Ceritasilat Novel Online

Pendekar Kelana 21


Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo Bagian 21



"Ha-ha-ha, kita berdua saja yang masih hidup diantara empat orang datuk besar. Apakah engkau masih ada hasrat untuk menjadi datuk paling lihai di kolong langit ini?"

   Pertanyaan ini mengandung tantangan. Pai Ong tertawa pula,

   "Ha-ha-ha, ucapanmu benar, Lam Tok! Karena kita berdua memilih pihak yang benar, tidak menuruti hasutan Toa Ok dan Tung-giam-ong yang bersekongkol dengan pemberontak, maka kita masih hidup. Ini berarti kita memilih pihak yang benar."

   "Tepat sekali, Pai Ong! Pek-lian-kauw selamanya memang membujuk dan menghasut para tokoh kangouw sehingga terseret ke dalam pemberontakan melawan pemerintah. Dan kalau seorang datuk masih dapat terbujuk omongan manis, dia tidak berhak menjadi seorang datuk yang berpendirian gagah perkasa dan bebas. Akan tetapi mengingat sekarang yang tinggal hidup hanyalah Pai Ong datuk dari utara dan aku Lam tok datuk selayan, lalu bagaimana pendapatmu?"

   "Lam Tok, aku sudah merasa malas untuk memperebutkan sebutan Datuk Nomor Satu di Dunia. Kalau yang ada tinggal dua orang datuk saja, apa artinya mendapat sebutan Datuk Nomor Satu? Tidak kau boleh memakai sebutan Datuk Terlihai, aku tidak ingin merebutnya. Akan tetapi pedang pusaka Pek-lui-kiam, itulah yang dapat diperebutkan!"

   "Tepat sekali! Mari kita bertanding untuk menentukan siapa yang lebih berhak memperoleh pedang pusaka Pek-lui-kiam!"

   Kata Lam Tok.

   "Bagus, aku setuju!"

   Teriak Pai Ong.

   "Siapa pemilik Pek-lui-kiam biar tanpa sebutan apapun, menjadi bukti bahwa dia yang terlihai!"

   Pada saat itu Si Kong melangkah maju menghampiri dua orang datuk yang saling tantang itu dan memberi hormat kepada mereka.

   "Ji-wi Locianpwe, pedang pusaka Pek-lui-kiam telah berada di tanganku."

   "Bagus, Si Kong. Serahkan pedang pusaka itu kepadaku. Sejak aku melihat betapa engkau mengubur jenazah puteriku, aku telah berubah pikiran dan membantumu menentang mereka yang menjadi musuh-musuhmu. Karena engkau tidak termasuk seorang datuk, maka serahkan pedang Pek-lui-kiam kepadaku!"

   Kata Lam Tok yang kini mengerti mengapa puterinya dahulu jatuh cinta kepada pemuda perkasa ini. Dia berterima kasih sekali ketika melihat Si Kong mengubur jenazah Cu Yin dan timbul rasa sukanya kepada pemuda ini

   "Bukan diserahkan kepada Lam Tok. Itu kurang adil karena disini ada dua orang datuk yang masih hidup. Orang muda, serahkan pedang itu kepada siapa di antara kami yang menangkan pertandingan memperebutkan Pek-lui-kiam"

   Kata Pai Ong. Si Kong kembali memberi hormat kepada dua orang datuk itu. Kini pandangannya terhadap dua orang datuk itupun sudah berubah. Dua orang datuk itu tidak seperti yang lain, tidak tunduk terhadap pemberontak Kwi-jiauw-pang dan Pek-lian-pai, bahkan menentang mereka. Dia beranggapan bahwa dua orang datuk ini masih memiliki jiwa pahlawan dan berpendirian, walaupun mereka memiliki watak yang aneh dan menurut kehendak mereka sendiri.

   "Ji-wi Locianpwe, pedang pusaka ini adalah milik pendekar Tan Tiong Bu, karena itu tidak dapat dimiliki siapapun, harus kukembalikan kepada yang berhak."

   "Akan tetapi Tan Tiong Bu telah mati, terbunuh oleh Ang I Sianjin!"

   Tegur Lam Tok.

   "Benar, Locianpwe. Akan tetapi dia masih mempunyai seorang anak perempuan dan kepada anaknya itulah pedang Pek-lui-kiam akan kuserahkan. Dara itulah yang berhak memiliki Pek-lui-kiam sebagai peninggalan Ayahnya."

   "Ah, mana bisa begitu?"

   Pai Ong mencela.

   "Siapa yang terkuat dialah yang berhak memiliki Pek-lui-kiam. Karena itu kita bertiga akan membuktikan siapa yang terkuat dan siapa yang berhak memiliki Pek-lui-kiam!"

   Akan tetapi Lam Tok menghela napas panjang dan berkata,

   "Apa yang dikatakan Si Kong benar! Apa gunanya kita memperebutkan sebuah pusaka yang sesungguhnya menjadi hak milik seseorang? Memalukan saja! Apa engkau suka kalau disebut sebagai seorang pencuri? Aku tidak! Sudahlah, Si Kong, aku tidak akan memperebutkan pusaka Pek-lui-kiam itu. Dan engkau, Pai Ong, kalau engkau masih penasaran untuk memperebutkan kedudukan datuk nomor satu, kupersilakan engkau mendatangi tempat tinggalku di Lembah Sungai Heng-kiang. Selamat tinggal!"

   Setelah berkata demikian, Lam Tok meloncat jauh dan lenyap di balik pohon-pohon.

   "Bagaimana Locianpwe? Apakah engkau tidak sependapat dengan Locianpwe Lam Tok?"

