Ceritasilat Novel Online

Pendekar Kelana 13


Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo Bagian 13



Siangkoan Bi Lian dan Pek Han Siong juga mengambil pedang dari rak senjata yang memang di persiapkan di tempat itu kalau mereka sedang latihan silat. Kui Hwa Cu dan rekan-rekannya sudah tahu bahwa ilmu kepandaian Pek Han Siong lebih tinggi dari isterinya, dan memang sebelum masuk ke situ mereka sudah merencanakan siapa yang menghadapi Siangkoan Bi Lian. Maka kini Kwi Hwa Cu dan Lian Hwa Cu, sesuai rencana, menghadapi dan mengeroyok Pek Han Siong, sedangkan Thian Hwa Cu dan Tiat Hwa Cu mengeroyok Siangkoan Bi Lian. Terjadilah perkelahian yang seru di dalam taman itu. Baik Pek Han Siong maupun Siangkoan Bi Lian mengguanakan pedang mereka untuk memainkan ilmu pedang Kwan Im Kiamsut yang amat hebat, halus dan lemah gemulai gerakannya, akan tetapi di balik kehalusan itu terkandung tenaga yang dahsyat sekali.

   Setelah bertanding belasan jurus, Pek Han Siong mendapat kenyataan bahwa ilmu silat kedua orang pengeroyoknya amat tangguh. Ilmu pedang mereka merupakan ilmu pedang golongan sesat dari barat, dan banyak pula tokoh Pek-lian-kauw menguasai ilmu pedang itu yang sebetulnya lebih tepat kalau di mainkan dengan pedang melengkung. Dia sendiri tidak merasa berat melawan dua orang pengeroyoknya. Akan tetapi ketika dia mengerling ke arah isterinya dia melihat betapa isterinya terdesak oleh pengeroyokan Thian Hwa Cu dan Tiat Hwa Cu. Akan tetapi selagi Bi Lian terdesak dan Han Siong mencari kesempatan untuk membantu isterinya, tiba-tiba nampak bayangan orang dan muncullah seorang gadis yang cantik jelita. Gadis ini memegang sepasang pedang yang berkilauan dan membentak,

   "Tosu-tosu palsu dari mana berani di rumah paman Pek Han Siong?"

   Karena ia melihat bahwa Siangkoan Bi Lian terdesak hebat, iapun terjun ke dalam pertempuran dan membantu Bi Lian sehingga kini dua orang pengeroyok Bi Lian terpaksa berpisah. Thian Hwa Cu tetap bertanding melawan Bi Lian sedangkan Tiat Hwa Cu menghadapi gadis yang baru datang. Kini Han Siong bernapas lega. Kalau hanya menghadapi seorang tosu, dia tidak mengkhawatirkan keadaan isterinya. Dan diapun merasa girang sekali ketika mengenal siapa gadis yang memainkan sepasang pedang itu. Gadis itu bukan lain adalah Tang Hui Lan! Siangkoan Bi Lian juga mengenal gadis itu dan ia berseru,

   "Hui Lan"!"

   "Bibi, mari kita hajar para pendeta palsu ini!"

   Kata Hui Lan sambil tersenyum dan bangkitlah semangat Siangkoan Bi Lian. Sikap gadis itu mengingatkan ia akan Cia Kui Hong, ibu dari gadis itu yang waktu mudanya bersama ia menentang Pek-lian-kauw. Lincah, berani, dan galak! Empat orang Tosu yang menamakan diri sendiri See-thian-Su-hiap (empat pendekar dunia barat) itu merasa terkejut sekali. Menurut perhitungan mereka, mereka berempat pasti akan dapat membunuh Pek Han Siong dan isterinya. Siapa kira, biarpun di keroyok dua, Pek Han Siong sama sekali tidak terdesak, dan tiba-tiba muncul gadis lihai itu yang membantu Siangkoan Bi Lian yang sudah terdesak. Dengan munculnya gadis itu terpaksa Thian Hwa cu maju sendirian menghadapi Siangkoan Bi Lian, dan Tiat Hwa Cu juga sendirian saja menghadapi gadis yang luar biasa lihainya itu!

   Tingkat kepandaian Tang Hui Lan memang sudah tinggi sekali, bahkan di bandingkan dengan Siangkoan Bi Lian, tingkatnya lebih tinggi. Payah Tiat Hwa Cu menandinginya dan setelah lewat dua puluh jurus, Tiat Hwa Cu hanya mampu melindungi dirinya dengan memutar pedang sambil terus mundur. Sepasang pedang di tangan gadis itu seolah telah berubah menjadi puluhan batang banyaknya! Dan ketika dia terdesak dan tersudut, sebuah tendangan kaki Hui Lan membuat dia terjengkang roboh! Hui lan hanya berdiri tidak mengejar karena ia belum tahu siapa mereka dan mengapa mereka memusuhi keluarga Pek Han Siong. Apa lagi melihat betapa Pek Han Siong dan Siangkoan Bi Lian juga mulai mendesak musuh-musuhnya,

   Hui Lan berdiri saja tidak membantu karena ia tahu bahwa mereka berdua tidak membutuhkan bantuannya. Kedua orang tuanya sudah memesan agar ia tidak sembarangan saja membunuh orang. Itulah sebabnya ia diam saja melihat Tiat Hwa Cu yang sudah ditendang roboh itu merangkak bangkit dan menggunakan tangan kirinya menutupi dada kanannya yang terasa nyeri bukan main oleh tendangan kaki mungil Hui Lan! Dia pun tidak berani maju lagi dan hanya menonton keadaan saudara-saudaranya yang mulai terdesak. Mendadak terdengar Siangkoan Bi Lian membentak nyaring dan pedangnya berhasil melukai pundak kiri lawannya. Thian Hwa Cu terhuyung dan darah mengalir dari luka di pundaknya. Dia terhuyung ke belakang. Siangkoan Bi Lian hendak mengejar untuk membunuhnya, akan tetapi terdengar seruan suaminya,

   "Jangan bunuh dia!"

   Mendengar seruan suaminya ini, Siangkoan Bi Lian tidak jadi mengejar dan ia melompat ke dekat Hui Lan. Mereka berdua kini melihat perkelahian antara Pek han Siong yang di keroyok dua. Pek Han Siong merasa lega bahwa Hui Lan dan Bi Lian sudah berhasil mengalahkan dua orang musuh. Kini dia dapat mencurahkan semua perhatiannya kepada dua orang lawannya.

   "Kena...!"

   Dia membentak dan tiba-tiba pedangnya membuat gerakan memutar dan pedang di tangan kedua orang lawannya itu terpental dan terlepas dari pegangan. Secepat kilat Han Siong menyapu dengan kakinya dan Lian Hwa Cu roboh terpelanting. Han Siong menginjakkan kaki kirinya di atas dada Lian Hwa Cu dan pedangnya menodong dada Kui Hwa Cu yang sudah tidak berpedang lagi. Injakan kaki kirinya membuat Lian Hwa Cu merasa seolah dia ditindih benda yang berat sekali, membuat dia tidak mampu berkutik dan Kui Hwa Cu juga merasakan ujung pedang itu menembus pakaiannya dan menyentuh kulit dadanya. Sedikit gerakan saja dari tangan yang menodongnya itu dan tamatlah riwayatnya. Maka diapun tidak berani bergerak, hanya memandang dengan muka pucat.

   "Hemm, sebetulnya sudah lebih dari pantas kalau kami membunuh kalian berempat. Akan tetapi kami bukan orang-orang kejam dan jahat yang suka membunuh lawan yang sudah kalah dan tidak berdaya. Kalau kalian masih merasa penasaran, pergi dan belajarlah dua puluh tahun lagi, baru kalian mencari kami. Lihatlah, siapa gadis itu? Ia adalah puteri Tang Hay yang dulu membunuh Hek Tok Siansu!"

   "Kami akan membalas kekalahan ini!"

   Kata Kui Hwa Cu dengan marah dan meras terhina.

   "Bagus kalau kalian masih memiliki semangat. Nah, cepat kalian pergi dari sini!"

