Ceritasilat Novel Online

Jodoh Si Mata Keranjang 18


Jodoh Si Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Bagian 18



"Sarah, hal itu tidak mungkin, dan terima kasih atas maksud baikmu. Akan tetapi, aku tidak akan melupakanmu selama hidupku, Sarah. Dan aku ingin meninggalkan pesan yang teramat penting bagimu."

   Sarah adalah seorang gadis yang berhati baja dan tabah. Akan tetapi membayangkan bahwa setelah ia kembali kepada ayahnya ia akan berpisah dari penolongnya yang amat dikaguminya ini, ingin rasanya ia menangis.

   "Katakan, pesan apakah itu?"

   "Engkau tentu tahu sendiri betapa bangsamu, orang-orang Portugis, mengadakan persekutuan dengan para pembesar di Cang-couw, juga dengan para bajak laut Jepang. Mereka bersikap memberontak terhadap pemerintah di kota raja. Hal ini sudah pasti akan menimbulkan perang. Pemerintah tidak tinggal diam dan pasti Cang-couw akan diserbu."

   Sarah terkejut.

   "Ah, begitukah? Aku malah tidak tahu akan hal itu, Hay Hay. Aku tidak pernah mencampuri urusan politik ayah. Setahuku menurut ayah, kepala daerah Cang-couw menghukum mati banyak pejabat penting yang dituduh memberontak. Bukankah itu berarti bahwa kepala daerah Cang-couw setia kepada rajanya?"

   "Hemm, itu pemutarbalikan kenyataan, Sarah. Akan tetapi engkau tidak akan mengerti. Pesanku hanya ini, yaitu agar engkau segera meninggalkan Cang-cow, kembalilah ke negerimu sebelum terlambat, sebelum terjadi perang. Karena kalau terjadi perang, aku sungguh amat mengkhawatirkan keselamatanmu."

   "Bagaimana mungkin, Hay Hay? Aku tidak dapat meninggalkan ayah, apalagi ada Asron..."

   "Nah, bukankah pernah kau ceritakan bahwa kekasihmu itu bertahan di sini hanya karena engkau? Bahwa ayahmu selalu menekannya dan tidak pernah memberi kenaikan pangkat? Ajaklah dia pulang saja ke negeri kalian, Sarah. Aku tidak ingin mendengar engkau menjadi korban perang. Pulanglah dan hiduplah berbahagia dengan kekasihmu itu di sana. Gadis seperti engkau ini tidak layak menjadi korban dalam perang yang kejam, engkau layak untuk hidup berbahagia di samping pria yang mencintamu. Ingat baik-baik pesanku ini, Sarah..."

   Sarah tidak sempat menjawab lagi karena tiba-tiba bermunculan banyak kuda yang mengepung mereka dan ternyata mereka adalah pasukan orang Portugis yang dipimpin oleh Kapten Armando dan Kapten Gonsalo! Kapten Gonsalo dengan pistol ditodongkan ke arah Hay Hay, sudah mengajukan kudanya dan membentak.

   "Jahanam busuk, angkat tangan atau kuhancurkan kepalamu yang terkutuk dengan peluru pistolku!"

   "Kapten Gonsalo, hentikan kata-katamu yang busuk dan kotor itu!"

   Bentak Sarah dengan marah sekali.

   "Dia adalah seorang pendekar, dan dialah yang telah menyelamatkan aku dari tawanan para gerombolan penjahat! Hati-hati kau dengan mulutmu!"

   "Hemm, mereka semua adalah orang-orang biadab! Mereka layak dibunuh!"

   Gonsalo masih menodongkan pistolnya ke arah Hay Hay yang bersikap tenang saja sambil tersenyum.

   "Kapten Gonsalo, bersabarlah dan jangan lancang tangan,"

   Kata Kapten Armando.

   "Sarah, turunlah dan ke sinilah, biar kami yang akan menyelesaikan urusan ini. Aku girang sekali melihat engkau selamat."

   Sarah tidak mau turun, akan tetapi Hay Hay yang biarpun tidak mengerti apa yang mereka bicarakan, dapat menduga kehendak kapten setengah tua yang rambutnya keemasan dan matanya biru seperti rambut dan mata Sarah itu.

   "Sarah, turunlah dan pergi kepada ayahmu. Jangan lupakan pesanku tadi."

   "Tapi, Hay Hay... aku khawatir mereka mengganggumu..."

   "Jangan khawatir, aku mampu menjaga diri,"

   Kata Hay Hay yang sejak tadi telah menatap tajam wajah Kapten Gonsalo yang masih menodongkan pistolnya. Sarah percaya kepada Hay Hay dan ia pun meloncat turun, lalu menghampiri ayahnya yang juga melompat turun. Ayah dan anak itu berpelukan dan Hay Hay melihat betapa kapten tua itu merangkul dan mencium kedua pipi dan dahi puterinya dengan penuh kasih sayang. Teringatlah dia akan pelajaran yang didengarnya dari Sarah tentang ciuman dan dia pun tersenyum.

   "Jahanam biadab, sekarang terimalah hukumanmu!"

   Kapten Gonsalo membentak dan mengacungkan pistolnya.

   "Gonsalo, jangan...!"

   Sarah menjerit. Hay Hay tersenyum dan menggerakkan tangan kanannya menunjuk ke arah Gonsalo.

   "Kapten Gonsalo, mau apa engkau bermain-main dengan ular itu?"

   Gonsalo tertegun.

   "Ular...? Ehhh...ular...!!"

   Matanya terbelalak dan mukanya pucat karena dia melihat betapa pistol yang dipegangnya tadi telah berubah menjadi seekor ular yang mendesis-desisi dan siap mematuk hidungnya! Saking kaget dan ngerinya, Gonsalo tentu saja melepaskan pistol itu dan mencampakkannya sambil melompat turun dari atas kudanya. Semua orang yang melihat hal ini terheran-heran. Mereka melihat kapten muda itu tadi terbelalak memandangi pistolnya yang kini diarahkan ke muka sendiri, lalu melemparkan pistol itu dengan muka jijik ketakutan! Sarah lalu cepat melepaskan ayahnya dan mengambil pistol yang dibuang oleh Kapten Gonsalo dan ia pun menodongkan pistol itu ke arah Kapten Gonsalo. Suaranya lantang terdengar oleh semua orang.

   "Kapten Gonsalo, kalau engkau tidak menghentikan ulahmu yang gila, demi Tuhan, kalau engkau membunuh Hay Hay, aku sendiri yang akan menembak hancur kepalamu! Hayo, majulah, jangan kira aku hanya mengancam saja!"

   "Sarah...!"

   Teriak Kapten Armando kaget.

   "Biarlah dulu, Ayah!"

   Sarah berseru tanpa melepaskan pandang matanya dari Kapten Gonsalo yang kini tercengang karena dia merasa seperti mimpi menghadapi semua peristiwa ini. Pistolnya menjadi ular, dan kini Sarah menodongnya dan siap untuk menembak kepalanya!

   "Sarah, aku hanya bermaksud membelamu..."

   Dia berkata.

   "Membelaku? Engkau manusia kasar, sombong dan kepala besar! Ketika aku ditawan gerombolan penjahat, ke mana saja engkau minggat? Engkau melarikan diri seperti pengecut. tidak memperdulikan aku yang ditawan penjahat. Kemudian, setelah aku diselamatkan oleh pendekar ini, yang mati-matian membelaku dan berhasil membebaskan aku, engkau malah memaki-maki dia dan hendak menembaknya? Aku yang akan membelanya, kalau perlu dengan nyawaku!"

   Tentu saja semua orang terkejut dan terheran-heran mendengar ini, bahkan Kapten Armando sendiri sampai terlongong dan tidak tahu harus berkata apa. Akan tetapi Kapten Gonsalo marah bukan main, merasa dihina.

