Ceritasilat Novel Online

Pendekar Kelana 10


Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo Bagian 10



Dan dia melihat betapa ilmu tongkat yang dimainkan Si Kong lucu dan hebat. Penampilan tongkat itu kadang lambat dan kadang cepat sekali, seolah-olah pemuda itu bermain dengan sebuah kitiran angin! Hampir dia berjingkrak dan bersorak saking kagumnya. Akan tetapi dia tetap waspada kalau-kalau kawannya itu terancam bahaya. Ang I Sianjin memandang dengan hati cemas. Diapun dapat melihat betapa Tung-hai Liong-ong terdesak hebat oleh tongkat bambu pemuda lawannya itu. Dia berpikir. Kalau Tung-hai Liong-ong kalah, berarti dia harus menghadapi pemuda lihai itu dan pemuda putera Lam-tok. Berbahaya sekali baginya kalau harus menghadapi kedua orang pemuda itu. Sebaliknya kalau pemuda itu kalah dan dapat dibinasakan, dia dan Tung-hai Liong-ong akan dapat menghadapi putera Lam-tok.

   Tentu saja berpihak kepada Tung-hai Liong-ong lebih menguntungkan. Diam-diam dia lalu memberi isyarat kepada anak buahnya. Melihat isarat ini, lima orang anak buahnya lalu mengepung Si Kong dan mereka berlima kini sudah menyambung tangan mereka dengan sejata cakar setan. Senjata ini tidak boleh dipandang ringan karena sekali lawan terkena guratan tentu nyawanya akan melayang karena keracunan! Sejak tadi kelima Bu-tek Ngo-sian menonton dengan alis berkerut. Mereka juga terkejut mendapat kenyataan bahwa pengemis muda itu adalah putera Lam-tok. Mereka menjadi jerih. Kalau sampai terdengar Lam-tok bahwa mereka bermusuhan dengan puteranya, tentu Lam-tok menjadi marah dan tidak akan dapat mengampuni mereka. Pula, lima orang datuk ini mempunyai harga diri. Tidak mau mereka melakukan pengeroyokan kepada dua orang muda itu.

   Maka Ciok Khi yang paling tua memberi isarat kepada empat orang rekannya untuk pergi saja dari situ. Merekapun melompat jauh dan berlari meninggalkan tempat itu. Melihat lima orang hendak mengeroyok Si Kong, kembali kedua tangan Siangkoan Ji bergerak dan empat batang anak panah meluncur secepat kilat ke arah lima orang itu. Dua orang dari mereka dapat mengelak, akan tetapi dua yang lain roboh sambil menjerit lalu berkelojotan tewas! Bukan main marahnya Ang I Sianjin. Lima orang anak buahnya telah tewas terkena anak panah itu. Dia memberi isyarat kepada anak buahnya yang tinggal sembilan orang itu. Anak buah Kwi-jiauw-pang mengerti akan arti isarat itu dan mereka semua terpecah menjadi dua rombongan. Emnpat orang mengeroyok Si Kong dan lima orang sudah siap membantunya.

   "Bocah kurang ajar! Berani engkau membunuhi anak buahku?"

   Bentaknya dan diapun sudah mencabut pedang di punggungnya dan kipas di pegang di tangan kirinya. Setelah begitu, dia menerjang Siangkoan Ji dengan membabi buta saking marahnya, Siangkoan Ji mengelak dengan cepatnya, berlompatan ke kanan kiri, kadang ke atas. Kini dia tidak mendapat kesempayan untuk menggunakan anak panahnya. Akan tetapi begitu tangannya bergerak, dia sudah mencabut sepasang pisau belati atau pedang kecil yang disembunyikan di bawah jubahnya yang kebesaran. Dan begitu dia memegang sepasang belati itu, diapun kini dapat membalas serangan Ang I Sianjin dengan nekat!

   Biarpun sedang bertanding melawan Tung-hai Liong-ong, akan tetapi Si Kong tidak pernah melepaskan perhatiannya begitu dia melihat kawannya bertanding melawan Ang I Sianjin. Jantungnya berdebar karena tegang dan gelisah. Sekali pandang saja tahulah bahwa Ang I Sianjin bukan lawan Siangkoan Ji, dan pemuda jembel itu terancam bahaya maut! Saat itu, tongkat naga menyambar ke arah kepalanya. Si Kong menangkis dengan tongkat bambunya dan mengerahkan tenaga sinkangnya sehingga tongkat itu tidak dapat terlepas dari tempelan tongkat bambu. Ketika lawan agak terkejut melihat ini, Si Kong sudah mengeluarkan jurus Hok-liang Sin-ciang, menghantam ke arah perut lawan. Tung-hai Liong-ong masih dapat menangkis, akan tetapi pukulan ke arah perut itu di tangkis turun dan tetap mengenai pahanya.

   "Dess"!"

   Tubuh Tung-hai Liong-ong terlempar.

   Empat orang anak buah Kwi-jiauw-pang menyerang Si Kong, akan tetapi dengan gerakan tongkatnya dia mampu membuat empat orang itu roboh dan tak dapat bergerak lagi karena sudah tertotok jalan darah mereka. Si Kong menoleh ke arah Siangkoan Ji. Dia terkejut sekali karena kini pemuda jembel itu dikeroyok enam orang yang lihai ilmu kepandaiannya, yaitu Ang I Sianjin dan lima orang anak buahnya. Dengan sepasang pisau belatinya Siangkoan Ji membela diri, akan tetapi pihak lawan terlalu kuat baginya. Baru menanding Ang I Sianjin saja dia sudah kewalahan, apalagi kini Ang I Sianjin di bantu lima orang anak buahnya! Sebuah tangan cakar iblis telah mengenai pundaknya, dan dadanya juga di sengat ujung kipas. Siangkoan Ji terhuyung lalu roboh. Lima orang anggauta Kwi-jiauw-pang hendak menurunkan tangan maut, akan tetapi pada saat itu, sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu mereka berlima sudah terpelantingan dan roboh oleh terjangan Si Kong.

   Si Kong yang melihat kawannya terdesak, segera meloncat untuk menolong. Akan tetapi dia sedikit terlambat karena Siangkoan Ji sudah roboh. Dengan kemarahan dan kekhawatiran, Si Kong lalu menggunakan jurus Hwi-liong Sin-ciang (Tangan Sakti Naga Terbang) dia meloncat dan menerjang lima orang yang menghampiri Siangkoan Ji dan hendak membunuhnya itu. Terjangannya disertai tenaga dalam yang demikian hebatnya sehingga lima orang itu terpental roboh. Melihat ini, Ang I Sianjin menyerang Si Kong dengan pedang dan kipasnya. Akan tetapi Si Kong yang sudah marah, bahkan menyambut serangannya dengan gerakan tongkat yang aneh. Tahu-tahu pergelangan tangan kanan tertotok sehingga pedang itu terlepas, dan ketika kipas menyambar, Si Kong menggerakkan tongkatnya menyambut.

   "Breett...!"

   Kipas itu pecah dan Ang I Sianjin terhuyung. Dia melihat betapa Tung-hai Liong-ong sudah melarikan diri dengan terpincang-pincang, maka melihat bahwa dia sudah tidak mempunyai kawan lagi, tanpa malu-malu Ang I Sianjin menyambitkan sisa kipasnya ke arah Si Kong. Pemuda ini menangkis, dan dia melihat Ang I Sianjin sudah melarikan diri.

   Dia hendak mengejar, akan tetapi terdengar rintihan Siangkoan Ji. Cepat dia membalik dan memeriksa keadaan kawannya itu. Siangkoan Ji berada dalam keadaan setengah pingsan. Melihat ini, Si Kong segera memondongnya pergi dari situ, mencari tempat yang tenang dan bersih. Dia berhenti di bawah sebatang pohon besar lalu merebahkan Siangkoan Ji di atas tanah yang ditilami daun-daun kering itu. Melihat baju di bagian pundak hangus dan bagian dada terobek, Si Kong lalu merobek dibagian pundak. Dia mengerutkan alisnya melihat betapa dipundak itu nampak bekas cakaran yang menghitam! Tahulah dia bahwa kawannya itu menderita luka beracun yang ganas sekali. Cepat ditotoknya semua jalan darah di bagian leher dan pundak untuk mencegah agar racun itu tidak menjalar kemana-mana, terutama ke jantung dan kepala.