   Dia melepaskan kakinya dari dada Lian Hwa cu dan menarik pedangnya yang menodong dada Kui Hwa Cu. Empat orang Tosu itu tidak mau membuang waktu lagi. Mereka telah beruntung tidak di bunuh oleh musuh-musuh mereka. Mereka melompati pagar tembok dan lenyap. Pek Han Siong menarik napas panjang, lalu menoleh dan memandang ke arah Hui Lan.

   "Bagus Sekali, Hui Lan. Kedatanganmu seperti malaikat penolong!"

   "Kalau Hui Lan tidak segera datang membantu, aku bisa celaka di tangan dua orang kerbau itu!"

   Kata pula Siangkoan Bi Lian sambil merangkul gadis cantik itu.

   "Aih, paman dan bibi terlalu memuji. Tanpa adanya aku sekalipun, aku yakin paman Pek Han Siong akan dapat mengusir mereka. Akan tetapi, aku merasa heran sekali mengapa enci Bwe Hwa tidak muncul membantu paman dan bibi?"

   "Bwe Hwa sedang pergi, marilah kita masuk ke dalam rumah agar lebih leluasa kita bercakap-cakap."

   Siangkoan Bi Lian menggandeng tangan Hui Lan dan mereka bertiga masuk kedalam rumah. Para pembantu penjaga toko rempah-rempah telah berdatangan dan toko itu mulai di buka. Akan tetapi Pek Han Siong dan isterinya tidak keluar karena asik bercakap-cakap dengan Hui Lan.

   "Bagaimana kabar tentang Ayah dan ibumu? Dan bagaimana tentang Cin-ling-pai?"

   Tanya Pek Han Siong.

   "Kami semua baik-baik saja, paman. Ayah dan ibu memang berpesan agar dalam perantauanku memperluas pengalaman, aku singgah di sini untuk menyampaikan salam mereka kepada paman dan bibi."

   "Kami girang sekali engkau datang Hui Lan. Hanya sayangnya Bwe Hwa juga sedang merantau seperti engkau. Kalau ia berada di sini, tentu ia merantau bersamamu dan itu akan lebih menggembirakan lagi."

   "Paman, siapakah empat orang Tosu tadi? Mengapa mereka memusuhi paman dan bibi?"

   "Kami juga baru tadi mengenal mereka. Pagi tadi tiba-tiba saja mereka muncul dan menantang kami. Mereka hendak membalaskan kematian guru-guru mereka, yaitu mendiang Ban-tok Siansu dan Hek-tok Siansu. Ban-tok Siansu tewas di tangan Ayah mertuaku Siangkoang Ci Kang dan Hek-tok Siansu tewas di tangan Ayahmu. Akan tetapi kami berdua juga musuh-musuh karena dahulu kami bekerja sama dengan Ayahmu menentang Pek-lian-kauw."

   "Jadi mereka tadi adalah tokoh-tokoh Pek-lian-kauw?"

   Tanya Hui Lan.

   "Benar dan mereka itu murid-murid mendiang Ban-tok Siansu dan Hek-tok Siansu."

   Jawab Siangkoan Bi Lian.

   "Nama mereka Kui Hwa Cu, Lian Hwa cu, Thian Hwa Cu, dan Tiat Hwa Cu dan menggunakan julukan See-thian Suhiap!"

   Sambung Pek Han Siong.

   "Engkau berhati-hatilah kalau bertemu mereka, Hui Lan. Mereka adalah orang-orang licik yang tidak malu maju bersama untuk mengeroyok musuh."

   "Aku akan berhati-hati, paman."

   "Hui Lan, bagaimana engaku tadi dapat mengetahui bahwa kami sedang berkelahi dan datang membantu?"

   "Aku datang berkunjung pagi-pagi, bibi. Akan tetapi pintu depan masih di tutup dan tidak nampak seorangpun di luar. Aku lalu masuk ke pekarangan dan dari situ aku mendengar beradunya senjata dari taman di belakang rumah ini. Karena tertarik, aku lalu melompat ke pagar tembok dan melihat paman dan bibi di keroyok, maka aku segera melompat masuk dan membantu bibi."

   Pek Han Siong menghela napas panjang.

   "Sungguh menyebalkan sekali. Kami tinggal bertahun-tahun di sini tanpa ada yang tahu bahwa kami adalah keluarga yang dapat bermain silat. Ternyata hari ini kami di datangi musuh-musuh yang hendak membalas dendam."

   "Kenapa harus menyesal? Kita dahulu selalu membasmi golongan sesat di dunia kangouw, dan kita melakukan hal itu dengan penuh pertanggungan jawab. Kalau golongan sesat mendendam kepada kita, kita tidak perlu menyesal, melainkan menghadapi mereka dengan gagah."

   "Engkau benar, akan tetapi betapa indahnya kehidupan kita selama ini. Jauh dari kekerasan, jauh dari perkelahian dan permusuhan."

   "Karena kita sudah mulai tua memang sebaiknya kalau kita mengundurkan dan hidup dalam ketenangan dan kedamaian. Akan tetapi orang-orang muda harus melanjutkan sikap kami membasmi golongan sesat, karena kalau tidak di imbangi oleh para pendekar, tentu golongan sesat akan semakin merajalela dan menyusahkan rakyat jelata. Itulah pula yang menyebabkan kita memberi kesempatan kepada Bwe Hwa untuk merantau dan bertindak sebagai pendekar, menegakkan kebenaran dan keadilan, menumpas yang melakukan penindasan mengandalkan kekuatan mereka dan membela yang tertindas dan lemah."

   Ucapan Siangkoan Bi Lian ini penuh semangat, matanya mencorong dan cuping hidungnya kembang kempis. Hui Lan memandang kagum dan teringat kepada ibunya. Ada persamaan antara Siangkoan Bi Lian dan ibunya, sama-sama keras hati dan pemberani!

   "Paman dan bibi, kedatanganku ini selain menjenguk karena merasa rindu, juga aku membawa sebuah berita yang tidak menyenangkan. Ketahuilah bahwa dua bulan yang lalu kakek buyut Ceng Thian Sin di pulau Teratai Merah telah meninggal dunia."

   Pek Han Siong bangkit dari tempat duduknya dengan kaget.

   "Meninggal? Kakek Ceng Thian Sin yang sakti itu dapat meninggal dunia?"

   Isterinya mencela.

   "Aih, engkau ini bagaimana sih? Setiap orang manusia betapa pandai dan saktinya, tetap saja akan mati satu demi satu. Apakah anehnya kalau kakek Ceng Thian Sin meninggal dunia? Usianya tentu sudah ada seratus tahun."

   "Bibi benar, kakek buyut meninggal dunia dalam usia seratus tahun lebih. Hanya ada satu hal yang mengganggu hatiku mengenai kematian kakek buyut."

   Pek Han Siong sudah duduk kembali dan memandang gadis itu dengan alis berkerut,

   "Apa yang mengganggu hatimu Hui Lan?"

   "Kakek buyut meninggal dunia setelah dia bertanding, di keroyok tujuh orang lawan. Beliau berhasil mengusir tujuh orang lawan itu, akan tetapi agaknya beliau terlalu mengeluarkan tenaga sehingga tubuhnya yang sudah tua sekali itu tidak kuat menahan, dan beliau tewas karenanya."

   Pek Han Siong mengangguk-angguk.

   "Tidak aneh kalau kakek Ceng di cari dan di musuhi orang dalam usia setua itu, karena di waktu mudanya dia membasmi banyak sekali tokoh kangouw yang jahat. Siapakah tujuh orang itu, Hui Lan?"

   "Mreka itu adalah datuk sesat yang berjuluk Toa Ok, Ji Ok, dan Bu-tek Ngo-sian."

   Jawab Hui Lan sambil menggenggam jari-jari tangannya, mengepal kedua tinjunya. Melihat ini, Siangkoan Bi Lian bertanya,

   "Jadi engkau merantau ini adalah untuk mencari tujuh orang itu dan membalas kematian kakek buyutmu?"

   "Tidak, bibi. Akan tetapi dalam perantauanku, kalau aku sampai bertemu dengan mereka, tentu mereka itu akan kuserang."