   Tanya Si Kong kepada Pai Ong.

   "Tentu saja tidak. Sebelum aku dapat kau kalahkan dalam pertandingan, aku tidak rela engkau membawa pergi Pek-lui-kiam! Kalahkan aku dulu, baru engkau berhak menentukan apa yang akan kau lakukan dengan Pek-lui-kiam!"

   "Sesungguhnya, Locianpwe, aku sendiri tidak ingin memiliki pedang pusaka itu. Aku hanya hendak mempertahankan bahwa pusaka itu harus diserahkan kepada puteri pemiliknya, sebelum pusaka itu dibawa pergi oleh Ang I Sianjin."

   "Kalau begitu, mari kalahkan aku lebih dulu!"

   Kakek tinggi besar berkepala botak ini mencabut sepasang goloknya.

   "Akan tetapi engkau licik kalau engkau hendak menghadapi sepasang golokku dengan pedang pusaka itu."

   Si Kong tersenyum dan memungut sebatang kayu dari bawah pohon. Dia membuang ranting dan daun kering dari cabang kayu itu dan memegangnya sebagai tongkat.

   "Pedang Pek-lui-kiam tidak akan kupergunakan untuk melawanmu, Locianpwe. Cukup dengan sebatang kayu ini saja. Kalau aku kalah terhadap Locianpwe, pedang Pek-lui-kiam akan kuserahkan."

   Pai Ong tersenyum dan wajahnya berseri.

   "Aku tahu bahwa engkau seorang pemuda yang gagah perkasa dan dapat dipercaya. Marilah kita tentukan siapa diantara kita yang berhak membawa pergi Pek-lui-kiam. Mulailah, Si Kong."

   "Aku telah siap, Locianpwe. Harus mulai lebih dulu."

   "Bagus, lihat golok!"

   Kakek tinggi besar itu sudah menggunakan sepasang goloknya untuk menyerang. Serangannya memang dahsyat sekali karena dia menggunakan seluruh tenaga dan kecepatannya.

   Karena maklum bahwa lawannya, biarpun masih muda, memiliki ilmu silat yang tinggi, maka begitu menyerang dia telah mengeluarkan jurusnya yang paling ampuh. Golok kanan membacok miring dari atas ke bawah ke arah leher Si Kong sedangkan golok kiri bergerak dari lain jurusan menyambar pinggang. Si Kong tidak berani memandang rendah lawannya yang dia tahu merupakan orang yang tingkat ilmu silatnya tidak berada di bawah tingkat mendiang Toa Ok. Dengan ringan sekali Si Kong mengelak mundur sehingga serangan sepasang golok itu mengenai tempat kosong. Ketika datuk itu memutar goloknya untuk menyerang lagi, Si Kong mendahuluinya dengan serangan balasan. Tongkatnya tergetar ujungnya dan sekali bergerak seperti ular-ular mematuk, ujung tongkatnya sudah mengarah tujuh jalan darah di bagian depan tubuh Pai Ong.

   "Hemmm...!"

   Pai Ong menggereng dan kedua goloknya sibuk menangkis totokan itu dengan pengerahan tenaga agar tongkat itu terpotong oleh goloknya. Namun biarpun ditangkis sepasang golok yang tajam, tongkat itu tidak terpotong melainkan terayun dan membuat gerakan melingkar menyerang lagi dengan totokan ke arah lambung kakek tinggi besar itu.

   Pai Ong terkejut. Tak disangkanya pemuda itu dapat menggerakkan tongkatnya demikian cepat dan tidak terduga. Karena tidak sempat menangkis, dia meloncat kebelakang untuk menghindarkan diri dari serangan cepat itu. Kemudian, setelah memutar sepasang goloknya, dia menyerang lagi dengan dahsyat. Namun, gerakan tubuh Si Kong terlampau cepat baginya, juga amat aneh sehingga dia menjadi bingung. Makin lama permainan tongkat Si Kong semakin banyak perubahannya yang sama sekali tidak tersangka-sangka sehingga setelah lewat lima puluh jurus kakek tinggi besar itu mulai terdesak. Si Kong tidak berniat buruk terhadap Pai Ong. Bagaimanapun juga, datuk utara ini telah memperlihatkan bahwa dia tidak sudi menjadi pengkhianat seperti Toa Ok dan Tung-giam-ong.

   Biarpun dia disebut datuk besar dunia kangouw, akan tetapi dia masih memiliki kegagahan. Karena itu, Si Kong tidak ingin mencelakainya. Melihat lawannya sudah terdesak, Si Kong mempercepat gerakan tongkatnya sehingga Pai Ong menjadi semakin bingung. Seolah-olah tongkat itu berubah menjadi banyak sekali, mengurung dirinya dari berbagai penjuru. Karena bingung menghadapi tongkat itu, Pai Ong menggerakkan sepasang goloknya, berniat untuk menggunting tongkat yang ampuh itu agar terpotong. Suatu saat dia melihat bayangan tongkat itu dan secepat kilat sepasang goloknya menggunting dari atas ke bawah. Si Kong sengaja memperlambat gerakan tongkatnya sehingga tampaknya hampir terjepit sepasang golok. Pai Ong sudah merasa girang sekali, akan tetapi pada saat terakhir, tongkat itu hilang dan sepasang goloknya bertemu sendiri di udara.

   "Traangg...!!"

