Pendekar Remaja 28
Pendekar Remaja Karya Kho Ping Hoo Bagian 28
"Apa maksudnya ini, Malangi Khan?"
Tanya Pendekar Bodoh dan sepasang matanya yang lebar dan jujur itu kini bersinar-sinar dan bergerak-gerak, menunjukkan betapa cerdiknya otak yang berada di belakang mata itu. Malangi Khan tertawa bergelak.
"Pendekar Bodoh, kau telah kuberi kesempatan untuk mendapatkan kedudukan setinggi-tingginya yang mungkin dicapai orang di negaraku, akan tetapi kau berani sekali menolak, bahkan menuntut dikembalikannya keponakanmu dan kau hendak menangkap seorang pembantuku pula."
Ucapan terakhir ini sesungguhnya bohong, karena biarpun tadinya Bouw Hun Ti juga membantu Suhunya, Ban Sai Cinjin di Benteng itu, akan tetapi belum lama ini Bouw Hun Ti telah melakuan perjalanan untuk mengumpulkan orang-orang yang kelak akan dimintai bantuan dalam menghadapi Pendekar Bodoh dan kawan-kawannya di puncak Thai-San. Maka sebenarnya Bouw Hun Ti bukan merupakan pembantunya pula. Malangi Khan sengaja mengatakan demikian agar dapat mencari alasan yang berat untuk menyalahkan Pendekar Bodoh.
"Selanjutnya apa kehendakmu, Malangi Khan?"
Tanya Cin Hai, sedikit pun tidak merasa takut.
"Kau akan kutahan di sini dan takkan kulepaskan sebelum kau nyatakan suka menerima pengangkatan atau sebelum bala Tentara Tiong-goan dapat kuhancurkan!"
Cin Hai tersenyum.
"Kalau aku melarikan diri?"
Malangi Khan juga tersenyum.
"Kau dikurung oleh ribuan orang Tentara yang kuat! Dan pula, begitu kau memberontak, anak itu akan kupenggal lehernya!"
"Malangi Khan, kau benar-benar cerdik dan licik! Akan tetapi siapa percaya omonganmu? Kalau aku tidak melihat sendiri anak itu, aku takkan percaya bahwa anak itu masih belum kau bunuh!"
"Pendekar Bodoh, kau kira aku Malangi Khan pembunuh anak-anak tanpa alasan?"
"Siapa tahu watak seorang Raja Besar yang licik seperti kau?"
Cin Hai sengaja menghina sehingga Kaisar itu mendelikkan mata dan memberi perintah kepada penjaga untuk membawa datang Kwee Cin. Teganglah seluruh urat dalam tubuh Cin Hai ketika ia mendengar perintah ini. Ia mengambil keputusan untuk segera merampas Kwee Cin dan membawanya pergi dari situ. Penjagaan ribuan orang Tentara Mongol sama sekali tidak ditakutinya, karena sesungguhnya dengan kepandaiannya ia dapat membobolkan kepungan itu. Pintu belakang terbuka dan muncullah Kwee Cin dan seorang anak Mongol yang berpakaian mewah. Cin Hai dapat menduga bahwa ini tentu putera Raja Mongol itu.
"Kouw-Thio (Paman)...!"
Kwee Cin berseru girang ketika ia melihat Cin Hai dan hendak berlari menghampiri, akan tetapi sekali sambar saja Malangi Khan telah menangkap lengan Kwee Cin yang ditariknya dekat. Tangan kanan Malangi Khan telah menghunus pedangnya dan dengan gerakan mengancam ia memandang kepada Cin Hai. Pendekar Bodoh merasa lega melihat bahwa Kwee Cin berada dalam keadaan selamat dan sehat, dan dapat diduga bahwa anak itu diperlakukan dengan baik di tempat itu.
"Paman Malangi, mengapa kau memegang tanganku?"
Kwee Cin bertanya sambil memandang heran kepada Raja itu, yang menjadi bukti bagi Pendekar Bodoh bahwa biasanya Raja ini bersikap baik terhadap Kwee Cin. Akan tetapi melihat ancaman Malangi Khan, ia tak dapat berbuat sesuatu. Ia tahu bahwa orang seperti Malangi Khan akan memegang teguh ancamannya dan kalau ia bergerak merampas Kwee Cin, tentu Raja itu akan mengerjakan pedangnya dan celakalah nasib keponakannya itu.
"Malangi Khan, jangan kau mengganggu keponakanku itu. Aku bersumpah takkan merampasnya dengan kekerasan."
Malangi Khan memandang heran, lalu melepaskan tangan Kwee Cin. Bahkan ia lalu duduk bersandar dengan wajah lega. Pendekar Bodoh merasa kagum sekali betapa Raja ini dapat melihat orang, dan sekali ia mengeluarkan ucapan dan janji Raja itu telah percaya penuh kepadanya! Kalau saja ia mau mempergunakan kepandaiannya, pada saat itu ia dapat menyambar Kwee Cin, akan tetapi tentu saja Cin Hai tidak mau melanggar sumpahnya. Sebetulnya sumpah tadi termasuk rencana dan siasatnya, karena biarpun kelihatan bodoh, Cin Hai sebetulnya cerdik sekali.
Ia tidak melihat harapan untuk mempergunakan kekerasan, maka sengaja ia bersumpah takkan merampas Kwee Cin dengan kekerasan. Kini melihat Malangi Khan tidak mengancam lagi kepada Kwee Cin, tiba-tiba Cin Hai menubruk maju. Malangi Khan terkejut sekali karena tak disangkanya Pendekar Bodoh mau melanggar sumpahnya. Ia hendak membentak dan memaki, akan tetapi menahan suaranya ketika melihat bahwa Pendekar Bodoh tidak merampas Kwee Cin melainkan menangkap Putera Mahkota! Tak seorang pun dapat mengikuti gerakan Pendekar Bodoh yang demikian cepatnya sehingga tahu-tahu Pangeran Kamangis, putera tunggal Malangi Khan, telah berada di dalam pondongan Pendekar Bodoh! Dan sebelum orang dapat bergerak, Cin Hai sudah melompat keluar sambil berkata,
"Malangi Khan, kau harus kembalikan Kwee Cin baik-baik untuk ditukar dengan puteramu. Aku menanti di Benteng Alkata-San!"
Para Panglima dan penjaga serentak maju hendak mencegat Pendekar Bodoh, akan tetapi Malangi Khan berseru keras,
"Jangan ganggu dia, kalian anjing-anjing bodoh! Jangan serang dia!"
Raja ini takut kalau-kalau serangan anak buahnya akan mengenai tubuh puteranya, karena maklum akan kelihaian Pendekar Bodoh. Demikianlah penuturan yang didengar dengan hati gemas dan mendongkol sekali oleh Ban Sai Cinjin ketika ia datang menghadap Malangi Khan.
"Dan sekarang bagaimana kehendak Khan yang mulia?"
Tanya Ban Sai Cinjin sambil mengepulkan asap Huncwenya. Kedudukan Ban Sai Cinjin sebagai sekutu boleh dibilang sejajar dengan Malangi Khan dan karena Raja Mongol ini pun maklum akan kelihaian Si Huncwe Maut, maka ia memberi kemerdekaan kepada Ban Sai Cinjin untuk bersikap sebagai seorang tamu agung.
"Sayang sekali dengan adanya seorang tokoh seperti kau, Pendekar Bodoh masih berani mengganggu tempat ini,"
Kata Raja itu dengan suara menyindir.
"Akan tetapi sudahlah, memang sukar mencari seorang yang cukup kuat untuk menghadapi seorang sakti seperti Pendekar Bodoh. Tidak ada lain jalan, terpaksa aku harus mengantarkan keponakan Pendekar Bodoh itu ke Benteng Alkata-San untuk ditukar dengan puteraku."
"Harap Paduka berlaku hati-hati."
Ban Sai Cinjin memperingatkan.
"Siapa tahu kalau-kalau mereka sudah mengatur perangkap untuk mencelakakan Paduka. Biarlah saya saja yang membawa anak she Kwee itu untuk ditukarkan dengan putera Paduka."