   "Hemm, Hui Lan, apakah engkau hendak membalaskan dendam kematian kakek Ceng Thian Sin?"

   Tanya Pek Han Siong sambil memandang tajam wajah gadis itu. Hui Lan menggeleng kepalanya.

   "Tidak, paman. Aku telah di nasehati Ayah dan ibu agar jangan menyambung rantai balas membalas dan dendam mendendam ini. Akan tetapi kalau aku bertemu mereka dan mereka melakukan kejahatan, tentu akan kutentang mereka!"

   Pek Han Siong mengangguk.

   "Ayah ibumu bijaksana, Hui Lan. Dendam itu menimbulkan kebencian dan kemarahan, membuat orang ingin sekali membalas. Tujuh orang datuk itu mendatangi kakek Ceng dipulau Teratai merah juga untuk membalas dendam. Memang tidak benar kalau kita mngikat diri dengan dendam, akan tetapi kalau engkau menentang seseorang karena dia melakukan kejahatan, bukan karena engkau mendendam, tentu saja tindakanmu itu benar."

   "Akan tetapi betapapun juga, engkau harus berhati-hati sekali kalau bertemu mereka, Hui lan."

   Kata Siangkoan Bi Lian.

   "Nama tujuh orang itu sebagai datuk sesat sudah amat terkenal, apalagi Toa Ok dan Ji Ok itu. Sudah lama aku mendengar namanya dan mereka adalah datuk besar yang mewakili daerah barat."

   "Terima kasih, bibi. Tentu saja aku tidak akan bertindak sembrono dan lancang. Akupun cukup mengerti bahwa mereka adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi dan licik sehingga mereka tidak akan malu mengeroyok lawan seperti yang mereka lakukan terhadap kakek buyut."

   Suami isteri itu bertanya banyak sekali tentang orang tua Hui Lan. Gadis inipun menceritakan semua yang di ketahuinya karena ia maklum betapa eratnya hubungan antara Ayahnya dan Pek Han Siong. Dalam percakapan mereka, Hui Lan menyinggung tentang pedang Pek-lui-kiam.

   "Ah, engkau mengetahui juga tentang pedang yang menghebohkan seluruh dunia kangouw itu? Kalau aku masih muda seperti dulu, tentu aku tidak mau ketinggalan memperebutkannya!"

   Kata Siangkoan Bi Lian.

   "Hui lan, apakah engkau juga ingin mencari dan memperebutkan Pek-lui-kiam?"

   Tanya Pek Han Siong.

   "Memang aku tertarik sekali, paman. Kabarnya pedang pusaka itu tadinya berada di tangan seorang pendekar besar bernama Tan Tiong Bu, akan tetapi pendekar ini terbunuh dan pedang pusaka itu lenyap. Menurut kabar angin, pembunuh itu tentu telah mencuri pedang Pek-lui-kiam."

   "Tahukah engkau siapa pembunuh dan pencuri pedang itu?"

   "Menurut kabar yang kuperoleh dalam perjalananku, pembunuh itu adalah seorang kakek berjubah merah. Kalau tidak salah, pembunuh itu adalah Ang I Sianjin, ketua Kwi-jiauw-pang yang bersarang di Kwi-liong-san."

   "Hui Lan, mungkin Bwe Hwa juga mencari pedang itu. Akan tetapi pedang itu asalnya bukan milik kita, maka sungguh tidak benar kalau kita mencoba untuk merampasnya. Kalau kita berhasil, berarti kita memiliki barang yang bukan milik kita, melainkan milik Tan Tiong Bu itu."

   "Paman benar. Aku hendak ke Kwi-liong-san hanya untuk menyelidiki. Kalau benar pedang pusaka itu menjadi milik orang jahat, hal itu harus dicegah. Kabarnya pedang pusaka itu merupakan pusaka yang ampuh, kalau terjatuh ke tangan penjahat, tentu dia menjadi seperti harimau tumbuh sayap, kejahatannya makin menjadi-jadi. Sebaliknya kalau pedang pusaka itu terjatuh ke tangan seorang pendekar yang menggunakannya untuk membasmi para penjahat, akupun tidak akan mengganggunya."

   "Engkau benar, Hui Lan. Kalau engkau hendak menyelidiki ke Kwi-liong-san, aku hanya berpesan padamu. Apabila engkau bertemu dengan Bwe Hwa, ajaklah ia bekerja sama seperti Ayahmu bekerja sama dengan aku dahulu. Dengan bersatu, kalian berdua menjadi lebih kuat, daripada kalau bekerja sendiri-sendiri."

   "Baik paman, akan aku perhatikan pesan paman itu."

   Hui Lan tinggal selama tiga hari di rumah Pek Han Siong. Pada pagi hari ke empat, ia berpamit dan meninggalkan kota Tung-ciu, menuju ke selatan untuk berkunjung ke Kwi-liong-san (Gunung Naga Iblis).

   Si Kong melakukan perjalanan seenaknya. Dia tidak tergesa-gesa pergi ke Kwi-liong-san karena dia memang sedang berkelana, menikmati semua keindahan alam yang terbentang di depannya. Pada suatu siang, tibalah dia di sebuah dusun. Dia melihat betapa penduduk dusun berada dalam keadaan sibuk sekali. Orang-orang berkeliaran ke sana-sini berunding berkelompok-kelompok. Ketika mereka melihat dia memasuki dusun, banyak orang membayanginya dengan pandang mata penuh kecurigaan. Yang amat aneh baginya, dia tidak melihat seorangpun wanita muda. Yang ada hanya wanita-wanita tua dan anak-anak. Selebihnya, semua penduduk itu laki-laki! Wajah mereka jelas sekali nampak resah dan khawatir.

   Si Kong melihat sebuah kedai minuman di sudut dusun, dan di situpun banyak pria sedang berkumpul dan bicara ramai. Akan tetapi ketika dia memasuki kedai minuman itu, percakapan mereka berhenti tiba-tiba dan seorang demi seorang meninggalkan kedai itu. Si Kong mendapatkan dirinya seorang diri saja di kedai itu, bersama seorang kakek penjaga kedai yang nampak ketakutan dan sering kali mencuri pandang ke arahnya. Si Kong menjadi tidak sabar lagi.

   "Paman, aku minta secangkir teh dan bak-pau,"

   Katanya kepada penjaga kedai. Kakek itu tergopoh-gopoh menyediakan pesanannya dan membawa kepada Si Kong setelah menaruh makanan dan minuman di atas meja, kakek itu tergesa-gesa hendak pergi lagi.

   "Nanti dulu, paman. Aku ingin bertanya kepadamu."

   "Bertanya apa, kongcu. Aku tidak tahu apa-apa."

   Tiba-tiba wajah kakek itu menjadi pucat dan kedua tangannya diangkat seolah takut kalau dipukul. Tentu saja Si Kong menjadi lebih heran lagi.

   "Paman, aku tidak apa-apa, jangan takut. Duduklah, paman, duduklah dengan tenang, jangan takut kepadaku. Bahkan kalau ada bahaya mengancam dirimu, aku yang akan menghadapinya dan menolongmu!"

   "Tidak..., tidak...! jangan tanyakan apa-apa kepadaku aku tidak tahu, tidak mengerti"

   Ah, kasihanilah diriku yang sudah tua""

   Si Kong mengerutkan alisnya. Tahulah dia bahwa kakek ini takut akan sesuatu, seperti semua orang dusun itu berada dalam keadaan panik dan ketakutan. Akan amat sukarlah membujuk kakek yang sudah ketakutan seperti itu. Jalan satu-satunya hanyalah membuat kakek itu takut kepadanya agar mau mengatakan apa yang terjadi di dusun ini. Si Kong melepaskan capingnya yang lebar dan meletakannya di atas meja. Kemudian, dengan tiba-tiba saja dia menyambar lengan kakek itu dan membuat mukanya nampak bengis, matanya melotot.

   "Engkau ingin hidup atau ingin kugantung sampai mati! Hayo jawab atau aku akan menghancurkan semua tulangmu dan mengupas semua kulitmu!"

