Ceritasilat Novel Online

Dara Baju Merah 20


Dara Baju Merah Karya Kho Ping Hoo Bagian 20



Pakaian, uang dan lain-lain semua berada di atas punggung Pek-Hong-Ma dan sekarang semua itu hilang. Ang I Niocu mengerutkan keningnya, wajahnya muram. Semenjak ia ikut Ayahnya, ia selalu dimanja dan selalu terpenuhi apa yang menjadi kehendaknya, belum pernah kekurangan makan dan pakaian. Sekarang, seorang diri dan lelah serta lapar setelah kehilangan segalanya, ia merasa sengsara sekali. Tak terasa lagi air matanya jatuh bertitik ketika ia tiba-tiba teringat kepada Ayahnya dan kepada Gan Tiauw Ki. Ketika masih tinggal di gedung Ayahnya, belum pernah ia merasa selelah dan selapar ini. Ketika ia melakukan perjalanan-perjalanan dengan Tiauw Ki, alangkah jauh bedanya dengan sekarang. Dengan Gan Tiauw Ki ia mengalami perjalanan yang penuh madu, penuh kegembiraan dan kebahagiaan. Tiba-tiba ia bangkit berdiri,

   "Alangkah bodohku, Susiok-Couw akan marah kalau melihat aku selemah ini..."

   Pikirnya. Ia berjalan lagi, menuju ke sebuah dusun yang atap-atap rumahnya sudah kelihatan dari situ. Sebelum cuaca menjadi gelap ia harus sudah berada di dusun itu kalau ia tidak mau tidur di tengah hutan. Alangkah herannya ketika ia tiba di luar dusun, ia disambut oleh semua penduduk dusun, di sana-sini terdengar seruan!

   "Ang I Niocu...! Dia sudah datang... Sambut Ang I Niocu, Pendekar kita yang mulia..."

   Kemudian baru Ang I Niocu tahu bahwa diantara para penyambut itu terdapat bekas-bekas pelayan di pesanggrahan perampok. Tentu mereka ini yang sudah mengabarkan tentang pembasmiannya terhadap para perampok itu. Kepala kampung itu, seorang laki-laki setengah tua yang berkumis panjang, mengepalai penyambutan dan menjura dengan penuh hormat kepadanya.

   "Lihiap yang mulia, telah bertahun-tahun kami hidup dalam ketakutan dan penindasan kaum perampok di Min-San. Bahkan ada beberapa orang muda dusun kami diculik, selain harta benda kami. Kini muncul Lihiap yang gagah perkasa, yang telah membasmi mereka dan berarti membebaskan kami dari cengkeraman perampok jahat. Benar-benar Thian telah mengirim Lihiap sebagai seorang dewi untuk menolong kami yang sudah lama memohon kemurahan dan keadilan Thian."

   Setelah berkata demikian, kepala kampung itu berlutut di depan Ang I Niocu, diturut oleh semua orang kampung. Akan tetapi, ketika mereka mengangkat kepala, ternyata dara baju merah itu telah lenyap! Tentu saja mereka heran dan kagum sekali, dan sekali lagi mereka berlutut,

   Mengira bahwa gadis yang cantik luar biasa dan bisa "Menghilang"

   Itu benar-benar seorang dewi kahyangan utusan dari langit! Semenjak hari itu, orang sekampung seringkali memasang hio, memuja kepada dewi penolong baju merah itu. Adapun Ang I Niocu dengan bersungut-sungut berlari cepat meninggalkan kampung itu. Dasar awak lagi sial, gerutunya. Ia sama sekali tidak mau melayani sambutan orang-orang kampung yang menganggapnya seperti dewi itu, karena ia maklum bahwa kalau ia melayani mereka, akan berarti ia tidak tidur lagi semalam suntuk. Tentu orang-orang kampung akan mengerumuninya, akan memujanya, dan ia akan menjadi pusat perhatian orang belaka. Padahal ia melakukan perkerjaan di puncak bukit tadi, mati-matian membasmi perampok, sama sekali bukan untuk mencari muka atau mencari nama.

   Disambut secara demikian oleh kepala kampung dan penduduknya, bukan menkadi girang, sebaliknya Ang I Niocu menjadi mendongkol dan pergi tanpa pamit. Malam hari itu Ang I Niocu terpaksa tidur di atas pohon di dalam hutan, dan perutnya yang berteriak-teriak kelaparan itu ia diamkan dengan beberapa butir buah apel. Ia tidak mengira bahwa perbuatannya membasmi Min-San Sam-Kui dan anak buahnya di Pegunungan Min-San itu telah menggemparkan dunia kang-ouw dan sekaligus nama Ang I Niocu disebut-sebut orang! Ia dianggap sebagai tokoh hebat yang baru muncul di dunia kang-ouw. Dengan melakukan perjalanan cepat, dua pekan kemudian Ang I Niocu sudah tiba di kaki Pegunungan Kim-San. Dari keterangan seorang penduduk dusun di kaki pegunungan ini, ia mendapat tahu bahwa kuil Kim-San-Pai berada di puncak yang sebelah kiri.

   Ang I Niocu langsung mendaki puncak ini. Baru saja ia tiba di lereng, ia mendengar suara orang-orang dari bawah dan dilihatnya lima orang Tosu berlari-lari mendaki puncak itu. Dua orang diantara mereka memondong tubuh dua orang Tosu tua yang wajahnya pucat dan matanya dipejamkan, agaknya terluka atau sakit payah. Melihat Ang I Niocu berdiri di pinggir jalan memandang mereka, lima orang Tosu itu balas memandang dengan sinar mata bercuriga. Kemudian dua orang yang memondong Tosu-Tosu terluka tadi berlari terus, sedangkan yang tiga orang berhenti di depan Ang I Niocu. Ang I Niocu yang melihat cara lima orang Tosu tadi berlari cepat, maklum bahwa ia berhadapan dengan orang-orang berkepandaian tinggi, maka ia lalu menjura dan berkata,

   "Mohon, tanya, apakah betul jalan ini menuju ke kuil dari Kim-San-Pai? Apakah Sam-wi Totiang juga hendak ke sana?"

   Mendengar pertanyaan Ang I Niocu yang ramah itu, tiga orang Tosu tadi berkurang kecurigaannya. Seorang di antara mereka, yang tertua dan berusia kurang-lebih empat puluh tahun, memberi hormat dan menjawab,

   "Tidak salah dugaan Nona, ini memang jalan menuju ke kuil Kim-San-Pai dan Pinto bertiga memang betul sedang menuju ke sana karena Pinto bertiga adalah Tosu-Tosu dari Kim-San-Pai. Tidak tahu siapakah Nona ini dan apakah maksud penghormatan kunjungan Nona ini?"

   "Aku adalah... orang-orang memanggilku Ang I Niocu, dan aku datang ke sini atas perintah Susiok-Couwku, Bu Pun Su."

   Ang I Niocu tidak mau memperkenalkan nama sendiri karena ia memang lebih suka namanya tidak diketahui orang dan lebih suka dikenal sebagai Ang I Niocu. Nama Ang I Niocu baru saja terkenal, dan para Tosu Kim-San-Pai itu belum pernah mendengarnya, maka nama ini tidak mendatangkan apa-apa. Akan tetapi ketika Ang I Niocu menyebutkan nama Bu Pun Su, berubah wajah mereka dan berseri pandang mata mereka. Otomatis ketiganya lalu memberi hormat dengan membungkuk.

   "Maafkanlah, Pinto bertiga tidak tahu bahwa Niocu adalah utusan Sin-Taihiap Bu Pun Su. Marilah, kami antarkan Niocu bertemu dengan Suhu, karena kebetulan sekali Pinto bertiga juga mau menghadap Suhu."

   Setelah berkata demikian, tiga orang Tosu itu lalu berlari cepat mendaki puncak itu, nampaknya terburu-buru sekali.

   "Maaf, Nona, Pinto bertiga jalan di depan!"

   Kata Tosu tadi sambil menoleh, akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia sudah tidak dapat melihat lagi nona yang tadi ditinggalkannya. Hanya bayangan merah berkelebat melewati mereka dan sebentar saja bayangan merah tadi sudah jauh di atas!

   "Hebat... !"

   Tosu itu menarik napas panjang dan berkata kepada dua orang kawannya.