Beberapa orang Panglima membenarkan pendapat Ban Sai Cinjin ini. Memang resikonya terlalu besar bagi maharaja itu untuk pergi sendiri melakukan penukaran tawanan, karena kalau Malangi Khan sampai tertawan musuh, berarti semua gerakan Tentara Mongol akan kehilangan kepalanya. Dan selain Ban Sai Cinjin yang berkepandaian tinggi, tidak ada yang lebih baik untuk melakukan penukaran tawanan penting ini.
"Kau harus berhati-hati dan perlakukan anak itu baik-baik, karena aku pun menghendaki puteraku diperlakukan dengan baik oleh mereka!"
Kata Malangi Khan.
(Lanjut ke Jilid 26)
Pendekar Remaja (Seri ke 04 - Serial Pendekar Sakti)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 26
Demikianlah, dengan amat sembrono sekali Malangi Khan mempercayakan penukaran tawanan itu ke dalam tangan Ban Sai Cinjin! Kalau saja Raja ini sudah kenal betul watak Ban Sai Cinjin, tentu sama sekali ia takkan suka mempercayakan keselamatan putera tunggalnya ke dalam tangan Si Huncwe Maut ini! Kwee Cin lalu dikeluarkan dari kamar di mana ia ditahan dan dijaga keras, kemudian Ban Sai Cinjin menjepit anak ini yang menjadi pucat sekali ketika melihat Ban Sai Cinjin. Kwee Cin ingat bahwa Kakek mewah inilah yang menculiknya dahulu, dan tadinya ia sudah merasa lega karena terlindung oleh Malangi Khan dan menjadi kawan bermain dari Putera Mahkota Mongol yang baik. Akan tetapi sekarang ia diserahkan lagi kepada Kakek berHuncwe yang ditakuti dan dibencinya itu, maka ia menjadi pucat dan ingin menangis.
Setelah berpamit kepada Malangi Khan, Ban Sai Cinjin lalu melangkah keluar dari Istana itu. Akan tetapi pada saat ia hendak mempergunakan kepandaiannya untuk berlari cepat, tiba-tiba dari luar Benteng menyambar bayangan dua orang yang cepat sekali gerakannya. Ketika dengan terkejut Ban Sai Cinjin memandang, alangkah herannya ketika melihat bahwa yang datang adalah Lie Siong, pemuda yang beberapa kali bertempur dengan dia itu, pemuda yang sudah berani mengacau di rumahnya dan membakar rumahnya di desa Tong-Si-Bun. Akan tetapi, pemuda ini kini dipegang lengannya oleh seorang tua yang bongkok, yang jalannya terpincang-pincang dan kalau tidak berpegang pada lengan pemuda itu agaknya pasti akan roboh terguling!
"Suhu, inilah anak itu yang harus dirampas, dan ini pula orang jahat bernama Ban Sai Cin in Si Huncwe Maut!"
Kata pemuda itu kepada Kakek bongkok terpincang-pincang yang berpegangan pada lengannya. Kakek itu membuka-buka matanya yang agaknya sukar dibuka, lalu mengeluarkan suara seperti ringkik kuda, disambung dengan ketawanya yang lemah,
"heh-heh-heh, berikan kepadaku anak itu..."
Suaranya perlahan dan lambat seperti suara Kakek-Kakek yang sudah tua sekali, agak menggetar pula. Biarpun sudah pernah merasai kelihaian Lie Siong, tentu saja Ban Sai Cinjin tidak takut sama sekali terhadap anak muda itu, karena selain kepandaiannya memang masih lebih unggul daripada Lie Siong, juga di tempat itu ia mempunyai banyak pembantu.
"Apakah kau datang mengantar kematian?"
Bentaknya kepada Lie Siong sambil menggerakkan Huncwenya di tangan kanan dan dibarengi teriakan memberi tahu kawan-kawannya. Sebetulnya teriakan ini tidak perlu karena para Panglima Mongol, bahkan Malangi Khan sendiri sudah mendengar ribut-ribut dan sudah memburu keluar semua. Lie Siong yang diserang dengan hebat oleh Ban Sai Cinjin tidak menangkis maupun mengelak.
Sebaliknya yang bergerak adalah Kakek tua renta itu yang menggerakkan kedua tangannya sambil terkekeh-kekeh. Biarpun kedua tangannya kurus tinggal kulit dan tulang dan gerakannya lambat sekali, namun Ban Sai Cinjin terkejut setengah mati. Sekali sambar saja Huncwe Ban Sai Cinjin itu telah kena direbut lalu dibalikkan dan kini Huncwe itu menyodok ke arah perut Ban Sai Cinjin, dibarengi dengan tangan kiri ditamparkan ke arah kepala Kakek mewah itu. Angin pukulan dari Kakek tua renta ini terasa oleh Ban Sai Cinjin bagaikan angin puyuh menyambar ke arahnya, maka tentu saja ia cepat-cepat mengelak, akan tetapi sebelum ia mengetahui bagaimana Kakek ini bergerak, Kwee Cin yang berada di dalam pondongannya telah terbang dan pindah ke dalam pondongan Kakek tua bangka itu!
"Tangkap...! Keroyok...!!"
Ban Sai Cinjin memekik bingung melihat kelihaian Kakek ini dan para Panglima lalu maju mengurung, dipimpin sendiri oleh Malangi Khan yang merasa gelisah melihat betapa penukar puteranya itu telah dirampas orang.
Ban Sai Cinjin sendiri masih tertegun karena baru satu kali selama hidupnya ia menyaksikan orang yang tingkat kepandaiannya sama dengan Kakek tua renta ini, yaitu Bu Pun Su yang sudah mati. Tadinya ia mengira bahwa di dunia ini tidak ada orang lain yang memiliki kepandaian seperti Bu Pun Su, akan tetapi sekarang ia menghadapi Kakek tua renta yang sudah mau mati saking tuanya ini, ia menjadi bingung dan terkejut. Agaknya kepandaian Kakek tua renta ini tidak berada di sebelah bawah kepandaian Empat Besar, yaitu Bu Pun Su, Hok Peng Taisu, Pok Pok Sianjin, dan Swi Kiat Siansu yang semuanya sudah meninggal dunia. Bagi Ban Sai Cinjin, agaknya tidak ada tokoh besar dunia kang-ouw yang tidak diketahui atau dikenalnya, akan tetapi selama hidupnya belum pernah ia melihat atau mendengar tentang Kakek yang aneh ini!
Adapun Kakek itu biarpun dikurung oleh Panglima-Panglima yang bersenjata tajam, kelihatan enak-enak saja. Ia mengisap Huncwe rampasan itu yang masih ada tembakaunya mengepul, disedotnya beberapa kali sambil matanya berkedap-kedip dan memondong Kwee Cin yang memandang dengan ketakutan. Sementara itu, karena para penglima sudah mulai menyerang, Lie Siong mencabut pedang naganya dan setelah ia menggerakkan pedangnya, terdengar suara nyaring dan beberapa batang golok atau tombak menjadi patah. Akan tetapi kurungan tidak mengendur, bahkan makin merapat. Kakek tua yang menyedot asap Huncwe, nampak mengernyitkan hidungnya dan wajahnya menjadi makin buruk.
"Ah, Huncwe tidak enak, tembakaunya apek berbau busuk!"
Katanya menyengir lalu ia menyodorkan Huncwe itu kembali kepada Ban Sai Cinjin. Si Huncwe Maut ini terbelalak matanya memandang penuh keheranan karena tadi ia melihat sendiri betapa Kakek ini telah menyedot sedikitnya lima kali dan melihat nyala api di dalam Huncwe, tentu banyak sekali asap yang tersedot.
Akan tetapi ia tidak melihat asap itu keluar lagi seakan-akan lima kali sedotan itu membuat asapnya tersimpan di dalam dada Si Kakek Aneh. Padahal tembakau yang dipasangnya di dalam Huncwenya adalah tembakau hitam yang beracun! Oleh karena kaget dan heran, setelah menerima kembali Huncwenya, ia hanya berdiri bengong. Kakek itu memandang ke arah Lie Siong yang terdesak hebat, dan kini Malangi Khan sendiri lalu memimpin sebagian orangnya untuk menyerang Kakek itu dan merampas kembali Kwee Cin. Akan tetapi tiba-tiba Kakek itu terkekeh-kekeh dan dari mulutnya menyambar keluar asap hitam bergulung-gulung seperti naga hitam yang jahat. Inilah asap dari Huncwe Ban Sai Cinjin yang tadi disimpan dengan kekuatan Lweekang dan Khikang luar biasa sekali dan kini dikeluarkan untuk menyerang para pengeroyok.
