Ceritasilat Novel Online

Kumbang Penghisap Kembang 30


Si Kumbang Merah Penghisap Kembang Karya Kho Ping Hoo Bagian 30



Belum pernah selama hidupnya Kui Hong dimaki-maki orang seperti itu, dimaki pengecut, curang, tolol, bodoh, bahkan gila! Akan tetapi kemarahannya masih kalah oleh keheranannya mendengar semua ucapan itu. Iakah yang gila, ataukah gadis ini yang sudah menjadi gila? Gadis ini bicara tentang menjadi tawanan Ho-han Pangcu! Padahal, Ho-han Pangcu itu bukan lain adalah Han Lojin alias Tang Bun An alias Ang-hong-cu alias ayah kandungnya sendiri!

   "Hemmm, bocah bermulut lancang! Sesungguhnya engKau lah yang tolol dan gila. Engkau ini tidak tahu apakah pura-pura tidak tahu? Coba jawab, siapakah yang menawan engkau?"

   "Siapa lagi kalau bukan dia yang juga menawanmu tadi. Yang menawanku adalah pangcu dari Ho-han-pang...

   "

   "Dan engkau tidak tahu siapa dia ?"

   "Dia adalah ketua Ho-han-pang dan bengcu...

   "

   "Bodoh! Dia itu Han Lojin!"

   "Siapa Han Lojin?"

   Ahh, kini mengertilah Kui Hong. Gadis tolol ini belum tahu bahwa ia telah menjadi tawanan ayah kandungnya sendiri

   "Han Lojin adalah Tang Bun An!"

   "Tang Bun An? Siapa pula...

   "

   "Penawanmu itu adalah Ho-han Pang-cu, juga Han Lojin, alias Tang Bun An, alias Ang-hong-cu pula!"

   "Ahhhh.....!"

   Sepasang mata itu terbelalak.

   "Dia... dia... Ang-hong-cu...? Aku tidak percaya!"

   "Itulah ketololanmu! Ketua Ho-han-pang itu adalah Ang-hong-cu dan hal ini aku tahu benar!"

   "Tapi... tapi... kalau benar dia Ang-hong-cu, berarti dia itu ayah kadungku? Akan tetapi kenapa dia... dia menawanku? Pantas saja dia mengenal nama ibu dan suboku...! Ah, akan tetapi mungkinkah itu? Kenapa dia menawanku dan sikapnya seperti itu?"

   Ia teringat akan sikap cabul ketua Ho-han-pang itu.

   "Apakah engkau belum pernah melihat ayahmu?"

   "Sejak lahir belum pernah aku melihatnya."

   "Dan kakakmu itu, Hay Hay, apakah dia pernah bercerita tentang jahatnya Ang-hong- cu?"

   "Hanya sedikit... ah, enci yang baik, ceritakan kepadaku bagaimana sesungguhnya semua itu, tentang Han Lojin, tentang Tang Bun An, tentang Ang-hong-cu! Aku sungguh bingung sekali. Aku datang ke sini bersama kakakku menyelidiki perwira she Tang, dan aku dipancing ke sini, dikeroyok dan ditangkap, katanya untuk memancing agar kakakku datang pula ke sini. Tidak tahunya engkau yang muncul! Apa artinya semua ini, enci? Katakanlah. Engkau tidak ragu lagi dan percaya kepadaku, bukan?"

   Kedua mata Mayang menjadi basah karena ia merasa tegang dan penasaran sekali, mendengar bahwa laki-laki setengah tua yang cabul dan menawannya itu adalah ayah kandungnya sendiri. Biarpun masih muda, Kui Hong sudah berpengalaman dan iapun dapat membedakan sikap orang yang berbohong atau tidak. Ia tahu bahwa Mayang tidak berbohong dan ia percaya kepada gadis Tibet itu yang ia tahu tentu puteri seorang wanita Tibet yang menjadi korban keganasan Ang-hong-cu pula, seperti ibu Hay Hay. Maka, tanpa ragu-ragu lagi iapun membebaskan totokannya dan Mayang dapat menggerakkan kaki tangannya. Gadis Tibet itu bangkit duduk, mengurut-urut kaki tangannya sambil memandang kepada Kui Hong.

   "Enci, engkau mengenal kakakku?"

   "Tang Hay?Tentusaja aku mengenalnya."

   "Enci, siapakah namamu? Dan bagaimana engkau sampai tertawan oleh mereka? Dan ceritakanlah tentang semua ini..."

   "Nanti dulu, Mayang. Namamu Mayang, bukan? Nah, adik Mayang, sebelum aku bercerita, lebih baik engkau lebih dulu menceritakan pengalamanmu bersama Hay Hay, agar aku dapat mengerti duduknya perkara dan dapat menentukan langkah selanjutnya. Kita berada dalam kekuasaan persekutuan yang amat berbahaya dan kuat, adik Mayang. Nah, kau ceritakan semuanya, juga hal yang mengherankan bahwa engkau tidak tahu akan kenyataan bahwa ketua Ho-han-pang adalah Han Lojin atau Tang Bun An atau Ang-hong-cu, yaitu ayah kandungmu sendiri!"

   Rasa kaku pada kaki tangan Mayang sudah lenyap setelah ia mengurutnya, dan kini mereka duduk di tepi pembaringan, saling berhadapan.

   "Baiklah, enci. Memang sudah sepatutnya kalau engkau curiga dan berhati-hati, dan maafkan semua kelancanganku tadi. Aku bertemu dengan kakakku Tang Hay ketika dia berada di Tibet bersama pendekar Pek Han Siong. Kenalkah engkau kepada pendekar itu?"

   Kui Hong mengangguk. Ia mengenal Pek Han Siong dan ada persamaan antara Hay Hay dan Han Siong. Keduanya memiliki ilmu kepandaian tinggi, bahkan keduanya juga memiliki ilmu sihir yang hebat.

   "Lanjutkan ceritamu."

   Katanya.

   "Setelah kami saling berjumpa, secara kebetulan kami saling melihat mainan yang tergantung di leher kami dan tahulah kami bahwa kami adalah kakak beradik. Ayah kami adalah Ang-hong-cu."

   Mayang tidak mau menceritakan bahwa ia telah dinikahkan dengan Hay Hay, karena hal itu merupakan rahasia pribadinya, merupakan hal yang dapat mendatangkan aib. Menikah dengan kakak sendiri!

   "Dan ibumu?"

   "Ibuku bernama Souli, seorang wanita Tibet yang pernah tergila-gila kepada pria yang oleh ibu disebut Tang Tai-hiap. Akan tetapi ketika ibuku mengandung, Tang Tai-hiap itu meninggalkannya dan tidak pernah kembali, hanya meninggalkan benda ini kepada ibu."

   "Hemm, memang itulah sifat khas Ang-hong-cu."

   Kata Kui Hong, gemas.

   "Setelah mendengar dari kakakku, Tang Hay tentang ayah kandungku, aku lalu ikut Hay-ko untuk mencari ayah, mencari Ang-hong-cu, bukan untuk berbaik-baik antara anak dan ayahnya, melainkan untuk minta pertanggungan jawab Ang-hong-cu yang menurut Hay-ko telah melakukan banyak kejahatan. Nah, kami berdua pergi ke kota raja karena Hay-ko bilang bahwa dia mendengar di kota raja terdapat seorang perwira she Tang yang mengaku sebagai putera Ang-hong-cu. Dan selagi kami melakukan penyelidikan, kami mendengar bahwa yang ada seorang perwira she Tang yang sudah setengah tua, bukan perwira Tang muda. Ketika pagi kemarin Hay-koko pergi melakukan penyelidikan, ada orang datang mengabarkan bahwa Hay-ko memanggilku. Aku dipancing dan dijebak, dan aku dikeroyok sehingga akhirnya aku tertawan. Ternyata Ho-han-pang memiliki banyak orang pandai, terutama dua orang pemuda yang menawanku itu."

