Ceritasilat Novel Online

Pendekar Kelana 18


Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo Bagian 18



"Jadi kalian inilah yang berjuluk Bu-tek Ngo-sian? Kalian yang dahulu bersama Toa Ok dan Ji Ok menyerbu Pulau Teratai Merah dan mengeroyok kakek buyutku Ceng Thian Sin? Bagus, bersiaplah kalian untuk menebus dosa!"

   Lima orang itu terkejut mendengar bahwa gadis yang lihai ini adalah cucu buyut Ceng Thian Sin si Pendekar Sadis! Pantas ia demikian lihai, dan lima orang itu diam-diam merasa gentar juga. Mereka masih belum melupakan peristiwa di Pulau Teratai Merah di mana mereka mengeroyok Ceng Thian Sin bersama dua orang datuk besar Toa Ok dan Ji Ok. Mereka bertujuh mengeroyok pendekar perkasa itu dan mereka semua terluka dalam yang cukup hebat sehingga memerlukan waktu berbulan-bulan untuk mengobatinya. Akan tetapi mereka tidak percaya kalau gadis ini mampu melawan mereka berlima. Bagaimanapun juga gadis itu masih muda sekali dan tentu saja belumm berpengalaman.

   "Serbu! Bunuh bocah sombong ini!"

   Bentak Ciok Khi. Mendengar perintah in, Sia Leng Tek, orang kedua yang tinggi kurus bermuka pucat, lalu Cong Boan, orang ketiga yang bertubuh sedang dan mukanya penuh brewok, dan Bwa Koan Si, si orang ke empat yang pendek gendut, sudah mencabut pedang masing-masing dan kini lima orang itu dengan pedang di tangan mengepung Hui Lan. Di lihat keadaannya seolah-olah seekor domba muda yang lunak dagingnya dikepung oleh lima ekor srigala yang kelaparan dan haus! Hui Lan tidak menjadi gentar dan kembali ia mengerahkan kekuatan sihirnya dan membentak,

   "Kalian berlima berlututlah!"

   Mendengar bentakan ini, dua diantara mereka menekuk lututnya, akan tetapi mereka segera dapat menolak kekuatan sihir itu dengan pengerahan sinkang mereka. Maklumlah Hui Lan bahwa sihirnya tidak akan dapat dipergunakan untuk mempengaruhi mereka yang memiliki sinkang yang kuat. Diantara ilmu-ilmu yang di ajarkan Ayahnya kepadanya, ilmu sihir inilah yang paling lemah. Maka melihat kekuatan sihirnya tidak mempan lagi, iapun sudah siap dengan sepasang pedang disilangkan di depan dada. Melihat gadis itu dikepung lima orang, Si Kong lalu tertawa bergelak dan dia menanggalkan caping yang tadi menutup kepalanya dan berkata,

   "Ha-ha-ha, kalin berjuluk Lima Dewa Tanpa Tanding akan tetapi kini berlima mengeroyok seorang gadis. Lebih baik kalian mengubah julukan menjadi Lima Orang Iblis Tak Tahu Malu!"

   Setelah berkata demikian, dia memungut sebatang kayu ranting pohon dan sekali melompat, dia sudah berdiri di belakang Hui Lan. Kini Si Kong dan Hui Lan berdiri saling membelakangi dan menghadapi lima orang pengepung itu. Si Kong siap dengan tongkatnya dan Hui Lan siap dengan sepasang pedangnya.

   "Lan-moi, jangan kau pergunakan pedangmu untuk membunuh orang,"

   Bisik Si Kong. Hui Lan yang tadinya sudah marah sekali mendengar bahwa lima orang itu yang mengeroyok kakek buyutnya dan kemarahan membuat ia berkeinginan untuk membunuh mereka, kini mendengar bisikan Si Kong menjadi sadar dan iapun mengangguk dan berbisik kembali.

   "Baiklah, Kong-ko."

   Lega rasa hati Si Kong mendengar jawaban ini. Lima orang yang sudah mengepung itu, kini tidak dapat menahan kemarahan mereka dan segera mereka menyerbu dengan ganas. Karena mereka memandang ringan kepada Si Kong yang belum mereka ketahui kelihaiannya, maka orang pertama, kedua dan ketiga menghadapi Hui Lan, sedangkan Si Kong dilawan oleh orang keempat dan kelima. Belasan orang anggauta Kwi-jiauw-pang yang tadi mengeroyok Si Kong dan Hui Lan, tidak berani maju dan hanya menonton saja. Mereka percaya bahwa Bu-tek Ngo-sian tentu akan dapat merobohkan dua orang muda itu. Akan tetapi pengharapan mereka ini ternyata tidak terjadi. Bwa Koan Si yang gendut dan Bhe Song Ci yang katai, sebentar saja merasa betapa lihainya pemuda yang mereka keroyok.