   "Sarah, engkau sungguh tidak adil! Ketika kita dikepung penjahat, aku membelamu mati-matian sampai terluka dan terpaksa aku pergi, bukan karena takut melainkan untuk mencari bala bantuan karena pihak lawan terlalu banyak. Aku sampai terluka akan tetapi pagi ini sejak semalam terus ikut mencarimu, dan engkau kini bahkan memaki aku? Engkau tidak adil, atau apakah engkau sudah dipengaruhi jahanam ini? Sejauh manakah hubunganmu dengan dia? Kulihat tadi kalian berpelukan di atas kuda! Sarah, sungguh aku merasa malu..."

   "Cukup, Kapten Gonsalo!"

   Tiba-tiba nampak seorang pemuda Portugis yang turun dari kudanya, meloncat ke depan Gonsalo. Dia seorang perajurit muda yang bertubuh tegap jangkung, rambutnya hitam kemerahan dan matanya tajam penuh keberanian. Wajahnya yang halus tanpa kumis dan jenggot itu nampak kekanakan dan tampan, namun dagunya berlekuk tanda bahwa dia seorang yang pemberani.

   "Sebagai seorang yang sopan, engkau tidak pantas menghina Sarah dan mengeluarkan ucapan yang kotor, tuduhan yang keji itu!"

   Gonsalo membelalakkan mata memandang kepada pemuda itu.

   "Kau...! Asron, kamu ini perajurit biasa, berani menentang kaptenmu? Kau hendak memberontak?"

   Dengan sikap gagah dan tenang Asron menjawab,

   "Tidak ada perajurit menentang kaptennya, tidak ada yang hendak memberontak. Aku berhadapan dengan engkau sebagai seorang jantan berhadapan dengan seorang laki-laki, engkau menghina seorang wanita terhormat dan aku membela wanita yang kucinta. Ini urusan pribadi!"

   Hay Hay tidak mengerti apa yang mereka bicarakan, akan tetapi mendengar pemuda itu disebut Asron, tahulah dia bahwa pemuda itu kekasih Sarah dan dia kagum melihat sikap perajurit muda yang berani menentang atasannya untuk membela kekasihnya itu. Dia dapat menduga bahwa tentu Gonsalo mengeluarkan kata-kata yang tidak berkenan di hati Asron yang maju membela kekasihnya.

   "Bagus! Ini urusan pribadi dan aku akan menghajarmu!"

   Bentak Gonsalo dan dia sudah menyerang dengan tinjunya. Asron menangkis dan balas menyerang. Mereka segera bertanding, bertinju dan saling serang dengan ganas.

   "Cukup! Hentikan semua kegilaan ini!"

   Kapten Armando membentak, akan tetapi Sarah menjawab dengan suara yang tidak kalah lantangnya.

   "Biarkan mereka, Ayah! Aku ingin melihat bukti kesetiaan Asron kepadaku! Biarkan mereka bertanding dan kita lihat saja siapa yang lebih jantan!"

   "Sarah, perajurit itu akan dihajar oleh Gonsalo."

   Kata Kapten Armando agak lirih.

   "Hemm, biarlah kalau memang begitu. Akan tetapi aku tidak percaya laki-laki sombong macam dia akan mampu menghajar Asron."

   Lalu dara ini menoleh kepada Hay Hay sambil berkata.

   "Hay Hay, lihat betapa kekasihku Asron membelaku. Dan aku percaya bahwa Asron akan mampu membersihkan namaku dan menang dalam pertandingan ini!"

   Hay Hay mengangguk, tersenyum dan meloncat turun dari atas kudanya. Dia maklum maksud yang tersembunyi di dalam ucapan Sarah tadi. Gadis itu ingin melihat kekasihnya menang dan sengaja memberitahu kepadanya. Baik, dia akan menjamin agar Asron menang dalam pertandingan adu tinju itu. Dua orang itu berkelahi semakin seru. Karena Kapten Gonsalo memang seorang jago tinju yang kuat, dua kali Asron sempat tercium kepalan tangannya, membuat pemuda itu terpelanting. Akan tetapi dia tidak mengeluh, juga segera bangkit berdiri dan melawan lagi.

   "Pukul dia, Asron. Demi aku, hajar orang kurang ajar itu!"

   Teriakan-teriakan Sarah ini mendatangkan semangat yang berkobar dan Asron mengerahkan seluruh tenaganya utuk melawan. Dia pun bukan seorang pemuda lemah. Dia telah belajar ilmu berkelahi, pandai bertinju, bermain pedang dan juga merupakan seorang penembak jitu. Namun, menghadapi Gonsalo, dia kalah pengalaman. Gonsalo mempunyai banyak gerak tipu yang licik, suka mencuri dengan sikunya, dengan lututnya sehingga Asron nampak terdesak. Pemuda yang sudah berdarah di tepi bibirnya itu melawan mati-matian. Tiba-tiba saja, entah megapa, Gonsalo terhuyung dan kesempatan ini dipergunakan oleh Asron untuk mengayun tinjunya, dengan cepat sekali ayunan tinju kanannya meledak di rahang Gonsalo yang terhuyung.

   "Dess...!"

   Gonsalo terjengkang. Pukulan itu keras sekali dan tadi, tanpa sebab tertentu, tiba-tiba saja kaki kirinya seperti kram dan dia terhuyung sehingga terpukul lawan. Akan tetapi dia memang kuat. Begitu tubuhnya terjengkang dia sudah melompat bangkit kembali dan bagaikan seekor harimau, dia menggereng dan menerjang lagi. Akan tetapi kembali terjadi keanehan. Tiba-tiba saja kedua lutut kakinya lemas dan dia pun jatuh berlutut. Asron. sudah datang dengan tinju kanan kiri, dua kali dia meninju pangkal telinga dan dagu.

   "Dess! Desss...!!"

   Dan kini Gonsalo roboh dan biarpun dia berusaha untuk rnerangkak bangun, kepalanya pening dan ia pun roboh lagi, lalu bangkit duduk dan rnengguncang-guncang kepala. Terdengar sorak-sorai dan ternyata banyak di antara para perajurit yang memihak Asron karena banyak yang diam-diam tidak suka kepada Gonsalo yang sombong dan keras terhadap bawahannya itu.

   "Cukup, hentikan perkelahian!!"

   Tiba-tiba Kapten Armando berseru. Sarah lalu menghampiri Asron dan mereka berpelukan. Sarah rnengusap sedikit darah dari tepi bibir kekasihnya, lalu mereka berciuman di depan Armando dan semua perajurit. Kembali terdengar teriakan gembira. Kapten Armando menghela napas panjang dan merasa dikalahkan puterinya. Kini semua orang tahu bahwa puterinya saling mencinta dengan Asron, dan pemuda yang berpangkat perajurit biasa itu ternyata dapat membuktikan bahwa dia lebih jantan daripada Gonsalo.

   "Asron, ketahuilah bahwa Hay Hay yang membantumu sehingga engkau tadi menang,"

   Sarah berbisik di dekat telinga kekasihnya. Asron membelalakkan mata memandang Hay Hay yang juga memandang ke arah mereka sambil tersenyum. Kini mengertilah Asron. Tadi dia juga merasa heran mengapa Gonsalo terhuyung sehingga dia dapat memukulnya, kemudian Gonsalo bahkan berlutut sehingga dia dapat menalukkannya. Dia tahu bahwa hal ini tidak wajar, kecuali kalau Gonsalo terserang penyakit mendadak. Kini mendengar ucapan Sarah, mengertilah dia. Dia pun sudah banyak mendengar tentang adanya "pendekar"

   Di negeri asing ini. Gonsalo dibantu berdiri oleh anak buahnya. Kesempatan ini dipergunakan Sarah untuk menghampiri ayahnya dan dan dengan lantang ia berkata,

   "Ayah, kalau tidak ada Hay Hay, tentu saat ini aku tidak dapat bertemu kembali dengan Ayah. Karena itu, aku minta agar jangan ada yang mengganggu Hay Hay."