"Awas, mundur...! Asap itu berbahaya sekali...!"
Ban Sai Cinjin berteriak gagap, karena ia maklum akan berbahayanya asap Huncwenya sendiri yang mengandung racun hebat. Akan tetapi beberapa orang sudah tersambar oleh asap itu dan seketika menjadi roboh pingsan. Yang lain-lain menjadi takut dan mundur. Kakek itu mendekati Lie Siong.
"Muridku, hayo kita pergi!"
Baru saja ucapan ini habis dikeluarkan, tiba-tiba tubuhnya dan tubuh Lie Siong melayang cepat sekali ke atas genteng dan lenyap dari pandangan mata! Kembali Ban Sai Cinjin terkejut. Itu adalah ilmu Ginkang yang luar biasa sekali. Bagaimana pemuda itu tiba-tiba saja telah memiliki kepandaian ini? Melihat gerakan pedang pemuda tadi, masih tidak jauh bedanya dengan dulu. Setelah berpikir sebentar, dapatlah ia menduga bahwa tentu pemuda itu dipegang lengannya oleh Kakek yang sakti tadi dan dibawa melompat pergi. Ketika ia memandang ke arah Malangi Khan, dari sepasang mata Raja Mongol ini terbayang maut yang ditujukan kepadanya, sehingga ia menjadi kaget. Ia tahu bahwa Raja ini marah sekali kepadanya dan menganggap dia menjadi biang keladi sehingga Kwee Cin terampas orang.
"Biar hamba mengejar mereka!"
Seru Ban Sai Cinjin dan cepat ia pun melayang ke atas genteng dan melarikan diri!
Kakek mewah ini tahu bahwa dia tidak sanggup mengejar, dan alasannya ini hanya dipergunakan agar dapat melarikan diri dari situ. Ia tahu bahwa setelah kini Pendekar Bodoh dan kawan-kawannya datang dan berada di Benteng Alkata-San, amat berbahaya baginya berada di tempat itu. Ia lalu pergi cepat sekali dengan tujuan menyusul muridnya, Bouw Hun Ti, untuk mengumpulkan pembantu-pembantu yang pandai guna menghadapi Pendekar Bodoh dan kawan-kawannya yang ditakuti. Bagaimana Lie Siong bisa datang bersama Kakek tua renta itu dan siapa pula Kakek yang aneh itu? Seperti telah diketahui, setelah Lie Siong bertemu dengan Lili dan Ma Hoa dan meninggalkan Lilani pada suku bangsanya sendiri yang kemudian diantar oleh Lili dan Ma Hoa ke Benteng Alkata-San,
Lie Siong lalu pergi seorang diri untuk mencari Ban Sai Cinjin guna membalas dendam Ayahnya dan juga untuk mencoba menolong Kwee Cin yang diculik oleh Kakek mewah ber Huncwe maut itu. Ia telah mendengar bahwa Ban Sai Cinjin membantu bala Tentara Mongol, maka ia lalu melakukan penyelidikan di sekitar daerah pegunungan yang dijadikan markas besar bala Tentara Mongol. Tentu saja dia tidak berani memasuki perbentengan itu karena tahu bahwa perbuatan ini hanya berarti mengantar nyawa saja. Di dalam Benteng itu selain terdapat puluhan ribu, bahkan mungkin ratusan ribu Tentara Mongol juga terdapat banyak Panglima-Panglima kosen dan orang-orang gagah seperti Ban Sai Cinjin dan lain-lain. Demikianlah ia hanya bersembunyi saja sambil menanti-nanti kalau-kalau ada kesempatan baik. Banyak akal terpikirkan dalam otaknya.
Ia dapat menangkap seorang perajurit Mongol dan kemudian menyamar sebagai perajurit itu memasuki Benteng. Atau ia bisa menanti sampai Ban Sai Cinjin keluar untuk diserang dengan tiba-tiba atau menyelidiki di mana ditahannya Kwee Cin untuk kemudian coba dirampasnya. Ketika ia sedang berjalan di dalam hutan di kaki bukit itu, tiba-tiba ia mendengar suara orang tertawa-tawa. Suara ketawa ini seperti suara ketawa anak kecil yang sedang bermain-main dengan riang gembira. Heran dan kagetlah Lie Siong mendengar suara ini. Bagaimana di dalam hutan seperti ini, dekat perbentengan Tentara Mongol dan di daerah pertempuran, bisa terdengar suara ketawa anak-anak yang bermain-main? Ia segera mencari siapa yang ketawa itu dan ketika ia keluar dari belakang sebatang pohon besar, ia berdiri terpukau saking herannya.
Di bawah pohon itu nampak seorang Kakek yang kurus kering dan bongkok, kulit mukanya keriputan sehingga sukar sekali dibedakan mana hidung mana mulut, seorang Kakek ompong yang tak berdaging lagi, tengah bermain-main seorang diri sambil berjongkok di atas tanah! Ketika Lie Siong memandang penuh perhatian, ternyata bahwa Kakek tua renta ini sedang bermain gundu seorang diri dan tiap kali ia menyentil gundunya mengenai gundu yang lain, ia tertawa-tawa puas seperti seorang anak kecil! Hampir saja Lie Siong tak dapat menahan kegelian hatinya ketika melihat Kakek yang saking tuanya telah kembali menjadi kekanak-kanakan ini! Akan tetapi ketika ia memandang cara Kakek itu bermain gundu, kegeliannya lenyap dan jangankan menertawakannya, bahkan kini sepasang mata pemuda itu menjadi terbelalak. Ternyata bahwa cara Kakek itu bermain gundu amat istimewa sekali. Gundunya terbuat dari tanah liat dikeringkan, jumlahnya sepuluh butir.
Yang hebat ialah tiap kali Kakek itu menyentil "jagonya", maka gundunya itu akan meluncur berlenggak-lenggok, kemudian dengan tepat sekali lalu membentur sembilan butir gundu itu satu demi satu, seakan-akan jagonya itu hidup dan memiliki mata yang dapat mencari-cari sembilan lawannya! Tentu saja Lie Siong mengerti bahwa hal ini baru mungkin dilakukan kalau orang memiliki tenaga Lweekang yang sempurna. Dia sendiri paling banyak bisa menyentil gundu untuk membentur tiga atau empat gundu lain sebelum berhenti, akan tetapi Kakek ini biarpun gundu jagonya telah membentur sembilan gundu lain masih saja gundu jagonya itu dapat berputar kembali ke tangannya yang sudah siap menanti. Dan juga gundu-gundu yang terbentur itu terlempar pada jarak tertentu sehingga sembilan butir gundu itu membentuk suatu garis-garis perbintangan yang luar biasa sekali!
"Hebat..."
Bisiknya di dalam hati dan saking kagumnya bibirnya ikut bergerak. Tanpa menoleh kepadanya, Kakek tua renta itu lalu berkata,
"Hayo, sekarang giliranmu, orang muda. Kau bidikkan gundumu!"
Ketika Lie Siong diam saja, Kakek itu menengok ke arahnya dan kagetlah pemuda itu ketika melihat sepasang mata bagaikan mata harimau menyambarnya.
"Aku... aku tidak punya gundu,"
Jawabnya gagap. Kakek itu tertawa terkekeh-kekeh.
"Ha-ha-ha, aku lupa! Kau masih bodoh bermain gundu, tentu saia gundumu habis, kalah semua olehku. Nah, ini, kuberi hadiah sebuah gundu agar kau dapat ikut bermain-main."
Tangan kiri Kakek itu mencengkeram ke arah batu karang hitam yang berdiri di sebelah kirinya. Terdengar suara "krak"
Dan gempallah sepotong batu karang! Kemudian, seakan-akan batu karang itu hanya sepotong tahu saja Kakek itu lalu mencuwil-cuwilnya dan membentuk sebutir gundu yang bundar dan halus dalam sekejab mata. Dengan hati berdebar kagum, Lie Siong menerima gundu istimewa itu dan ketika ia menekan, gundu itu memang benar terbuat dari batu karang yang luar biasa kerasnya, akan tetapi yang diperlakukan seperti tanah liat basah oleh Kakek luar biasa ini.