   Biarpun mereka berdua menggerakkan pedang dengan ganas sehingga setiap gerakan pedang merupakan serangan maut yang dahsyat, namun pedang mereka tak pernah berhasil mengenai tubuh pemuda itu. Kalau tidak dielakkan tentu tertangkis oleh tongkat yang bergerak aneh sekali. Setiap pedang mereka bertemu tongkat, mereka merasa telapak tangan yang memegang pedang tergetar hebat dan hampir saja mereka melepaskan senjata mereka. Keadaan Hui Lan lain lagi. Biarpun sepasang pedangnya yang membentuk dua gulungan sinar hitam itu hebat dan kuat sekali, namun pengeroyokan tiga orang itu membuat ia dihujani serangan dan kedua pedangnya menjadi senjata untuk mempertahankan diri saja, tidak ada kesempatan untuk membalas. Akan tetapi, tiga orang pengeroyok itupun tidak pernah dapat menyentuh sehingga mereka menjadi penasaran dan mendesak terus.

   Sambil melayani dua orang pengeroyoknya, Si Kong dapat membagi perhatiannya ke arah Hui Lan dan melihat Hui Lan terdesak oleh tiga orang pengeroyoknya, Si Kong segera mempercepat gerakan tongkatnya. Ta-kaw Sin-tung (Tongkat Sakti Pemukul Anjing) yang dimainkan berubah dengan desakan yang kuat kepada dua orang pengeroyoknya. Dua orang itu terkejut, akan tetapi mereka tidak mampu menghindar ketika tongkat itu menghantam lutut kiri si gendut Bwa Koan Si dan dalam detik lain memukul pundak kiri si katai Bhe Song Ci. Kedua orang itu berteriak kesakitan. Bwa Koan Si memegang sebelah kakinya yang terpukul dan berloncat-loncatan, tidak memperulikan lagi pedang yang dilepaskannya karena tangan kanan sibuk memegangi lututnya sambil mengaduh-aduh. Lutut yang terpukul itu bukan main nyerinya, mendenyut-denyut sampai terasa di jantungnya.

   Sedangkan Bhe Song Ci terpaksa melepaskan pedangnya karena pundaknya yang terpukul itu membuat lengan kanannya menjadi lumpuh. Diapun mengeluh kesakitan sambil mendekap pundak kanan yang terpukul tadi. Si Kong tidak lagi memperdulikan dua orang itu dan dia sudah menyerbu ke arah tiga orang yang mengeroyok dan mendesak Hui Lan. Begitu dia menggerakkan tongkatnya, kepungan itu menjadi kacau balau. Ciok Khi, orang pertama yang mukanya bopeng, melihat betapa dua orang rekannya telah kalah dan tidak mampu melanjutkan perkelahian. Diam-diam ia terkejut sekali dan maklum bahwa pemuda yang mereka pandang remeh itu tidak kalah lihainya dibandingkan dengan gadis cucu buyut Pendekar Sadis! Maka ia memberi aba-aba kepada dua orang rekannya untuk mengeroyok Si Kong, sedangkan dia sendiri masih menyerang Hui Lan dengan ganasnya.

   Akan tetapi, dengan bantuan dua rekannya saja dia tidak mampu mengalahkan Hui Lan. Maka, setelah seorang dari dia melawan gadis itu, dia segera terdesak hebat! Semua serangannya kandas oleh pedang di tangan kanan Hui Lan, sedangkan pedang di tangan kiri gadis itu membalas serangan dengan hebatnya. Ciok Khi merupakan orang tertua dan terlihai diantara lima orang Bu-tek Ngo-sian. Dia merasa amat penasaran karena tidak dapat mengalahkan seorang gadis. Dikerahkannya seluruh tenaganya dan dikeluarkan semua ilmu silat yang dikuasainya. Pertandingan antara Si Kong dan dua orang pengeroyok barunya tidak berlangsung lama. Si Kong segera memainkan Ta-kaw Sin-tung. Tongkatnya menyambar-nyambar, demikian cepat dan tidak disangka-sangka gerakannya.

   Baru belasan jurus saja Sia Leng Tek dan Cong Boan terpelanting dan pedang mereka terlepas dari tangan mereka. Akan tetapi kini Si Kong tidak mau membantu Hui Lan. Gadis itu bertanding melawan seorang, maka dia tidak mau mengeroyok. Apalagi melihat Hui Lan mendesak lawannya dengan hebat. Dia tahu bahwa sebentar lagi Hui Lan pasti akan mampu mengalahkannya. Dugaan Si Kong tepat. Ketika Ciok Khi menyerang Hui Lan dengan sabetan pedangnya yang mengarah pinggang, Hui Lan menggunakan pedang kirinya untuk menangkis sekaligus mengerahkan tenaga sinkang untuk menempel sehingga pedang mereka saling melekat. Saat itu dipergunakan oleh Hui Lan untuk membabatkan pedangnya dari atas kebawah mengenai pedang lawan yang sudah tertahan oleh pedang kirinya itu.

   "Trakkk...!"

   Pedang di tangan Ciok Khi terpotong menjadi dua! Sebelum hilang kagetnya, Ciok Khi menerima tendangan kaki kiri Hui Lan yang tepat mengenai perutnya sehingga tubuhnya terjengkang dan terbanting keras di atas tanah. Empat orang saudaranya lalu menolongnya, memapahnya untuk bangkit dan tanpa kata-kata lagi mereka berlima pergi meninggalkan tempat itu. belasan orang anggauta Kwi-jiauw-pang menjadi ketakutan, akan tetapi Si Kong berkata kepada mereka.