   Kapten Armando memandang kepada Hay Hay. Dia melihat betapa pemuda itu memiliki wajah yang cerah dan ramah, akan tetapi mata itu sungguh mengejutkan, seperti mata harimau, mencorong!

   "Baiklah, dia boleh pergi. Akan tetapi kami akan menyerbu sarang perampok yang telah menawanmu."

   "Terserah kepada Ayah. Ada satu lagi permintaanku, Ayah."

   "Apa lagi? Katakan dan cepat kembali ke benteng."

   "Ayah, setelah peristiwa ini, aku tidak suka lagi tinggal di sini. Aku ingin pulang ke negeri kita. aku ingin melanjutkan sekolah di perguruan tinggi."

   Kapten Armando mengangguk-angguk. Kalau tidak ada puterinya di situ, dia akan merasa lebih bebas dan tidak khawatir. Puterinya terlalu nakal dan berandal, telah mendatangkan banyak kepusingan kepadanya.

   "Boleh, boleh. Dalam kesempatan pertama engkau boleh berlayar pulang ke negeri kita."

   "Aku minta diantar Asron!"

   Seru pula Sarah.

   "Tapi dia seorang perajurit yang bertugas di sini."

   Bantah ayahnya.

   "Tidak, Ayah. Setelah peristiwa ini, tentu dia akan diancam oleh Kapten Gonsalo. Pula, dia bukan perajurit biasa, dia calon mantumu Ayah. Di negeri kita, dia dapat bekerja, daripada di sini selama hidup dia hanya menjadi perajurit saja yang tidak pernah dinaikkan pangkatnya!"

   Kapten Armando kembali merasa dikalahkan. Jelas bahwa puterinya memprotes dan dia pun merasa salah karena memang sengaja dia tidak menaikkan pangkat Asron karena memang dia tidak setuju puterinya berpacaran dengan perajurit itu. Kini, Sarah membuka semua itu di depan banyak perajurit dan dia akan nampak buruk sekali kalau dia berkeras.

   "Baiklah, dia akan mengantarmu pulang."

   Kata Kapten Armando.

   "Terima kasih, Ayah...!"

   Sarah berteriak dan dia pun melepaskan Asron, lari kepada ayahnya, memeluk ayahnya dan menciumi kedua pipi ayahnya. Mau tidak mau Kapten Armando merasa terharu juga. Setelah menciumi ayahnya, Sarah kembali menghampiri Asron.

   "Asron, kalau tidak ada Hay Hay, mungkin aku sudah mati atau setidaknya, tidak mungkin kita akan dapat berjodoh. Semua ini berkat pertolongannya. Kau menyadari hal ini?"

   Asron mengagguk, lalu menggandeng tangan Sarah dan menghampiri Hay Hay yang masih berdiri sambil memandang semua itu dengan hati gembira. Dia semakin kagum. Sarah memang hebat, pandai sekali memanfaatkan keadaan sehingga terkabullah semua keinginannya. Juga hatinya lega melihat Sarah telah berbaik kembali dengan ayahnya. Walaupun dia tidak mengerti apa yang mereka bicarakan, namun melihat sikap mereka, dia pun dapat menduga bahwa Sarah telah berhasil. Dia menyambut Sarah yang bergandengan tangan dengan Asron itu dengan wajah cerah.

   "Berhasilkah engkau, Sarah?"

   Tanyanya menyambut mereka.

   "Berkat bantuanmu, semua berhasil baik Hay Hay. Ayah membolehkan aku pulang ke negeri kami diantar oleh Asron."

   Asron juga mengulurkan tangan kepada Hay Hay.

   "Terima kasih,"

   Katanya. Itulah satu-satunya kata yang dikenalnya dari bahasa daerah. Hay Hay menyambut uluran tangan itu dengan hangat.

   "Kalau begitu, aku mengucapkan selamat, Sarah."

   Kata Hay Hay mengulurkan tangan kepada gadis itu. Akan tetapi Sarah tidak menyambut uluran tangan itu.

   "Asron, engkau tidak keberatan kalau aku mencium penyelamat kita?"

   Asron tersenyum dan menggeleng kepalanya. Sarah lalu menghampiri Hay Hay yang masih mengulurkah tangannya, kemudian ia merangkul, menarik leher Hay Hay sehingga mukanya menunduk, lalu Sarah menciumnya. Bukan di dahi buka di pipi, melainkan di bibir. Ciuman yang hangat, yang mesra dan dilakukan dengan seluruh luapan perasaan yang berterima kasih. Hay Hay merasakan ini, dan dia pun merasa betapa pipinya basah oleh air mata gadis itu. Sarah mengendurkan rangkulannya dan berbisik,

   "Hay Hay, demi aku, perlihatkan kepandaianmu dan menghilang dari sini agar mereka percaya."

   Ia melepaskan rangkulannya dan berkata dengan suara lantang.

   "Hay Hay, selamat berpisah dan selama hidupku, aku tidak akan melupakanmu!"

   Ia mengusap air matanya. Hay Hay terharu.

   "Semoga Tuhan selalu membimbingmu dan memberkahimu hidup berbahagia bersama Asron, Sarah. Selamat tinggal!"

   Tiba-tiba Hay Hay meloncat ke atas, tinggi seperti terbang saja. Semua orang terbelalak memandang.

   Pemuda itu seperti seekor burung saja melayang ke atas pohon dan begitu dia membuat salto, dia pun lenyap di antara pohon-pohon! Tentu saja hal ini membuat semua orang merasa kagum, dan kini semua orang, termasuk Gonsalo sendiri dan juga Armando, percaya akan cerita Sarah bahwa yang menolongnya adalah seorang pendekar sakti! Sarah lalu mengajak Asron untuk pulang ke benteng, sedangkan Kapten Armando dibantu oleh Kapten Gonsalo bersama pasukanya, melanjutkan perjalanan menyerbu sarang gerombolan di bukit berguha-guha. Gonsalo agaknya hendak melampiaskan sakit hatinya kepada mereka dan segera terdengar letusan-letusan senjata api ketika sarang itu diserbu. Terjadilah pembantaian dan hanya sedikit saja di antara gerombolan itu yang lolos. Lima orang Harimau Cakar Besi yang menjadi pemimpin mereka tewas.

   Peristiwa ini disusul oleh amukan orang-orang Portugis yang sejak terjadinya penyerbuan ke sarang perampok itu memperlihatkan sikap mereka yang aseli. Mereka menjadi ganas dan kejam, dan sewenang-wenang terhadap rakyat. Mereka merasa diri kuat, apalagi karena mereka telah berhasil mengikat para pembesar daerah untuk bersekutu, dibantu pula oleh para bajak laut Jepang yang mempergunakan kesempatan itu untuk membonceng demi keuntungan diri sendiri. Sarah dan Asron segera berangkat dengan kapal pertama yang membawa barang dagangan, meninggalkan Cang-cow dan berlayar ke tanah airnya. Di sana telah menanti suatu kehidupan baru yang cemerlang, yang jauh bedanya dengan kehidupan di Cang-cow, hidup dalam benteng yang penuh dengan kekerasan dan kelicikan.

   Kini kedua orang itu, Liong Ki alias Sim Ki Liong, dan Liong Bi alias Cu Bi Hwa, bersikap hati-hati sekali. Mereka maklum bahwa mereka telah mendapatkan kedudukan yang baik sekali, dipercaya oleh
(Lanjut ke Jilid 17)
Jodoh Si Mata Keranjang (Seri ke 11 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 17
Menteri Cang, seorang di antara semua menteri yang paling besar pengaruh dan kekuasaannya. Mereka berdua memang ingin sekali meningkatkan kedudukan mereka sampai yang paling tinggi, namun mereka berdua adalah orang-orang cerdik yang maklum bahwa sekali mereka salah langkah, bukan tingkat tertinggi yang mereka peroleh, melainkan kejatuhan yang akan amat menyakitkan. Biarpun mereka telah bertekad untuk menjadi mantu Menteri Cang dengan merayu putera dan puteri pembesar itu, namun mereka berdua tidak terlalu mendesak.