   Kui Hong mengangguk-angguk. Ia sudah tahu dan iapun tahu bahwa mereka dalah Sim Ki Liong dan Tang Cun Sek, juga ada Ji Sun Bi. Bahkan baru sekarang diketahuinya pula hal yang mengejutkan hatinya, yaitu bahwa Tang Cun Sek adalah putera Ang-hong-cu pula! Dan putera Ang-hong-cu yang satu ini sudah menyelundup ke Cin-ling-pai, mempelajari ilmu-ilmu Cin-ling-pai, bahkan melarikan pedang pusaka Hong-cu-kiam dari Cin-ling-pai. Kini, ia tersentak kaget, teringat betapa ketika mengeroyoknya, Tang Cun Sek tidak memegang Hong-cu-kiam, dan Sim Ki Liong juga tidak memegang Gin-hwa-kiam! Apakah hal itu sengaja mereka lakukan karena mereka menyamar dengan memakai kedok tipis, tidak mengeluarkan pedang-pedang pusaka itu agar ia tidak mengenal mereka?

   "Lanjutkan ceritamu, Mayang."

   "Aku ditawan di sini dan aku tantang Ho-han Pang-cu di kamar ini. Ia membebaskanku dan kami berkelahi. Akan tetapi diapun amat lihai, dia berhasil merobek bajuku dan dia melihat benda mainan ini!"

   "Hemm, jadi dia tahu pula bahwa engkau puterinya?"

   "Agaknya demikianlah biar dia tidak membuat pengakuan. Buktinya, dia mengenal nama ibuku, Souli, dan dia mengenal pula suboku."

   "Siapa subomu?"

   "Kim-mo Sian-kouw."

   "Hemm, lalu apa yang dilakukan terhadap dirimu?"

   "Dia tidak mengaku siapa dirinya, hanya mengatakan bahwa aku ditahan di sini dan baru akan dibebaskan kalau Hay-ko mau menyerah dan mau membantu Ho-han-pang. Akupun menanti saja di sini, diberi makan minum dan semua keperluan dicukupi, bahkan pakaian lengkap tersedia di sini, tidak pernah diganggu. Akan tetapi hatiku selalu khawatir akan nasib Hay-ko, sampai engkau masuk tadi, enci. Sekarang, setelah mengetahui bahwa engkau juga musuh mereka, dan engkau agaknya lihai, hatiku lebih tenang. Kita dapat bekerja sama melawan mereka, enci!"

   Hati Kui Hong juga merasa lega. Gadis ini tentu memiliki ilmu kepandaian yang cukup baik, kalau tidak demikian, tidak nanti Hay Hay mengajaknya mencari Ang-hong-cu. Ia sendiri belum pernah mendengar nama gadis ini dan ibunya, akan tetapi nama guru gadis ini, Kim-mo Sian-kouw, pernah didengarnya. Neneknya pernah bercerita bahwa di daerah Tibet selain terdapat banyak pendeta Lama yang sakti, juga terdapat seorang tokoh wanita yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan berjuluk Kim-mo Sian-kouw.

   "Tentu saja, adikku. Ketahuilah, namaku Cia Kui Hong..."

   "Wah, kiranya engkau ini enci Kui Hong!"

   Mayang berseru dengan gembira sekali. Kui Hong memandang kepadanya dengan alis berkerut.

   "Engkau telah mengetahui namaku?"

   "Tentu saja! Engkau adalah sahabat terbaik dari kakakku, bagaimana aku tidak tahu? Hay-ko banyak bercerita tentang dirimu, katanya bahwa engKau lah sahabatnya paling dikaguminya dan yang paling baik."

   "Ah? Dia berkata demikian?"

   Wajah Kui Hong seketika berubah merah sekali sampai ke leher dan telinganya dan hal ini tidak dilewatkan pandang mata Mayang.

   "Apa lagi yang dikatakannya tentang diriku?"

   Mayang mengingat-ingat. Memang atas pertanyaan dan desakannya. Hay Hay banyak bercerita tentang pengalamannya yang lalu dan tentang para pendekar wanita yang pernah ditemuinya, bahkan yang pernah bekerja sama dengannya dalam menghadapi tokoh-tokoh sesat.

   "Dia bilang bahwa enci merupakan seorang pendekar wanita yang cantik jelita dan manis budi, juga berkepandaian tinggi sekali...

   "

   "Ihh! Engkau perayu seperti kakakmu!"

   Kata Kui Hong tertawa.

   "Tidak, enci. Dia bukan memuji kosong sebagai rayuan. Memang engkau cantik jelita dan manis budi, dan tentu kepandaianmu tinggi sekali".

   "

   "Sudah, cukuplah. Lanjutkan ceritamu, adik Mayang."

   Kata Kui Hong, akan tetapi bibirnya tersenyum manis dan hatinya terasa girang bukan main. Hay Hay masih ingat kepadanya! Bukan hanya ingat, akan tetapi bahkan memuji-mujinya!

   "Hay-ko mengatakan bahwa engkau adalah puteri ketua Cin-ling-pai yang terkenal sebagai perkumpulan para pendekar yang gagah perkasa, juga engkau cucu Pendekar Sadis yang namanya menggemparkan dunia persilatan!"

   "Cukup tentang diriku. Ceritakan bagaimana engkau sampai terjebak di sini dan kakakmu itu belum juga datang menolongmu."

   Wajah Mayang nampak berduka.

   "Entahlah, enci Hong. Aku tidak tahu di mana adanya kakakku, akan tetapi aku khawatir sekali kalau sampai diapun terperangkap oleh jahanam..."

   "Dia ayah kandungmu!"

   "Tidak perduli! Dia jahat! Dia telah meninggalkan ibu ketika ibu mengandung, membuat ibu menderita hebat. Dan sekarang, dia malah menawanku, menghinaku! Enci Hong, engkau yang seharusnya melanjutkan ceritamu tadi, tentang Ang-hong-cu, tentang kedatanganmu ke sini, tentang segalanya!"

   Kui Hong teringat dan tersenyum. Ceritanya terhenti karena ia tenggelam ke dalam kegembiraan mendengar Hay Hay memuji-mujinya dan masih ingat kepadanya.

   "Aku mengenal Han Lojin sebagai Ang-hong-cu beberapa waktu yang lalu ketika para pendekar membantu pemerintah membasmi pemberontakan yang dipimpin oleh Lam-hai Giam-lo. Han Lojin muncul dan diapun membantu pemerintah. Di sanalah dia melakukan perbuatan-pebuatan jahat, memperkosa beberapa orang wanita dan di sana terdapat pula kakakmu Hay Hay. Ketika itulah kakakmu juga aku dan yang lain-lainnya, mengetahui bahwa Han Lojin adalah Ang-hong-cu, akan tetapi dia melarikan diri. Ketika aku tiba di kota raja, kebetulan aku bertemu dengan Tang Bun An yang menjadi perwira di istana dan aku mengetahui rahasianya, bahkan dialah Han Lojin dan juga Ang-hong-cu. Akan tetapi dengan licik dia menjebakku sehingga aku tertawan olehnya. Dan di situ aku melakukan suatu kebodohan yang membuat aku mneyesal bukan main. Aku telah berjanji takkan memusuhinya dan takkan membuka rahasianya. dan sebagai imbalannya, dia membebaskan aku. Padahal, sesungguhnya dia takut kepadaku, takut kepada Cin-ling-pai, takut pula kepada kakekku Pendekar Sadis. Setelah aku bebas, aku merasa menyesal sekali, merasa bahwa aku telah menjadi pelindungnya, menjadi sekutunya. Karena itu, aku lalu datang menantangnya dan maklum bahwa dia tentu akan menggunakan anak buahnya untuk mengeroyokku. Nah, aku dikeroyok dan ditawan, lalu dimasukkan ke sini."

   Mayang memandang heran.

   "Enci Hong! Engkau sudah bebas dan engkau sengaja membiarkan dirimu ditangkap dan terancam maut?"

   Kui Hong tersenyum, mengangguk.

   "Bukan hanya ancaman maut, malah lebih mengerikan lagi. Mungkin aku disiksa, dihina, lalu dibunuh. Akan tetapi, bagiku, lebih baik mati dalam menentang kejahatan daripada hidup menjadi sekutu orang jahat!"

   "Hebat! Engkau hebat, enci Hong. Memang pantas sekali kalau kakakku kagum kepadamu. Engkau seorang pendekar wanita yang hebat! Akan tetapi jangan khawatir, enci. Kita kini bersatu. Kita berdua dapat melawan mereka! Dan masih ada kakakku. Dia pasti akan menolong kita, dan dia mempunyai sebuah hadiah untukmu. Hal itu dia katakan sendiri kepadaku."

   "Hadiah? Untukku? Hadiah apakah itu, Mayang?"

   "Sebatang pedang pusaka, enci."