   Kemudian dia memeriksa detik nadi Siangkoan Ji. Dia membelalakkan mata dan menggeleng-geleng kepalanya. Detik nadinya biasa-biasa saja seperti seorang yang sehat. Namun pemuda remaja itu harus diselamatkan. Maka tanpa ragu lagi dia menempelkan mulutnya pada pundak itu dan menyedot dengan kuat. Darah yang terasa pahit memasuki mulutnya dan dia meludahkan darah itu. Sampai tiga kali dia menyedot dan meludahkan darah yang tersedot. Kemudia dia memeriksa lagi. Warna hitam itu sudah hampir lenyap sama sekali. Dia lalu mengambil sebuah botol kecil terisi obat yang lunak. Diolesinya bekas luka itu dan diapun bernapas lega. Kawannya telah tertolong. Melihat pakaian pada dada Siangkoan Ji terobek panjang seperti digurat pedang, diapun membuka pakaian dibagian dada itu.

   "Ihhh...!"

   Seperti dipagut ular, Si Kong meloncat jauh ke belakang. Dia berdiri dengan mata terbelalak, melihat ke arah baju yang sudah terbuka bagian dadanya. Dia melihat buah dada yang menonjol. Buah dada seorang wanita! Si Kong berdiri dan merasa betapa kedua kaki dan kedua tangannya tergetar menggigil seperti orang terserang demam.

   Ia lalu memejamkan matanya dan mengatur pernapasannya agar jantungnya tidak berdebar begitu keras lagi. Kemudian dia menghampiri tubuh Siangkoan Ji, dengan hati-hati menutupkan kembali baju bagian dada yang terbuka itu. Kembali dia memeriksa nadi tangan kawannya yang ternyata seorang gadis itu. Denyut nadinya normal, pertanda bahwa luka di dada itu tidak terlalu berat. Setelah memeriksa dan merasa lega bahwa gadis itu tidak menderita luka yang parah, Si Kong menjauhkan diri lagi dan tidak melihat ke arah Siangkoan Ji. Akan tetapi dia segera memejamkan matanya karena di depan matanya terbayang dada dan pundak yang terbuka. Baru kini dia menyadari betapa lembut dan halus kulit pundak Siangkoan Ji ketika dia menyentuhnya untuk memberi obat.

   Dan mengingat bahwa bibirnya pernah menyentuh pundak itu, mengecup dan menyedotnya, dia bergidik! Karena dia duduk membelakangi Siangkoan Ji, dia tidak melihat betapa gadis itu telah membuka matanya, mencoba bangkit berdiri akan tetapi pundaknya terasa nyeri sehingga ia duduk kembali. Tiba-tiba terlihat betapa bajunya dibagian dada dan pundak terbuka. Cepat-cepat dia menutupkan lagi baju dibagian dada yang terbuka. Ketika ia hendak menutupkan bagian pundak, jari-jari tangannya menyentuh luka di pundak dan tahu bahwa pundak itu sudah diobati. Siapa lagi kalau bukan Si Kong yang mengobatinya? Akan tetapi, kalau demikian halnya, berarti pemuda itu telah melihat pundak dan dadanya! Dengan mata bersinar marah dan kedua pipi kemerahan karena malu, dia memanggil,

   "Kong-ko...!"

   Si Kong terkejut, menengok dan wajahnya berubah menjadi merah. Gadis itu sudah duduk dan sepasang mata yang jernih tajam itu menatapnya dengan marah.

   "Ah, engkau telah siuman, Ji-te?"

   Tanyanya, pura-pura tidak tahu bahwa kawannya itu adalah seorang gadis.

   "Kong-ko, engkaukah yang telah mengobati pundakku?"

   Si Kong mengangguk.

   "Aku melihat engkau terluka dipundakmu karena bajumu robek. Ternyata engkau terluka oleh cakaran setan. Aku lalu mengeluarkan dan membuang racun itu."

   "Bagaimana caranya engkau mengeluarkan racun dari pundakku?"

   Wajah Si Kong menjadi lebih merah lagi.

   "Racun itu berada di bawah kulit pundakmu dan aku mengeluarkan dengan jalan menyedot dari luka pundakmu."

   Wajah Siangkoan Ji juga menjadi semakin merah.

   "Dan... apakah engkau memeriksa luka di dadaku?"

   Si Kong menjadi semakin salah tingkah, merasa malu dan bingung untuk menjawab pertanyaan itu. Akan tetapi lebih baik berterus terang, karena dia membuka baju dibagian dada itu bukan sengaja, melainkan karena dia tidak tahu bahwa Siangkoan Ji adalah seorang wanita.

   "Bagaimana, Kong-ko?"

   Siangkoan Ji mendesak.

   "Itu... eh, memang aku memeriksa luka itu. Hanya lecet, tidak berbahaya."

   Siangkoan Ji mengeluarkan seruan marah dan ia sudah melupakan nyeri dipundaknya, meloncat berdiri menghampiri Si Kong.

   "Engkau pemuda kurang ajar!"

   "Eh, Ji-te..."

   "Tidak perlu berpura-pura lagi menyebutku Ji-te. Engkau berani membuka bajuku, hal itu sungguh memalukan sekali!"

   Gadis itu lalu mendekat dan tangan kanannya menampar pipi kiri Si Kong.

   "Plak-plakk!"

   Dua kali ia menampar sehingga pipi kiri Si Kong menjadi merah sekali.

   "Engkau patut di hajar, laki-laki tak tahu malu!"

   "Eh, Ji-te... hemm, Ji-moi... aku tadinya sama sekali tidak tahu bahwa engkau bukan seorang pria, maka aku berani membuka bajumu untuk memeriksa lukamu!"

   Kedua tangan yang sudah dikepal untuk menyerang itu menjadi lemas dan tiba-tiba saja Siangkoan Ji menjatuhkan diri duduk di atas tanah dan menangis sesenggukan! Si Kong menjadi semakin bingung, Siangkoan Ji tadinya dianggap seorang pemuda remaja yang gagah perkasa dan tabah, tidak mengenal takut, akan tetapi sekarang kenyataannya ia seorang wanita! Tangisnya yang mengguguk itu lebih jelas lagi menyatakan bahwa ia memang seorang gadis yang merasa terhina dan malu karena dadanya telah terlihat oleh seorang pria!

   "Ji-te... eh, Ji-moi, kau maafkanlah aku. aku tidak sengaja dan kalau aku tahu sebelumnya bahwa engkau seorang wanita, biar bagaimanapun juga aku tidak akan berani melakukan hal itu. Kalau engkau masih penasaran, pukullah aku lagi. Aku memang layak dipukul."

   Akhirnya tangis gadis itu mereda dan iapun bangkit berdiri, wajah dan matanya kemerahan, dan kedua pipinya masih basah oleh air mata. Ia memandang kepada Si Kong dengan sinar mata tajam menyelidik.

   "Engkau sudah tahu sekarang, tidak perlu lagi menyebutku Ji-te atau Ji-moi. Namaku yang sebenarnya bukan Ji."

   "Ah, maaf. Aku tidak tahu. Siapakah namamu yang sesungguhnya?"

   "Namaku Siangkoan Cu Yin, kalau menyamar sebagai pria aku selalu memakai nama Siangkoan Ji."

   "Siangkaon Cu Yin? Nama yang bagus. Dan benarkah bahwa engkau puteri Lam-tok yang namanya menjulang tinggi, sangat terkenal di dunia persilatan itu?"

   Si Kong memang pernah mendengar sebutan Lam-tok dari kakek Ceng Lo-jin. Menurut gurunya itu, di dunia ini terdapat empat orang datuk besar yang sakti. Pertama adalah Lam-tok (Racun Selatan), kedua Pai-ong (Raja Utara), ketiga Tung-giam-ong (Raja Maut Timur), dan keempat adalah sepasang datuk yang selalu bekerja sama, yaitu Toa-ok dan Ji-ok yang datang dari barat.

