Ceritasilat Novel Online

Kumbang Penghisap Kembang 14


Si Kumbang Merah Penghisap Kembang Karya Kho Ping Hoo Bagian 14



"Muridku, Han Siong. Engkau akan terjun ke dunia ramai. dan akan menghadapi segala macam pengalaman hidup. Ingatlah selalu bahwa hidup tidaklah seperti yang kita kehendaki. Hidup adalah hidup, merupakan kesatuan dari segala macam peristiwa. Diumpamakan rasa, maka hidup itu terdiri dari semua rasa, manis, ya pahit, masam, gurih, asin, pedas dan sebagainya lagi. Jangan engkau lalu menghendaki agar hidup ini manis lalu. Bagaimana mungkin engkau dapat menikmati rasa manis kalau belum merasakan pahit, getir, asin, pedas dan lain-lainnya itu? Karena itu bersiaplah engkau. Jangan terkulai hanya oleh suatu peristiwa atau keadaan, karena apa yang terjadi, itu hanya sebagian kecil saja dari hidupmu! Bangkitlah dan senyumlah, terimalah segala peristiwa dengan tabah, jadikanlah segala pengalaman sebagai guru. Tuhan besertamu kalau engkau tabah dan selalu pasrah kepada kekuasaanNya!"

   Entah mengapa. Ketika dia sedang merasa tertekan itu, merasa betapa dirinya, seolah-olah semakin tenggelam ke dalam lautan duka, tiba-tiba saja bayangan gurunya yang terakhir, yaitu Ban Hok Lojin, seorang diantara Delapan Dewa, seperti tampak di depannya. Kakek yang bertelanjang dada itu, gendut seperti arca Jilaihud, dengan wajah yang selalu terseyum lebar, dan ucapan gurunya itu bergema di telinganya. Seketika bangkitlah semangat dan batin Han Siong. Dia merasa seperti disiram air dingin. Betapa bodohnya, membiarkan diri tenggelam ke dalam kedukaan yang hanya dibikinnya sendiri. Pikirannya berubah menjadi tangan kejam yang mencengkeram dan meremas-remas hati dan perasaannya sendiri. Dia bangkit. Wajahnya tersenyum, matanya yang tadinya sayu itu kini berkilat dan mencorong, dan pada saat itu, dia mendengar betapa perutnya berkeruyuk dengan nyaring!

   "Ha-ha-ha!"

   Dia tertawa, tertawa bebas lepas seperti orang gila.

   "Ha-ha-ha, engkau tolol! Ha-ha, engkau tolol! Terima kasih, Suhu, terima kasih!"

   Dia lalu menepuk-nepuk perutnya yang kempis.

   "Maafkan aku, perut. Aku sampai lupa kepadamu. Baiklah, mari kita mencari makanan untukmu!"

   Han Siong melompat dan menuruni bukit itu. Akan tetapi tiba-tiba dia harus berhenti karena di depannya muncul lima orang dengan senjata pedang di tangan dan sikap mereka mengancam!

   "Keparat, bersiaplah untuk menerima pembalasan kami!"

   Bentak seorang di antara mereka. Tentu saja Han siong menjadi terbelalak kaget dan heran. Dia memandang penuh perhatian kepada mereka. Seorang pria setengah tua, yang bicara itu, berusia kurang lebih lima puluh tahun,

   Bertubuh tinggi tegap, gagah dan wajahnya membayangkan kegagahan namun diliputi duka dan kemarahan. Pakaiannya sederhana, akan tetapi serba putih, demikian pula pakaian empat orang lainnya, pakaian berkabung! Orang kedua amat menarik perhatian. Ia seorang gadis yang usianya kurang lebih delapan belas tahun, wajahnya yang putih halus itu berbentuk bundar, cantik dan bersih, matanya jeli dan bibirnya tipis, rambutnya panjang dibiarkan berjuntai ke belakang dalam bentuk dua buah kuncir hitam tebal dan panjang sampai ke pinggul Gadis inipun memegang sebatang pedang. Tiga orang lainnya adalah pria berusia kurang lebih tiga puluh tahun, ketiganya bersikap garang dan gagah, juga seperti orang pertama dan gadis itu, mereka berpakaian serba putih dan wajah mereka diliputi kedukaan dan kemarahan.

   "Heii, nanti dulu!"

   Teriaknya ketika mereka itu serentak sudah menyerangnya tanpa peringatan lebih dulu. Hal ini hanya menunjukkan bahwa mereka itu benar-benar sudah marah sekali kepadanya dan amat membencinya.

   Dan gerakan pedang merekapun ganas dan cepat, mengandung tenaga yang cukup kuat. Ilmu pedang yang sumbernya dari selatan, dikombinasikan dengan tendangan-tendangan menyusul tusukan atau sabetan pedang. Teriakannya tidak mendapat tanggapan dari mereka, bahkan lima orang itu menyerang dengan hebatnya. Terpaksa Han Siong menggerakkan tubuhnya, berloncatan ke sana sini dan melihat mereka terus mendesak, dia lalu memainkan Kwan Im Sin-kun (Silat Sakti Kwan Im) yang lemah lembut namun tubuhnya bagaikan sehelai kapas saja yang sukar untuk dibabat pedang karena selalu babatan atau tusukan itu luput. Tubuhnya menjadi demikian ringan, akan tetapi juga cepat sehingga sampai belasan jurus, serangan lima orang itu tak pernah mengenai sasaran.

   "Heii, nanti dulu! Mari kita bicara dulu!"

   Teriak Han Siong penasaran. Karena dia tidak mengenal mereka, tentu saja dia tidak mau membalas, khawatir dia akan melukai mereka dan hal ini tentu akan menambah kebencian mereka yang belum diketahui sebabnya.

   Ingin dia menggunakan ilmu sihir untuk menundukkan mereka, akan tetapi diapun khawatir kalau-kalau mereka akan merasa terhina dan tersinggung sehingga kembali hal itu akan menambah kebencian mereka kepadanya. Dia akan menggunakan lain usaha, yaitu memperkenalkan diri karena dia menduga bahwa tentu mereka itu keliru mengenal orang. Mereka bukan perampok, dan tidak nampak seperti orang-orang jahat. Begitu mendapat kesempatan, tubuhnya tiba-tiba melayang naik ke atas pohon, mengejutkan lima orang pengeroyok itu yang tiba-tiba kehilangan lawan dan mereka semua kini memandang ke atas, ke arah pemuda itu yang telah berdiri di atas cabang pohon. Pandang mata mereka kagum akan tetapi juga penuh kebencian.

   "Heii, apakah ngo-wi (kalian berlima) terlalu banyak minum arak dan mabok? Aku Pek Han Siong selama hidupku baru sekali ini melihat ngo-wi, apalagi bermusuhan. Mengapa tiada hujan tiada angin ngo-wi menyerang aku demikian ganas dan kejam?"

   Mendengar ini, lima orang itu saling pandang, dan pria setengah tua tadi berseru lantang,

   "Sobat, coba sekali lagi katakan. Siapa namamu?"

   Han Siong tersenyum. Tahulah dia kini bahwa memang mereka itu keliru menyangka orang, atau keliru mengenal orang.

   "Namaku Pek Han Siong, dan selama hidupku, belum pernah aku bertemu dengan ngo-wi."

   "Engkau, bukankah engkau Kim-lian Pangcu? Wajah dan bentuk tubuhmu mirip sekali!"

   Kata orang tua itu lagi.

   "Ayah, kita baru melihatnya satu kali, itupun tidak jelas benar. Agaknya kita telah salah mengenal orang!"

   Kata gadis itu. Han Siong kini tertawa.

   "Ha, ha, ha, paman yang baik. Orang macam aku ini mana bisa menjadi pangcu (ketua)? Apa lagi ketua perkumpulan Teratai Emas, bahkan Teratai Tembagapun tidak! Aku seorang perantau, tidak memiliki kedudukan apapun."

   "Wahh... kalau begitu maafkan kami, orang muda. Ih, kalian berempat ini mengapa tidak memberitahu? Aku sudah tua, mungkin pandanganku sudah kurang awas, akan tetapi kalian..."