"Hayo, bidiklah!"
Kakek itu berseru girang. Lie Siong terpaksa lalu berjongkok dan melayani Kakek ini bermain gundu! Ia membidikkan gundunya sambil berpikir.
Gundu yang diberikan kepadanya dan menjadi gundu jagonya adalah terbuat dari batu karang yang keras dan lebih berat daripada gundu-gundu yang berada di atas tanah, karena semua gundu itu terbuat dari tanah liat yang kering. Mana bisa gundunya yang berat itu akan membentur gundu lain ke dua, ke tiga dan seterusnya? Paling-paling yang akan terpental adalah gundu yang dibentur oleh gundu jagonya! Setelah berpikir sebentar, Lie Siong lalu membidik dan melepaskan gundunya dengan keras. Gundunya menendang gundu terdekat yang mencelat dan membentur gundu ke dua yang sebaliknya terpental pula membentur yang ke tiga. Demikianlah, dengan pengerahan tenaga yang besar dan tepat, Lie Siong berhasil membuat gundu-gundu itu saling bentur sampai gundu ke lima, akan tetapi sampai kepada gundu ke lima, tenaga benturan telah habis dan mogok di jalan.
"Kau licik...!"
Kakek itu bersungut.
"Gundu jagomu diam saja, yang membentur adalah gundu sasaran! Tidak boleh begitu!"
"Tentu saja, karena gundu jagoku lebih berat dan keras sedangkan gundu-gundu sasaran ringan sekali!"
Lie Siong membantah dan mereka ini benar-benar seperti dua orang anak-anak yang sedang bersitegang dalam permainan mereka.
"Siapa bilang gundu jagomu keras dan berat? Coba lihat sekarang hendak kubidik gundumu, lihat saja mana yang lebih keras!"
Sambil berkata demikian, Kakek itu mempergunakan gundu jagonya yang kecil dan terbuat dari tanah liat yang dikeringkan untuk disentil dan membentur gundu jago Lie Siong yang terbuat dari batu karang.
"Prak!!"
Kalau dibicarakan memang sungguh aneh dan mengherankan, bahkan Lie Siong yang sudah mahir dalam ilmu Lweekang dan tahu akan kemujijatannya tenaga Lweekang, masih terbelalak memandang karena belum pernah ia menyaksikan demonstrasi tenaga Lweekang yang demikian hebatnya.
Begitu dua butir kelereng atau gundu itu beradu, gundu jagonya yang terbuat dari batu karang itu telah hancur berhamburan, sedangkan gundu Kakek itu yang terbuat dari tanah liat kering, sama sekali tidak apa-apa, gugur sedikit pun tidak! Lie Siong adalah seorang pemuda yang amat cerdik. Melihat sikap Kakek ini dan menyaksikan kehebatan tenaga Lweekangnya, ia dapat menduga bahwa Kakek ini tentulah seorang sakti yang telah menjadi pikun atau berubah menjadi anak-anak saking tuanya, atau mungkin juga berubah pikirannya. Kalau saja betul Kakek ini seorang luar biasa yang telah dilupakan orang, alangkah baiknya kalau ia menjadi muridnya! Maka ia lalu ingin mencoba apakah dalam hal ilmu silat, Kakek ini juga lihai. Ia berpura-pura marah dan membentak,
"Kau merusak gunduku! Kau menghancurkan gunduku!"
Sambil berkata demikian Lie Siong maju menampar pundak Kakek itu. Kelihatannya Kakek itu tidak mengelak, akan tetapi sedikit saja ia menggerakkan pundak, tamparan Lie Siong meleset!
"Kau yang licik, kalah pandai main gundu, mengapa penasaran? Gundumu pecah bukan karena salahku, salah gundumu mengapa pecah dan mudah hancur, ha-ha-ha!"
Kakek itu kelihatan senang sekali karena tidak saja ia menang bermain gundu, juga gundu lawannya menjadi pecah!
"Kau harus dipukul!"
Seru Lie Siong pula dan cepat ia mengirim pukulan yang lebih kuat dan cepat ke arah pundak orang. Sekali lagi pukulan ini melesat. Lie Siong mulai penasaran dan ketika sekarang Kakek itu berdiri dengan tubuhnya yang bongkok, ia lalu menyerang dengan Ilmu Pukulan Sianli Utauw (Tari Bidadari) yang kelihatan lembek akan tetapi mengandung tenaga Lweekang dan gerakannya indah dan cepat. Kembali ia tercengang, karena Kakek itu sambil tertawa haha-hehe selalu dapat menggerakkan tubuh menghindari pukulannya dan mulutnya tiada hentinya berkata mengejek,
"Kalah main gundu kok mengamuk, sungguh anak yang licik sekali kau ini!"
Yang membuat Lie Siong merasa amat penasaran sekali adalah sikap Kakek itu yang seakan-akan tidak memandang sedikitpun juga kepada ilmu silatnya Sianli Utauw, buktinya Kakek itu tidak memandang kepadanya, bahkan sambil mengelak ia lalu mengambil gundu-gundu itu sebutir demi sebutir dan dimasukkan ke dalam kantongnya. Biarpun matanya ditujukan kepada gundu, namun tetap saja setiap pukulan Lie Siong dapat dihindarkan dengan amat mudah.
"Sudahlah, main gundunya tidak becus, mana mau main pukul? Anak nakal dan licik, lebih baik kau pulang belajar lagi main gundu yang betul!"
Kata Kakek itu dan sekali saja ia mengangkat tangan menangkis pukulan Lie Siong, pemuda ini terlempar sampai dua tombak lebih dan merasa betapa tangannya sakit sekali. Namun Lie Siong masih belum merasa puas. Ia maju lagi dan kini setelah ia menggerak-gerakkan kedua tangannya, dari tangan dan lengannya mengebul uap tipis putih. Inilah limu Silat Pek-In Hoat-Sut yang ia pelajari dari Ibunya, ilmu pukulan yang amat lihai dari Sucouwnya, yaitu Bu Pun Su! Kakek itu nampaknya tertegun melihat ilmu pukulan ini, dan berdiri bengong. Tangan kanannya memijit-mijit pelipis kepalanya seakan-akan ia mengumpulkan ingatan untuk mengingat kembali ilmu silat yang ia lihat dimainkan oleh anak muda ini.
"Apakah Bu Pun Su hidup lagi?"
Demikian terdengar ia bertanya kepada diri sendiri. Lie Siong yang mendengar ini menjadi terkejut,
Akan tetapi ia juga merasa bangga karena agaknya Kakek ini mengenal ilmu silatnya dan takut menghadapinya! Maka ia lalu menerjang lagi dengan ilmu pukulan Pek-In Hoat-Sut. Akan tetapi alangkah heran dan terkejutnya ketika ia melihat Kakek itu pun bergerak dan mengebullah uap putih yang tebal dari kedua lengannya. Lie Siong maklum bahwa Kakek ini pun mahir Pek-In Hoat-Sut, bahkan tenaganya jauh lebih besar daripada tenaganya sendiri. Akan tetapi ia sudah kepalang dan memang ingin menguji sampai puas betul. Ia menyerang hebat dan begitu Kakek itu mengangkat tangannya, Lie Siong berseru keras karena tubuhnya mencelat ke atas sampai tiga tombak lebih! Baiknya Kakek itu tidak bermaksud jahat sehingga ia terlempar saja tanpa menderita luka dan dapat turun kembali dengan kedua kaki menginjak tanah.
"Ha-ha, main gundu kalah, main pukulan juga keok!"
Kakek itu mengejek seperti seorang anak kecil mengejek lawannya. Kini Lie Siong tidak ragu-ragu lagi dan serta merta ia menjatuhkan diri berlutut di depan Kakek aneh itu.
"Suhu yang mulia, mohon Suhu memberi petunjuk kepada Teecu yang bodoh!"
Untuk beberapa lama, Kakek itu diam saja, kemudian ia terbahak-bahak, seakan-akan merasa amat lucu.
"Kau minta belajar apa dari padaku? Aku hanya pandai bermain gundu. Maukah kau belajar main gundu?"
"Segala nasihat dan pelajaran dari Suhu, tentu akan Teecu terima dan perhatikan dengan sungguh-sungguh."