   "Pedang pusaka? Aku sudah memiliki Hok-mo Siang-kiam... ah, si keparat itu telah menyitanya!"

   Katanya dengan wajah menyesal sekali.

   "Jangan khawatir, enci. Pedang pusaka itu hebat, aku sudah melihatnya, dan kata Hay-ko, pedang itu memang milikmu, milik Cin-ling-pai. Namanya Hong-cu-kiam."

   "Hong-cu-kiam?"

   Sepasang mata yang tajam itu terbelalak. Pedang pusaka itu dilarikan Tang Cun Sek dan kini telah berada di tangan Hay Hay? Pantas saja Cun Sek tidak mempergunakan pedang pusaka itu. Dan bagaimana dengan Gin-hwa-kiam yang tadinya dilarikan Ki Liong?

   "Ah, memang benar itu pusaka Cin-ling-pai yang dilarikan orang. Dan... barangkali engkau tahu tentang pedang pusaka Gin-hwa-kiam?"

   "Gin-hwa-kiam? Bukankah itu pedang pusaka yang kulihat dipergunakan oleh pendekar Pek Han Siong?"

   "Sudah berada di tangan Pek Han Siong? Bagus!"

   Kui Hong girang bukan main. Kiranya Hay Hay dan Han Siong sudah dapat merampas kembali kedua pedang pusaka itu! "Gin-hwa-kiam adalah pedang Pulau Teratai Merah yang dilarikan orang pula. Aih, adikku, engkau menceritakan berita yang amat menggembirakan. Sekarang, mari kita periksa tempat ini, kalau-kalau ada jalan untuk melarikan diri dari sini."

   "Coba periksalah, enci. Aku sudah lelah memeriksa, namun tidak dapat menemukan jalan keluar. Ruangan ini adalah ruangan di bawah tanah dan jalan satu-satunya adalah pintu itu. Terbuat dari besi yang tebal dan kokoh kuat. Membukanyapun dengan alat rahasia. Dan lubang angin dan sinar di atas itu, selain terlalu tinggi, juga diberi terali besi yang kokoh pula."

   Akan tetapi Kui Hong merasa tidak puas kalau tidak memeriksa sendiri. Ia lalu mengadakan pemeriksaan dengan amat teliti. Namun, ternyata benar seperti yang dikatakan Mayang tadi.

   Tempat itu amat rapat dan tidak ada jalan keluar kecuali melalui pintu yang amat kokoh itu. Satu-satunya jalan hanyalah menunggu sampai ada yang membuka pintu itu lalu menerjang keluar! Karena itu, ketika ada yang mendorongkan makanan dan minuman melalui lubang di bagian bawah pintu, dua orang gadis itupun makan minum dengan cukup untuk membuat tubuh mereka tetap kuat. Tadinya Kui Hong yang mengenal kecurangan lawan, merasa ragu untuk makan dan minum. Ia tidak takut menghadapi racun karena ia dapat mengetahui kalau makanan atau minuman itu diracun, akan tetapi yang dikhawatirkan adalah kalau ada kekuatan sihir terkandung dalam makanan dan minuman itu yang akan menundukkan mereka. Ketika ia menyatakan hal ini, Mayang tersenyum.

   "Kalau terhadap serangan sihir, jangan takut, enci. Aku telah melatih diri secara khusus untuk menolak segala kekuatan sihir."

   "Eh! Engkau pandai sihir seperti Hay Hay dan Han Siong?"

   Kui Hong memandang gadis Tibet itu. Mayang tersenyum. Bukan main manisnya gadis Tibet itu ketika tersenyum. Mulutnya yang kecil itu mekar bagaikan setangkai bunga merekah merah. Ia tidak menutupi keindahan itu dengan tangannya seperti biasanya gadis Han yang sopan-sopan, dan Kui Hong memandang kagum. Ada persamaan memang antara Mayang dengan Hay Hay. Mungkin dalam bentuk mulut dan hidungnya itulah, dan kecerahan wajah itu kalau tersenyum.

   "Tidak, enci. Akan tetapi, biar Hay-ko sendiripun tidak akan mampu menguasai aku dengan kekuatan sihirnya! Subo telah mengajarkan aku latihan untuk memperoleh kekuatan batin yang menolak segala macam kekuatan sihir yang bagaimana kuatpun. Oleh karena itu, jangan mampu menolaknya."

   Kui Hong memandang kagum. Mereka lalu makan minum dengan gembira, dan lupalah Kui Hong bahwa ia sedang berada dalam tahanan musuh, bukan dalam kamar hotel mewah bersenang-senang dengan seorang sahabat yang menyenangkan sekali. Setelah makan dan beristirahat sejenak, Kui Hong lalu bangkit.

   "Adik Mayang, sekarang bersiaplah. Kita mengadu kepandaian silat. Kamar ini cukup lebar sehingga leluasa bagi kita untuk bertanding silat di sini."

   "Ehhh?"

   Mayang memandang wajah Kui Hong dengan kaget, akan tetapi melihat wajah yang cantik itu cerah dan mulutnya tersenyum. Mayang segera mengerti.

   "Maksudmu, kita berlatih silat, enci Hong?" Kui Hong mengangguk.

   "Kita harus selalu siap, dan kita perlu berlatih, terutama untuk mengenal kepandaian masing-masing sehingga mudah bagi kita menentukan langkah selanjutnya. Jangan sungkan dan jangan main-main, adikku. Seranglah aku dan keluarkan kepandaianmu agar aku dapat menilai sampai di mana tingkatmu."

   "Baik, enci Hong, akan tetapi jangan mentertawakan aku!"

   "Aih, engkau terlalu merendahkan dirimu, Mayang. Aku pernah mendengar nama besar Subomu, maka aku tahu bahwa engkau tentu memiliki ilmu silat yang hebat. Nah, mari kita main-main sebentar!"

   "Baik, enci Hong. Kau jaga baik-baik seranganku!"

   Setelah melihat bahwa Kui Hong sudah memasang kuda-kuda, Mayang lalu mulai menyerang. Karena iapun dapat menduga akan kelihaian Kui Hong, maka begitu menyerang, ia mainkan ilmu silat Kim-lian-kun (Ilmu Silat Teratai Emas) yang ampuh, yaitu ilmu silat andalan dari Kim-mo Sian-kouw. Gerakannya amat cepat dan mengandung tenaga yang dahsyat sehingga dari tangannya mengeluarkan angin berdesir.

   "Bagus!"

   Kui Hong berseru sambil mengelak dan membalas serangan Mayang. Iapun tidak main-main karena dari gerakan pertama itu saja tahulah ia bahwa Mayang sungguh lihai dan sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Kui Hong telah mempelajari banyak macam ilmu silat, namun belum pernah ia melihat ilmu silat seperti yang dimainkan Mayang, maka iapun bersikap hati-hati sekali.

   Serang menyerang terjadi di dalam kamar yang luas itu, dan terdengar angin berkesiur setiap kali mereka menggerakkan tangan. Dan kalau sesekali terjadi adu lengan, keduanya tergetar dan, mundur dua langkah, saling pandang dengan kagum. Makin lama, serangan Mayang semakin hebat dan Kui Hong kagum bukan main. Ilmu silat gadis Tibet itu memang tangguh sekali. Terpaksa ia harus mengerahkan ilmu gin-kang (meringankan tubuh) Bu-eng Hui-teng (Terbang Tanpa Bayangan) yang dipelajarinya dari Ceng Sui Cin, ibunya. Dengan ilmu ini, tubuhnya bagaikan kapas saja dan Mayang terkejut dan kagum bukan main. Lawannya itu seolah-olah dapat terbang dan tak pernah dapat disentuh tangannya yang menyerang. Kui Hong menilai ilmu yang dimiliki Mayang, juga kekuatan kedua tangannya.

   Harus diakuinya bahwa tingkat kepandaian Mayang sudah cukup tinggi, tidak kalah dibandingkan para pendekar wanita lainnya. Ia sendiri, kalau tidak mendapatkan gemblengan dari kakeknya dan neneknya di Pulau Teratai Merah, tentu akan mengalami kesulitan untuk dapat mengalahkan Mayang! Sampai lima puluh jurus lebih mereka berlatih dan kalau Kui Hong menghendaki, biarpun tidak sangat mudah, ia akan mampu mengalahkan Mayang. Bagaimanapun lihainya gadis Tibet itu, Kui Hong masih menang tingkat, menang cepat dan lebih kuat tenaganya. Akan tetapi Kui Hong tidak mau mengecilkan hati Mayang, dan ia sudah merasa cukup puas melihat kenyataan bahwa Mayang memang lihai dan dapat diandalkan untuk menjadi kawan dalam menghadapi Ang-hong-cu dan anak buahnya.

