadi pucat sekali mukanya.
"Pendekar Bodoh, kau curang! Kau menggunakan Pangeran Kamangis untuk mengalahkan aku!"
Cin Hai tersenyum sindir.
"Cacing tua, aku hanya meniru perbuatanmu. Kau telah menculik Kwee Cin yang sekarang disimpan oleh Malangi Khan. Kalau Kaisar Mongol tidak mau melepaskan Kwee Cin, kami pun akan menahan puteranya. Kau masih bernasib baik tidak mampus dalam tanganku, cacing tua!"
Setelah berkata demikian, Cin Hai lalu mengajak Goat Lan dan Kwee An untuk meninggalkan tempat itu sambil memondong Pangeran Kamangis!
Pendekar Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ban Sai Cinjin membanting-banting kakinya dengan jengkel sekali dan ia cepat menuju ke Istana Kaisar Malangi Khan untuk mencari keterangan bagaimana pangeran itu sampai dapat tertawan oleh Pendekar Bodoh. Setibanya di depan Malangi Khan, di luar dugaannya, ia bahkan mendapat teguran keras dari Malangi Khan dan mendengar penuturan tentang keberanian Pendekar Bodoh yang membuat darahnya mendidih saking marahnya. Malangi Khan, Raja orang-orang Mongol menjadi marah sekali karena ada orang berani menculik puteranya begitu saja dari depannya tanpa dapat menangkap orang itu. Ban Sai Cinjin mendengarkan penuturan Malangi Khan dengan wajah sebentar merah sebentar pucat, tanda bahwa ia merasa malu dan juga mendongkol sekali terhadap Pendekar Bodoh.
Ternyata bahwa Cin Hai setelah memberi hajaran pada Ban Sai Cinjin, lalu melanjutkan perjalanan dengan cepat sekali memasuki Istana Malangi Khan. Dengan kepandaiannya yang luar biasa, Pendekar Bodoh dapat melewati semua penjagaan. Memang penjagaan Istana Malangi Khan di tempat itu tidak berapa kuat, oleh karena memang Istana itu berada di tengah-tengah Benteng pertahanan barisan Mongol, siapakah yang dapat masuk dan berani mengganggu? Oleh karena itu, dapat dibayangkan betapa besar keheranan Malangi Khan ketika pada hari itu, selagi dia duduk dihadapi oleh para Panglimanya untuk mengatur siasat perang yang hendak dilakukan terhadap pedalaman Tiongkok, tiba-tiba dari luar masuk seorang laki-laki setengah tua bangsa Han yang berpakaian putih sederhana, akan tetapi yang bertindak masuk dengan langkah tegap dan tenang seperti seorang Raja saja!
"Hei...! Siapa kau? Berhenti!"
Empat orang penjaga segera melompat dan menghadangnya.
"Minggirlah, aku hendak bertemu dengan Malangi Khan, Kaisarmu!"
Jawab Cin Hai dengan suara tenang, akan tetapi cukup keras sehingga terdengar oleh Malangi Khan. Jawaban ini tentu saja menimbulkan kegemparan diantara para Panglima yang menghadap Kaisar itu, juga para penjaga lalu menyerbu dan mengurung Pendekar Bodoh.
"Bunuh saja orang gila ini sebelum membikin kacau!"
Teriak seorang penjaga sambil menyerang dengan goloknya ke arah leher Cin Hai. Agaknya dengan sekali pancung ia hendak menyembelih orang Han yang lancang ini! Akan tetapi segera terdengar jeritannya dan orang itu bersama goloknya terlempar jauh menimpa kawan-kawannya sendiri.
"Jangan bunuh dia, tangkap dan bawa menghadap di sini!"
Tiba-tiba terdengar suara Malangi Khan yang menggeledek. Tentu saja semua penjaga dan Panglima yang sudah turun tangan, mentaati perintah ini.
"Orang gila, lebih baik kau menyerah untuk kami bawa menghadap Kaisar daripada sakit tubuhmu!"