"Bagus, aku akan mengajarmu bermain gundu sehingga kau akan menjadi jago gundu yang paling istimewa."
Kakek yang pikun itu lalu mulai memberi pelajaran bermain gundu atau kelereng kepada Lie Siong! Akan tetapi sebagai seorang ahli silat tinggi, Lie Siong mengerti bahwa permainan gundu ini bukanlah sembarang permainan. Sentilan pada gundu itu merupakan gerakan melepas Am-gi (senjata rahasia) yang hebat sekali, digerakkan oleh tenaga Lweekang yang tinggi.
Oleh karena itu, mempelajari menyentil gundu seperti yang diajarkan oleh Kakek ini, sama halnya dengan mempertinggi tenaga Lweekang dan kepandaian melepas Am-gi. Oleh karena itu, ia memperhatikan dengan seksama ajaran-ajaran gurunya yang diberikan sambil bermain-main ini. Akan tetapi Kakek ini ternyata telah menjadi pikun benar-benar sehingga namanya sendiri pun ia tidak tahu lagi! Juga ia mengerti ilmu-ilmu silat tinggi akan tetapi tidak tahu lagi namanya ilmu-ilmu silat itu sungguhpun ia masih dapat menggerakkannya dengan amat sempurna. Lie Song menjadi girang sekali dan sedikit demi sedikit Suhunya mulai memperlihatkan ilmu-ilmu silat yang belum pernah dilihat sebelumnya. Kemudian pemuda ini teringat akan Kwee Cin yang diculik oleh Ban Sai Cinjin, maka ia lalu berkata kepada Suhunya beberapa hari kemudian,
"Suhu, ada seorang anak kecil she Kwee diculik oleh orang jahat yang bernama Ban Sai Cinjin. Anak itu berada di dalam Benteng orang-orang Mongol dan Teecu tidak dapat menolongnya. Sukakah Suhu menolong anak itu? Kasihan, Suhu, kalau tidak ditolong nyawa anak itu terancam bahaya."
Lie Song dalam beberapa hari berkumpul dengan Suhunya, tahu bahwa Kakek ini paling suka kepada anak kecil, maka sengaja menceritakan keadaan Kwee Cin dan menyebutnya anak kecil pula.
"Hmm, apakah dia kawanmu bermain?"
Lie Siong hanya menganggukkan kepalanya dan mendesak supaya Suhunya suka menolong anak kecil itu dan membantunya menangkap atau membunuh musuh besarnya yang bernama Ban Sai Cinjin yang juga menculik anak kecil ltu.
"Apakah kau kira aku tukang bunuh orang?"
Tiba-tiba Kakek itu berkata dengan muka murka dan marah.
Sampai lama dia diam saja tidak mau bicara dengan Lie Siong, bahkan tidak mau mengajak pemuda itu bermain-main. Lie Siong terkejut dan tahu bahwa Suhunya marah dan "ngambul", merajuk seperti anak kecil yang tersinggung hatinya. Maka ia tidak berani bicara tentang pembunuhan. Pada sore harinya barulah gurunya mau mengajaknya bermain-main lagi dan kembali Lie Siong membujuknya untuk menolong Kwee Cin. Akhirnya Kakek itu mau juga dan setelah mereka hendak berangkat, dengan berpegang pada lengan Lie Siong, Kakek itu berjalan terpincang-pincang keluar dari hutan dan mendaki bukit di mana terdapat perbentengan orang Mongol itu. Alangkah girangnya hati Lie Siong ketika mendapat kenyataan bahwa biarpun berpegang kepada lengannya, gurunya ini bukan merupakan beban, bahkan sebaliknya.
Ia seakan-akan didorong oleh tenaga yang hebat sekali dan ketika ia menggerakkan kedua kaki menggunakan ilmu lari cepatnya, ia dapat berlari jauh lebih cepat daripada kalau ia berlari sendiri! Juga ketika ia melompati jurang, ia merasa tubuhnya ringan sekali. Ia tahu bahwa tanpa disengaja, gurunya telah mengeluarkan kelihaiannya dan tentu saja ia menjadi amat girang dan kagum sekali. Demikianlah, dengan amat mudahnya Lie Siong membawa Suhunya memasuki Istana Malangi Khan dan berhasil merampas Kwee Cin. Ia makin girang sekali menyaksikan kelihaian Suhunya yang benar-benar di luar persangkaannya itu. Ia kini makin kenal baik keadaan Suhunya dan tahu bahwa Suhunya adalah seorang Kakek yang sudah amat tua, terlalu tua sehingga berubah seperti kanak-kanak, berkepandaian yang luar biasa tingginya, tidak suka membunuh, dan paling senang bermain gundu.
Dari Istana Malangi Khan, ia langsung membawa Suhunya dan Kwee Cin ke Benteng Tentara Kerajaan di Pegunungan Alkata-San. Memang Lie Siong bermaksud untuk mengembalikan Kwee Cin kepada orang tuanya di Benteng Alkata-San, kemudian menghilang dengan Suhunya dari orang banyak untuk mempelajari ilmu silat yang tinggi. Ia ingin belajar sampai dapat mengimbangi atau melebihi kepandaian Lili, Hong Beng, Goat Lan, atau kepandaian Pendekar Bodoh sekalipun! Kedatangan Cin Hai, Kwee An, Hong Beng, dan Goat Lan di Benteng Alkata-San disambut dengan girang oleh semua orang. Ma Hoa menjadi cemas ketika melihat bahwa puteranya tidak berada di antara mereka, sebaliknya Pendekar Bodoh bahkan membawa seorang anak laki-laki bangsa Mongol yang berwajah tampan dan berpakaian indah.
Akan tetapi ketika ia mendengar bahwa anak ini adalah putera Malangi Khan yang sengaja diculik untuk kelak ditukarkan dengan Kwee Cin, Ma Hoa menjadi girang dan penuh harapan. Tentu saja ia merawat Pangeran Kamangis dengan baik, karena ia pun menghendaki agar supaya puteranya diperlakukan dengan baik oleh Ayah anak ini. Pada hari itu juga, datang rombongan Tiong Kun Tojin dan Sin-Houw Enghiong Kam Wi, dua orang tokoh besar Kun-Lun-San itu yang membawa kawan-kawannya untuk membantu perjuangan negara menghadapi orang-orang Mongol. Diantara rombongan ini terdapat pula Ceng To Tosu dan Ceng Tek Hwesio, Si Cengeng dan Si Gendut yang sudah kita kenal itu.
Kemudian kelihatan pula Hailun Thai-Lek Sam-Kui, tiga orang Kakek aneh yang suka berkelahi, dan masih ada beberapa belas orang gagah dari dunia kang-ouw lagi. Sungguh amat menarik hati kalau dilihat sikap orang-orang gagah ini ketika bertemu dengan Pendekar Bodoh. Rata-rata menyatakan hormatnya terhadap Pendekar Bodoh dan kawan-kawannya yang sudah tersohor. Yang amat menggembirakan adalah Sikap Ceng To Tosu dan Ceng Tek Hwesio. Dua orang Pendeta bersaudara ini ketika melihat Cin Hai dan Lin Ling segera berlari menghampiri. Ceng Tek Hwesio tertawa-tawa sampai perutnya yang besar itu bergerak gerak sedangkan Ceng To Tosu meweknya makin menyedihkan. Cin Hai juga amat gembira bertemu dengan mereka sehingga Pendekar Bodoh menowel-nowel perut Ceng Tek Hwesio sambil berkelakar.
"Aduh, biar mati pun aku tidak penasaran lagi setelah bertemu dengan kalian suami isteri!"
Kata Ceng Tek Hwesio kepada Cin Hai dan Lin Lin.
Akan tetapi yang paling aneh dan mengesankan adalah sikap dari Hailun Thai-Lek Sam-Kui, karena tiga orang Iblis ini sudah lama sekali mendengar nama besar dari Pendekar Bodoh dan ingin sekali menguji kepandaiannya. Apalagi mereka sudah pernah mencoba kelihaian Goat Lan puteri Kwee An dan juga Lili puteri Pendekar Bodoh, maka begitu berhadapan dan saling diperkenalkan oleh Kam Liong sebagai tuan rumah, tiga orang Kakek aneh ini lalu meloloskan senjata masing-masing! Thian-He Te-It Siansu si Kate menggerak-gerakkan payungnya, Lak Mouw Couwsu si Hwesio gemuk itu menarik keluar rantai besarnya, sedangkan Bouw Ki si tinggi kurus mengeluarkan tongkatnya dan Thian-He Te-It Siansu berkata,
Pendekar Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Pendekar Bodoh, sungguh kebetulan sekali! Tanpa disengaja kita telah saling bertemu di tempat ini, hal yang sudah seringkali kami impikan. Hayolah kau perlihatkan kelihaianmu dan mari kita main-main sebentar agar puas hati kami bertiga!"