   "Melihat kepandaiannya, dia betul-betul utusan Sin-Taihiap Bu Pun Su dan agaknya nama baik Kim-San-Pai akan dapat tercuci bersih!"

   Ia lalu mengajak dua orang kawannya untuk cepat-cepat mengejar ke puncak. Ketika tiga orang Tosu itu sudah di puncak dan memasuki kuil besar yang berada di situ, mereka melihat semua Tosu sudah berkumpul di ruangan besar, bahkan Guru mereka juga sudah berada di situ. Adapun Nona Baju Merah tadi hanya duduk agak jauh tidak berani mengganggu karena Guru besar Kim-San-Pai sedang sibuk memeriksa dua orang Tosu yang terluka. Tiga orang Tosu yang baru datang mendapat jalan dan segera masuk ke tengah ruangan dimana Guru mereka bersila di lantai memeriksa dua orang anak murid yang tadi dipondong naik.

   "Suhu...!"

   Tiga orang Tosu ini berlutut. Kakek yang memeriksa Tosu-Tosu terluka tadi memandang. Ternyata dia adalah seorang Tosu tua. Usianya sudah tujuh puluh tahun lebih akan tetapi ia masih kelihatan sehat dan kuat. Keningnya berkerut dan pandang matanya muram, tanda bahwa ia sedang menahan ketidaksenangan hatinya.

   "Siauw Seng Cu, coba kauceritakan, apa yang sebetulnya terjadi atas diri dua orang Susiokmu ini,"

   Kata kakek itu yang bukan lain adalah Thian Beng Cu, ketua dari Kim-San-Pai.

   Berbeda dengan Partai lain, para Tosu di Kim-San-Pai mempergunakan nama dengan huruf belakang Cu semua, dari ketuanya sampai Tosu pelayan. Siauw Seng Cu, yakni Tosu yang tadi bercakap-cakap dengan Ang I Niocu, lalu bercerita. Dan untuk mengetahui lebih jelas tentang pertentangan antara Bu-Tong-Pai dan Kim-San-Pai, baiklah kita meninjau keadaan antara kedua Partai itu dan apa sebabnya kedua Partai itu sampal bermusuhan. Kim-San-Pai dan Bu-Tong-Pai berdekatan, hanya berbeda puncak saja akan tetapi masih satu daerah pegunungan, yakni pegunungan Bu-Tong-San. Bahkan kalau melihat riwayat dahulu, Kim-San-Pai masih ada hubungan dengan Bu-Tong-Pai, karena pendiri dari Kim-San-Pai adalah sute dari pendiri Bu-Tong-Pai, jadi ilmu silat mereka masih berasal dari satu sumber.

   Tentu saja ratusan tahun kemudian, ilmu silat itu berkembang biak dan mengalami banyak perubahan sehingga akhirnya banyak perbedaannya, masing-masing mempunyai corak dan kelihaian sendiri. Asal mulanya, kakak beradik seperguruan, yakni pendiri Bu-Tong-Pai dan pendiri Kim-San-Pai, hanya berpisah puncak sebagai tempat bertapa. Akan tetapi kemudian murid-murid mereka setelah berkembang biak, mempunyai perbedaan dalam kepercayaan atau agama, kalau pihak si Suheng itu anak muridnya menganut Agama Buddha, adalah anak murid si sute menganut Agama To. Inilah kiranya yang menjadikan jurang pemisah sehingga akhirnya timbul dua Partai persilatan yang berbeda sekali, yakni Bu-Tong-Pai yang menganut Agama Buddha dan Kim-San-Pai penganut Agama To.

   (Lanjut ke Jilid 18)

   Ang I Niocu (Seri ke 02 - Serial Pendekar Sakti)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 18

   Ratusan tahun kemudian, di puncak Bu-Tong-San berdiri kelenteng besar di mana dipuja patung Buddha dan penghuni atau Pendeta-Pendetanya yakni anak murid Bu-Tong-Pai, terdiri dari Hwesio-Hwesio gundul. Sebaliknya di puncak Kim-San, berdiri kuil besar dari Agama To dan anak murid Kim-San-Pai adalah Tosu-Tosu yang mempunyai nama akhir huruf Cu. Selama ratusan tahun, perhubungan antara kedua Partai ini baik saja, sungguhpun berbeda agama, akan tetapi mereka tidak mau saling menyinggung, tidak mau saling mengejek, walaupun tak boleh dibilang bahwa hubungan mereka itu erat dan baik. Pendeknya, mereka kedua pihak sadar bahwa diantara mereka masih ada hubungan saudara seperguruan, dan untuk menjaga jangan sampai terjadi salah paham, sengaja, kedua pihak saling menjauhi dan hanya "saling mendoakan"

   Saja dari jauh!

   Akan tetapi, kurang lebih dua tahun yang lalu, mulailah terjadi permusuhan antara dua Partai yang bersaudara ini. Di kaki pegunungan Bu-Tong-San, di sebuah dusun terdapat dua orang pemuda kakak beradik Lai Tek dan Lai Seng. Semenjak kecil Lai Tek menjadi anak murid Kim-San-Pai, sedangkan Lai Seng ketika sedang menggembala kerbau, dibawa oleh seorang Hwesio Bu-Tong-Pai yang melihat bakat baik dalam dirinya dan selanjutnya Lai Seng menjadi murid Bu-Tong-Pai. Setelah tamat mempelajari ilmu silat di Kim-San-Pai, Lai Tek pulang ke dusunnya membawa kepandaian tinggi dan dia menjadi petani menggantikan pekerjaan Ayahnya. Adapun Lai Seng dibujuk oleh Gurunya untuk masuk menjadi Hwesio karena oleh Gurunya dianggap bahwa murid ini hanya akan memperoleh kebahagiaan hidup abadi apabila suka menjadi Hwesio.

   Lai Seng tidak mau menerima bujukan ini, bahkan minggat dari Bu-Tong-Pai dan pulang ke dusunnya, di mana ia membantu pekerjaan kakaknya yang tentu saja girang sekali melihat adiknya pulang sudah menjadi seorang pandai pula. Sayang sekali bahwa watak Lai Seng jauh bedanya dengan kakaknya. Lai Tek seorang yang jujur dan berbudi baik, menjunjung tinggi kegagahan dan keadilan. Sebaliknya setelah turun gunung, Lai Seng menjadi "Binal"

   Dan mulailah melakukan hal-hal yang tidak patut. Bahkan berani mengandalkan kepandaiannya untuk mengganggu anak gadis orang dan minta harta secara paksa setengah merampok! Berkali-kali Lai Tek yang mendengar akan kejahatan dan penyelewengan adiknya, menegur, bahkan pernah terjadi perkelahian antara kakak beradik ini yang berakhir dengan kemenangan Lai Tek.

   Akan tetapi, Lai Seng ternyata tidak kapok dan masih seringkali melanggar, sungguhpun kini secara bersembunyi agar jangan diketahui kakaknya Lai Seng, maklum di dunia ini dia hanya mempunyai adiknya itu seorang sebagai anggauta keluarganya, juga tidak mau main keras, hanya kadang-kadang memberi nasihat dengan pengharapan kelak adiknya yang masih mudah itu dapat merubah kesalahannya. Pada suatu hari, ketika Lai Tek sedang bekerja di sawahnya, seorang tetangganya datang berlari-lari dan memberi tahu bahwa adiknya sedang bertempur dengan dua orang Hwesio gundul. Lai Tek meninggalkan paculnya di tengah sawah, dengan kedua kaki tangan masih penuh lumpur, ia berlari pulang. Alangkah kaget dan marahnya ketika ia melihat Lai Seng roboh, terpukul oleh dua orang Hwesio itu tepat pada saat ia datang.

   "Keparat gundul, kau bunuh adikku?"

   Bentaknya sambil menyerang. Dua orang Hwesio itu melompat mundur.

   "Nanti dulu, Sicu. Pinceng berdua datang untuk membunuh seorang anak murid Bu-Tong-Pai yang menyeleweng dan melakukan kejahatan. Harap kau jangan mencampuri urusan pinceng."

   Lai Tek maklum bahwa dua orang Hwesio ini tentulah orang-orang Bu-Tong-Pai yang datang menghukum Lai Seng, akan tetapi pada saat itu, perasaan kasih sayang terhadap adiknya dan kesedihan besar melihat adiknya menggeletak mati itu menutup semua pertimbangan.