   Pada saat itu, ujung tomgkat Si Kong bergerak dua kali menotok ke arah pergelangan tangan Pai Ong sehingga kedua tangan itu kehilangan kekuatannya dan sepasang golok itupun terlepas dari tangannya, jatuh ke atas tanah. Si Kong melompat mundur, memberi kesempatan kepada Pai Ong untuk memungut sepasang goloknya kembali. Pai Ong terbelalak, mukanya berubah sedikit pucat. Dia harus mengakui kekalahannya, akan tetapi hatinya masih penasaran sekali. Harus diakuinya bahwa pemuda itu memiliki ilmu tongkat yang hebat, akan tetapi mungkin dalam perkelahian tangan kosong pemuda itu tidak akan mampu mengalahkannya. Untuk menebus rasa malu karena kalah dalam pertandingan menggunakan senjata, Pai Ong berkata tanpa memungut sepasang goloknya.

   "Harus kuakui bahwa engkau memiliki ilmu tongkat yang luar biasa dan aku mengaku kalah dalam permainan senjata. Akan tetapi, aku baru mengakui kekalahanku kalau engkau mampu menandingi aku dalam pertandingan tangan kosong dan penggunaan sin-kang."

   Si Kong tersenyum maklum. Kakek tinggi besar itu dikenal sebagai seorang datuk besar. Tentu saja dia sukar mengakui kekalahannya terhadap seorang pemuda sepertinya. Dia dapat memaklumi hal ini dan sambil tersenyum dia menjawab,

   "Kalau Locianpwe mengajak bertanding dengan tangan kosong, akan kulayani, akan tetapi harap Locianpwe suka mengalah dan tidak menjatuhkan tangan yang terlalu keras bagiku."

   Pai Ong memandang kagum. Pantas saja Lam Tok enggan bermusuhan dengan pemuda ini. Seorang pemuda yang luar biasa. Sudah jelas dapat mengalahkannya, akan tetapi tetap merendahkan diri.

   "Engkau terlalu merendahkan diri, Si Kong. Mari kita uji kekuatan masing-masing."

   "Aku sudah siap, locianpwe,"

   Kata Si Kong sambil membuang tongkatnya. Dua orang itu saling berhadapan seperti dua ekor ayam jago hendak bertarung. Pai Ong mengerutkan alisnya dan bersungguh-sungguh karena dalam pertandingan ini dia harus mempertahankan kedudukannya sebagai datuk besar yang patut disegani semua orang. Akan tetapi Si Kong kelihatan tenang-tenang saja dengan bibir tersenyum seolah dia sudah merasa pasti bahwa dia tidak akan kalah oleh lawannya. Sikap percaya diri ini ditanamkan mendiang Pendekar Sadis kepadanya bersama ilmu-ilmu yang dipelajarinya.

   "Lihat serangan!"

   Terdengar Pai Ong membentak karena dia melihat pemuda itu agaknya tidak mau mendahului menyerang. Tubuhnya menerjang maju dan dia sudah mengirimkan pukulan yang mendatangkan hawa panas sekali. Inilah ilmu pukulan Hok-ciang (Tangan Api) yang meangdung sin-kang amat kuat. Si Kong mengenal pukulan ampuh, maka diapun mengelak dan selanjutnya memainkan Yan-cu Hui-kun (Silat Burung Walet Terbang) sehingga tubuhnya bergerak amat cepat. Dengan penuh penasaran Pai Ong melancarkan serangan bertubi-tubi, namun tidak satu pun dari semua pukulannya mengenai sasaran.

   Dengan seluruh tenaga dan kepandaiannya, Pai Ong menyerang dan agaknya tidak memberi kesempatan kepada Si Kong untuk membalas serangannya. Hebat memang kakek datuk utara ini. Serangannya sambung menyambung dan bertubi-tubi sehingga menggetarkan sekeliling tempat itu. Bahkan orang yang berdiri dalam jarak sepuluh meter dari tempat pertandingan itu, terpaksa mundur menjauh karena merasakan sambaran angin yang panas. Si Kong sama sekali tidak mampu membalas. Setiap kali dia mengelak dari satu serangan lawan, maka serangan lain telah menyusul sebagai sambungan, seolah jurus-jurus itu telah dirangkai dan tiada putusnya. Diam-diam pemuda ini merasa kagum bukan main. Tingkat kepandaian datuk utara ini bahkan lebih unggul dibandingkan tingkat kepandaian Toa Ok.

   Andaikata pertandingan Pai Ong dan Lam Tok diadakan, tentu Pai Ong akan merupakan lawan tangguh dari Racun Selatan itu. Hampir seratus jurus telah lewat dengan cepatnya dan belum juga ada pukulan Pai Ong yang mengenai tubuh Si Kong. Pai Ong sudah mulai lelah dan dia semakin penasaran. Pada suatu saat, tangan kanannya dengan telapak tangan terbuka menghantam ke arah dada Si Kong dan tangan kirinya mencengkeram ke arah pusar. Si Kong yang tidak memiliki kesempatan untuk balas menyerang, menganggap sudah cukup dia memberi kesempatan kepada lawannya. Diapun lalu menggerakkan kedua tangannya menyambut dua serangan Pai Ong itu. Tangan kirinya dengan telapak tangan terbuka menyambut pukulan ke arah dadanya dan tangan kanannya mengibas ke bawah untuk menyambut cengkeraman tangan kiri lawan.

   "Plak! Plak!"