Kata seorang Panglima yang diam-diam merasa khawatir akan amukan "orang gila"
Yang telah disaksikan kelihaiannya ketika menghadapi serangan golok tadi. Cin Hai tersenyum. Memang bukan kehendaknya. untuk menimbulkan keributan, pula agaknya akan lebih mudah menghadapi Kaisar Malangi Khan dengan berpura-pura menyerah daripada dengan jalan kekerasan.
"Baiklah, kau belenggu kedua tanganku!"
Katanya sambil tersenyum. Melihat sikap orang setengah tua ini, semua penjaga dan Panglima menjadi geli. Tentu orang gila, pikir mereka, mengapa Raja ingin menghadapinya?
Dengan cekatan, seorang Panglima lalu mengambil rantai besi dan dengan mengeluarkan suara "klik, klik!"
Kedua pergelangan tangan Cin Hai telah terbelenggu erat-erat! Ada yang menganggap perbuatan Panglima itu keterlaluan. Untuk membelenggu seorang gila, mengapa harus dipergunakan belenggu besi? Belenggu macam itu biasanya hanya dipergunakan untuk membelenggu pesakitan yang lihai dan berilmu tinggi saja. Akan tetapi ketika dua orang Panglima hendak mencabut dan merampas pedang dan suling yang terselip di pinggang Cin Hai, mereka itu terperanjat dan terheran-heran. Dengan hanya melenggang dan menggerakkan tubuh, Cin Hai telah dapat mengelak dari mereka ini sehingga pedang dan sulingnya tidak sampai tercabut! Sementara itu, beberapa kali melangkah ia telah berdiri dihadapan Kaisar Malangi Khan!
"Siapakah kau? Melihat sinar mata dan sikapmu, kau bukanlah seorang gila, akan tetapi mengapa kau berani berlancang masuk ke sini dan bagaimana kau dapat sampai di Istana?"
Kaisar Malangi Khan menyatakan keheranannya. Cin Hai tersenyum dan karena kedua tangannya diikat ke belakang ia hanya menangguk, lalu berkata dengan hormat,
"Malangi Khan yang besar, maaf kalau aku datang mengganggu. Aku bernama Sie Cin Hai, seorang yang bodoh sehingga banyak orang menyebutku Pendekar Bodoh, dan aku masuk ke sini biasa saja, hanya agaknya orang-orangmu sedang mengantuk sehingga tidak melihatku."
Malangi Khan nampak tertegun dan tidak percaya, sedangkan semua Panglima yang berada di situ pun terkejut sekali, akan tetapi siapakah mau percaya bahwa orang yang seperti gila dan yang menyerahkan diri dibelenggu tangannya ini adalah Pendekar Bodoh yang namanya menggemparkan sekali dan yang ditakuti oleh Ban Sai Cinjin? Tak mungkin! Beberapa orang Panglima sudah terdengar tertawa kecil menahan geli hatinya karena mengira bahwa orang ini tentulah seorang gila yang mengaku-aku sebagai Pendekar Bodoh! Seorang Panglima yang berwatak kasar dan keras segera menuding ke arah Cin Hai dan membentak,
"Orang gila, jangan kurang ajar di hadapan Raja yang besar! Orang gila macam engkau ini mana patut menjadi Pendekar Bodoh?"
Baru saja orang ini menutup mulutnya, semua orang terkejut, termasuk Malangi Khan karena orang itu kini duduk diam seperti patung dengan mata terbelalak memandang ke arah Cin Hai. Ketika seorang kawan yang didekatnya menggoyang tubuhnya, orang ini ternyata telah duduk dengan kaku seperti patung! Orang-orang hanya melihat sinar kecil menyambar ke arah iga Panglima ini dan kini nampaklah nyata sebutir batu kecil menggelinding di bawahnya.