   "Dia itu adik kandungku, bagaimana tidak boleh ikut campur? Hwesio keji, semenjak lahir dia itu sudah menjadi adikku, sedangkan dia baru menjadi murid Bu-Tong-Pai setelah dia sudah besar. Kalian membunuhnya secara keji, tanpa minta pertimbanganku. Hutang nyawa harus dibayar nyawa pula!"

   Setelah berkata demikian, Lai Tek mengambil pedangnya dan menyerang dua orang, Hwesio itu. Tingkat kepandaian Lai Tek memang sudah tinggi, dan serangannya itu dilakukan dalam keadaan nekad dan marah sekali. Dalam pertempuran mati-matian, akhirnya seorang Hwesio Bu-Tong-Pai tewas di tangan Lai Tek dan Hwesio ke dua melarikan diri, memberi laporan kepada para pimpinan Bu-Tong-Pai. Lo Beng Hosiang, Bu-Tong-San Ciang-bunjin adalah seorang kakek yang sabar dan alim. Mendengar laporan ini, ia menarik napas panjang dan berkata,

   "Lai Tek membalas sakit hatinya karena melihat adiknya dihukum mati, itu sudah sewajarnya. Hanya sayang sekali dia sebagai seorang gagah tidak menjunjung keadilan, tidak rela melihat adiknya dihukum padahal adiknya itu sudah terang-terang meniadi seorang penjahat pengganggu rakyat. Akan tetapi, perbuatannya itu bukan berarti bahwa dia pun jahat, hanya dia tidak dapat melepaskan kasih sayangnya terhadap adiknya. Apalagi dia itu masih anak murid Kim-San-Pai, oleh karena itu, biarlah urusan ini dihabiskan saja, tak perlu diperpanjang."

   Akan tetapi, para Hwesio lain diam-diam tidak menyetujui pendapat ini dan beberapa orang Hwesio yang merasa penasaran, diam-diam pergi naik ke puncak Kim-San-Pai, menjumpai ketuanya dan menyampaikan protes. Thian Beng Cu, ketua Kim-San-Pai yang sudah tua itu, mendengarkan protes Hwesio-Hwesio Bu-Tong-Pai dengan tenang, kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata,

   "Baiklah, Pinto akan memanggil Lai Tek dan akan minta pertanggungan jawabnya. Kalau memang betul dia bersalah, pasti Pinto akan menghukumnya. Harap sampaikan salam Pinto kepada Lo Beng Hosiang dan semoga kelak dia tidak sampai keliru memilih murid."

   Kata-kata ini memperingatkan bahwa gara-gara semua peristiwa itu terletak dalam kesalahan memilih murid dari pihak Bu-Tong-Pai.

   Inilah kata-kata sindiran yang memperingatkan bahwa kesalahan bukan berada di pundak pihak Kim-San-Pai dan semua ini sebetulnya adalah sudah sepatutnya. Para Hwesio Bu-Tong-Pai yang mendengar ini pun dapat mengerti, maka mereka sudah merasa puas mendengar janji Thian Beng Cu ketua Kim-San-Pai bahwa Lai Tek akan diadili, sambil menghaturkan terima kasih mereka turun dari puncak Kim-San dan pulang ke Bu-Tong-San. Akan tetapi, ketika pada keesokan harinya tiga orang Tosu Kim-San-Pai atas perintah Thian Beng Cu mendatangi dusun tempat tinggal Lai Tek untuk memanggil pemuda ini ke Kim-San-Pai, mereka mendapatkan Lai Tek telah menggeletak di kamarnya dengan tubuh rusak dicacah-cacah senjata tajam dan di tembok kamarnya terdapat tulisan dengan huruf darah, Mampuslah Lai Tek, anak murid Partai peniru Bu-Tong-Pai

   Dapat dibayangkan betapa marahnya hati tiga orang Tosu itu. Tanpa memberitahukan Guru mereka lagi, mereka lalu menyerbu Bu-Tong-Pai dan di sana mereka menantang. Mereka merasa yakin bahwa yang membunuh Lai Tek pasti orang-orang Bu-Tong-Pai. Terjadi pertempuran di puncak Bu-Tong-Pai, akan tetapi tiga orang Tosu yang tingkatnya hanya ke tiga ini tentu saja kalah oleh Hwesio Bu-Tong-Pai yang tentu saja mengajukan jago yang lebih tinggi tingkatnya. Dengan hati sakit dan tubuh luka-luka, tiga orang Tosu itu pulang ke Kim-San-Pai dan mengadu kepada Thian Beng Cu. Ketua Kim-San-Pai mengerutkan kening, meraba-raba jenggotnya yang putih dan menggeleng-geleng kepalanya

   "Eh, eh, bagaimana bisa terjadi seperti ini? Mereka membunuh Lai Tek, kalau ini untuk membalaskan kematian seorang Hwesio Bu-tong, itu masih tidak apa. Akan tetapi mereka menghancurkan tubuh Lai Tek, ini sungguh-sungguh tidak sesuai dengan watak seorang penganut agama! Dan mereka menuliskan kata-kata menghina, hemm, dalam hal apakah Partai Kim-San-Pai meniru Bu-Tong-Pai?"

   "Dan mereka itu tidak mau mengaku bahwa mereka yang membunuh Lai Tek, Suhu,"

   Kata seorang di antara tiga orang Tosu itu. Thian Beng Tosu mengangguk-angguk.

   "Dapat dimengerti... dapat dimengerti. Sudah tentu saja Lo Beng Hosiang dan lain-lain tokoh Bu-Tong-Pai tidak mau mengakui perbuatan rendah itu dan mungkin sekali pekerjaan busuk itu dilakukan oleh seorang murid Bu-Tong-Pai secara diam-diam. Akan tetapi baik kita tunggu, tentu Lo Beng Hosiang akan berusaha menangkap pembunuh Lai Tek itu."

   Demikianlah, ketua kedua pihak sama-sama bersikap sabar dan tidak mau memperbesar urusan itu. Akan tetapi anak buah kedua pihak makin panas hati dan semenjak hari itu, seringkali terjadi bentrokan antara anak-anak murid Bu-Tong-Pai dan anak-anak murid Kim-San-Pai. Adapun lima orang yang bertemu di lereng gunung dengan Ang I Niocu itu, mereka adalah Tosu-Tosu Kim-San-Pai. Dua orang yang terluka adalah Thian Hok Cu dan Thian Lok Cu dua orang sute dari Thian Beng Cu, sedangkan yang tiga orang lagi adalah murid-murid Thian Beng Cu yang sudah tinggi kepandaiannya.

   Tujuh orang Tosu ini tadinya diutus oleh Thian Beng Cu untuk mewakilinya, pergi ke Bu-Tong-Pai untuk berunding dengan pihak Bu-Tong-Pai yang maksudnya mendamaikan urusan pertikaian antara anak-anak murid kedua pihak itu. Akan tetapi, sebelum tiba di kuil para Hwesio Bu-Tong-Pai, baru saja tiba di lereng bukit, mereka bertemu dengan serombongan Hwesio Bu-Tong-Pai yang melarang mereka naik. Karena kedua pihak memang sudah mendendam, lalu diadakan pibu di lereng gunung itu. Masing-masing pihak mengajukan jagonya. Untuk mencegah pihaknya mengalami kekalahan, maka Thian Hok Cu dan Thian Lok Cu dua orang Tosu tua itu mengajukan diri. Dari pihak Bu-Tong-Pai maju dua orang Hwesio tua yang kosen pula. Pertempuran berjalan sengit dan akhirnya Thian Hok Cu dan Thian Lok Cu dapat merobohkan dua orang lawannya. Kemudian dari pihak Bu-Tong-Pai muncul seorang jago muda, bukan seorang Hwesio.

