Pendekar Remaja 3
Pendekar Remaja Karya Kho Ping Hoo Bagian 3
"Aku mau nonton mereka bertanding catur!"
Kata Goat Lan.
"Akan tetapi Siocia..."
"Ah, Pekhu takkan marah kepadaku!"
Goat Lan memotong.
"Lagi pula, aku pun tidak hendak mengganggu mereka, hanya menonton saja, apakah salahnya?"
Sambil berkata demikian, Goat Lan lalu berlari-lari memasuki ruang tamu yang berada di sebelah kiri. Baru saja tiba di luar ruangan itu, ia telah mencium bau arak yang amat wangi dan suara parau seorang berkata,
"Tianglo, kudamu terjebak! Ha, ha, ha, ha!"
Kemudian suara ini tertawa terbahak-bahak menyatakan kegirangan hati yang luar biasa sekali seperti seorang anak-anak menang dalam sebuah permainan.
"Hm, jangan bergirang-girang dulu, Im-Yang Giok-Cu, biar kukorbankan kuda kurus ini, mendapat ganti seorang perajuritmu pun lumayan juga!"
Terdengar suara lain yang tinggi kecil. Goat Lan tak sabar lagi dan cepat memasuki ruangan itu. Ia melihat dua orang duduk bersila menghadapi papan catur dan keadaan mereka memang aneh, benar seperti penuturan Thian Seng Hwesio tadi. Orang pertama adalah seorang Kakek gundul bertubuh gemuk tinggi bermuka merah, di dekatnya terletak sebuah keranjang kecil berwarna hitam. Melihat bentuk keranjang yang ada gantungannya ini, Goat Lan maklum bahwa inilah sebuah keranjang yang biasa digunakan oleh para Hwesio untuk mencari dan mengumpulkan daun-daun obat, dan selain keranjang obat ini, nampak juga sebuah pisau pemotong daun dan akar yang bentuknya panjang dan tipis.
Orang ke dua juga aneh, tubuhnya kecil pendek dan pakaiannya menunjukkan bahwa ia seorang penganut Agama Tao. Seperti orang pertama, Kakek ini pun usianya kurang lebih lima puluh tahun. Sambil menghadapi papan caturnya, tiada hentinya Tosu ini minum arak dari sebuah Ciu-Ouw (Tempat Arak) yang bentuknya seperti buah labu, akan tetapi cugi arak ini terbuat dari logam yang kekuning-kuningan seperti emas. Dari sinilah tersiarnya bau arak wangi tadi. Melihat bentuk tubuh orang-orang ini, Goat Lan menduga bahwa yang suaranya kecil tentu Si Tosu Pendek ini. Akan tetapi ia salah duga dan menjadi terheran dan juga geli ketika mendengar Hwesio tinggi besar itu bicara dengan suara yang amat kecil dan tinggi.
"Im-Yang Giok-Cu, kalau kau tidak mengurangi kesukaanmu minum arak, tentu kelak kau akan menderita penyakit dalam perutmu."
Tosu itu tertawa dan menjawab dengan suaranva yang parau.
"Sin-Kong Tianglo, kau boleh memberi nasihat kepada pemabok-pemabok yang lemah, akan tetapi kalau kau memberi nasihat tentang minum arak kepadaku, sungguh lucu!"
Kembali ia tertawa.
"Aku tahu bahwa kau berjuluk Ciu-Cin-Mo (Iblis Arak), akan tetapi betapapun juga, kau hanyalah seorang manusia biasa dengan perut biasa pula. Agaknya kau tidak menghendaki usia panjang."
Mendengar percakapan dan melihat sikap mereka, agaknya permainan catur itu telah mempengaruhi mereka sehingga mereka menjadi panas!
"Sin-Kong Tianglo, kau tukang obat tua! Sudah kukatakan, aku tidak butuh pertolongan dan nasihatmu. Lebih baik kau curahkan perhatianmu kepada rajamu. Nah, lihat, rajamu terancam bahaya maut, Ha, ha, ha!"
Sambil berkata demikian, ia menggerakkan biji caturnya dan memang benar, kedudukan Raja dari barisan catur Hwesio itu terancam bahaya dan terdesak sekali.
Mereka kembali memperhatikan papan catur dengan penuh ketekunan, sehingga keadaan menjadi sunyi dan bunyi pernapasan kedua orang itu terdengar nyata. Goat Lan merasa heran sekali mengapa bunyi pernapasan kedua Kakek itu demikian panjang dan lama! Memang kedudukan Raja hitam dari Hwesio itu amat terdesak dan terancam sehingga Hwesio itu menatap papan caturnya dengan jidat dikerutkan. Sampai lama ia tidak dapat menjalankan biji caturnya untuk melindungi atau menolong rajanya, sedangkan Si Tosu memandang dengan bibir tersenyum mengejek, akan tetapi ia juga tidak melepaskan pandang matanya dari papan catur. Nampaknya kedua orang itu sedang asyik sekali dan sama sekali tidak mempedulikan kedatangan Goat Lan yang kini telah mendekat dan menonton permainan itu sambil duduk bersila pula.
"Gerakkan Benteng melindungi raja!"
Tiba-tiba suara Goat Lan yang nyaring dan merdu terdengar. Melihat betapa Raja hitam terdesak, tak terasa pula anak ini membuka mulut memberi jalan. Hwesio itu yang tadinya tak bergerak bagaikan patung, kini bibirnya bergerak-gerak dan sungguhpun ia tidak tahu apakah baiknya gerakan ini karena dengan demikian Bentengnya akan terancam dan dimakan oleh kuda lawan, akan tetapi oleh karena ia telah kehabisan jalan, ia lalu menggerakkan tangannya dan menggeser kedudukan Benteng menutup rajanya. Ia melakukan ini tanpa menoleh sedikit pun kepada Goat Lan. Tosu itu tercengang ketika Si Hwesio benar-benar menggerakkan Bentengnya, kemudian sambil tertawa bergelak ia lalu makan Benteng itu dengan kudanya.
"Benteng telah kurampas! Ha, ha, ha, kedudukanmu makin lemah, Tianglo! Ha, ha, ha!"
Tosu Kate itu tertawa senang. Akan tetapi suara ketawanya itu diputus oleh suara Goat Lan yang berseru girang,
"Berhasil jebakan memancing kuda keluar kandang! Lekas geser Menteri menyerang kedudukan Raja musuh!"
Bukan main girangnya hati Hwesio itu. Tadinya memang ia tidak mengerti apakah kebaikannya memajukan Benteng yang hanya diberikan dengan cuma-cuma kepada kuda lawan, tak tahunya bahwa dengan gerakannya memancing itu, kuda lawan meninggalkan depan Raja sehingga kedudukan Raja merah menjadi terbuka, memungkinkan Menterinya untuk menyerang!
"Bagus, bagus!"
Katanya girang sambil mengajukan Menterinya yang kini seakan-akan menodong dada Raja lawan dengan pedang.
"Rajamu sekarang terjepit, Im-Yang Giok-Cu. Bagus!"
Wajah Tosu yang tadinya tersenyum-senyum girang itu tiba-tiba menjadi masam dan dengan mulut cemberut ia menundukkan kepala, menatap papan catur dengan bingung karena kini benar-benar kedudukan rajanya menjadi terdesak hebat! Sampai beberapa lama ia diam tak bergerak, bahkan lupa untuk minum araknya. Memang sesungguhnya kepandaian bermain catur kedua Kakek ini masih amat rendah sehingga tiap kali Raja mereka terancam bahaya, mereka menjadi bingung, tidak tahu harus menggerakkan biji catur yang mana!
"Ha, Im-Yang Giok-Cu, hayo gerakkan biji caturmu! Atau kau menerima kalah saja dan memberi Im-Yang Sin-Na (nama ilmu-silat) kepadaku?"
Hwesio gemuk itu berkata dengan wajah girang. Tosu itu tidak menjawab, hanya mencurahkan seluruh perhatian kepada papan catur, memutar otak mencari jalan keluar bagi rajanya.
"Menteri setia bergerak melindungi raja, kalau perlu mengadu jiwa dengan Menteri musuh!"