   Dua pasang tangan bertemu di udara dan mata Pai Ong terbelalak. Dia merasa betapa kedua tangannya bertemu benda lunak yang langsung menghisap tenaga sin-kangnya. Tenaga sinkangnya membanjir keluar disedot telapak tangan yang lunak itu. Tentu saja dia terkejut setengah mati. Dalam dunia persilatan hanya para hwesio Siauwlimpai yang sudah mencapai tingkat tertinggi dari ilmu mereka yang dapat menggunakan tenaga dalam untuk menyedot tenaga lawan. Akan tetapi dia teringat akan ilmu menyedot seperti itu yang pernah dimiliki mendiang Pendekar Sadis. Maka, tanpa disadarinya mulutnya mengeluarkan apa yang terasa di hatinya.

   "Pendekar Sadis...?"

   Si Kong yang tidak bermaksud mencelakai lawan memang sudah hendak melepaskan ilmu Thi-ki-i-beng, ketika mendengar disebutnya nama gurunya, lalu melepaskan kedua tangannya dan meloncat mundur ke belakang. Pai Ong memejamkan mata dan menghirup hawa murni untuk memulihkan tenaganya, kemudian dia membuka matanya dan maklum bahwa kalau lawannya yang muda itu menghendaki, dengan mudah lawan akan mengirim pukulan maut selagi dia tidak berdaya tadi. Dia melangkah maju dan mengangkat kedua tangannya.

   "Si-Taihiap (Pendekar besar Si), aku Pai Ong Loa Thian Kun mengaku kalah dan dengan kekalahanku ini, engkaulah yang berhak memakai gelar Jago Silat Nomor Satu di dunia dan pedang pusaka Pek-lui-kiam memang pantas menjadi milikmu."

   Si Kong cepat membalas penghormatan kakek itu.

   "Locianpwe, harap jangan bersikap seperti ini. Aku sama sekali tidak ingin disebut Jago Nomor Satu, dan akupun sama sekali tidak ingin memiliki Pek-lui-kiam untuk pribadi. Locainpwe telah mengalah kepadaku, aku berterima kasih sekali."

   Wajah Pai Ong menjadi kemerahan.

   "Ahh, betapa bodohnya kami yang menyebut diri datuk besar persilatan, betapa sombongnya seperti katak dalam tempurung! Aku telah mendapat pelajaran yang amat berharga, orang muda. Mulai saat ini Loa Thian Kun hanya seorang biasa, tidak ada lagi Pai Ong. Selamat tinggal!"

   Orang tua itu lalu melompat dan lenyap di antara pohon-pohon besar di bawah puncak. Si Kong menghela napas panjang dan diam-diam bersyukur bahwa mendiang gurunya telah mewariskan ilmu-ilmu yang dapat menundukkan orang-orang sakti seperti para datuk besar itu. Mereka semua sudah bubaran. Para pasukan kerajaan, setelah menguburkan semua jenazah, lalu ditarik mundur dan kembali ke kota raja oleh Panglima Gui Tin dan juga Cang Hok Thian. Percuma saja Cang Hok Thian yang amat terpesona oleh Bwe Hwa mencoba untuk membujuk Bwe Hwa agar mau ikut pulang bersamanya, dan ingin dia perkenalkan kepada Ayah bundanya.

   Bwe Hwa menolak halus dan minta agar Cang Hok Thian meninggalkannya. Hok Thian terpaksa ikut Panglima Gui Tin pulang, di dalam hatinya mengambil keputusan bahwa dia harus berjodoh dengan gadis itu atau tidak akan menikah dengan gadis lain. Setelah semua orang pergi, Si Kong juga melakukan perjalanan seorang diri menuruni puncak. Akan tetapi baru tiba di lereng bawah puncak, gerakan dua orang telah membuat dia membalikkan tubuh dan ternyata yang mengejarnya adalah Pek Bwe Hwa dan Hui Lan! Dia berhenti dengan jantung berdebar. Tadi dia telah berpamit dari dua orang gadis ini dan kini mereka mengejarnya. Apa yang mereka kehendaki? Hatinya menjadi tegang dan gelisah, akan tetapi dia menekan hatinya sehingga kelihatan tenang saja ketika dua orang gadis itu tiba di depannya.

   "Lan-moi dan Hwa-moi, ada urusan apakah kalian mengejarku?"

   Tanya Si Kong sambil memandang ke kiri. Tanpa disengaja, dia berhenti tak jauh dari makam Siangkoan Cu Yin ketika dua orang gadis itu menyusulnya! Dua orang pendekar wanita itu adalah puteri-puteri para pendekar yang gagah perkasa dan keduanya mewarisi watak ibu mereka yang terkenal keras dan terbuka. Mendengar pertanyaan Si Kong, Hui Lan menjawab,

   "Kong-ko, kami berdua mengejarmu karena hendak menanyakan sesuatu yang kami harap Kong-ko akan menjawab dengan sejujurnya dan terbuka, sesuai dengan watak kita yang menghargai kebenaran dan kejujuran!"

   Debar jantung di dada Si Kong makin menggebu.

   "Pertanyaan tentang apakah?"

   Sekarang Bwe Hwa yang melangkah maju.

   "Kong-ko, ketika engkau meninggalkan kami berdua dari guha dahulu, mengapa engkau meninggalkan sajak itu? Aku masih ingat bunyinya!"

   Kata Bwe Hwa yang lalu membacakan sajak itu.

   "Seekor burung gagak yang papa
tidak pantas berdekatan dengan
sepasang burung Hong yang mulia!
Seekor burung gagak yang papa
terbang naik ke angkasa
sendirian bermain di udara
bebas dan merdeka
tak terikat apapun juga!"

   "Nah, mengapa engkau meninggalkan sajak itu dan meninggalkan kami tanpa pamit? Kong-ko, apakah engkau tidak menghargai perasaan kami terhadapmu?"