   "Kalian jangan takut. Kami bukan orang yang membunuhi rekan-rekanmu ini. Bahkan kami berniat untuk mengubur mereka. Kalau kami menghendaki, sekarang juga kalian sudah mati semua. Nah, sekarang setelah ada kalian, tidak perlu lagi kami mengubur mayat-mayat ini. Kalian yang harus mengubur mereka."

   Belasan orang itu merasa bersyukur bahwa pemuda dan gadis pendekar itu tidak membunuh mereka. Mereka hanya dapat merangkak dan memandang ketika kedua orang pendekar itu meninggalkan tempat itu dan melanjutkan perjalanan menuju puncak. Di puncak Kwi-liong-san yang menjadi sarang perkumpulan Kwi-jiauw-pang semua orang telah bersiap-siap menghadapi pertempuran karena mereka maklum bahwa banyak tokoh persilatan mendaki pegunungan itu untuk memperebutkan Pek-lui-kiam. Pada hari itu, ketiga pangcu dari Kwi-jiauw-pang mengadakan perundingan di ruangan dalam yang luas. Bwe Hwa dan Leng Kun pun ikut pula berbincang-bincang.

   "Keadaan menjadi ramai sekali,"

   Antara lain Toa Pangcu atau Toa Ok berkata.

   "Bukan saja banyak orang mendaki puncak ini untuk menyelidiki dan memperebutkan Pek-lui-kiam, akan tetapi kebetulan saatnya berbareng dengan janji tiga orang datuk besar yang sudah berjanji dengan kami akan mengadakan pertemuan dan menentukan siapa diantara kami yang paling lihai dan patut memperoleh julukan "Datuk Terkuat Di Dunia". Yang akan muncul adalah Lam Tok, datuk dari selatan, Tung-giam-ong datuk dari timur, dan Pai-ong datuk dari utara. Yang mewakili barat adalah kami berdua, yaitu Toa Pangcu dan Ji Pangcu atau di dunia persilatan lebih dikenal Toa Ok dan Ji Ok."

   Mendengar ini, Bwe Hwa memandang penuh perhatian dan juga keheranan. Ia pernah mendengar nama besar Toa Ok dan Ji Ok, dua orang datuk besar dari barat, juga betapa mereka itu adalah dua orang yang amat kejam, tidak pantang melakukan kejahatan apapun, maka disebut Toa Ok dan Ji Ok (Si Jahat Pertama dan Si Jahat Kedua). Akan tetapi sungguh mengherankan. Kalau mereka sudah menguasai Pek-lui-kiam, mengapa dengan mudah begitu saja mereka menyerahkan pedang mereka itu kepadanya? Sam Pangcu atau Ang I Sianjin melihat perubahan air muka gadis perkasa itu, maka diapun cepat berkata,

   "Semua orang akan datang memusuhiku karena hendak merampas Pek-lui-kiam. Tentu Pek-Lihiap tidak keberatan untuk membantuku kalau aku terlampau didesak oleh mereka."

   Bwe Hwa hanya mengangguk akan tetapi sukar untuk menjawab. Ia kini merasa bingung, tak dapat menentukan pihak tuan rumah ini sebagai kawan ataukah lawan. Kalau sebagai kawan, agaknya sungguh janggal kalau ia berkawan dengan orang-orang seperti Toa Ok dan Ji Ok yang terkenal sebagai manusia-manusia jahat.

   Akan tetapi kalau sebagai lawan, rasanya janggal pula karena mereka sudah menyerahkan Pek-lui-kiam kepadanya, memperlakukannya dengan hormat dan ramah. Terutama sekali Leng Kun juga menjadi sahabat baik mereka. Karena itu ia menyabarkan hatinya dan ingin melihat bagaimana perkembangannya nanti. Kalau pihak tuan rumah bertempur dengan musuh karena urusan pribadi, ia tidak akan mencampuri urusan mereka, tidak mau terlibat. Akan tetapi kalau tuan rumah bertempur karena pedang Pek-lui-kiam hendak dirampas, tentu saja ia akan membantu tuan rumah karena merebut pedang pusaka itu, sama saja dengan menyerang ia yang kini menjadi pemilik Pek-lui-kiam. Agaknya ucapan Ang I Sianjin dan sikap Bwe Hwa itu menarik pula perhatian Toa Ok.

   "Ha-ha, tentu saja nona Pek akan membantu. Kalau para datuk itu muncul, maka itu adalah urusan kami berdua yang akan bertanding memperebutkan sebutan datuk terkuat di dunia. Akan tetapi kalau yang datang itu untuk memperebutkan Pek-lui-kiam, tentu nona Pek tidak akan tinggal diam. Bukankah begitu, nona Pek?"

   Bwe Hwa terpaksa menjawab.

   "Benar demikian. Aku tidak ingin melibatkan diri dengan urusan pribadi kalian. Akan tetapi kalau urusan memperebutkan Pek-lui-kiam, aku tidak akan tinggal diam."

   Baru mereka bercakap-cakap, muncullah Bu-tek Ngo-sian. Melihat wajah mereka yang pucat dan pakaian mereka yang kusut, tiga orang ketua itu terkejut.

   "Ngo-sian, apakah yang telah terjadi?"

   Bentak Toa Ok. Sudah lama Bu-tek Ngo-sian memang menjadi pembantu-pembantunya.