Tentu saja Cin Hai menjadi tertegun melihat sikap mereka ini dan untuk sesaat tidak mampu menjawab! Bagaimanakah ada orang-orang yang baru saja dikenalkan lalu menantang ber Pibu (mengadu kepandaian)? Akan tetapi hal ini telah membuat Tiong Kun Tojin menjadi merah mukanya. Ia melangkah maju dan menjura kepada Cin Hai,
"Sie Taihiap, harap suka memaafkan Hailun Thai-Lek Sam-Kui yang suka main-main."
Kemudian ia berkata kepada tiga orang aneh itu,
"Sam-wi sungguh-sungguh tidak memandang kepadaku! Pinto yang menjadi kepala rombongan ini, apakah sengaja Sam-wi datang-datang hendak membikin malu kepada pinto?"
Suara Tiong Kun Tojin terdengar tandas sekali, memang Tosu ini amat berdisiplin dan memegang teguh aturan, juga berwatak keras. Thian-He Te-It Siansu bergelak mendengar dan melihat sikap tokoh Kun-Lun-San ini.
"Ah, Tiong Kun Totiang mengapa begitu galak? Apa sih buruknya menambah pengetahuan ilmu silat selagi bertemu dengan orang gagah? Kesenangan kita satu-satunya hanya ilmu silat, kalau sekarang tidak bergembira mau tunggu kapan lagi?"
"Bicaramu memang benar, Siansu. Akan tetapi Pibu harus dilakukan dengan aturan, pada waktu dan tempat yang tepat, tidak sembarangan seperti kau ini! Kita datang di sini bukan untuk main-main, melainkan untuk berjuang. Sie Taihiap adalah seorang Pendekar gagah yang datang juga untuk membantu mengusir orang-orang Mongol, apakah datang-datang kau mau menimbulkan kekacauan? Berlakulah sabar, kalau semua urusan yang besar telah selesai, kau mau mengajak Pibu siapapun juga, pinto takkan ambil peduli."
Thian-He Te-It Siansu memandang kepada dua orang adiknya, lalu menghela napas berulang-ulang dan kemudian sambil tertawa ia berkata kepada Pendekar Bodoh,
"Pendekar Bodoh, kalau begitu terpaksa kita harus menanti sampai nanti di puncak Thai-San nanti tahun depan pada musim Chun (musim semi)."
"Sam-wi Lo-Enghiong (Tiga Orang Tua Gagah), Siauwte adalah seorang yang bodoh, maka tentu saja kalau ada yang hendak memberi petunjuk Siauwte akan merasa berterima kasih sekali,"
Jawab Cin Hai dengan merendah, dan ternyata bahwa Pendekar besar ini telah dapat menekan kemarahannya melihat sikap tiga orang tua ini. Kam Wi yang mendengar bahwa keponakannya, yaitu Kam-Ciangkun atau Kam Liong masih belum menyerang musuh dan menanti sampai lima hari, dan mendengar pula tentang usaha Pendekar Bodoh yang berusaha merampas kembali Kwee Cin dan kini berhasil menawan putera Malangi Khan, lalu berkata sambil mengerutkan kening,
"Tidak baik, tidak baik! Dengan penundaan serangan kedudukan lawan akan menjadi makin kuat dan orang-orang Mongol akan menyangka bahwa kita takut!"
Tokoh Kun-Lun-San yang berwatak keras ini berkata dengan sikap seolah-olah ia seorang penglima perang yang ulung. Hal ini tidak mengherankan oleh karena semua orang juga tahu bahwa dia adalah adik dari Panglima Besar Kam Hong Sin.
"Lebih baik pukul hancur perkemahan Malangi Khan kalau sudah dekat dengan mereka dan memukul hancur pasukannya, akhirnya kita akan dapat membebaskan putera Kwee Taihiap juga. Sekarang kebetulan sekali putera dari Malangi Khan telah berada di tangan kita, kita pergunakan untuk mengancamnya. Apabila dia tidak mau menyerah dengan damai, besok aku akan membawa kepala puteranya di ujung tombak di luar dari Bentengnya!"
Pendekar Bodoh, Kwee An, Ma Hoa dan Lin Lin mengerutkan kening, dan mereka ini merasa tak setuju sama sekali atas usul orang kasar ini. Akan tetapi, dipandang dari sudut siasat kemiliteran, memang usul ini tidak buruk, maka Kam Liong biarpun menduduki pucuk pimpinan, tidak berani berkata sesuatu, hanya memandang kepada orang-orang tua yang ia hormati itu dengan mata penuh pertanyaan. Cin Hai lalu menghadapi Kam Wi dan setelah menjura, ia berkata,
"Memang apa yang dikatakan oleh Kam-Enghiong betul sekali, akan tetapi mengingat akan keselamatan keponakanku, aku dan saudara-saudaraku mengharapkan pengertian Kam-Ciangkun agar supaya penyerbuan itu ditunda dua hari lagi. Aku percaya bahwa Malangi Khan takkan membiarkan puteranya terlalu lama menjadi tawanan dan akan menyerahkan Kwee Cin untuk ditukar dengan puteranya. Setelah itu, barulah tentang penyerbuan kita rundingkan lagi."
Alis mata Kam Wi yang tebal itu dikerutkan, kemudian ia mengangguk-angguk dan berkata,
"Kalau saya tidak mengingat bahwa Sie Taihiap adalah calon besan dan calon mertua Kam Liong, tentu Kam Liong akan merasa keberatan melakukan penundaan-penundaan ini. Akan tetapi biarlah, biar kita menanti sampai dua hari lagi..."
"Kam-Enghiong, urusan perjodohan itu belum diputuskan, harap kau suka bersabar setelah urusan ini selesai dan kita kembali ke pedalaman, barulah akan kita pertimbangkan lagi,"
Kata Cin Hai tak senang. Kam Wi tersenyum.
"Aku tidak melihat lain halangan lagi, maka aku sudah berani memastikan, bukan begitu, Kam Liong?"
Kam-Ciangkun hanya menundukkan mukanya yang menjadi amat merah akan tetapi ia tidak berani melayani Pamannya yang kasar ini. Dan pada malam hari itu, Kam Liong menjamu para orang gagah itu dengan pesta makan yang cukup besar dan meriah. Di tengah-tengah Benteng itu, dalam ruangan yang lebar, dipasang meja-meja besar dan semua orang duduk mengelilingi beberapa buah meja dan makan minum dengan gembira.
Sebagai seorang Panglima perang yang berhati-hati, di waktu berpesta malam itu, Kam Liong sengaja memesan dengan keras kepada para perwiranya agar supaya penjagaan di luar Benteng diperkuat, takut kalau-kalau ada sesuatu yang tidak diingini terjadi. Akan tetapi, tetap saja terjadi hal yang luar biasa dan di dalam Benteng itu masuk tiga orang tanpa ada seorang pun penjaga yang mengetahuinya! Tahu-tahu tiga bayangan orang itu telah berada di atas genteng ruang pesta itu. Dan orang pertama yang dapat mendengar suara kaki mereka adalah Pendekar Bodoh. Pada saat itu, Cin Hai yang duduk menghadapi meja bersama Lin Lin, Kwee An, Ma Hoa, Lo Sian, Lilani, Hong Beng, Goat Lan dan Kam Liong sendiri tiba-tiba menaruh sumpitnya di atas meja dan berkata dengan suaranya yang keras karena dikeluarkan dengan pengerahan tenaga Khikang.
"Ji-wi (Tuan Berdua) yang berada di atas, silahkan turun saja kalau hendak bicara!"
