Ceritasilat Novel Online

Pendekar Kelana 17


Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo Bagian 17



"Kalian mundurlah, jangan menyerang! Hwa-moi, hentikan perkelahian ini!" Bwe Hwa melompat ke belakang dan memandang pemuda itu dengan heran.

   "Mengapa, Kun-ko? Mereka ini hendak menangkap aku!"

   "Hwa-moi, mereka ini adalah para anggauta Kwi-jiauw-pang. Para ketuanya adalah sahabat-sahabat kakek guruku, maka harap kau maafkan mereka yang tidak tahu ini."

   Dia lalu menoleh kepada para anggauta Kwi-jiauw-pang sambil membentak.

   "Kalian keliru menilai orang! Hayo cepat meminta maaf kepada Pek-lihip (pendekar wanita Pek) lalu laporkanlah kepada pimpinan kalian bahwa aku datang bersama Pek-Lihiap yang gagah perkasa ini!"

   Lima belas orang itu lalu mengangkat tangan ke depan dada sambil membungkuk dan berkata,

   "Harap Pek-Lihiap suka maafkan kami!"

   Bwe Hwa yang merasa heran hanya mengangguk. Setelah belasan orang itu pergi, ia bertanya kepada Leng Kun.

   "kun-ko apakah yang telah terjadi? Kenapa engkau nampaknya berhubungan baik sekali dengan Kwi-jiauw-pang?"

   "Tentu engkau menjadi heran, Hwa-moi. Aku sendiripun sama sekali tidak menyangka akan mendapat penyambutan baik dari Kwi-jiauw-pang. Ketika aku mendaki, akupun bertemu dengan belasan orang anggauta Kwi-jiauw-pang dan aku dikeroyok. Aku dapat mengalahkan mereka dan muncullah seorang diantara tiga orang ketua Kwi-jiauw-pang. Setelah kami bertanding, dia mengenal ilmu silatku dan menghentikan perkelahian. Setelah kami bercakap-cakap, ternyata bahwa Toa Pangcu dari Kwi-jiauw-pang dahulunya menjadi sahabat baik kakek guruku. Dia mengenal ilmu silat kakekku itu. Setelah dia tahu bahwa aku cucu murid kakek guruku, dia bersikap baik dan bersahabat. Bahkan ketika aku bicara tentang pedang Pek-lui-kiam, dia mengatakan bahwa diantara sahabat pedang itu tidak perlu diperebutkan. Aku lalu teringat akan engkau, Hwa-moi. Aku khawatir engkau akan terjebak atau dikeroyok, maka aku cepat mencarimu. Marilah kita menghadap tiga orang ketua Kwi-jiauw-pang. Aku telah menceritakan kepada mereka bahwa aku datang bersama seorang sahabatku dan mereka menyatakan mau menerimamu sebagai sahabat pula."

   Tentu saja Bwe Hwa menjadi bingung. Sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa pemegang pedang Pek-lui-kiam akan menyambutnya seperti sahabat! Ayahnya memesan apabila pedang berada di tangan seorang jahat, ia harus merampasnya. Akan tetapi apabila pedang itu menjadi milik seorang pendekar perkasa yang berbudi, ia malah harus membantunya mempertahankan pedang itu dari tangan orang jahat. Ia belum tahu apakah tiga orang ketua Kwi-jiauw-pang itu orang baik-baik ataukah jahat. Akan tetapi ia akan disambut dengan baik sebagai seorang sahabat!

   "Kun-ko, bukankah Kwi-jiauw-pang itu perkumpulan sesat dan para pemimpinnya tentu orang-orang jahat pula?"

   "Sebetulnya mereka bukan orang-orang jahat yang suka melakukan kejahatan, Hwa-moi. Mereka hanya menguasai seluruh rumah pelesir dan rumah judi, darimana mereka mendapatkan sebagian keuntungan. Mereka bertindak jahat terhadap penjahat dan soal mata pencaharian mereka itu sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan kita. Sikap mereka baik, maka kitapun sepantasnya bersikap baik kepada mereka. Maka soal pedang pusaka, kukira tidak perlu menggunakan kekerasan. Kita dapat memintanya dari mereka."

   Bwe Hwa mengerutkan alisnya. Ia tidak dapat percaya begitu saja. Pedang Pek-lui-kiam diperebutkan banyak orang, bagaimana mungkin diserahkan kepadanya begitu saja? Akan tetapi ia percaya kepada Leng Kun. Tak mungkin pemuda itu membohonginya.

   "Hemm, aku ingin menemui mereka dan melihat bagaimana sikap mereka."

   Kata Bwe Hwa dengan hati ingin tahu sekali.

   "Kalau begitu, marilah kita segera menemui mereka sebelum pedang pusaka itu terjatuh ke tangan orang lain."

   Kata Leng Kun dan mereka lalu mendaki puncak bukit Kwi-liong-san. Ia melihat kenyataan bahwa Leng Kun tidak menggunakan jalan setapak, melainkan menyusup diantara pohon dan semak.

   "Kenapa kita mengambil jalan memotong seperti ini?"

   Tanya Bwe Hwa ketika mereka menyusup di antara semak berduri.

   "Jalan setapak menuju ke puncak penuh dengan jebakan, bahkan ada yang diberi racun, maka berbahaya sekali. Aku sudah mendapat petunjuk dari ketiga orang ketua Kwi-jiauw-pang, jalan mana yang harus diambil menuju ke puncak. Jalan ini tidak dipasangi apa-apa maka kita dapat mencapai puncak dengan aman."

   Bwe Hwa menjadi semakin heran.

   "Kenapa Kwi-jiauw-pang mempunyai tiga orang ketua, Kun-ko? Bukankah ketuanya adalah Ang I Sianjin?"

   "Ang I Sianjin hanya menjadi Sam Pangcu (Ketua Ketiga), masih ada Ji Pangcu dan Toa Pangcu. Marilah, Hwa-moi. Engkau akan segera dapat bertemu dan berkenalan dengan mereka."

   Mereka maju dengan cepat karena mereka menggunakan ginkang (Ilmu Meringankan Tubuh). Mereka mendaki seperti orang berlari saja. Tak lama kemudian tibalah mereka di depan pintu gerbang, Bwe Hwa melihat belasan orang anak buah Kwi-jiauw-pang melakukan penjagaan dan melihat Leng Kun, mereka memberi hormat dan membiarkan Leng Kun lewat. Diam-diam Bwe Hwa semakin kagum kepada Leng Kun. Pemuda itu cerdik sekali sehingga dia dapat diterima sebagai sahabat oleh para pimpinan Kwi-jiauw-pang. Ketika mereka memasuki ruangan besar di sebelah kiri bangunan induk yang besar, tiga orang ketua Kwi-jiauw-pang menyambut mereka dengan wajah ramah dan senyum lebar.

   "Selamat datang, Lihiap! Kami telah mendengar tentang kelihaianmu, Pek-Lihiap!"

   Kata Sam Pangcu. Bwe Hwa memandang kepada orang yang menyambutnya itu. Dia seorang kakek berusia enam puluh tahun lebih yang bertubuh tinggi kurus, bermuka pucat dan pakaiannya serba merah. Tahulah dara ini bahwa kakek itu tentu Ang I Sianjin yang dikabarkan orang membunuh pendekar Tan Tiong Bu dan mencuri pedang Pek-lui-kiam. Dan ternyata Ang I Sianjin hanya menduduki jabatan ketua ketiga saja dari Kwi-jiauw-pang. Iapun memperhatikan dua orang kakek yang tersenyum ramah itu. Diam-diam ia terkejut melihat sinar mata mereka yang tajam bersinar, tanda bahwa kedua orang itu memiliki sinkang yang amat kuat.

   Kedua orang itupun sambil tersenyum mengenalkan diri. Yang berkepala besar dan botak, bertelinga lebar sekali dan tubuhnya gendut mengaku sebagai Toa Pangcu. Adapun orang kedua yang mengaku sebagai Ji Pangcu, ketua kedua dari Kwi-jiauw-pang adalah seorang yang menyeramkan. Tubuhnya hanya pendek kurus, akan tetapi rambutnya panjang dan mukanya berambut seperti muka monyet. Kalau ketua pertama berbaju serba putih, ketua kedua ini bajunya serba hitam. Sungguh menyolok perbedaan warna baju ketiga ketua itu. Orang pertama berbaju putih, orang kedua berbaju hitam dan orang ketiga berbaju merah. Mendengar ucapan penyambutan dari Sam Pangcu yang memuji kepandaiannya itu, Bwe Hwa membalas penghormatan mereka dan menjawab.