   Omelnya kepada puterinya dan tiga orang itu. Han Siong sudah melompat turun dan gayanya melompat membuat lima orang itu berseru kagum. Mereka seperti melihat seekor naga atau seekor garuda melayang turun dari atas pohon itu dan ketika kedua kakinya tiba di atas tanah, sama sekali tidak terdengar suara! Kini lima orang itu, diawali oleh pria setengah tua, menyambut Han Siong dengan kedua tangan diangkat ke depan dada sebagai tanda penghormatan. Han Siong cepat membalas penghormatan mereka. Karena mereka kini tidak lagi memusuhinya, diapun tidak berani bicara main-main.

   "Paman, seperti kukatakan tadi, aku Pek Han Siong sebelum saat ini belum pernah bertemu dengan ngo-wi. Apa sebabnya ngo-wi tiba-tiba menyerangku? Mohon penjelasan, paman, agar hatiku tidak tegang dan penasaran lagi."

   Pria itu menengok ke kanan kiri, lalu berkata,

   "Disini daerah kekuasaan musuh, Taihiap. Terlalu lama di sini kita bisa dikepung musuh. Marilah ikut dengan kami ke tempat tinggal kami, Taihiap, dan di sana kami akan menceritakan semua dengan jelas."

   Biarpun dia tersenyum dan merasa tidak enak disebut Taihiap (pendekar besar), akan tetapi Han Siong yang merasa penasaran dan ingin tahu itu mengangguk dan mengikuti mereka menyusup ke dalam hutan.

   Dia tertarik melihat ada tanda gambar seekor burung rajawali putih di atas baju mereka berlima, di dada kiri. Tentu mereka ini dari sebuah perkumpulan, pikirnya. Akan tetapi kalau tadinya dia mengira akan diajak pergi ke sebuah rumah perkumpulan besar di sebuah kota terdekat, dia kecelik. Dia bukan di ajak ke kota, melainkan ke sebuah bukit dan mereka mengajaknya masuk ke dalam sebuah guha besar yang tersembunyi! Biarpun demi kesopanan dia diam saja, namun dalam hatinya timbul pertanyaan. Siapakah mereka ini dan perkumpulan apa yang memiliki tempat di sebuah guha tersembunyi? Mereka ini seperti orang-orang buruan saja, seperti pelarian! Ternyata di dalam guha itu terdapat tikar bersih yang terhampar di atas lantai guha. Guha itupun cukup besar, cukup untuk menampung puluhan orang! Akan tetapi, sunyi saja di situ, tidak ada orang lain kecuali mereka berenam.

   "Silakan duduk, Taihiap. Maafkan tidak ada bangku atau kursi, terpaksa duduk di atas lantai."

   "Tidak mengapa, paman..."

   Kata Han Siong dengan tenang, walaupun hati nya semakin tertarik karena keadaan mereka itu jelas tidak sewajarnya. Setelah mereka duduk bersiJa di atas tikar, mulailah pria setengah tua itu bercerita. Dia bernama Ouw Lok Khi, ketua dari perkumpulan Pek-tiauw-pang (Perkumpulan Rajawali Putih). Dia sudah menduda, dan mempunyai seorang anak perempuan yaitu Ouw Ci Goat, gadis berusia delapan belas tahun yang wajahnya bulat putih dan manis itu.

   Perkumpulan Rajawali Putih mempunyal anak buah yang cukup banyak, ada empat puluh orang lebih dan perkumpulan ini selain mempelajari ilmu silat, juga membuka usaha pengawalan. Nama mereka cukup dikenal sebagai orang-orang yang menentang kejahatan dan mencari nafkah secara halal. Akan tetapi pada suatu hari, Ouw Lok Khi didatangi oleh seorang utusan dari Kim-lian-pang yang menuntut agar perkumpulan Pek-tiauw-pang mengakui kekuasaan Kim-lian-pang dan suka bekerja sama, membagi "rejeki", yaitu membagi sebagian dari usaha perkumpulan itu kepada Kim-lian-pang sebagai semacam upeti atau pengakuan kekuasaan. Tentu saja Pek-tiauw Pangcu Ouw Lok Khi menolak dan menganggap permintaan itu keterlaluan. Perkumpulannya sudah berdiri selama belasan tahun,

   Bagaimana mungkin sekarang harus mengakui kekuasaan sebuah perkumpulan yang baru saja muncul dan yang didirikan di Bukit Kim-lian-san, agak jauh dari kotanya, yaitu di Hok-lam? Akibat penolakan itu, muncullah seorang pemuda yang mewakili ketua Kim-lian-pang menantang untuk mengadu kepandaian. Karena marah, Ouw Ci Goat menandingi pemuda dari Kim-lian-pang itu. Namun Ci Goat kalah jauh, bahkan ketika Ouw Lok Khi sendiri maju, diapun hanya mampu bertahan belasan jurus saja lalu roboh dan kalah. Setelah mengalahkan mereka ayah dan anak, utusan Kim-lian-pang itu kembali membujuk agar Ouw Pangcu suka taluk dan menyerah. Akan tetapi, ketua Pek-tiauw-pang ini tidak sudi menyerah. Juga puterinya dan semua anak buah Pek-tiauw-pang tidak sudi menyerah dan tidak sudi membagikan hasil kerja mereka kepada perkumpulan itu.

   "Karena kami tetap menolak, beberapa kali Kim-lian-pang mengirim jago-jagonya untuk menyerang kami. Dan memang mereka memiliki banyak orang pandai, terutama sekali dua orang pembantu ketua, pemuda dan wanita iblis itu! Kami tetap melakukan perlawanan dan kami tidak mau menyerah biarpun mereka mengancam akan membunuh kami semua. Akhirnya, tujuh hari yang lalu, benar saja serombongan orang dari Hek-tok-pang, yaitu perkumpulan jahat yang sudah menjadi anak buah mereka, menyerbu asrama kami di tepi kota Hok-lam. Kami mengadakan perlawanan mati-matian, akan tetapi mereka mempergunakan racun dan habis binasalah anak buah Pek-tiauw-pang! Tinggal kami berlima yang hidup..."

   Ketua Pek-tiauw-pang itu tidak menangis, akan tetapi jelas nampak betapa wajahnya penuh kedukaan dan penasaran. Juga Ci Goat tidak menangis, akan tetapi ia mengepal tinju.

   "Kami akan melawan terus sampai mati!"

   Kata gadis itu penuh semangat.

   "Akan tetapi, mengapa tadi paman sekalian mengeroyok aku?"

   Han Siong bertanya.

   "Ketika orang-orang Hek-tok-pang itu menyerbu, kami sempat melihat tiga orang pimpinan Kim-lian-pang. Mereka tidak ikut turun tangan, akan tetapi sempat ketuanya menawarkan perdamaian dengan kami. Akan tetapi kami untuk terakhir kalinya menolak dan diapun lalu mengerahkan orang-orang Hek-tok-pang itu. Ketuanya itulah yang mirip dengan Taihiap. Kami memang sedang mengintai dan menanti saat baik kalau ada pemimpin mereka keluar, kami akan menyergap dan membunuhnya. Ketika Taihiap muncul, kami mengira Taihiap adalah ketua Kim-lian-pang yang bernama Sim Ki Liong itu."

   "Siapa...??", Han Siong bertanya, kaget mendengar nama itu.

   "Namanya Sim Ki Liong!"

   "Orangnya masih muda, sekitar dua puluh dua tahun?"

   "Benar sekali, apakah... Taihiap sahabatnya...?"

   Tanya Ci Goat dengan suara mengandung kekhawatiran. Han Siong menoleh dan dua pasang mata bertemu, bertaut dan gadis itu menundukkan mukanya. Jelas nampak kedua pipi yang putih halus itu kemerahan.

   "Sama sekali tidak bersahabat, nona, bahkan pernah kami saling bermusuhan! Dia pernah membantu pemberontakan seorang datuk sesat terhadap pemerintah. Dia memang lihai sekali dan sayang bahwa ketika gerombolan itu diserbu, dia sempat melarikan diri. Dan siapakah dua orang pembantunya yang lihai itu?"