   "Benar, aku adalah anak tunggal dari Lam-tok. Ayahku bernama Siangkoan Lok dan kami tinggal ditepi sungai Hung-kiang. Aku mendapat tugas dari Ayahku untuk mencari dan merampas Pek-lui-kiam maka aku menyamar sebagai seorang pemuda jembel agar tidak ada yang mengetahui siapa sebenarnya diriku. Akan tetapi engkau... dengan tidak sengaja telah membuka rahasiaku, tahu bahwa aku seorang wanita, maka tidak perlu lagi aku bersembunyi darimu. Akan tetapi harap engkau tidak membocorkan rahasia ini dari siapapun."

   "Penyamaranmu baik sekali, Yin-moi..."

   "Kalau aku menyamar sebagai pemuda, sebut saja aku Ji-te agar tidak ada orang yang mengetahui rahasiaku."

   "Baiklah, Ji-te. Penyamaranmu baik sekali. Tadinya akupun sama sekali tidak pernah menduga bahwa engkau seorang wanita."

   "Kepandaian menyamar ini kupelajari dari mendiang ibuku. Beliau pernah menjadi sripanggung, pandai menyamar."

   "Ada satu hal lagi yang mengherankan hatiku. Cakar setan itu amat berbahaya, mengandung racun yang amat berbahaya. Akan tetapi mengapa ketika kuperiksa pundakmu, racun itu hanya berhenti dibawah kulitmu, tidak menjalar dan tidak meracuni darahmu."

   "Ayahku terkenal dengan julukan Racun Selatan, dan aku adalah anaknya. Mana mungkin aku dan Ayah dikalahkan dengan racun? Sebelum bertanding tadi aku yang tahu bahwa Kwi-jiauw-pang suka menggunakan racun, telah menelan sebuah pil buatan Ayah. Pil itu dapat menolak segala macam racun, baik yang masuk ke dalam melalui luka atau yang masuk melalui mulut. Karena itulah racun yang masuk ke pundakku hanya sedalam bawah kulit."

   "Wah, hebat sekali engkau, Ji-te, dan aku lega dan girang bukan main melihat engkau selamat, dan lebih girang lagi melihat engkau tidak marah kepadaku."

   Siangkoan Cu Yin memandang wajah pemuda itu dan melihat betapa pipi kiri pemuda itu merah bekas tamparannya. Ia merasa menyesal dan malu.

   "Kong-ko, kau maafkanlah aku. aku tadi menamparmu karena merasa malu dan bingung."

   "Tidak mengapa, Ji-te. Aku merasa bersalah dan lancang maka kalau engkau ingin menampar lagi, silakan, selagi aku masih berada di sini."

   Cu Yin membelalakkan matanya.

   "Apa maksudmu, Kong-ko? Selagi engkau masih disini? Engkau hendak pergi kemanakah?"

   "Terpaksa kita harus berpisah, Yin-moi. Engkau seorang gadis, dan aku seorang pemuda, tidak baik kita melakukan perjalanan bersama. Pula, engkau mendapat tugas dari Ayahmu untuk mencari Pek-lui-kiam. Aku sendiri juga mencari Pek-lui-kiam, maka sebaiknya kita mencari secara terpisah. Lebih besar kemungkinan untuk dapat menemukan pedang pusaka itu."

   "Akan tetapi, biarpun aku seorang wanita, aku sudah menyamar sebagai pria. Engkau sendiri mengatakan bahwa penyamaranku baik sekali. Tidak ada orang lain mengetahui bahwa aku sebenarnya seorang wanita. Apa salahnya kalau kita berdua melakukan perjalanan bersama? Dalam pandangan orang lain, kita adalah dua orang muda laki-laki yang melakukan perjalanan bersama."

   "Akan tetapi ingat, Yin-moi. Aku seorang pria dan aku sudah mengetahui bahwa engkau seorang wanita. Tidak, kita harus berpisah sekarang juga. Selamat tinggal, Yin-moi. Mudah-mudahan kita akan dapat bertemu kembali."

   "Kong-ko...!"

   Akan tetapi pemuda itu telah berkelebat lenyap dari depan Cu Yin. Gadis itu mengejar dan memanggil-manggil beberapa kali, namun ilmu lari cepat Si Kong demikian hebatnya sehingga sebentar saja sudah lenyap bayangannya. Cu Yin berhenti mengejar, membanting-ganting kaki kanannya dan air matanya berlinang.

   "Kau... kejam, meninggalkan aku seorang diri...!"

   Keluhnya. Gadis ini merasa amat tertarik kepada Si Kong, apalagi setelah ia mengetahui bahwa ilmu kepandaian pemuda itu tinggi sekali. Tanpa ia sadari, ia telah jatuh cinta kepada pemuda itu, maka dapat dibayangkan betapa kecewa dan sedihnya hatinya ketika pemuda itu meninggalkannya. Setelah menyatakan kekesalan hatinya dengan membanting-banting kaki, Cu Yin juga berlari cepat dengan harapan akan bertemu dengan Si Kong. Akan tetapi bukan Si Kong yang ditemuinya, melainkan enam orang wanita berpakaian seragam biru-biru. Keenam orang wanita yang berusia antara dua puluh lima sampai tiga puluh tahun dan semua memiliki kecantikan yang lumayan, menghadang di jalan dan segera memberi hormat kepada Cu Yin.

   "Selamat bertemu, siocia (nona)."

   "Heii, apa-apaan kalian ini berkeliaran disini? Apakah Ayah berada di dekat sini?"

   "Tidak, siocia. Kami diperintahkan oleh Lo-ya (tuan tua) untuk menyusul dan mencari nona."

   "Untuk apa mencariku?"

   "Kami ditugaskan untuk mengawal dan membantu siocia mencari Pek-lui-kiam. Bahkan Lo-ya mengatakan bahwa kalau sampai tiga bulan siocia belum kembali membawa Pek-lui-kiam, Lo-ya sendiri yang akan datang membantu siocia."

   Agak terhibur hati Cu Yin yang kecewa karena ditinggal pergi Si Kong, karena kini ada enam orang pelayan Ayahnya yang menemaninya. Mereka berenam ini rata-rata telah memiliki ilmu silat yang cukup tangguh.

   "Apakah kalian tadi melihat seorang pemuda yang memakai caping lebar dan pakaian seperti petani?"

   "Kami melihatnya, siocia. Dia memasuki kota Si-kiang di depan itu, siocia."

   "Sekarang aku ingin berpakaian seperti gadis, apakah kalian dapat mencarikan pakaian itu?"

   "Jangan khawatir, siocia. Kami sudah mempersiapkan sejak semula."

   Benar saja. Enam orang pelayan itu sudah membawa beberapa pasang pakaian Cu Yin. Cu Yin segera berganti pakaian dan sebentar saja ia sudah berubah menjadi seorang gadis berusia delapan belas tahun yang cantik jelita! Enam orang pelayan itu lalu membuat sebuah joli dan Cu Yin segera naik ke atas tandu itu dan menurunkan tirai tandu. Enam orang gadis itu menggotong tandu bergantian atas perintah Cu Yin dan mereka berangkat menuju ke kota Si-keng.

   Si Kong tinggal di Si-keng selama empat hari. Dia berputar-putar di kota itu untuk mencari tahu kalau-kalau ada orang yang dapat menunjukkan di mana adanya Ang I Sianjin. Namun usahanya sia-sia belaka. Tidak ada orang yang melihat datuk berpakaian serba merah itu. Maka diapun lalu membayar sewa kamar di sebuah losmen, lalu melanjutkan perjalanannya keluar dari kota itu. Baru beberapa li jauhnya dia meninggalkan Si-keng dengan perjalanan seenaknya, tiba-tiba dia mendengar bentakan wanita dibelakangnya.
(Lanjut ke Jilid 10)

   Pendekar Kelana (Seri ke 12 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 10
"Hei, petani bodoh, minggir"!"