   "Aku girang sekali bahwa sam-wi pangcu suka menyambut kedatanganku sebagai sahabat. Tentang kelihaian itu, kukira Kun-ko terlalu melebih-lebihkan. Kebisaanku tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan kepandaian sam-wi pangcu."

   "Ha-ha-ha, nona masih amat muda sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi dan pandai pula merendahkan diri, membuat kami kagum sekali!"kata Toa Pangcu.

   "Pek-Lihiap, mari silakan duduk!"

   Kata Ji Pangcu sambil tersenyum. Melihat keramahan tiga orang ketua itu, Bwe Hwa merasa senang. Ia lalu mengambil tempat duduk di sebuah kursi dan tiga orang ketua itu yang duduk sambil mempersilakan Leng Kun. Mereka semua duduk mengelilingi meja. Sam Pangcu lalu bertepuk tangan dan berdatanganlah pelayan-pelayan wanita, membawa bermacam makanan dan minuman. Kiranya semua itu memang sudah dipersiapkan. Melihat ini, tahulah Bwe Hwa bahwa ia akan dijamu makanan, maka ia mengerutkan alisnya dan menolak.

   "Sam-wi pangcu, aku tidak akan lama berada disini, dan jangan merepotkan sam-wi."

   "Aah, mana bisa begitu, Lihiap? Kami telah mendapatkan kehormatan dengan datangnya Pek-Lihiap dan Coa-sicu, maka untuk menyatakan kegembiraan kami, kami menyuguhkan sekedar makanan dan minuman untuk ji-wi (kalian berdua). Setelah makan minum, barulah kita bicara tentang keperluan ji-wi datang ke tempat ini."

   Kata Toa Pangcu. Leng Kun yang duduk di sebelah kiri Bwe Hwa, memandang kepada gadis itu dan berkata lirih,

   "Hwa-moi, mereka telah bersikap baik sekali kepada kita, tidak enak kalau kita menolak hidangan mereka."

   Bwe Hwa terpaksa mengangguk dan berkata,

   "Kedatangan kami merepotkan sam-wi saja."

   Mereka lalu makan minum. Mula-mula Bwe Hwa bersikap hati-hati sekali, tidak mau lebih dulu menyentuh hidangan. Setelah melihat pihak tuan rumah makan, barulah ia berani mengambil hidangan dan makan. Ia selalu waspada dan menjaga diri jangan sampai ia tertipu dan keracunan. Setelah mereka selesai makan dan Sam Pangcu memerintahkan pelayan untuk membersihkan meja, Toa Pangcu berkata kepada Bwe Hwa dan Leng Kun.

   "Nah, sekarang tiba saatnya bagi kita untuk bicara. Kalau boleh kami mengetahui, sebetulnya apakah yang menjadi keperluan ji-wi datang berkunjung ke Kwi-liong-san?"

   Leng Kun dan Bwe Hwa saling pandang dan Leng Kun memberi isarat kepada Bwe Hwa agar gadis itu yang menjawab pertanyaan Toa Pangcu itu. Bwe Hwa mengangguk dan iapun memandang tajam kepada tiga orang ketua yang duduk di depannya.

   "Begini, sam-wi pangcu. Telah lama kami mendengar akan adanya pedang pusaka Pek-lui-kiam dan bahwa banyak tokoh kangouw hendak memperebutkan Pek-lui-kiam. Kami juga medengar bahwa pedang pusaka itu berada di tangan ketua Kwi-jiauw-pang. Nah, karena itulah terus terang saja kami menjadi tertarik dan ingin pula memperebutkan pusaka itu."

   Setelah berkata demikian, sepasang mata yang mencorong dari gadis itu menatapwajah ketiga orang ketua.

   "Hemm, dengan alasan apakah engkau hendak merebut pusaka itu, Pek-Lihiap?"

   Tanya Sam Pangcu.

   "Dengan alasan bahwa pusaka seperti itu tidak boleh terjatuh ke tangan orang jahat, karena hal itu akan membahayakan kehidupan rakyat. Dahulu, ketika pusaka itu berada di tangan pendekar Tan Tiong Bu, tidak ada yang merasa penasaran dan akupun tidak akan mengganggunya. Akan tetapi, Tan Tiong Bu telah terbunuh dan menurut kabar, pembunuhnya adalah Sam Pangcu ini. Tentu Sam Pangcu lebih mengetahui akan hal itu. Nah, setelah mendengar bahwa pendekar Tan terbunuh oleh ketua Kwi-jiauw-pang dan pedang Pek-lui-kiam terampas, maka aku datang ke sini untuk menyelidiki kebenaran berita itu."

   Kini Bwe Hwa memandang tajam wajah kakek berbaju merah itu.

   "Ha-ha-ha-ha!"

   Toa Pangcu tertawa bergelak, perutnya yang gendut bergerak-gerak dan kepala yang besar itu digeleng-gelengkannya.

   "Tidak kami sangkal bahwa Pek-lui-kiam memang berada di tangan kami. Kami tidak ingin berhadapan dengan ji-wi sebagai musuh. Kami sudah menerima kalian sebagai sahabat dan tamu terhormat. Apalagi Coa-sicu ini adalah cucu seorang sahabat baik kami di waktu dulu. Kalau memang Lihiap dan sicu menghendaki Pek-lui-kiam, kami akan menyerahkan pusaka itu dengan suka rela. Akan tetapi, sebagai imbalannya, kami mengharap ji-wi suka membantu kami dalam ancaman bahaya yang kami hadapi sekarang."

   Bwe Hwa saling pandang dengan Leng Kun, dan pemuda itu bertanya kepada Toa Pangcu.

   "Toa Pangcu, harap jelaskan dulu ancaman bahaya apa yang sam-wi hadapi?"

   "Semua gara-gara Pek-lui-kiam. Kini banyak orang kangouw mendatangi bukit ini dan kami merasa khawatir bahwa kami bertiga tidak akan mampu melawan mereka. Karena itu, kami harapkan ji-wi suka membantu kami menghadapi mereka dan setelah itu, Pek-lui-kiam tentu akan kami serahkan kepada Lihiap."

   Bwe Hwa mengerutkan alisnya.

   "Akan tetapi kenapa Ang I Sianjin atau Sam Pangcu membunuh pendekar Tan Tiong Bu dan merampas Pek-lui-kiam?"

   Tanyanya. Sam Pangcu menghela napas panjang.

   "Antara Tan Tiong Bu dan aku terdapat permusuhan pribadi yang besar. Juga pedang Pek-lui-kiam itu dia gunakan untuk membunuh keluargaku. Maka, aku membalas dendam dan merampas Pek-lui-kiam, baru aku mendengar bahwa orang-orang kang-ouw hendak memperebutkan pusaka itu."

   "Kalau kami membantu kalian, pedang pusaka itu akan diserahkan kepadaku?"

   Tanya pula Bwe Hwa.

   "Sekarang juga akan kami serahkan kalalu Lihiap berjanji akan membantu kami menghdapi mereka yang hendak merebut Pek-lui-kiam dari tangan kami."

   Kesangsian Bwe Hwa lenyap.

   "Kalau begitu, aku berjanji untuk membantu sam-wi, asal pedang pusaka itu diserahkan kepadaku sekarang."

   "Ha-ha-ha, agaknya Lihiap belum percaya benar kepada kami, akan tetapi sebaliknya kami telah percaya sepenuhnya kepada Lihiap. Lihiap menghendaki pedang pusaka itu diserahkan dulu? Baik, kami akan serahkan sekarang juga!"

   Toa Ok atau sebagaimana Bwe Hwa mengenalnya sebagai Toa Pangcu menggerakkan tangan kanan ke bawah jubah putihnya dan ketika tangan itu keluar dari balik jubah, dia telah memegang sebatang pedang yang masih berada dalam sarung pedang. Dia menyerahkan pedang itu kepada Bwe Hwa.

   "Terimalah Pek-lui-kiam ini, Lihiap!"