Dan karena sinar itu datangnya dari Cin Hai, mereka cepat memandang dan bukan main kaget hati semua Panglima ketika melihat bahwa kini kedua tangan Cin Hai yang tadinya dibelenggu menjadi satu di belakang tubuhnya, kini telah berada di depan tubuhnya dalam keadaan masih terbelenggu seperti tadi! Bagaimana mungkin orang yang kedua tangannya terbelenggu menjadi satu di belakang bisa pindah ke depan tubuh? Diantara para Panglima itu terdapat tiga orang Panglima yang berpangkat jenderal, dan mereka ini memiliki kepandaian yang sudah cukup tinggi, dikenal sebagai tugu pelindung negara dan menjadi orang-orang kepercayaan Malangi Khan. Mereka ini masih terhitung murid keponakan dari Thai Kek Losu dan Sian Kek Losu, jago-jago nomor satu dan dua di Mongol yang menjadi murid-murid Swi Kiat Siansu (baca Pendekar Bodoh) di jaman belasan tahun yang lalu.
Oleh karena itu, tiga pelindung negara atau yang juga disebut Sam-Koksu ini pernah mendengar nama Pendekar Bodoh. Tadinya mereka pun tidak percaya ketika mendengar orang ini mengaku sebagai Pendekar Bodoh karena mungkinkah hanya begini sederhana saja orang yang pernah mengalahkan Supek-supek (Uwa-uwa Guru) mereka Thian Kek Losu dan Sian Kek Losu? Akan tetapi ketika mereka melihat betapa kini orang yang terbelenggu itu telah dapat memindahkan tangan dari belakang ke depan, mereka menjadi terkejut sekali. Untuk dapat memindahkan dua tangan yang terbelenggu dari belakang ke depan tubuh, hanya ada dua jalan. Yang pertama adalah jalan sederhana saja, yaitu melangkahkan kedua kaki ke belakang melewati tengah-tengah antara kedua lengan,
Dan jalan ke dua hanya dapat dilakukan oleh orang berilmu tinggi yang memiliki ilmu kepandaian Sia-Kut-Hwat (Ilmu Melepas Tulang Melemaskan Tubuh) sehingga kedua tangan itu sekaligus dapat diputar ke depan melalui atas kepala tanpa merusak sambungan tulang pundak! Kalau seandainya orang ini melakukan jalan pertama, bagaimana mereka semua tidak dapat melihatnya dan bagaimana pula ia dapat menyerang Panglima yang menghinanya tadi dengan sebutir batu kecil? Mohopi lalu berdiri dan memeriksa Panglima yang ternyata benar telah tertotok jalan darah Teng-Sin-Hiat dengan tepat sekali. Dengan beberapa kali tepukan dan urutan tangan Mohopi dapat menyembuhkan Panglima itu yang kini tidak berani banyak tingkah lagi. Adapun Kaisar yang melihat peristiwa ini, diam-diam berdebar hatinya. Benar-benar hebat kepandaian Pendekar Bodoh ini, dan apa maunya datang ke tempat ini?
"Eh, kalau benar kau yang bernama Pendekar Bodoh, apakah kau berani menghadapi Sam-Koksu untuk saling menguji kepandaian?"
Tanya Malangi Khan. Cin Hai tersenyum,
"Khan yang besar, sesungguhnya kejadian seperti inilah yang terbaik! Saling menguji kepandaian, saling memetik pengalaman dan menambah pengertian dari masing-masing pihak! Bukankah ini jauh lebih sempurna daripada saling berperang?"
Malangi Khan mengerutkan keningnya,
"Kau tahu apa tentang perang? Pendeknya, berani atau tidak kau menghadapi Sam-Koksu kami?"
"Khan yang baik, aku datang dengan maksud baik, tentu saja aku akan menerima segala macam sambutan dari pihak tuan rumah. Sudah lama aku mendengar bahwa Mongol mempunyai banyak Panglima-Panglima yang pilihan dan jagoan maka barisan Mongol berani menyerang ke Selatan. Kalau Tiga Guru Negara (Sam-Koksu) sudi membuka mataku dan menambah pengetahuanku, sebelumnya aku mengucapkan banyak terima kasih!"
"Beri ruangan yang lebar! Buka ikatan tangan tamu kita ini!"