   Wajah itu menjadi semakin pucat dan tubuhnya menggigil. Kakek itu menjatuhkan diri berlutut di depan Si Kong. Suaranya hampit tidak terdengar, karena dia bicara dengan tubuh menggigil dan lidah terasa kelu.

   "Ampunkan saya kongcu, apun""

   "Hemm, aku mau mengampunimu kalau engkau mau menjawab pertanyaanku. Nah, katakan apa yang telah terjadi di dusun ini maka semua orang kelihatan ketakutan dan aku tidak melihat seorangpun wanita muda di sini. Apa yang telah terjadi? Jawab dengan sejelasnya!"

   Kata Si Kong dengan girang karena gertakannya berhasil.

   "Ada... ada malapetaka melanda dusun kami""

   "Hayo jawab yang jelas. Malapetaka apakah itu?"

   "Aku"

   Takut menjawabnya, kongcu."

   "Takut apa?"

   "Kalau saya banyak bicara, tentu saya akan dibunuh""

   "Dan kalau engkau tidak mau menjawab, engkau bukan saja akan kubunuh, bahkan kusiksa lebih dulu. Sebaliknya kalau engkau suka menerangkan kepadaku, aku akan melindungimu dari bahaya apapun!"

   Mendengar ucapan Si Kong itu, kakek penjaga kedai itu kelihatan agak lega.

   "Kongcu, bukan hanya di dusun ini saja malapetaka itu menimpa, akan tetapi di semua dusun sekitar bukit Monyet di sana itu juga. Iblis penjaga bukit Kera itu minta agar wanita-wanita muda , terutama yang cantik, dikorbankan kepadanya. Wanita itu harus dilempar ke dalam sumur tua. Entah sudah berapa banyak wanita menjadi korban dilempar ke dalam sumur tua..."

   "Mengapa kalian suka melakukan itu?"

   "Kami dipaksa, kongcu. Ada di dusun selatan yang tidak menurut dan akibatnya, pada malam harinya, kepala dusun dan tujuh orang lain dibunuh tanpa ada yang tahu siapa pembunuhnya, dan dalam semalam saja, tiga orang gadis telah lenyap tanpa ada yang tahu kemana perginya."

   "Hemm... aneh sekali ada iblis minta korban wanita muda yang cantik. Jadi karena itu, semua wanita muda mengungsi keluar dari dusun ini dan semua orang nampak ketakutan?"

   "Benar, kongcu. Kami khawatir kalau-kalau iblis itu di malam hari akan datang dan membunuh kami. Akan tetapi tadi pagi ada kejadian aneh. Ketika malam tadi kami semua mendengar suara iblis itu yang suaranya bergema minta agar hari ini disediakan korban seorang gadis, kami sudah kebingungan. Semua gadis telah pergi, yang ada hanya kanak-kanak dan nenek-nenek. Lalu pagi tadi datang seorang gadis cantik dan gadis itu menawarkan dirinya untuk menjadi korban dan dilempar ke dalam sumur tua."

   "Ah, siapakah gadis itu?"

   "Tidak ada seorangpun yang mengenalnya. Akan tetapi ia membawa pedang, agaknya ia seorang pendekar wanita yang sengaja hendak menantang iblis penjaga gunung Kera itu, kongcu."

   "Hemm, dan ia sudah dilempar ke dalam sumur tua?"

   "Sudah dan bukan dilempar, melainkan ia meloncat kedalam sumur tua dan lenyap. Karena itu kami ketakutan, takut kalau-kalau iblis itu akan mengamuk karena ada gadis dari dusun kami yang hendak menentangnya. Ahh, kami telah memberi peringatan kepada gadis itu, akan tetapi ia memaksa dan kami tidak dapat menghalanginya."

   Si Kong mengerutkan alisnya. Dia dapat menduga bahwa yang berani berbuat demikian tentulah seorang pendekar wanita. Dia merasa kagum akan tetapi juga khawatir. Dia tidak percaya bahwa ada iblis penjaga bukit yang menuntut agar dikorbankan gadis-gadis cantik. Ini tentu ulah orang-orang jahat. Mungkin penjahat itu lihai sekali sehingga tidak ada orang di dusun itu yang pernah melihatnya walaupun iblis itu membunuhi banyak orang di waktu malam. Dia khawatir kalau-kalau gadis itu akan mengalami celaka di dalam sumur tua.

   "Paman, hayo antar aku ke sumur tua itu!"

   Kata Si Kong. Wajah kakek itu menjadi semakin pucat dan seluruh tubuhnya menggigil seolah dirinya diserang demam parah.

   "Saya... saya... tidak berani, kongcu."

   "Hayolah, ada aku jangan takut. Atau aku menggunakan kekerasan seperti ini?"

   Si Kong mengambil sebuah cangkir dan meremasnya dengan tangan kiri. Cangkir itu hancur berkeping-keping dan kakek itu semakin takut.

   "Nah, mau antar aku ke sumur tua itu atau kau memilih kuhancurkan tulang-tulangmu?"

   Si Kong menggertak.

   "Baik... baik, kongcu"

   Saya akan menutup dulu kedai ini""

   
Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kakek itu ketakutan dan bergegas menutup kedainya. Kemudian bersama Si Kong dia meninggalkan dusun. Beberapa orang laki-laki yang melihat pemilik kedai berjalan bersama seorang pemuda asing, menjadi tertarik.

   "Paman Kiu, hendak kemana engkau?"

   Beberapa orang bertanya. Kakek itu sengaja menjawab dengan suara keras agar terdengar banyak orang. Dia ingin mencari teman dalam keadaan terancam dan terpaksa itu.

   "Aku"

   Mengantar kongcu ini ke sumur tua!!"

   Semua orang terkejut dan menyingkir, akan tetapi ada tujuh orang pemuda yang mengikuti dari belakang. Si Kong membiarkan saja mereka mengikuti, dan kakek itu kelihatan lega karena kini dia mempunyai teman yang mengantar pemuda itu ke sumur tua yang mereka takuti. Mereka kini mendaki lereng bukti Kera menuju ke puncak. Matahari telah naik tinggi, sinarnya panas membakar sehingga kakek itu bersimbah peluh dan kadang di usapnya muka dan lehernya dengan ujung lengan bajunya.

   "Masih jauhkah, paman?"

   Si Kong bertanya.

   "Sudah dekat. Itu puncaknya sudah nampak dari sini. Sumur tua itu berada di puncak bukit ini."

   Mereka melewati sebuah hutan kecil dan melihat banyak sekali kera di hutan itu. Mengertilah Si Kong mengapa bukit itu di sebut Bukit Kera, kiranya memang banyak kera hidup di bukit ini. Tak lama kemudian tibalah mereka di puncak. Dengan tubuh gemetar kakek itu mengajak Si Kong menghampiri sebuah sumur tua. Tujuh orang pemuda berhenti di tempat yang agak jauh sambil memandang dengan hati tegang dan kaki siap untuk melarikan diri!

   "Inilah sumurnya, kongcu..."

   Si Kong melihat betapa sinar matahari yang berada di atas menyinari sumur. Dia menghampiri dan nenjenguk ke dalam sumur. Akan tetapi kelihatannya gelap menghitam. Sinar matahari hanya sampai bagian luar dan atas sumur itu saja. Sumur itu lebar, ada
(Lanjut ke Jilid 13)
Pendekar Kelana (Seri ke 12 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 13
dua meter lebarnya, makin ke bawah makin mengecil.

   "Nona berpedang itu melompat ke dalam sumur ini?"

   Tanya Si Kong kepada kakek itu. Kakek itu hanya mengangguk, tidak berani mengeluarkan suara, agaknya dengan was-was dia menunggu munculnya, munculnya iblis itu dari dalam sumur. Kedua kakinya yang gemetar juga sudah siap melarikan diri. Si Kong menoleh dan melihat tujuh orang pemuda dusun masih berdiri di sana.

   "Heiii, kalian sobat-sobat! Aku ingin menyelidiki ke dalan sumur. Maukah kalian membawakan segulung tali yang kuat? Kalau ada makin panjang semakin baik!"