   "Seorang pemuda yang amat lihai pula bernama Tang Cun Sek,"

   Kata Pek-tiauw Pangcu Ouw Lok Khi. Han Siong mengerutkan alis dan menggeleng kepala, tidak mengenal nama itu.

   "Dan seorang wanita iblis, yaitu Tok-sim Mo-li Ji Sun Bi..."

   Kata Ci Goat.

   "Aih, kiranya siluman betina itu?"

   Kembali Han Siong terkejut.

   "Ia dulu juga membantu gerombolan pemberontak, kiranya berhasil menyelamatkan diri. Ah, kalau mereka yang memimpin, tentu Kim-lian-pang merupakan perkumpulan yang kuat dan juga jahat!"

   Mendengar bahwa pemuda perkasa ini pernah bermusuhan melawan dua orang di antara para pimpinan Kim-lian-pang, hati lima orang sisa anggota Pek-tiauw-pang yang sudah terbasmi hampir habis itu menjadi girang dan timbul kembali harapan mereka untuk dapat membalas dendam. Ouw Lok Khi langsung saja berlutut dan menghadap pemuda itu sambil berkata,

   "Pek Taihiap, mohon Taihiap sudi menolong kami..."

   Terkejut juga Han Siong melihat orang tua itu berlutut. Cepat dia memegang kedua pundaknya dan mengangkatnya duduk kembali.

   "Pangcu, harap jangan begitu. Tanpa kau minta sekalipun, kalau aku melihat dua orang jahat itu merajalela, pasti aku akan menentang mereka."

   "Aih, kalau Taihiap sudi turun tangan, sudah pasti mereka akan dapat kita hancurkan. Mari kita menyerbu sarang mereka di puncak Kim-lian-san, Pek-Taihiap!"

   Kata pula ketua Pek-tiauw-pang itu penuh semangat, sedangkan puterinya dan tiga orang pembantunya juga mengangguk dan penuh semangat. Mereka berlima sudah siap untuk membalas dendam dengan taruhan nyawa mereka. Akan tetapi Han Siong tetap tenang dan menggerakkan tangan menyatakan tidak setuju.

   "Pangcu, sungguh tidak bijaksana kalau kita menuruti hati yang mendendam saja. Dendam, kebencian menghilangkan kewaspadaan dan akhirnya bahkan menyeret kita ke dalam kehancuran. Seperti yang kau ceritakan tadi, Kim-lian-pang kuat sekali, selain dipimpin tiga orang yang lihai, juga dibantu Hek-tok-pang dan memiliki pula anak buah yang banyak. Kita hanya enam orang ini mana mungkin mampu menandingi begitu banyak lawan? Belum lagi diingat bahwa sarang perkumpulan sejahat itu tentu penuh dengan jebakan dan perangkap rahasia."

   "Aku tidak takut!"

   Tiba-tiba Ci Goat berseru sambil mengepal tinju. Han Siong tersenyum dan memandang kagum kepada gadis itu.

   "Kegagahanmu mengagumkan dan kuhargai, nona. Akan tetapi, dalam menghadapi lawan yang kuat dan besar jumlahnya, kita tidak mungkin hanya mengandalkan keberanian saja. Keberanian karena dendam membuat kita nekat dan tanpa perhitungan dan aku tidak ingin membiarkan kita semua mati konyol."

   Ouw Lok Khi mengangguk-angguk dan menarik napas panjang.

   "Sekarang baru aku melihat kebenaran ucapanmu, Taihiap. Memang kami sudah menjadi gila oleh dendam sehingga kami tidak memperhitungkan bahaya dan kemungkinan kalah. Karena engkau berada di pihak kami, maka kami menyerahkan semua cara menghadapi musuh kepadamu."

   Han Siong mengangguk dan menerima penyerahan pimpinan ini tanpa sungkan lagi karena dia tahu bahwa orang-orang yang sedang diamuk dendam kebencian itu bukan merupakan pimpinan yang baik.

   "Kalau kita hendak menentang gerombolan jahat yang lihai itu, setidaknya kita harus mempunyai jumlah pembantu yang cukup berani dan gagah, dan yang jumlahnya seimbang dengan jumlah mereka."

   "Hal itu mudah, Taihiap. Banyak perkumpulan yang merasa sakit hati terhadap Kim-lian-pang, namun mereka itu tidak berani bergerak karena merasa tidak kuat menghadapi kekuatan Kim-lian-pang. Aku akan menghubungi mereka, di antaranya banyak terdapat sahabat baikku, dan akan kubujuk mereka agar suka bekerja sama. Beberapa buah perkumpulan persilatan tentu mau membantu. Menurut perkiraanku, jumlah anak buah Kim-lian-pang tidak melebihi seratus lima puluh orang dan kita akan dapat mengumpulkan lebih banyak lagi."

   Han Siong mengerutkan alisnya. Banyak juga anak buah yang sudah dikumpulkan Sim Ki Liong, pikirnya.

   "Apakah tidak mungkin kita minta bantuan pasukan keamanan pemerintah?"

   "Ah, itu sama saja dengan bunuh diri!"

   Kata Ouw Lok Khi dengan muka muram.

   "Kalau kita melapor, kita malah akan ditangkap lebih dulu! Ketahuilah, Taihiap, gerombolan Kim-lian-pang itu cerdik dan licik sekali. Mereka mendekati para pimpinan pemerintahan daerah dengan jalan menyuap dan menyogok, mengambil hati mereka, bahkan Kim-lian-pang menunjukkan jasanya dengan membasmi gerombolan penjahat. Kim-lian-pang sendiri tidak pernah melakukan kejahatan. Mereka hanya menundukkan semua perkumpulan dan memaksa para pimpinan perkumpulan untuk taluk dan membagi hasil rejeki. Mereka memungut pajak dari manapun yang menghasilkan banyak uang, dengan dalih menjaga keamanan mereka. Toko besar, perusahaan dan bahkan rumah-rumah penginapan. Tidak, kita tidak mungkin dapat mengharapkan bantuan pasukan keamanan yang tentu
(Lanjut ke Jilid 13)
Ang Hong Cu (Seri ke 10 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 13
akan berpihak kepada mereka."

   Han Siong mengerutkan alisnya. Kiranya Sim Ki Liong kini cerdik sekali, tidak mau mengulang kesalahan mendiang Lam-hai Giam-lo yang memberontak terhadap pemerintah. Kini Sim Ki Liong malah mendekati pemerintah atau mendekati pejabat korup yang suka disogoknya agar mereka berpihak kepadanya! Memang jalan satu-satunya untuk mengumpulkan tenagaatau pasukan adalah seperti yang diusulkan Ouw Pangcu tadi, yaitu mengumpulkan orang-orang yang mendendam kepada Kim-lian-pang.

   "Baiklah, Ouw Pangcu. Engkau kumpulkan orang-orang yang mau kita ajak menyerbu Kim-lian-pang. Sesudah mereka siap, kita kepung puncak itu dan kau ajukan tantangan kepada Sim Ki Liong untuk mengadu kepandaian di lereng. Aku akan menghadapinya dan pada saat aku bertanding dengan para pimpinan itu maka kau kerahkan pasukan kita untuk menyerbu ke atas. Akan tetapi harus berhati-hati terhadap jebakan dan perangkap."

   "Sebaiknya kita pergunakan api untuk memaksa mereka semua keluar sehingga kita tidak perlu harus menerjang jebakan dan perangkap berbahaya."

   Kata Ouw Lok Khi yang kini sudah tenang, tidak lagi didesak dendam yang membuatnya nekat. Han Siong mengangguk girang.

   "Tepat sekali siasatmu itu, pangcu. Nah, mari kita mulai bekerja. Aku akan mempersiapkan diri, karena engkau membutuhkan waktu untuk mengumpulkan tenaga bantuan, sebaliknya kalau aku menanti dalam rumah penginapan di kota terdekat."

   Han Siong bangkit berdiri. Ketua Pek-tiauw-pang itupun cepat bangkit.

   "Taihiap, sebaiknya kalau Taihiap tinggal bersama kami. Biarpun asrama kami di Hok-lam telah dihancurkan oleh Kim-lian-pang, namun kami dapat tinggal di rumah seorang murid kami ini."