Tiba-tiba Goat Lan berkata lagi sekarang membantu Tosu itu! Anak ini merasa tak sabar sekali mengapa kedua Kakek ini begitu bodoh dalam permainan catur sehingga serangan yang demikian ringan saja sudah membuat mereka tak berdaya! Bercahayalah wajah Tosu kecil itu.
"Ha, ha, benar! Itulah jalan terbaik. Ha, ha, ha! Hayo, Tianglo, kalau berani, kita bersama korbankan Menteri!"
Ia lalu menggeser Menterinya ke kiri dan melindungi Raja merah daripada ancaman Menteri hitam. Hwesio itu menjadi penasaran dan mengerling ke arah Goat Lan tanpa menoleh. Kemudian ia memandang ke arah papan catur lagi dan berkata dengan suaranya yang tinggi.
"Memang zaman sekarang ini zaman buruk! Anak-anak saja sudah kehilangan kesetiaannya, suka mengkhianati ke sana ke mari! Sungguh sayang!"
Goat Lan adalah seorang anak yang berotak cerdik dan ia telah banyak membaca-baca kitab-kitab kuno yang berisi filsafat-flisafat dan kata-kata yang bermaksud dalam. Maka ucapan Hwesio itu sungguhpun hanya menyindir, namun Goat Lan dapat menangkap maksudnya dan tahu bahwa dialah yang dianggap tidak setia karena baru saja membantu Hwesio itu, kini berbalik membantu Si Tosu! Ia lalu menggunakan pikirannya mengingat-ingat dan mencari-cari kata-kata yang tepat untuk menjawab sindiran ini, kemudian ia berkata dengan suara nyaring, seakan-akan membaca kitab dan tidak ditujukan kepada siapapun juga.
"Membantu yang terdesak, ini baru adil namanya! Berlaku lurus tidak berat sebelah, ini baru bijaksana!"
Ini adalah ujar-ujar kuno yang hanya dikenal oleh mereka yang pernah membaca kitab-kitab peninggalan para pujangga zaman dahulu. Mendengar ujar-ujar ini diucapkan oleh seorang anak perempuan kecil, kedua orang Kakek itu tercengang dan keduanya lalu mengerling ke arah Goat Lan dan untuk beberapa lama mereka melupakan pemainan caturnya dan melirik dengan penuh perhatian.
"Otak yang baik!"
Si Hwesio memuji.
"Sayang agak lancang!"
Sambil berkata demikian, tiba-tiba tanpa menggerakkan tubuh, duduknya telah menggeser dan kini ia membelakangi Goat Lan!
"Benar-benar pandai!"
Si Tosu juga memuji.
"Sayang ia perempuan!"
Dan Tosu ini pun tanpa menggerakkan tubuh, tahu-tahu telah menggeser pula menghadapi Hwesio itu. Melihat gerakan mereka ini, Goat Lan menjadi bengong. Bagaimanakah orang dapat pindah duduknya tanpa menggerakkan tangan dan kaki? Seakan-akan mereka itu duduk di atas roda-roda yang dapat menggelinding dengan sendirinya.
Akan tetapi, anak yang cerdik ini dapat menduga bahwa mereka tentulah orang-orang pandai yang menggunakan semacam tenaga dalam yang luar biasa sehingga tubuh mereka itu dalam keadaan bersila dapat pindah tempat. Dan di samping kecerdikannya, Goat Lan memang nakal dan memiliki watak yang tak mau kalah. Kini ia duduk di belakang Hwesio yang gemuk itu sehingga tak dapat melihat papan catur. Untuk bangun dan berpindah tempat, ia merasa malu. Maka ia lalu mengendurkan kedua kakinya menempel pada lantai. Kemudian ia menggerakkan tenaga pada kedua kaki dan mengerahkan Ginkangnya, maka tiba-tiba tubuhnya yang kecil itu mencelat naik dan turun di sebelah kanan Hwesio itu sehingga kedudukannya menjadi seperti tadi dan ia dapat melihat papan catur itu seperti tadi!
"Ah, tidak jelek!"
Kata Hwesio gemuk itu.
"Bagus!"
Si Tosu juga memuji.
"Inilah murid yang pantas untukku!"
Kata pula Hwesio itu.
"Tidak! Sudah lama aku ingin mendapatkan murid, dia inilah orangnya!"
Kini kedua orang Kakek itu
(Lanjut ke Jilid 03)
Pendekar Remaja (Seri ke 04 - Serial Pendekar Sakti)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 03
saling pandang dan kembali mereka menjadi panas hati. Kalau tadi mereka panas karena permainan catur, kini mereka menjadi panas karena hendak memperebutkan Goat Lan sebagai murid. Sementara itu Goat Lan diam saja seakan-akan tidak mengerti apa yang dibicarakan oleh kedua orang Kakek itu.
"Im-Yang Giok-Cu, mari kita lanjutkan permainan catur ini dan siapa yang menang, ia berhak mendapatkan murid ini."
"Boleh, boleh! Sekarang giliranmu, hayo kau teruskan!"
Sin Kong Tianglo lalu menggerakkan biji caturnya, dan Goat Lan mulai memperhatikan lagi, siap membantu yang terdesak. Akhirnya kedua orang Kakek itu selalu mendapat petunjuk dari Goat Lan dan setelah biji-biji catur mereka tinggal sedikit dan pertandingan itu makin sulit dan ramai, mereka keduanya hanya merupakan tukang menggerakkan biji catur saja dan yang menjadi pengaturnya adalah Goat Lan!
Memang anak ini ahli main catur, maka ia dapat mengatur siasat yang amat baik sehingga pertandingan itu berjalan ramai, saling mendesak dengan hebat. Kedua orang Kakek itu merasa tegang karena seringkali Raja mereka terkurung, akan tetapi juga seringkali mendesak lawan sehingga seakan-akan merekalah yang bertanding, bukan biji-biji catur. Betapapun juga, yang menjadi pengatur adalah Goat lan yang benar-benar tidak berat sebelah, maka setelah bertanding sampai hari menjadi gelap dan malam telah tiba, keadaan pertandingan itu masih sama kuatnya! Mereka bertiga, Hwesio, Tosu dan anak perempuan itu, demikian asyik dan tekun sehingga mereka tidak melihat bahwa ruang itu telah penuh dengan para Hwesio yang menonton pula pertandingan catur aneh itu!
Tak seorang pun diantara mereka berani menegur, hanya Thian Tiong Hosiang yang memandang khawatir kepada keponakannya. Sebagai seorang yang berpengalaman, ia dapat menduga bahwa kedua orang Kakek itu bukan sembarang orang, dan ia takut kalau-kalau seorang di antara mereka yang kalah akan menjadi marah. Akan tetapi Goat Lan benar-benar pandai. Ia mengatur sedemikian rupa sehingga pada akhlr pertandingan, kedudukan keduanya sama lemah sama kuat, yakni yang tinggal hanyalah si Raja merah dan si Raja hitam! Hal ini berarti bahwa pertandingan itu berakhir dengan sama kuat, tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang! Thian Tiong Hosiang menarik napas lega dan hendak menghampiri mereka, akan tetapi tiba-tiba Si Tosu Kate itu melompat berdiri dan berkata,
"Sin Kong Tianglo, kau harus mengalah dan biarkan aku mendidik anak ini."
Hwesio gemuk itu bangun berdiri dengan tenang dan mengambil keranjang obat serta pisaunya, lalu berkata,
"Enak saja kau bicara, Im-Yang Giok-Cu. Bukankah kita berjanji bahwa siapa yang menang dia berhak menjadi guru anak ini?"
"Akan tetapi dalam permainan catur kita tidak ada yang kalah dan yang menang!"
Seru Si Tosu. Hwesio itu tersenyum.
"Apakah kita hanya dapat bermain catur dan tidak memiliki ilmu kepandaian lain? Kita belum mencoba kepandaian yang lain untuk menentukan kemenangan."
"Ho, ho! Kau mau mengajak main-main? Baiklah, mari kita mencari penentuan di luar!"
Kata Tosu itu sambil melangkah keluar, membawa guci araknya.
"Aku ingin merasakan kelihaianmu!"
Kata Hwesio itu yang juga bertindak keluar sambil membawa keranjang obat dan pisaunya. Sementara itu, ketika mendengar kedua orang Kakek itu menyebut nama masing-masing, Thian Tiong Hosiang menjadi terkejut sekali. Ia segera melangkah maju dan memegang lengan Goat Lan sambil berkata,
"Goat Lan kau telah mendatangkan onar! Lekas kau pulang dengan cepat, biar diantar oleh seorang Suhu!"