   Tujuh orang itu saling pandang, lalu mereka mengangguk dan larilah mereka dari puncak itu. Si Kong memeriksa keadaan sekitar sumur.

   Tidak ada sesuatu yang aneh. Puncak itu tidak berapa lebar, hanya kurang lebih sepuluh meter lebarnya, menjulang ke atas. Dia mengambil sepotong batu sebesar kepalan tangannya dan menjatuhkan batu itu ke dalan sumur. Dia nenanti sambil mendengarkan dengan penuh perhatian. Tidak ada suara apa-apa yang datang dari bawah sana, seolah-olah sumur itu tidak berdasar! Kalau dasarnya air, tentu akan terdengar suara batu yang jatuh ke dalamya. Juga kalau dasarnya tanah, akan terdengar oleh pendengarannya yang terlatih. Si Kong mengerutkan alisnya. Aneh sekali, pikirnya. Benarkah lubang sumur itu tidak berdasar atau dasarnya amat dalam hingga suara batu yang dia jatuhkan tidak dapat terdengar dari atas? Kalau seperti itu dalamnya, gadis pendekar itu tentu mengalami kecelakaan.

   Mendadak telinganya menangkap suara yang hanya sayup-sayup terdengar olehnya. Seperti suara orang berkata-kata, seperti bisikan halus. Dia merasa heran dan bulu tengkuknya meremang juga. Dia tidak pernah melihat setan. Akan tetapi pernah mendengar orang bercerita tentang setan yang seram-seram. Kini mendengar suara bisik-bisik itu, jantungnya berdebar dan terbayanglah dalan ingatannya perihal setan seperti yang pernah didengarnya. Ah, mustahil! Demikian dia mencela diri sendiri. Mana mungkin ada setan di tempat ini! Tujuh orang pemuda itu berlarian mendaki puncak dan mereka menyerahkan segulung tali yang panjang kepada Si Kong. Si Kong mengikatkan ujung tali ke batang pohon yang tumbuh di situ dan melemparkan gilungan tali itu ke dalam sumur. Lingkaran gulungan tali itu terbuka.

   "Terima kasih atas bantuan kalian. Sekarang aku hendak turun ke dalam sumur ini."

   Setelah Si Kong menuruni sumur melalui tali itu, tujuh orang pemuda dan kakek pemlik kedai itu tidak dapat menahan lagi rasa takut mereka. Mereka lalu meninggalkan sumur dan mengintai dari jarak jauh dengan hati tegang dan jantung berdebar. Si Kong meninggalkan caping lebarnya di bibir sumur, akan tetapi dia membawa bambu pikulannya dan buntalan pakaiannya yang dia ikatkan di punggung.

   Tali itu temyata panjang sekali dan setelah melewati batas antara bagian sumur yang mendapat cahaya matahari dan yang gelap, dia menuruni tali itu dengan hati-hati. Tak lama kemdian tibalah dia di dasar sumur dan dia tersnyum sendiri ketia kakinya menyentuh sebuah jala. Kiranya ada sehelai jala dipasang di situ. Pantas batunya tidak mengeluarkan suara karena menimpa jala yang kuat dan lunak. Begitu dia menginjak jala itu, terdengar suara berkelinting di arah kiri. Dia meraba-raba ke bagian kiri dan dan dapat kenyataan bahwa dinding sumur di bagian kiri itu kosong berlubang! Kalau begitu sumur itu bagian dasarnya mempunyai sebuah terowongan! Setelah terdengar bunyi suara berkelinting tadi, segera disusul bunyi suara orang bercakap-cakap dan tak lama kemudian nampak sinar api di terowongan. Empat orang laki-laki datang dan seorang diantara mereka memegang sebuah lampu gantung yang sinarnya cukup terang.

   Dalam penerangan sinar itu, nampaklah oleh Si Kong bahwa terowongan itu lebar dan tinggi kurang lebih dua meter garis tengahnya. Di pinggang empat orang itu nampak ada golok bergantung dan mereka membawa tali seolah hendak mengikat korban yang terjatuh ke dalam jala mereka. Tentu dia dikira seorang gadis manis yang menjadi korban disuguhkan kepada iblis penjaga sumur. Tepat seperti dugaannya, bukan iblis yang menuntut dikorbankannya gadis-gadis muda dan cantik, melainkan segerombolan orang-orang jahat yang menipu penduduk dusun yang percaya akan tahyul! Hati Si Kong menjadi panas sekali. Entah sudah berapa banyak gadis dusun yang menjadi korban-korban iblis-iblis itu. Dia menyembunyikan mukanya di bawah lengan agar mereka tidak dapat melihat dari jauh bahwa dia seorang pria. Setelah mereka menghampiri, dia mendengar dengan jelas kata-kata mereka.

   "Wah, sudah datang lagi gadis manis untuk kita!"

   "Engkau sudah mendapat bagian, aku yang belum."

   "Yang ini untukku, akan kuminta pada Twako!"

   Ketika mereka sudah tiba dekat, dalam jarak dua meter, Si Kong melompat keluar dari dalam jala dan tiga kali tangannya bergerak menotok dan tiga orang itu roboh tak dapat berkutik lagi. Dia mencengkeram pundak orang ke empat yang membawa lampu sehingga orang itu menyeringai karena pundaknya seperti dicengkeram jepitan baja saja.

   "Jangan berteriak atau bergerak kalau tidak ingin mati!"

   Si Kong berbisik, dan dari pundak yang gemeteran tahulah Si Kong bahwa orang itu ketakutan.

   "Hayo katakan berapa banyak kawan-kawanmu?"

   Agaknya orang ketakutan itu hendak menggertak, maka dia segera menjawab,

   "Ada lima belas orang dan dipimpin oleh Twako (Kakak Tertua) yang amat lihai. Engkau berani masuk ke sini, berarti engkau akan mati tersiksa."

   Si Kong memperkuat cengkeraman tangannya dan orang itu mengaduh-aduh.

   "Aduh"

   Ampunkan saya""

   Dia meratap.

   "Dimana gadis-gadis korban itu?"

   "Diruangan sana, dikumpulkan menjadi satu. Kalau ada yang dibutuhkan, diambil dan dibawa..."

   "Antarkan aku kesana!"

   Dia melepaskan cengkeramannya dan mendorong orang yang membawa lampu itu ke depan. Orang itu hendaknya akan lari, akan tetapi setelah merasakan lagi cengkeraman di pundaknya, dia maklum bahwa dia sudah tidak berdaya.

   "Baik, akan kuantarkan. Akan tetapi lepaskan dulu pundakku... aduhh, sakit...!"

   Si Kong mengendurkan cengkeramannya dan mendorong orang itu yang terhuyung-huyung melangkah maju. Setelah berjalan sejauh kurang lebih seratus meter dan jalan itu membelok ke kanan, nampak ruangan yang mendapatkan cahaya matahari. Orang itu menggantungkan lampu di tempat gantungan yang tersedia. Si Kong memperhatikan sekelilingnya. Agaknya terowongan itu sengaja dibuat orang. Bagian itu merupakan dasar sebuah sumur yang tidak begitu dalam, maka mendapatkan sinar matahari dari atas. Orang itu lalu melangkah terus, jalan mulai mendaki naik. Setelah tiba di depan sebuah ruangan yang memakai jeruji besi pada pintunya, orang itu berhenti. Si Kong melihat belasan orang gadis berada dalam ruangan itu,

   Ada yang sedang menangis dan ada yang memandang kosong dan putus asa. Dia tertarik kepada seorang gadis yang kedua tangannya diikat pada gelang-gelang yang tertanam di dinding itu. Terkejutlah dia ketika mendapat kenyataan bahwa gadis itu adalah Hui Lan, Tang Hui Lan! Akan tetapi gadis itu tidak melihatnya, melainkan menundukkan mukanya dan sikapnya tenang sekali. Dari depan terdengar suara orang. Si Kong cepat menotok tawanannya dan menyeretnya ke tempat gelap, kemudian dia mengintai. belasan orang mendatangi tempat itu, mengiringkan seorang laki-laki tinggi besar yang mukanya penuh bekas penyakit cacar. Akan tetapi laki-laki bopeng (cacat mukanya) ini mempunyai mata yang mencorong penuh kekejaman dan agaknya dia menjadi kepala mereka semua karena belasan orang itu nampak tunduk dan hormat kepadanya.