   Hui Lan bertanya secara terbuka sehingga wajah Si Kong berubah kemerahan.

   "Engkau harus menjawab sejujurnya, Kong-ko. tidak perlu ada rahasia diantara kita, semua harus dijelaskan agar tidak terkandung pikiran buruk satu sama lain. Apakah kami berdua yang kau maksudkan dengan Sepasang Burung Hong itu dan engkau menganggap dirimu seekor burung gagak yang papa, yang tidak pantas berdekatan dengan kami?"

   Si Kong harus menelan ludah berulang kali untuk menenteramkan hatinya yang berdebar gelisah menghadapi dua orang gadis yang bicara secara terbuka itu. Lebih gelisah daripada harus menghadapi dua ekor singa betina yang marah!

   "Eh"

   Hemmm... aku... terus terang saja aku telah mendengar percakapan kalian ketika aku habis mandi. Hatiku menjadi gelisah dan bingung. Aku merasa tidak berharga untuk kalian, merasa tidak pantas. Aku tidak ingin melihat kalian berduka atau kecewa, maka kupikir"

   Sebaiknya aku meninggalkan kalian. Percayalah, Lan-moi dan Hwa-moi, tidak ada maksudku untuk membikin kalian berduka. Aku"

   Aku merasa lebih baik aku menjauhkan diri, aku sungguh tidak berharga untuk kalian..."

   "Kami tidak perlu menyembunyikan, Kong-ko, bahwa kami berdua kagum dan tertarik kepadamu. Karena itu buanglah keraguanmu bahwa pilihanmu akan membuat seorang diantara kami menderita kecewa atau berduka. Kami sudah saling menceritakan rahasia hati kami masing-masing dan kami berani menghadapi kenyataan dengan hati terbuka,"

   Kata Hui Lan.

   "Benar, Kong-ko. Andaikata engkau memilih Hui Lan, akupun tidak akan merasa sakit hati atau mendendam kepada kalian."

   Kata Bwe Hwa.

   "Dan andaikata engkau memilih enci Bwe Hwa, akupun rela dan menganggap bahwa engkau bukan jodohku,"

   Kata pula Hui Lan.

   "Engkau boleh menganggap kami sebagai wanita tidak tahu malu membicarakan urusan cinta kami, akan tetapi kami sudah bersikap terbuka dan jujur, maka harap engkau terbuka dan jujur pula terhadap kami,"

   Sambung Bwe Hwa. Si Kong mengeluarkan keringat dingin. Tentu saja tidak sedikitpun terdapat pendapat bahwa dua orang gadis itu tidak tahu malu, bahkan dia kagum sekali terhadap keterbukaan mereka. Kalau di dunia ini semua orang bersikap terbuka dan jujur, tentu dunia tidak seperti sekarang, penuh pertikaian dan kesalahpahaman.

   "Aih, Lan-moi dan Hwa-moi, apakah yang harus aku katakan?"

   Si Kong menghela napas panjang dan sekali lagi dia menengok ke kiri, ke arah kuburan Cu Yin.

   "Kepada kalian aku merasa kagum dan hormat. Kalian bagiku merupakan pendekar-pendekar wanita yang gagah dan patut dikagumi selain berilmu tinggi juga berbudi luhur. Perasaan kalian terhadap diriku sungguh merupakan kehormatan yang berlebihan bagiku."

   "Tidak perlu berbelit-belit, Kong-ko!"

   Kata Hui Lan.

   "katakan saja, siapakah diantara kami berdua yang kau cinta? Ataukah, engkau tidak mencinta kami berdua?"

   Si Kong menggeleng kepala dan menghela napas lagi.

   "Cintaku telah terbawa mati oleh Cu Yin yang sekarang bermakam di sana. Kalian bagiku terlampau tinggi untukku. Aku hanya kagum dan hormat, dan terus terang saja, sayangku kepada kalian bukan seperti yang kalian duga. Maafkan keterus teranganku ini, akan tetapi sesungguhnya, tidak ada perasaan cinta asmara dalam hatiku."

   Dua orang gadis itu saling pandang dan wajah mereka menjadi agak pucat, akan tetapi lalu menjadi kemerahan kembali.

   "Kong-ko, siapa itu Cu Yin?"

   Tanya Hui Lan sambil menoleh dan memandang makam baru itu.

   "Ya, siapa gadis yang telah mampu menjatuhkan hatimu itu, Kong-ko?"

   Tanya Bwe Hwa penasaran. Si Kong menghela napas.

   "Sebelum ia tewas aku pun tidak tahu bahwa aku mencintainya. Kasihan Cu Yin. Ia bukan berkedudukan tinggi seperti kalian. Ia hanyalah puteri Lam Tok yang tewas oleh anak panah Ayahnya sendiri ketika ia berkorban untukku, menghadang anak-anak panah yang ditujukan kepadaku."

   Dua orang gadis itu menunduk, merasa terharu. Mereka adalah dua orang gadis perkasa yang gagah, maka keterusterangan Si Kong tidak membuat mereka menjadi sakit hati. Mereka menerimanya dengan wajar dan dapat menekan perasaan sendiri. Mereka maklum bahwa cinta asmara tidak mungkin terjadi sepihak saja, dan juga cinta tidak dapat dipaksakan. Mereka tidak marah, tidak sakit hati dan hanya pandangan mereka terhadap Si Kong berubah. Kini mereka melihat pemuda itu sebagai seorang sahabat yang mereka kagumi, tidak lagi mengharapkan balasan cinta darinya.

   "Menyedihkan sekali..."

   Kata Hui Lan sambil memandang ke arah kuburan itu.