   Si Kong membalikkan tubuhnya dan melihat empat orang wanita berpakaian serba biru memanggul sebuah joli, dan dua orang wanita lain berjalan di depan joli. Hatinya mendongkol sekali.

   Dia sedang berjalan santai sambil melamun, mengenang kembali Siangkoan Ji yang ternyata Siangkoan Cu Yin itu. Betapa bodohnya, berhari-hari lamanya melakukan perjalanan dengan seorang gadis yang disangkanya seorang laki-laki. Ketika mengenang kembali betapa dia sudah menyedot racun dari pundak yang kulitnya putih mulus dan lunak itu, jantungnya berdebar dan mukanya berubah merah. Dia marah kepada diri sendiri. Mengapa dia mengenang gadis itu dengan hati terasa kehilangan dan kesepian? Dalam keadaan mendongkol kepada hati akal pikirannya sendiri itulah dia dikejutkan oleh suara wanita yang menyuruhnya minggir dengan nada merendahkan. Ketika dia membalik dan melihat bahwa mereka itu adalah gadis-gadis, hatinya makin kesal lagi. Jalan itu cukup lebar, para gadis itu dapat saja melewatinya dan berjalan ke pinggir, mengapa dia harus minggir?

   "Kau yang minggir!"

   Bentaknya dengan mata mengandung kemarahan. Seorang diantara gadis-gadis itu yang berjalan di depan joli, memandang kepadanya dengan mata melotot.

   "Kau berani membantah? Kau ingin mampus?"

   "Kalian yang ingin mampus!"

   Jawab Si Kong dengan hati mendongkol. Dua orang gadis yang tidak menggotong joli itu menjadi marah. Tangan mereka bergerak dan empat batang hui-to (piasu terbang) menyambar ke arah tubuh Si Kong. Pemuda ini terkejut bukan main melihat serangan maut itu. Dengan cepat tubuhnya meloncat ke atas sehingga empat batang pisau itu lewat di bawah kakinya. Dua orang gadis itu mencabut pedang dan cepat menyerang lagi. Gerakan mereka cukup cepat dan bertenaga. Namun Si Kong yang sudah marah itu kini menggunakan tongkat bambunya.

   Begitu dia bersilat dengan Ta-kaw Sin-tung, dalam beberapa jurus saja dia membuat dua orang wanita itu terjungkal. Dia tidak menyerang dengan sepenuh tenaga, dan hatinya sudah puas membuat dua orang wanita galak dan jahat itu roboh. Empat orang gadis yang lain sudah menurunkan joli dan kini mereka berempat menyerang Si Kong dengan pedang mereka. Yang dua orang sudah bangkit lagi dan ikut menyerang. Kini Si Kong dikeroyok oleh enam orang wanita itu. Setelah mereka maju bersama, Si Kong merasa kagum juga. Para wanita ini masing-masing memiliki ilmu pedang yang cukup tinggi dan setelah maju bersama mereka sudah membentuk barisan pedang yang kompak sekali. Kalau saja Si Kong tidak memiliki ilmu tongkat yang sakti itu, dan kalau saja dia belum menguasai Liok-te Hui-teng sehingga gerakannya amat ringan dan cepatnya,

   Tentu dia akan kewalahan juga menghadapi barisan pedang yang dibentuk oleh enam orang wanita itu. Dia bergerak amat cepatnya dan mengerahkan tenaga dalam tongkatnya. Begitu dia memutar tongkatnya dan badannya ikut berputar, terdengar suara berkerontang berulang kali dan enam orang gadis itu sudah roboh semua dan pedang mereka sudah terlepas dari tangan mereka! Sekali ini, enam orang gadis itu bangkit sambil meringis. Untuk bagi mereka bahwa Si Kong tidak ingin melukai mereka, maka mereka hanya merasa nyeri karena terbanting saja, akan tetapi tidak sampai luka. Setelah pedang mereka terpental dan terlepas, juga mereka semua berpelantingan, enam orang gadis itu menjadi jerih dan mereka bangkit sambil memandang ke arah joli. Joli tersingkap dan muncullah seorang gadis yang amat cantik jelita. Sebatang pedang tergantung dipunggungnya.

   "Manusia kurang ajar, berani engkau merobohkan para pelayanku?"

   Si Kong menjadi bengong. Gadis itu cantik bukan main dan melihat pakaiannya yang serba biru dan mewah, dapat di duga bahwa gadis ini tentu seorang gadis bangsawan atau setidaknya hartawan. Rambutnya digelung tinggi dan dihias tusuk sanggul terbuat dari emas permata, kedua pergelangan tangannya terhias gelang kemala yang mahal harganya, kedua telinganya mengenakan anting-anting terbuat dari emas permata pula. Pakaiannya warna-warni dari kain sutera halus, dan sepatunya masih berwarna hitam mengkilap.

   Wajah itu sungguh luar biasa cantiknya. Kulit mukanya putih kemerahan, terutama dikedua pipi bawah matanya, padahal muka itu tidak memakai bedak tebal atau gincu. Anak rambut yang halus sekali berjuntai kedahi dan pelipisnya. Sepasang alisnya hitam dan kecil melengkung seperti dilukis, melindungi sepasang mata yang sukar digambarkan saking indahnya. Mata itu tajam dan jernih, dengan kedua ujung bergaris ke atas, dihias bulu mata yang panjang lentik. Hidungnya mancung keicl dengan punggung hidung sedikit menonjol! Mulutnya! Entah mana yang lebih indah dan memiliki daya tarik terbesar. Mata atau mulutnya. Bibirnya begitu lembut dan merah membasah, nampaknya seperti tersenyum manis sekali, akan tetapi dagunya yang runcing itu seperti mengejek dan membayangkan kekerasan hatinya.

   "Hei, petani kurang ajar! Jawablah pertanyaanku tadi!"

   Gadis itu membentak lagi dan ketika bicara, nampak giginya yang putih mengkilap dan rapi. Rongga mulutnya kelihatan segar kemerahan tanda bahwa ia bertubuh sehat. Si Kong seperti tertarik ke alam kenyataan.

   "Eh... oh... pertanyaan apa?"

   Katanya gagap karena dia tadi seperti dalam mimpi. Bingung pikirannya karena dia merasa bahwa wajah si cantik jelita itu tidak asing baginya.

   "Mengapa engkau berani merobohkan enam orang pelayanku?"

   "Aku terpaksa, nona. Merekalah yang mengeroyokku."

   "Hemm, kalau memang jagoan, jangan melawan pelayanku. Akulah lawanmu!"

   "Aku... aku tidak ingin berkelahi denganmu, nona. Diantara kita tidak ada permusuhan, mengapa kita harus berkelahi?"

   "Engkau telah merobohkan enam orang pengikutku, itu sudah merupakan permusuhan. Nah, sambutlah ini!"

   Gadis cantik itu menggerakkan kedua tangannya dan sinar-sinar putih menyambar ke arah Si Kong. Si Kong terkejut dan maklum bahwa senjata rahasia itu amat berbahaya, maka cepat dia mengambil topi capingnya dan menggunakan caping yang lebar itu untuk menyambut senjata-senjata itu. Dia melihat bahwa senjata rahasia itu adalah anak panah yang beracun. Dibuangnya topi capingnya dan dia mengerutkan alisnya. Gadis ini begitu cantik akan tetapi juga begitu ganas, begitu menyerangnya sudah mengarah kematiannya!

   "Singgg...!"

   Nampak sinar berkilauan ketika gadis itu mencabut pedang dari pungungnya.

   "Terimalah pedangku ini!"

   Demikian ia membentak dan segera menyerang Si Kong dengan kecepatan luar biasa. Si Kong melompat jauh ke samping, menangkis dengan tongkat bambunya. Akan tetapi ternyata gadis itu lihai sekali ilmu pedangnya. Begitu di tangkis, pedang itu melenceng dan membabat kaki Si Kong. Pemuda ini terpaksa meloncat ke atas dan dia harus mengelak dan menangkis, sibuk sekali karena gadis itu menyerangnya secara sambung-menyambung dan bertubi-tubi. Diam-diam Si Kong kagum juga. Ilmu pedang gadis ini benar-benar lihai. Bahkan jauh lebih lihai dibandingkan enam orang pelayan yang mengeroyoknya tadi. Guru gadis ini tentulah seorang sakti.