   Dia menunjuk kepada seorang di antara tiga orang anggota Pek-tiauw-pang itu.

   "Dia memiliki rumah besar dan kita semua dapat tinggal untuk sementara di sana."

   "Benar sekali, Pek-Taihiap,"

   Kata pria berusia tiga puluh tahun itu.

   "Rumah kami cukup besar dan kami dapat menyediakan sebuah kamar untuk Taihiap."

   Orang itu bernama Thio Ki dan sikapnya ramah.

   Karena merasa bahwa memang lebih baik kalau dia tidak berpisah dari lima orang itu, Han Siong menyetujui dan berangkatlah mereka meninggalkan gua dalam hutan itu, pergi ke kota Hok-lam. Akan tetapi mereka bersepakat bahwa gua yang tersembunyi itu akan dijadikan markas baru untuk kegiatan mereka melakukan penyerbuan terhadap Kim-lian-pang karena tempat itu baik sekali, merupakan gua dalam hutan di bukit yang tidak berjauhan dari Kim-lian-san. Beberapa hari saja setelah dia tinggal di rumah Thio Ki, Han Siong merasa benar bahwa dia amat dihormati dan diperhatikan. Terutama sekali Ouw Ci Goat. Gadis itu sendiri yang melayaninya, mencucikan pakaiannya, membersihkan kamarnya. Perhatian gadis itu terhadap dirinya sungguh membuat dia merasa sungkandan malu. Berkali-kali dia melarang gadis itu mencucikan pakaiannya, namun Ci Goat memaksanya.

   "Taihiap adalah tamu agung kami, bagaimana harus mencuci pakaian sendiri? Pula, aku seorang wanita, sudah selayaknya kalau mencucikan pakaian Taihiap. Harap jangan sungkan, Taihiap, bukankah kita telah bersahabat dan Taihiap merupakan penolong kami?"

   Bukan hanya perhatian dengan cara melayaninya saja, akan tetapi beberapa kali dia memergoki gadis itu memandangnya dengan pandang mata yang aneh,

   Pandang mata yang sayu dan seperti orang terpesona, dan kalau tanpa djsengaja dia menengok sehingga mereka bertemu pandang, gadis itu tersipu dan menundukkan mukanya dengan cepat, akan tetapi dia masih sempat melihat sepasang pipi yang tadinya putih halus itu berubah kemerahan. Sungguh aneh sekali! Dua hari kemudian, mereka hanya berdua saja di rumah itu. Ouw Lok Khi dan tiga orang muridnya juga anak buahnya, pergi untuk melanjutkan usahanya mengumpulkan baja bantuan. Thio Ki memang tinggal seorang diri di rumah itu. Ayah ibunya dan juga isterinya telah dia ungsikan ke dusunsemenjak dia terlibat permusuhan dengan Kim-lian-pang, dan semua pelayan disuruh pulang. Hanya Ci Goat yang ditinggal di rumah untuk melayani keperluan Han Siong yang mereka hormati.

   "Taihiap, silakan makan pagi."

   Kata Ci Goat setelah ia mempersiapkan makan pagi di meja ruangan makan.

   "Ayah dan tiga orang suheng sejak pagi sekali tadi telah pergi berkunjung ke Ki-lam untuk mengumpulkan teman. Silakan Taihiap makan sendiri."

   "Ah, mari kita makan bersama, nona. Engkau pun belum makan pagi bukan?"

   "Harap jangan sebut aku nona, tidak enak rasanya...seolah kita ini saling merasa asing..."

   "Tapi engkau pun menyebut Taihiap padaku, nona."

   "Engkau memang seorang pendekar sakti, pantas disebut Taihiap. Akan tetapi aku... ah, sebut saja namaku. Namaku Ci Goat."

   "Aku mau menyebutmu adik Ci Goat kalau engkau juga mau merubah sebutan kepadaku. Panggil saja aku toa-ko (kakak)."

   Gadis itu tersenyum dan kembali kedua pipinya berubah merah.

   "Baiklah..., toa-ko."

   Katanya sambil menunduk.

   "Silakan makan pagi, toa-ko."

   "Kita hanya berdua saja di rumah ini, apa salahnya kalau kita makan bersama, Goat-moi (adik Goat)? Hayolah, bukankah engkau sendiri bilang bahwa kita ini bukan orang asing?"

   Biarpun masih tersipu, akhirnya Ci Goat mau juga diajak makan bersama. Setelah duduk berhadapan dekat, hanya terhalang meja makan, barulah Han Siong mendapat kenyataan bahwa gadis ini biarpun sederhana sekali, wajahnya tanpa bedak dan gincu, namun wajah itu sungguh bersih dan manis. Juga sikapnya amat sederhana, tidak banyak cakap, jarang tertawa, bahkan wajahnya diliputi awan duka. Akan tetapi mulut itu selalu membayangkan senyum ramah, senyum di kulum yang membuat wajahnya nampak manis selalu. Juga ketika ia bicara dan Han Siong memperhatikannya, gadis itu memiliki gigi yang berderet rapi dan putih bersih.

   "Goat-moi, setelah kita sekarang menjadi sahabat yang akrab, kiranya sudah sepantasnya kalau aku mendengar lebih banyak tentang dirimu dan ayahmu. Maukah engkau menceritakan riwayat dan keadaanmu sampai engkau kehilangan tempat tinggal seperti sekarang ini?"

   Tanya Han Siong ketika mereka sudah selesai makan dan dia membantu gadis itu membersihkan meja, menyingkirkan sisa makanan dan mencuci mangkok. Gadis itu menarik napas panjang.

   "Tidak banyak yang dapat kuceritakan, twako, dan yang dapat diceritakan hanya Soal-soal yang menyedihkan saja. Aku kehilangan ibuku ketika berusia kurang dari sepuluh tahun. Sejak itu aku hidup berdua dengan ayah dan para suheng, dan aku dididik oleh ayah, mempelajari ilmu silat dan ilmu baca tulis sekedarnya. Setelah remaja, aku membantu pekerjaan ayah, kadang-kadang aku membantu pengawalan kiriman barang bersama para suheng. Semua terjadinya malapetaka yang disebabkan oleh Kim-Iian-pang itu. Hampir semua anggota perkumpulan kami binasa, hanya tinggal kami berlima. Juga dalam perkelahian itu aku telah kehilangan... calon suamiku..."

   "Ahhh...! Sungguh menyedihkan! Kasihan sekali engkau, Goat-moi!"

   Kata Han Siong, terkejut dan juga ikut bersedih. Gadis itu menarik napas panjang.

   "Jangan engkau salah duga, twako. Kematiannya bagiku tiada bedanya dengan kesedihan melihat para suheng lain yang juga tewas. Tunanganku itu juga seorang suhengku, murid dari ayah. Terus terang saja, perjodohan itu atas kehendak ayah dan bagiku, dia itu seperti para suheng yang lain. Aku bahkan selalu termenung dan sukar membayangkan dia menjadi suamiku kelak. Sudahlah, dia sudah tidak ada dan semoga dia mendapatkan tempat yang penuh damai."

   Han Siong tidak berani banyak bicara lagi, takut kalau mengusik kenangan yang menyedihkan. Akan tetapi dia maklum bahwa gadis ini tidak mencinta tunangannya yang tewas itu, dan kalau ia mau dijodohkan dengannya, hal itu hanya karena ia mentaati perintah ayahnya saja. Diam-diam dia menaruh hati iba kepada gadis yang manis ini, yang telah begitu percaya kepadanya sehingga menceritakan semua tentang dirinya.

   "Toa-ko, sekarang tiba giliranmu. Akupun ingin sekali mendengar riwayatmu, tentu hebat. Maukah engkau menceritakan kepadaku, toa-ko?"

   Tanya gadis itu dan mereka kini duduk di belakang rumah, di atas bangku dalam taman yang bermandikan cahaya matahari pagi.

   "Tidak ada yang menarik, Goat-moi. Ayahku juga seorang pangcu, ketua dari Pek-sim-pang di daerah Kong-goan, amat jauh dari sini, jauh di barat sana. Sejak kecil aku mempelajari ilmu silat, dan sekarang ini aku sedang melakukan perjalanan untuk meluaskan pengalaman dan memperbanyak pengetahllan. Kebetulan saja aku lewat di sini dan bertemu dengan kalian berlima."