   "Cukup, Mayang!"

   Katanya sambil melompat ke belakang.

   "Engkau lihai sekali!"

   "Ihh, enci Kui Hong, jangan memuji! Kalau engkau mau, tentu sudah sejak tadi engkau dapat merobohkan aku. Ilmu aneh apakah itu yang membuat tubuhmu begitu ringan seperti kapas terbang saja? Semua seranganku tidak ada gunanya!"

   "Itu adalah Bu-eng Hui-teng, yang kupelajari dari ibuku, Mayang. Sudahlah, kita beristirahat. Engkau cukup tangguh dan kurasa, kita berdua akan mampu menjaga diri kalau mereka muncul."

   Kata Kui Hong sambil mengusap keringat dari lehernya, seperti yang dilakukan pula oleh Mayang.

   "Sekarang, mari menghimpun tenaga dan memulihkan kelenturan otot-otot, mengatur pernapasan,"

   Kata Kui Hong yang ingin agar keduanya berada dalam keadaan yang siap benar untuk memberontak sewaktu-waktu pintu besi itu dibuka. Mayang mengangguk dan keduanya lalu duduk bersila di atas pembaringan, mengatur pernapasan.

   Sebagai seorang pelarian, tentu saja Tang Gun tidak berani begitu saja memasuki kota raja. Kalau ada yang mengenalnya, tentu akan terjadi geger. Pasukan pemerintah tentu akan mengejar dan menangkapnya dan biarpun di sampingnya ada Sumoinya. Siangkoan Bi Lian yang amat lihai sekali, kalau pasukan pemerintah mengepungnya, tentu mereka beruda tidak akan mampu melawan, bahkan sukar untuk dapat meloloskan diri dari kota raja. Oleh karena itu, ketika memasuki pintu gerbang kota raja, Tang Gun menyamar sebagai seorang laki-laki setengah tua yang rambutnya sudah penuh uban, dengan kumis dan jenggot palsu. Siangkoan Bi Lian yang berjalam di sampingnya mengaku sebagai uterinya. Penyamaran itu cukup baik sehingga tak seorangpun mengenalnya. Mereka masuk ke kota raja setelah hari menjelang senja. Cuaca sudah mulai redup dan remang-remang.

   Tang Gun mengajak Sumoinya agar langsung saja mencari seorang bekas anak buahnya yang dipercaya benar, karena mereka harus lebih dahulu menyelidiki, di mana adanya Tang Bun An yang mereka cari-cari itu. Bekas anak buahnya itu bernama Gu Kiat dan sebagai seorang perajurit pengawal istana tentu dia tahu akan segalanya tentang Tang Bun An yang kabarnya menjadi perwira itu. Dan Tang Gun pernah menyelamatkan Gu Kiat, maka dia merasa yakin bahwa Gu Kiat yang hidup sebatang kara tanpa keluarga itu pasti akan suka membantunya. Gu Kiat kebetulan duduk di ruangan depan rumahnya ketika Tang Gun atau yang kini dikenal sebagai Tan Hok Seng tiba. Dia cepat keluar dari pintu rumahnya dan memandang heran kepada pria dan wanita yang tidak dikenalnya itu. Apa lagi ketika melihat betapa wanita muda itu amat cantik, keheranannya bertambah.

   "Paman hendak mencari siapakah?"

   Tanya Gu Kiat sambil melirik ke arah wajah Bi Lian yang nampak cantik sekali tersinar lampu gantung di depan rumah itu. Hok Seng membalas penghormatan tuan rumah dan berkata,

   "Saya mempunyai urusan penting sekali untuk disampaikan kepada saudara Gu Kiat."

   
Si Kumbang Merah Penghisap Kembang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Saya sendiri yang bernama Gu Kiat."

   Hok Seng berkata kepada Bi Lian,

   "Anakku, engkau tunggu sebentar di sini, aku mau bicara empat mata dengan saudara ini."

   Bi Lian mengangguk dan Hok Seng lalu berkata kepada Gu Kiat yang masih memandang keheranan itu.

   "Saudara Gu Kiat, dapatkah kita bicara empat mata di dalam? Apa yang saya bicarakan ini amat penting dan tidak boleh diketahui orang lain."

   "Tapi... tapi..., siapakah paman?"

   Gu Kiat bertanya ragu. Hok Seng berbisik,

   "Aku Tan Hok Seng dan aku ingin bicara tentang guci emas istana. Mari kita bicara empat mata di dalam."

   Gu Kiat nampak terkejut bukan main, matanya terbelalak dan mukanya berubah pucat ketika dia memandang kepada Hok Seng. Bi Lian tidak mengerti, hanya mengira bahwa kini orang itu telah mengenal Hok Seng yang menyamar. Padahal Gu Kiat terkejut sekali karena mendengar bisikan tentang guci emas istana tadi. Dahulu, pernah sebagai perajurit pengawal dia mencuri guci emas istana dan perbuatannya itu ketahuan oleh pengawal lain.

   Kalau tidak ada Tang Gun yang menyelamatkannya, tentu dia sudah ditangkap dan dijatuhi hukuman berat. Tidak mengherankan kini dia terkejut setengah mati mendengar laki-laki setengah tua yang tak dikenalnya itu berbisik tentang guci emas istana! Maka, mendengar permintaan orang itu untuk bicara empat mata di dalam, dia lalu mengangguk dan memberi isyarat kepada orang itu untuk memasuki rumahnya. Bi Lian tidak ikut masuk, melainkan duduk menanti di atas bangku di ruangan depan itu. Biarlah suhengnya yang melakukan penyelidikan di mana adanya Tang Bun An yang telah melempar fitnah kepada suhengnya itu. Nanti kalau sudah berhadapan dengan musuh itu, baru ia yang akan menandinginya. Setelah berada di dalam ruangan sebelah dalam, hanya berdua saja dengan Gu Kiat, Hok Seng lalu berkata lirih,

   "Gu Kiat, pandanglah baik-baik. Aku adalah Tang Gun yang menyamar!"

   Gu Kiat memandang tajam dan dia segera mengenal bekas atasannya itu, mengenal suara dan pandang matanya.

   "Tang-ciangkun...!"

   Katanya terkejut dan heran. Disangkanya bahwa bekas komandannya ini telah
(Lanjut ke Jilid 28)
Ang Hong Cu (Seri ke 10 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 28
tewas.

   "Ahhh, jangan menyebut aku ciangkun lagi, aku sudah bukan seorang perwira."

   "Tapi... tapi... apakah kehendak Tang-kongcu, (tuan muda Tang) mendatangi saya?"

   Jelas bahwa Gu Kiat ketakutan karena kalau sampai diketahui orang bahwa dia kedatangan tamu bekas perwira yang menjadi orang hukuman dan pelarian ini, dirinya tentu saja akan celaka.

   "Dengar baik-baik, Gu Kiat. Aku pernah menolongmu, dan sekarang saatnya engkau membalas budi itu, dan menolongku kembali. Pertama, lupakan bahwa namaku Tang Gun. Sekarang namaku adalah Tan Hok Seng, dan engkau boleh menyebutku Tan-kongcu. Mengerti?"

   Diingatkan akan "budi"

   Itu, Gu Kiat mengangguk patuh.

   "Saya mengerti."

   Katanya lirih.

   "Dan ke dua, aku ingin mendengar tentang diri Tang Bun An. Nah, ceritakan tentang dia!"

   Di dalam hatinya, Gu Kiat tersenyum. Akan tetapi, wajahnya tidak membayangkan sesuatu ketika dia menjawab.

   "Ah, dia? Setelah engkau pergi, dia diangkat menjadi seorang perwira tinggi pasukan pengawal di istana."

   "Hemm, sudah kuduga. Di mana sekarang dia tinggal?"

   Gu Kiat menggeleng kepalanya.

   "Bagaimana saya bisa tahu? Sekarang dia sudah berhenti menjadi perwira."

   "Berhenti?"

   "Dia mengundurkan diri dan sejak itu, saya tidak tahu lagi di mana dia berada."

   Tentu saja Hok Seng kecewa bukan main mendengar berita ini. Musuh besarnya itu telah lolos, dan tidak lagi berada di kota raja!