   Mereka ingin agar Cang Sun dan adiknya, Cang Hui, dengan wajar jatuh cinta kepada mereka, walaupun tentu saja dibantu oleh kekuatan sihir mereka. Hal itu harus terjadi secara wajar dan perlahan-lahan agar tidak menimbulkan kecurigaan. Apalagi di situ terdapat Mayang. Gadis ini agaknya memperlihatkan sikap curiga kepada mereka, dan nampak tidak senang kalau Liong Ki mendekati Cang Hui dan Liong Bi mendekati Cang Sun. Mereka harus berhati-hati, karena Mayang dapat saja menjadi penghalang terbesar bagi tercapainya cita-cita mereka. Karena mereka mengaku sebagai kakak-beradik, tentu saja persekutuan antara mereka itu menjadi lancar dan mudah. Tidak ada orang menaruh kecurigaan kalau mereka berada berduaan saja sehingga mudah bagi mereka untuk mengatur siasat dan merundingkan segala langkah mereka.

   Biarpun bukan merupakan tokoh resmi, namun Tok-ciang Bi Moli Su Bi Hwa yang kini dikenal sebagai Liong Bi adalah murid Pek-lian-kauw dan sudah banyak jasanya untuk perkumpulan pemberontakan itu. Oleh karena itu, di kotaraja pun ia kadang mengadakan hubungan dengan mata-mata Pek-lian-kauw dan ia mendengar akan semua pergerakan Pek-lian-kauw dan ia mendengar akan semua pergerakan Pek-lian-kauw, mendengar pula akan keadaan di Cang-cow di mana para pembesarnya bersekongkol dengan orang-orang Portugis, dengan para bajak laut Jepang dan tentu saja dengan Pek-lian-kauw. Ia bahkan sudah mendengar pula bahwa seorang siucai tua bernama Yu Siucai, telah menulis pelaporan tentang persekutuan itu dan bermaksud menyerahkan pelaporan itu kepada kaisar di kotaraja.

   Menurut mata-mata Pek-lian-kauw itu, kini surat laporan Yu Siucai berada di tangan seorang pemuda dan mereka sedang membantu persekutuan Cang-cow untuk mencari pemuda itu dan sedapat mungkin merampas surat laporan itu sebelum terjatuh ke tangan kaisar. Mendengar ini, Liong Bi segera berunding dengan Liong Ki. Mereka mengambil keputusan untuk bersikap waspada karena menurut keterangan mata-mata Pek-lian-kauw itu, orang yang merampas surat laporan mungkin sekali akan menyerahkan surat yang membuka rahasia persekutuan itu kepada Menteri Cang Ku Ceng atau Menteri Yang Ting Hoo. Pada suatu hari, masih pagi sekali, Liong Ki dan Liong Bi sudah keluar dari istana Menteri Yang dan mereka pergi ke taman bunga yang luas di sebelah barat kotaraja.

   Taman bunga ini memang terbuka untuk umum. Mereka mencari tempat di sini agar leluasa bicara dan mengatur siasat selanjutnya. Menteri Cang pagi sekali tadi sudah berangkat ke istana kaisar untuk menghadiri pertemuan antara para menteri yang menghadap kaisar untuk membicarakan segala permasalahan negara. Mereka berdua duduk di bangku panjang di tepi kolam ikan. Tempat ini terbuka sehingga mereka akan melihat kalau ada orang lain mendekat dan percakapan mereka tidak akan dapat didengar orang lain. Juga di sekitar, situ tidak ada tempat persembunyian yang rnemungkinkan orang lain mengintai dan mendengarkan secara sembunyi-sembunyi. Liong Bi nampak murung dan begitu mereka duduk di atas bangku itu, ia segera berkata dengan wajah bersungut-sungut,

   "Sialan! Ciang Sun agaknya malah makin tertarik kepada Mayang. Gadis itu sungguh merupakan penghalang besar bagi kita."

   "Bersabarlah, Bi-moi. Kelak kalau ia sudah menjadi milikku, tentu ia akan mentaati semua perintahku."

   "Hemmm, sampai kapan? Kita tidak berdaya. Ia kebal terhadap sihir, tidak terbujuk rayuanmu, lalu bagaimana? Ia malah menjadi berbahaya sekali. Menggunakan kekerasan pun tidak mudah karena ia cukup lihai. Ia menjadi ancaman bagi kita, sekarang sudah kelihatan curiga kepada kita, membuat kita tidak leluasa bergerak. Lihat, untuk berunding pun kita terpaksa menggunakan tempat ini, tidak berani di istana menteri. Tidak, Ki-ko, kita harus bertindak, kita harus menyingkirkannya."

   Kata Liong Bi. Ia dan Liong Ki membiasakan diri untuk saling menyebut Bi-moi dan Ki-koko agar tidak kesalahan sebut kalau berada di depan orang lain. Sebutan itu kini telah akrab dan biarpun Su Bi Hwa lebih tua satu dua tahun, namun ia tidak merasa canggung disebut adik. Sim Ki Liong atau Liong Ki mengerutkan alisnya mendengar ucapan itu,

   "Singkirkan Mayang? Apa maksudmu?"

   "Bunuh ia dan lenyapkan. Apa lagi?"

   Jawab Liong Bi singkat. Liong Ki terkejut dan mengerutkan alisnya. Dia bukanlah orang yang tidak biasa membunuh. Entah sudah berapa banyaknya nyawa orang tidak berdosa tewas di tangannya. Akan tetapi sekali ini, yang akan dibunuh adalah Mayang, dan dia harus mengakui bahwa dia telah jatuh cinta kepada gadis itu! Dia merasa tidak tega kalau sampai Mayang dibunuh.

   "Gila kau!"

   
Jodoh Si Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Desisnya.

   "Aku mencintanya!"

   Liong Bi menggerakkan cuping hidungnya dan mencibirkan bibirnya.

   "Cinta? Huh, lelucon yang konyol! Kalau ia kehilangan kecantikanya, ke mana larinya cintamu itu? Kalau ia menjadi penghalang kesenangan kita, bahkan mengancam kedudukan kita dan mungkin akan menghancurkan cita-cita kita, apakah engkau tetap akan mencintanya? Apa kau ingin mampus demi cintamu kepadanya? Konyol dan tolol!"

   Bagi seorang wanita seperti Liong Bi atau Tok-ciang Bi Moli Su Bi Hwa, di dalam kehidupan ini tidak ada cinta.Yang dikenalnya hanyalah cinta nafsu, kesenangan yang ditimbulkan karena hubungan antara manusia. Kalau nafsu berahinya terpuaskan, ia mengaku cinta. Kalau kebutuhan hidupnya dicukupi bahkan sampai berlebihan, ia mengaku cinta. Kalau hatinya disenangkan, ia mengaku cinta. Cintanya kepada seseorang tidak ada bedanya dengan sayangnya kepada sebuah benda mainan yang mengasyikkan dan menyenangkan hatinya.

   "Jangan berkata demikian, Bi-moi. Engkau tahu, sudah banyak kualami bersama Mayang. Aku sudah terlanjur amat suka kepadanya. Sebelum aku berhasil memilikinya, bagaimana engkau dapat bicara tentang membunuhnya?"

   Sebetulnya, tidak banyak bedanya antara Ki Liong dan Bi Hwa ini. Sim Ki Liong atau Liong Ki juga mengukur cinta dari kesenangan dan kepentingan dirinya pribadi saja. Memang ada sesuatu pada diri Mayang, sesuatu yang amat menarik hatinya, yang membuat dia ingin berdekatan selalu dengan gadis itu, membuat dia ingin memiliki Mayang selama hidupnya. Bahkan untuk dapat memilikinya, dia tadinya rela untuk mengubah jalan hidupnya. Akan tetapi semua itu pun tidak terlepas dari pengaruh nafsu. Dia tergila-gila kepada Mayang karena ada sesuatu yang amat menarik hatinya dan yang dianggapnya amat indan.