   "Sekali ini kami bersumpah, twako. Twako tentu akan senang sekali mendapatkan yang ini. Ia luar biasa cantik jelitanya tidak seperti perawan-perawan gunung yang sederhana itu. Ketika jatuh ke dalam jala ia pingsan. Melihat ia membawa pedang, kami lalu merampas pedang dan mengikat kedua tangannya pada gelang baja. Nah, itu dia, twako, agaknya sudah sadar. Aduh, cantiknya seperti puteri kaisar saja!"

   Si tinggi besar muka bopeng itu hanya menggumam, akan tetapi setibanya di depan pintu berjeruji, dia berhenti dan memandang ke arah gadis yang diikat itu dengan bengong. Ternyata anak buahnya tidak berlebihan dalam keterangannya. Seorang gadis yang luar biasa!

   "Ha-ha, ia cantik dan membawa pedang? Berarti ia tentu sedikit banyak pandai bersilat. Ia pantas menjadi sisihanku, menjadi isteriku! Bukakan daun pintu ini! Aku sendiri yang akan melepaskan ikatan kedua tangannya yang mungil itu!"

   Anak buahnya tertawa-tawa senang melihat pemimpin mereka puas, dan dua orang dari mereka cepat membuka daun pintu yang dipasangi rantai yang dikunci itu. Begitu daun pintu di buka, si bopeng itu lalu melangkah masuk dan menghampiri Hui Lan. Si Kong melihat ini dan seluruh urat syarafnya sudah menegang, siap untuk menerjang kalau si bopeng itu melakukan hal yang tidak sopan terhadap Hui Lan. Si bopeng itu telah berdiri di depan Hui Lan dan dia tertawa bergelak.

   "Hebat, cantik jelita, kulitnya begitu putih mulus! Ha-ha-ha!"

   Setelah tertawa dan berkata memuji kecantikan tawanan itu, kedua tangannya yang besar bergerak hendak melepaskan tali pengikat kedua tangan Hui Lan. Tiba-tiba Si Kong yang mengintai itu tersenyum. Dia melihat gadis itu mengangkat mukanya dan melihat betapa mata gadis itu mencorong seperti mata naga. Sekilas pandang saja tahulah Si Kong bahwa dara perkasa itu hanya pura-pura, padahal telah siap siaga sejak meloncat ke dalam sumur!

   Si Kong merasa kagun bukan main. Dia sendiri tentu akan berpikir dua kali kalau harus meloncat begitu saja ke dalam sumur yang gelap itu dan belum tahu apa yang akan dihadapinya di dasar sumur. Dugaannya benar. Begitu si bopeng menjulurkan kedua tangan untuk melepaskan ikatan tangan Hui Lan, tiba-tiba saja kedua tangan gadis yang tadinya terikat, sudah lepas begitu saja dan sekali tangan kiri si gadis itu memukul dengan tangan terbuka miring yang mengenai dada si bopeng, pemimpin gerombolan itu terjengkang dan terbanting ke atas lantai, mengaduh-aduh dan mulutnya mengeluarkan darah! Melihat ini, belasan orang anggauta gerombolan itu menjadi terkejut dan marah. Akan tetapi sebelum mereka dapat berbuat sesuatu terdengar suara Hui Lan membentak dengan nyaring penuh wibawa.

   "Kalian hanya anjing-anjing yang pandai menggonggong! Anjing-anjing yang pandai menggonggong!"

   Si Kong menahan tawanya ketika belasan orang itu tiba-tiba saja menjatuhkan diri merangkak dengan kaki tangan mereka seperti anjing dan mereka menyalak dan menggonggong riuh rendah sambil merangkak ke sana ke mari! Ternyata segerombolan orang itu telah terpengaruh oleh sihir yang dilepas Hui Lan.

   "Adik Hui Lan...!"

   Si Kong melompat keluar dari tempat sembunyinya. Hui Lan terkejut dan cepat mengangkat muka memandang. Dengan alis berkerut ia memandang Si Kong, mengira bahwa ada anggauta gerombolan yang tidak terkena sihirnya. Akan tetapi ketika ia sudah melihat jelas, ia segera mengenal pemuda itu dan memandang dengan penuh keheranan.

   "Engkau"

   Kakak Si Kong! Bagaimana engkau dapat berada di sini?"

   Pandang matanya tiba-tiba berubah penuh kecurigaan.

   "Apakah engkau menjadi satu dengan gerombolan anjing-anjing ini?"

   Si Kong tersenyum dan menggeleng kepalanya.

   "Bagaimana aku dapat menjadi satu dengan mereka? Aku menuruni sumur untuk melakukan penyelidikan, setelah mendengar keterangan orang dusun. Kiranya gadis yang tadi pagi meloncat ke dalam sumur adalah engkau, Lan-moi. Ah, kekhawatiranku sia-sia saja. Kalau engkau tentu tidak membutuhkan bantuan siapapun!"

   "Nanti saja kita bicara, Kongko. Mari bantu aku membawa gadis-gadis ini keluar dari sini dan menyeret anjing-anjing ini keluar agar dapat dihajar oleh penduduk dusun."

   "Baik, Lan-moi. Anjing-anjing itu sebaiknya dibuat tidak berdaya,"

   Kata Si Kong dan dia lalu memasuki ruangan tahanan itu. Berkali-kali tangannya bergerak dan setiap gerakan tentu merobohkan seorang penjahat yang sedang merangkak dan menggonggong itu. Sebentar saja belasan orang itu sudah tertotok semua, termasuk si muka bopeng yang telah menderita luka parah oleh pukulan tangan Hui Lan tadi. Dengan penerangan lampu yang dibawa seorang gadis yang telah dibebaskan Si Kong menyeret belasan orang itu ke dasar sumur.

   "Engkau naiklah dulu, Lan-moi. Setelah berada di atas, panggil penduduk dusun agar mereka mengangkat naik gadis-gadis ini dan juga gerombolan ini!"

   "Baik, Kong-ko!"

   Dengan sigap dan cepat sekali Hui Lan merayap naik dengan bergantung pada tali yang tadi dipakai Si Kong untuk turun ke dalam sumur. Para pemuda dusun yang tadi bersama kakek pemilik kedai mengintai dengan jantung berdebar tegang dan ketakutan, tiba-tiba melihat Hui Lan melompat keluar dari sumur. Gadis ini telah mengambil kembali sepasang pedangnya dari sebuah kamar bawah tanah yang menjadi gudang berisi barang-barang berharga hasil rampokan. Melihat gadis yang tadi pagi melompat ke dalam sumur kini muncul dari dalam sumur, tujuh pemuda dusun dan kakek itu menjadi girang dan beramai-ramai mereka menghampiri.

   "Bagaimana, Lihiap?"

   Kata mereka, tidak ragu lagi menyebut Lihiap (pendekar wanita) kepada Hui Lan.

   "Beres, gadis-gadis itu sebentar lagi akan naik ke sini, juga iblis-iblis itu telah tertangkap dan akan di naikkan pula."

   Orang-orang itu terbelalak ketakutan mendengar bahwa iblis-iblis telah tertangkap. Bagaimanapun juga, kalau harus menghadapi iblis-iblis, walaupun sudah tertangkap, mereka merasa ngeri. Melihat mereka sudah siap untuk kabur lagi, Hui Lan tertawa.

   "Jangan bodoh, yang kumaksudkan dengan iblis-iblis itu tentu saja bukan iblis aseli, melainkan penjahat-penjahat yang mengaku sebagai iblis."

   Mendengar ini, mereka menjadi lega.

   "Sekarang bersiap-siaplah untuk menarik tali itu. Dan kakek ini boleh pulang ke dusun memberi tahu semua orang dusun untuk menjemput gadis-gadis korban yang menjadi keluarga mereka."