   Girang bukan main rasa hati Bwe Hwa. Tak pernah disangkanya bahwa ia akan dapat memiliki Pek-lui-kiam sedemikian mudahnya. Ia menerima pedang itu. Akan tetapi ia tidak mau ditipu. Harus diperiksanya dulu pedang itu, baru ia akan percaya. Bwe Hwa mencabut pedang itu dari sarung pedang dan nampaklah sinar berkilauan ketika pedang tercabut. Pedang itu indah sekali dan mengeluarkan sinar yang menyilaukan mata. Bwe Hwa menimang-nimang pedang itu dan wajahnya berseri.

   "Pek-lui-kiam...!"

   Gadis itu berseru girang. Ia belum pernah melihat Pek-lui-kiam, akan tetapi pedang itu mengeluarkan sinar kilat dan merupakan pedang pusaka yang indah sekali. Maka ia percaya dan menyarungkan kembali pedang itu.

   "Terima kasih, sam-wi pangcu. Jangan khawatir kalau ada orang berani datang ke sini untuk merampas pedang ini, aku akan membantu sam-wi melawannya. Juga Kun-ko tentu akan senang membantu, bukan?"

   Leng Kun memandang dengan wajah berseri dan mata bersinar, tanda bahwa dia merasa bergembira sekali dan tidak merasa iri hati melihat betapa Bwe Hwa menerima Pek-lui-kiam itu.

   "Tentu saja, Hwa-moi. Kita akan tinggal disini selama satu bulan dan selama itu kita berdua akan membantu Kwi-jiauw-pang menghadapi musuh yang hendak mencuri atau merampas pedang!"

   Bwe Hwa mengerutkan alisnya. Satu bulan? Terlalu lama baginya. Akan tetapi karena pedang pusaka telah diserahkan kepadanya, iapun merasa tidak enak kalau menolak. Demikianlah, mulai hari itu Bwe Hwa mendapatkan sebuah kamar di bangunan induk itu. Demikian pula Leng Kun mendapatkan sebuah kamar yang berdekatan dengan kamar Bwe Hwa. Biarpun pedang pusaka Pek-lui-kiam telah berada di tangannya dan pihak tuan rumah kelihatan bersikap baik kepadanya, namun Bwe Hwa masih bersikap waspada dan berhati-hati. Bahkan ia memperingatkan Leng Kun pada malam itu sebelum mereka memasuki kamar masing-masing.

   "Kun-ko, kuharap engkau waspada, jangan sampai kita terjebak."

   "Aih, Hwa-moi. Siapa yang akan menjebak kita?"

   "Siapa lagi, tentu pimpinan Kwi-jiauw-pang."

   "Ah, kenapa kita harus curiga kepada mereka, Hwa-moi? Mereka bersikap baik sekali kepada kita, bahkan Pek-lui-kiam telah diserahkannya kepadamu. Aku sudah percaya sepenuhnya kepada tiga orang ketua itu, Hwa-moi."

   "Syukurlah kalau benar mereka baik kepada kita. Akan tetapi bagaimana pun juga kita harus berhati-hati. Akan tetapi jangan mencurigai mereka. Siapa tahu kebaikan mereka itu ada pamrih yang tersembunyi?"

   "Baik, Hwa-moi, aku akan berhati-hati. Akan tetapi jangan mencurigai mereka. Mereka telah berbuat baik terhadap kita, kalau kita membalasnya dengan kecurigaan, bukankah itu kurang adil?"

   "Maksudku bukan mencurigai siapapun, hanya kita harus tetap waspada dan hati-hati karena bahaya dapat datang dari mana saja."

   "Baik, Hwa-moi, selamat tidur."

   Mereka memasuki kamar masing-masing, akan tetapi tak lama kemudian Leng Kun keluar dari kamarnya untuk mengadakan perundingan rahasia dengan para pimpinan Kwi-jiauw-pang. Tentu saja hal ini sama sekali tidak pernah terbayangkan oleh Bwe Hwa. Ia tidak menyadari bahwa yang dikhawatirkannya itu bahkan datang dari orang yang paling dipercayanya saat itu.

   Malam itu bulan purnama nampak terang karena tidak ada awan menutupinya. Bulan menebarkan cahayanya yang lembut, mendatangkan pemandangan yang indah namun penuh rahasia. Di tempat-tempat tertentu yang sunyi senyap, cahaya itu bahkan membuat tempat itu menjadi seram dan mendatangkan bayangan khayal yang bukan-bukan dan menakutkan. Demikian pula keadaan di sekitar puncak Kwi-liong-san. Hutan-hutan di sekeliling puncak, di lereng-lereng itu jarang didatangi manusia dan nampak sunyi sepi menyeramkan pada malam bulan purnama itu. Tak jauh dari puncak, dalam hutan cemara yang tidak begitu lebat sehingga cahaya bulan dapat menerangi tanah di bawah pohon-pohon cemara itu, memang sunyi sekali. Hanya suara jengkerik dan belalang yang memenuhi tempat itu. Menjelang tengah malam, tiba-tiba suara jengkerik dan belalang itu terdiam. Lalu nampak sesosok bayangan manusia melangkah ke depan memasuki hutan itu. Gerakan inilah yang menghentikan suara jengkerik dan belalang itu.

   Dari jauh bayangan itu kelihatan hitam dan menyeramkan. Tentu orang akan menyangka dia siluman atau setan, berjalan seorang diri di waktu malam seperti itu. Akan tetapi kalau orang berada di dekatnya, tentu akan melihat bahwa dia seorang manusia, sudah berusia enam puluh tahun. Bentuk tubuhnya sedang saja, akan tetapi wajahnya masih kelihatan tampan. Dipunggungnya tergantung sebatang pedang. Ketika melihat sebuah batu besar yang datar, orang itu berhenti melangkah, lalu sekali bergerak tubuhnya sudah bersila di atas batu besar. Dia duduk dan diam tidak bergerak seolah telah berubah menjadi arca di atas batu itu. Jengkerik dan belalang mulai bersuara lagi, riuh rendah seperti merayakan keindahan malam bulan purnama itu. Kakek ini tidak tahu kalau dibelakangnya, dibalik semak belukar, terdapat dua orang yang juga melewatkan malam di tempat itu. Mereka kini mengintai dari balik semak-semak.

   "Wah, itu Ayahku...!"

   Bisik Siangkoan Cu Yin kepada temannya yang bukan lain adalah Tio Gin Ciong, putera Datuk Timur yang berjuluk Tung-giam-ong (Raja Maut Dari Timur). Kedua orang muda ini melakukan perjalanan bersama untuk ikut memperebutkan pedang pedang pusaka Pek-lui-kiam di bukit Kwi-liong-san. Mereka kemalaman dan terpaksa melewatkan malam di hutan cemara itu. Dua orang muda yang lihai ini dapat mencapai tempat itu dan menghindarkan diri dari jebakan yang dipasang di sepanjang jalan.

   Karena hutan cemara itu sudah dekat dengan puncak, mereka ingin melewatkan malam di tempat itu dan besok baru mendaki puncak. Agar tidak kelihatan para penghuni puncak, mereka memilih tempat yang tersembunyi di balik semak-semak itu. Mereka dikelilingi semak belukar sehingga tidak akan dapat terlihat dari arah manapun. Bahkan mereka tidak berani membuat api unggun, hanya mempergunakan sinkang mereka untuk menahan serangan hawa dingin. Selagi mereka bersembunyi itu, mereka melihat gerakan orang yang kini duduk di atas batu besar. Siangkoan Cu Yin segera mengenal Ayahnya. Tio Gin Ciong adalah puteri datuk besar dari timur, akan tetapi melihat datuk besar dari selatan ini, diapun merasa jerih. Dia melakukan perjalanan dengan puteri datuk itu, dia khawatir kalau datuk itu marah-marah.

   "Ssttt... itu disana ada gerakan orang. Kita lihat saja dulu..."

   Siangkoan Cu Yin mengangguk dan diapun melihat gerakan orang-orang di depan, orang-orang yang merangkak mendekati batu yang di duduki Ayahnya.