   Pemuda ini lihai sekali dan melihat gerakan-gerakannya, dia itu bukan anak murid Bu-Tong-Pai, melainkan lebih tepat kalau menjadi anak murid Go-Bi-Pai karena ilmu pedangnya lihai sekali. Menghadapi pemuda yang menjadi jago Bu-Tong-Pai ini, seorang demi seorang kedua Tosu tua Kim-San-Pai kena dirobohkan! Setelah dua orang Susiok ini roboh, tentu saja lima orang Tosu Kim-San-Pai yang lain tidak berani maju, tahu bahwa hal itu akan percuma saja dan akan menambah besar rasa malu. Mereka lalu menggotong tubuh dua orang Tosu tua itu, dibawa kembali ke puncak Kim-San dan di tengah jalan mereka bertemu dengan Ang I Niocu. Demikianlah penuturan Siauw Seng Cu, murid dari Thian Beng Cu atau seorang diantara lima orang Tosu tadi. Ketua Kim-San-Pai yang mendengar ini, nampak marah akan tetapi masih berusaha sedapat mungkin menahan perasaannya.

   "Kembali hal ini tidak ada hubungannya dengan Lo Beng Hosiang. Keributan itu terjadi di lereng Bu-Tong-San dan diluar pengetahuan Lo Beng Hosiang. Pinto tak dapat ikut campur. Hal ini hanya akan mengeruhkan suasana. Sayang sekali kedua orang sute kurang dapat menyabarkan hati dan telah terjun ke dalam pertempuran sebelum bertemu dengan Lo Beng Hosiang sendiri."

   Ia menarik napas panjang lalu menyuruh muridmuridnya membawa Thian Hok Cu dan Thian Lok Cu ke dalam kamar untuk dirawat selanjutnya. Luka-luka mereka biarpun parah, akan tetapi tidak membahayakan jiwa. Setelah dua orang yang terluka itu dibawa masuk, Thian Beng Cu menyapu para Tosu anak-anak murid Kim-San-Pai yang jumlahnya empat puluh orang lebih dan hadir di tempat itu, lalu berkata,

   "Kalian harus dapat menjaga diri dan menahan perasaan. Mulai hari ini, tidak boleh sekali-kali mencari gara-gara dengan pihak Bu-Tong-Pai. Kecuali kalau ada pihak mereka datang mencari gara-gara, jangan turun tangang akan tetapi cepat memberitahu agar Pinto sendiri yang dapat membereskan!"

   Di dalam kata-kata ini biarpun terkandung nasihat supaya anak murid Kim-San-Pai bersabar, namun bukan sekali-kali memperlihatkan sifat takut, karena kalau ada apa-apa, Thian Beng Cu sendiri hendak turun tangan. Jelas bahwa Tosu tua ini mengalah, akan tetapi bukan takut. Tiba-tiba diantara pakaian para Tosu yang berwarna putih, kuning dan abu-abu itu, mata Thian Beng Cu yang masih tajam melihat warna merah yang menyolok mata. Ketika ia memandang, ia terkejut dan heran bukan main melihat seorang gadis cantik jelita duduk di bagian belakang para hadirin.

   "Eh, siapakah Nona yang berada di sana?"

   Tegurnya. Siauw Seng Cu cepat berkata,

   "Maaf bahwa tadi Teecu belum sempat memberitahukan akan kedatangan seorang tamu. Dia itu adalah seorang utusan dari Sin-Taihiap Bu Pun Su."

   Berseri wajah Tosu tua itu dan tangannya memberi isarat kepada semua anak muridnya supaya bubar dari ruangan itu. Kemudian ia melambai ke arah Ang I Niocu dan berkata,

   "Jangan berkecil hati bahwa Pinto tidak dari tadi menyambut, karena adanya sedikit keributan tadi. Mari, Nona, silakan duduk di sini."

   Ang I Niocu menghampiri Ketua Kim-San-Pai dan memberi hormat.

   "Locianpwe, harap maafkan kalau kedatanganku mengganggu. Aku diutus oleh Susiok-Couw Bu Pun Su untuk bertemu dengan Locianpwe."

   "Aha, jadi Pendekar Sakti Bu Pun Su itu masih ada di dunia ini? Sungguh merupakan kehormatan besar sekali kalau seorang Pendekar besar dan sakti seperti dia itu masih ingat bahwa di dunia ini terdapat sebuah Partai kecil seperti Kim-San-Pai. Nona, siapakah namamu dan kau diutus apakah oleh Susiok-Couwmu itu?"

   "Maaf, Locianpwe, maaf kalau aku tidak dapat memberitahukan nama kecilku yang sudah kulupakan. Orang menyebutku Ang I Niocu dan kedatanganku di sini adalah atas perintah Susiok-Couw Bu Pun Su. Susiok-Couw mendengar tentang pertikaian yang timbul antara Kim-San-Pai dan Bu-Tong-Pai. Orang tua itu merasa prihatin sekali meridengar akan hal ini, maka mengutus aku datang ke sini untuk mohon kepada Locianpwe atau lebih luas lagi kepada pihak Kim-San-Pai agar supaya suka menghentikan segala permusuhan antara kawan sendiri yang hanya mendatangkan kerugian bersama. Susiok-Couw Bu Pun Su minta supaya aku menyampaikan bahwa pada waktu ini, negara sedang terancam bahaya perang dari pihak Pemberontak-Pemberontak, dan rakyat sedang menderita karena kekacauan timbul di mana-mana. Oleh karena itu, perlu bagi kita semua untuk menghimpun tenaga dan memperkuat persatuan, menghilangkan segala macam salah paham di antara kita. Demikianiah pesan Susiok-Couw dan orang tua itu mengharap supaya Locianpwe sudi mendamaikan urusan Kim-San-Pai dengan Bu-Tong-Pai."

   Thian Beng Cu tersenyum dan mengangguk-angguk perlahan.

   "Ang I Niocu, kau masih begini muda sudah melupakan nama sendiri, alangkah hebatnya kesengsaraan yang kauderita. Pinto hanya mengharap kau akan kuat menahan ujian hidup ini dan tidak menjadi putus harapan, karena kau yang sudah dipilih Bu Pun Su untuk mewakilinya dalam urusan ini, tentu kau sudah memiliki kekuatan itu. Pandangan Bu Pun Su yang kau kemukakan tadi memang betul, akan tetapi, apa kau kira Pinto sendiri tidak menyadari akan hal itu? Kalau sekiranya Pinto tidak menjaga keutuhan perhubungan antara Bu-Tong-Pai dan Kim-San-Pai, apakah tidak sudah terjadi pertumpahan darah besar-besaran? Kau sudah sejak tadi berada di tempat ini, kiranya kau pun sudah mendengar sendiri apa yang baru saja terjadi. Pinto sudah berusaha hendak mendamaikan urusan, akan tetapi sayangnya, utusan Pinto bahkan dihadang di jalan dan dua orang suteku dilukai. Nona biarpun masih muda, akan tetapi kau adalah utusan Bu Pun Su, oleh karena itu, Pinto menyerahkan urusan ini kepadamu untuk dibereskan. Usaha untuk damai dari pihak kami sudah cukup dan kalau dipaksakan lagi, kiranya hanya akan mendatangkan keributan saja. Biarlah sekarang kau yang mencoba untuk membereskan."

   Thian Beng Cu memang cerdik. Ia sama sekali tidak gentar menghadapi Bu-Tong-Pai, akan tetapi tadi ia mendengar bahwa kedua orang Sutenya itu dirobohkan oleh seorang anak murid Go-Bi-Pai. Hal ini bukan main-main, karena kalau tidak hati-hati, bisa jadi Kim-San-Pai akan bertambah seorang musuh lagi, yakni Go-Bi-Pai. Dan kalau ini terjadi, benar-benar amat berbahaya dan akan makin membahayakan kedudukan Kim-San-Pai. Oleh karena itu, setelah kini Ang I Niocu muncul sebagai utusan Bu Pun Su, biarlah ia mengoperkan tugas perdamaian itu kepada gadis ini.

   Ang I Niocu menyanggupi dan malam hari itu Ang I Niocu mendengar penuturan para Tosu Kim-San-Pai tentang asal mula pertikaian itu timbul. Sementara itu, diam-diam Thian Beng Cu menyuruh seorang muridnya untuk pergi ke Propinsi Hokkian dan mencari seorang Sutenya yang sudah lama merantau, yakni Eng Yang Cu. Sutenya ini jauh lebih muda darinya, usianya paling banyak lima puluh tahun, akan tetapi kalau dibanding tingkat kepandaiannya, kiranya Eng Yang Cu ini termasuk orang paling tinggi tingkatnya di Kim-San-Pai. Memang Eng Yang Cu yang paling disayang oleh mendiang Guru mereka, dan menerima warisan ilmu yang paling banyak. Sebetulnya, Eng Yang Cu inilah dahulunya yang dicalonkan menjadi ketua Kim-San-Pai, akan tetapi ternyata bahwa Eng Yang Cu mempunyai darah perantau dan tidak betah tinggal di puncak gunung.