"Tidak, Pekhu, aku mau nonton mereka bertanding!"
"Eh, anak nakal!"
Kata Thian Tiong Hosiang dengan bingung, karena tadi ia mendengar betapa dua orang Kakek yang lihai ini memperebutkan Goat Lan untuk diambil murid.
"Kau harus pulang, biar aku sendiri mengantarmu!"
Akan tetapi tiba-tiba Goat Lan membetot tangannya dan lari melompat ke dalam gelap! Thian Tiong Hosiang yang merasa khawatir kalau-kalau keponakannya itu akan menimbulkan keributan, dan juga tidak ingin melihat ia pulang seorang diri ke dalam Kota pada malam hari yang gelap itu, lalu berkata kepada para Hwesio yang berada di situ,
"Cari dia dan antarkan pulang ke Kota!"
Sedangkan ia sendiri dengan langkah lebar lalu keluar hendak melihat apakah yang dilakukan oleh kedua orang Kakek itu.
Karena malam amat gelap sedangkan pekarangan di sekeliling Kelenteng itu amat luas dengan kebun bunga dan kebun-kebun sayurnya, maka para Hwesio yang mencari Goat Lan menggunakan obor. Akan tetapi dicari-cari kemanapun juga, tidak nampak bayangan Goat Lan! Ketika para pencari yang memegang obor itu tiba di halaman tengah, mereka rnelihat betapa dua orang Kakek itu sedang bertanding di dalam gelap, maka mereka menjadi tertarik dan berkerumun menonton pertandingan itu sehingga keadaan di situ menjadi terang sekali. Mereka telah lupa untuk mencari anak nakal tadi! Thian Tiong Hosiang sendiri ketika melihat betapa kedua orang Kakek itu bertempur, telah berkali-kali berseru kepada mereka agar supaya menghentikan pertempuran itu, akan tetapi kedua orang Kakek itu sama sekali tidak mau mendengarnya. Thian Tiong Hosiang menjadi bingung sekali.
Hendak turun tangan memisah, biarpun ia memiliki ilmu silat yang cukup tinggi, akan tetapi ia maklum bahwa kepandaiannya itu dapat disebut amat rendah apabila dibandingkan dengan kedua orang Kakek itu. Apalagi ketika ia mendengar dari para Hwesio bahwa Goat Lan tidak dapat ditemukan, kebingungan dan kegelisahannya bertambah, maka ia lalu keluar dari Kelenteng, lalu mempergunakan ilmu lari cepat menuju ke Tiang-An, mencari adiknya, Kwee An atau Ayah Goat Lan! Sementara itu, Goat Lan yang tadi melarikan diri ketika hendak dipaksa pulang oleh Pekhunya, sebetulnya tidak pergi jauh. Anak yang nakal ini mempergunakan kegelapan malam untuk cepat bersembunyi di balik batang pohon besar yang banyak tumbuh di sekitar Kelenteng itu, kemudian ketika banyak Hwesio mencarinya, ia memanjat pohon besar dan melompat ke atas genteng.
Dengan bersembunyi di atas genteng, ia mengintai ke bawah, melihat kesibukan orang-orang di bawah dan melihat pula pertempuran antara kedua orang Kakek itu yang berlangsung dengan amat ramainya, jauh lebih ramai daripada pertandingan catur tadi! Sebetulnya, siapakah kedua orang Kakek itu dan mengapa Thian Tiong Hosiang terkejut mendengar nama mereka? Tidak heran bahwa Thian Tiong Hosiang merasa terkejut, oleh karena nama-nama itu adalah nama-nama tokoh besar dunia persilatan yang tak asing lagi bagi orang-orang yang hidup di dunia kang-ouw. Sin Kong Tianglo, Hwesio yang gemuk tinggi itu, adalah seorang tokoh besar yang terkenal sekali dari Pegunungan Go-Bi-San. Selain ilmu silatnya yang amat tinggi dan lihai, ia juga terkenal dengan kepandaiannya sebagai ahli pengobatan sehingga untuk kepandaian ini ia mendapat julukan Yok-Ong (Raja Obat).
Biarpun tempat Pertapaannya di Pegunungan Go-Bi-San, akan tetapi jarang ada orang yang dapat bertemu dengannya, karena ia banyak merantau ke gunung-gunung mencari daun-daun dan akar-akar obat yang kemudian dipergunakan untuk menolong orang-orang yang menderita sakit. Ke mana saja ia pergi, tentu ia akan mempergunakan ilmunya untuk menolong orang sakit sehingga namanya sebagai ahli pengobatan lebih terkenal daripada namanya sebagai seorang ahli silat. Tosu yang pendek kecil itu, Im-Yang Giok-Cu, tidak kalah ternamanya. Ia seorang tokoh besar dari Pegunungan Kun-Lun dan ilmu kepandaiannya sudah amat dikenal. Tokoh besar ini pun jarang menampakkan diri di dunia ramai dan biarpun ia tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap dan suka merantau ke mana-mana namun ia jarang sekali memperkenalkan diri.
Oleh karena itu, munculnya dua orang tokoh besar ini tentu saja amat mengejutkan hati Thian Tiong Hosiang. Sebetulnya, bukan sengaja kedua orang tokoh besar ini mengadakan pertemuan di Tiang-An. Telah lama sekali Sin Kong Tianglo mendengar nama Pendekar Bodoh sebagai seorang Pendekar terbesar di masa itu dan ketika mendengar bahwa Pendekar Bodoh adalah murid terkasih dari mendiang Bu Pun Su, jago tua tanpa tandingan itu, ia merasa gembira dan ingin sekali mencoba kepandaian Pendekar Bodoh. Dulu pernah ia berhadapan dengan Bu Pun Su dan setelah mengadakan Pibu, (adu kepandaian) sampai seratus jurus lebih, akhirnya ia tidak tahan menghadapi Bu Pun Su dan berjanji hendak mencoba kepandaian lagi sepuluh tahun kemudian.
Sayang bahwa setelah ia melatih diri dan menciptakan ilmu silat yang hebat, ia mendengar bahwa Bu Pun Su telah meninggal dunia, maka kini perhatiannya beralih kepada Pendekar Bodoh yang menjadi murid Bu Pun Su. Karena Keinginan hati inilah, maka Sin Kong Tianglo meninggalkan daerah Go-Bi-San yang luas itu dan turun ke dunia ramai. Ia mendengar bahwa Pendekar Bodoh berada di Kota Tiang-An, maka ia lalu menuju ke Kota itu. Di tengah jalan, ketika ia melalui sebuah dusun, ia mendengar suara orang bernyanyi-nyanyi dengan suara yang keras dan parau. Ia merasa heran sekali oleh karena di sekitar tempat itu tidak terdapat orang, dari manakah datangnya suara nyanyian yang hebat ini. Ia melihat beberapa orang berlari-lari seakan-akan ketakutan dan ketika ia menghampiri mereka dan bertanya, seorang di antara penduduk kampung itu menjawab dengan muka pucat.
"Apakah Lo-Suhu tidak mendengar suara nyanyian yang hebat itu?"
"Pinceng mendengar. Siapakah gerangan yang bernyanyi dengan suara seburuk itu?"
"Yang bernyanyi adalah seorang Iblis!"
Tentu saja Sin Kong Tianglo menjadi heran mendengar ini dan ia minta penjelasan lebih lanjut. Ternyata bahwa menurut cerita orang itu, di kampung tersebut muncul seorang Kakek yang tiba-tiba saja berada di atas jembatan kampung dan memenuhi jembatan kecil itu.