   Ia juga tidak tergesa menegur Ayahnya, takut kalau Ayahnya marah melihat ia bersama seorang pemuda di hutan yang sunyi itu pada malam hari. Kini orang-orang yang merangkak sudah tiba dekat. Ternyata mereka adalah lima orang anggauta Kwi-jiauw-pang. Melihat ada orang berani memasuki tempat itu, lima orang anggauta Kwi-jiauw-pang ini mengintai. Akan tetapi mereka tidak berani turun tangan karena cuaca yang remang-remang membuat mereka tidak dapat melihat kakek itu dengan baik. Maka mereka hanya melakukan penjagaan saja, ingin melihat apa yang akan di lakukan orang itu kalau malah sudah berganti pagi. Melihat lima orang tidak hanya bersembunyi dan tidak melakukan gerakan apapun, Gin Ciong berbisik.

   "Kita bersembunyi saja, tunggu perkembangan lebih lanjut. Engkau tidurlah, aku akan berjaga."

   Siangkoan Cu Yin mengangguk. Petak rumput yang dikelilingi semak belukar itu cukup lebar, ada tiga meter persegi. Ia lalu merebahkan dirinya di atas rumput. Diam-diam ia berpikir mengapa Ayahnya berada di tempat itu. Ia yakin bahwa Ayahnya tentu telah mengetahui gerakan lima orang tadi, akan tetapi sengaja diam saja. Kalau ia dan Gin Ciong, tentu belum di ketahui Ayahnya. Mereka sama sekali tidak bergerak dan bicarapun bisik-bisik, tentu bisikan mereka tertutup oleh suara jengkerik dan belalang yang riuh rendah itu. Sambil merebahkan dirinya, Cu Yin memandang kepada Gin Ciong dari samping. Seorang pemuda yang baik dan ramah kepadanya dan ia dapat menduga bahwa putera datuk besar dari timur ini jatuh hati kepadanya. Ucapan, gerak-gerik dan pandang mata pemuda itu membuka semua rahasia hatinya.

   Ia suka mengadakan perjalanan bersama pemuda ini, sebagai sahabat karena ia sama sekali tidak mencintainya. Hatinya telah dipenuhi oleh bayangan Si Kong dan agaknya tidak mungkin ia dapat mencinta pria lain. Di manakah kini Si Kong berada? Menurut perkiraannya, tentu pemuda itu juga berada di sekitar tempat ini. Jantungnya berdebar penuh ketegangan kalau ia membayangkan dapat bertemu dengan Si Kong di Kwi-liong-san. Sebetulnya inilah yang menariknya dan mau pergi ke Kwi-liong-san bersama Gin Ciong. Harapan bertemu dengan Si Kong! Malam yang indah itu lewat dengan cepatnya. Cahaya bulan segera memudar begitu matahari menggantikan singgasananya. Cu Yin telah bangun dari tidurnya. Ia mendapatkan Gin Ciong duduk bersila seperti orang sedang samadhi. Dia menoleh ketika mendengar gerakan Cu Yin.

   "Dapat tidur nyenyak?"

   Tanya Gin Ciong. Cu Yin menganguk.

   "Kenapa engkau tidak mengaso dan tidur, Ciong-ko?"

   "Aku sudah cukup beristirahat, akan tetapi Ayahmu masih belum bergerak, agaknya sedang tenggelam dalam samadhinya."

   Cu Yin memandang ke arah Ayahnya. Jarak di antara mereka dan Lam Tok Siangkoan Lok kurang lebih lima puluh meter. Benar saja seperti yang dikatakan Gin Ciong, orang tua itu masih duduk seperti semalam, sedikitpun tidak bergerak seperti orang tidur.

   "Jangan ganggu dia, kita lihat saja perkembangannya. Ayahku datang ke tempat ini tentu ada maksudnya. Mungkin dia sendiri hendak turun tangan merampas Pek-lui-kiam. Orang-orang yang mengintai itu apakah masih ada?"

   "Masih ada, bahkan sekarang jumlah mereka menjadi sepuluh orang. Akan tetapi mereka belum turun tangan dan hanya mengintai. Itu di belakang semak belukar itu, dan ada pula yang berada di balik pohon besar."

   "Aku yakin Ayahku telah melihat mereka atau telah mengetahui bahwa ada orang-orang mengintainya. Kita tunggu saja apa yang akan terjadi. Ayah paling benci kalau ada orang bermaksud menolongnya."

   Gin Ciong mengangguk dan mereka berdua kini menanti dan mengintai dengan hati tegang. Apalagi ketika mereka melihat sepuluh orang itu perlahan-lahan keluar dari tempat pengintaian mereka dan berindap menghampiri Lam Tok dari belakang, seperti sepuluh orang pemburu hendak menyergap harimau. Kuku-kuku cakar setan yang disambung tangannya itu berkilauan saking tajam dan runcingnya.

   "Ayahmu terancam bahaya."

   Bisik Gin Ciong. Cu Yin tersenyum mengejek.

   "Bukan Ayah, melainkan sepuluh orang itu yang akan mampus!"

   Dengan hati-hati sepuluh orang itu menghampiri Lam Tok yang nampaknya tidak tahu apa-apa dan sedang tidur sambil duduk bersila. Setelah para anggauta Kwi-jiauw-pang itu berada dalam jarak sepuluh meter, tiba-tiba serentak mereka menyambitkan senjata rahasia ke arah punggung Lam Tok. Senjata rahasia mereka itu adalah pisau belati yang berwarna menghitam, tanda bahwa pisau itu telah direndam racun yang amat ganas. Hampir saja Gin Ciong berteriak, akan tetapi tangan Cu Yin menyentuh tangannya dan ketika dia menengok Cu Yin menggeleng kepalanya. Gin Ciong cepat memandang lagi ke depan. Dia melihat betapa pisau-pisau itu beterbangan mengarah tubuh belakang Lam Tok. Akan tetapi kakek itu sama sekali tidak mengelak maupun menangkis!

   "Tuk-tuk-tuk...!"

   Terdengar suara nyaring ketika pisau-pisau terbang itu mengenai punggung Lam Tok dan senjata rahasia itupun runtuh seakan yang dijadikan sasaran adalah baja yang kuat sekali. Gin Ciong terbelalak dan kagum sekali. Orang tua itu ternyata memiliki kekebalan luar biasa dan sungguh berani menerima pisau terbang yang mengandung racun itu dengan punggungnya! Akan tetapi dia lalu teringat akan julukan datuk itu. Lam tok (Racun Selatan) dari nama julukan ini saja sudah dapat diduga bahwa dia tentulah seorang ahli racun, maka berani membiarkan punggungnya diserang pisau-pisau beracun.

   Para anggauta Kwi-jiauw-pang menjadi marah dan penasaran sekali melihat betapa orang yang mereka jadikan sasaran itu tidak roboh ketika terkena pisau-pisau beracun, bahkan pisau-pisau itu runtuh ke atas tanah. Mereka lalu berloncatan menyerbu. Yang mereka serang adalah bagian tubuh sebelah belakang datuk itu, dari kepala sampai ke bawah punggung. Tiba-tiba datuk yang bersila seperti arca tanpa bergerak-gerak itu membuat gerakan dengan kedua tangannya di gerakkan ke belakang. Nampak sinar berkilat dan dari kedua tangannya menyambar empat batang panah tangan. Terdengar teriakan keras ketika empat orang diantara para penyerbu itu terpelanting roboh dan tewas seketika karena anak panah itu mengandung racun yang mematikan. Enam orang yang lain terkejut dan marah sekali. Mereka terus menubruk ke depan dengan nekat.

   "Hemmm...!"

   Kakek itu mengeluarkan gerengan dan tubuhnya berputar dalam keadaan masih duduk bersila. Ketika cakar-cakar setan itu menyambar ke arah tubuhnya, Lam Tok menyambut dengan kedua tangannya. Jari-jari tangannya membentuk cakar burung garuda dan begitu kedua tangannya bergerak, dia telah mencengkeram cakar-cakar setan itu.

   Sekali cengkeram, cakar-cakar setan itu berikut tangannya menjadi hancur! Enam orang anggauta Kwi-jiauw-pang itu berteriak kesakitan dan meloncat ke belakang. Akan tetapi mereka segera mengaduh-aduh dan menggerak-gerakkan tangan mereka yang ikut hancur bersama cakar setannya, demikian mereka roboh bergulingan saking nyerinya. Kiranya tangan mereka bukan hanya hancur dicengkeram, akan tetapi juga telah keracunan hebat yang menjalar dengan cepat menuju ke jantung! Tak lama mereka berkelojotan, lalu diam tak bergerak lagi. Tewaslah sepuluh orang anak buah Kwi-jiauw-pang itu dalam keadaan yang mengerikan. Lam Tok masih duduk bersila ketika dia menoleh ke arah semak belukar dimana Cu Yin dan Gin Ciong bersembunyi. Lalu terdengar suaranya yang galak.