Tentu saja semua orang yang berada di dalam ruangan itu menjadi heran dan terkejut. Rata-rata mereka memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi, akan tetapi mereka tadi tidak mendengar sesuatu. Kini semua orang berdiam dan memasang telinga, benar saja terdengar suara kaki dua orang di atas genteng. Setelah teguran Pendekar Bodoh lenyap, terdengarlah jawaban dari atas genteng,
"Sie Taihiap, yang datang hanyalah Siauwte untuk mengantarkan Adik Kwee Cin!"
"Lie Taihiap...!"
Seru Lilani yang segera mengenal suara Lie Siong. Ma Hoa, Kwee An, Lin Lin, dan Pendekar Bodoh segera berdiri.
"Siong-Ji (Anak Siong), lekas bawa Cin-ji (Anak Cin) turun!"
Seru Ma Hoa. Akan tetapi biarpun berkata demikian, ia sudah melompat keluar diikuti oleh suaminya dan juga oleh Cin Hai dan Lin Lin. Juga Hong Beng dan Goat Lan segera menyusul. Enam bayangan orang yang amat gesit gerakannya melompat ke atas genteng. Benar saja di atas genteng itu mereka melihat Lie Siong bersama Kwee Cin. Anak kecil itu ketika melihat bundanya segera bergerak menubruk dan Ma Hoa memeluk Kwee Cin dengan mata membasahi pipinya.
"Terima kasih... terima kasih, Siong-Ji..."
Kata Ma Hoa sambil memandang ke arah Lie Siong dengan mata bersyukur
"Bukan akulah yang telah menyelamatkan Adik Cin, ie-ie (Bibi),"
Kata Lie Siong merendah.
"Ibu, yang menolongku adalah En Siong dan Suhunya, Kakek pincang yang bisa terbang itu!"
Tiba-tiba Kwee berkata sehingga semua orang terheran dan terkejut mendengarnya.
"Lie Siong, mengapa kau tidak mengajak Suhumu ke sini?"
"Dia sudah berada di sini!"
Tiba-tiba Kwee Cin berkata pula.
"Tadipun dia yang mengantar kami ke sini, entah sekarang ke mana dia pergi!"
Kembali semua orang merasa terheran, lebih-lebih Cin Hai. Dia tadi hanya mendengar suara kaki dua orang, yang ternyata adalah injakan kaki pada genteng dari Lie Siong dan Kwee Cin. Kalau benar ada tiga orang, mengapa ia tidak mendengar suara kaki yang seorang lagi?
"Siong-Ji, manakah gurumu itu? Biar kami bertemu dengan dia dan menghaturkan terima kasih serta belajar kenal,"
Kata Lin Lin kepada pemuda yang tampan dan yang berdiri dengan muka tunduk itu.
"Dia... dia tidak suka bertemu dengan lain orang. Maafkan Siauwte... maafkan karena aku tidak dapat lama-lama tinggal di sini."
Ia menengok ke belakang dan berkata.
"Suhu, marilah kita pergi."
Terdengar suara terkekeh dan tiba-tiba berkelebat bayangan yang cepat bagaikan setan ke arah Lie Siong dan tahu-tahu pemuda itu berkelebat dan lenyap di malam gelap! Cin Hai, Lin Lin, Kwee An, dan Ma Hoa telah memiliki ilmu kepandaian yang hampir sempurna, apalagi Cin Hai, maka biarpun gerakan Kakek aneh itu cepat sekali, mereka masih saja melihat wajah dan bentuk tubuh Kakek itu dan mereka berempat saling pandang. Sedangkan Hong Beng dan Goat Lan, karena mereka dapat mengetahui bahwa ilmu Ginkang dari Kakek itu masih lebih hebat daripada kepandaian kedua orang tua mereka, hal ini membikin sepasang anak muda ini penasaran sekali. Bagi mereka, orang-orang tua mereka memiliki kepandaian yang paling tinggi diantara orang-orang kang-ouw!
"Siapakah dia...?"
Pendekar Bodoh mengerutkan kening dan mengingat-ingat. Juga Kwee An dan Ma Hoa belum pernah melihat orang itu.
"Kepandaiannya mengingatkan kepada Suhu Bu Pun Su,"
Kata Lin Lin. Tiba-tiba Cin Hai menepuk jidatnya. Ucapan isterinya ini mengingatkan dia akan sesuatu. Pernah dahulu Bu Pun Su gurunya menyebut-nyebut tentang seorang yang bernama The Kun Beng yang pernah menjadi sahabat baik gurunya. Menurut gurunya, orang ini memiliki kepandaian yang tidak berada di sebelah bawah kepandaian Bu Pun Su sendiri, yaitu ketika keduanya masih muda.
"Hmm, siapa lagi yang dapat memiliki kepandaian setingkat dengan Empat Besar selain dia?"
Pikir Pendekar Bodoh. Ia tidak berkata sesuatu kepada orang lain karena hanya menduga-duga, akan tetapi diam-diam ia merasa girang bahwa putera Ang I Niocu bertemu dengan seorang guru yang demikian lihainya. Dengan wajah girang semua orang lalu membawa Kwee Cin turun ke ruang pesta, di mana Kwee Cin disambut dengan ucapan selamat dari semua orang yang hadir. Tiba-tiba terdengar suara girang
"Kwee Cin...?"
Anak ini menengok dengan wajah berseri, lalu berseru,
"Kamangis!!"
Keduanya lalu berlari saling menghampiri dan saling berpegang lengan dengan wajah girang sekali.
"Kamangis, kau sudah berada di sini?"
Tanya Kwee Cin.
"Aku suka sekali ikut Ayah Bundamu, mereka orang-orang baik sekali!"
Jawab Kamangis.
"Ayahmu juga seorang baik, Kamangis,"
Kata Kwee Cin. Ma Hoa dan Kwee An yang mendengar ini menjadi amat terharu dan juga girang. Akan tetapi tiba-tiba Kam Wi berdiri dan berkata dengan suara lantang,
"Kebetulan sekali, Kwee-Kongcu telah tertolong dan terampas kembali. Besok pagi-pagi kita boleh serbu Benteng orang-orang Mongol dan kita gunakan Putera dari Malangi Khan ini sebagai perisai! Ha-ha-ha! Malangi Khan kali ini tentu akan dapat dihancurkan segala-galanya."
"Tidak boleh!"
Tiba-tiba Ma Hoa menarik Kamangis dalam pelukannya dan sambil memandang ke depan dengan sepasang matanya yang tajam, nyonya ini berkata.
"Siapapun juga tidak boleh mengganggu Kamangis! Dia datang di sini karena dibawa Pendekar Bodoh dan kini berada dalam perlindunganku! Siapapun juga tidak bisa mengganggunya dan aku akan mengembalikannya kepada Ayah Bundanya dengan baik-baik, karena orang tuanya pun telah memperlakukan anakku dengan baik pula. Siapa pun boleh tidak menyetujui omonganku, dan kalau ada yang hendak mengganggu Kamangis, boleh coba-coba mengalahkan sepasang senjataku!"
Sambil berkata demikian dengan sekali gerakan Ma Hoa telah mencabut sepasang Bambu runcingnya yang terkenal lihai. Sikapnya amat gagah dan membikin orang menjadi jerih juga melihatnya! Kam Wi adalah seorang yang berdarah panas. Mendengar ucapan ini ia sudah melotot dan hendak maju mendebat, akan tetapi tiba-tiba Kam Liong yang tidak menghendaki perpecahan, segera maju dan menjura kepada Ma Hoa dan berkata dengan suara lemah-lembut dan sikap sopan santun.
"Mohon Toanio sudi memaafkan, Pamanku tadi hanya mengeluarkan kata-kata yang ditujukan karena kebenciannya kepada Malangi Khan yang sudah menyerang negara kita. Siauwte dapat memaklumi perasaan Toanio terhadap anak ini setelah Kwee-Kongcu bebas dari Benteng orang Mongol, dan kiranya diantara kita juga tidak ada yang ingin mencelakakan Pangeran Kamangis yang masih kecil dan tidak berdosa sesuatu. Akan tetapi, oleh karena putera Toanio telah tertolong sedangkan Putera Mahkota Mongol ini masih tertahan di sini, tentu saja Malangi Khan takkan tinggal diam dan bala Tentara Mongol sewaktu-waktu bisa menyerang pertahanan kita dan hal ini amat berbahaya. Oleh karena itu, sebelum mereka menyerang, kita harus mendahului mereka menyerang Benteng mereka dan sesungguhnya..."