   Untuk mendapatkan diri Mayang dia akan rela melakukan apa pun. Akan tetapi itu bukanlah cinta. Itu hanya nafsu walau mencoba untuk mengenakan pakaian atau bentuk lain. Cinta semacam ini, kalau sampai berhasil memiliki orang yang dicintanya, maka cinta itu akan menipis seperti berkobarnya api yang menjadi padam dan hanya tinggal asapnya saja. Nafsu dalam bentuk apa pun juga memiliki sifat yang sama. Menggelora kalau sedang mengejar dan belum memiliki, belum terpuaskan. Akan tetapi sekali yang dikejar itu telah terdapat, maka akan timbul kebosanan kepada nafsu mendorong kita untuk mencari yang lain lagi, yang dianggapnya lebih menarik dan lebih baik. Dan demikian seterusnya, sekali kita menjadi hamba nafsu, maka kita akan selalu dicengkeram dan tidak berdaya.

   Kita dipermainkan nafsu sejak kanak-kanak yang asyik dengan mainan baru, namun begitu datang yang baru, maka yang lama menjadi tidak menarik lagi dan membosankan. Nafsu menjadi pendorong bagi kita untuk mencari kepuasan dalam segala hal sehingga terjadilah kemajuan-kemajuan lahiriah, bertambahnya sarana kesejahteraan dan kesenangan lahiriah, namun nafsu pula yang menyeret kita untuk mundur dalam hal rohaniah. Ketika Liong Bi hendak membantah lagi, tiba-tiba mereka mendengar suara ribut-ribut, tak jauh dari tempat mereka duduk, dan ketika mereka menengok, mereka melihat lima orang laki-laki yang melihat pakaiannya tentulah orang-orang muda yang kaya-raya, sedang ribut mengeluarkan kata-kata teguran yang nadanya keras dan marah kepada seorang hwesio berjubah kuning.

   Mereka berdua tertarik sekali dan mendekat. Hwesio itu berusia sekitar enam puluh tahun, kepalanya gundul dan perutnya gendut sekali. Karena gemuknya maka dia kelihatan pendek. Yang aneh adalah warna kulit di bagian yang tidak tertutup jubah kuning, yaitu di bagian leher dari kedua tangan sampai di atas pergelangan. Kulit leher dan lengan itu nampak hitam kehijauan seperti baja! Mukanya yang bulat itu nampak lucu karena berseri dan mulutnya senyum-senyum sinis, akan tetapi matanya mencorong! Hwesio itu tidak memperdulikan lima orang muda yang marah-marah, dan dia melanjutkan makan dengan lahapnya beberapa sayuran dari mangkok-mangkok besar yang berada di atas tanah, di depan dia bersila. Liong Ki dan Liong Bi melihat bahwa mangkok-mangkok itu berisi masakan dari daging, bahkan terdapat pula seguci besar arak di situ.

   "Hwesio tua yang jahat, berani engkau mencuri hidangan kami?"

   Teriak seorang di antara lima pemuda berpakaian mewah itu.

   "Engkau ini seorang hwesio, akan tetapi makan daging dan minum arak yang kau rampas dari kami!"

   Teriak orang ke dua.

   "Orang tua tak tahu malu. Engkau ini pendeta atau perampok?"

   "Hayo pergi dari sini dan tinggalkan makanan kami!"

   Menghadapi kemarahan lima orang pemuda hartawan itu, hwesio tua itu senyum-senyum saja. Sambil mengunyah makanan dia menoleh dan memandang kepada mereka, sebelum menjawab, dia menuangkan arah dari guci ke mulutnya. Setelah tidak ada lagi makanan di mulutnya, barulah dia mejawab.

   "Omitohud, kalian ini hartawan-hartawan muda macam apa? Sepantasnya kalian bersyukur bahwa makanan kalian dipilih oleh pinceng. Memberi makanan kepada seorang hwesio akan mendatangkan berkah yang berlipat ganda, kenapa kalian banyak rewel?"

   Lima orang pemuda itu menjadi semakin marah. Mereka memberi isyarat kepada tiga orang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun yang melihat pakaian dan sikap mereka, jelas bahwa mereka adalah jagoan-jagoan yang mengawal lima orang pemuda itu.

   "Seret dia pergi dari sini!"

   Perintah seorang di antara lima orang pemuda itu.

   "Pendeta tua itu perlu dihajar!"

   Tiga orang jagoan itu bertubuh tinggi besar dan nampak kokoh kuat. Agaknya mereka merasa sungkan juga harus menangani seorang pendeta tua gendut. Bagaimanapun juga, biasanya para hwesio dihormati dan dimintai berkah, sekarang mereka harus menghajar seorang pendeta, tentu saja mereka merasa sungkan. Kalau mereka disuruh menghajar orang biasa, mereka tidak akan merasa sungkan. Maka, seorang di antara mereka yang mukanya kuning pucat menghampiri hwesio itu dengan sikap hormat dia berkata.

   "Losuhu, harap Losuhu tidak menyusahkan kami dan suka pergi saja dari sini, jangan mengganggu para kongcu yang sedang bersenang-senang di taman ini.

   "Omitohud, kalian ini tiga orang anjing penjilat, kalianlah yang cepat pergi dari sini, jangan mengurangi selera makan pinceng."

   Kata hwesio itu dengan senyum lebar dan suaranya mengandung ejekan.

   "Losuhu, kami bersikap hormat akan tetapi engkau malah memaki kami. Jangan mengira kami takut menyeretmu keluar dari taman ini!"

   Bentak jagoan ke dua.

   "Heh-heh-heh, kalau pinceng tidak mau pergi, kalian mau apa?"

   "Kami akan terpaksa menyeretmu pergi!"

   Bentak si muka kuning yang sudah kehilangan kesabarannya.

   "Ha-ha-ha, anjing-anjing yang gonggongnya nyaring tidak dapat menggigit!"

   Hwesio itu tertawa dan melanjutkan makan minum dengan lahapnya. Mendengar ini, tiga orang tukang pukul itu tentu saja menjadi semakin marah dan serentak mereka menerjang ke depan untuk menangkap dan menyeret hwesio yang sedang makan itu.

   "Pergilah kalian anjing-anjing penjilat!"

   Hwesio itu berkata dan dia membuat gerakan seperti menepiskan tangan kirinya ke arah tiga orang jagoan itu dan akibatnya membuat Liong Ki dan Liong Bi yang menonton dari jarak agak jauh terbelalak.

   Tiga orang jagoan itu tiba-tiba saja terjengkang seperti dipukul atau didorong tangan yang tidak nampak. Mereka terbanting keras dah mengaduh-aduh karena tubuh mereka terus terguling-guing seperti diseret angin yang amat kuat. Liong Ki dan Liong Bi, dua orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi itu melihat betapa debu dan daun kering berhamburan dan beterbangan seperti ditiup angin dan beberapa helai daun melayang ke arah mereka. Mereka mengebutkan tangan ke arah daun-daun itu dan alangkah kaget hati mereka ketika merasa betapa daun kering itu terasa berat dan keras seperti batu saja ketika mereka tangkis. Tiga orang jagoan itu babak belur dan mereka tidak bergulingan lagi, bangkit duduk dan dengan muka pucat dan mata terbelalak mereka memandang ke arah hwesio itu.

   "Hemm, kalian orang-orang muda kaya-raya sungguh tak tahu malu. Kalian bergelimang kemewahan, berpesta-pora di taman, di depan orang-orang yang kelaparan, sungguh bermuka tebal. Kalian perlu dicuci sampai bersih!"

   Kata pula hwesio itu sambil tetap menyeringai dan kembali tangannya membuat gerakan seperti mendorong ke arah lima orang pemuda hartawan yang juga kelihatan kaget bukan main melihat tiga orang jagoan mereka roboh secara aneh.