   "Kami berlima menemui halangan, Toa-pangcu. Kami melihat betapa beberapa orang anggauta kami telah tewas dan ada pula yang terluka oleh seorang pemuda dan seorang gadis yang amat lihai ilmu silatnya. Masih untung kami berlima tidak terbunuh dan dapat meloloskan diri."

   "Hemm, jahanam! Siapakah nama pemuda dan gadis itu?"

   Tanya Toa Ok dengan marah dan penasaran. Lima orang pembantunya ini adalah tokoh-tokoh dunia persilatan yang telah memiliki ilmu silat yang tinggi. Apalagi kalau mereka berlima maju bersama, mereka merupakan lawan yang tangguh sekali. Bagaimana mungkin para pembantunya ini dapat dikalahkan oleh seorang pemuda dan seorang gadis? Lima orang Bu-tek Ngo-sian itu saling pandang, kemudian Ciok Khi yang paling tua diantara mereka menjawab dengan takut-takut,

   "Maaf, Toa Pangcu, kami tidak sempat bertanya kepada mereka. Akan tetapi kami yakin mereka masih berada di sana."

   Ji Ok bangkit berdiri dengan muka merah karena marah.

   "Keparat, kalian berlima kalah oleh dua orang muda? Sam Pangcu, mari kita berdua yang memberi hajaran kepada pemuda dan gadis itu! Hayo, Ngo-sian, kalian menjadi penunjuk jalan!"

   Sam pangcu atau Ang I Sianjin segera bangkit berdiri dan Toa Ok mengangguk menyetujui. Ji Ok dan Ang I Sianjin segera berangkat bersama Bu-tek Ngo-sian menuruni puncak. Akan tetapi baru saja mereka tiba dilereng pertama, tiba-tiba saja mereka melihat seorang kakek tinggi besar dan berkepala botak, dan sepasang golok besar menempel dipunggungnya. Kakek ini berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang, bersilang tangan di depan dada dan memandang mereka yang turun dari bukit itu dengan senyum mengejek. Ketika dia melihat Ji-pangcu, dia tertawa bergelak lalu berkata,

   "Ha-ha-ha-ha, kiranya Ji Ok sudah berada disini! Di mana Toa Ok. Suruh dia maju bersamamu untuk melihat siapa diantara kita yang paling lihai!"

   Ji Ok sendiri terkejut bukan main melihat kakek ini. Tidak disangkanya kakek botak ini datang demikian cepatnya. Kakek ini adalah seorang diantara para datuk besar yang hendak mengadu ilmu untuk menentukan siapa datuk terkuat di dunia.

   "Aha, kiranya Pai-ong Loa Thian Kunm sudah datang. Waktu untuk melakukan pertandingan merebut julukan datuk terkuat di dunia masih beberapa hari lagi. Kami akan menantimu dipuncak Kwi-liong-san seperti yang telah kita sepakati bersama. Sekarang kami masih mempunyai urusan lain untuk dibereskan, harap engkau tidak menghalangi kami."

   "Ha-ha-ha, aku datang bukan hanya untuk pertandingan itu, melainkan juga untuk melihat Pek-lui-kiam yang kabarnya berada di puncak Kwi-liong-san, di tangan ketua Kwi-jiauw-pang. Siapakah ketua Kwi-jiauw-pang?"

   "Ketuanya adalah kami bertiga, yaitu Toa Ok, aku sendiri dan Sam Ok yang berada disini."

   Jawab Ji Ok.

   "Ha-ha-ha, kalau begitu kebetulan sekali. Hayo, serahkan Pek-lui-kiam kepadaku, baru aku akan membiarkan kalian lewat!"

   Ang I Sianjin atau yang kini memakai sebutan Sam Ok menjadi marah. Dia berada disitu bersama Ji Ok dan Bu-tek Ngo-sian. Biapun yang berada di depan mereka itu adalah Pai-ong, namun dia tidak merasa takut. Mereka bertujuh tentu akan mampu menandingi dan mengalahkan Pai-ong. Dia melangkah maju dan membentak,

   "Enak saja engkau meminta Pek-lui-kiam! Biarpun engkau berjuluk Pai-ong, kami tidak takut kepadamu!"

   Pai-ong Loa Thian Kun tersenyum lebar memandang kepada kakek berjubah merah itu.

   "Hemm, kalau tidak salah orang-orang mengabarkan bahwa Pek-lui-kiam berada di tangan Ang I Sianjin. Engkau kiranya orang itu. Kalau kalian tidak memberikan Pek-lui-kiam sekarang juga kepadaku, terpaksa aku akan menghajar kalian!"

   "Manusia sombong, siapa takut kepadamu?"

   Bentak Sam Ok dan dia sudah menerjang maju dengan pukulan yang dahsyat ke arah kepala Pai-ong. Orang yang diserang itu masih sempat tertawa dan ketika pukulan Sam Ok sudah menyambar dekat, diapun melakukan gerakan mendorong dengan tangan kirinya, menyambut pukulan tangan kanan Sam Ok.

   "Desss...!"