   Han Siong memang tidak suka banyak bercerita tentang dirinya, dan agaknya hal ini terasa pula oleh Ci Goat, maka gadis itupun tidak mendesak. Hanya ada satu hal yang agaknya sejak tadi mengganjal di hati Ci Goat, dan kini dengan memberanikan diri, dengan kedua pipi berubah kemerahan ketika ia menatap wajah pemuda itu, ia berkata,

   "Toa-ko, kurasa usiamu jauh lebih tua daripada aku yang berusia delapan belas tahun."

   Jelas bahwa ucapan ini memancing keinginan tahunya tentang usia pemuda itu. Han Siong tersenyum.

   
Si Kumbang Merah Penghisap Kembang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Tentu saja aku jauh lebih tua, adik Goat. Aku sudah berusia dua puluh dua, hampir dua puluh tiga tahun."

   "Ah, kalau begitu tentu engkau sudah berkeluarga, taoko."

   Kata gadis itu, cepat dan sambil lalu, seolah acuh. Mendengar pertanyaan ini, Han Siang merasa betapa hatinya tertusuk karena dia teringat kepada Siangkaan Bi Lian, gadis yang dicintanya dan yang telah menolaknya! Ci Goat, telah, berterus terang kepadanya, diapun sudah sepantasnya berterus terang, sekalian memperoleh kesempatan untuk menyalurkan rasa penasaran dan kekecewaannya.

   "Seperti juga engkau, tadinya aku sudah ditunangkan oleh guru-guruku, akan tetapi pertunangan itu gagal..."

   Gadis itu terbelalak, memandang dengan matanya yang jeli, dan bayangan senyum menghilang dari ujung bibirnya.

   "Ia...ia Juga... Mati...?"

   Han Siang menggeleng kepala dan menghela napas.

   "Ia menolak untuk berjodoh denganku."

   "Ahhh...!"

   Gadis itu mengeluarkan suara keluhan lirih.

   "tak mungkin... tak mungkin..."

   Han Siong mengangkat muka, memandang dengan sinar mata heran.

   "Apanya yang tidak mungkin, Goat-moi?"

   "Bagaimana mungkin seorang gadis menolak engkau untuk menjadi jodohnya...!"

   Tiba-tiba gadis itu berhenti bicara dan menundukkan mukanya yang kemerahan, karena ia merasa betapa ia telah kelepasan bicara, begitu saja mengeluarkan suara hati melalui mulutnya. Han Siong tersenyum pahit, lalu diapun meninggalkan gadis itu, menuju ke kamarnya. Malam itu Han Siong tak dapat tidur, gelisah. Percakapan dengan Ci Goat tadi membongkar kenangan lama, membuat wajah Bi Lian selalu terbayang di depan mata, mendatangkan rasa rindu yang hebat. Ketika Ci Goat menawarkan makan malam, dia mengatakan bahwa dia tidak lapar dan minta kepada gadis itu untuk makan malam sendiri.

   "Taruh saja di atas meja, nanti kalau aku lapar, aku akan mengambilnya sendiri, Goat-moi."

   Katanya dengan lesu. Agaknya Ci Goat juga melihat sikap pemuda yang lesu itu, maka iapun tidak berani lagi mengganggunya. Tadi ketika makan siangpun pemuda itu hanya makan sedikit dan tidak banyak bicara. Malam telah larut. Han Siong masih rebah termenung, tidak dapat pulas.

   Tiba-tiba pendengarannya yang tajam menangkap suara di belakang rumah. Dia menjadi curiga dan cepat dia turun dari pembaringan, mengenakan sepatunya dan berindap keluar dari kamarnya, cepat menuju ke belakang rumah. Kiranya yang menimbulkan suara itu adalah Ci Goat! Gadis itu keluar dari rumah menuju kekebun di belakang, membawa buntalan. Han Siong menahan diri tidak menegur, hanya membayangi dengan perasaan heran Apa yang akan dilakukan gadis itu pada malam hari begini? Ci Goat berhenti di dekat bangku panjang di mana pagi tadi mereka duduk bercakap-cakap, lalu ia meletakkan buntalan di atas bangku dan membukanya. Kiranya buntalan itu terisi alat-alat untuk bersembahyang, seperti hio-swa (dupa biting) dan lain-lain. Dan gadis itu lalu meletakkan semua persiapan sembahyang ke atas bangku, menyalakan hio dan bersembahyang!

   Dan gadis itu mengucapkan kata-kata permohonan dengan suara bisik-bisik, merasa yakin bahwa tidak mungkin ada orang yang akan mendengar suaranya yang lirih. Kebun itu sunyi dan kosong, dan andaikata ada orang didekatnyapun tidak akan dapat menangkap kata-kata doa yang diucapkan sambil berbisik. Ia salah perhitungan! Orang biasa mungkin tidak dapat menangkap kata-kata bisikan itu, namun pendengaran Han Siong lain daripada orang biasa. Biarpun jarak antara dia yang berada di balik batang pohon tidak terlalu dekat dengan gadis itu, namun di tempat yang sunyi itu, dia mampu menangkap kata-kata doa gadis itu dengan jelas! Dan gadis itu berdoa untuk dia! Gadis Itu bersembahyang untuk dia. Antara lain yang didengarnya adalah kata-kata yang membuatnya terharu sekali.

   "...ya Tuhan, Tuhan dari Bumi dan Langit, dengarlah permohonan saya ini. Kalau sampai terjadi perkelahian dengan Kim-lian-pang, lindungilah toa-ko Pek Han Siong, berilah kemenangan padanya atau andaikata dia kalahpun, lindungilah dia. Jangan sampai aku kehilangan dia pula, ya Tuhan, karena dialah satu-satunya orang yang menjadi tumpuan harapanku, dialah satu-satunya orang yang kucinta dengan seluruh jiwa ragaku..."

   Han Siong tidak dapat mendengarkan terus. Dia sudah berkelebat pergi, jantungnya berdebar dan mukanya terasa panas. Gadis itu jatuh cinta padanya! Sampai di dalam kamarnya, kembali dia termenung. Sekali ini bukan membayangkan wajah Bi Lian. Yang terbayang adalah wajah Ci Goat, gadis yang bersembahyang untuk keselamatannya, gadis yang takut kehilangan dia, yang mencintanya dengan jiwa raganya! Pada keesokan harinya, dia bersikap biasa, akan tetapi sekarang baru dia mengerti akan pandang mata gadis itu yang tadinya dianggap aneh. Pandang mata gadis itu ternyata penuh dengan sinar kagum dan cinta!

   Hal ini membuat dia merasa rikuh sekali, akan tetapi dia pura-pura tidak tahu dan merasa semakin kasihan kepada gadis itu. Kalau saja Ci Goat tahu bahwa hatinya telah melekat kepada bayangan Bi Lian dan bahwa tidak mungkin ada gadis lain di dunia ini dapat menjatuhkan cinta hatinya! Dia hanya mencinta Bi Lian seorang, dan andaikata dia dapat mencinta gadis lain, tentu tidak seperti cintanya kepada Bi Lian. Dalam waktu sepekan, siaplah sudah pasukan yang dikumpulkan oleh Ouw Pangcu. Mereka itu adalah orang-orang gagah dari beberapa perkumpulan silat yang pernah menerima penghinaan dari Kim-lian-pang. Jumlah mereka tidak kurang dari dua ratus orang! Dan tentu saja mereka yang bersedia membantu adalah para anggota perkumpulan silat yang rata-rata memiliki ilmu silat yang lumayan, dipimpin oleh ketua atau guru masing-masing.