Kakek ini minum arak terus-menerus sambil bernyanyi-nyanyi dengan suara yang membuat anak telinga serasa mau pecah. Karena dengan adanya dia yang merebahkan diri sambil bernyanyi-nyanyi di atas jembatan yang kecil itu, lalu lintas menjadi terhalang. Orang-orang telah membujuknya, bahkan berusaha menggusurnya dari jembatan itu! Sin Kong Tianglo menjadi tertarik hatinya dan segera menuju ke tempat itu. Benar saja, melihat seorang Kakek Kate sedang rebah miring di atas jembatan dengan guci di tangan kanan dan bernyanyi-nyanyi. Akan tetapi, wajahnya berubah girang ketika dia melihat Si Kate itu karena dia mengenal orang ini sebagai seorang yang dulu telah dikenalnya baik, yaitu Im-Yang Giok-Cu! Maka ia lalu menegur dan Kakek Kate itu ketika melihat Sin Kong Tianglo, lalu melompat berdiri dan berkata,
"Ha, ha! Sungguh untungku baik sekali! Aku sedang kesepian dan merasa jengkel, kebetulan kau datang! Eh, Tianglo! Beranikah kau main catur denganku?"
Demikianlah, keduanya lalu bercakap-cakap sambil meninggalkan dusun itu dan Im-Yang Giok-Cu mendengar bahwa Hwesio itu hendak mencari Pendekar Bodoh untuk diajak Pibu, ia pun menyatakan keinginannya bertemu dengan Pendekar muda yang namanya telah menggemparkan dunia persilatan itu! Akan tetapi, karena sudah merasa amat kangen kepada permainan catur, mereka lalu menunda perjalanan dan ketika melihat Kelenteng Ban-Hok-Tong, mereka masuk ke dalam dan minta pinjam papan catur, terus saja bertanding catur! Goat Lan yang bersembunyi di atas genteng mengintai pertempuran di bawah dengan muka senang sekali.
Memang ia pun amat suka akan ilmu silat sungguhpun kesukaannya akan ilmu silat tidak sebesar kesukaannya membaca kitab, melukis atau bermain catur! Keadaan di bawah amat terang karena belasan orang Hwesio dengan obor bernyala di tangan, berdiri berkelompok menonton pertandingan, sehingga kegelapan malam terusir pergi, terganti cahaya terang bagaikan siang, sungguhpun kalau orang melihat ke atas, langit hitam ketam tak berbintang sedikit pun. Menurut pandangan Goat Lan yang menonton di atas genteng, kedua Kakek itu melakukan pertandingan dengan cara yang amat aneh. Nampaknya mereka seperti bukan sedang bertempur atau bersilat, akan tetapi seperti dua orang pelawak yang sedang menari-nari dengan lucunya! Im-Yang Giok-Cu menari dengan guci araknya di tangan kanan yang digerakkan lambat dan perlahan seperti orang menyerang,
Sementara itu Sin Kong Tianglo juga menggerakkan pisau pemotong daun di tangan kanan sedangkan tangan kirinya memegang keranjang obat, seakan-akan ia sedang menggunakan pisaunya untuk mencari daun-daun obat! Akan tetapi, sesungguhnya kedua orang Kakek itu bukan sedang main-main, juga bukan sedang menari atau melawak! Oleh karena, biarpun mereka itu bergerak dengan amat lambat seakan-akan bukan sedang bertempur, namun obor yang dipegang tinggi-tinggi oleh para Hwesio itu apinya bergerak-gerak bagaikan tertiup angin besar, padahal pada saat itu daun-daun di atas pohon tak bergerak sama sekali, tanda bahwa tidak ada angin! Kalau saja Goat Lan tidak berada di atas genteng, tentu ia akan merasakan pula apa yang dirasai oleh para Hwesio itu, yaitu angin sambaran dari kedua orang itu sampai mendatangkan hawa dingin pada muka mereka!
Lama juga kedua orang itu bertempur berputar-putaran, tipu dilawan tipu, gerakan-gerakan dilawan gerakan. Sebetulnya, kedua orang itu tidak bertempur untuk saling merobohkan, hanya mengadu kepandaian saja dan oleh karena keduanya maklum akan kelihaian masing-masing, maka tanpa dijanjikan terlebih dahulu, mereka membatasi gerakan mereka dengan tipu-tipu gerakan yang dikeluarkan untuk kemudian dipecahkan oleh yang lain. Dengan demikian, mereka hanya saling serang dengan angin pukulan saja dan siapa yang tak dapat memecahkan sesuatu serangan, berarti kalah tinggi kepandaiannya. Telah lima puluh jurus lebih kedua orang Kakek itu mengeluarkan kepandaian, akan tetapi keduanya sama pandai dan sama tangguhnya.
Im-Yang Giok-Cu terkenal dengan ilmu silatnya Im-Yang Kim-Na-Hwat yang mendasarkan permainannya kepada gerak berlawanan dari Im dan Yang, sehingga tenaga serangannya merupakan perpaduan dari tenaga kasar dan lemas dan lweekangnya telah mencapai puncak yang amat tinggi. Sebaliknya, semenjak dikalahkan oleh Bu Pun Su, Sin Kong Tianglo juga melatih diri sehingga tidak saja tenaga Lweekangnya tidak berada di sebelah bawah tingkat Im-Yang Giok-Cu, akan tetapi ilmu silatnya juga telah maju amat hebatnya. Ilmu silatnya berbeda dengan ilmu silat cabang persilatan Go-Bi-Pai dan bahkan ia telah menciptakan berbagai ilmu pukulan yang belum pernah dilihat orang lain. Pada saat itu, Goat Lan yang sedang menonton dengan hati kurang tertarik karena kelambatan gerakan kedua orang Kakek itu, tiba-tiba mendengar suara Ayahnya dari sebelah belakang,
"Goat Lan, kau sedang berbuat apakah?"
Ia cepat menengok ke belakang dan alangkah heran dan juga girangnya ketika ia melihat bahwa Ayah dan Ibunya juga sudah berdiri di atas genteng, tak jauh di belakangnya! Agaknya Ayah Ibunya telah semenjak tadi berdiri di situ. Memang benar, sesungguhnya Kwee An dan Ma Hoa telah semenjak tadi berdiri di tempat itu, diam-diam memperhatikan jalannya pertempuran dan juga melihat kearah anak mereka dengan hati geli.
Tadinya mereka merasa gelisah juga ketika Thian Tiong Hosiang datang memberi tahu bahwa Goat Lan telah menimbulkan keributan di antara dua orang Kakek yang ternama sekali itu dan bahwa kedua Kakek itu hendak mengambil murid anak mereka, bahkan kini sedang bertempur karena memperebutkan Goat Lan. Mereka merasa gelisah kalau-kalau mereka terlambat dan anak mereka sudah dibawa pergi oleh kedua orang tua aneh itu. Akan tetapi, ketika dengan berlari cepat sekali sehingga Thian Tiong Hosiang tertinggal jauh mereka menuju ke Ban-Hok-Tong, mereka melihat Goat Lan sedang mengintai ke bawah dari atas genteng dengan muka kelihatan jemu dan bosan! Kedua suami isteri ini menjadi lega dan mereka lalu mencurahkan perhatian mereka ke arah dua orang Kakek yang masih saling serang itu. Bukan main terkejut hati Kwee An dan Ma Hoa melihat gerakan-gerakan mereka itu.
"Kepandaian mereka benar-benar hebat!"
Kata Kwee An kepada isterinya. Ma Hoa mengangguk dan menarik napas panjang.
"Memang benar, nama kedua tokoh ini bukan nama kosong belaka."
Goat Lan bangun berdiri dan menghampiri Ayah Ibunya. Mendengar ucapan Ayah Ibunya yang memuji kepandaian dua orang Kakek itu, ia berkata mencela,
"Apanya sih yang hebat? Kepandaian mereka bahkan lebih jelek daripada permainan catur mereka!"
Kwee An dan Ma Hoa sudah mendengar dari penuturan Thian Tiong Hosiang betapa Goat Lan memberi petunjuk-petunjuk kepada dua orang Kakek itu ketika bermain catur, maka mereka tersenyum geli.
"Anak bodoh, ilmu silat yang kau lihat amat lambat itu adalah ilmu silat yang jarang terdapat di dunia ini! Mari kita turun untuk lebih mengenal dua orang tokoh besar itu!"