   "Kalian berdua yang bersembunyi dalam semak, keluarlah cepat kalau kalian tidak ingin mampus seperti mereka itu!"

   Gin Ciong terkejut dan jantungnya berdebar kencang. Akan tetapi Cu Yin berkata kepadanya,

   "Ciong-ko, mari kita keluar menemui Ayahku."

   Gadis itu lalu meloncat keluar dari semak belukar diikuti oleh Gin Ciong. Ia segera menghampiri Ayahnya dan berkata dengan manja.

   "Ayah...!!"

   Lam Tok membuka matanya dan memandang kepada puterinya yang sudah bergantung pada pundaknya dengan gaya manja sekali.

   "Hemm, kau anak nakal! Mau apa engkau bersembunyi disana? Dan siapa pula pemuda itu?"

   Dia menudingkan ke arah Gin Ciong yang sudah mengangkat kedua tangan depan dada sambil memberi hormat dengan membungkukkan badannya.

   "Dia kenalanku yang baru, Ayah. Kami melakukan perjalanan ke Kwi-liong-san ini untuk menyelidiki tentang Pek-lui-kiam. Enkau tentu tidak dapat menebak siapakah pemuda ini!"

   Lam Tok memandang kepada pemuda itu dengan sinar mata penuh selidik. Sambil tersenyum menggoda Cu Yin berkata pula.

   "Ayah, aku ingin menguji kecerdikan Ayah. Coba Ayah menebak siapa pemuda ini, kalau dapat menebak aku akan melakukan apa saja sekehendak hati Ayah tanpa membantah, akan tetapi kalau tidak dapat menebak, Ayah harus merampas Pek-lui-kiam untukku!"

   Lam Tok menggumam,

   "Hemmmm, apa sukarnya?"

   Tiba-tiba tubuhnya yang tadi duduk bersila di atas batu, telah melayang turun dan dia sudah berdiri di depan Gin Ciong.

   "Sambutlah!"

   
Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Serunya dan lengan bajunya yang lebar dan panjang sudah menyambar ke arah muka Gin Ciong. Cepat dan kuat sekali ujung lengan baju itu menyambar sehingga Gin Ciong menjadi terkejut sekali. Akan tetapi pemuda ini sejak kecil sudah digembleng ilmu silat oleh Ayahnya, dia memiliki gerakan cepat. Begitu ujung lengan baju menyambar, dia sudah dapat mengelak dengan gesit sekali.

   "Locianpwe... apa kesalahanku...!"

   Dia menegur.

   "Tidak usah banyak cakap. Sambulah ini...!"

   Kembali ujung lengan baju itu menyambar, kini dua ujung lengan baju yang menyambar dari kanan kiri dengan dahsyat sekali. Gin Ciong maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang datuk besar yang wataknya aneh, seperti juga Ayahnya. Aneh, tidak perduli dan dapat pula bersikap kejam sekali seperti yang diperlihatkan Lam Tok ini terhadap semua anak buah Kwi-jiauw-pang. Dia harus membela diri kalau tidak ingin mati konyol. Kembali Gin Ciong mengelak dengan loncatan ke belakang dan selanjutnya dia membela diri dengan ilmu silat Hek-wan-kun (Silat Lutung Hitam). Gerakannya menjadi gesit sekali seperti seekor lutung, kadang dia bergulingan dan berloncatan untuk menghindarkan diri dari kurungan sinar ujung lengan baju yang menyambar-nyambar.

   "Ayah tidak boleh membunuhnya. Kalau Ayah membunuh atau melukai, berarti Ayah kalah bertaruh!"

   Lam Tok tidak menjawab, akan tetapi kedua tangannya bergerak semakin cepat. Beberapa kali Gin Ciong nyaris terpukul. Melihat kenyataan bahwa ilmu silat Lutung Hitam itu tidak mampu menolongnya, pemuda itu lalu mengeluarkan suara memekik nyaring dan dia mengubah ilmu silatnya. Ilmu silat yang dimainkan itu sungguh dahsyat, bersifat keras dan setiap gerakan serangan merupakan serangan maut! Dia telah memainkan ilmu silat simpanannya yanitu Giam-ong Sin-kun (Silat Sakti Raja Maut) dan pekikan tadi menunjukkan bahwa dia telah mengerahkan tenaga Ji-hwe-kang (Tenaga Api Matahari)!

   "Dukk! Dess...!"

   Pertemuan antara tangan Lam Tok dan Gin Ciong tidak dapat dihindarkan lagi dan pemuda itu terhuyung ke belakang, akan tetapi dapat menguasai dirinya sehingga tidak sampai terjengkang. Lam Tok berdiri tegak, lalubertolak pinggang dengan tangan kanan sedangkan tangan kirinya mengelus jenggotnya. Dia tertawa bergelak.

   "Ha-ha-ha-ha, dengan mudah saja aku mengalahkanmu dalam taruhan ini, Cu Yin!"

   Cu Yin yang cerdik segera tahu bahwa Ayahnya memaksa pemuda itu mengeluarkan ilmu-ilmu silatnya dan melalui ilmu silat inilah Ayahnya mengenal siapa adanya pemuda itu. Akan tetapi untuk menyenangkan hati Ayahnya, ia pura-pura mengejek,

   "Ayah tidak akan tahu. Hayo siapa dia kalau Ayah sudah menegetahuinya?"

   "Pemuda ini tentu putera Tung-giam-ong Tio Sun, datuk majikan Pulau Biruang di Lautan Timur!"

   "Ayah ngawur! Bagaimana Ayah dapat mengetahuinya? Ayah tentu asal menebak saja!"

   Kata puterinya.

   "Hemm, anak nakal. Apa kau kira engkau sendiri yang cerdik dan banyak akal? Ayahmu lebih cerdik lagi. Aku sengaja menyerangnya dan pemuda ini mengeluarkan ilmu-ilmu silatnya, maka tahulah aku bahwa ilmu silat itu adalah ilmu silat Tung-giam-ong."

   "Akan tetapi, setiap orang murid dari Tung-giam-ong tentu dapat memainkan ilmu silat itu. Bagaimana engkau tahu bahwa dia adalah putera Tung-giam-ong?"

   "Ketika dia memainkan Hek-wan-kun silat monyet itu, aku sudah tahu bahwa dia murid Pulau Biruang. Untuk menyelidiki lebih jauh, aku sengaja mendesaknya sehingga dia terpaksa mengeluarkan ilmu silat simpanan seperti Giam-ong Sin-kun dan mengerahkan tenaga Jut-hwe-kang sehingga dia mampu bertahan ketika mengadu tangan denganku. Tidak mungkin setiap orang murid diberi pelajaran ilmu simpanan itu maka aku menduga bahwa dia tentu putera datuk timur itu."

   Gin Ciong yang mendengar percakapan itu diam-diam merasa amat kagum kepada Lam Tok. Akan tetapi Cu Yin yang merasa kalah bertaruh menjadi cemberut dan ia bertanya kepada Ayahnya.

   "Aku kalah, dan Ayah boleh menyuruh aku melakukan apa saja!"

   Lam Tok terawa dan mengelus jenggotnya, lalu memandang kepada Tin Gin Ciong,

   "Siapa namamu?"

   "Saya bernama Tio Gin Ciong, Locianpwe."

   "Mana Ayahmu? Apakah dia belum datang?"

   Gin Ciong menjadi bingung.

   "Saya... saya tidak tahu kalau Ayah akan datang ke sini."

   "Dia tentu datang, kalau tidak dia akan mendapatkan sebuah julukan tambahan, yaitu Si Pengecut!"

   Gin Ciong diam saja, tidak berani menjawab, takut salah bicara. Datuk ini lalu memandang puterinya.

   "Anak nakal, apakah engkau mencinta Tio Gin Ciong ini?"