   Tentu saja para pimpinan inipun lihai, setingkat dengan ilmu kepandaian Ouw Pangcu dan jumlah mereka ada enam orang. Enam orang ini dipertemukan dengan Han Siong dan mereka semua merasa kagum kepada pemuda itu ketika mereka mendengar betapa Han Siong adalah seorang diantara para pendekar yang pernah membasmi gerombolan pemberontak yang dipimpin mendiang Lam-hai Giam-lo. Mereka mengadakan perundingan dan menyusun siasat. Pada hari yang ditentukan, Pek-tiauw Pangcu Ouw Lok Khi berdiri di lereng Bukit Kim-Jian-san dekat puncak, dan beberapa orang anak buahnya melepas anak panah berapi ke arah puncak, setelah beberapa kali melepas panah berapi yang diantaranya ada yang membakar daun-daun kering dekat puncak, Pek-tiauw Pangcu Ouw Lok Khi lalu mengeluarkan teriakan nyaring sambil mengerahkan tenaga khikang.

   "Haiii, para pimpinan Klm-Jian-pang! Kalau kalian memang gagah perkasa, turunlah dari puncak dan mari kita bertanding sampai seribu jurus!"

   Sampai tiga kali dia mengulang teriakannya itu, kemudian dia bersama semua pasukan yang telah siap di tempat itu, bersembunyi.

   Hanya Han Siong seorang yang menanti di lapangan rumput di lereng bukit itu, dengan sikap waspada dan hati-hati. Tak lama kemudian, nampak bayangan orang berkelebat dari atas dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang pria muda yang tampan dan gagah. Tadinya Han Siong mengira bahwa ketua Kim-lian-pang, yaitu Sim Ki Liong yang muncul sendiri. Akan tetapi setelah dia memperhatikan, yang muncul itu adalah seorang pria muda berusia kira-kira tiga puluh tahun yang tidak dikenalnya. Pria ini tinggi besar, wajahnya berkulit putih dan tampan gagah, matanya mencorong aneh. Pria ini bertangan kosong, namun sikapnya yang tenang itu, tanpa senjata, dan pemunculannya yang tiba-tiba bagaikan setan, sudah menunjukkan bahwa dia seorang lawan yang tangguh.

   Pria itu bukan lain adalah Tang Cun Sek. Para pimpinan Kim-lian-pang marah bukan main melihat serangan anak panah berapi itu. Walaupun anak panah yang diluncurkan itu tidak sampai mencapai puncak dan tidak mengenai perumahan Kim-lian-pang, namun cukup mengejutkan, apalagi ada beberapa batang anak panah berapi yang sempat mengakibatkan kebakaran ketika mengenai daun-daun kering di atas tanah. Anak buah Kim-lian-pang terpaksa harus cepat-cepat memadamkan kebakaran itu sebelum menjalar dan membakar hutan di dekat puncak. Ketika mereka mendengar tantangan yang diteriakkan Pek-tiauw Pangcu Ouw Lok Khi, Tang Cun Sek segera berkata kepada Sim Ki Liong dan Ji Sun Bi bahwa dia akan menghadapi ketua Pek-tiauw-pang itu.

   "Hemm, aku yakin dia tidak datang sendirian. Tentu banyak kawannya, dan tentu dia membentuk pasukan yang kuat. Kalau tidak, mana dia berani bersikap seperti itu?"

   Kata Ji Sun Bi yang berhati-hati.

   "Akupun menduga demikian,"

   Kata Sim Ki Liong.

   "Tang-toa-ko, engkau keluarlah dan sambut tantangan itu, kami mengikuti dari belakang dan aku akan mempersiapkan anak buah lebih dulu untuk bertahan kalau-kalau mereka berani menyerang ke atas dan kita harus dapat membasmi mereka."

   Tan Cun Sek menyanggupi lalu diapun berlari turun dari puncak. Ketika dia melihat seorang pemuda berdiri seorang diri di lapangan rumput itu, diapun cepat menghampiri dan mereka kini sudah berdiri saling berhadapan dan saling pandang dalam jarak kurang lebih empat meter saja. Bagaikan dua ekor ayam aduan, mereka itu saling pandang dengan sinar mata penuh selidik, seperti hendak menyelidiki keadaan lawan masing-masing. Watak Cun Sek yang tinggi hati membuat dia belum apa-apa sudah memandang rendah kepada calon lawan itu.

   "Mana dia ketua Pek-tiauw-pang yang berteriak menantang tadi?"

   Tanyanya.

   "Kenapa dia bersembunyi dan siapakah engkau?"

   Han Siong tersenyum.

   "Memang akulah yang mewakilinya untuk menghadapi para pimpinan Kim-lian-pang. Di mana adanya ketua Kim-lian-pang? Biarkan dia turun sendiri untuk menandingiku."

   "Keparat, engkau hanya datang mengantar nyawa. Tidak perlu Kim-lian Pangcu yang maju sendiri, sudah cukup aku untuk menghajarmu, kalau perlu membunuhmu!"

   Kata Tang Cun Sek sambil melangkah maju.

   "Sayang, sungguh sayang, seorang muda yang gagah seperti engkau, ternyata hanya menjadi kaki tangan iblis-iblis seperti Sim Ki Liong dan Ji Sun Bi. Engkau tentu yang bernama Tang Cun Sek, bukan? Hemm, apa saja yang kau dapat dari mereka? Janji muluk, harta dan juga kecabulan Tok-sim Mo-li Ji Sun Bi itu, bukan?"

   Mendengar ucapan ini, seketika wajah Cun Sek menjadi merah sekali. Ucapan itu memang tepat menelanjanginya, maka dapat dibayangkan betapa rasa malu membuat dia marah bukan main.

   "Tutup mulutmu, keparat busuk!"

   Bentaknya dan dia sudah menerjang dengan dahsyat. Kedua tangannya bergerak cepat dan kuat sekali, mendatangkan tenaga yang amat hebat karena dia sudah mengerahkan tenaga dan mainkan ilmu silat Thian-te Sin-ciang yang merupakan satu di antara ilmu-ilmu yang ampuh dari Cjn-ling-pai. Menghadapi serangan yang dahsyat ini, tentu saja Han Siong tidak berani memandang ringan. Dari angin pukulan itu saja diapun maklum bahwa benar seperti telah diduganya, lawan ini bukan lawan yang ringan. Diapun cepat mengelak.

   Akan tetapi, gerakan Cun Sek memang cepat sekali, karena begitu pukulannya luput, tubuhnya sudah membalik dan kembali dia sudah melakukan serangan yang sambung menyambung. Han Siong berloncatan ke sana-sini untuk menghindarkan serangan-serangan itu sambil memperhatikan gerakan lawan. Diam-djam diapun terkejut dan heran. Jelas bahwa pemuda ini menjadi pembantu dua orang muda yang amat jahat, dan sepantasnyalah kalau pemuda ini juga seorang tokoh sesat. Akan tetapi mengapa gerakan silatnya demikian bersih? Bahkan ilmu silatnya sendiri jauh kalah bersih dibandingkan ilmu silat yang dimainkan penyerangnya itu. Dia menerima ilmu-ilmunya dari Suhu dan Subonya, dan memang kedua orang gurunya itu pernah membuat pengakuan bahwa mereka adalah keturunan datuk-datuk sesat sehingga ilmu merekapun tidak bersih.

   "Betapapun juga, yang menentukan bersih kotornya suatu ilmu adalah pemakainya,"

   Demikian Suhunya pernah berkata.

   "Sudah menjadi kewajibanmu untuk membuat ilmu-ilmu silat kita menjadi ilmu yang bersih, dengan menghilangkan sifat-sifat yang curang dan licik, menghilangkan penggunaan hawa beracun, dan terutama sekali, mempergunakannya untuk menentang kejahatan dan membela keadilan dan kebenaran!"

   Dan selama ini, dia mentaati pesan gurunya itu, bahkan setelah dia menerima gemblengan dari Ban Hok Lojin, maka ilmu-ilmu dari guru nya dapat disempurnakan dan dibersihkan. Setelah mempelajari gerakan lawan sampai belasan jurus, barulah Han Siong membalas dan mengingat akan kelihaian lawan, diapun langsung saja memainkan ilmu silat Pek-hong Sin-ciang yang didapatkannya dari Ban Hok Lojin. Begitu dia memainkan ilmu silat ini, maka terkejutlah Cun Sek. Angin menyambar-nyambar bagaikan badai, dan ketika lengannya bertemu dengan lengan lawan, dia terdorong sampai terhuyung ke belakang! Karena terkejut, setelah berdiri tegak. kembali, dia tidak segera menyerang lagi, melainkan memandang dengan mata mendelik, penuh rasa penasaran dan marah karena malu.