   Si Kong selalu mengalah dalam pertandingan ini. Dia mengerahkan ilmu Yan-cu Hui-kun sehingga tubuhnya seperti burung walet terbang saja. Kalau dia mau menggunakan ilmu silat Hok-lion Sin-ciang atau Thi-ki-i-beng tentu dia akan dapat merobohkan gadis itu dengan cepat. Akan tetapi dia tidak mau mempergunakan ilmu-ilmu yang didapatnya dari Ceng Lo-jin kalau keadaan tidak terlalu berbahaya dan mendesak. Dia sengaja memperpanjang pertandingan itu untuk "memberi muka"

   Kepada gadis itu. Sambil bertanding dia mengingat-ingat, dimana dia pernah bertemu dengan gadis yang wajahnya tidak asing baginya itu. Akhirnya dia teringat akan anak panah tangan yang dipergunakan gadis itu untuk menyerangnya. Dia teringat bahwa anak panah seperti itu pernah dipergunakan Siangkoan Ji terhadap anak buah Kwi-jiauw-pang!

   Gadis ini tentulah Siangkoan Ji, atau nama aselinya Siangkoan Cu Yin! Pedang menyambar lagi dengan kuatnya. Si Kong menyambut dengan tongkatnya, mengerahkan tenaga sinkangnya dan gadis itu tidak mampu lagi melepaskan pedangnya dari tongkat. Pedang itu seolah telah melekat kuat pada tongkat bambu itu. Gadis itu menarik-narik pedangnya akan tetapi tidak berhasil. Mendadak ia menggunakan tangan kirinya untuk memukul kepala Si Kong. Pemuda ini mengelak melainkan menangkap pergelangan tangan itu dengan pengerahan tenaga sinkang sehingga gadis itu tidak dapat lagi melepaskan tangan. Ia meronta-ronta akan tetapi tetap saja tangan kiri dan pedangnya melekat dan tidak dapat ia lepaskan. Gadis itu menjadi jengkel dan hampir menangis sambil menarik-narik. Si Kong berkata tenang dan lembut.

   "Sudah cukupkan, Ji-te?"

   Lalu dilepaskannya pedang dan tangan gadis itu. Siangkoan Cu Yin bersungut-sungut lalu menyimpan pedangnya dan memandang kepada Si Kong dengan sikap marah.

   "Engkau seorang yang kejam!"

   "Ehh? Dimana letak kekejamanku, Yin-moi? Kalau aku kejam, tentu aku akan menyerang orang-orangmu dan engkau dengan jurus maut! Akan tetapi aku melukaipun tidak, bagaimana kau katakan aku kejam?"

   "Engkau meninggalkan aku seorang diri di hutan, apakah itu tidak kejam?"

   "Ah, itukah yang kau maksudkan kejam? Sungguh mati, aku merasa menyesal sekali meninggalkanmu, Yin-moi. Akan tetapi, tidak ada cara lain yang dapat kutempuh. Sudah kukatakan, kita tidak mungkin melakukan perjalanan bersama. Itu namanya tidak pantas, apalagi bagimu, seorang gadis."

   Si Kong benar-benar menghela napas dengan hati murung. Dia merasa gembira ketika mengadakan perjalanan bersama gadis ini, padahal ketika itu dia tidak tahu bahwa gadis itu menyamar sebagai seorang pemuda. Apalagi sekarang, setelah pemuda jembel itu berubah menjadi gadis secantik ini, betapa akan senangnya melakukan perjalanan bersama. Akan tetapi kesopanan melarangnya.

   "Siapa yang mengatakan tidak pantas? Aku akan menjadi Siangkoan Ji lagi kalau engkau mau melakukan perjalanan bersamaku."

   Si Kong menghela napas. Betapa akan senangnya, dan gadis ini pun berpengetahuan luas, banyak tokoh kangouw dikenalnya. Dia teringat akan Ang I Sianjin.

   "Yin-moi, dapatkah engkau memberitahukan kepadaku dimana tempat tinggal Ang I Sianjin?"

   Siangkoan Cu Yin berseri wajahnya.

   Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Dia adalah ketua Kwi-jiauw-pang yang bersarang di bukit Kwi-liong-san. Kita kesana berdua, Kong-ko? Aku akan membantumu!"

   Katanya penuh semangat.

   "Siocia, Lo-ya pasti akan marah kalau siocia tidak berusaha mencari pedang itu. Kami berenam diutus untuk membantumu. Bagaimana siocia dapat mengajak orang lain, seorang pria pula?"

   Kata seorang diantara enam orang pelayan itu, sambil membungkuk dengan hormat kepada Siangkoan Cu Yin.

   "Jangan mencampuri urusanku!"

   Bentak Cu Yin dengan mengkal hatinya.

   "Yin-moi, bagaimanapun juga, engkau harus menaati perintah Ayahmu. Kecuali itu, akupun tidak dapat menerima permintaanmu untuk melakukan perjalanan bersama. Nah, selamat tiggal Yin-mio!"

   "Tunggu, Kong-ko"!"

   Cu Yin juga meloncat cepat dan akhirnya dapat menyusul karena Si Kong sengaja memperlambat larinya dan menunggu gadis itu.

   "Ada apa lagi, Yin-moi?"

   "Kong-ko, apakah engkau pura-pura tidak tahu bahwa aku"

   Aku mencintaimu?"

   Si Kong menghela napas panjang.

   "Engkau keliru, Yin-moi. Engkau puteri seorang datuk yang kenamaan dan kaya raya, sedangkan aku hanya seorang pengelana yang hidup sebatangkara dan tidak memiliki tempat tinggal. Sepatutnya engkau berjodoh dengan seorang pemuda yang setingkat derajatnya denganmu. Aku berterima kasih kepadamu, Yin-moi, akan tetapi maafkan aku. Aku tidak berani melakukan perjalanan bersamamu. Selamat tinggal!"

   Sekali ini Si Kong meloncat dan berlari dengan cepat sekali sehingga Cu Yin tidak akan mampu mengejarnya. Enam orang pelayan itu berlarian menyusul nona majikan mereka dan mereka menemukan Cu Yiin menangis seorang diri di bawah sebatang pohon besar. Joli tadi juga sudah di bawa kesitu.

   "Silakan duduk dalam joli, siocia. Katakan kemana siocia hendak pergi dan kami akan mengantarmu."

   Cu Yin marah dan menyesal sekali jantungnya seperti diremas-remas rasanya. Akan tetapi dia tidak dapat menyalahkan enam orang pelayannya. Maka ia lalu membuka tirai, masuk ke dalam joli dan berkata,

   "Antarkan aku ke Kwi-liong-san!"

   Enam orang itu saling pandang akan tetapi tidak berani membantah. Empat di antara mereka lalu memanggul joli itu dan mereka melakukan perjalanan dengan cepat. Mereka adalah orang-orang yang lihai, menjadi pelayan dan juga menerima pelajaran ilmu silat dari Lam-tok, maka perjalanan dapat dilakukan dengan cepat. Di sepanjang jalan mereka mendengar nona majikan mereka menangis terisak-isak.

   Puncak bukit itu nampak bersih dan sejuk di pagi hari itu. Malam tadi turun hujan lebat dan pagi ini segala sesuatu nampak hidup. Daun-daun pohon masih basah, rumput-rumput dan ilalang nampak segar bagaikan kanak-kanak yang baru habis mandi. Tanah mengeluarkan bau yang sedap, seolah menghaturkan terima kasih kepada langit yang semalam telah menghujaninya. Matahari baru muncul di tepi bukit dan langit menjadi lukisan yang paling indah didunia. Ada seberkas cahaya biru di antara aan-awan putih, sangat mengesankan dan penuh mengandung rahasia alam. Si Kong duduk di atas batu dan termenung. Dia tadi menikmati keindahan yang terbentang luas di hadapannya, juga dia menikmati kicau burung di pohon-pohon, akan tetapi sayang keadaan yang indah dimana dia merasa ikut menjadi satu dengan seluruh alam itu, hanya sebentar saja dinikmatinya. Hati akal pikirannya sudah bekerja lagi dan dia teringat kepada Cu Yin.