   Dan tiba-tiba mereka berlima mengeluarkan teriakan kaget karena tubuh mereka seperti disambar angin keras yang tidak dapat mereka lawan. Mereka terhuyung dan tanpa dapat dicegah lagi mereka berlima terlempar ke dalam kolam ikan. Terdengar suara berjebur lima kali dan air muncrat tinggi, ikan-ikan dalam kolam berenang ketakutan. Liong Ki dan Liong Bi saling pandang. Wajah mereka berubah dan hati mereka tegang. Mereka berdua maklum bahwa mereka bertemu dengan seorang hwesio yang memiliki tingkat kepandaian amat tinggi. Hwesio itu tadi telah mendemonstrasikan tenaga sakti jarak jauh yang luar biasa sekali. Dalam hal itu, mereka berdua jelas tidak mampu menandinginya.

   "Dia lawan yang amat berbahaya akan tetapi dapat menjadi kawan yang amat berguna."

   Bisik Liong Ki dan wanita cantik itu mengangguk, mengerti apa yang dimaksudkan sekutu dan kekasihnya. Mereka berdua lalu meghampiri hwesio yang kini sedang makan lagi seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu. Tiga orang jagoan itu kini sibuk menolong lima orang pemuda hartawan keluar dari dalam kolam dan mereka segera pergi bergegas meninggalkan taman itu. Juga mereka yang kebetulan berada di taman itu kini mulai bubaran setelah tadi ikut menjadi penonton. Kini Liong Ki dan Liong Bi sudah tiba di depan hwesio itu dan mereka berdua segera memberi hormat. Liong Ki berkata dengan sikap menghormat,

   "Locianpwe, lima orang hartawan muda dan tiga orang jagoan mereka itu memang patut dihajar karena tidak menghormati seorang hwesio suci. Biarpun kami berdua bukan hartawan, namunkami dapat menghargai seorang pendeta dan kalau Locianpwe sudi menerimanya, kami mengundang Locianpwe untuk menikmati hidangan lezat di rumah makan Lok-an yang terkenal di kotaraja ini."

   Hwesio itu bukan lain adalah Hek Tok Siansu. Seperti telah kita ketahui, bersama mendiang Bak Tok Siansu, hwesio ini baru saja pulang dari See-thian (dunia barat atau India) setelah puluhan tahun mereka menimba ilmu dari sana. Ketika mereka melihat Ceng Hok Hwesio, ketua kuil Siauw-lim-si di luar kota Yu-shu pegunungan Heng-toan-san dalam keadaan sakit dan meninggal dunia dalam keadaan menderita, dan mereka mendengar cerita tentang Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu yang mereka anggap sebagai penyebab kesengsaraan Ceng Hok Hwesio, mereka marah sekali.

   Ketua kuil Siauw-lim-si itu mereka anggap sebagai penyelamat mereka, yang menyadarkan mereka dari jalan sesat, bahkan yang kemudian mengirim mereka ke barat untuk memperdalam ilmu. Mereka segera mencari Siangkoan Ci Kang dan isterinya, Toan Hui Cu untuk menuntut pertanggungan jawab mereka. Namun, dalam pertandingan melawan Siangkoan Ci Kang, Ban Tok Siancu tewas walaupun dia mampu melukai Siangkoan Ci Kang. Dapat dibayangkan kesedihan hati Hek Tok Siansu ketika rekan, sahabat dan saudara seperguruan yang selama puluhan tahun merantau ke barat bersamanya itu tewas. Dia membawa jenazah suhengnya itu ke kuil Siauw-lim-si di luar kota Yu-shu, memperabukan jenazah itu. Dia meninggalkan obat penawar racun kepada hwesio di kuil itu untuk diberikan kepada Siangkoan Ci Kang.

   Tepat seperti dugaan keluarga Siangkoan Ci Kag, Hek Tok Siansu tidak rela membiarkan Siangkoan Ci Kang tewas begitu saja oleh pukulan beracun suhengnya. Dia ingin Siangkoan Ci Kang dan isterinya menebus dosa dan bertapa di kuil Siauw-lim-si sampai mati agar menenangkan roh penasaran dari mendiang Ceng Hok Hwesio! Dia sendiri segera pergi ke kotaraja setelah mendengar berita bahwa Tang Hay berada di kotaraja! Inilah yang menjadi tujuan utama ketika dia dan suhengnya kembali dari barat. Yaitu, mencari pemuda bernama Tang Hay! Ketika Hek Tok Siansu dan suhengnya, mendiang Ban Tok Siansu, mengembara ke Tibet dan memperdalam ilmu mereka, kedua orang hwesio bekas penjahat besar ini mendapatkan saudara-saudara seperguruan yang kemudian menjadi pendeta-pendeta Lama. Tiga orang pendeta Lama yag mengadakan pemberontakan terhadap Dalai Lama adalah saudara-saudara seperguruan mereka.

   Tiga orang. Lama itu adalah Gunga Lama, Janghau Lama, dan Pat Hoa Lama. Hek Tok Siansu dan Ban Tok Siansu sendiri tidak ingin terlibat dalam pemberontakan itu. Namun ketika mereka mendengar betapa tiga orang saudara mereka ini tewas terbunuh, mereka menjadi marah dan mendendam. Mereka sudah menyelidiki siapa pembunuh tiga orang pendeta Lama itu. Gunga Lama tewas di tangan Kim Mo Siankouw pertapa di Puncak Awan Kelabu pegunungan Ning-jing-san, sedangkan yang dua orang lagi, Jang-hau Lama dan Pat Hoa Lama, tewas di tangan seorang pemuda bernama Tang Hay! Mereka segera mencari Kim Mo Siankouw. Pertapa wanita yang rambutnya keemasan ini tidak menyangkal ketika ditanya, dan ia pun melakukan perlawanan dengan gigih ketika dua orang pendeta beracun itu menyerangnya.

   Terjadi perkelahian mati-matian yang seru di puncak itu. Namun, karena dikeroyok dua, padahal masing-masing hwesio merupakan tandingan yang setingkat dengannya, akhirnya Kim Mo Siankouw roboh dan tewas! Dua orang hwesio itu lalu melakukan perjalanan, pulang ke timur untuk mencari musuh mereka yang ke dua, yaitu pemuda bernama Tang Hay. Akan tetapi ketika mereka singgah di kuil Siauw-lim-si, mereka melihat keadaan dan kematian Ceng Hok Hwesio sehingga untuk sementara mereka menangguhkan usaha mereka mencari Tang Hay karena harus membalas kematian Ceng Hok Hwesio kepada Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu. Usaha balas dendam itu bahkan mengakibatkan tewasnya Ban Tok Siansu. Kini Hek Tok Siansu berangkat sendiri ke kotaraja untuk mencari Tang Hay.

   Ketika tiba di kotaraja, hari itu dia pergi ke taman dan melihat lima orang pemuda hartawan hendak berpesta-pora di taman tanpa menghiraukan orang lain, bahkan tidak menawarkan kepadanya, dia pun lalu mengambil makanan dan minuman yang sedianya akan dipakai pesta lima orang pemuda hartawan itu, tidak menghiraukan teriakan mereka, bahkan lalu makan minum dengan santai tanpa memperdulikan lagi kepada mereka sampai lima orang pemuda itu memanggil tukang pukul mereka. Ketika Liong Ki dan Liong Bi muncul di depannya dan menawarkan makanan dan minuman di rumah makan, Hek Tok Siansu mengamati mereka berdua. Dia adalah seorang yang sudah kenyang makan garam dunia kangouw, pandang matanya tajam dan dia segera dapat mengenal orang pandai, walaupun pemuda dan wanita itu masih tergolong muda. Dia tersenyum karena sikap sopan dari Liong Ki menyenangkan hatinya.

   "Ha-ha-ha, orang-orang muda yang baik. Untuk makanan lezat dan mahal, arak yang tua, perut pinceng tak pernah merasa kenyang dan mulut pinceng tak pernah merasa puas, ha-ha! Kalian adalah dua orang muda yang baik sekali, suka menghargai pendeta seperti pinceng, omitohud...!"