Kwee An memegang lengan tangan anaknya lalu melompat turun ke bawah bagaikan seekor burung alap-alap menyambar mangsanya, diikuti oleh Ma Hoa yang juga melompat turun dengan indah dan cepatnya. Baik Im-Yang Giok-Cu maupun Sin Kong Tianglo yang memiliki kepandaian tinggi, dapat melihat berkelebatnya dua bayangan orang ini, maka dengan heran mereka lalu berhenti bertempur dan memandang kepada Kwee An dan Ma Hoa yang telah berdiri di hadapan mereka. Kwee An dan Ma Hoa menjura kepada mereka dan Kwee An berkata,
"Ji-wi Locianpwe (Dua Orang Tua Gagah), kami berdua suami isteri yang bodoh telah mendengar bahwa anak kami telah mengganggu Ji-wi, maka sengaja datang menghaturkan maaf!"
"Aha, pantas saja anak ini demikian baik, tidak tahunya Ayah-ibunya lihai dan memiliki kepandaian tinggi!"
Kata Sin Kong Tianglo sambil memandang kagum. Tiba-tiba Im-Yang Giok-Cu teringat akan sesuatu dan bertanya,
"Apakah kau yang bernama Pendekar Bodoh?"
Pertanyaan ini ia tujukan kepada Kwee An sambil memandang tajam. Kwee An tersenyum dan diam-diam ia memuji nama Cin Hai yang sudah begitu terkenal sehingga tokoh besar ini pun sampai mengenalnya pula.
"Bukan, Locianpwe. Pendekar Bodoh adalah adik iparku dan kini ia tinggal di Propinsi An-Hui. Siauwte bernama Kwee An dan Suhu adalah mendiang Eng Yang Cu dari KIm-San-Pai."
Tosu Kate itu mengangguk-angguk,
"Hemm, aku kenal baik kepada Eng Yang Cu ketika dia masih hidup. Bagus, kau sebagai murid KIm-San-Pai, kepandaianmu tidak mengecewakan!"
Diam-diam Im-Yang Giok-Cu terheran karena melihat gerakan melompat turun dari Kwee An tadi, agaknya kepandaian pemuda ini tidak berada di sebelah bawah tingkat kepandaian Eng Yang Cu. Tentu saja ia tidak tahu bahwa setelah menerima pelajaran silat dari Eng Yang Cu, Kwee An masih menerima gemblengan-gemblengan ilmu silat tinggi dari mendiang Kong Hwat Lojin si Nelayan Cengeng, dan juga dari mendiang Hek Moko si Iblis Hitam. Maka apabila dibandingkan, memang ilmu kepandaiannya sudah lebih tinggi dari mendiang Suhunya itu!
"Sayang sekali bahwa Pendekar Bodoh tidak tinggal di sini lagi,"
Kata pula Sin Kong Tianglo sambil menarik napas panjang.
"Biarlah kususul dia ke An-Hui, akan tetapi, melihat bakat anakmu yang amat baik, kuharap kau berdua suami isteri rela memberikan anakmu untuk menjadi muridku."
Pendekar Remaja Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Nanti dulu, Tianglo!"
Kata Im-Yang Giok-Cu.
"Aku pun berhak menjadi guru anak ini, karena pertandingan tadi pun tak dapat dianggap bahwa kau telah menang dariku!"
"Eh, eh, kalau begitu mari kita lanjutkan pertandingan tadi,"
Mengajak Sin Kong Tianglo yang tak mau kalah.
"Ji-wi Locianpwe!"
Tiba-tiba terdengar seruan Ma Hoa yang merasa mendongkol sekali melihat betapa anaknya diperebutkan oleh dua orang Kakek itu.
"Anakku tidak akan menjadi murid siapapun juga, maka tidak seharusnya Ji-wi memperebutkannya!"
Kedua orang Kakek itu tercengang mendengar ucapan ini dan mereka memandang kepada Ma Hoa dengan heran.
"Ah, kau benar-benar seorang Ibu yang tidak sayang kepada anak! Anakmu akan diberi pelajaran ilmu kepandaian tinggi, mengapa kau ribut-ribut menolaknya? Ketahuilah, andaikata kau hendak mencarikan guru bagi anakmu itu, biarpun kau mengelilingi dunia ini, belum tentu akan mendapatkan guru seperti aku atau Sin Kong Tianglo ini!"
Jawab Im-Yang Giok-Cu dengan penasaran. Memang Si Kate ini adatnya agak keras. Kwee An merasa serba salah. Ia maklum akan kekerasan hati isterinya dan tadinya ia memang hendak mempergunakan jalan atau cara yang halus untuk menolak maksud kedua orang Kakek yang hendak mengambil Goat Lan sebagai murid itu. Akan tetapi, siapa tahu, isterinya telah mendahuluinya! Ia segera menjura kepada mereka dan berkata halus,
"Harap Ji-wi sudi memaafkan. Sesungguhnya kami, terutama isteriku, amat berat untuk berpisah dengan anak kami yang hanya satu-satunya ini."
Akan tetapi Sin Kong Tianglo dan Im-Yang Giok-Cu tidak mempedulikannya, bahkan Hwesio itu lalu bertanya kepada Ma Hoa.
"Kalau kau menolak maksud kami mengangkat murid kepada anakmu, habis siapakah yang akan menjadi guru anak ini dan yang akan melatihnya ilmu silat?"
Karena merasa dirinya dipandang rendah, Ma Hoa mengangkat kepalanya dan menjawab,
"Kami sendiri yang akan mendidiknya dan kami sendiri yang akan menjadi gurunya!"
Tiba-tiba kedua orang Kakek itu saling pandang dan tertawa bergelak.
"Im-Yang Giok-Cu, lihatlah! Kalau Ibunya demikian bersemangat, apalagi anaknya! Anak itu sungguh bernasib baik mempunyai seorang Ibu seperti ini!"
Kata Hwesio itu. Kemudian Im-Yang Giok-Cu memandang kepada Ma Hoa dan berkata dengan muka sungguh-sungguh,
"Nyonya muda, kau harus sadar bahwa zaman ini adalah zaman yang buruk. Kekacauan terjadi di mana-mana sedangkan anakmu ini bertulang baik dan patut menjadi calon pendekar! Apakah kau ingin menyia-nyiakan waktu dan kesempatan baik ini? Apakah kau kira akan dapat memberi pelajaran ilmu silat yang lebih baik daripada kami kepada anakmu ini?"
Melihat suasana yang panas itu, Kwee An hendak maju menengah, akan tetapi ia didahului oleh isterinya yang berkata marah,
"Locianpwe berdua terlalu memandang rendah orang lain. Tentang ilmu kepandaian, siapakah yang belum mendengar nama Ji-wi? Aku yang muda memang hanya memiliki sedikit kebodohan, akan tetapi kalau Ji-wi merasa penasaran dan kurang percaya, boleh kita coba dan uji!"
Ucapan ini merupakan tantangan halus! Kwee An merasa menyesal sekali, akan tetapi ucapan telah dikeluarkan dan tak mungkin ditarik kembali! Kedua orang Kakek itu kembali saling pandang dan mereka tertawa gembira.
"Bagus, bagus!"
Kata Im-Yang Giok-Cu.
"Tianglo, kita telah bertemu dengan orang-orang yang bersemangat! Mari coba kepandaian orang-orang muda yang bersemangat besar ini!"
"Nanti dulu,"
Kata Hwesio itu.
"Tantangan orang muda sekali-kali tak boleh ditolak. Akan tetapi, lebih baik diatur begini saja!"
Sambil berkata demikian ia memandang kepada Kwee An dan Mai Hoa.
"Kalian berdua main-main sebentar dengan kami orang-orang tua, kalau kalian anggap bahwa kepandaian kami cukup berharga, kalian harus merelakan anakmu menjadi muridku!"
"Eh, bukan! Menjadi muridku!"
Kata Tosu itu. Kembali mereka bercekcok dan berebutan! Ma Hoa merasa mendongkol sekali.
"Kalau begini, takkan ada habisnya,"
Kemudian Sin Kong Tianglo yang lebih sabar berkata.
"Baiklah diatur begini, Im-Yang Giok-Cu. Kalau kita berdua kalah oleh orang-orang muda ini, berarti memang kepandaian kita masih rendah dan tidak patut menjadi guru. Akan tetapi kalau kita menang, kita berdua menjadi guru anak ini! Bagaimana?"
"Baik sekali!"
Kata Si Kate yang segera berkata kepada Ma Hoa.
"Nah, kalian boleh maju, hendak kami lihat sampai di mana kepandaianmu hingga berani menolak kami sebagai guru-guru anakmu!"