   "Singgg...!"

   Ketika tangan kanannya meraba pinggang, tiba-tiba berkelebat sinar emas dan pedang pusaka Hong-cu-ciam telah berada di tangan kanannya.

   "Keparat!"

   Dia membentak sambil menudingkan telunjuk kirinya ke arah Han siong.

   "Sebelum kubunuh engkau, katakanlah siapa namamu agar jangan engkau mati tanpa nama!"

   Han siong tersenyum. Pemuda bernama Tang Cun sek ini bukanlah orang yang dicarinya. Yang ingin dilawannya adalah sim Ki Liong, akan tetapi bagaimanapun juga, pemuda di depannya ini merupakan seorang pembantu yang amat lihai dari sim Ki Liong. Bahkan mungkin tidak kalah dibandingkan dengan Ji Sun Bi. Maka harus ditundukkan, apalagi pedang yang berada di tangannya itu jelas bukan pedang biasa, melainkan sebatang pedang pusaka yang ampuh. Dari sinarnya saja dia sudah tahu bahwa pedang tipis yang tadi menjadi sabuk itu amat berbahaya. Padahal, dia sendiri sudah tidak memiliki pedang, karena pedang pusaka Kwan-im Po-kiam pemberian gurunya yang juga menjadi tanda ikatan jodoh telah dia kembalikan kepada Suhu dan Subonya. Biarlah, dia ingin menguji dulu sampai di mana kelihaian lawannya itu.

   "Hemm, namaku Pek Han Siong, kawan. Lebih ku sayangkan lagi bahwa pedang pusaka sebaik itu akan kau pergunakan untuk kejahatan!"

   Cun Sek belum pernah nama Pek Han Siong, maka nama itu tidak ada artinya apapun baginya. Juga dia melihat lawannya itu masih belum mengeluarkan senjata. Sebagai seorang yang amat menghargai diri sendiri, Cun Sek merasa penasaran sekali. Dia tentu saja tidak mau di anggap pengecut menyerang orang tanpa senjata dengan pedang pusakanya, maka dia menantang.

   "Pek Han Siong, tidak perlu banyak cakap. Keluarkan senjatamu!"

   Han Siong menggeleng kepalanya.

   "Aku tidak memegang senjata, dan kalau engkau mengira aku takut menghadapi pedangmu, engkau keliru. Aku akan melawan pedangmu dengan tangan kosong."

   "Manusia sombong, jangan salahkan aku kalau tubuhmu akan terbabat menjadi beberapa potong. Lihat pedang!"

   Terdengar suara berdesing dan nampak sinar emas menyambar ke arah lehernya. Han Siong kagum sekali. Pedang itu merupakan pusaka ampuh, akan tetapi juga digerakkan oleh tangan ahli. Dia cepat mempergunakan ginkangnya untuk meloncat dan mengelak. Namun, pedang itu bergerak terus dengan amat cepatnya sehingga Han Siong terpaksa harus berloncatan ke sana-sini. Dia semakin kagum. Tentu saja ilmu pedang lawan itu hebat karena Cun Sek memainkan ilmu pedang dari Cin-ling-pai yang mengandung unsur iimu pedang Siang-bhok-kiamsut yang amat tinggi tingkatnya..

   Walaupun dia tidak menguasai sepenuhnya Siang-bhok-kiamsut, namun cukuplah untuk membuat dia menjadi seorang ahli pedang yang amat lihai. Namun, sekali ini Cun Sek berhadapan dengan seorang lawan yang memiliki tingkat lebih tinggi dalam ilmu silat. Han Siong masih lebih pandai, baik dalam ilmu silat maupun lebih kuat dalam ilmu sin-kang dan gin-kang. Maka, biarpun Cun Sek menyerangnya bertubi-tubi, tubuh Han Siong berkelebatan dan selalu terhindar dari sambaran pedang, bahkan kini Han Siong mulai membalas dengan serangan, yang tidak kalah ampuhnya, walau hanya mempergunakan tangan dan kaki. Dengan Pek-hong Sin-ciang, Han Siong bahkan beberapa kali membuat Cun Sek terdesak dan terhuyung. Bahkan pernah pedang pusaka Hong-cu-kiam di tangannya hampir terlepas ketika lengan kanannya terkena tendangan kaki Han Siong. Kini Cun Sek mulai terdesak.

   "Haiiitttt...!"

   Cun Sek yang menjadi penasaran sekali, dengan nekat memutar tubuh setelah tadi menghindarkan diri dari tendangan kaki kiri Han Siong, lalu sambil berputar, pedangnya menusuk ke arah perut lawan.

   "Hemmm... huhhh!!"

   Han Siong membentak dan tangan kirinya mendorong dari samping. Dengan tangan kosong, dengan telapak tangannya, Han Siong mendorong pedang yang luar biasa tajamnya itu.

   "Plak!"

   Pedang itu terpukul menyerong dan pada saat itu, tangan kanan Han Siong sudah menampar ke arah kepala lawan. Cun Sek terkejut bukan main. Telapak tangan lawan itu mampu menangkis pedangnya, dan kini tiba-tiba ada angin menyambar ke arah kepalanya. Dia miringkan tubuh dan menarik kepalanya ke belakang.!

   "Plakk!"

   Pundaknya terkena srempetan telapak tangan Han Siong dan Cun Sek terpelanting. Dia terkejut, lalu bergulingan menjauh sambil memutar pedang melindungi tubuhnya.

   Ketika dia meloncat bangun, ternyata lawannya tidak mengejar, melainkan berdiri tegak sambil memandang kepadanya dengan senyum. Mulailah Cun Sek merasa jerih karena dia maklum bahwa dia menghadapi lawan yang memiliki ilmu kesaktian. Pada saat itu nampak bayangan berkelebat dan ternyata Sim Ki Liong sudah berdiri di situ. Sim Ki Liong dan Pek Han Siong berdiri saling pandang dengan sinar mata mencorong. Mereka memang sebaya dan bentuk tubuh mereka juga sama. Keduanya sama tampan, hanya sikap Ki Liong lebih halus, kehalusan yang menyembunyikan keliaran yang terkendali, dan mata Ki Liong kadang-kadang mencorong aneh dan kejam, sedangkan Han Siong sebaliknya selalu bersikap tenang sekali. Ki Liong segera mengenal Han Siong dan diapun mengangguk-angguk.

   "Hemm, kiranya engkau yang datang membikin ribut. Pek Han Siong, ternyata sekarang engkau telah menjadi jagoan yang mewakili Pek-tiauw-pang. Berapakah dia membayarmu? Apakah dibayar dengan puterinya yang cantik itu?"

   Kalau orang lain yang menerima ejekan dan penghinaan ini, tentu akan menjadi marah. Namun, Han Siong adalah Seorang pemuda gemblengan. Dia hanya tersenyum dan menjawab dengan halus pula.

   "Sim Ki Liong, engkau tahu siapa engkau dan siapa aku. Setelah gagal membantu pemberontakan mendiang Lam-hai Giam-lo dan engkau beruntung dapat meloloskan diri, kini engkau melakukan kejahatan baru dengan menguasai semua perkumpulan yang kau peras, mempengaruhi para pejabat daerah dan bersekutu dengan orang-orang jahat. Engkau melakukan pembunuhan semena-mena. Dan engkau tahu bahwa aku selalu, sejak menentang Lam-hai Giam-lo sampai sekarang, selalu akan menentang segala macam bentuk kejahatan! Aku bukan sekedar wakil Pek-tiauw-pang, melainkan wakil seluruh masyarakat yang menderita karena kejahatanmu. Aku sudah mendengar bahwa engkau bersekutu dengan Tok-sim Mo-li. Di mana ia sekarang? Mengapa tidak keluar sekalian?"

   Berkata demikian, Han Siong menendang sebuah batu sebesar kepalan tangan yang berada di depan kakinya. Batu itu meluncur ke arah semak-semak dan tiba-tiba saja batu itu tertangkis dan runtuh. Dari balik semak-semak muncullah Tok-sim Mo-li Ji Sun bi, diikuti oleh tiga orang pria berusia lima puluh tahun lebih yang kesemuanya berjubah pendeta, dengan rambut panjang digelung ke atas seperti tosu (pendeta Agama To). Melihat munculnya wanita cantik ini, senyum di bibir Han Siong melebar.