   Tubuh Sam Ok terpental sampai lima langkah! Wajah ketua ketiga dari Kwi-jiauw-pang ini terkejut sekali dan menjadi pucat karena dia merasa betapa pertemuan tangannya dengan tangan Pai-ong itu membuat jantungnya terguncang hebat. Cepat dia menghirup napas panjang dan menghimpun tenaga murni untuk menenangkan isi dadanya. Maklumlah dia bahwa datuk Utara ini memiliki tenaga sinkang yang amat kuat. Ji Ok yang sudah tahu akan kesaktian kakek datuk utara itu lalu maju selangkah.

   "Pai-ong, kuyakin engkau bukanlah seorang datuk yang curang dan pengecut. Engkau sudah tahu bahwa lawanmu adalah kami berdua, Toa Ok dan Ji Ok. Sekarang belum tiba saatnya bagi kita untuk bertanding, karena Toa Ok tidak berada disini. Kalau engkau memang gagah perkasa, datanglah esok lusa di puncak Kwi-liong-san. Kalau diantara semua datuk ternyata engkau yang paling lihai, tentu saja engkau berhak mendapatkan Pek-lui-kiam!"

   Pai-ong tertawa.

   "Ha-ha-ha, engkau cerdik Ji Ok. Karena disini tidak ada Toa Ok, engkau merendahkan diri. Baiklah, esok lusa aku akan naik ke puncak dan kalau ternyata aku yang paling kuat diantara semua datuk, pedang pusaka Pek-lui-kiam harus diserahkan kepadaku!"

   Setelah berkata demikian, sekali berkelebat Pai-ong sudah lenyap dari situ dan hanya suara tawanya yang masih terdengar, bergema di seluruh lembah. Diam-diam Ang I Sianjin bergidik.

   "Sam Pangcu, lain kali harap engkau tidak terlalu lancang untuk turun tangan. Pai-ong itu berbahaya sekali, masih untung bahwa engkau tidak terluka hebat ketika bertanding dengan dia. Pukulannya yang menangkis seranganmu tadi adalah Hwe-ciang (Tangan Api) yang amat dahsyat."

   Ang I Sianjin mengangguk.

   "Tak kusangka dia sedemikian tangguhnya."

   Mereka lalu melanjutkan perjalanan, akan tetapi ketika mereka tiba di tempat dimana Bu-tek Ngo-sian bertanding melawan Si Kong dan Hui Lan, pemuda dan gadis itu tidak ada lagi disitu. Yang ada disitu hanyalah orang-orang Kwi-jiauw-pang yang baru saja selesai mengubur jenazah rekan-rekan mereka.

   "Kemana perginya pemuda dan gadis itu?"

   Tanya Ciok Khi kepada mereka. Melihat para pimpinan itu m arah-marah, para anggauta Kwi-jiauw-pang itu menjawab dengan takut-takut.

   "Mereka telah pergi entah kemana."

   "Apakah kalian tadi menanyakan namanya?"

   Tanya Sam Pangcu.

   "Tidak, Sam Pangcu. Kami tidak sempat bertanya."

   Ji Pangcu dan Sam Pangcu hanya dapat memaki dan mengomel, lalu mereka semua kembali ke puncak dengan wajah lesu. Telah dua minggu lamanya Pek Bweh Hwa menjadi tamu kehormatan di puncak Kwi-liong-san. Ia mulai tidak betah dan menyatakan kepada Leng Kun bahwa ia ingin segera pergi dari situ.

   "Jangan tergesa-gesa, Hwa-moi. Kita disini diperlakukan dengan ramah dan hormat, kenapa engkau menjadi tidak betah?"

   Kata Coa Leng Kun sambil mengamati wajah cantik itu dengan sepasang mata yang bersinar-sinar, seperti mata seekor harimau kelaparan memandang seekor domba. Bwe Hwa mengerutkan alisnya. Beberapa kali ia melihat pandang mata seperti itu dan diam-diam ia merasa tidak senang. Selama ini dia menganggap Leng Kun seorang pendekar muda yang selain tampan, juga bersikap sopan dan baik terhadap dirinya. Pemuda berpakaian putih ini kelihatan seperti seorang pendekar muda yang budiman dan gagah perkasa. Hanya kalau Leng Kun memandang kepadanya seperti itu yang membuat ia menjadi ragu terhadap kebaikan Leng Kun. Selama ini, ia melihat pandang mata seperti itu diperlihatkan para pria yang berniat cabul terhadap dirinya.

   "Justeru karena pimpinan Kwi-jiauw-pang yang bersikap terlalu baik kepadaku, aku menjadi semakin tidak enak. Siapa tahu, dibalik semua sikap baik itu terkandung niat yang keji."

   "Aih, kenapa engkau menjadi curiga? Bukankah mereka telah berbuat baik sekali kepada kita, terutama sekali kepadamu? Mereka bahkan telah menyerahkan Pek-lui-kiam kepadamu!"

   "Hal itu juga membuat aku bertambah curiga, Kun-ko. Bayangkan saja, mereka bersiap-siap untuk melawan semua orang yang datang ke sini untuk memperebutkan Pek-lui-kiam, akan tetapi mereka bahkan menyerahkan pedang pusaka itu kepadaku! Rasanya tak mungkin sekali, kecuali kalau mereka tidak jujur dan menyerahkannya kepadaku agar aku tidak ikut berebutan pedang."