   Pertanyaan itu seperti todongan ujung pedang saja, membuat Cu Yin gelagapan dan salah tingkah. Juga Gin Ciong memandang dengan wajah merah, lalu menundukkan mukanya. Kalau dia yang ditanya apakah dia mencinta Cu Yin, tentu akan di jawabnya seketika dengan anggukan kepala!

   "Ayah ini mengajukan pertanyaan yang aneh-aneh saja!"

   Kata Cu Yin pura-pura marah.

   "Cu Yin, sejak kapan engkau menjadi seorang gadis yang plintat-plintut dan tidak dapat dipercaya janjinya? Engkau telah kalah bertaruh denganku dan menurut segala perintahku. Sekarang baru ditanya apakah engkau mencinta Gin Ciong, engkau sudah membantah dan tidak segera menjawab!"

   "Ayah, aku hendak menguji lagi kecerdikanmu. Nah, sekarang katakanlah apa aku mencinta Gin Ciong atau tidak dan kemukakan alasanmu!"

   Dengan sikap menantang Cu Yin memandang Ayahnya. Ia tahu benar akan watak Ayahnya yang tidak pernah mundur menghadapi tantangan apapun dan dari siapapun juga. Lam Tok mengangguk-angguk dan mengelus jenggotnya, memandang dengan penuh selidik ke arah wajah puterinya, lalu menjawab,
(Lanjut ke Jilid 17)

   Pendekar Kelana (Seri ke 12 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 17
"Hemm, dimatamu tidak ada cahaya dari seorang yang mencinta kalau engkau memandang kepada Gin Ciong. Seorang wanita yang mencinta seorang pria, biarpun pada lahirnya disembunyikan, namun ia tidak dapat menyembunyikan perasaannya itu lewat pandang matanya kalau ia memandang pria yang dicintanya. Tidak, engkau tidak mencintai Gin Ciong ini!"

   Tentu saja Gin Ciong merasa seperti ditusuk jantungnya mendengar ucapan yang terus terang antara anak dan Ayahnya itu. Benarkah Cu Yin tidak mencintanya? Dia sendiri sudah mencinta gadis itu dengan seluruh perasaannya. Biarpun dia merasa salah tingkah dan canggung sekali menghadapi percakapan yang menyangkut dirinya itu, kini Gin Ciong memberanikan hatinya untuk mengangkat muka dan mengamati wajah Cu Yin penuh perhatian. Diapun ingin sekali mendengar jawaban Cu Yin dan mengharapkan jawaban itu akan menyangkal pendapat orang tua itu. Cu Yin memandang kepadanya dan gadis ini maklum bahwa jawabannya akan menyakiti hati pemuda itu, maka iapun berkata dengan lembut.

   "Cing-ko, harap engkau dapat mengerti dan memaafkan pengakuanku ini. Terhadap Ayah aku tidak mungkin dapat berbohong. Ayah benar, aku kagum kepada Ciong-ko dan suka menjadi sahabatnya, akan tetapi aku tidak mencintainya seperti seorang wanita mencintai pria."

   Lam Tok menghela napas panjang.

   "Sayang, kalau engkau berjodoh dengan putera Tung-giam-ong, hal itu baik sekali, sama dengan mempersatukan dua kekuatan yang saling bertentangan. Engkau mendengar sendiri ucapan anakku, Gin Ciong. Dan bagaimana dengan keputusanmu? Engkau mencinta anakku, hal itu sudah jelas nampak pada wajahmu!"

   Gin Ciong memberi hormat kepada Lam Tok.

   "Saya sudah tahu, Locianpwe. Bairpun saya jatuh cinta kepada Yin-moi sejak pertemuan pertama, namun ia tidak mencintaku, hanya suka bersahabat denganku. Saya tahu benar bahwa ia mencinta seorang pemuda lain yang bernama Si Kong, akan tetapi saya tidak putus asa, saya mengharapkan akan tiba saatnya cinta Yin-moi kepadaku akan berubah."

   Gin Ciong memandang kepada Cu Yin dengan mesra.

   "Hemm, benarkah engkau mencinta seorang pemuda yang bernama Si Kong, Cu Yin? Orang macam apakah dia itu?"

   "Aku memang mencintanya, akan tetapi aku juga membencinya, Ayah."

   "Ha-ha-ha-ha-ha!"

   Lam Tok tertawa bergelak dengan kepala didongakkan dan tangan kiri mengelus jenggotnya. Dia kelihatan gembira bukan main.

   "Bukan puteri Lam Tok kalau tidak dapat membenci sekaligus mencinta! Engkau mencintanya, hal itu adalah urusan hati, tidak perlu dipertanyakan lagi, akan tetapi engkau membencinya, hal itu tentu ada penyebabnya. Mengapa engkau membencinya, anakku?"

   "Habis, dia tidak menyambut uluran cintaku, Ayah. Dia berani menolak cintaku dan menolak ketika hendak kuajak melakukan perjalanan bersamaku. Padahal, dia selalu bersikap baik kepadaku, juga ketika aku menyamar pria dan dia belum tahu bahwa aku wanita."

   Lam Tok mengerutkan alisnya yang tebal.

   "Hemmmm..., keparat! Bagaimana mungkin ada pemuda yang menolak cintamu? Dia tentu gila, atau sombong! Katakan padaku dimana dan aku akan menghajarnya sampai dia mampus!" Untuk mencari muka, Gin Ciong segera berkata,

   "Sebetulnya Si Kong itu sudah terjatuh ke tangan kami, Locianpwe. Akan tetapi ketika saya hendak membunuhnya, Yin-moi melarangku."

   Cu Yin mengerutkan alisnya dan menatap wajah Gin Ciong dengan tajam dan mencela.

   "Kalau engkau mampu mengalahkan dan menjatuhkan Si Kong, aku tentu tidak akan melarangmu, Ciong-ko. Akan tetapi Si Kong roboh oleh racunku, dan terserah kepadaku dia akan dibunuh atau tidak!"

   Mendengar kata-kata yang mengomelinya itu, Gin Ciong menutup mulutnya dan menunduk. Sebaliknya Lam Tok merasa penasaran mendengar bahwa putera Tung-giam-ong itu tidak mampu merobohkan pemuda bernama Si Kong yang dicinta puterinya akan tetapi tidak mau menyambut uluran cintanya.

   "Hemm, sampai dimanakah ilmu kepandaian bocah bernama Si Kong itu?"

   Kembali Gin Ciong menjawab karena didorong oleh rasa iri dan cemburu.

   "Dia lihai dan sombong sekali, Locianpwe, karena dia adalah murid Pendekar Sadis Ceng Thian Sin!"

   Mendengar nama Pendekar Sadis ini Lam Tok mengerutkan alisnya dan jelas bahwa dia terkejut. Nama julukan Pendekar Sadis bukan nama kosong, bahkan Lam Tok sendiri diam-diam jerih terhadap nama besar Pendekar Sadis itu.

   "Hemm, jadi dia murid Pendekar Sadis? Dan engkau mencintanya, Cu Yin, cinta yang ditolak oleh pemuda itu?"

   "Aku mencintanya dan juga membencinya, Ayah."

   "Kebencian terdorong oleh perasaan kecewa karena cintamu ditolak olehnya. Kalau dia menerima cintamu, apakah engkau masih akan membencinya?"

   Dengan kedua pipi merah dan senyum manis sekali Cu Yin berkata,

   "Kalau dia menyambut cintaku, tentu saja aku tidak lagi membencinya."

   "Dan dimana sekarang dia berada?"

   "Dia pernah mengatakan bahwa diapun hendak menyelidiki tentang Pek-lui-kiam di bukit ini."

   "Bagus! Kalau aku bertemu dengan dia, aku akan membuka matanya bahwa puteriku itu masih terlampau berharga baginya, maka dia harus menyambut cintamu."

   "Bagaimana kalau dia menolak, Locianpwe?"

   Tanya Gin Ciong, membakar hati datuk itu. Lam Tok mengepal tinju tangannya.

   "Kalau dia tetap menolak, dia akan mampus ditanganku!"

   Cu Yin mengerutkan alisnya, akan tetapi ia tidak berkata sesuatu karena maklum bahwa sekali Ayahnya mengambil keputusan, tidak akan ditariknya kembali. Ia merasa khawatir sekali akan keselamatan Si Kong setelah Ayahnya mengambil keputusan seperti itu.