   "Akan tetapi, saya dapat membantumu, kongcu. Di antara kawan-kawan yang pernah menjadi anak buahnya, tentu ada yang tahu di mana adanya bekas perwira itu."

   Wajah yang tadinya dibayangi kekecewaan itu, menjadi cerah kembali.

   "Ah, baik sekali! Terima kasih dan ternyata engkau seorang yang mengenal budi, Gu Kiat. Kapan engkau akan melakukan penyelidikan itu? Lebih cepat lebih baik!"

   "Memang sebaiknya begitu, kongcu. Malam ini juga saya akan pergi menyelidiki di antara kawan-kawan. Dan sebaiknya kalau kongcu dan eh, siapakah nona yang menunggu di depan itu?"

   "Ia Sumoiku."

   "Sebaiknya kongcu dan nona bersembunyi saja di rumah saya ini. Kalau bermalam diluaran, amat berbahaya. Kong-cu berdua bermalam di sini, mengaso, dan saya akan pergi melakukan penyelidikan. Mudah-mudahahan saja malam ini juga saya sudah bisa mendapatkan keterangan."

   Hok Seng menjadi girang bukan main. Dia memesan kepada bekas anak buahnya itu agar tidak keliru menyebut namanya karena dia sudah berganti nama sejak menjadi pelarian, dan Sumoinya sendiripun mengenalnya sebagai Tan Hok Seng. Setelah itu, mereka lalu keluar dan mempersilakan Siangkoan Bi Lian masuk ke dalam. Setelah mereka berada di ruangan, dalam Hok Seng memperkenalkan Sumoinya kepada Gu Kiat.

   "Gu Kiat, ini Sumoiku Siangkoan Bi Lian. Sumoi, saudara Gu Kiat ini dahulu pernah menjadi anak buahku yang setia dan sekarang dia suka membantu kita dan malam ini juga dia akan melakukan penyelidikan tentang perwira itu. Malam ini kita tinggal di sini, lebih aman."

   Bi Lian mengerutkan alisnya dan dia menatap tajam wajah tuan rumah.

   "Kenapa harus menyelidiki lagi? Asal diberitahu di mana tinggalnya dan kita dapat menyelidiki sendiri."

   "Aih, engkau belum tahu, Sumoi. Orang yang kita cari itu ternyata sudah tidak menjadi perwira lagi, dan Gu Kiat ini tidak tahu ke mana dia pergi. Oleh karena itu, malam ini juga dia hendak mencari keterahgan dari kawan-kawannya yang dulu pernah menjadi anak buah perwira tua itu."

   "Hemm, begitukah?"

   Bi Lian merasa kecewa mendengar berita itu.

   "Harap Tan-kongcu dan Siangkoan-siocia (nona Siangkoan) tenangkan hati. Kalau ji-wi (kalian) tinggal di sini malam ini, kiranya lebih aman dari pada kalau tinggal di luar. Dan percayalah, malam ini tentu saya sudah mendapatkan berita tentang perwira itu. Pakailah dua kamar di depan kamar saya, itu memang kamar tamu, dan kalau ji-wi membutuhkan makan minum, kiranya di dapur masih ada persediaan lengkap untuk masak dan membuat air teh. Juga masih ada arak di dalam almari. Silakan, harap ji-wi tidak sungkan."

   Hok Seng merasa girang sekali.

   "Saudara Gu Kiat, terima kasih. Ternyata engkau seorang sahabat yang baik sekali."

   "Sekarang saya harus berangkat sebelum kawan-kawan tidur. Kalau sudah berhasil dengan penyelidikan saya, tentu malam ini juga saya pulang, atau paling lambat besok pagi-pagi. Harap ji-wi tinggal dengan tenang saja."

   Dua orang muda itu mengucapkan terima kasih dan Gu Kiat lalu meninggalkan mereka. Karena keduanya merasa lapar dan mereka tidak berani pergi ke rumah makan, mereka lalu memeriksa dapur dan dengan girang mereka mendapatkan bahan-bahan untuk dimasak. Maka sibuklah mereka membuat masakan untuk makan malam mel-eka dari bahan-bahan yang ada.

   "Ah, di mana-mana orang baik tentu menemukan penolong,"

   Kata Hok Seng ketika mereka berdua menghadapi meja dengan makanan dan minuman sederhana.

   "Tak kusangka bahwa Gu Kiat demikian mengenal budi, masih ingat akan banyak pertolongan yang kuberikan kepadanya ketika aku masih menjadi komandannya."

   Bi Lian hanya tersenyum, lalu berkata lembut,

   "Bagaimanapun juga, kita harus berhati-hati, suheng. Di dunia ini, lebih banyak terdapat orang yang busuk dari pada yang baik. Kalau belum terbukti, jangan tergesa-gesa menilai orang."

   "Aku yakin bahwa dia orang baik, Sumoi. Apa lagi karena dia berhutang budi kepadaku. Kalau tidak ada aku yang menolongnya, mungkin dahulu dia telah dihukum mati!"

   "Ehh? Perbuatan apa yang telah dia lakukan, suheng?"

   "Ketika itu dia menjadi anak buah pasukanku, pasukan pegawal istana. Seringkali aku mengganti regu penjaga sebelah dalam istana secara bergiliran. Ketika dia bertugas dalam, dia telah mencuri sebuah guci emas. Perbuatannya itu ketahuan oleh pengawal lainnya. Tentu saja pengawal yang lain itu hendak melaporkan perbuatan itu dan kalau sampai dilaporkan dan didengar oleh kaisar, tentu dia sudah dihukum mati. Dosa besar mencuri barang istana, apa lagi dia bertugas sebagai seorang perajurit pengawal. Aku kasihan kepadanya, lalu aku melarang pengawal yang lain itu melapor, dan menyuruh Gu Kiat mengembalikan guci itu di tempatnya semula. Maka, selamatlah dia dan agaknya dia masih ingat akan budi itu dan sekarang berkesempatan untuk membalas kepadaku."

   Bi Lian diam saja. Ia sendiri tidak begitu perduli tentang budi dan sebagainya. Sejak kecil, ia telah menjadi murid Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi, dua orang datuk sesat yang jahat. Biarpun ia pada dasarnya memiliki watak yang gagah perkasa, bahkan pantang melakukan kejahatan dan menuruti nafsu ingin menyenangkan diri sendiri, namun, kehidupan dalam lingkungan dunia sesat membuat ia bersikap keras, bahkan ganas dan tidak perduli.

   Bahkan ia sempat mendapat julukan Tiat-sim Sian-li (Dewi Berhati Besi) karena kekerasan hatinya. Namun setelah ia kembali berkumpul dengan ayah ibunya, ia menerima gemblengan ilmu dan juga keteguhan batin dari ayah dan ibunya yang sakti. Bahkan orang tuanya itu menceritakan bahwa ia merupakan keturunan dari para datuk sesat yang pernah menggemparkan dunia persilatan dengan kesaktian dan kejahatan mereka. Oleh karena itu, ia harus selalu ingat akan hal ini dan menunjukkan kepada dunia bahwa biarpun ia keturunan datuk sesat ia dapat bertindak sebagai seorang pendekar! Kakek dalamnya, yaitu ayah dari ayahnya, adalah Siangkoan Lojin yang terkenal dengan julukan Si Iblis Buta! Dan kakek luarnya, ayah dari ibunya, lebih hebat lagi karena kakek itu adalah mendiang Raja Iblis!

   Raja Iblis dan isterinya, Ratu Iblis, benar-benar pernah merajai dunia sesat. Dan ayah ibunya, Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu, pernah pula menjadi orang-orang terhukum di kuil Siauw-lim-si karena dianggap berdosa oleh ketua kuil. Mereka berdua menerima hukuman ini untuk menebus dosa orang-orang tua mereka! Perbuatan yang dianggap baik oleh pelakunya, apa lagi dianggap sebagai budi oleh pelakunya, bukanlah perbuatan baik lagi, melainkan suatu cara untuk memperoleh sesuatu. Kalau kita menolong orang lalu kita menganggap bahwa pertolongan yang kita berikan itu sebagai budi, bukankah itu sama saja dengan menghutangkan sesuatu untuk kelak ditagih dan diharuskan membayar kembali berikut bunganya? Baik buruk hanya penilaian, dan penilajan selalu didasari kepentingan pribadi.