   Cu Yin mengaku cinta kepadanya! Hampir dia tidak percaya. Gadis yang begitu kaya dan lihai, puteri Lam-tok, jatuh hati kepadanya! Terbayanglah wajah yang cantik jelita itu. Alangkah mudahnya untuk jatuh cinta kepada seorang gadis seperti Cu Yin. Akan tetapi yang dia rasakan hanya kekaguman terhadap ilmunya, keberaniannya, kepintarannya dan kecantikannya. Dia tidak tahu apakah dia mencintai Cu Yin ataukah tidak. Lamunannya membuyar ketika muncul seorang laki-laki tua, berusia kurang lebih enam puluh tahun, memikul sebongkok kayu, tentu untuk dijadikan kayu bakar, pikir Si Kong. Kakek itu terbongkok-bongkok memikul beban kayu itu. Dan tiba-tiba Si Kong mendapat pikiran yang dianggapnya baik sekali. Laki-laki setua kakek itu tentu banyak pengalamannya tentang hidup, sudah banyak merasakan suka duka dalam kehidupan dan dengan sendirinya tentu mengenal cinta.

   "Selamat pagi, paman!"

   Kata Si Kong dengan ramah.

   "Maukah paman menikmati roti kering dan daging kering sambil minum arak bersamaku?"

   "Daging dan roti kering? Dan ada araknya pula? Orang muda, akan bodohlah aku kalau aku menolak tawaranmu yang baik itu."

   Dia berusaha menurunkan ikatan kayu dari pundaknya dan cepat Si Kong membantunya. Si Kong mengeluarkan bungkusan roti kering dan daging kering yang dibelinya kemarin siang dari kedai makanan, lalu mereka berdua duduk berhadapan di atas batu sambil makan minum.

   "Orang muda, siapakah engkau dan mengapa engkau begini baik dan ramah kepadaku?"

   "Di pagi yang sunyi ini dapat bertemu dengan paman, sungguh menyenangkan hatiku. Aku tahu bahwa paman tentu seorang yang baik budi, maka kuanggap bahwa paman tentu dapat menjawab rahasia yang menekan hatiku."

   Kakek itu minum arak dari guci, dan merasa puas dan kenyang.

   "Apakah soal yang harus di jawab itu? Aku hanya seorang penghuni dusun di bawah sana. Pengetahuanku dangkal saja, bagaimana aku dapat menjawab rahasia yang engkau sendiri tidak mampu melakukannya?"

   "Aku yakin paman bisa karena paman sudah mengalaminya, sedangkan aku belum."

   "Hemm, engkau menarik hatiku, orang muda. Coba katakan, rahasia apakah itu?"

   "Sederhana saja bagimu, paman. Aku hendak bertanya kepadamu. Apakah sesungguhnya cinta itu? Paman pernah jatuh cinta bukan?"

   Kakek itu terkekeh. Dia adalah seorang petani yang sederhana, berpikiran sederhana pula. Mendengar pertanyaan itu, dia merasa lucu.

   "Orang muda, tentu saja aku pernah jatuh cinta, bahkan seringkali aku jatuh cinta."

   Si Kong terkejut. Kakek ini jatuh cinta kepada banyak wanita?

   "Berapa kali engkau jatuh cinta, paman?"

   "Tak terhitung lagi berapa banyaknya. Aku mencintai siteriku, mencintai anak-anakku, mencintai kepala dusunku yang baik hati, mencintai sahabat-sahabatku, bahkan mencintai parang ini dan cangkul di rumah."

   Si Kong tertegun.

   "Jadi paman hanya sekali saja beristeri?"

   "Ya, sekali saja. Aku mencintai isteriku karena ia menyenangkan hatiku melayani semua kehendakku dan tidak pernah membantah."

   "Apakah cinta paman kepada isteri paman itu sama dengan cinta paman kepada anak-anak, tetangga, dan juga cangkul itu?"

   "Tentu saja sama. Aku mencintai isteriku karena ia dengan senang hati melayaniku. Aku mencinta anak-anakku karena mereka taat dan berbakti kepadaku. Aku mencinta kepala dusun, para sahabatku, karena mereka itu bersikap baik kepadaku. Aku mencinta parang dan cangkul karena benda-benda itu berguna bagiku. Pendeknya aku mencinta segala yang menguntungkan dan menyenangkan hatiku. Andaikata barang ini pecah menjadi dua, tentu aku tidak mencintanya lagi dan aku akan membuangnya."

   "Akan tetapi cinta seperti itu bukanlah cinta yang sejati, paman. Cinta seperti itu mudah luntur dan berbalik menjadi benci!"

   "Heh-heh-heh, mana ada cinta yang tanpa pamrih disenangkan? Aku mencinta isteriku karena ia penurut dan menyenangkan, demikian pula anak-anak dan yang lain-lain. Bahkan aku memuja dan mencinta Kwan Im Posat (Dewi Kwan Im) karena ia memberi berkah kepadaku. Bukankah cinta kita ini seperti itu adanya? Mencinta karena ada pamrih supaya disenangkan? Kalau engkau mempunyai isteri dan ia menyeleweng atau tidak menyenangkan hatimu, apakah engkau masih bisa mencintanya? Kalau anak-anak mendurhaka kepadamu, apakah engkau akan tetap mencinta mereka? Kalau kawan-kawan dan yang lain itu merugikan dan tidak menyenangkan hatimu, apakah masih ada perasaan cinta itu dalam hatimu terhadap mereka? Manusia mencintai seseorang atau sesuatu benda pada dasarnya tidak berbeda. Kalau orang atau benda itu menyenangkan dan menguntungkan, dia akan mencintainya, sebaliknya kalau tidak menguntungkan atau merugikan, dia akan membencinya."

   Si Kong tertegun dan termenung. Ucapan itu keluar dari mulut seorang petani sederhana, seorang yang jujur, seorang yang tidak pernah membaca kitab agama dan filsafat, namun dia harus mengakui kebenarannya. Cinta dalam hati manusia memang berpamrih, demi kesenangan dan keuntungan diri pribadi, semacam cinta jual beli. Alangkah palsu dan kotornya cinta itu.

   "Akan tetapi, paman. Ada cinta yang murni seperti misalnya cinta seorang ibu kepada anaknya. Kalau ada ibu yang membenci anaknya, maka ia itu seorang yang tidak waras pikirannya."

   "Hemm, aku masih menyangsikan cinta seorang ibu kepada anaknya. Apakah ia tidak pernah marah kepada anaknya? Apakah ia tidak pernah jengkel karena kenakalan anaknya? Nah, marah dan jengkel itu lahir dari benci karena si anak tidak menyenangkan hatinya."

   "Apakah tidak ada cinta murni tanpa pamrih dalam dunia ini?"

   Tanya Si Kong dengan penasaran.

   "Menurut penglihatanku, tidak ada. Memang ada cinta, akan tetapi cinta itu diselingi rasa benci yang dapat timbul sewaktu-waktu kalau yang dicintai itu tidak menyenangkan hati."

   "Tapi, paman. Lihat sinar matahari. Dia memberi cahaya dan kehidupan tanpa pamrih, tanpa minta imbalan apapun. Lihat harumnya bunga, dia memberi keharuman kepada siapapun juga tanpa pandang bulu, juga tanpa pamrih apapun. Apakah itu bukan cinta sejati yang suci murni?"

   "Wah, engkau benar juga. Bahkan tanah, air, pohon-pohon berbuah, bahkan kayu-kayu kering ini, semua itu menguntungkan dan menyenangkan kita tanpa pamrih apapun! Engkau benar, orang muda. Akan tetapi aku tidak tahu mengapa segala benda itu seolah mencintai manusia tanpa pamrih, sedangkan semua manusia itu baru bisa mencita kalau disenangkan hatinya, tegasnya cinta manusia itu berpamrih. Mengapa begitu?"