   Kakek pemilik kedai segera berlari turun. Saking girangnya dia tidak mengenal lelah sehingga setelah tiba di dusunnya, dia terengah-engah sukar bicara dan tentu akan jatuh pingsan kalau tidak segera ditolong penduduk dusun.

   "Lihiap itu"

   Telah membebaskan semua gadis korban dan telah menangkap segerombolan penjahat yang menipu kita menjadi iblis dan setan."

   Berita ini segera tersiar luas dan didengar pula oleh penduduk dusun-dusun di sekitar pegunungan Kera itu. Maka berbondong-bondonglah mereka itu menuju ke puncak. Sementara itu, Hui Lam memberi isarat kepada Si Kong dengan menarik-narik tali. Si Kong yang berada di bawah, sudah membuatkan tempat duduk dari jala yang berada di situ, diikatkan dengan ujung tali dan memberi isarat dengan menarik-narik tali itu. Hui Lan mengerti dan ia menyuruh tujuh orang pemuda itu untuk nenarik tali ke atas.

   Gadis pertama muncul. Semua orang bersorak gembira, terutama mereka yang mengenal gadis ini dan keluarganya. Orang-orang dusun sudah berkumpul semua di sekeliling sumur. Tua muda dan anak anak bersorak dan gadis itu tersedu-sedu dalam rangkulan ibunya. Tempat duduk dari jala itu lalu diturunkan kembali. Gadis kedua, ketiga dan seterusnya diangkat satu demi satu dan sorak sorai terdengar setiap kali ada gadis yang tiba di luar sumur. Akhirnya semua gadis yang pernah menjadi korban "iblis-iblis"

   Itu telah dikeluarkan dari dalam sumur. Orang berikutnya yang ditarik keluar sumur amat berat sehingga membutuhkan tenaga banyak orang untuk menarik tali. Ketika orang itu muncul, ternyata dia adalah kepala gerombolan yang tinggi besar bermuka bopeng. Mulutnya masih berlepotan darah dan dia tidak mampu berkutik karena sudah ditotok oleh Si Kong.

   "Nah, inilah yang mengaku-ngaku iblis penjaga sumur itu. Kalian lihat, dia manusia biasa, bukan? Manusia biasa, akan tetapi amat jahatnya. Dia dan belasan orang anak buahnya yang mengganggu kalian, minta agar gadis-gadis dan perhiasan-perhiasan dikorbankan dan dilemparkan ke dalam sumur."

   Mendengar ucapan Hui Lan itu, para penduduk dusun menjadi marah, terutama yang gadisnya dijadikan korban. Mereka maju serentak untuk memukuli si bopeng yang sudah tidak berdaya itu. Ada yang menggunakan alat bertani seperti cangkul, kapak dan lain-lain.

   "Sudah! Cukup! Jangan dibunuh!"

   Teraik Hui Lan, akan tetapi ia terlambat. Ketika orang-orang itu mundur, si muka bopeng sudah menjadi seonggok daging berlumuran darah!

   "Kalian bertindak berlebihan!"

   Hui Lan menegur.

   "Mereka memang jahat dan perlu dihukum, akan tetapi tidak dibunuh dan dibantai seperti itu! Ingat, aku akan marah kalau kalian ulangi lagi perbuatan itu atas diri para penjahat yang akan dikeluarkan semua!"

   Seruan Hui Lan itu mengandung wibawa yang kuat dan semua orang menundukkan muka. Hui Lan lalu memberi isarat kepada Si Kong dibawah untuk mengisi tempat duduk yang sudah diturunkan. Si Kong lalu memberi tanda dengan tarikan tali.

   Orang kedua dikeluarkan dan kini hanya caci maki yang terlontar dari mulut semua orang terhadap penjahat itu yang menjadi ketakutan setengah mati melihat demikian banyak orang marah-marah seolah hendak menelan dia bulat-bulat! Demikianlah, satu demi satu penjahat dikeluarkan dan mereka semua menjadi ketakutan setengah mati ketika melihat pemimpin mereka sudah tewas dengan tubuh hancur. Akan tetapi mereka tidak dibunuh, hanya diseret dan digeletakkkan ke atas tanah. Setelah semua penjahat ditarik keluar, paling akhir yang keluar adalah Si Kong sendiri yang membawa sebuah peti. Semua orang bersorak karena mereka semua sudah mendengar dari kakek pemilik kedai betapa penuda itu menuruni sumur dan menolong para gadis yang ditahan. Si Kong mengangkat kedua tangan ke atas dan membuka peti. Temyata di dalamnya terisi banyak perhiasan dari emas permata.

   "Mereka yang merasa sudah melemparkan perhiasannya ke dalam sumur, boleh mencari perhiasannya dan mengambilnya kembali. Akan tetapi yang merasa tidak mempunyai perhiasan yang dirampok, jangan mengambil sesuatu dari dalam peti. Awas, aku tidak akan mengampuni mereka yang bertindak curang dan mengambil barang yang bukan miliknya!"

   Mereka yang merasa kehilangan-kehilangan karena pernah diancam oleh suara iblis agar menyerahkan perhiasan mereka dan melemparkan ke dalam sumur, segera mencari perhiasan masing-masing dan akhir nya semua orang telah memperoleh kembali perhiasan mereka. Akan tetapi didalam peti itu masih terdapat banyak sekali benda-benda berharga dari emas, batu kemala dan lain-lain.

   "Panggil kepala dusun ke sini!"

   Kata Si Kong. Ternyata kepala dusun juga sudah berada di antara penduduk dusun dan dia segera melangkah maju ketika mendengar seruan Si Kong.

   "Paman kepala dusun di sini ?"

   "Benar, Taihiap."

   "Dengarlah baik-baik. Kalau ada orang-orang seperti para pengacau ini, kumpulkan orang sedusun, atau kalau perlu ditambah para penghuni dusun tetangga, satukan tenaga untuk menghadapi dan nenghajar para penjahat itu. Jangan percaya kepada kabar dan cerita tahyul."

   "Baik, Taihiap,"

   Kata kepala dusun yang tadi ikut pula memukuli kepala penjahat itu.

   "Mulai sekarang, kami akan melakukan perlawanan."

   "Bagus! Nah, segerombolan penjahat ini sudah mendapat hajaran keras. Kalau berani muncul lagi di tempat ini jangan ragu keroyoklah ramai-ramai."

   "Baik, Taihiap."

   Si Kong menghadapi gerombolan yang masih rebah malang melintang tak mampu bergerak itu, lalu memulihkan jalan darah mereka yang tertotok satu demi satu. Para penjahat itu sudah mendengar semua pembicaraan Si Kong dengan penduduk dan kepala dusun, maka begitu dapat bergerak, mereka lalu berlutut dan minta-minta ampun.

   "Kalian benar-benar telah bertaubat? Awas, kalau berani sekali lagi aku melihat kalian berbuat jahat, aku tidak akan mengampunimu lagi. Sekarang, pergilah dan bawa mayat pemimpin kalian, kubur di tempat yang jauh dari sini. Nah pergilah!"

   Para penjahat itu menghaturkan terima kasih dan segera mengangkut sisa mayat si bopeng, lalu pergi dari situ dengan cepat. Mereka sangat ketakutan.

   Sejak mereka melihat pemimpin mereka roboh muntah darah dihantam oleh gadis itu, mereka tidak tahu lagi apa yang terjadi dengan mereka! Mereka hanya teringat secara samar-samar betapa mereka merasa berubah menjadi anjing, kemudian mereka tidak mampu bergerak, hanya melihat betapa mereka satu demi satu ditarik naik keluar dari sumur dalam keadaan tidak mampu bergerak dan dikepung penduduk dusun yang nampak marah sekali kepada mereka. Mereka sudah putus asa dan tentu mereka akan dibunuh seperti yang terjadi pada pemimpin mereka. Maka, dapat dibayangkan betapa lega dan senang hati mereka dilepas dan diampuni. Pengalaman mereka itu sedikit banyak akan mempengaruhi jalan kehidupan mereka selanjutnya, membuat mereka jerih untuk melakukan kejahatan lagi. Si Kong menghampiri Hui Lan yang sejak tadi menonton saja dan berkata lirih,

   "Bagaimana pendapatmu, Lan-moi, jika sisa perhiasan ini kita bagikan kepada keluarga mereka yang terbunuh dan keluarga para gadis yang menjadi korban?"