   Kalau segala sesuatu yang kita lakukan didasari cinta kasih, maka tidak ada pamrih lain, tidak ada lagi yang dinamakan budi dan dendam! Budi maupun dendam hanyalah ikatan, perhitungan untung rugi dari hati akal pikiran yang bergelimang nafsu. Penyesalan tidak ada gunanya! Perbuatan yang dilakukan melalui pemikiran, selalu ditunggangi nafsu pementingan diri sendiri karena pikiran adalah si-aku yang sudah bergelimang nafsu. Yang penting adalah kewaspadaan pengamatan terhadap diri sendiri lahir batin karena pengamatan sepenuhnya tanpa si-aku yang mengamati ini menimbulkan kesadaran. Tidak mungkin kita mengubah sifat dan watak kita melalui pemikiran, karena pemikiran tak mungkin dapat lepas dari pengaruh nafsu daya rendah. Setiap orang mudah saja menyadari dan mengetahui bahwa perbuatannya tidak benar,

   Namun setiap kali memikiran berniat mengubahnya, setiap perbuatan itu diulang dan pikiran yang berniat mengubah tadipun menipis dan lenyap. Tidak mungkin pikiran dapat mencuci kekotoran perbuatan karena justeru perbuatan itu sudah dikendalikan oleh pikiran, dan pikiran itu bergelimang nafsu. Bagaimana mungkin mencuci bersih sesuatu yang kotor dengan menggunakan air yang kotor pula? Yang dapat membersihkan batin, yaitu hati dan akal pikiran, hanyalah kekuatan Tuhan! Kita yang merasa bergelimang kekotoran, yang sudah dikuasai oleh nafsu daya rendah, hanya tinggal menyerah kepada kekuasaan Tuhan! Biarkan kekuasaan Tuhan yang mencuci kotoran itu, biarkan kekuasaan Tuhan yang membimbing dan membersihkan batin kita. Kalau batin sudah bersih, maka terbukalah jendela dan pintu batin kita untuk menerima masuknya sinar cinta kasih.

   Kalau sudah begitu, maka setiap perbuatan kita diterangi oleh sinar cinta kasih. Lalu ke mana perginya nafsu daya rendah? Tidak pergi! Masih ada dan masih penting bagi kehidupan kita. Namun, nafsu daya rendah tidak lagi menjadi majikan, melainkan menjadi alat, menjadi pelayan untuk kepentingan hidup di dunia ini. Bukan lagi menjadi liar, karena kalau nafsu daya rendah yang memegang kemudi, kita akan disesatkan ke arah pengejaran kesenangan nafsu sehingga menghalalkan segala cara, melakukan segala yang sifatnya merusak dan yang pada umumnya disebut jahat. Malam itu tidak terjadi sesuatu. Bi Lian dan Hok Seng menunggu di kamar masing-masing, namun tuan rumah tak kunjung pulang. Baru pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, ketika mereka berdua sudah menyiram tubuh dengan air dingin dan sudah duduk di luar, muncullah Gu Kiat!

   "Bagaimana, saudara Gu Kiat? Berhasilkah?"

   Hok Seng segera menyambutnya dengan pertanyaan yang ingin tahu sekali. Gu Kiat tersenyum, menarik napas panjang lalu duduk di depan mereka.

   "Tiada seorangpun tahu di mana pindah atau perginya bekas perwira itu. Ketika saya sudah putus asa dan menjelang pagi tadi berjalan pulang, di tengah jalan saya bertemu atau dihadang oleh seorang bertopeng hitam..."

   "Topeng hitam...?"

   Tang Gun berseru kaget.

   "Ya, orang itu mengenakan kedok hitam. Dia muncul tiba-tiba dan bertanya mengapa saya mencari bekas perwira Tang Bun An. Karena sikapnya menyeramkan, terpaksa saya berterus terang, mengatakan bahwa kongcu yang mencarinya. Dan si kedok itu lalu menyuruh saya memberitahukan kongcu bahwa dia yang akan dapat menunjukkan kepada kongcu di mana adanya bekas perwira itu."

   "Tapi... tapi... siapa dia?"

   Tanya Tang Gun, suaranya menunjukkan ketegangan hatinya dan Bi Lian hanya mendengarkan saja dengan sikap tenang.

   "Saya juga bertanya demikian, kongcu. Ketika saya bertanya siapa dia, dia hanya mengatakan bahwa dia pernah memberi sekantung emas kepada kongcu dan bahwa kongcu tentu mengenalnya!"

   "Pendekar itu...!"

   Tang Gun menoleh kepada Bi Lian.

   "Sumoi, tentu dia pendekar yang menolongku itu!"

   "Mungkin saja."

   Kata Bi Lian.

   "Akan tetapi bagaimana selanjutnya pertemuanmu dengan si kedok hitam itu?"

   Tanyanya kepada Gu Kiat yang terputus ceritanya tadi.

   "Oh, ya! Bagaimana selanjutnya, Gu Kiat? Apa yang dipesankan oleh pendekar berkedok hitam itu?"

   Tanya Tan Gun.

   "Pesannya aneh sekali, kongcu. Dia bilang bahwa kalau kongcu hendak mencari perwira Tang, kongcu harus menemuinya di kuil tua kosong yang berada di sebelah timur pintu gerbang kota. Dan dia pesan agar kongcu datang seorang diri, tidak boleh ditemani siapapun. Kalau kongcu tidak sendirian, dia tidak akan menemui kongcu dan tidak mau membantu lagi."

   "Hemm, penuh rahasia orang itu. Mencurigakan juga!"

   Kata Bi Lian sambil mengerutkan alisnya.

   "Tapi dia... dia pernah menolongku, Sumoi! Tak mungkin sekarang dia hendak menjebak atau mencelakakan aku. Gu Kiat, kapan aku harus menemuinya."

   "Sekarang juga, kongcu. Dia bilang jangan terlalu siang karena dia tidak mungkin dapat menanti terlalu lama."

   "Sumoi, kalau begitu, aku akan pergi sekarang juga. Kau tunggulah cli sini, Sumoi. Aku takkan lama dan akan segera kembali setelah mendapatkan keterangan."

   Bi Lian mengerutkan alisnya, akan tetapi ia berkata.

   "Baiklah, suheng. Akan tetapi berhati-hatilah. Aku masih curiga akan sikap aneh orang itu."

   "Dia bermaksud baik, Sumoi, hal ini aku yakin. Nah, aku pergi dulu. Kau tunggulah di sini."

   Tang Gun atau Tan Hok Seng pergi dan Bi Lian diam-diam memperhatikan sikap tuan rumah. Akan tetapi Gu Kiat kelihatan biasa saja, dan setelah Hok Seng pergi, dia minta maaf kepada Bi Lian untuk beristirahat di dalam kamarnya karena semalam suntuk dia tidak tidur.

   Tak lama kemudian, Bi Lian mendengar dengkurnya dari dalam kamar dan iapun tidak mempunyai alasan untuk mencurigai Gu Kiat. Akan tetapi, hatinya tetap saja merasa tidak enak. Ingin ia membayangi suhengnya dan melihat sendiri siapa sebenarnya orang berkedok itu. Akan tetapi, iapun tidak ingin menggagalkan usaha suhengnya mencari orang yang melakukan fitnah itu pula, kalau si kedok hitam itu berniat jahat, tentu dahulu tidak menolong Hok Seng. Dengan pikiran ini, hatinya lega dan ia menanti saja di situ. Sementara itu dengan cepat Hok Seng berjalan keluar kota melalui pintu gerbang timur. Dia masih menyamar sebagai seorang setengah tua, dan dia dapat keluar dari pintu gerbang dengan mudah. Dia sudah lama tinggal di kota raja dan tahu kuil tua mana yang dimaksudkan itu.

   Diluar pintu gerbang timur terdapat sebuah bukit kecil dan di puncak bukit itulah adanya kuil tua yang sudah lama tidak pernah dipergunakan lagi. Ke sanalah dia pergi dan setelah berada di tempat yang sepi, dia mengerahkan tenaga dan berlari cepat mendaki bukit. Kuil tua itu sunyi. Sepagi itu, belum ada anak-anak penggembala menggiring ternak mereka ke bukit yang banyak padang rumputnya itu. Tidak nampak kehidupan di dalam atau di luar kuil. Sunyi saja dan pagi itu langit amat cerah. Sinar matahari pagi mulai mengusir kegelapan malam, seolah mempersiapkan kebersihan bagi munculnya sang matahari. Tanpa ragu lagi Tang Gun memasuki kuil, menoleh ke kanan kiri. Kosong saja di bagian depan kuil itu. Selagi dia tidak tahu harus mencari di mana dan selagi hendak berseru memanggil, tiba-tiba terdengar suara orang.