   "Hemm, aku tidak dapat membantahmu kalau begitu, Hwa-moi. Akan tetapi jangan sekarang kita pergi, Hwa-moi. Tunggulah beberapa hari kalau mereka sedang bergembira."

   "Baik, aku menanti sampai tiga hari, baru aku akan pergi dari sini, Kun-ko. Kalau engkau merasa senang tinggal disini, engkau tinggallah di sini dan aku akan turun puncak seorang diri."

   Percakapan itu membuat Leng Kun gelisah sekali. Maka dia lalu merundingkannya dengan ketiga ketua Kwi-jiauw-pang. Selagi mereka berunding, muncullah empat orang wakil Pek-lian-pai, yaitu Kui Hwa Cu, Lian Hwa Cu, Thian Hwa Cu dan Thiat Hwa Cu. Keempat orang pendeta Pek-lian-kauw ini menyebut diri sendiri See-thian Su-hiap (Empat Pendekar dari Barat). Sebetulnya mereka adalah pendeta-pendeta Tibet yang tersesat, menyimpang dari ajaran Budha yang berkembang di Tibet. Mereka dianggap pengkhianat dan setelah menjadi buronan, empat orang ini lalu masuk menjadi anggauta Pek-lian-kauw. Mereka mengenakan jubah kuning, rambut digelung ke atas memakai tali sutera putih dan di Pek-lian-kauw mereka mendapat kedudukan terhormat sebagai pembantu para pimpinan Pek-lian-pai.

   Ketika Pek-lian-pai mengutus Coa Leng Kun yang menjadi anggauta Pek-lian-pai juga, pergi ke Kwi-jiauw-pang untuk membantu Kwi-jiauw-pang mempertahankan pedang pusaka Pek-lui-kiam, dan setelah Leng Kun berada di Kwi-jiauw-pang, pemuda ini mengirim utusan untuk melapor dan minta bantuan Pek-lian-pai. Maka pimpinan perkumpulan pemberontak itu lalu mengirim See-thian Su-hiap untuk memperkuat Kwi-jiauw-pang, membawa sepasukan anak buah Pek-lian-pai. See-thian Su-hiap lalu menghadap para pimpinan Kwi-jiauw-pang, dan pasukan Pek-lian-pai juga mendaki puncak Kwi-liong-san. Tentu saja mereka diterima dengan senang hati dan tangan terbuka. Ketika Leng Kun sedang membicarakan keinginan Bwe Hwa yang akan meninggalkan tempat itu, muncullah See-thian Su-hiap ke ruangan yang luas itu. Munculnya empat orang ini menyadarkan Leng Kun.

   "Ahh, kenapa aku hampir melupakan kehadiran empat orang totiang di sini? Kalian dapat membantu aku!"

   See-thian Su-hiap dipersilakan duduk, dan Kui Hwa Cu tersenyum kepada Leng Kun.

   "Coa-sicu, bantuan apakah yang dapat kami lakukan untukmu?"

   "Kami baru saja membicarakan tentang nona Pek Bwe Hwa yang mulai bercuriga kepada kita dan ia ingin segera meninggalkan puncak ini. Kalau saja su-wi totiang mau membantuku agar gadis itu tunduk kepadaku, tentu maksudku akan berhasil dan kita akan dapat menahan dan mengikat gadis itu agar mau membantu kita dan tidak pergi meninggalkan puncak."

   "Apa yang harus kami lakukan?"

   "Sebaiknya kita merundingkan hal itu diruangan lain, totiang. Pangcu, kami mohon pergi meninggalkan ruangan ini untuk mencari jalan yang baik mengatasi urusan ini."

   Toa Ok tertawa.

   "Ha-ha, boleh saja. Aku sudah dapat menerka apa yang akan kalian bicarakan. Memang kuda betina itu harus ditundukkan agar menjadi jinak dan penurut, ha-ha-ha!"

   Leng Kun mengajak See-thian Su-hiap ke ruangan lain dan disitu mereka bicara. Leng Kun minta kepada mereka yang pandai menggunakan sihir itu untuk menyihir Bwe Hwa agar gadis itu menurut akan segala kehendaknya. Sekali Bwe Hwa sudah menjadi miliknya, gadis itu tentu selanjutnya akan taat kepadanya. Malam itu gelap dan sunyi sekali. Tengah malam telah lewat dan hawa udara semakin dingin. Sunyi yang mengerikan, seolah ada hal-hal aneh yang akan terjadi.

   Bwe Hwa tidur nyenyak, akan tetapi tiba-tiba saja ia terbangun seperti ada yang menggugahnya. Tadi ia bermimpi. Dalam mimpi itu ia pesiar dengan Leng Kun dan pemuda itu bersikap amat mesra kepadanya. Leng Kun merangkulnya dan memeluknya. Di dalam hatinya, Bwe Hwa tidak sudi diperlakukan seperti itu, akan tetapi sungguh aneh, ia tidak kuasa menolak, tidak dapat melawan. Akhirnya ia dapat meronta dan terjatuh. Dan pada saat itu ia tergugah dari tidurnya. Bwe Hwa merasa betapa tubuhnya panas. Ia bangkit duduk dan menghapus peluh dengan ujung bajunya. Akan tetapi tiba-tiba ada hasrat timbul di hatinya untuk mencari Leng Kun! Entah mengapa, ia merasa rindu kepada pemuda itu. Bagaikan orang yang bermimpi, ia turun dari pembaringannya dan melangkah ke pintu kamar, membuka pintu itu dengan perlahan, lalu ia melangkah keluar.