   "Ayah akan mendaki puncak bersama kami?"

   Tanya Cu Yin.

   "Tidak. Engkau lanjutkan pendakianmu bersama Gin Ciong. Dengan bekerja sama, kalian berdua akan dapat membela diri dengan baik. Aku akan mengambil jalanku sendiri. Pergilah!"

   "Sampai jumpa, Ayah."

   Cu Yin lalu melangkah pergi, mulai mendaki puncak. Gin Ciong segera memberi hormat kepada Lam Tok, lalu cepat dia berlari menyusul Cu Yin. Belum lama Lam Tok meninggalkan pula tempat itu dimana menggeletak sepuluh orang anak buah Kwi-jiauw-pang itu muncul sepasang orang muda yang mempergunakan ilmu berjalan cepat. Mereka adalah Si Kong dan Tang Hui Lan yang melakukan perjalanan bersama menuju puncak Kwi-liong-san untuk menyelidiki tentang Pek-lui-kiam yang kabarnya terjatuh ke tangan Ang I Sianjin ketua Kwi-jiauw-pang. Hui Lan yang lebih dulu melihat mayat bergelimpangan itu.

   "Kong-ko, lihat...!"

   Ia menuding ke kiri. Ketika Si Kong menengok, diapun melihat mayat-mayat itu dan mengajak Hui Lan untuk menghampiri tempat itu dan melakukan penyelidikan. Si Kong meraba leher satu diantara mayat-mayat itu.

   "Masih hangat tubuh mereka, baru saja mereka terbunuh. Lihat, darahpun masih belum kering benar."

   Hui Lan ikut berjongkok memeriksa dan iapun mengangguk-angguk membenarkan keterangan Si Kong yang sudah berjongkok dekat mayat lain.

   "Enam orang diantara mereka mati keracunan dengan cakar tangan dan tangan hancur lebur. Mereka jelas orang-orang Kwi-jiauw-pang, dapat dilihat dari cakar-cakar setan ini. Akan tetapi yang ini... ahhh, Siangkoan Cu Yin yang telah membunuh mereka...!"

   "Siangkoan Cu Yin?"

   Hui Lan mendekati Si Kong.

   "Apa buktinya bahwa ia yang membunuh mereka ini?"

   "Lihat ini. Empat orang ini tewas dengan anak panah menancap di tubuh mereka. Aku mengenal senjata rahasia ini sebagai milik Siangkoan Cu Yin."

   "Hemm, mengapa ia begini ganas dan kejam?"

   Si Kong menghela napas panjang, seolah menyesal atas kekejaman yang dilakukan Siangkoan Cu Yin.

   "Ingat, ia adalah puteri Lam Tok, maka perbuatannya ini tidak aneh. Apalagi kalau ia diserang lebih dulu. Wataknya memang keras sekali!"

   Hui Lan mengangguk-angguk, teringat betapa ia dan Si Kong hampir mati keracunan yang dilakukan oleh Siangkoan Cu Yin.

   "Kalau ia mencari Pek-lui-kiam, perbuatannya ini salah sama sekali. Dengan membunuhi anak buah Kwi-jiauw-pang, berarti ia menanam permusuhan dengan perkumpulan itu dan pasti ketuanya tidak mau menyerahkan Pek-lui-kiam kepadanya."

   "Engkau benar, Lan-moi. Engkau tunggu sebentar, aku akan mengurus mayat-mayat ini."

   "Apa yang hendak kau lakukan, Kong-ko?"

   "Mengubur mayat-mayat ini tentu saja. Kasihan kalau mereka dibiarkan membusuk disini dan menjadi makanan binatang buas. Pula, dengan mengubur mereka, pihak Kwi-jiauw-pang tidak akan tahu bahwa sepuluh orang anak buah mereka dibunuh Siangkoan Cu Yin."

   Hui Lan mengangguk dan diam-diam ia merasa kagum terhadap pemuda ini. Seorang pemuda berkepandaian tinggi yang baik budi. Ia tidak merasa heran kalau seorang gadis yang keras hati seperti Siangkoan Cu Yin jatuh hati kepada Si Kong. Ia sendiri memiliki watak yang keras, akan tetapi kekerasan hatinya masih terkendali dan bukan ingin menang sendiri seperti Siangkoan Cu Yin. Ia lalu membantu Si Kong menggali lubang tanpa berkata apa-apa dan Si Kong menerima bantuan ini dengan senang hati. Akan tetapi setelah mereka berhasil menggali lubang besar dan selagi hendak mengangkat mayat-mayat itu untuk dikuburkan, tiba-tiba datang belasan orang yang mengenakan cakar setan pada tangan mereka. Sekali lihat saja Si Kong dan Hui Lan tahu bahwa mereka adalah anggauta-anggauta Kwi-jiauw-pang.

   "Keparat, engkau telah membunuh banyak teman kami!"

   Bentak seorang di antara mereka yang bermuka hitam dan agaknya menjadi pemimpin seregu anggauta Kwi-jiauw-pang yang berjumlah lima belas orang itu.

   "Bukan kami yang membunuh mereka."

   Kata Si Kong dengan tenang.

   "Tidak mungkin orang lain!"

   Bentak si muka hitam.

   "Engkau membunuh mereka dan berusaha menghilangkan jejak dengan mengubur mereka. Kalau bukan kalian berdua, tentu kalian tidak akan bersusah payah mengubur mereka. Akui saja siapa kalian dan mengapa kalian membunuh kawan-kawan kami!"

   Dengan sikap masih tenang Si Kong menjawab,

   "Namaku Si Kong dan nona ini adalah nona Tang Hui Lan. Bagi kalian mungkin aneh melihat kami hendak mengubur mayat-mayat ini, akan tetapi bagi kami hal itu sudah sewajarnya dan semestinya. Kami tidak tega membiarkan mayat-mayat ini dimakan binatang buas dan membusuk disini."

   "Bohong! Tangkap atau bunuh mereka!"

   Seru si muka hitam dan belasan orang itu segera menyerbu dam menyerang Si Kong dan Hui Lan dengan cakar setan mereka. Begitu belasan orang itu menyerbu, Si Kong berkata kepada Hui Lan,

   "Lan-moi, jangan membunuh orang!"

   Dengan amat mudahnya Si Kong dan Hui Lan menghindarkan diri dari terkaman cakar-cakar setan itu, kemudian dengan tendangan kaki dan tamparan, kedua orang muda perkasa ini membuat para pengeroyok mereka berpelantingan.

   Ornag-orang itu tidak menjadi jera, bahkan dengan penasaran mereka menerjang lagi, kini bukan untuk menangkap melainkan untuk membunuh. Melihat kenekatan para pengeroyok Si Kong dan Hui Lan menyambut dengan tendangan dan tamparan yang lebih bertenaga lagi. Akibatnya, lima belas orang itu kembali terpelanting dan sekali ini mereka mengaduh-aduh dan tidak dapat segera bangkit berdiri. Pada saat itu muncul lima orang. Hui Lan tidak mengenal siapa mereka dan memandang dengan penuh perhatian karena ia tahu bahwa yang muncul ini bukanlah orang-orang Kwi-jiauw-pang biasa. Seorang dari mereka berusia lima puluh tahun lebih, bertubuh tinggi besar dan mukanya penuh bekas cacar. Orang kedua bertubuh tinggi kurus dengan muka pucat seperti orang sakit dan usianya empat puluh tahun lebih.

   Orang ketiga bermuka penuh brewok usianga lebih muda dari orang kedua. Orang keempat bertubuh pendek gendut dan orang kelima paling muda berusia kurang dari empat puluh tahun dan tubuhnya katai. Melihat munculnya lima orang ini, Si Kong terkejut karena dia segera mengenal mereka sebagai Bu-tek Ngo-sian (Lima Dewa Tanpa Tanding), yaitu lima orang yang bersama Toa Ok dan Ji Ok pernah menyerbu Pulau Teratai Merah dan menyerang gurunya, Pendekar Sadis Ceng Thian Sin atau Ceng Lo-jin. Tadinya dia mengira bahwa mereka berlima itu muncul di Kwi-liong-san untuk ikut memperebutkan Pek-lui-kiam. Akan tetapi dia merasa terkejut dan heran sekali ketika membentak dengan suara marah dan orang tertua yang bermuka bopeng menegur lantang.