   "Aku di sini!"

   Suara itu datangnya dari belakang. Tang Gun segera menuju ke belakang dan di ruangan yang luas itu, karena dindingnya sudah runtuh, sehingga bagian belakang itu terbuka, berdiri seorang laki-laki bertubuh tegap dan mengenakan kedok hitam, di tengah ruangan sambil bertolak pinggang. Tang Gun segera mengenal si kedok hitam yang dulu pernah menolongnya, maka cepat dia maju menghadapi orang itu dan memberi hormat dengan merangkap kedua tangan di depan dada, dan tubuhnya agak membungkuk dengan sikap hormat.

   "Selamat berjumpa, Taihiap (pendekar besar)!"

   Katanya. Si kedok hitam itu diam saja, akan tetapi sepasang mata yang mencorong bersinar dari balik kedok, mengamati wajah Tang Gun.

   "Hemm, engkau Tang Gun menyamar sebagai seorang tua?"

   Suara itu dalam dan berwibawa.

   "Maaf, Taihiap. Terpaksa saya menyamar karena khawatir kalau kehadiran saya di kota raja diketahui orang. Saya Tang Gun yang pernah menerima pertolongan Taihiap dan sampai sekarang saya tidak pernah melupakan budi itu."

   "Tang Gun, mengapa engkau menyelidiki di mana tinggalnya Tang Bun An? Apa yang kau inginkan dari orang itu?"

   "Ah, tentu Taihiap mengerti. Orang itulah yang telah mencelakakan saya, yang membuat saya dihukum. Oleh karena itu, saya hendak mencarinya dan membalas dendam kepadanya. Mohon bantuan Taihiap untuk memberitahu di mana saya dapat menemukan dia!"

   "Hemm, dahulu kepandaianmu jauh kalah olehnya. Bagaimana sekarang engkau akan melawannya? Engkau akan kalah lagi!"

   "Sekali ini saya tidak takut! Ada Sumoi Siangkoan Bi Lian yang membantu saya dan ia lihai sekali."

   Kemudian Tang Gun mendapatkan pikiran yang baik sekali.

   "Dan juga ada Taihiap di sini. Taihiap sudah menolong saya, mohon sekali ini suka pula membantu saya menghadapi Tang Bun An yang jahat itu."

   "Tang Gun, engkau memang manusia tolol!"

   Tiba-tiba orang berkedok hitam itu membentak. Tentu saja bekas perwira itu terkejut sekali dan terbelalak heran melihat nada suara yang marah itu.

   "Engkau memang layak dipukul!"

   "Eh... maaf... apa kesalahan saya yang membuat Taihiap tiba-tiba menjadi marah kepada saya?"

   "Anak bodoh! Kalau tidak ada Tang Bun An, engkau sekarang tentu sudah mampus!"

   "Ehh? Apa artinya. ucapan Taihiap itu? Dia telah menangkap saya, menyeret saya ke depan Sri Baginda Kaisar sehingga saya di jatuhi hukuman berat..."

   "Bayangkan saja kalau bukan Tang Bun An yang menangkapmu! Kalau pasukan keamanan yang menangkapmu. Kau kira akan mampu menyembunyikan diri bersama kekasihmu itu begitu saja? Kau kira akan mampu melawan kalau para jagoan istana mencarimu dan menemukanmu di kota Yu-sian? Dia sengaja menangkapmu justeru untuk menyelamatkan nyawamu!"

   Dari heran Tang Gun menjadi penasaran dan tidak percaya.

   "Taihiap, bagaimana Taihiap dapat mengatakan bahwa dia bermaksud menyelamatkan saya? Saya telah dihukum berat, hukum buang dan sekiranya tidak ada Taihiap yang menolong saya, tentu sekarang saya sudah mati."

   "Hemm, jadi engkau mengakui bahwa aku yang dahulu menyelamatkanmu, menolongmu dan membebaskanmu dari tangan para pengawalmu ke tempat pembuangan?"

   "Bukan hanya menyelamatkan nyawa saya, akan tetapi juga Taihiap telah memberi sekantung emas sehingga saya dapat hidup dengan pantas. Untuk budi itu, saya tidak akan melupakannya selama hidup."

   "Tidak usah berterima kasih kepada aku si kedok hitam. Berterima kasihlah kepada penyelamatmu yang sebenarnya, yaitu Tang Bun An!",

   "Eh... tapi maaf... saya belum dapat menerimanya sebagai penyelamat saya, Taihiap. Dia... dia..."

   "Tang Gun! Apakah engkau tidak percaya kepadaku?"

   "Percaya... percaya... akan tetapi..."

   "Kau lihat, siapa aku!"

   Berkata demikian, si kedok hitam membuka kedoknya dan Tang Gun terbelalak, wajahnya berubah pucat dan sejenak dia tidak mampu bicara, hanya melongo memandang ke pada wajah yang tadi bersembunyi di balik kedok hitam. Wajah Tang Bun An! Akhirnya Tang Gun dapat menekan guncangan perasaannya dan dia berkata gugup,

   Si Kumbang Merah Penghisap Kembang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Tapi... tapi... kenapa Taihiap..."

   "Sebut aku Beng-cu! Aku adalah pangcu dari Ho-han-pang, juga bengcu dari dunia kang-ouw!"

   Suara Tang Bun An atau Han Lojin terdengar penuh wibawa.

   "Ahhh!"

   Kembali Tang Gun terkejut dan memberi hormat.

   "Kiranya Beng-cu sendiri. Tapi... apa artinya semua ini? Engkau menangkap saya, kemudian menyerahkan kepada kaisar untuk dihukum. Kemudian, Beng-cu pula yang menyelamatkan saya, membunuh pengawal yang membawa saya ke tempat pembuangan, bahkan memberi emas kepada saya. Apa artinya perbuatan beng-cu itu?"

   "Bukan lain untuk menyelamatkanmu, anak bodoh. Engkau sudah memperoleh kedudukan baik, akan tetapi engkau menyalahgunakan, hanya karena engkau tergila-gila kepada seorang selir! Huh, tolol! Boleh saja bermain-main dengan semua selir, akan tetapi tidak terikat seperti itu, tergila-gila dan membawanya lari dari istana. Kalau tidak aku yang mendahului para jagoan istana menangkapmu, kemudian membebaskanmu, apa kau kira sekarang engkau masih hidup?".

   "Untuk itu, sekali lagi saya menghaturkan terima kasih dan saya tidak akan melupakan budi kebaikan Taihiap kepada saya. Akan tetapi, kalau boleh saya mengetahui, mengapa Taihiap bersusah payah untuk melakukan semua itu kepada saya?"

   "Hemm, Tang Gun. Sebelum engkau ditangkap, di kota raja engkau selalu membual bahwa engkau adalah putera dari Ang-hong-cu. Benarkah itu?"

   "Memang benar, Beng-cu, akan tetapi itu bukan hanya kosong saja. Memang sebenarnya bahwa saya adalah putera kandung Ang-hong-cu yang terkenal itu."

   Kata Tang Gun dengan nada suara bangga.

   "Hemm, siapa mau percaya akan hal itu? Apa buktinya bahwa engkau memang putera Ang-hong-cu?"

   "Inilah buktinya, Beng-cu."

   Tang Gun mengeluarkan sebuah benda yang bukan lain adalah perhiasan berbentuk seekor kumbang merah.

   "Saya menerima benda ini dari ibu saya, dan ibu saya yang menceritakan bahwa ayah kandung saya yang memberikan benda ini kepada ibu."

   "Katakan, siapa nama ibumu dan dari mana ia datang, di mana tempat tinggalnya ketika ia masih gadis."

   "Ibu bernama Teng Kim dan tinggal di dusun An-lok, akan tetapi sekarang ikut paman di kota Tai-goan setelah melarikan diri dari kota raja sesudah saya ditangkap."

   "Teng Kim... Kim...? Begitu banyaknya wanita yang memakai nama Kim! Hemm, nanti dulu... bukanlah di leher bawah telinga kanan ibumu terdapat sebuah tahi lalat? Ibumu tinggi semampai dan wataknya ramah gembira?"