   Hui Lan sejak tadi menonton dengan hati kagum. Kalau menurut hatinya, ingin ia memberi hajaran keras kepada para penjahat itu! Akan tetapi Si Kong membebaskan mereka setelah menakut-nakuti mereka. Kini mendengar pertanyaan Si Kong, ia berkata,

   "Terserah kepadamu, Kong-ko. Aku hanya dapat menyetujui saja."

   Si Kong melambaikan tangannya memanggil kakek pemilik kedai minuman itu.

   "Paman, engkau kuangkat menjadi orang yang bertugas membagi-bagi perhiasan ini dengan adil kepada keluarga mereka yang dibunuh para penjahat dan keluarga para gadis yang menjadi korban. Sanggupkah engkau, paman?"

   Kakek itu kelihatan bangga sekali.

   "Serahkan saja kepada saya, Taihiap. Saya akan membagi-bagi secara adil."

   Si Kong berkata kepada kepala dusun.

   "Paman menjadi pengawasnya agar pembagian berjalan lancar dan adil. Harap panggil keluarga para korban pembunuhan dan penculikan dan membagi-bagi perhiasan ini secara adil."

   Kepala dusun mengangguk setuju. Si Kong lalu berkata kepada Hui Lan.

   "Semua sudah beres, mari kita pergi, Lan-moi!"

   Hui Lan mengangguk dan kedua orang muda perkasa itu sekali berkelebat lenyap dari depan semua orang. Melihat ini, semua orang terkejut dan ketahyulan kembali melanda hati mereka. Kepala dusun yang lebih dulu menjatuhkan diri berlutut menghadap ke arah berkelebatnya dua orang itu. Semua penduduk segera mengikuti kepala dusun, berlutut sambil berterima kasih kepada dua orang "dewa-dewi"

   Yang telah membebaskan mereka dari ancaman iblis jahat. Dari jauh mereka mendengar yang dapat terdengar jelas oleh mereka,

   "Jangan lupakan persatuan melawan yang jahat. Selamat tinggal!"

   Itu adalah suara Si Kong yang sengaja diucapkan dari jauh dengan pengerahan khikang sehingga dapat terdengar oleh mereka yang berada di sekeliling sumur tua. Kepala dusun memimpin semua orang, untuk melempar-lemparkan banyak batu ke dalam sumur sehingga sumur itu penuh batu dan tidak mungkin dilewati orang lagi. Kemudian, dengan pengawasan kepala dusun, mulailah perhiasan itu dibagi-bagikan kepada keluarga mereka yang tewas dan keluarga para gadis yang menjadi korban. Mereka duduk di atas batu di bawah sebuah batang pohon besar. Matahari telah condong ke barat, namun cuaca masih terang. Mereka diam saja dan kadang saling pandang. Akhirnya Hui Lan yang biasanya lincah itu mengeluarkan suara memecah kesunyian.

   "Bagaimana engkau bisa masuk ke dalam sumur itu, Kong-ko? Ceritakanlah dari awal."

   Si Kong tersenyum memandang gadis yang hebat itu. Dia pernah mengagumi Siangkoan Cu Yin, merasa suka kepada gadis berandalan itu, akan tetapi dalam hal ilmu kepandaian, kekagumannya terhadap Hui Lan ini lebih mendalam.

   "Hanya kebetulan saja, Lan-moi. Siang tadi kebetulan aku lewat di dusun ini dan membeli minuman dikedai kakek tadi. Aku melihat keadaan dan suasana yang ganjil sekali. Aku tidak melihat ada wanita muda di dusun itu dan kaum prianya kelihatan panik dan ketakutan. Bahkan ketika melihat aku yang asing bagi mereka, mereka memandang penuh kecurigaan. Karena itu aku lalu membujuk kepada kakek pemilik kedai untuk menceritakan apa yang terjadi. Akan tetapi dia ketakutan dan menolak untuk bercerita. Terpaksa aku mengalahkan rasa takutnya kepada sesuatu itu menjadi rasa takut terhadap diriku. Aku mengancam dia dan akhirnya dia mengaku akan adanya setan yang mengganggu penduduk, betapa setan itu minta perhiasan dan bahkan gadis-gadis muda dan cantik. Dia bercerita tentang sumur setan dimana gadis-gadis itu dilempar ke dalam sumur, juga dia bercerita tentang seorang gadis yang dengan suka rela melompat ke dalam sumur itu. Selanjutnya aku mencari tali panjang dan menuruni sumur itu. Kurobohkan beberapa orang yang berada di dasar sumur, dan kutotok mereka. Lalu aku memaksa seorang diantara mereka untuk menunjukkan dimana adanya ruangan yang dipergunakan untuk menawan para gadis itu. Setelah tiba di sana, aku melihat engkau diantara para gadis dan kebetulan gerombolan itu datang memasuki ruangan itu. Begitulah awal mulanya aku sampai masuk ke dalam sumur itu. Dan engkau sendiri, bagaimana bisa menjadi tawanan mereka? Tentu engkau yang dikatakan kakek itu sebagai gadis yang dengan suka rela masuk ke dalam sumur itu, bukan?"

   "Benar, Kong-ko. aku juga secara kebetulan saja lewat di luar dusun itu. Dalam perjalanan itu aku melihat seorang gadis bersama ibunya melarikan diri sambil menangis ketakutan. Aku hentikan mereka dan kutanyakan apa sebabnya. Gadis itu lalu menceritakan tentang setan yang meminta korban gadis-gadis dan bahwa gadis itu semalam telah diminta oleh suara setan diatas rumah mereka. Karena ketakutan dan tidak sudi dijadikan korban setan, gadis itu lalu mengajak ibunya melarikan diri. aku menjadi penasaran sekali dan kumasuki dusun itu, kuceritakan kepada mereka bahwa aku bersedia dijadikan korban menggantikan gadis yang melarikan diri. Aku lalu diantar ke atas puncak, menghampiri sumur itu. Kemudian aku lalu meloncat masuk ke dalam sumur."

   "Akan tetapi, Lan-moi. Bagaimana engkau berani meloncat kedalam sumur yang tidak kelihatan dasarnya itu, dan yang belum kau ketahui bagaimana keadaan di dalamnya?"

   Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Hui Lan tersenyum.

   "Sudah kuperhatikan dengan baik, Kong-ko. Kalau para gadis itu dilempar ke dalam sumur, berarti mereka tentu tidak akan mati ketika tiba di dasar sumur. Kalau mereka itu mati, untuk apa penjahat itu minta korban gadis?"

   "Bukankah yang minta korban gadis itu menurut para penduduk adalah iblis penjaga sumur tua?"

   "Hemm, siapa dapat percaya? Sejak semula aku sudah menduga bahwa hal itu dilakukan penjahat yang pura-pura menjadi setan, dan aku menduga bahwa penjahat itu tidak hanya seorang. Nah, setelah yakin bahwa gadis-gadis itu tidak mati, aku lalu melompat ke dalam sumur, tentu saja aku waspada dan mengerahkan ginkang untuk menjaga kalau-kalau ada bahaya maut mengancam di dasar sumur."

   "Engkau sungguh pemberani sekali, Lan-moi."

   "Engkaupun masuk ke dalam sumur. Entah siapa yang lebih berani, engkau atau aku. nah, setelah tiba di bawah, ternyata ada sehelai jaring yang menangkap aku. begitu tubuhku menyentuh jaring, terdengar suara berkelentingan dan muncul empat orang yang membawa sebuah obor. Aku pura-pura tidak berdaya ketika ditangkap dan sepasang pedangku dirampas."

   

Jodoh Si Mata Keranjang Eps 3 Pendekar Mata Keranjang Eps 40 Kumbang Penghisap Kembang Eps 5

Cari Blog Ini