Ia melirik ke arah Pangeran Kamangis.
"sesungguhnya dengan adanya Pangeran Mongol ini di sini kita telah mendapatkan kemenangan perasaan yang amat besar. Sangat boleh jadi bahwa Malangi Khan akan menyerah dan takluk tanpa perang karena puteranya berada di dalam kekuasaan kita. Maka demi kepentingan negara dan demi kemenangan kita, harap Toanio menahan dulu anak itu, jangan dikembalikan kepada Malangi Khan sebelum selesai perang ini."
Ma Hoa menggeleng-geleng kepalanya.
"Aku tidak setuju dengan cara-cara yang licik itu! Aku memang tidak tahu tentang siasat perang akan tetapi Ayahku dahulu juga seorang Panglima perang dan karena semenjak kecil aku dididik kegagahan, maka aku menghargai kegagahan dan keadilan. Di dalam pertempuran maupun perang besar, aku lebih mengutamakan kegagahan dan keadilan dan tidak suka menggunakan cara-cara yang curang dan licik. Apakah kita takut terhadap bala Tentara Mongol maka harus menggunakan kecurangan? Lebih baik kalah dengan cara gagah perkasa dari pada, menang dengan menggunakan akal curang!"
Merahlah muka Kam-Ciangkun mendengar ucapan ini, akan tetapi karena Pendekar Bodoh melihat betapa kedua pihak telah memerah muka, ia cepat maju dan sambil tersenyum, Cin Hai berkata,
"Sebetulnya tidak ada urusan sesuatu yang harus diributkan. Biarlah besok pagi-pagi aku pergi ke Benteng Malangi Khan dan mengajak bicara dengan baik. Syukur kalau ia bisa mengakhiri perang ini dengan damai, karena betapapun juga kalau terjadi perang tentu akan mengorbankan banyak manusia. Perlukah kematian dan kehancuran ini kita hadapi kalau di sana terdapat jalan lain ke arah perdamaian?"
Semua orang menyatakan setuju dengan usul ini dan urusan Pangeran Kamangis itu selanjutnya tidak disinggung-singgung lagi, pesta perjamuan berjalan terus sedangkan Kamangis dan Kwee Cin bicara dengan amat gembiranya di dalam kamar mereka. Dua orang anak ini memang merasa amat cocok dan watak mereka sama pula, gembira dan suka akan kegagahan. Pada keesokan harinya, baru saja Cin Hai keluar dari Benteng untuk melakukan tugasnya, yaitu mencari Malangi Khan membicarakan tentang Putera Mahkota yang masih tertahan di Benteng Alkata-San, tiba-tiba dari depan ia melihat debu mengebul tinggi. Cepat Pendekar Bodoh menyelinap di belakang sebatang pohon dan memandang ke depan.
Ternyata yang datang adalah sepasukan berkuda, terdiri dari kurang lebih lima puluh orang. Di depan sendiri, menunggang seekor kuda bulu putih yang besar dan kuat, adalah Malangi Khan yang berwajah muram dan keningnya berkerut. Melihat bahwa yang datang hanya sepasukan kecil, maka Cin Hai maklum bahwa Malangi Khan hendak mendatangi Benteng bukan dengan maksud menyerang, maka ia lalu melompat keluar dari balik pohon itu dan menghadang di jalan sambil mengangkat tangannya. Ketika Malangi Khan melihat Pendekar Bodoh, ia memberi perintah berhenti dan ia cepat melompat turun dari kudanya, berlari menghampiri Cin Hai. Begitu datang, dengan wajah merah saking marahnya, Raja Mongol itu menudingkan telunjuknya kepada Pendekar Bodoh dan berkata,
"Tidak kusangka bahwa Pendekar Bodoh adalah seorang yang tidak bisa dipercaya mulutnya, seorang yang mudah melanggar janji!"
Cin Hai sudah mengerti mengapa Raja Mongol ini datang-datang begitu marah dan gemas, maka ia lalu menjura dan berkata dengan senyum simpul,
"Malangi Khan, kebetulan sekali aku pun sedang menuju ke Bentengmu untuk bicara tentang puteramu."
"Kembalikan puteraku, kalau tidak, demi nenek moyangku, aku akan mengerahkan seluruh bangsaku untuk menerjang ke Selatan sampai orang terakhir. Akan kubumi-hanguskan setiap jengkal tanah di Selatan!"
"Sabar, sabar, Khan yang baik. Seorang Raja yang besar tidak demikian mudah dikuasai oleh nafsu marah. Dengarlah dulu, sesungguhnya tentang keponakanku Kwee Cin, bukan akulah yang merampasnya, maka jangan dikira bahwa Pendekar Bodoh tidak memegang janji."
"Biarpun bukan kau, tentu kawan-kawanmu atas perintahmu!"
Cin Hai menggeleng kepala.
"Sayang sekali bukan, Khan yang mulia. Aku tidak tahu-menahu tentang perampasan kembali anak itu. Akan tetapi sudahlah, anak itu sudah kembali kepada Ayah Bundanya, adapun puteramu sedang bermain-main dengan anak itu dibawah perlindungan Kwee An dan isterinya yang amat mencintainya!"
"Puteraku tidak diganggu? Kamangis tidak apa-apa?"
Tanya Khan ini dengan muka gelisah.
"Siapa yang akan berani mengganggu puteramu kalau Ibu dari Kwee Cin menantang setiap orang yang akan mengganggunya? Ketahuilah, Ibu dari anak yang tertawan di Bentengmu itu, bersedia mengorbankan nyawanya untuk melindungi puteramu!"
Cin Hai dengan sejujurnya lalu menceritakan tentang pembelaan Ma Hoa terhada Kamangis sehingga Kaisar Mongol ini menjadi terharu sekali.
"Maafkan aku, Pendekar Bodoh. Aku telah meragukan kegagahanmu dan sifat ksatriamu! Di mana anakku?"
Kata Malangi Khan dengan terharu sambil memegang lengan tangan Cin Hai.
"Malangi Khan, apakah ini berarti bahwa selanjutnya kau akan mengaku sahabat kepadaku?"
"Tentu, bahkan kuakui kau dan saudara-saudaramu sebagai sanak saudaraku sendiri. Lebih dari itu, aku menyerahkan Kamangis putera tunggalku itu sebagai muridmu!"
Melihat sikap sungguh-sungguh dari Malangi Khan, Cin Hai merasa girang sekali dan bertanya lagi,
"Tidak hanya aku dan saudara-saudaraku, akan tetapi rakyat Tiongkok seluruhnya, maukah kau menganggapnya sebagai saudara? Kau takkan mengganggu mereka lagi, takkan menyerang ke Selatan lagi?"
"Tidak, tidak! Dengan adanya orang-orang seperti engkau, aku merasa malu kalau harus menyerang ke Selatan. Biarlah, aku lupakan pembunuhan yang sudah-sudah, yang dilakukan oleh Tentara-Tentara Selatan di perbatasan Utara. Aku akan mengunjungi Kaisarmu, akan mengirim bulu ternak yang paling halus sebagai tanda penghargaan."
Kini Cin Hai yang memegang lengan Malangi Khan dengan kuat sehingga Kaisar itu meringis kesakitan. Cin Hai yang lupa diri lalu mengendorkan pegangannya dan berkata,
"Malangi Khan kau berjanji untuk membuktikan omonganmu tadi?"
"Tentu saja! Bagiku berlaku ucapan dari bangsamu : It-Gan-Ki-Jut, Su-Ma-Lam-Twi (Sekali perkataan keluar, empat ekor kuda takkan dapat menarik kembali)."
Bukan main girangnya hati Pendekar Bodoh. Tak disangkanya bahwa tugasnya ini terpenuhi dengan demikian mudahnya. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara hiruk-pikuk dari arah belakangnya dan sepasukan besar Tentara Kerajaan yang dipimpin oleh Kam Liong sendiri, dikawani pula oleh semua orang gagah yang berkumpul di Benteng Alkata-San, datang menuju ke tempat itu! Ini adalah gara-gara para penjaga yang melaporkan bahwa Malangi Khan bersama pasukannya yang amat kuat telah datang menyerbu!
Pendekar Bodoh Eps 35 Pendekar Bodoh Eps 18 Pendekar Bodoh Eps 19