   "Kun-ko..."

   Ia berbisik. Pada saat ia keluar dari kamar itu hawa dingin menyergapnya dan tiba-tiba Bwe Hwa seperti orang tidur disiram air, gelagapan dan menjadi sadar kembali. Ia merasa heran mengapa ia berada diluar kamarnya dan ada dorongan kuat dalam hatinya untuk menuju ke kamar Leng Kun. Dan begitu hasrat ini tak tertahankan lagi, sadarlah Bwe Hwa bahwa hal ini tidaklah wajar! Ada kekuatan sihir yang hendak menguasai dirinya agar ia pergi ke kamar Leng Kun, ada hasrat tak wajar yang memaksanya untuk merasa rindu kepada Leng Kun.

   "Jahanam...!"

   Bisiknya dan iapun menyilangkan kedua lengannya depan dada sambil mengerahkan tenaga batinnya untuk melawan kekuatan gelap itu. Sebentar saja dorongan kekuatan itu berhentu dan ia sudah benar-benar sadar kembali. Mukanya menjadi merah kalau ia teringat betapa tadi ia merindukan kemesraan dari Leng Kun dan kemarahan memenuhi hatinya. Timbul keinginan hatinya yang terdorong kemarahan untuk menggedor pintu kamar Leng Kun dan memakinya, karena ia menduga bahwa tentu pemuda itu yang menggunakan sihir untuk menguasainya, akan tetapi kesadarannya membuat ia mencegah perbuatan ini.

   "Tidak,"

   Katanya kepada diri sendiri.

   "Aku harus dapat membuktikan dulu kecurigaan ini."

   Maka ia lalu berpura-pura masih dalam keadaan dikuasai kekuatan sihir itu dan kakinya melangkah menghampiri pintu kamar Leng Kun. Setelah tiba di depan pintu, ia mengetuk pintu dengan perlahan, lalu memanggil.

   "Kun-ko, bukalah pintu, biarkan aku masuk."

   Daun pintu segera terbuka karena memang tidak di kunci, dan dari dalam muncul Leng Kun, akan tetapi di dalam kamar Bwe Hwa dapat melihat adanya empat Tosu yang baru beberapa hari ini menjadi tamu pula di situ. Bwe Hwa segera menyadari bahwa empat orang pendeta itulah yang telah menggunakan sihir untuk menjebaknya. Bwe Hwa merasa lega bahwa ketika keluar dari kamar tadi, walaupun ia berada dalam pengaruh sihir, kewaspadaannya membuat ia tanpa disengaja menyambar pedang Kwan-im-kiam dan Pek-lui-kiam. Kini ia memasang pedang Pek-lui-kiam di pinggangnya dan memegang Kwan-im-kiam dengan tangan kanan.

   "Coa Leng Kun, apa yang kau lakukan bersama empat orang pendeta itu?"

   Bentaknya dengan marah.

   A... apa... maksudmu?"

   Leng Kun bertanya dengan gelagapan karena terkejut dan bingung bahwa gadis itu sama sekali tidak berada dalam pengaruh sihir seperti disangkanya semula ketika Bwe Hwa memanggilnya dan mengetuk pintu. Dia sudah siap untuk merangkul gadis itu dan menuntunnya ke dalam kamar, sama sekali dia tidak mengira Bwe Hwa akan membentak seperti itu.

   "Hemm, jangan pura-pura! Engkau dan empat orang pendeta ini telah menggunakan kekuatan sihir untuk mencelakakan aku!"

   Setelah berkata demikian, Bwe Hwa menghunus pedangnya. Nampak sinar berkilat ketika pedang Kwan-im-kiam tercabut dan terkena sinar lampu yang dipasang di tempat gelap itu. Melihat ini, Leng Kun menjadi gentar dan dia lupa untuk bermain sandiwara.

   "Su-wi totiang, tolonglah aku!"

   Empat orang pendeta Pek-lian-kauw itu tadinya juga mengira bahwa ilmu sihir mereka pasti akan membuat gadis itu tidak berdaya. Mereka terkejut bukan main ketika mendengar suara gadis itu diluar pintu.

   Segera mereka berloncatan keluar dari kamar sambil mencabut pedang masing-masing. Ketika mereka berempat bersama Leng Kun berunding tentang Bwe Hwa, mereka segera menyetujui karena mereka membenci Bwe Hwa. Dari Leng Kun mereka mengetahui bahwa Bwe Hwa adalah puteri Pek Han Siong. Padahal, Pek Han Siong adalah musuh besar mereka yang telah membinasakan Lan Hwa Cu, paman guru mereka. Mereka lalu menggunakan siasat memancing Bwe Hwa dalam keadaan terpengaruh sihir ke kamar Leng Kun. Melihat empat orang pendeta itu berloncatan dan mengepungnya dengan pedang di tangan dan Keng Kun sendiri sudah mencabut senjata sulingnya, tahulah Bwe Hwa bahwa mereka memang mempunyai niat busuk terhadap dirinya. Melihat empat orang pendeta Pek-lian-kauw itu sudah datang mengepung Bwe Hwa, Leng Kun berkata,

   "Su-wi totiang, tangkap ia hidup-hidup untukku!"