   "Karena manusia itu makhluk yang dikaruniai akal dan pikiran, paman. Manusia sejak lahir dikaruniai nafsu-nafsu yang maksudnya untuk menyertai manusia, menjadi budak manusia. Akan tetapi manusia itu lemah terhadap nafsunya sendiri sehingga bukan dia yang menjadi majikan nafsu, melainkan sebaliknya dia menjadi budak nafsu. Cinta mengandung nafsu inilah yang membuat cinta itu berpamrih, karena nafsu sifatnya ingin menang, ingin untung, dan ingin senang. Adapun cinta seperti bunga harum dan matahari bercahaya itu adalah cinta Tuhan kepada kita. Tuhan selalu memberi, memberi tanpa menuntut sesuatu, sejak lahir sampai kita mati, karena itulah sudah sepatutnya kalau kita bersyukur dan memuja Tuhan setiap saat."

   Si Kong mengeluarkan pengetahuannya yang di dapat ketika dia menjadi murid Si Penyair Gila atau Kwa Siucai. Kakek itu menjadi bengong. Menurut pengetahuannya yang didapat dari tradisi, segala benda itu dikuasai oleh para dewa. Karena itu, dia dan masih banyak orang lagi selalu bersembahyang untuk menyenangkan hati para dewa itu, agar mendapatkan berkah. Tuhan itu dianggap sebagai Raja, maka untuk memberkahi semua orang, dilakukan oleh para dewa yang menjadi pembantu-pembantuNya. Orang muda ini begitu pandai, pikirnya dan otaknya kalau harus memikirkan itu, menjadi pening dan bingung.

   "Mungkin engkau benar, orang muda. Akan tetapi matahari sudah mulai naik sebentar lagi panas terik menyengat. Aku harus cepat pulang, isteriku telah menunggu karena kayu bakarnya habis. Terima kasih atas sarapan yang kau hidangkan padaku."

   Kakek itu memanggul kayu bakarnya dan melangkah pergi menuruni bukit itu. Si Kong hanya mengikutinya dengan pandang matanya. Dia termenung dan berulang kali menghela napasnya. Kakek tadi itu tentu seorang yang berbahagia hidupnya. Keluarganya hidup sederhana, tidak banyak yang mereka butuhkan, sehingga mendapatkan seikat kayu bakar saja sudah membahagiakan hatinya, disuguhi sarapan berupa roti dan daging kering saja sudah amat menyenangkan hatinya.

   Dia menghela napas panjang lagi. Mengapa dia tidak pernah dapat merasakan bahagia? Kadang-kadang memang hatinya senang, akan tetapi lebih sering hatinya murung. Kenapa bahagia seolah menghindar darinya? Apa lagi disaat itu. Dia merasa sedih, kesepian, tidak tahu harus berbuat apa dan harus kemana. Dia merasa tidak ada yang membutuhkannya. Dia menoleh ke arah buntalan pakaiannya dan teringatlah dia akan sepasang gelang dalam kantung kain yang berada dibuntalan bersama pakaiannya. Begitu teringat akan gelang itu, teringat pula dia akan Tan Kiok Nio, keponakan Hartawan Kun yang berbudi baik. Gadis itu telah memberikan sepasang gelang kepadanya, untuk bekal mencari orang yang telah membunuh Ayah bunda gadis itu.

   Dan dia sudah tahu siapa orang itu. Tentu Ang I Sianjin! Hanya ada satu hal yang meragukan. Kalau Ang I Sianjin pembunuh orang tua Kiok Nio dan merampas pedang Pek-lui-kiam yang kabarnya ampuh luar biasa itu, mengapa dalam pertandingan tadi Ang I Sianjin tidak mempergunakan pedang pusaka itu? Dia sudah memeriksa pedang yang terlepas dari tangan Ang I Sianjin ketika berkelahi dengannya, dan pedang itu walaupun pedang yang baik, akan tetapi bukan pedang Pek-lui-kiam yang dimaksudkan. Kalau memang Ang I Sianjin merampas pedang itu, mengapa tidak menggunakan Pek-lui-kiam? Kalau sekarang dia kembali ke kota Ci-bung untuk memberitahu kepada Kiok Nio bahwa pembunuh Ayah bundanya adalah Ang I Sianjin, hal itu tidaklah cukup. Dia harus yakin benar bahwa Ang I Sianjin pembunuh itu, dan untuk meyakinkan hatinya,

   Dia harus berusaha untuk merampas kembali pedang Pek-lui-kiam. Tidak, tidak sekarang, melainkan kalau nanti dia sudah yakin dan keyakinan itu akan terbukti jika dia dapat merampas Pek-lui-kiam dari tangan Ang I Sianjin. Pula, kalau sekarang dia memberitahukan Kiok Nio bahwa musuh besarnya adalah Ang I Sianjin dan gadis itu pergi dengan nekat untuk membalas dendam, hal itu akan amat berbahaya bagi Kiok Nio. Timbul semangat dalam batin Si Kong. Masih ada yang membutuhkan dia, yaitu Kiok Nio! Perasaan dibutuhkan ini menimbulkan gairah hidup baginya. Dia harus mencari Ang I Sianjin dan Siangkoan Cu Yin sudah memberitahu kepadanya bahwa Ang I Sianjin adalah ketua perkumpulan Cakar Setan yang berpusat di Kwi-liong-san. Dia kini mempunyai tujuan perjalanannya, yaitu ke Kwi-liong-san mencari Ang I Sianjin.

   Siang itu panas bukan main. Sinar matahari seakan membakar dan menyengat kulit. Untuk melindungi kulit dari sengatan matahari, orang-orang banyak yang memakai caping lebar atau payung. Kota Liok-bun yang biasanya ramai karena kota itu merupakan pusat perdagangan pada siang hari itu nampak sepi. Orang-orang segan keluar menjadi korban panas terik yang membakar. Kota Liok-bun terletak dekat sungai Li-kiang, sebuah sungai yang menjadi anak sungai Huang-ho. Sungai itu menjadi sangat penting karena dijadikan lalulintas perahu-perahu para pedagang. Banyak pedagang dari luar kota datang ke kota ini untuk membeli atau menjual barang. Diantara sekian banyaknya orang yang memakai perlindungan caping atau payung, terdapat seorang gadis yang memakai payung melindungi mukanya agar jangan di bakar sinar matahari. Gadis itu berusia kurang lebih sembilan belas tahun dan pakaiannya serba merah muda.

   Wajahnya cantik sekali, dengan kulit putih mulus dan karena hawanya amat panas, kedua pipinya menjadi kemerahan tanpa bedak dan gincu. Terutama sekali sepasang matanya, amat menarik perhatian karena mata itu amat indah dan sinarnya mencorong. Juga mulutnya membuat wajah itu nampak cerah dan manis bukan main. Para pria yang berpapasan dengan gadis itu pasti menengok beberapa kali untuk memandang gadis yang manis dan jelita itu. Dipandang dari belakangpun sudah menarik perhatian karena bentuk tubuhnya yang sempurna. Akan tetapi kalau orang melihat sepasang pedang yang berada di punggungnya, maka orang itu akan mudah menduga bahwa gadis ini bukanlah gadis biasa saja, melainkan seorang pendekar wanita yang mahir bermain ilmu pedang. Tidak ada seorangpun di dalam kota Liok-bun itu yang mengenalnya. Kalau ada yang mengenal puteri siapa yang berjalan seorang diri itu, mereka tentu terkejut dan gentar.