   Oleh karena itu, terpaksa kedudukan ciangbunjin diserahkan kepada Thian Beng Cu, murid tertua dan Eng Yang Cu melakukan perantauan di Propinsi Hokkian. Thian Beng Cu, memanggil Sutenya yang boleh diandalkan itu untuk menjaga kalau-kalau usaha perdamaian gagal dan pecah pertempuran antara kedua pihak, hanya Sutenya inilah yang boleh ia andalkan. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Ang I Niocu sudah bangun dan bersiap-siap hendak ke Bu-Tong-Pai. Ia telah memperoleh keterangan dan penjelasan dari Ketua Kim-San-Pai, sekarang ia harus menemui Ketua Bu-Tong-Pai sehingga setelah mendengar keterangan kedua pihak, mudah baginya untuk mendamaikan urusan ini. Ia merasa girang bahwa ternyata pihak Kim-San-Pai amat bijaksana dan tidak menghendaki dilanjutkannya permusuhan itu.

   "Mudah-mudahan saja pihak Bu-Tong-Pai juga dapat diajak berunding,"

   Pikirnya. Akan tetapi, sebelum ia berangkat, tiba-tiba ia melihat beberapa orang Tosu berlari-lari masuk dengan muka berubah dan mendengar mereka memberi laporan kepada Thian Beng Cu bahwa ada beberapa orang Hwesio Bu-Tong-Pai datang menyerbu Kim-San-Pai. Mendengar ini, Ang I Niocu berkata,

   "Locianpwe, biarkan aku menghadapi mereka!"

   Ia merasa penasaran sekali dan melihat gelagat seperti ini, ia hampir menduga bahwa di dalam pertikaian itu, pihak Bu-Tong-Pailah yang keterlaluan! Dengan mempergunakan ilmu lari cepat, Ang I Niocu turun dari puncak.

   Tak lama kemudian benar saja, ia melihat serombongan orang mendaki puncak itu. Mereka ini terdiri dati tujuh orang Hwesio gundul dan seorang pemuda yang tampan dan gagah. Melihat sikap mereka, makin besar dugaan Ang I Niocu bahwa mereka ini sengaja datang mencari keributan, maka ia lalu mencabut pedangnya dan memegang pedang itu dengan sikap tenang dan gagah. Setelah mereka datang dekat, baru ia tahu bahwa mereka ini adalah rombongan orang-orang Bu tong-pai yang pernah membantunya menghadapi keroyokan Koai-Tung Toanio dan pasukan Pemberontak Lie. Pemuda itu ternyata adalah pemuda tampan yang mengejar-ngejarnya untuk berkenalan! Adapun pemuda itu serta rombongannya ketika melihat Ang I Niocu berdiri di situ dengan pedang di tangan, segera mengenalnya dan pemuda itu melompat cepat menghampirinya.

   "Kau di sini, Nona..."

   Tegurnya dengan wajah berseri. Akan tetapi Ang I Niocu memandang kepadanya dengan muka dingin dan sinar mata menyelidik. Kemudian Ang I Niocu menghadapi tujuh orang Hwesio itu dan berkata, suaranya nyaring akan tetapi halus,

   "Cu-wi Suhu sekalian ini bukankah Hwesio-Hwesio Bu-Tong-Pai?"

   Seorang diantara tujuh orang Hwesio itu, yang tertua, menjawab,

   "Betul, Nona, pinceng dan saudara-saudara pinceng adalah anak-anak murid Bu-Tong-Pai. Kau sendiri siapakah dan mengapa dahulu dikeroyok oleh pasukan Pemberontak?"

   "Aku Ang I Niocu dan urusanku dengan mereka itu tidak ada sangkut-pautnya dengan orang lain. Yang terpenting sekarang ini, kalian datang ke Kim-San mempunyai keperluan apakah?"

   Hwesio itu nampaknya tidak senang.

   "Ang I Niocu, kau bilang tadi bahwa urusanmu tidak ada sangkut-pautnya dengan kami. Sebaliknya, urusan kami di Kim-San ini pun kiranya tidak ada sangkut-pautnya denganmu!"

   Ang I Niocu tersenyum dan kalau tadinya diantara para Hwesio itu ada yang marah, maka kemarahan itu sekaligus mencair oleh senyum yang luar biasa manisnya ini. Pemuda tampan itu sampai melongo dan mukanya sebentar pucat sebentar merah. Begitu hebat wajah Ang I Niocu menarik hatinya.

   "Hwesio-Hwesio dari Bu-Tong-Pai ketahuilah. Aku sudah mendapat tugas dari Locianpwe Thian Beng Cu untuk menyelesaikan urusan pertikaian antara Kim-San-Pai dengan Bu-Tong-Pai. Sekarang aku justru hendak pergi ke Bu-Tong-Pai menghadap Lo Beng Hosiang untuk mendamaikan urusan. Akan tetapi, baru kemarin utusan Kim-San-Pai yang datang ke Bu-Tong-Pai untuk mendamaikan urusan, telah dilukai orang."

   Ang I Niocu mempergunakan lirikan matanya yang tajam menyambar ke arah pemuda tampan itu.

   "Dan melihat gelagatnya, agaknya kalian inilah yang menyerang mereka. Sekarang, kalian datang ke sini dengan sikap aneh, membawa-bawa pula seorang jagoan. Mau apakah?"

   Pemuda itu menjadi merah mukanya! Cepat ia maju dan menjura kepada Ang I Niocu, lalu bicara dengan suaranya yang halus dan sikapnya yang sopan,

   "Maaf, maaf... harap Niocu sudi memberi maaf. Agaknya dalam urusan ini ada kesalahpahaman, dan antara kau dan aku kiranya ada persamaan tugas. Ketahuilah, Nona, aku Liem Sun Hauw murid Go-Bi-Pai mewakili Susiok Twi Mo Siansu, datang ke Bu-Tong-Pai juga dengan maksud mendamaikan urusan perselisihan antara Bu-tong dan Kim-San-Pai."

   Tiba-tiba pemuda itu menunda kata-katanya karena ia melihat betapa sepasang mata yang indah itu mengeluarkan sinar berapi-api dan wajah gadis itu menjadi merah. Jelas sekali bahwa gadis itu marah luar biasa kepadanya.

   "Eh. Nona... kau... mengapa kau marah kepadaku?"

   Tanyanya gagap. Memang, Ang I Niocu marah sekali sehingga ia merasa seluruh tubuhnya tergetar-getar. Tangan yang memegang pedang menggigil dan kalau ia tidak mengerahkan seluruh tenaga batin, tentu ia sudah sejak tadi menyerang pemuda di depannya ini. Jadi inilah pemuda yang bernama Liem Sun Hauw, inilah pemuda yang disebut-sebut oleh Ayahnya dahulu, pemuda yang hendak dijodohkan dengan dia! Inilah pemuda yang menjadi gara-gara, menjadi biang keladi sehingga ia kehilangan kekasihnya dan kehilangan Ayahnya pula. Kalau tidak ada pemuda ini di muka bumi, kiranya ia tidak akan kehilangan Ayahnya, dan kiranya ia akan dapat berjodoh dengan Gan Tiauw Ki.

   "Kau...?"

   Ketika hendak mengeluarkan kata-kata, ternyata lehernya seperti tercekik dan yang keluar hanya sebuah kata-kata itu saja. Pemuda itu memandang heran. Ia tidak mengerti mengapa nona cantik ini begitu marah kepadanya. Akan tetapi Ang I Niocu teringat akan tugasnya, teringat bahwa ia sedang melakukan tugas yang diperintahkan oleh Susiok-Couwnya Bu Pun Su. Kalau ia menuruti nafsu hatinya sehingga urusan itu menjadi kacau, tentu ia akan mendapat marah besar dari Susiok-Couwnya. Setelah dapat menekan debar jantungnya, ia berkata, melanjutkan kata-katanya tadi,

   "Kau bilang hendak mendamaikan, mengapa kau justru melukai dua orang Tosu Kim-San-Pai? Dan mengapa kau menghadang rombongan utusan Kim-San-Pai ke Bu-Tong-San? Mengapa pula sekarang kau datang ke sini? Hendak menyerbu Kim-San-Pai? Hemm, kau mengandalkan apakah demikian sombong?"