Malangi Khan berseru dengan wajah berseri. Raja bangsa Mongol ini, seperti juga raja-raja Mongol yang sudah dan yang akan datang, memang terkenal sebagai orang-orang yang menjunjung tinggi kegagahan dan keperwiraan. Malangi Khan sendiri juga terhitung seorang yang memiliki kepandaian silat tinggi, maka tentu saja ia merasa amat gembira melihat tamunya yang mengaku Pendekar Bodoh ini sanggup menghadapi ketiga orang Koksunya! Kegembiraan Raja ini kiranya sama dengan kegembiraan seorang penggemar adu ayam melihat dua ekor ayam berlaga hendak bertarung!
"Tidak usah, Khan yang baik!"
Jawab Cin Hai dengan kegembiraan pula, karena pengalamannya dengan orang-orang Mongol ini mengingatkan dia akan pengalamannya di waktu muda dahulu (baca cerita Pendekar Bodoh).
"Tidak usah dibuka belenggu ini, biarlah aku menghadapi tiga jago-jagomu dengan tangan terbelenggu!"
Tentu saja ucapan ini membuat semua melengak. Malangi Khan memandang ke arah Cin Hai dengan ragu-ragu dan mulailah ia bersangsi apakah orang yang dikira sebagai Pendekar Bodoh ini bukannya seorang gila. Akan tetapi tiga orang Koksu itu menjadi marah sekali. Ucapan ini saja sudah merupakan penghinaan yang tak boleh diampuni lagi! Bagaimana seorang tamu berani menantang Koksu-Koksu yang terkenal ini untuk dilawan dengan tangan kosong yang terbelenggu? Sementara itu, para penghadap Raja sudah mundur dan membuat lingkaran yang cukup lebar sehingga ruang persidangan itu kini berubah menjadi semacam Lian-Bu-Thia (Ruang bermain silat). Cin Hai menjura di hadapan Raja, lalu berjalan dengan langkah enak berlenggang kangkung menuju ke tengah ruangan itu. Kedua tangannya masih terbelenggu dan tergantung di depan perutnya.
"Khan yang mulia, hamba merasa malu untuk melawan seorang yang berotak miring!"
Kata Ganisa, orang tertua dari Sam-Koksu itu kepada rajanya.
"Tidak apa, Ganisa, biarlah kau coba menyerangnya. Kalau dia Pendekar Bodoh yang sesungguhnya, boleh kau mengukur sampai di mana tinggi ilmu kepandaiannya sehingga ia sesombong itu. Kalau dia bukan Pendekar Bodoh melainkan seorang gila, kau boleh membunuhnya karena dia telah berani bermain gila di tempat ini!"
Mendengar perintah Raja ini, Mohopi yang paling muda lalu maju mewakili Kakaknya. Ia lalu mendapat ijin dari Malangi Khan dan Mohopi lalu melompat cepat berdiri di hadapan Cin Hai. Melihat gerakan ini, Cin Hai tersenyum lalu berkata dengan beraninya.
"Malangi Khan yang baik, bukankah tadi kau menantang padaku untuk menghadapi Sam-Koksu (Tiga Guru Negara)? Mengapa yang maju hanya satu orang saja? Apakah yang dua sudah merasa jerih untuk menghadapi aku, takut kalah?"
Cin Hai sengaja mengeluarkan ucapan ini bukan tiada alasannya. Pertama karena ia ingin sekali mempengaruhi Raja itu agar tunduk kepadanya sehingga mudah diajak berunding untuk membebaskan Kwee Cin, kedua kalinya karena gerakan melompat dari Mohopi tadi sudah cukup baginya untuk menilai sampai di mana gerakan tingkat kepandaian tiga orang jago Mongol itu.
"Orang gila, kau benar-benar sombong sekali!"
Mohopi berseru marah mendengar ucapan ini dan serentak ia melakukan serangan bertubi-tubi. Pertama-tama tangan kanannya dikepal menghantam dada Cin Hai dan pukulan ini disusul dengan tusukan dua jari tangan kiri ke arah mata, lalu disusul pula dengan tendangan kaki kanan yang hebat sekali ke arah ulu hati! Tiga macam pukulan maut ini bergerak dengan beruntun hampir berbareng dan satu saja di antara tiga serangan ini mengenai sasaran, dapat dibayangkan bahwa orang yang diserangnya pasti akan roboh. Baru hawa pukulan dan tendangan itu saja sudah menerbitkan suara bersuitan!