   "Kasihan gadis itu...,"

   Kata pula Hui Lan. Sikap kedua orang gadis itu menerima keterusterangannya yang menolak cinta mereka membuat Si Kong semakin kagum kepada mereka. Demikian bijaksana. Pantas kalau mereka berdua merupakan dua orang gadis yang disebut pendekar yang berbudi luhur dan tidak mementingkan kesenangan diri sendiri.

   "Nah, selamat tinggal, Lan-moi dan Hwa-moi. Aku hendak melanjutkan perjalanan untuk menyerahkan Pek-lui-kiam ini kepada yang berhak."

   "Selamat berpisah, Kong-ko,"

   Kata Hui Lan.

   "Selamat tinggal, Kong-ko,"

   Kata Bwe Hwa dan kedua orang gadis itu lalu berlari cepat meninggalkan tempat itu. Mereka dapat menerima kenyataan yang betapa pahitpun dengan tabah dan gagah, tanpa penyesalan, melainkan penuh keikhlasan dan kemakluman. Setelah dua orang gadis itu pergi, Si Kong menghela napas panjang. Dia telah berbohong dalam usahanya agar tidak membuat salah satu dari mereka kecewa dan menyesal.

   Kalau hanya seorang saja yang mencintanya, alangkah mudahnya baginya untuk jatuh cinta kepada seorang gadis seperti Hui Lan atau Bwe Hwa. Akan tetapi dia maklum bahwa kalau dia memilih salah satu, yang lain akan merasa kecewa dan menyesal. Pula, dia melihat betapa buruk nasib Cu Yin, gadis yang mencintainya. Dia tidak ingin kalau kedua orang dara perkasa itu mengalami nasib buruk pula. Dengan perlahan dia menghampiri makam Cu Yin, lalu duduk bersila di depan makam itu sampai hampir sejam lamanya. Setelah itu, dia lalu pergi menuruni gunung Kwi-liong-san untuk melanjutkan perjalanannya menuju ke kota Ci-bun, dimana Tan Kiok Nio tinggal mondok dirumah pamannya, yaitu Hartawan The Kun. Ketika tiba di kota Ci-bun, Si Kong langsung saja menuju ke rumah Hartawan The Kun.

   Hari masih pagi, akan tetapi didepan rumah keluarga hartawan itu sudah menunggu banyak pengemis besar kecil laki perempuan. Setiap hari rumah itu pasti didatangi para pengemis yang minta sumbangan dan tak pernah mereka pergi dengan tangan kosong. Melihat ini, Si Kong mengangguk-angguk dan tersenyum senang. Kalau semua hartawan di dunia ini bermurah hati seperti hartawan The Kun, akan berkuranglah kesengsaraan di dunia. Hartawan The Kun bahkan merupakan sumber kehidupan bagi banyak orang di waktu musim panen gagal. Dia membuka tangannya untuk memberi atau menyumbang, bahkan yang memerlukan sesuatu dapat meminjam darinya tanpa bunga. Ketika Si Kong memasuki pekarangan, seorang tukang kebun yang sedang menyapu di pekarangan itu menyambutnya dan tukang kebun ini bertanya ramah.

   "Kongcu mencari siapakah dan ada keperluan apa datang berkunjung? Si Kong tersenyum pula. Kalau majikannya murah hati, tak mungkin pembantu-pembantunya galak dan sombong. Tukang kebun inipun ramah dan hormat sekali.

   "Maafkan kalau aku mengganggu, paman. Aku ingin bertemu dengan The-wan-gwe. Dapatkah paman melaporkan ke dalam?"

   "Kalau kedatangan kongcu mengenai urusan sumbangan, sebaiknya kongcu menanti sebentar,"

   Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Kata tukang kebun itu dengan sikap ramah dan halus.

   "Ah, tidak, paman. Aku mempunyai urusan lain yang amat penting dengan The-wan-gwe."

   "Kalau begitu harap tunggu sebentar, biar kulaporkan ke dalam."

   Tukang kebun itu melepaskan sapunya lalu melangkah memasuki rumah besar itu. Tak lama kemudian tukang kebun itu sudah keluar bersama seorang kakek yang di kenal Si Kong sebagai The-wan-gwe. Si Kong segera memberi hormat kepada hartawan itu.

   "Engkau siapakah orang muda dan ada keperluan apakah ingin bertemu dengan aku?"

   Kakek itu memandang wajah Si Kong dengan penuh selidik. Si Kong tersenyum.

   "Apakah The-wan-gwe sudah lupa kepadaku? Aku pernah membantu membagi-bagi beras di sini."

   Si Kong mengingatkan dan hartawan itu segera teringat.

   "Ah, kiranya engkau, Si Kong...! Aku, aku sudah tua dan menjadi pelupa. Mari masuk, kita bicara di dalam!"

   Hartawan itu menawarkan dengan sikap ramah sekali.

   "Baik, loya (tuan tua) dan terima kasih."

   "Ha-ha-ha, engkau jangan menyebut loya kepadaku, cukup kau sebut paman saja. Bukankah manusia di dunia ini merupakan satu keluarga yang besar?"

   Si Kong semakin kagum. Orang tua ini melaksanakan ujar-ujar dalam kehidupan sehari-hari. Banyak orang yang hafal akan ujar-ujar bijaksana itu dan dapat menirukan dengan suara lantang dan indah.

   "Di empat penjuru lautan, semua orang adalah saudara!"

   Dan ada pula ujar-ujar yang berbunyi.

   "Cintailah orang lain seperti kamu mencintai diri sendiri!"