   Hek Tok Siansu bangkit berdiri dan meninggalkan sisa makanan dan araknya, mengikuti Liong Ki da Liong Bi keluar dari taman itu tanpa menoleh lagi. Ketika lewat dekat lima orang pemuda hartawan yag sudah keluar dari dalam kolam dalam pakaian basah kuyup seperti lima ekor tikus baru saja dikeluarkan dari air, Liong Ki berkata kepada mereka.

   "Jadikan pengalaman ini sebagai pelajaran agar kalian tidak bersikap sombong. AKu adalah perwira pasukan pengawal Cang Taijin, dan aku tidak akan tuntut kalian kalau kalian menghabiskan urusan itu sampai di sini saja."

   Mendengar bahwa pemuda itu perwira pasukan pengawal Menteri Cang, lima orang pemuda hartawan itu terkejut dan cepat mereka menjura dengan sikap hormat, bahkan mereka lalu menghormat ke arah Hek Tok Siansu sambil berkata,

   "Mohon Thai-suhu mengampuni kami yang bersikap tidak sepantasnya."

   "Omitohud, kalian memang sudah diampuni Sang Buddha. Kalau tidak, apa kalian kira kalian dapat keluar dari empang dengan masih bernyawa?"

   Dia tertawa dan mengikuti Liong Ki dan Liong Bi keluar dari taman.

   Lima orang hartawan muda dan tiga orang jagoannya tertegun, tidak mengerti apa yang dimaksudkan pendeta gendut itu. Akan tetapi Liong Ki dan Liong Bi mengerti. Tentu hwesio yang amat lihai ini hendak mengatakan bahwa kalau dia menghendaki, tentu lima orang pemuda hartawan itu tadi terlempar ke kolam ikan dalam keadaan tidak bernyawa lagi! Hek Tok Siansu memang seorang yang aneh sekali wataknya. Dahulu, puluhan tahun yang lalu, bersama mendian Ban Tok Siansu, dia hanya seorang tokoh sesat yang biasa saja. Seorang yang sepenuhnya diperhamba nafsu, mengejar kesenangan dengan cara apa saja. Tidak ada pantangan baginya dan dia dapat membunuh orang sambil tertawa.

   Kemudian dia dan Ban Tok Siansu bertemu Ceng Hok Hwesio ketua kuil Siauw-lim-si dan bukan hanya kalah dalam ilmu silat menghadapi hwesio itu, akan tetapi mereka bahkan ditundukkan dengan budi pekerti dan disadarkan. Mereka bertaubat dan bahkan merelakan diri menjadi hwe-sio, kemudian dipimpin dalam hal keagamaan oleh Ceng Hok Hwesio. Ketua Siauw-lim-si ini melihat ketekunan dua orang bekas penjahat itu setelah nienjadi hwesio dan dengan bekal pengetahuan agama yang,mereka telah kuasai, mereka lalu dianjurkan pergi ke See-thian untuk mempelajari dan memperdalam ilmu keagamaan Budha. Demikianlah, dua orang itu pergi ke Tibet dan India, berkelana di negara asing itu dan memperdalam pengetahuan agama mereka, juga dalam kesempatan itu mereka bertemu dengan banyak pendeta dan pertapa lihai,

   Maka mereka lalu memperdalam ilmu silat mereka pula. Bukan hanya ilmu silat, juga ilmu sihir dan ilmu-ilmu, tentang racun! Dan dalam hal keagamaan pula mereka bergaul dengan golongan yang menyimpang daripada agama yang aseli. Karena mempelajari bermacam ilmu inilah, maka Hek Tok Siansu menjadi seorang manusia yang aneh dan tidak wajar. Kadang dia bersikap seperti seorang pendeta yang saleh dan budiman, akan tetapi terkadang dia dapat bersikap ganas dan kejam seperti iblis. Kebaikan yang dikejar-kejar dapat menimbulkan kejahatan dalam pengejaran itu. Setelah dijamu makan minum secara royal sekali oleh Liong Ki dan Liong Bi di rumah makan terbesar, Hek Tok Siansu menjadi akrab dengan mereka. Dia menyeringai senang dan mengelus perutnya yang menjadi semakin gendut karena diisi banyak makanan dan arak.

   "Heh-heh-heh, kalian dua orang muda yang baik sekali. Orang muda, engkau tadi mengatakan kepada tikus-tikus itu bahwa engkau adalah perwira pengawal Cang Taiji, siapakah pembesar itu dan siapa pula nama kalian yang bersikap begini baik kepadaku?"

   "Lo-cian-pwe, nama saya Liong Ki dan ini adalah adik saya bernama Liong Bi. Kami berdua bekerja menjadi pembantu Menteri Cang Ku Ceng, saya sebagai perwira pasukan pengawal, dan adik saya sebagai pengawal Keluarga Cang."

   "Hemm, lalu mengapa kalian bersikap baik kepada piceng? Pinceng Hek Tok Siansu tidak pernah berkenalan dengan pengawal menteri, mau apa kalian bersikap baik kepadaku?"

   Liong Ki dan Liong Bi yang sudah berpengalaman itu maklum bahwa mereka berhadapan dengan seorang yang sakti dan berwatak aneh. Terhadap orang seperti itu mereka harus bersikap hati-hati sekali. Orang seperti ini harus ditarik menjadi kawan, sama sekali tidak boleh dijadikan lawan. Dari julukan kakek itu saja mereka dapat menduga bahwa kakek ini tentulah seorang datuk yang lebih condong kepada golongan hitam. Julukannya saja Racun Hitam (Hek Tok), dan sepak terjangnya tadi ketika menghajar lima orang pemuda dan tukang-tukang pukulnya sudah membuktikan akan kelihaiannya.

   "Lo-cian-pwe, kami kakak beradik amat suka akan ilmu silat dan mengagumi orang-orang pandai. Begitu bertemu dengan Lo-cian-pwe, ka:mi dapat menduga bahwa Lo-cian-pwe adalah seorang sakti yang berilmu tinggi. Berkenalan dengan Lo-cian-pwe merupakan kehormatan dan kebahagiaan besar bagi kami yang ingin meluaskan pengetahuan kami yang dangkal."

   Kata Liong Bi dengan suara merdu dan gaya memikat. Kakek gundul gendut yang kulitnya hitam kehijauan itu memandang dengan mata yang makin mencorong, tanda bahwa dia senang sekali. Dia mengangguk-angguk dan mengamati kedua orang muda itu.

   "Kalian mengaku sebagai pembantu- pembantu Menteri Cang Ku Ceng yang amat terkenal sebagai seorang pembantu kaisar yang amat besar kekuasaannya. Kedudukan kalian sebagai pengawal pribadi berarti sudah tinggi dan kalian tentu memiliki kepandaian yang hebat maka dapat menjadi pengawalnya. Nah, perlu apa lagi berkenalan dengan pinceng, seorang kakek perantau yang tidak punya apa-apa?"

   "Lo-cian-pwe, harap jangan salah mengerti,"

   Kata Liong Ki cepat.

   "Kami hanya ingin mengajak Lo-cian-pwe untuk menghadap Cang Tai-jin. Beliau adalah seorang pembesar yang amat bijaksana dan selalu menghargai tingkat orang-orang pandai. Kalau Lo-cian-pwe suka, marilah kami ajak untuk menghadap Cang Tai-jin. Pasti Lo-cian-pwe akan diterima dengan senang."

   "Heh-heh-heh, pinceng tidak ingin mendapatkan kedudukan, apalagi yang remeh. Kalau kaisar sendiri yang menawarkan kedudukan, baru pantas untuk dipertimbangkan."

   Liong Ki dan Liong Bi saling pandang.