   Menghadapi tuduhan Ang I Niocu, Liem Sun Hauw merasa penasaran sekali. Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, pemuda ini telah dipilih oleh Twi Mo Siansu ketua Go-Bi-Pai sebagai wakilnya memenuhi permintaan Bu Pun Su. Tugas Liem Sun Hauw adalah untuk mendamaikan pertikaian yang timbul antara Bu-Tong-Pai dan Kim-San-Pai. Dan seperti telah dituturkan di bagian depan, pemuda ini memiliki kepandaian tinggi dan telah mendatangkan rasa kagum kepada Kiang Liat sehingga Pendekar itu memungut pemuda ini sebagai mantunya! Setelah Liem Sun Hauw berpisah jaIan dengan Kiang Liat, pemuda ini melanjutkan perjalanannya ke Bu-Tong-Pai yang amat jauh itu. Karena perjalanan lni melalui Propinsi Shansi, dan kampungnya hanya terletak seratus li dari jalan itu,

   Ia singgah dulu di kampungnya, Peng-Kan-Mui untuk memberi tahu Ayahnya akan segala pengalamannya. Pemuda ini memang seorang anak berbakti dan ia tidak tega meninggalkan Ayahnya seorang diri terlalu lama. Alangkah sedihnya ketika ia mendapatkan Ayahnya yang sudah tua dan duda itu ternyata sedang menderita sakit panas yang agak berat juga. Terpaksa ia menunda perjalanannya. Tugas yang ia terima dari Susioknya boleh jadi penting, akan tetapi lebih penting lagi menjaga dan merawat Ayahnya. Oleh karena inilah maka perjalanannya terlambat. Sampai lima bulan lebih ia tinggal di rumahnya untuk merawat Ayahnya. Ketika ia pergi, yang merawat Ayahnya Tang Siok Lan, gadis tetangga yang semenjak kecil sudah dikenalnya. Gadis ini manis dan terkenal sebagai bunga kampung Peng-Kan-Mui, dan melihat gelagatnya, semenjak dahulu gadis itu "Ada hati"

   Kepadanya.

   Akan tetapi, tentu saja tidak pernah menyatakan hal ini dengan kata-kata atau gerakan, hanya sinar matanya saja yang berkata banyak. Sebaliknya, Sun Hauw juga amat suka kepadanya, kawan mainnya semenjak kecil. Seperti juga dia, Siok Lan telah ditinggal mati ibunya dan. hanya hidup bersama Ayahnya dan kakaknya yang sudah menikah dan tinggal satu rumah dengan Ayahnya. Setelah Sun Hauw datang, Siok Lan mengundurkan diri dan pemuda itu yang menggantikannya merawat Ayahnya sendiri. Akan tetapi boleh dibilang setiap hari Siok Lan pasti datang untuk membawa ini-itu, untuk menyatakan ini-itu, sehingga diam-diam Sun Hauw makin suka dan merasa berhutang budi kepada gadis manis itu. Akhirnya Ayahnya sembuh dan Sun Hauw teringat kembali akan tugasnya. Diceritakannya semua pengalamannya kepada Ayahnya, kecuali tentang maksud Kiang Liat menariknya menjadi mantu.

   "Berangkatlah, Sun Hauw. Sudah menjadi tugasmu memenuhi perintah Susiokmu itu. Akan tetapi kau berhati-hatilah dan jangan terlalu lama pergi. Setelah tugasmu selesai kau harus segera pulang, karena aku bermaksud merayakan pernikahanmu."

   Sun Hauw kaget.

   "Pernikahan...!"

   Ayahnya mengangguk.

   "Kau sudah cukup dewasa, Sun Hauw. Dan kau melihat sendiri betapa baiknya Siok Lan. Kiranya di atas dunia ini sukar mencari keduanya. Pula, bukankah ia kawan mainmu semenjak kecil? Dan bukankah kalian sudah saling suka? Aku sudah mengambil keputusan dan berdamai dengan Ayahnya, perjodohan antara kau dan Siok Lan sudah kuikat. Kau kuberi waktu setengah tahun, Anakku. Ayah sudah tua dan sudah ingin melihat seorang cucu."

   Sun Hauw menundukkan kepalanya saja, tidak berani membantah. Memang harus ia akui bahwa selama ini, satu-satunya gadis yang menarik hatinya hanyalah Siok Lan seorang. Akan tetapi, mendengar ucapan Ayahnya tentang perjodohannya dengan Siok Lan, ia teringat akan usul Kiang Liat dan ia menjadi ragu-ragu. Tak dapat disangkalnya bahwa Siok Lan adalah seorang gadis pilihan. Cukup cantik manis dan ia sudah tahu dan kenal betul akan watak gadis itu yang lemah-lembut, halus dan berbudi mulia. Akan tetapi, gadis itu adalah seorang yang lemah, yang tidak pernah belajar ilmu silat sedikit pun juga! Berbeda dengan puteri dari Kiang Liat, Pendekar yang berilmu tinggi itu. Apalagi menurui penuturan Kiang Liat sendiri, puterinya bernama Kiang Im Giok dan berjuluk Ang I Niocu itu, kepandaiannya bahkan lebih tinggi daripada Kiang Liat.

   Padahal ilmu kepandaian Kiang Liat saja sudah tinggi sekali! Sun Hauw menjadi bimbang. Bingung ia kalau harus memilih. Siok Lan cantik jelita, berbudi baik, akan tetapi tidak pandai silat. Ang I Niocu Kiang Im Giok lihai ilmu silatnya akan tetapi ia belum pernah melihatnya, tidak tahu apakah dia itu juga cantik dan bagaimana wataknya. Akan tetapi, Sun Hauw tidak berani membantah. Ia tidak mau membikin Ayahnya kecewa dan berduka, maka ia tidak menyatakan sesuatu tentang perjodohan ini. Maka berangkatlah Sun Hauw menuju ke Bu-Tong-San. Ketika tiba di kaki Pegunungan Min-San, di tengah jalan ia bertemu serombongan anak murid Bu-Tong-Pai. Sun Hauw bermata tajam dan sekali melihat saja ia dapat menduga bahwa rombongan yang terdiri dari belasan orang ini adalah orang-orang berkepandaian silat.

   Maka ia menyapa mereka dan mengajak berkenalan. Alangkah girangnya ketika mereka itu terus terang mengaku bahwa mereka adalah anak-anak murid Bu-Tong-Pai yang sedang melakukan tugas meronda. Ternyata bahwa Bu-Tong-Pai juga tidak tinggal diam dan berpeluk tangan saja melihat adanya Pemberontakan-Pemberontakan di berbagai tempat. Atas perintah Lo Beng Hosiang ketua Bu-Tong-Pai, anak-anak murid yang bukan Hwesio diberi tugas melakukan penjagaan dan penyelidikan di beberapa tempat. Min-San termasuk wilayah perbatasan Secuan-Kansu-Shensi, maka di tempat ini pun terdapat anak-anak murid Bu-Tong-Pai, yang melakukan ronda dan penjagaan. Rombongan yang bertemu dengan Sun Hauw inilah rombongan anak murid Bu-Tong-Pai yang sedang melakukan penyelidikan.

   "Kebetulan sekali,"

   Kata Sun Hauw.

   "Siauwte juga sedang menuju ke Bu-Tong-Pai atas perintah dari Susiok Twi Mo Siansu ketua Go-Bi-Pai."

   Dengan singkat ia lalu menuturkan tentang tugasnya. Tentu saja rombongan Bu-Tong-Pai itu merasa girang, akan tetapi mereka menyatakan bahwa pada waktu itu mereka sedang menyelidiki ke puncak Min-San, karena mendengar kabar tentang datangnya sepasukan Pemberontak, yakni anah buah pasukan Pemberontak Lie di propinsi Shensi.