Akan tetapi sebelum tiga macam serangan itu melayang, lebih dulu Cin Hai telah dapat menduganya. Pendekar Bodoh adalah seorang Pendekar sakti yang memiliki pengetahuan tentang pokok dasar segala macam gerakan ilmu silat, semacam pengetahuan yang menjadi Raja segala macam ilmu silat. Diserang dengan gerak tipu dari cabang persilatan manapun juga, sebelum serangan itu melayang ia telah dapat menduganya hanya dengan melihat gerakan pundak dan paha untuk dapat menduga pukulan dan tendangan lawan. Ketika semua orang, termasuk Malangi Khan, mengharapkan bahwa segebrakan serangan yang mengandung tiga macam pukulan ini akan berhasil menjatuhkan tamu itu, tahu-tahu Mohopi sendiri menjadi kebingungan dan terdengar suara ketawa dari beberapa orang Panglima yang merasa geli melihat pemandangan amat lucu.
Ketika kelihatannya Pendekar Bodoh seperti mau terkena pukulan yang tiga macam itu, tiba-tiba ia merendahkan tubuhnya dengan kegesitan yang tak terduga dan dengan gerakan cepat sekali ia lalu bergerak maju menyusup di bawah kaki lawan yang menendangnya! Dengan demikian, ia telah berhasil menyelamatkan diri dan kini berada di belakang Mohopi tanpa diketahui oleh lawannya, karena memang gerakan Pendekar Bodoh tadi cepat sekali. Ketika melihat betapa Mohopi nampak tercengang mencari-cari lawannya, Malangi Khan sendiri menjadi terheran-heran, lalu tertawa bergelak. Gerakan dari Pendekar Bodoh tadi bukanlah gerakan ilmu silat, lebih mirip gerakan seekor monyet yang lucu, akan tetapi buktinya Mohopi dapat ditipu mentah-mentah.
"Majulah, majulah kalian bertiga!"
Perintah Malangi Khan dengan wajah gembira sekali. Ganisa dan Citalani atau yang biasa disebut Thai-Koksu (Guru Negara Pertama) dan Ji-Koksu (Guru Negara kedua) jadi marah sekali melihat betapa mereka dipermainkan oleh orang mengaku Pendekar Bodoh itu. Mereka pun tadi melihat betapa gerakan Cin Hai bukanlah gerakan silat, walaupun harus mereka akui bahwa gerakan itu selain amat cepat juga tidak terduga. Mereka masih mengira bahwa hal itu hanya kebetulan saja, akan tetapi kini mendengar perintah Malangi Khan, mereka serentak maju berbareng mengirim serangan dengan maksud sekali serang merobohkan atau menewaskan tamu ini.
Akan tetapi kembali semua orang menjadi tercengang. Sambil tersenyum-senyum, Cin Hai dapat menghindarkan diri dari semua serangan dengan hanya sedikit menggerakkan tubuhnya, miring ke kanan kiri, melompat ke depan belakang bagaikan seekor monyet yang amat gesit dan sukar diserang. Biarpun penyerangnya ada tiga orang, akan tetapi mana dapat mereka ini melukai Cin Hai? Dahulupun ketika Supek mereka masih hidup, yaitu Thai Kek Losu dan Sian Kek Losu, kedua orang ini pun tidak berdaya menghadapi Pendekar Bodoh, apalagi murid keponakannya! Tingkat kepandaian Sie Cin Hai masih beberapa tingkat lebih tinggi dari tingkat kepandaian Sam-Koksu ini maka biarpun mereka menyerang sambil mengerahkan semua kepandaian, tetap saja Pendekar Bodoh dapat menghadapi mereka dengan kedua tangan terbelenggu tanpa dapat teluka sedikit pun.
"Koksu, serang dia dengan senjatamu!"