Kedua orang Kakek itu lalu bersiap dan mereka memang memandang ringan karena Kwee An hanyalah murid Eng Yang Cu sedangkan Ma Hoa hanyalah isteri dari jago muda itu, mana bisa memiliki kepandaian tinggi yang menyamai tingkat mereka?
Ma Hoa memberi tanda kepada suaminya yang masih nampak ragu-ragu dan dari pandangan mata isterinya ini Kwee An dapat menerka maksud isterinya. Pertama, memang kedua orang Kakek ini memandang rendah kepada mereka, ke dua, kalau anak tunggal mereka harus menjadi murid orang, terlebih dahulu ia harus membuktikan sampai di mana kelihaian orang itu. Maka berbareng dengan isterinya, ia pun lalu maju menyerang Sin Kong Tianglo, sedangkan Ma Hoa dengan gerakan cepat telah mencabut senjatanya yang aneh, yaitu sepasang Bambu kuning yang panjangnya sama dengan lengannya dan besarnya sebesar Ibu jari tangannya! Begitu sepasang suami isteri itu menyerang, kedua orang Kakek itu berseru karena terkejut dan heran.
Terutama Im-Yang Giok-Cu yang menghadapi Ma Hoa, karena nyonya muda itu dengan amat cepatnya menggerakkan sepasang Bambu runcingnya, yang kiri menyambar arah leher sedangkan yang kanan melesat menuju ke pusar. Dua serangan yang luar biasa sekali karena yang diarah adalah jalan-jalan darah yang berbahaya. Juga Sin Kong Tianglo yang diserang oleh Kwee An yang menggunakan ilmu silat warisan Hek Moko, menjadi terkejut melihat betapa tangan kanan Kwee An melancarkan pukulan ke arah lambung, sedangkan tangan kiri pemuda itu diulur dengan jari terbuka mencengkeram pundak! Keduanya cepat mengelak dan mengebutkan lengan baju untuk menolak dan membikin terpental tangan kedua suami isteri itu, akan tetapi ternyata bahwa Kwee An yang ditangkis hanya miring kedudukan kuda-kudanya sedangkan Ma Hoa bahkan tidak terpengaruh oleh tangkisan ujung baju Im-Yang Giok-Cu.
"Hebat sekali!"
Seru Im-Yang Giok-Cu yang segera menurunkan guci araknya yang tadi digantungkan di punggung, dan kini ia lalu menyerang dengan guci araknya ke arah kepala Ma Hoa!
"Lihai juga!"
Sin Kong Tianglo juga berseru memuji dan Kakek ini lalu melanjutkan kata-katanya.
"Orang muda, cabutlah pedangmu itu, hendak kulihat sampai di mana kelihaianmu!"
Kwee An tidak ragu-ragu lagi dan segera mencabut pedangnya yang luar biasa, yaitu pedang Oei-Kang-Kiam yang bersinar kekuning-kuningan karena terbuat dari logam yang disebut baja kuning, karena itulah diberi nama Oei-Kang-Kiam (Pedang Baja Kuning).
Pedang ini adalah pemberian puteri kepala suku bangsa Haimi yang bernama Meilani dan yang jatuh cinta kepadanya sebelum ia menikah dengan Ma Hoa (baca Pendekar Bodoh). Kemudian ia menyerang lagi yang disambut oleh Sin Kong Tianglo dengan pisau dan keranjang obatnya. Pertempuran berjalan berat sebelah dan sefihak, oleh karena ternyata bahwa kedua orang Kakek itu sama sekali tidak menyerang, hanya mempertahankan diri saja, karena memang mereka hanya bermaksud menguji kepandaian suami isteri itu. Akan tetapi setelah bertempur beberapa puluh jurus lamanya, makin heranlah mereka berdua. Sin Kong Tianglo mendapat kenyataan bahwa Ilmu Pedang dari Kwee An benar-benar luar biasa dan tingkat kepandaian orang muda ini tidak kalah oleh tingkat kepandaian Eng Yang Cu, tokoh KIm-San-Pai. Juga Ilmu Pedang Kwee An biarpun sebagian menunjukkan pelajaran KIm-San-Pai,
Namun tercampur dengan Ilmu Pedang lain yang aneh dan dahsyat! Memang, Kwee An telah mencampur-adukkan Ilmu Pedangnya dengan pelajaran-pelajaran yang ia terima dari Nelayan Cengeng dan Hek Moko. Yang lebih-lebih merasa heran adalah Im-Yang Giok-Cu. Begitu tadi Ma Hoa menyerangnya dengan sepasang Bambu kuning ia telah merasa heran dan terkejut, karena senjata macam ini setahunya hanya dimiliki oleh seorang tokoh besar dari Timur, yakni Hok Peng Taisu. Akan tetapi ia masih meragukan dugaannya ini dan melayani nyonya muda itu dengan guci araknya. Tidak disangkanya, permainan Bambu kuning yang di kedua tangan nyonya muda ini demikian hebatnya sehingga ia harus berlaku cepat dan gesit karena tubuhnya terkurung oleh ujung-ujung Bambu kuning yang agaknya berubah menjadi puluhan batang banyaknya itu!
"Tahan dulu!"
Im-Yang Giok-Cu berseru sambil melompat mundur, diturut oleh Sin Kong Tianglo.
Biarpun baru bertempur puluhan jurus, baik Kwee An maupun Ma Hoa maklum bahwa ilmu kepandaian kedua orang Kakek ini benar-benar hebat dan masih lebih tinggi daripada tingkat mereka. Buktinya, selama itu mereka tak pernah membalas, dan hanya menangkis dan mengelak saja, dan pertahanan mereka begitu kuat biarpun gerakan mereka nampak lambat sehingga pedang di tangan Kwee An dan Bambu kuning di tangan Ma Hoa seakan-akan menghadapi Benteng baja yang kuat! Maka mendengar seruan Im-Yang Giok-Cu, mereka pun menahan senjata masing-masing. Para Hwesio dan juga Thian Tiong Hosiang yang semenjak tadi menonton dan berdiri di situ, merasa kagum dan tidak ada yang mengeluarkan suara.
"Toanio, apakah kau murid Hok Peng Taisu?"
Ma Hoa menjura dan menjawab,
"Benar Locianpwe, Hok Pek Taisu adalah Suhuku."
Im-Yang Giok-Cu tiba-tiba tertawa bergelak dengan suaranya yang parau dan besar.
"Ha, ha, ha, inilah yang disebut kalau belum bertanding belum kenal dan tahu! Ketahuilah, bahwa aku adalah Sute (Adik Seperguruan) dari Suhumu!"
Ma Hoa terkejut sekali, karena memang Suhunya tak pernah mau menuturkan riwayatnya sehingga ia belum pernah tahu bahwa Suhunya itu mempunyai seorang sute, bahkan sebenarnya Hok Peng Taisu mempunyai pula seorang Suheng (kakak seperguruan). Ia percaya penuh kepada orang tua ini karena tak mungkin orang berilmu tinggi seperti dia itu mau mendusta. Namun, Im-Yang Giok-Cu tersenyum dan melanjutkan,
"Tentu kau kurang percaya kalau belum dibuktikan. Memang ilmu Bambu kuning itu adalah ciptaan Suhengku sendiri sehingga aku tidak dapat memainkannya. Akan tetapi ketahuilah bahwa dasar-dasar ilmu silat Bambu runcing itu adalah ilmu silat Im-Yang Kun-Hwat dari cabang kami. Sekarang marilah kita main-main sebentar, kalau dalam sepuluh jurus aku tidak dapat mengalahkan kau, jangan kau mau percaya bahwa aku adalah Susiok (Paman Gurumu) sendiri!"
Ma Hoa sebetulnya sudah percaya, akan tetapi mendengar ucapan ini, ia mau mencobanya juga. Masa dalam sepuluh jurus ia akan dikalahkan? Ia lalu berkata,
"Maafkan kelancangan Teecu (murid)!"
Lalu ia maju menyerang dengan Bambu kuningnya.