   Akan tetapi semua itu tinggal menjadi slogan belaka. Kalau dengan saudara sendiri saja sudah bertengkar, bagaimana dapat menganggap manusia di empat penjuru sebagai saudara? Kalau kepada saudara sendiri saja kita tidak dapat mengasihi, bagaimana mungkin mencintai orang lain? Akan tetapi The-wan-gwe agaknya melaksanakan segala pelajaran yang bijaksana itu dalam kehidupan sehari-hari. Dia, yang dulu pernah bekerja kepada hartawan itu, kini diterima sebagai anggota keluarga! Setelah tiba di ruangan tamu, dengan sikap ramah Hartawan The mempersilakan Si Kong duduk. Mereka duduk berhadapan dan hartawan itu bertanya,

   "Bantuan apakah yang dapat kami berikan kepadamu Si Kong?"

   Si Kong tersenyum. Baru pertanyaan itu saja sudah menunjukkan sikap yang murah hati dari hartawan itu.

   "Sebetulnya saya tidak mempunyai keperluan apapun dengan paman The, melainkan dengan nona Tan Kiok Nio. Akan tetapi rasanya tidak pantas kalau saya minta tolong kepada tukang kebun tadi untuk memanggilkan nona itu."

   Hartawan The tersenyum lebar.

   "Kiok Nio? Dia berada di dalam. Tentu akan merasa heran mendengar engkau berkunjung kepadanya."

   Untuk menghilangkan prasangka yang bukan-bukan Si Kong cepat berkata,

   "Dalam pertemuan antara kami dahulu, nona Tan Kiok Nio minta kepadaku untuk menyelidiki tentang pembunuh Ayahnya dan pencuri pedang pusaka milik Ayahnya."

   "Ah, itukah? Dan engkau telah berhasil?"

   Si Kong mengangguk dengan wajah berseri.

   "Bagus!"

   Kata hartawan itu.

   "Kiok Nio tentu akan senang sekali mendengarnya! Kau tunggu sebentar, aku akan memanggilnya untuk menemui engkau disini!"

   Hartawan itu lalu masuk kedalam dan Si Kong menanti di atas kursinya. Tak lama dia menanti. Bunyi langkah kaki yang halus terdengar dan dia memandang ke arah pintu sebelah dalam. Muncullan Tan Kiok Nio, gadis yang cantik manis itu. Dengan pandang mata penuh harapan gadis itu menghampiri Si Kong. Pemuda ini segera bangkit untuk memberi hormat.

   "Tan-siocia...,"

   Katanya lembut.

   "Ah, Si-Taihiap. Engkau sudah datang? Dan bagaimana dengan pembunuh itu?"

   "Harap nona suka duduk. Ceritanya agak panjang, akan tetapi aku telah berhasil menemukan pembunuh itu dan membawa pedang Pek-lui-kiam untuk dikembalikan kepadamu. Nah, terimalah pedang ini, nona Tan Kiok Nio."

   Si Kong menjulurkan tangan memberikan pedang itu. Melihat pedang itu, Tan Kiok Nio menerimanya lalu mendekap pedang itu dengan kedua mata basah. Akan tetapi ia tidak menangis dan menelan kembali tangisnya.

   "Terima kasih, Taihiap. Akan tetapi bagaimana ceritanya sampai engkau dapat menemukan kembali pedang ini dan bagaimana pula dengan pembunuh itu? Siapakah dia?"

   "Pembunuh itu berjuluk Ang I Sianjin ketua Kwi-jiauw-pang di Kwi-liong-san. Akan tetapi dia telah tewas dan beruntung sekali aku dapat berhasil merampas pedang pusaka milik Ayahmu ini. Ceritanya panjang, nona."

   "Ceritakanlah, Taihiap!"

   Si Kong lalu menceritakan pengalamannya sehingga Ang I Sianjin sampai tewas dan pedang itu dapat dirampasnya. Tentu saja dia hanya menceritakan garis besarnya saja yang ada hubungannya dengan Ang I Sianjin dan pedang Pek-lui-kiam.

   "Demikianlah, nona."

   Si Kong mengakhiri ceritanya.

   "Pedang Pek-lui-kiam yang diperebutkan orang itu akhirnya dapat kurampas kembali dan aku segera ke sini untuk menyerahkannya kepadamu."

   Kiok Nio kini tidak dapat menahan keharuan hatinya. Ia mendekap pedang itu sambil menangis dan terdengar ia berkata seperti berdoa,

   "Ayah... Ibu... tenang-tenanglah Ayah ibu beristirahat di alam baka. Pembunuh Ayah ibu telah terbalas, dan pedang Pek-lui-kiam telah dikembalikan kepadaku..."

   Pada saat itu hartawan The memasuki ruangan tamu dan melihat keponakannya menangis sambil mendekap pedang, dia bertanya,

   "Heii, pedang itukah milik Ayahmu? Sekarang sudah kembali, mengapa engkau menangis, Kiok Nio?"

   Kiok Nio menghapus air matanya.

   "Aku... aku terharu, paman. Pembunuh Ayah ibu sudah dapat ditewaskan dan pedang Ayah dapat dikembalikan!"

   "Hemm, sepatutnya engkau bersyukur dan berterima kasih kepada Si Kong, bukan malah menangis."

   Kiok Nio kini memandang kepada Si Kong dengan mata kemerahan bekas tangisnya.

   "Terima kasih, Taihiap..."

   Dan ia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Si Kong. Pemuda itu terkejut dan cepat dia pun berlutut.

   "Jangan begini nona. Sebetulnya tanpa bantuan banyak pendekar lainnya, belum tentu aku akan dapat merampas pedang ini. Bangkitlah, nona."