Bentak Malangi Khan yang menjadi merah mukanya karena malu dan penasaran mengapa tiga orang jagonya yang dijadikan pelindung negara ternyata tidak bisa apa-apa terhadap seorang yang demikian sederhana saja. Mendengar perintah ini, tiga orang itu lalu mencabut senjata masing-masing. Akan tetapi yang menarik perhatian dan membuat Cin Hai terkejut adalah senjata di tangan Thai-Koksu Ganisa, karena orang tua ini memegang seuntai rantai yang ujungnya diikatkan pada sebuah tengkorak kecil yang amat mengerikan! Teringatlah Cin Hai kepada Thian Kek Losu yang dahulu juga memiliki senjata macam ini, maka ia berlaku hati-hati sekali.
Senjata Ji-Koksu dan Sam-Koksu tidak begitu diperhatikan karena kedua orang guru negara ke dua dan ke tiga ini hanya bersenjatakan golok besar yang biasa saja. Kedua golok besar itu menyambar cepat hanya dielakkan oleh Cin Hai sambil mempergunakan Ginkangnya yang luar biasa, akan tetapi ketika tengkorak kecil di ujung rantai yang dipegang oleh ThaiKoksu itu mengarah mukanya, ia cepat mengangkat kedua tangannya yang terbelenggu. Ia maklum dari pengalamannya dahulu menghadapi Thai Kek Losu, bahwa tengkorak kecil ini mengandung hawa mujijat dari kekuatan sihir dan selain ini, juga di dalam tengkorak ini terdapat senjata-senjata rahasia yang berbisa dan amat berbahaya apabila ditangkis. Oleh karena itu, tanpa mempedulikan dua buah golok yang menyambar-nyambar, ia lalu mencurahkan perhatiannya kepada tengkorak kecil itu,
Ketika melihat tengkorak menyambar cepat ke arah mukanya seperti hendak menciumnya, ia lalu menggerakkan kedua tangan dan sebelum Thai-Koksu tahu, tengkorak itu telah kena terpegang oleh kedua tangan Pendekar Bodoh! Thai-Koksu terkejut dan hendak membetot dan menggunakan senjata rahasia yang berada dalam tengkorak, akan tetapi cepat bagaikan kilat, Pendekar Bodoh sudah mengirim tendangan ke arah pergelangan tangannya. Thai-Koksu berseru keras karena dengan tepat sekali tendangan itu telah membuat sambungan pergelangan tangannya terlepas! Sambil membawa tengkorak kecil itu, Cin Hai melanjutkan gerakannya. Sepasang golok dari Ji-Koksu dan Sam-Koksu menyambar dari kanan kiri, maka cepat ia lalu melangkah mundur, miring ke kanan, menggunakan sikunya "Dimasukkan"
Ke dalam perut Sam-Koksu.
"Ngek!"
Biarpun Mohopi atau Sam-Koksu itu mengerahkan Lweekangnya ke arah perut, namun tentu saja ia tidak dapat menahan pukulan siku ini dan segera ia terhuyung mundur sambil memegangi perutnya yang tiba-tiba menjadi mulas!