Im-Yang Giok-Cu menggunakan gucinya menangkis dan tangan kirinya menyerang dengan cengkeraman ke arah pergelangan tangan Ma Hoa. Gerakannya otomatis dan cepat sekali sehingga Ma Hoa menjadi amat terkejut, akan tetapi nyonya muda ini masih terlampau gesit untuk dapat dikalahkan dalam segebrakan saja. Ia cepat menarik kembali tangannya yang dicengkeram dan melanjutkan serangannya dengan jurus kedua. Kini Im-Yang Giok-Cu membalas setiap serangan dan gerakannya yang lambat itu sebetulnya tak dapat dikata lambat. Memang aneh, kalau tangan kanannya menangkis dengan lambat, tangan kirinya menyusul cepat sekali melakukan serangan, seakan-akan bahkan mendahului gerakan tangan kanan, dan demikian sebaliknya sehingga Ma Hoa menjadi bingung.
Tepat pada jurus ke sepuluh, ketika Ma Hoa menyerang dengan tusukan Bambu kuning di tangan kanan pada leher Kakek itu sedangkan tangan kiri menotokkan Bambu kuning itu pada jalan darah hong-hut-hiat di dada, tiba-tiba Im-Yang Giok-Cu miringkan kepala dan secepat kilat menggigit Bambu kuning yang tadinya menyerang leher itu, sedangkan ketika Bambu kuning yang kedua menotok dadanya, ia cepat menggunakan ilmu Pi-Ki Hu-Hiat (Menutup Hawa Melindungi Jalan Darah) sehingga ketika Bambu itu menotok jalan darahnya, Ma Hoa merasa betapa dada itu menjadi keras bagaikan batu karang dan sebelum ia hilang kagetnya, tangan kiri Kakek itu telah menangkap bambunya! Dengan Bambu kuning di tangan kiri terpegang, maka berarti ia telah kalah! Ma Hoa melepaskan kedua senjatanya lalu berlutut dan menyebut,
"Susiok!"
Im-Yang Giok-Cu melepaskan kedua Bambu kuning itu dan tertawa bergelak.
"Aduh, sungguh berbahaya! Hampir saja aku mendapat malu dan terpaksa kau takkan mengakui aku sebagai Paman Gurumu! Tidak mengecewakan kau menjadi murid Suhengku, sayang bahwa kau agaknya baru belajar belum lama dari Suhengku!"
Memang kata-kata ini benar karena sesungguhnya, Ma Hoa hanya belajar silat kepada Hok Peng Taisu selama tiga atau empat bulan saja (baca Pendekar Bodoh). Kwee An juga memberi hormat dengan menjura kepada Susiok dari isterinya itu.
"Dengarlah, Kwee An dan kau juga, eh, siapa pula namamu?"
Tanya Kakek itu kepada Ma Hoa.
"Teecu bernama Ma Hoa."
"Hemm, bagus, dengarlah. Kalau kalian memang sayang kepada anakmu yang berbakat baik itu biarlah dia kalian serahkan kepada kami untuk dididik selama empat atau lima tahun. Kami akan membawanya ke Bukit Long-Ki-San yang tak berapa jauh letaknya dari sini. Kawanku ini, Sin Kong Tianglo, adalah seorang tokoh besar dari Go-Bi-San dan kepandaiannya tak boleh disebut lebih rendah daripada kepandaianku, sungguhpun tak mudah baginya untuk mengalahkan aku. Kalau kalian rela melepas anakmu, maka itu berarti bahwa nasib anakmu memang baik. Akan tetapi, kalau kalian tidak membolehkannya, setelah kini aku mengetahui bahwa kau adalah murid Suhengku, tentu saja aku takkan memaksa."
Sebenarnya Ma Hoa merasa berat sekali harus berpisah dari puterinya, akan tetapi karena ia maklum bahwa apabila puterinya menjadi murid kedua orang tua itu kelak akan menjadi seorang yang tinggi kepandaiannya, ia menjadi ragu-ragu untuk menolaknya. Ia memandang kepada suaminya dengan mata mengandung penyerahan.
"Ji-wi Locianpwe,"
Kata Kwee An dengan hormat.
"Teecu berdua tentu saja merasa amat berbahagia apabila anak Teecu menerima pelajaran dari Ji-wi. Akan tetapi oleh karena Teecu hanya mempunyai seorang anak maka perkenankanlah Teecu berdua sewaktu-waktu datang menengok anak kami itu."
"Boleh, boleh..."
Kata Im-Yang Giok-Cu sambil tertawa.
"Tentu saja hal itu tidak ada halangannya."
"Goat Lan, kau tentu suka menjadi murid kedua Locianpwe ini, bukan?"
Tanya Ma Hoa kepada anaknya.
"Mereka jauh lebih tinggi kepandaiannya daripada Ayah Bundamu sendiri, dan ketahuilah bahwa Locianpwe ini adalah Susiok-Kongmu sendiri."
Semenjak tadi, Goat Lan telah mendengarkan percakapan orang-orang tua dengan amat teliti, maka sebagai seorang anak yang cerdik sekali ia maklum bahwa tidak ada guru-guru yang lebih sempurna baginya daripada kedua Kakek yang aneh dan yang bodoh kepandaian caturnya itu. Ia lalu menjatuhkan diri berlutut dan berkata,
"Teecu merasa suka sekali menjadi murid Ji-wi Suhu (Guru Berdua)."
Im-Yang Giok-Cu dan Sin Kong Tianglo saling pandang dan tertawa bergelak dengan hati puas, akan tetapi Goat Lan lalu berdiri dan memeluk Ibunya.
"Ibu, kalau kau lama sekali tidak datang mengunjungi tempatku, aku akan minggat dari tempat tinggal Suhu dan pulang sendiri!"
Semua orang tertawa mendengar ucapan yang nakal ini.
"Jangan khawatir, Goat Lan. Kami juga tidak akan merasa senang kalau terlalu lama tidak bertemu dengan kau,"
Kata Kwee An. Kedua orang Kakek itu lalu mengajak Goat Lan pergi dari situ, tidak mau ditahan-tahan lagi. Karena maklum bahwa mereka adalah orang-orang berwatak aneh, maka Kwee An dan Ma Hoa juga tidak berani memaksa dan menahannya. Setelah memeluk Ayah Ibunya dengan mesra, dan mendengar bisikan Ibunya,
"Goat Lan, jangan menangis dan jangan nakal!"
Goat Lan lalu dituntun oleh kedua Suhunya di kanan kiri dan sekali kedua Kakek itu berkelebat, maka anak perempuan itu telah dibawa lompat dan lenyap dari situ! Kwee An-dan Ma Hoa saling pandang. Terharulah hati Kwee An melihat betapa kedua mata isterinya yang tercinta itu menjadi basah, maka ia lalu mengajak isterinya pulang dan menghiburnya.
Kita tinggalkan dulu Goat Lan yang sedang dibawa oleh kedua orang Suhunya untuk berlatih silat di atas puncak Bukit Liong-Ki-San, sebuah bukit yang puncaknya nampak di sebelah Selatan Kota Tiang-An. Dan marilah kita kembali mengikuti perjalanan Lili atau Sie Hong Li puteri dari Pendekar Bodoh yang ikut merantau bersama Suhunya, yaitu Sinkai Lo Sian si Pengemis Sakti itu. Karena setiap kali ditanya tentang orang tuanya, Lili tak pernah mau mengaku lambat-laun Lo Sian tidak mau bertanya lagi dan ia pun telah merasa suka sekali kepada muridnya yang jenaka ini.
Ia merasa hidupnya berubah menjadi penuh kegembiraan setelah ia mendapatkan murid ini dan ia membawa Lili ke tempat-tempat yang indah dan Kota -Kota yang besar sambil memberi latihan silat kepada muridnya. Lili juga terhibur dan merasa suka Suhunya yang ramah tamah dan tidak galak. Di dekat Suhunya ia merasa seakan-akan dekat dengan Engkongnya (Kakeknya), Yousuf atau Yo Se Fu. Kadang-kadang memang amat rindu kepada Ayah Bundanya dan kepada Kakeknya, akan tetapi anak yang memiliki kekerasan hati luar biasa ini dapat menekan perasaannya dan sama sekali tak pernah memperlihatkan kelemahan hati dan kerinduannya. Lo Sian membawa muridnya merantau ke Barat. Pada suatu hari mereka masuk ke dalam sebuah hutan yang belum pernah dimasuki Lo Sian. Hutan itu besar sekali, penuh dengan pohon-pohon yang ratusan tahun usianya.