   Kiok Nio bangkit dan Si Kong juga bangkit berdiri. Mereka berdiri berhadapan dan Kiok Nio berkata dengan suara gemetar,

   "Taihiap, engkau terimalah pedang pusaka ini!"

   Ia menyerahkan pedang dan dengan bingung Si Kong terpaksa menerimanya karena pedang itu dilepaskan dari pegangan Kiok Nio.

   "Tapi, pusaka ini harus kembali kepada yang berhak, nona. Tidak dapat aku menerimanya! Yang berhak memiliki adalah engkau, nona."

   "Tidak, bukan aku yang berhak, melainkan engkau, Si-Taihiap. Ketahuilah bahwa dulu pernah Ayah memberi tahu kepadaku pemilik sesungguhnya dari pusaka ini adalah seorang sakti bernama Pek In Losian yang tinggal di Pulau Bayangan. Aku tidak berhak menyimpannya, dan karena engkau yang dapat merampasnya dari Ang I Sianjin, maka engkaulah yang berhak memilikinya. Sekali lagi terima kasih, Taihiap. Sampai mati aku tidak akan melupakan budi kebaikanmu ini."

   Gadis itu terisak lalu berlari masuk. Si Kong masih memegang pedang itu dengan kedua tangannya dan termenung, tidak tahu apa yang harus dia lakukan.

   "Ha-ha-ha!"

   The-wan-gwe tertawa.

   "Tidak tahukah engkau, Si Kong, mengapa Kiok Nio berlari masuk sambil menangis?"

   "Saya... saya tidak mengerti, paman."

   "Si Kong, berapakah usiamu sekarang ini?"

   "Dua puluh satu atau dua puluh dua, paman. Mengapa?"

   "Dan engkau belum terikat, maksudku belum menikah atau bertunangan?"

   Tanya Hartawan The Kun tanpa menjawab pertanyaan pemuda itu.

   "Belum,"

   Si Kong menggeleng kepalanya dengan bingung.

   "Bagus sekali! Sudah cocok kalau begitu, Kiok Nio berusia sembilan belas tahun dan iapun belum mempunyai calon suami. Si Kong, kami sekeluarga akan merasa berbahagia sekali kalau engkau dan Kiok Nio dapat menjadi jodoh masing-masing."

   Si Kong terbelalak.

   "Ah, mana mungkin? Aku... aku seorang yatim piatu..."

   "Sama dengan Kiok Nio. Dengar, Si Kong. Aku tidak mempunyai anak dan Kiok Nio sudah kami anggap anak sendiri. Aku sudah tua, malas berusaha. Kalau engkau menjadi suami Kiok Nio, kalian akan mewarisi seluruh hartaku dan engkau dapat melanjutkan usahaku."

   Tapi..., tapi..."

   "Tidak ada tapi, Si Kong. Kiok Nio pasti setuju. Ketika ia berlari masuk sambil menangis, aku sudah tahu. Karena itulah maka ia menyerahkan pedang pusaka Ayahnya kepadamu. Anggaplah itu sebagai tanda pengikat perjodohan, ha-ha-ha!"

   Hartawan The Kun tertawa girang sekali karena dia tidak melihat alasan bagi Si Kong untuk menolak perjogohan itu. Kiok Nio cantik sekali, berilmu tinggi, dan menjadi pewaris hartawan itu pula. Dapat dibayangkan betapa kaget dan kecewa hatinya ketika Si Kong berkata dengan suara tegas.

   "Tidak, paman. Maafkanlah aku. Aku merasa amat terhormat sekali akan penawaranmu, akan tetapi, aku tidak dapat menerimanya. Aku sama sekali belum mempunyai keinginan untuk berjodoh. Aku masih hendak berkelana, aku mendengar keterangan nona Kiok Nio tadi, aku hendak mengembalikan pedang pusaka ini kepada yang berhak, yaitu pemiliknya yang berjuluk Pek In Losian di Pulau Bayangan itu."

   "Si Kong, jangan mengecewakan hatiku. Aku sungguh berharap engkau akan menerima tali perjodohan ini!"

   "Maafkan kalau aku mengecewakan hatimu, paman. Akan tetapi perjodohan adalah urusan hati pribadi, tidak mungkin dapat dipaksakan. Selamat tinggal, paman!"

   Si Kong melangkah keluar dengan cepat. Ketika dia tiba dipekarangan, ada sesuatu yang memaksa dia menoleh dan memandang ke atas. Dan disana, di jendela loteng yang menghadap ke pekarangan, dia melihat Kiok Nio memandang kepadanya dengan air mata mengalir dari kedua matanya. Ada rasa haru menusuk hatinya. Akan tetapi dia mengeraskan hatinya dan melanjutkan langkahnya, keluar dari pekarangan rumah Hartawan The Kun, terus keluar dari kota Ci-bun!

   Setelah tiba diluar kota Ci-bun, dia merasa hatinya ringan dan bebas. Dia memang ingin bebas, tidak terikat. Dia ingin menjadi pengelana, menjelajahi banyak tempat, bertemu dengan pengalaman-pengalaman baru. Sampai disini tamatlah kisah Si Pendekar Kelana dan kita bersua kembali di lain kisah pengalaman Si Pendekar Kelana Si Kong! semoga kisah ini ada manfaatnya bagi para pembaca.

   TAMAT

   


Kumbang Penghisap Kembang Eps 24 Jodoh Si Mata Keranjang Eps 6 Pendekar Mata Keranjang Eps 44

Cari Blog Ini