Adapun Ji-Koksu yang menjadi marah sekali lalu menerjang dengan goloknya, membabat bertubi-tubi ke arah pinggang dan leher Pendekar Bodoh. Cin Hai yang kedudukannya masih miring ketika merobohkan Mohopi tadi, melihat datangnya babatan golok, cepat menotol kedua kakinya dan mengerahkan tenaga sehingga tubuhnya lalu mencelat ke atas bagaikan seekor burung terbang. Citalani atau Ji-Koksu yang memiliki ilmu golok paling lihai di antara saudara-saudaranya, cepat menerjang terus selagi tubuh Cin Hai masih berada di udara. Akan tetapi, dengan enaknya Cin Hai menggunakan tendangan menyerong yang kelihatannya ditujukan ke arah kepala lawannya, akan tetapi sesungguhnya lalu menyerong dan menendang ke arah golok! Seorang yang tidak memiliki ilmu Ginkang yang luar biasa tingginya tidak mungkin melakukan tendangan selagi tubuh masih berada di udara,
Dan lagi pula, kalau tidak mengandalkan tenaga Lweekang yang hebat juga tak mungkin orang akan berani menendang sebatang golok yang tajam sekali. Akan tetapi, Pendekar Bodoh merupakan kekecualian karena sebagai murid terkasih dari mendiang Bu Pun Su, guru besar nomor satu dalam dunia persilatan, ia telah memiliki kepandaian yang sukar diukur sampai di mana tingginya. Begitu ujung kakinya mengenai golok Ji-Koksu, terdengar suara nyaring sekali dan golok itu menjadi rompal dan terlepas dari tangan lawannya, terus meluncur ke bawah dan menancap di lantai sampai setengahnya. Adapun Ji-Koksu meringis-ringis karena dua buah jari tangannya ternyata telah patah tulangnya keserempet tendangan dari Pendekar Bodoh! Setelah mengalahkan tiga orang lawannya, Cin Hai lalu melompat ke hadapan Malangi Khan, menjura sambil berkata,
"Harap Malangi Khan yang mulia sudi memaafkan kekasaranku tadi terhadap tiga Koksu!"
Malangi Khan untuk beberapa lama tidak dapat mengeluarkan kata-kata saking kagum dan herannya melihat kelihaian Pendekar Bodoh. Ia turun dari tempat duduknya dan dengan kedua tangan sendiri hendak membuka belenggu di tangan Cin Hai, akan tetapi sekali lagi ia melengak ketika tiba-tiba Cin Hai menggerakkan kedua tangannya dan belenggu besi itu rontok dan jatuh terlepas dari tangannya! Tidak hanya Malangi Khan yang terkejut, bahkan semua Panglima yang berada di situ menjadi pucat mukanya melihat kehebatan demonstrasi tenaga raksasa ini.
"Hebat sekali, Pendekar Bodoh. Pantas kau disebut Pendekar yang terbesar di dunia persilatan. Aku merasa kagum dan tunduk sekali. Ah, tinggallah bersamaku di sini, kau akan kuangkat menjadi pelindung negara, menjadi Raja muda yang kuberi kekuasaan penuh sebagai wakilku!"
Raja Mongol itu berseru saking kagumnya. Akan tetapi Cin Hai menggelengkan kepalanya dan berkata dengan suara sungguh-sungguh,
"Malangi Khan yang baik, semenjak dahulu aku paling tidak suka menjadi pembesar negara. Banyak cara untuk menolong rakyat dan cara yang paling tak kusukai ialah menjadi pembesar negara, karena kedudukan menjadi sekutu harta benda dan ke dua, hal ini suka meracuni pikiran membutakan mata batin. Terima kasih atas tawaranmu yang amat ramah ini, Khan yang mulia."
Malangi Khan mengerutkan keningnya.
"Kalau begitu apa maksudmu datang ke sini? Apakah kau datang dengan niat mengacau?"
Cin Hai menggeleng kepala.
"Tidak sama sekali. Kedatanganku ini tak lain hendak menjemput keponakanku, Kwee Cin yang sedang menjadi tamu di Istanamu. Orang tuanya telah amat mengharapkan kembalinya, maka harap kau suka menyuruh dia keluar agar dapat pulang bersamaku, Malangi Khan."
Mendengar ucapan ini, Raja Mongol itu memandang tajam.
"Dan selain itu, apa lagi kehendakmu?"
"Aku mendengar bahwa seorang Turki bernama Bouw Hun Ti berada di tempat ini dan membantumu. Karena orang jahat itu telah melakukan pembunuhan terhadap Ayah mertuaku, maka kuharap Khan yang mulia suka pula menyerahkan orang itu kepadaku untuk diadili!"
Malangi Khan mengangkat tangan kirinya dan pada saat itu juga pendengaran Cin Hai yang tajam dapat menangkap derap kaki ratusan orang yang mengurung ruangan itu!
Pendekar Bodoh Eps 18 Pendekar Sakti Eps 36 Pendekar Bodoh Eps 32