   "Siapakah kalian yang berani membunuh dan melukai begini banyak anggauta Kwi-jiauw-pang?"

   Si Kong tahu bahwa lima orang itu agaknya sudah lupa dan tidak mengenalnya lagi.

   "Kami berdua tidak membunuh. Orang lain yang membunuhnya dan belasan orang ini tidak percaya dan menyerang kami. Terpaksa kami melawan."

   "Hemm, apa kau kira kami demikian bodoh, mudah kau tipu begitu saja?"

   Bentak si muka bopeng. Hui Lan yang tidak mengenal lima orang itu, menjadi penasaran dan ia yang menjawab dengan suara lantang,

   "Kalian mau percaya atau tidak, terserah! Kami tidak mau berbantahan dengan kalian!"

   Orang kelima dari Bu-tek Ngo-sian dan yang paling muda diantara mereka, berwatak mata keranjang. Melihat kejelitaan Hui Lan, sejak tadi dia sudah menelan ludah beberapa kali. Kini mendengar suara Hui Lan yang tegas namun merdu, dia lalu melangkah maju dan berkata sambil menyeringai.

   "Nona manis, siapa namamu nona? Kalau nona yang bicara, aku percaya sepenuhnya! Diantara kita memang tidak perlu berbantahan dan bercekcok, sebaiknya nona dan aku menjalin persahabatan bukankah itu baik sekali?"

   Laki-laki itu bertubuh katai, hanya sepundak Hui Lan dan dia sudah menghampiri Hui Lan untuk merangkulnya. Melihat ini, Hui Lan marah sekali. Laki-laki kurang ajar seperti ini harus diberi pelajaran keras.

   "Heii, kamu ini anjing darimana berani menggonggong?"

   Ia membentak sambil menudingkan telunjuk kirinya dan suaranya mengandung kekuatan sihir yang dahsyat. Empat orang yang lain terbelalak ketika melihat rekan mereka yang termuda itu tiba-tiba saja merangkak dengan kedua pasang kaki tangannya, lalu menggonggong meniru suara anjing!

   "Bhe Song Ci, apa yang kau lakukan ini? Sadarlah!"

   Bentak orang pertama dari Bu-tek Ngo-sian yang bernama Ciok Khi. Dia mengira bahwa rekannya termuda itu bermain-main, sama sekali tidak mengira bahwa rekannya itu terkena sihir yang kuat. Akan tetapi orang yang bernama Bhe Song Ci itu masih tetap menyalak-nyalak seperti anjing. Kini empat orang lainnya menyadari bahwa keadaan rekan mereka itu tidak sadar, maka mereka lalu menghampiri Bhe Song Ci untuk menotok jalan darahnya. Bhe Song Ci terkulai, rebah dan membelalakkan matanya.

   "Kenapa kalian merobohkan aku?"

   
Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Dia seperti orang sehabis bangun tidur dan melihat adiknya itu sudah sadar, Ciok Khi lalu membebaskan totokannya dan Bhe Song Ci melompat bangkit. Dia teringat betapa tadi dia merasa dirinya menjadi anjing, dan akhirnya dia menyadari sepenuhnya mengapa kakak-kakaknya menotoknya. Dia telah bersikap seperti seekor anjing, persis seperti yang diteriakkan gadis itu. Bhe Song Ci adalah seorang dari Bu-tek Ngo-sian tentu saja selain memiliki kepandaian tinggi dia juga memiliki pengalaman yang luas. Segera dia menyadari bahwa gadis itu menggunakan kekuatan sihir untuk memainkannya. Dia menjadi marah bukan main dan mukanya berubah merah sekali. Begitu dia bergerak lagi tangannya sudah mencabut pedang yang menempel di punggungnya.

   "Perempuan keparat, berani kau mempermainkan aku?"

   Bhe Song Ci sudah menerjang tanpa memberi kesempatan kepada Hui Lan. Kakak-kakaknya hanya menonton karena mereka percaya penuh akan kelihaian saudara termuda itu, apalagi melihat gadis itu belum mencabut senjatanya dan menghadapi Bhe Song Ci dengan tangan kosong.

   Akan tetapi, sekali ini Bhe Song Ci bertemu dengan Tang Hui Lan puteri pendekar besar Tang Hay yang biarpun masih muda sudah memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Melihat lawannya marah dan menyerang dengan curang tanpa memberi kesempatan kepadanya untuk mencabut sepasang pedangnya, Hui Lan mengelak dengan cepat dari sambaran pedang yang menusuk dadanya. Begitu melihat gerakan si katai itu iapun dapat mengukur kepandaiannya. Memang lawannya bukan orang biasa dan memiliki ilmu silat yang cukup tinggi, akan tetapi ia tahu pula bahwa ia menang dalam kecepatan dan tenaga sakti. Maka iapun tidak mau mencabut siang-kiam (sepasang pedang) dari punggungnya dan menghadapi lawan yang berpedang itu dengan tangan kosong belaka! Setelah tusukannya dapat dielakkan dengan mudah oleh gadis itu, Bhe Song Ci menjadi semakin penasaran. Dia lalu memainkan pedangnya dengan sepenuh tenaganya.

   Pedangnya lenyap berubah menjadi sinar yang bergulung-gulung. Akan tetapi ia menjadi terkejut dan juga heran. Rasanya setiap serangannya sudah tetap hampir mengenai sasaran, akan tetapi selalu luput! Hal ini tidak mengherankan karena Hui Lan mempergunakan langkah ajaib yang disebut Jiauw-pouw-poan-soan. Kedua kakinya bergerak cepat, melangkah dan menggeser ke sana sini, akan tetapi selalu serangan pedang lawannya dapat dielakkan dengan mudah! Bhe Song Ci merasa heran bukan main. Gadis itu kelihatan olehnya, seperti menanti datangnya serangan, akan tetapi begitu dia menyerang, gadis itu melangkah dan mengelak dari serangannya. Dengan penasaran dan semakin marah Bhe Song Ci menyerang terus, kini mengerhkan seluruh tenaganya sehingga serangannya semakin kuat dan cepat.

   "Haiiiitttt...!"

   Dia membentak dan memutar pedangnya, akan tetapi tiba-tiba dia terbelalak karena gadis itu sudah lenyap dari depannya dansebelum dia dapat sempat memutar tubuh mencarinya, Hui Lan menendang dari belakang.

   "Bukkk!"

   Tubuh yang katai itu terhuyung seperti orang mabok dan dia cepat memutar tubuhnya. Dilihatnya gadis itu tersenyum mengejek. Si katai itu menjadi beringas.

   "Mampuslah!"

   Dia membentak dan mainkan pedangnya mengirim serangan maut. Akan tetapi kembali tubuh lawannya menghilang. Dia tidak tahu bahwa Hui Lan menggunakan ilmu meringankan tubuh dan mainkan ilmu silat Yan-cu Coan-in (Burung Walet Menembus Awan) yang memiliki gerakan cepat bukan main. Sekali ini Hui Lan mengerahkan lebih banyak tenaga sinkangnya dalam tendangannya.

   "Dess...!!"

   Pinggul si katai kena tendang keras sekali dan tubuhnya terpental seperti sebuah bola ditendang! Ketika dia terbanting jatuh, dia terengah-engah, akan tetapi sekarang dia dan kawan-kawannya menyadari bahwa gadis itu memiliki kepandaian yang tinggi. Sementara itu Si Kong mendekati Hui Lan dan berbisik,

   "Mereka inilah yang berjuluk Bu-tek Ngo-sian, yang dulu bersama Toa Ok dan Ji Ok mengeroyok mendiang suhu Ceng Lo-jin."

   Mendengar ini, Hui Lan mengerutkan alisnya dan mukanya menjadi kemerahan, kedua tangannya bergerak kepunggung dan di lain saat ia sudah mencabut sepasang pedangnya yang mengeluar sinar menyeramkan dan berwarna hitam. Hok-mo Siang-kiam (Sepasang Pedang Penakluk Iblis) memang berwarna hitam dan pedang pusaka ini merupakan pedang yang ampuh sekali.

   

Kumbang Penghisap Kembang Eps 30 Pendekar Mata Keranjang Eps 38 Pendekar Mata Keranjang Eps 43

Cari Blog Ini