   "Lo-cian-pwe, pendapat Lo-cia-pwe memang tepat dan cocok sekali dengan keinginan kami berdua. Kami sendiri pun ingin mendapatkan kedudukan di istana kaisar, akan tetapi tidaklah mudah untuk mendapatkan anugerah seperti itu. Dan kedudukan di samping Cang Taijin, akan amat memungkinkan untuk meningkat ke istana kaisar. Marilah, Lo-cian-pwe, kami perkenalkan Lo-cian-pwe dengan Cang Taijin dan akan kami akui sebagai guru kami. Kami siap membantu Lo-cian-pwe agar kita bertiga kelak akan mampu menduduki tempat yang berarti di istana kaisar."

   Hek Tok Siansu merasa tertarik. Sejak dia kembali dari perantauannya yang puluhan tahun lamanya bersama mendiang Ban Tok Siansu, dia tidak pernah hidup senang, selalu dalam perantauan yang membosankan,

   Kadang harus menahan rasa lapar dan haus, kadang kepanasan atau kehujanan tanpa dapat berteduh di rumah sendiri yang pantas. Kini Ban Tok Siansu sudah tidak ada, dan dia sendiri pun sudah tua. Kapan lagi kalau tidak mulai sekarang mencari kedudukan yang pantas dan layak sehingga dia akan dapat menghabiskan sisa hidupnya dalam kemuliaan dan kesenangan? Pula, selama puluhan tahun dengan susah payah dia mempelajari segala macam ilmu itu, lalu untuk apa semua jerih payah itu dia lakukan kalau hasilnya tidak dinikmati? Akan tetapi, yang mengajaknya adalah kakak beradik yang masih muda dan yang sama sekali tidak dikenalnya. Dia harus lebih dulu yakin akan kejujuran mereka, harus lebih dulu mengenal tingkat kepandaian mereka, apakah mereka itu pantas mengaku dirinya sebagai guru mereka.

   "Omitohud, kalau kalian mendesak, pinceng jadi tertarik juga. Akan tetapi pinceng harus mengenal benar kalian yang hendak mengaku sebagai murid pinceng. Bagaimana mungkin seorang guru tidak mengenal tingkat kepandaian murid sendiri? Mari kita ke tempat sepi dan ingin aku mengenal kepandaian kalian agar hatiku tidak ragu-ragu lagi."

   Setelah berkata demikian, kakek itu keluar dari rumah makan, diikuti oleh Liong Ki dan Liong Bi. Mereka tiba di sebuah hutan kecil di luar kota. Di bawah sebuah pohon besar mereka berhenti dan Hek Tok Siansu tertawa senang.

   "Nah, sekarang pinceng ingin berkenalan dengan ilmu kepandaian kalian yang ingin mengaku sebagai murid pinceng."

   Tantangnya sambil berdiri tegak, perut gendutnya menonjol ke depan, kedua lengan yang pendek tergantung di kedua sisi badan.

   "Kak Liong Ki, biar aku yang akan minta petunjuk Lo-cian-pwe Hek Tok Siansu lebih dahulu."

   Kata Liong Bi dan ia pun melangkah maju menghampiri kakek itu. Hek Tok Siansu tersenyum. Bagaimanapun juga, dua orang muda ini cukup gagah karena mereka tidak maju berdua mengeroyoknya. Sikap ini saja sudah menyenangkan hatinya dah membuat dia menduga bahwa tentu mereka ini memiliki kepandaian yang cukup boleh diandalkan maka berani maju satu demi satu.

   "Liong Bi, majulah dan keluarkan semua kepandaianmu agar pinceng dapat menilainya."

   "Baik, Lo-cian-pwe. Sambut seranganku!"

   Liong membentak dan tubuhnya sudah menerjang dengan cepat sekali. Kedua tangannya menyambar-nyambar dalam bentuk cakar harimau, mencakar lambung dan muka secara bertubi, cepat dan mengandung tenaga dahsyat karena wanita itu memang sengaja mengerahkan tenaganya. Ia tidak main-main dan menyerang sungguh-sungguh karena ia pun ingin menguji kepandaian kakek itu, apakah pantas untuk dijadikan sekutunya. Kakek itu diam-diam terkejut dan kagum. Ternyata gadis ini memiliki kekuatan kecepatan yang jauh di atas dugaannya semula. Dia masih menggeser kaki ke belakang dan kanan kiri untuk mengelak dari serangkaian serangan sepasang cakar harimau itu. Namun tiba-tiba kaki kiri Liong Bi mencuat dan menyambar ke arah pusarnya! Kakek itu terkejut dan cepat menangkis dengan lengannya.

   "Dukk!"

   Akibatnya, tubuh Liong Bi terpental dan ia pun membuat gerakan salto jungkir balik tiga kali, sedangkan tubuh Hek Tok Siansu terdorong mundur dua langkah.

   "Omitohud...engkau boleh juga, Nona!"

   Kakek itu memuji.

   "Coba kau sambut seranganku ini!"

   Dan kini kakek itu menerjang maju, kedua tangan yang berlengan baju longgar dan lebar itu menyambar-nyambar dari kanan kiri, atas bawah. Gerakannya tidak nampak terlalu cepat, namun sambaran angin pukulan yang keluar dari kedua tangan itu mendatangkan angin dahsyat yangmenggerakkan pohon dan membuat daun-daun pohon rontok!

   Liong Bi terkejut dan ia mempergunakan gin-kangnya untuk berkelebatan ke sana sini, menghindarkan diri dari sambaran tangan dan ujung lengan baju itu. Bahkan Liong Ki yang menonton di pinggir merasa terkejut, maklum bahwa kakek ini, seperti yang telah diduganya, memiliki ilmu kepandaian hebat. Sungguh akan menguntungkan sekali kalau dia dan Liong Bi mampu memikat orang seperti ini menjadi sekutu dan kawan. Di lain pihak, Hek TokSiansu menjadi semakin kagum. Dia telah mempergunakan ilmu pukulan Angin Taufan, dan jarang ada orang yang mampu mempertahankan diri lebih dari belasan jurus menghadapi ilmu pukulan yang memiliki tenaga jarak jauh yang dahsyat ini.

   Akan tetapi, gadis muda ini mampu bertahan sampai dua puluh jurus lebih! Untung saja ia tadi maju seorang diri. Kalau kakaknya memiliki kepandaian seperti adiknya, dan mereka maju berbareng, belum tentu dia akan dapat mengalahkan mereka! Kiranya dia berhadapan dengan dua orang muda yang hebat, yang tidak akan mengecewakan untuk dijadikan sekutu atau pembantunya. Ketika dahulu dia berdua dengan Ban Tok Siansu, dialah yang menjadi pembantu karena Ban Tok Siansu sebagai suhengnya selalu memimpin. Sekarang kalau dua orang muda ini bekerja sama dengan dia, apalagi mengaku muridnya, berarti mereka ini dapat menjadi pembantu-pembantunya yang boleh diandalkan! Tiba-tiba Hek Tok Siansu mengeluarkan suara gerengan seperti seekor biruang marah dan gerakan tubuhnya berubah.

   Kini kedua tangan berikut lengan baju lebar itu menyerang bagaikan gelombang samudera bergulung-gulung dan ada uap kehitaman keluar dari gulungan serangan. itu! Liong Bi terkejut bukan main. Ia pun bertanding dengan sungguh-sungguh karena ia hendak menguji kepandaian orang. Menghadapi gelombang serangan ini, ia mengeluarkan suara melengking tinggi dan ia pun mengeluarkan ilmu simpanannya yang ampuh, yaitu ilmu silat Pek-lian-kun (Silat Teratai Putih) dari Pek-lian-kauw. Gerakan silat ini mengandung kekuatan sihir, dan ilmu ini ia pelajari dari mendiang tiga orang gurunya, yaitu Pek-lian Sam-kwi. Ada uap putih keluar dari kedua tangannya ketika ia memainkan ilmu ini. Akan tetapi, begitu bertemu dengan gelombang serangan dahsyat dari Hek Tok Siansu, Liong Bi terdorong ke belakang dan terhuyung-huyung.

   

Kumbang Penghisap Kembang Eps 16 Pendekar Mata Keranjang Eps 26 Kumbang Penghisap Kembang Eps 9

Cari Blog Ini