   "Nah, sekarang baru lengkap, semua biang keladi kekacauan telah berkumpul di sini!"

   Ucapan ini dikeluarkan agak keras karena memang merupakan isarat bagi Ouw Pangcu dan kawan-kawannya untuk mulai dengan penyerbuan mereka ke puncak Kim-lian-san.

   "Pek Han Siong, selamat berjumpa dan selamat jalan ke neraka!"

   Kata Ji Sun Bi sambil mencabut sepasang pedangnya.

   "Sekaranglah saatnya kami membalas dendam atas kekalahan kami dahulu!"

   Sim Ki Liong yang sudah maklum akan kelihaian Pek Han Siong, tidak malu-malu lagi untuk mencabut pula senjatanya, yaitu Gin-hwa-kiam yang berkilauan seperti perak. Melihat betapa tiga orang muda yang jahat dan lihai itu sudah mencabut senjata masing-masing, dan dia tahu bahwa seperti juga Cun Sek, Ki Liong memegang sebatang pedang pusaka ampuh, Han Siong lalu mengerahkan tenaga saktinya sepasang matanya memancarkan cahaya aneh dan suaranya terdengar melengking tinggi penuh wibawa ketika dia berkata

   "Kalian bertiga hendak mengeroyokku? Baik, akupun siap untuk melayani kalian satu lawan satu. Lihat, aku telah menjadi tiga orang seperti kalian!"

   Tiga orang muda itu terbelalak, terkejut bukan main melihat betapa tubuh Han Siong itu terpecah menjadi tiga dan kini di depan mereka berdiri tiga orang Pek Han Siong! Ji Slin Bi maklum akan kekuatan sihir yang dipergunakan Han Siong dan memang ia sudah siap untuk menghadapi kemungkinan itu, maka ia cepat berseru sambil menoleh ke belakang.

   "Sam-wi Su-siok (Paman Guru Bertiga), tolong bantulah kami!"

   Ji Sun Bi adalah murid mendiang Min-san Mo-ko, seorang bekas tokoh Pek-lian-kauw yang selain pandai ilmu silat, juga pandai ilmu sihir.

   Ji Sun Bi sendiri tidak mempelajari ilmu sihir selengkapnya, hanya ilmu guna-guna untuk menjatuhkan hati pria saja. Akan tetapi, karena gurunya, ia mempunyai hubungan dengan Pek-lian-kauw. Ketika Ki Liong menjadi ketua Kim-lian-pang dan ia menjadi pembantu utama dan wakil ketua, maka dalam usaha mereka untuk memperkuat Kim-lian-pang, Ji Sun Bi menemui beberapa orang tokoh Pek-lian-kauw dan berhasil membujuk tiga orang pendeta Pek-lian-kauw yang terhitung sute (adik seperguruan) mendiang Min-san Mo-ko, untuk membantu Kim-lian-pang. Tiga orang tosu Pek-lian-kauw itu menyanggupi dan mereka berada di sana untuk membantu gerakan gerakan Kim-lian-pang yang mendatangkan untung besar itu. ketika Han Siong muncul, kebetulan mereka berada di puncak sehingga mereka dapat ikut pula turun menghadapi lawan.

   "Jangan khawatir!"

   Terdengar seorang diantara mereka berseru ketika Ji Sun Bi minta bantuan. Mereka pun tadi melihat betapa pemuda itu mempergunakan sihir yang amat kuat sehingga mereka sendiripun terpengaruh dan mereka melihat betapa tubuh pemuda Itu berobah menjadi tiga. Mereka bertiga itu maklum bahwa kekuatan sihir pemuda itu memang hebat. Tanpa menggabungkan kekuatan, mereka tidak akan mampu menandinginya, maka mereka lalu duduk bersila, bergandeng tangan dan mengerahkan kekuatan mereka. Seorang di antara mereka, yang berada di sudut kiri, segera mengeluarkan kata-kata yang juga melengking tinggi berwibawa.

   "Pemuda itu hanya seorang! Yang dua hanya bayangan dan kami perintahkan agar dua bayangan itu lenyap!"

   Mereka lalu mengeluarkan suara mengaung-ngaung seperti suara anjing meratapi bulan ditengah malam, suara yang menyeramkan dan mengeluarkan getaran kuat. Ki Liong, Cun Sek dan Sun Bi memandang kepada Han Siong dan benar saja, dua di antara tubuh Han Siong itu perlahan-lahan lenyap, tinggal seorang lagi saja. Akan tetapi, mendadak menjadi tiga lagi, lalu yang dua lenyap lagi. Tahulah mereka bahwa telah terjadi pertempuran kekuatan sihir antara Han Siong dan tiga orang tosu Pek-lian-kauw. Han Siong sendiri sebetulnya mampu menandingi kekuatan sihir tiga orang Pek-lian-kauw itu.

   Akan tetapi, suara mereka sungguh amat mengganggunya dan kalau dilanjutkan, dalam keadaan adu tenaga sihir itu lalu dia dikeroyok tiga, keadaannya berbahaya juga. Oleh karena itu, ketika tiga orang itu mulai menggerakkan pedang, diapun menyimpan kekuatan sihirnya dan dirinya berubah menjadi satu lagi. Ki Liong sudah menggerakkan pedang Gin-hwa-kiam dan sinar perak menyambar ke arah Han Siong. Pemuda ini cepat mengelak dengan loncatan ke kiri. Dia disambut oleh Ji Sun Bi dengan sepasang pedangnya, sedangkan di belakangnya Cun Sek juga sudah menggerakkan pedang Hong-Cu-kiam untuk mengeroyok. Han Siong melihat gerakan mereka dan tahu bahwa sekali ini, dia menghadapi bahaya. Tiga orang itu adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, dan ketiganya memegang senjata.

   Kalau dia Ingin menyelamatkan diri, mudah saja baginya untuk melarikan diri dari tempat itu. Akan tetapi, dia harus dapat menahan mereka ini agar Ouw Pangcu dan kawan-kawannya dapat menyerbu sarang Kim-lian-pang di puncak. Kalau dia melarikan diri, tentu tiga orang ini akan mengamuk dan mungkin Ouw Pangcu dan semua kawannya akan terbasmi dan dibantai! Tiba-tiba dia mengeluarkan bentakan nyaring dan tubuhnya sudah melayang ke arah ji Sun Bi. Wanita ini terkejut melihat tubuh Han Siong bagaikan seekor burung garuda menyambar dari atas. Ia menyambutnya dengan bacokan sepasang pedangnya yang membuat gerakan menggunting dari kanan kiri! Berbahaya sekali gerakan Ji Sun Bi ini terhadap tubuh Han Siong yang sedang melayang dan menyambar turun. Namun, hal ini sudah di perhitungkan oleh Han Siong.

   Melihat wanita itu menggerakkan sepasang pedangnya, diapun lalu membuat gerakan dengan tubuhnya sehingga tubuh yang meluncur turun itu tiba-tiba terlempar ke atas membuat poksai (salto) dengan amat cepatnya. Tentu saja serangan Ji Sun Bi luput dan kini tubuh Han Siong telah turun di belakang wanita itu. Ji Sun Bi adalah seorang ahli silat yang lihai. Dengan cepat ia memutar tubuhnya, pedangnya juga ikut berputar, yang kanan membabat leher lawan sedangkan yang kiri menyusul dengan tusukan ke arah perut! Han Siong sudah siap menghadapi ini. Dia merendahkan tubuh sehingga pedang yang menyambar leher itu lewat dl atas kepala, lalu dia menggeser kaki kedepan, tangan kanannya membuat gerakan mendorong dengan pengerahan tenaga sinkang ke arah tangan Sun Bi yang menusukkan pedang sambil miringkan tubuh menghindarkan tusukan.

   

Pendekar Mata Keranjang Eps 28 Pendekar Mata Keranjang Eps 39 Pendekar Mata Keranjang Eps 22

Cari Blog Ini