   "Kami harus menyelidiki apa yang mereka lakukan di sini, dan kalau perlu mengusir mereka,"

   Kata seorang di antara rombongan Bu-Tong-Pai itu. Karena Sun Hauw juga termasuk orang yang anti Pemberontak, ia lalu menyatakan kesediaannya untuk membantu. Demikianlah, mereka mendaki puncak Min-San dan kebetulan sekali melihat Ang I Niocu dikeroyok oleh pasukan Pemberontak, lalu turun tangan membantunya. Seperti telah dituturkan di bagian depan, Ang I Niocu tidak mau menghubungi mereka dan meninggalkan Sun Hauw yang amat tertarik oleh kecantikannya.

   Memang Sun Hauw benar-benar tertarik sekali. Harus ia akui bahwa selama hidupnya belum pernah ia melihat seorang dara demikian ayu dan demikian tinggi ilmu silatnya. Tidak mengherankan apabila ia terpesona dan merasa seakan-akan semangatnya terbetot keluar mengikuti bayangan nona itu. Diam-diam ada juga dugaan di dalam hatinya yang memberdebar-debar. Nona itu berpakaian serba merah, cantik jelita dan lihai sekali. Apakah dia itu yang disebut Ang I Niocu, puteri dari Kiang Liat? Kalau teringat akan dugaan ini, Sun Hauw menjadi berdebar-debar. Kalau betul nona itu Ang I Niocu yang hendak dijodohkan dengan dia, aduuuh! Bukan main cantiknya! Dan bukan main tinggi ilmu silatnya. Akan tetapi, wataknya... mengapa demikian galak? Dengan rombongan Bu-Tong-Pai, Sun Hauw lalu menuju ke Bu-Tong-San.

   Kebetulan sekali, baru saja ia naik sampai di lereng puncak Bu-Tong-San dan disambut oleh para Hwesio penyambut, tiba-tiba seorang Hwesio berlari-lari dari bawah melaporkan bahwa ada orang-orang Kim-San-Pai datang menyerbu! Sementara itu, Sun Hauw di sepanjang jalan telah mendengar dari anak-anak murid Bu-Tong-Pai bahwa Kim-San-Pai selalu mencari perkara dan permusuhan, dan biarpun Bu-Tong-Pai sudah banyak mengalah, selalu Kim-San-Pai mendesak mengandalkan ilmu silatnya yang katanya lebih tinggi dari Bu-Tong-Pai! Hal ini memang sudah wajar. Setiap kali ada dua pihak bermusuhan, tentu masing-masing pihak tidak mau mengaku salah, dan selalu menganggap pihak yang lain amat jahat. Siapakah orangnya yang berani mengaku dia yang salah dan pihak lawan yang benar? Orang demikian inilah betul-betul orang gagah, akan tetapi di dunia hanya ada satu setiap seribu!

   Sun Hauw tidak mau berlaku ceroboh. Biarpun ia sudah mendapat kesan jelek tentang Kim-San-Pai dari para anak murid Bu-Tong-Pai, akan tetapi ia hendak melihat dulu dan tidak akan mencampuri kalau tidak perlu sekali. Maka ia pun ikut dengan para Hwesio itu turun lagi dari lereng untuk menyambut datangnya rombongan Kim-San-Pai. Kalau dua pihak yang bermusuhan dan di dalam hati telah mengandung dendam dan benci saling bertemu, sukarlah untuk mengharapkan kata-kata yang baik dan suasana menjadi panas sekali dan hal ini dapat dimaklumi. Para Hwesio Bu-Tong-Pai ketika melihat tujuh orang Tosu naik ke puncak Bu-Tong-Pai sambil mempergunakan ilmu lari cepat, sudah menduga salah dan menuduh mereka itu sengaja memamerkan kepandaian mereka dalam ilmu lari cepat! Kini kedua rombongan itu sudah saling berhadapan.

   "Tosu-Tosu sombong kalian berani naik ke sini mau apakah?"

   Tegur seorang Hwesio Bu-Tong-Pai. Semua Hwesio Bu-Tong-Pai telah mencabut pedang dan bersiap sedia memandang kepada para Tosu itu dengan penuh curiga.

   Para Tosu Kim-San-Pai melihat sikap bermusuh dari Hwesio-Hwesio Bu-Tong-Pai itu pun merasa tersinggung dan tak senang. Apalagi kalau mereka lihat bahwa Hwesio-Hwesio yang menyambut mereka dengan sikap kurang ajar dan bermusuh ini bukanlah Hwesio-Hwesio tingkat tinggi, melainkan Hwesio tingkat rendah saja. Yang datang adalah dua orang sute dari Ketua Kim-San-Pai bersama lima orang Hwesio tingkat tinggi, ini merupakan rombongan orang-orang terkemuka dari Kim-San-Pai. Akan tetapi kedatangan mereka disambut secara kasar oleh Hwesio-Hwesio tingkat rendah. Benar-benar hal ini merupakan penghinaan bagi Kim-San-Pai. Thian Hok Cu dan Thian Lok Cu, dua orang sute Thian Beng Cu ketua Kim-San-Pai mengerutkan kening. Thian Lok Cu adalah seorang Tosu yang berwatak keras. Melihat sikap para Hwesio itu ia lalu melangkah maju dan berkata nyaring,

   
Dara Baju Merah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Sobat-sobat gundul ketahuilah bahwa kami datang untuk bertemu dengan Lo Beng Hosiang, bukan untuk ribut mulut dengan kalian. Lekas kalian laporkan kedatangan kami kepada Lo Beng Hosiang atau kalian menyingkir agar kami dapat naik sendiri ke kuil Bu-Tong-Pai!"

   "Tosu sombong! Macam kalian ini mau bertemu dengan Guru besar kami? Kalau ada keperluan, lekas beritahu kepada kami, kalau tidak lebih baik kalian lekas-lekas pergi dari sini sebelum kami terpaksa mendorong kalian menggelundung turun!"

   Kata seorang Hwesio yang pernah menjadi pecundang dalam sebuah pertempuran dengan anak murid Kim-San-Pai beberapa hari yang lalu. Suasana menjadi makin panas ketika serombongan Hwesio turun pula dari atas. Mereka ini sebagian besar adalah Hwesio-Hwesio tingkat rendah yang paling merasa "dendam"

   Kepada pihak Kim-San-Pai maka ramailah mereka mengeluarkan kata-kata menantang. Para Tosu Kim-San-Pai juga sudah mencabut pedang, takut kalau-kalau para Hwesio yang amat banyak itu menyerbu dengan tiba-tiba. Thian Lok Cu menggerak-gerakkan tangannya sambil membentak,

   "Hwesio-Hwesio tidak tahu aturan, apakah kalian hendak mengeroyok kami?"

   Seorang Hwesio bermuka hitam melompat keluar dan melintangkan toya di depan dadanya. Hwesio ini adalah Twi Kang Hwesio, murid termuda dari Lo Beng Hosiang, sifatnya jujur dan berangasan, tidak mau kalah. Ia sudah marah sekali mendengar kata-kata Thian Lok Cu tadi, maka katanya dengan suara menggeledek,

   "Tosu bau! Masa untuk menghadapi seorang Kim-San-Pai saja harus dilakukan keroyokan? Pinceng sendiri sudah cukup mencegah kau naik dan membikin ribut. Hayo turun, atau kau berani menghadapi toyaku ini?"

   Diamang-amangkan toyanya di depan muka Thian Lok Cu.

   "Keparat gundul, kami datang dengan maksud baik, kalian sengaja mengajak pibu? Baik, baik, jangan kira Kim-San-Pai tidak mempunyai orang lihai. Kalau aku kalah olehmu, aku akan kembali ke Kim-San-Pai dan belajar sepuluh tahun lagi."

   Tak dapat dicegah pula, pertempuran hebat pasti akan terjadi. Melihat hal ini, Thian Hok Cu yang lebih tua dan lebih sabar daripada Thian Lok Cu, menggoyang-goyang tangan dan berkata,

   "Sahabat-sahabat dari Bu-Tong-Pai, harap tenang dan sabar. Lebih baik melaporkan kepada Lo Beng Hosiang bahwa kami hendak bertemu bukan mencari keributan di sini."