   Gadis ini adalah Tang Hui Lan. Ayahnya adalah seorang pendekar silat yang pernah menggetarkan dunia kangouw, bernama Tang Hay, dan ibunya juga seorang pendekar terkenal bernama Cia Kui Hong yang menjadi ketua Cin-ling-pai. Seperti pernah diceritakan dalam kisah ini, Tang Hay, Cia Kui Hong dan Tang Hui Lan, berkunjung ke pulau Teratai Merah. Kedatangan mereka tepat namun agak terlambat karena Ceng Lo-jin, guru Si Kong yang terakhir, terluka parah setelah memukul mundur para datuk yang menantangnya. Kemudian Ceng Lo-jin tewas, dan mereka bertiga membantu Si Kong mengubur jenazah Ceng Lo-jin dipulau itu. Kematian yang amat menyedihkan karena tidak ada seorangpun tamu yang datang melayat. Beberapa hari setelah pemakaman, Tang Hay, Cia Kui Hong dan Tang Hui Lan kembali ke Cin-ling-pai pulang dari Pulau Teratai merah, Hui Lan banyak termenung.

   Ia tidak mau menerima begitu saja kematian Ceng Lo-jin, kakek buyutnya. Walaupun kakek buyutnya itu wafat dalam usia seratus tahun lebih, ia tetap merasa penasaran karena kematian itu dapat dibilang menjadi akibat dari perlawanannya para datuk yang menantangnya. Kalau para datuk itu tidak datang menantang, belum tentu kalau kakek buyutnya tewas. Kecantikan gadis ini menarik perhatian orang, terutama para pria. Tidak ada yang tidak menengok kembali setelah berpapasan dengan gadis ini. Hui Lann tidak memperhatikan atau memperdulikan ulah para pria itu. Is sudah terbiasa melihat mata para pria menatapnya dengan mata kagum, bahkan ada juga yang bersikap kurang ajar kepadanya. Ketika ia menyatakan keinginan hatinya untuk merantau, Ayahnya berkata sambil memandang puterinya penuh perhatian,

   "Apakah kepergianmu ada hubungannya dengan kematian kakek buyutmu di Pulau Teratai Merah?"

   Hui Lan menggeleng kepalanya.

   "Tidak, Ayah. Aku hanya ingin merantau untuk mendapatkan pengalaman dan menambah pengetahuan tentang dunia persilatan."

   Ibunya Cia Kui Hong berkata.

   "Nasihat kami kepadamu dahulu tidak kosong belaka, Hui Lan. Bu-tek Ngo-sian itu merupakan lawan tangguh kalau mereka berlima maju bersama. Apalagi Toa Ok dan Ji Ok, dua orang datuk ini amat kejam dan berbahaya. Lebih baik hindarkan bentrokan dengan mereka."

   "Apakah Ayah dan ibu juga akan menghindar dan melarikan diri kalau bertemu dengan mereka di dalam perjalanan?"

   Tanya gadis itu sambil memandang tajam kepada Ayah ibunya. Tang Hay dan Cia Kui Hong saling pandang sejenak, kemudia Tang Hay berkata,

   "Tentu saja tidak, Hui Lan. Kami akan melawan mereka. Akan tetapi engkau lain lagi. Engkau seorang diri saja bagaimana mungkin dapat menandingi pengeroyokan mereka? Kalau harus melawan satu demi satu, kami tidak mengkhawatirkan dirimu. Akan tetapi mereka itu licik. Buktinya ketika melawan kakek Ceng, mereka melakukan pengeroyokan secara curang. Karena itu, jangan nekat untuk menentang mereka."

   "Ayahmu berkata benar, Hui Lan. Menghindarkan diri dari musuh yan banyak jumlahnya bukan berarti penakut, melainkan suatu tindakan bijaksana. Sebaliknya kalau nekat dan mati konyol adalah perbuatan bodoh. Mengertikah engkau?"

   Hui Lan mengangguk.

   "Aku mengerti ibu dan aku bersikap hati-hati menjaga diri."

   "Kalau begitu, sebaiknya engkau mengunjungi pamanmu Cia Kui Bu yang tinggal di Pao-ting sebelah selatan kota raja untuk menyampaikan berita tentang kematian kakek buyutmu, juga untuk melihat bagaimana keadaannya sekarang. Kita sudah terlalu lama berpisah dari pamanmu itu."

   "Baik, Ayah. Memang aku ingin berkunjung ke kota raja, aku akan singgah ke rumah Paman Cia Kui Bu."

   Cia Kui Bu adalah adik Cia Kui Hong, satu Ayah berlainan ibu. Akan tetapi Ceng Sui Cin sudah menganggapnya sebagai anaknya sendiri, maka Cia Kui Bu juga sudah mewarisi ilmu-ilmu dari Ayah dan ibunya itu.

   "Kalau engkau pergi ke kota raja, sekalian kau singgah ke Tung-ciu, kerumah pamanmu Pek Han Siong dan kirimkan salamku untuk dia sekeluarga."

   Kata pula Tang Hay.

   "Dan jangan lupa kabarkan kepada mereka tentang kematian kakek buyutmu."

   Kui Hong menambahkan.

   "Baik, Ayah dan ibu. Aku pasti tidak melupakan pesan-pesan itu."

   "Sekarang pamitlah kepada kakek dan nenekmu."

   Kata Kui Hong. Hui Lan lalu pergi ke ruang dalam. Ia mendapatkan neneknya, Ceng Sui Cin yang sudah berusia enam puluh lima tahun, duduk menyendiri, asyik dengan pekerjaan yang disenanginya, yaitu menyulam.

   "Nek...!"

   Kata Hui Lan manja. Nenek itu mengangkat mukanya, tersenyum memandang cucunya tersayang.

   "Ah, engkau Hui Lan. Duduklah. Wajahmu kelihatan demikian berseri, ada berita baik apakah?"

   Hui Lan menarik kursi dekat neneknya.

   "Memang aku sedang bergembira sekali, nek. Ayah dan ibu mengijinkan aku pergi merantau!"

   Nenek itu menunda pekerjaannya, menaruh kain yang disulam ke atas meja lalu memandang kepada cucunya dengan wajah berseri dan merangkul pundak cucunya itu.

   "Ah, engkau mengingatkan aku akan masa remajaku dan masa remaja ibumu. Di waktu aku seusiamu sekarang ini, akupun merantau sampai jauh, seorang diri saja, demikian pula ibumu. Apalagi engkau sudah mewarisi ilmu dari Ayah ibumu, tentu engkau akan mampu menjaga dirimu sendiri. Aku ikut merasa girang, Hui Lan."

   "Terima kasih, nek. Dimana kakek?"

   "Dia sedang bersamadhi dalam kamar belakang. Jangan ganggu dia. Setelah usianya tua, lebih dari tujuh puluh tahun usianya, dia memang membutuhkan banyak istirahat dan ketenangan. Akan tetapi aku mempunyai nasihat untukmu, berdasarkan pengalamanku dahulu. Ketahuilah bahwa dunia persilatan itu mempunyai banyak orang yang berilmu tinggi. Kalau mereka semua orang baik-baik, tidak perlu dibicarakan lagi. Akan tetapi banyak diantara mereka yang lihai-lihai itu menjadi orang jahat! Karena itu, engkau harus berhati-hati kalau berhadapan dengan mereka. Engkau seorang gadis muda yang cantik, tentu akan banyak menghadapi godaan pria-pria iseng. Jangan layani mereka kalau mereka tidak keterlaluan sekali, dan usahakan agar engkau tidak perlu membunuh orang. Jauhkan sedapat mungkin segala permusuhan yang tidak berarti. Mengertikah engkau, Hui Lan?"

   Hui Lan merangkul dan mencium pipi neneknya.

   "Aku mengerti, nek, dan jangan khawatir, aku akan selalu ingat nasihat nenek ini. Aku hendak berkemas, nek. Sampaikan salam hormat dan ucapan selamat tinggalku untuk kakek."

   Hui Lan berlari-lari kecil meninggalkan neneknya untuk pergi kekamarnya sendiri, diikuti pandang mata neneknya yang kemudian menggeleng-geleng kepalanya. Ia tidak segera mengambil kain sulaman yang diletakkan di atas meja, termenung membayangkan kembali semua pengalamannya di waktu ia masih gadis seusia cucunya.

   

Kumbang Penghisap Kembang Eps 25 Pendekar Mata Keranjang Eps 40 Jodoh Si Mata Keranjang Eps 8

Cari Blog Ini