"Mari kita mempercepat perjalanan kita,"
Ajaknya kepada Lili yang sebentar-sebentar berhenti untuk memetik kembang. Ia tertawa geli dan juga kagum melihat Lili memetik setangkai kembang mawar yang ditancapkan di atas telinga kanan, bunga itu berwarna putih sehingga pantas sekali dengan bajunya yang merah.
"Hayo kita berlari cepat, Lili. Hari telah mulai gelap dan sebentar lagi malam akan tiba. Kalau kita kemalamam di hutan ini, tentu terpaksa kita harus tidur di atas pohon!"
"Tidak apa, Suhu,"
Jawab Lili sambil tertawa.
"Teecu takkan jatuh lagi."
Suhunya tertawa. Muridnya ini memang luar biasa tabahnya. Beberapa hari yang lalu ketika mereka kemalaman dalam sebuah hutan dan tidur di atas cabang pohon besar di dalam tidurnya Lili bermimpi dan ngelindur sehingga terpelanting jatuh dari atas pohon! Akan tetapi, anak ini benar-benar memiliki ketenangan dan hati yang berani sehingga sebelum tubuhnya terbanting ke atas tanah, ia telah sadar dan dapat mempergunakan Ginkangnya yang sudah baik sekali itu untuk mengatur keseimbangan tubuh dan dapat melompat turun dengan baik. Kalau ia tidak tenang dan berlaku cepat, setidaknya tentu akan menderita tulang patah! Akan tetapi, Lili tidak menjadi pucat atau ketakutan sedikit pun, bahkan tertawa-tawa ketika Suhunya melompat ke bawah dan bertanya kepadanya.
"Suhu, aku bermimpi berkelahi dengan monyet di atas pohon dan aku tergelincir jatuh!"
Katanya sambit tertawa! Kini mereka mempergunakan kepandaian berlari cepat dan dalam kepandaian ini, Lili benar-benar memiliki kecepatan yang mengagumkan.
Sebelum menjadi murid Lo Sian, gadis cilik ini memang telah memiliki Ginkang luar biasa berkat latihan Ayah Bundanya. Oleh karena ia telah memiliki dasar-dasar untuk pelajaran ilmu silat tinggi, maka dengan mudah Lo Sian menambah pengetahuan dan kepandaian muridnya itu yang dapat menangkap dan mempelajari serta melatih dengan lancar dan mudah sekali. Ketika mereka hampir keluar dari hutan, tiba-tiba Lo Sian menahan larinya dan memandang ke kiri, Lili juga menahan tindakannya dan ikut memandang karena wajah Suhunya memperlihatkan keheranan. Memang aneh, di tempat yang sunyi itu tersembunyi di balik pohon-pohon besar, kelihatan sebuah bangunan Kelenteng yang mentereng dan bersih sekali. Lantainya mengkilap dan temboknya terkapur putih bersih. Benar-benar mengherankan sekali.
"Eh, Suhu. Rumah siapakah begini indah di dalam hutan ini?"
"Sstt, aku pun sedang heran memikirnya. Mari kita menyelidiki, aku ingin sekali tahu."
Lo Sian dengan diikuti oleh Lili lalu menyelinap di antara pohon-pohon itu dan mendekati bangunan yang besar dan indah tadi. Karena di bagian depan nampak kosong dan sunyi, mereka lalu mengitari rumah itu dan akhirnya tiba di sebelah belakang. Lo Sian mengajak Lili mendekati Kelenteng itu dan tiba-tiba mereka mendengar suara anak kecil tertawa-tawa penuh ejekan. Lo Sian dan Lili menghampiri dan bersembunyi di balik daun-daun pohon.
Alangkah terkejut dan heran hati mereka ketika melihat dua orang anak laki-laki di ruang belakang yang berlantai mengkilap itu. Seorang anak laki-laki yang usianya sebaya dengan Lili nampak terikat tangannya di belakang dan bajunya terbuka sehingga nampak dadanya yang kurus dan perutnya yang gembung. Melihat wajahnya yang pucat dan perutnya yang gembung itu dapat diduga bahwa dia adalah seorang anak miskin yang seringkali menderita kelaparan dan agaknya perutnya yang gendut itu penuh dengan cacing! Di depan anak kecil yang terikat tangannya itu berdiri seorang Hwesio kecil-kecil yang berkepala gundul licin. Hwesio kecil ini memegang sebatang pisau belati dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya menuding ke arah anak yang terikat itu. Suara ketawa tadi adalah suara ketawa dari si Hwesio itu.
"Ha, ha, ha! Hendak kulihat kebenaran kata-kata Suhu,"
Terdengar Hwesio kecil itu berkata.
"Kalau orang kurus perutnya gendut, itu berarti bahwa perutnya penuh cacing! Aku tidak percaya keterangan Suhu ini karena biasanya cacing berada di dalam tanah, mana bisa berada di dalam perutmu? Kau datang mencuri makanan dan sudah sepatutnya mendapat sedikit hukuman. Aku tidak akan membinasakanmu, hanya akan membuktikan kebenaran ucapan Suhu. Kalau betul di dalam perutmu terdapat banyak cacing, alangkah lucunya...! Ha, ha, biarlah aku menolongmu dan hanya melenyapkan cacing-cacing dari dalam perutmu. Aku adalah ahli bedah yang pandai!"
Sambil berkata demikian, Hwesio kecil itu menunjuk-nunjuk perut yang gendut dari anak yang terikat kedua tangannya itu. Sungguh mengagumkan sekali anak kecil yang terikat itu tidak menjadi ketakutan mendengar ini, bahkan lalu tertawa!
"Kau Hwesio gila, seperti gurumu! Memang kau dan gurumu orang-orang gila yang pura-pura menjadi Hwesio. Aku memang hendak mencuri makanan karena perutku lapar. Sekarang kau telah menangkapku, mau bunuh mau sembelih, atau mau membedah perutku, terserah. Aku tidak takut!"
"Bagus, maling hina-dina! Sekarang juga aku akan mengeluarkan cacing dari perutmu yang buncit ini!"
Hwesio kecit itu melangkah maju dan dengan tangan kirinya meraba-raba perut anak kecil yang terikat tangannya, seakan-akan hendak memilih tempat yang tepat untuk dibelek!
"Suhu""
Dengan mata terbelalak Lili menoleh kepada Suhunya dan menunjuk ke arah kedua anak itu.
"Hwesio gila itu hendak membunuhnya!"
Lo Sian juga merasa terkejut sekali melihat kelakuan Hwesio itu dan diam-diam ia mengagumi anak miskin itu, maka ia mengambil keputusan hendak menolongnya. Pohon di belakang mana mereka bersembunyi mempunyai banyak buah-buah kecil dan cukup keras. Ia memetik sebutir buah yang tergantung paling rendah dan pada saat Hwesio kecil itu hendak mulai dengan perbuatannya yang keji, Lo Sian menggerakkan tangannya. Buah kecil itu meluncur cepat sekali dan dengan cepat menghantam ke arah pergelangan Hwesio kecil yang memegang pisau! Akan tetapi, ternyata Hwesio yang masih kecil dan usianya sebaya dengan anak miskin itu, amat lihai dan agaknya dapat mendengar suara sambaran buah itu. Ia menarik tangannya dan buah itu kini menyambar ke arah pisau yang dipegangnya!
"Trang...!"
Pisau itu jatuh di atas lantai mengeluarkan suara nyaring dan Hwesio kecil itu melompat mundur dengan cepat dan kaget. Pada saat itu, Lo Sian dan Lili melompat keluar dari tempat persembunyian mereka dan berlari ke dalam ruang itu. Hwesio kecil yang berhati kejam itu ketika melihat dua orang muncul dari balik pohon, segera membungkuk dan memungut pisaunya tadi. Ia melihat kepada Lo Sian dan dengan berani sekali, ia menyambut kedatangan Lo Sian dengan serangan pisaunya! Si Pengemis Sakti terkejut juga melihat betapa serangan ini cukup hebat dan berbahaya, maka ia lalu miringkan tubuhnya dan mengulur tangan hendak merampas pisau itu. Namun, alangkah herannya ketika Hwesio kecil itu dapat mengelak pula!
Pendekar Bodoh Eps 24 Pendekar Sakti Eps 38 Dara Baju Merah Eps 7