   Akan tetapi suasana yang sudah panas itu mana bisa dibikin dingin oleh Thian Hok Cu yang tidak pandai bicara? Seorang Hwesio tinggi kurus yang memegang pedang, yakni Suheng dari Twi Kang Hwesio, yang bernama Lu Pek Hwesio, melangkah maju menghadapi Thian Hok Cu sambil berkata,

   "Tosu, kalau kau tidak berani menerima tantangan pibu, lebih baik kau pulang saja dan jangan berlagak pula di sini. Ingat bahwa di sini adalah tempat kami!"

   Terdengar suara seorang Hwesio dari belakang,

   "Ha, satu lawan satu saja dia sudah ketakutan. Lihat mukanya pucat seperti mayat, ha, ha. Tosu pengecut!"

   Memang Thian Hok Cu mempunyai muka yang pucat kuning, maka sindiran ini benar-benar menyakitkan hatinya. Thian Lok Cu berkata kepada Suhengnya,

   "Suheng, apakah kita harus diamkan saja orang-orang hutan ini menghina Partai kita? Sedikitnya kita harus menjaga nama baik Kim-San-Pai. Mari kita layani tantangan pibu mereka."

   Didesak seperti itu, akhirnya Thian Hok Cu kehilangan kesabaran pula. Ia memandang kepada rombongan Hwesio dan berkata,

   "Biarlah kami berdua layani tantangan pibu kalian. Akan tetapi kalau kami menang, kami harus boleh naik menemui Lo Beng Hosiang!"

   Twi-Kang Hwesio dan Lu Pek Hwesio sudah siap sedia. Twi Kang Hwesio Si muka hitam menghadapi Thian Lok Cu dan berkata,

   "Menang kalah masih belum tentu mengapa ribut-ribut? Kalau kalian bisa menangkan kami, tentu saja kalian boleh lakukan apa yang kalian suka, siapa berani menghalang? Siaplah dan lihat senjata!"

   Sambil berkata begini, toyanya menyelonong ke depan melakukan serangan pertama. Dengan mudah Thian Lok Cu menangkis, dan terjadilah pertempuran sengit antara Thian Lok Cu melawan Twi Kang Hwesio dan Thian Hok Cu yang bertempur melawan Lu Pek Hwesio.

   Berbeda dengan Sutenya yang main toya, Lu Pek Hwesio bermain pedang dan pertempuran ini lebih ramai. Suara senjata bertemu senjata terdengar nyaring menegangkan hati, berkelebatnya sinar senjata menambah keseraman pertempuran itu. Liem Sun Hauw semenjak tadi hanya menonton, bingung dan tidak tahu harus berbuat apa. Dia diberi tugas untuk mendamaikan pertikaian antara Kim-San-Pai dan Bu-Tong-Pai, dan sekarang ia menjadi saksi pertempuran antara kedua Partai itu! Kalau ia turun tangan keadaannya tak akan menjadi lebih baik, pikirnya. Suasana sudah terlalu panas dan kedua pihak sudah marah sekali. Kalau ia datang memisah, belum tentu mereka suka menurut, bahkan dia sendiri mungkin akan dimusuhi oleh kedua pihak! Ia telah mendapat kesan baik tentang Bu-Tong-Pai dan kesan buruk tentang Kim-San-Pai,

   Dan sekarang ia lihat bahwa pertempuran itu adalah sebuah pibu yang adil, maka ia menjadi serba salah dan hanya menonton di pinggir. Tak lama kemudian ternyata bahwa kepandaian dua orang Tosu Kim-San-Pai itu masih lebih tinggi tingkatnya daripada kepandaian Twi Kang Hwesio dan Lu Pek Hwesio. Hampir bersamaan waktunya, dua orang Hwesio itu roboh dengan menderita luka-luka ringan, terkena tusukan dan babatan pedang dua orang tokoh Kim-San-Pai itu. Para Hwesio Bu-Tong-Pai menjadi marah sekali. Mereka sudah mencabut senjata masing-masing dan lebih dari lima puluh orang Hwesio ini agaknya hendak menyerbu, mengeroyok tujuh orang Tosu Kim-San-Pai. Melihat hal ini, Liem Sun liauw cepat melompat ke tengah, mendahului para Hwesio itu dan menghadapi Thian Hok Cu dan Thian Lok Cu.

   "Ji-wi totiang harap mundur saja dan jangan lanjutkan maksud naik ke puncak,"

   Katanya nyaring. Para Hwesio yang melihat pemuda utusan Ketua Go-Bi-Pai itu maju, berhenti bergerak dan menjadi besar hati. Mereka tahu akan kelihaian utusan Go-Bi-Pai ini maka diam-diam mereka hanya memperhatikan apa yang akan terjadi selanjutnya. Adapun Thian Hok Cu dan Thian Lok Cu, setelah mendapat kemenangan, tentu saja tidak mau mundur. Mereka menganggap amat tidak adil kalau pihak yang menang bahkan harus mundur! Bukankah tadi sudah dijanji bahwa karena mereka menang, mereka akan diperkenankan menemui Lo Beng Hosian?

   "Kau ini siapakah dan ada hak apakah akan melarang kami?"

   Thian Lok Cu membentak marah. Liem Sun Hauw tersenyum.

   "Totiang, Siauwte sekali-kali bukan melarang, hanya Siauwte anggap jauh lebih baik menghindari pertengkaran yang makin menghebat daripada berkeras kepala."

   "Kami sudah menang, kau mau apa? Kalau masih ada yang penasaran, boleh coba-coba. Kami selalu sedia melayani, asal jangan dilakukan pengeroyokan secara pengecut!"

   Kata pula Thian Lok Cu. Sun Hauw mengerutkan kening. Sikap yang diperlihatkan oleh Tosu ini sama sekali tidak baik, pikirnya. Sikap yang seperti inilah yang memperbesar permusuhan yakni sikap tidak mau mengalah dan keras kepala. Tosu ini menganggap diri sendiri paling pandai, dan kiranya perlu diberi hajaran. Demikian Sun Hauw berpikir. Kalau sampai terjadi pertempuran keroyokan, kiranya tujuh orang Tosu ini akan berbahaya sekali keselamatan jiwa mereka, daripada pertempuran keroyokan lebih baik dia turun tangan dulu mengusir mereka turun gunung.

   "Totiang, kau memang keras kepala dan mengira di dunia ini kau sendiri yang paling kuat. Aku ingin sekali mencoba-coba!"

   Sambil berkata demikian, Sun Hauw mengeluarkan pedangnya dan berdiri dengan tegak, sikapnya menantang. Thian Lok Cu mengeluarkan suara ketawa mengejek, kemudian tubuhnya, bergerak dan ia sudah mulai menyerang sambil berseru,

   "Bocah lancang, lihat pedang!"

   Akan tetapi alangkah kagetnya ketika pemuda itu menangkis, Thian Lok Cu merasa tangannya tergetar hebat, tanda bahwa pemuda itu memiliki tenaga yang besar. Kemudian ia menjadi lebih kaget dan heran lagi menyaksikan ilmu pedang yang cepat dan ganas, jauh bedanya dengan ilmu pedang Bu-Tong-Pai! Akan tetapi ia tidak sudi mundur dan melawan dengan gerakan cepat dan nekat. Akan tetapi, ternyata bahwa ilmu pedang dari pemuda tampan ini lihai sekali.

   Setelah tiga puluh jurus lebih bertempur dengan sengit dan seru, akhirnya dengan mengeluarkan jurus yang hebat, yakni jurus yang disebut Sin-Mo Sam-Bu (Payung Sakti Memutar Tiga Kali), Sun Hauw berhasil merobohkan Thian Lok cu. Jurus ini sebetulnya bukan ilmu pedang Go-Bi-Pai, melainkan ilmu pedang Thian Mo Siansu yang disamping memiliki ilmu silat Go-Bi-Pai juga memiliki ilmu sliat lihai dari orang-orang sakti sehingga Thian Mo Siansu dapat menciptakan ilmu pedang tersebut. Dengan pedang diputar merupakan bundaran sehingga nampaknya seperti orang memakai payung, Sun Hauw berhasil melukai kedua pundak Thian Lok Cu sehingga Tosu itu roboh tak dapat bangun lagi. Kawan-kawannya menolongnya dan Thian Hok Cu melompat maju dengan pedang di tangan.

   

Jodoh Si Mata Keranjang Eps 23 Pendekar Sakti Eps 5 Pendekar Kelana Eps 10

Cari Blog Ini