   Tang Gun memandang dengan mata terbelalak.

   "Bagaimana... Bengcu dapat mengetahui hal itu...? Benar sekali apa yang beng-cu katakan tadi!"

   "Tang Gun, begitu bodohkah engkau? Engkau sudah tahu bahwa aku telah menyelamatkanmu, dan engkau tentu tahu pula bahwa aku bernama Tang Bun An! Dan engkau masih tidak mengerti? Aku tahu segalanya tentang ibumu, dan benda yang kau perlihatkan tadi adalah milikku, pemberianku kepada ibumu."

   "Ah... ohhh... jadi... jadi... engkau ini ayahku? Ang-hong-cu?"

   Tang Gun masih terbelalak dan ketika Han Lojin tersenyum sambil mengangguk-angguk, dia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki ayahnya.

   "Ayah...!"

   Tang Gun berseru, gembira dan juga terharu bercampur bangga.

   "Bangkitlah dan duduk! Aku tidak suka melihat kecengengan, apa lagi kalau dilakukan oleh anakku! Nah, Tang Gun, engkau sudah tahu sekarang bahwa aku adalah Ang-hong-cu Tang Bun An. Akan tetapi, karena orang lain tidak tahu bahwa aku Ang-hong-cu, dan aku sekarang telah menjadi beng-cu dan juga pangcu dari Ho-han-pang, maka engkau tidak boleh menyebut ayah, harus menyebut Bengcu kepadaku. Mengerti?"

   "Baik ayah... eh, Bengcu."

   "Hati-hati, jangan sampai keliru menyebutku, apa lagi di depan orang lain. Aku belum ingin dikenal sebagai Ang-hong-cu!"

   "Baik, bengcu. Dan setelah sekarang kita berhadapan, saya ingin mengajukan permohonan.",

   "Hemm, katakan, apa yang kau kehendaki?"

   "Saya ingin... membantu Bengcu, ingin dekat bengcu, dan mendapatkan petunjuk bengcu."

   Han Lojin tersenyum girang. Memang itulah yang dikehendakinya. Tidak ada pembantu yang lebih setia dari pada anak sendiri.

   "Baik sekali, Tang Gun. Memang kami sedang membutuhkan banyak pembantu yang pandai. Engkau boleh ikut bersamaku. Akan tetapi sebelumnya, ketahuilah bahwa Ho-han-pang dipimpin oleh Han Lojin, yaitu namaku sebagai bengcu."

   Han Lojin mengambil topeng tipisnya dan dalam beberapa detik saja wajahnya sudah berubah menjadi seorang laki-laki setengah tua yang berkumis dan berjenggot rapi dan gagah.

   "Aku adalah Han Lojin, pangcu dari Ho-han-pang, juga Bengcu dari dunia kang-ouw. Mari engkau ikut denganku, kuperkenalkan kepada para pembantuku yang lain."

   "Akan tetapi, Bengcu. Bagaimana dengan Sumoi? Ia akan menanti-nanti dan tentu menjadi curiga kalau saya tidak segera kembali. Kami bersama pergi ketika kami hendak melakukan penyelidikan terhadap orang yang tadinya kuanggap musuh, yaitu perwira Tang Bun An. Bagaimana baiknya sekarang menghadapi Sumoi?"

   "Siapakah Sumoimu itu? Dari para penyelidik aku hanya mendengar bahwa engkau menyamar sebagai seorang tua muncul bersama seorang gadis cantik. Penyamaranmu terlalu kasar sehingga anak buahku mengetahuinya dan lapor kepadaku."

   "Sumoi adalah puteri dari Suhu dan Subo, bengcu."

   "Ia lihai dan tenaganya boleh diandalkan?"

   "Tentu saja, bengcu! Ia lebih lihai dari pada saya, jauh lebih lihai. Saya kira, agak sukar untuk menemukan orang yang akan mampu menandingi Sumoi."

   Kata Tang Gun dengan nada suara bangga, namun sungguh-sungguh.

   "Hem, begitukah? Akan tetapi aku belum tahu sampai di mana tingkat kepandaianmu. Nah, sambutlah!"

   Tiba-tiba saja Han Lojin menyerang Tang Gun.

   Pemuda ini tahu bahwa dirinya diuji, maka diapun cepat mengelak ke belakang dengan loncatan jungkir balik. Sementara menjadi murid ayah dan ibu Bi Lian, pemuda ini memang memperoleh kemajuan yang pesat sekali dan dia jauh lebih lihai dibandingkan dahulu ketika masih menjadi perwira pengawal. Melihat gerakan yang lincah ini, Han Lojin menjadi gembira dan diapun menyerang terus dengan jurus-jurus ampuh. Tang Gun juga ingin memperlihatkan kehebatannya, maka begitu menghadapi serangan ayah kandungnya itu, diapun sudah memainkan ilmu silat Kim-ke Sin-kun yang hebat! Kembali Han Lojin terkejut dan juga semakin gembira. Dia mendesak terus, mengerahkan tenaganya namun sampai lima puluh jurus puteranya itu mampu mempertahankan diri. Kalau dia mau, tentu dia dapat akhirnya merobohkan juga Tang Gun, akan tetapi dia tidak menghendaki itu.

   "Cukup!"

   Serunya sambil melompat mundur. Tang Gun tadi sudah terdesak hebat, maka legalah hatinya melihat Han Lojin menghentikan serangannya. Han Lojin menilai kepandaian Tang Gun Su dah lumayan, biarpun belum sehebat ilmu kepandaian tiga orang pembantu utamanya, namun hanya sedikit selisihnya di bandingkan tingkat kepandaian Ji Sun Bi.

   "Dan kau bilang tadi kepandaian Sumoimu lebih tinggi dari pada kepandaianmu?"

   "Jauh lebih tinggi, bengcu. Saya tdak akan mampu bertahan selama lima puluh jurus kalau ia menyerang saya."

   "Hemmm..."

   Han Lojin tertarik sekali.

   "Siapa nama Sumoimu itu?"

   "Namanya Siangkoan Bi Lian."

   "Siangkoan... Bi Lian... ah, rasanya nama itu tidak asing bagiku hemmm, tentu aku pernah bertemu dengannya, atau setidaknya pernah mendengar namanya. O ya, apakah ia pernah bersama-sama para pendekar membasmi pemberontakan Lam-hai Giam-lo dan membantu pemerintah?"

   "Benar bengcu. Pernah Sumoi bercerita bahwa ia pernah membantu pemerintah dengan para pendekar membasmi pemberontakan yang dipimpin Lam-hai Giam-lo."

   Han Lojin mengangguk-angguk. Dia masih belum ingat benar yang mana di antara para pendekar wanita itu yang dimaksudkan oleh Tang Gun. Akan tetapi, jelas bahwa gadis bernama Siangkoan Bi Lian itu tentu lihai sekali, berbahaya kalau menjadi lawan, namun amat menguntungkan kalau menjadi kawan atau pembantu. Dan seperti juga Cia Kui Hong, gadis itu tentu mengenalnya sebagai Han Lojin dan juga sebagai Ang-hong-cu. lni berbahaya!

   "Tang Gun, benarkah pernyataanmu tadi bahwa engkau hendak membantuku dengan setulus hatimu? Dengan penuh kesetiaan?"

   "Bengcu adalah penolong saya, bahkan bengcu adalah ayah kandung saya. Sudah tentu saja saya suka membantu dengan setia, kalau perlu dengan berkorban nyawa! Saya mau bersumpah..."

   "Tak perlu bersumpah. Aku baru percaya kepadamu kalau ada bukti yang nyata, melalui perbuatan."

   "Saya selalu siap melaksanakan semua perintah bengcu!"

   "Nah, sekarang dengarkan baik-baik. Aku ingin agar bukan hanya engkau saja yang menjadi pembantuku, akan tetapi juga Sumoimu yang amat lihai itu. Bagaimana pendapatmu?"

   "Itu baik sekali, bengcu, dan saya akan gembira bukan main kalau sampai Sumoi suka pula membantumu. Akan tetapi, saya kira tidak akan mudah membujuknya, bengcu. Sumoi berwatak sukar didekati, keras dan galak, tidak mau tunduk, kepada siapapun juga..."

   

Asmara Berdarah Eps 27 Asmara Berdarah Eps 36 Pendekar Mata Keranjang Eps 34

Cari Blog Ini