   Bukan main marahnya Bwe Hwa. Ia meloncat ke depan untuk menyerang Leng Kun dengan pedangnya, akan tetapi Leng Kun menghindar dan empat orang Tosu itu sudah menyerangnya dari empat penjuru. Bwe Hwa memutar pedangnya untuk menangkis dan ia terkejut kiranya empat orang Tosu itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi pula. Kalau ia dikeroyok oleh mereka yang dibantu pula oleh Leng Kun, ia dapat celaka. Maka ia mengambil keputusan dengan cepat. Ia menggunaka jurus terampuh ari Kwan-im-kiamsut sehingga empat orang Tosu itu terpaksa mundur karena serangan itu hebat bukan main. Kesempatan ini dipergunakan oleh Bwe Hwa untuk melarikan diri, melompat keluar dari tempat itu.

   "Kejar ia...!"

   Terdengar suara Leng Kun dan lima orang itu cepat meloncat dan melakukan pengejaran. Akan tetapi gerakan Bwe Hwa cepat sekali. Biarpun cuaca hanya remang-remang di sinari bulan yang terlambat muncul, namun Bwe Hwa dapat keluar dari perkampungan itu tanpa ada halangan. Penjagaan diwaktu larut malam itu tidak ketat lagi, para penjaga lebih banyak yang tertidur daripada yang terjaga.

   Sedikit penjaga itupun tidak berani menghalangi larinya Bwe Hwa karena mereka mengenal Bwe Hwa sebagai tamu yang dihormati para ketua mereka. Setelah lolos dari pintu gerbang perkampungan itu, Bwe Hwa menyelinap dan memasuki hutan yang lebat sehingga jejaknya tidak dapat diikuti lagi oleh para pengejarnya. Karena merasa tidak mungkin dapat mengejar gadis yang lihai itu, See-thian Su-hiap dan Leng Kun terpaksa kembali ke perkampungan Kwi-jiauw-pang dengan wajah leseu karena tidak berhasil menangkap Bwe Hwa. Bwe Hwa tidak berani berhenti, melainkan terus memasuki hutan itu. Ia maklum bahwa kalau ia tersusul, dan terpaksa melayani serangan mereka ia akan kalah. Apalagi kalau diingat bahwa di sana masih ada Bu-tek Ngo-sian, Toa Ok dan Ji Ok yang amat lihai itu. Bwe Hwa merasa lega setelah fajar menyingsing dan ia tidak melihat ada orang yang memburunya.

   Ia mengaso di balik semak belukar dan menghela napas karena lega. Kemudian ia meraba pedang pusaka Pek-lui-kiam yang tergantung di pinggangnya. Bagaimanapun juga, tidak sia-sia ia menjadi tamu Kwi-jiauw-pang karena ia telah mendapatkan pedang pusaka itu. Akan tetapi ia merasa menyesal sekali atas perbuatan Leng Kun. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa pemuda yang gagah dan tampan, bersikap halus itu, ternyata hanya seekor srigala berkedok domba. Ia akan bersembunyi dulu dan kalau sudah ternyata bahwa ia tidak di kejar, ia akan menuruni puncak gunung dan membawa pedang pusaka pulang ke Tung-ciu, menyerahkan pedang pusaka itu kepada Ayah ibunya. Ah, betapa mereka akan senang dan merasa bahagia! Pedang pusaka yang diperebutkan seluruh tokoh kang-ouw itu terjatuh ke tangannya dengan mudah.

   Setelah matahari menampakkan sinarnya dengan penuh, menerobos di antara celah-celah daun pohon, Bwe Hwa merasa lega. Tidak ada yang mengejarnya, atau mungkin para pengejarnya mengambil arah lain. Ia lalu keluar dari belakang semak-semak dan hendak melamjutkan perjalanan. Akan tetapi alangkah kaget hatinya ketika beberapa orang berloncatan dari balik pohon-pohon dan mereka itu ternyata adalah Coa Leng Kun dan See-thian Su-hiap yang di kenal oleh Bwe Hwa sebagai empat orang pendeta yang membantu Leng Kun dan mengeroyoknya semalam! Tanpa banyak cakap lagi Bwe Hwa mencabut pedang Kwan-im-kiam dan memasang kuda-kuda untuk melakukan perlawanan mati-matian. Ia maklum akan ketangguhan para pengeroyok ini, akan tetapi tentu saja ia tidak akan menyerah.

   "Hwa-moi, aku bermaksud baik denganmu, aku bahkan ingin memperisterimu, akan tetapi mengapa engkau melarikan diri? menyerahlah, Hwa-moi dan kita hidup berbahagia sebagai suami isteri."

   Leng Kun mencoba untuk merayu dengan kata-kata halus. Akan tetapi ucapan itu menambah kebencian hati Bwe Hwa. seorang pemuda yang demikian lembut kata-katanya, ternyata menyembunyikan watak jahat seperti iblis!

   "Coa Leng Kun, manusia jahat, aku tidak akan menyerah sampai mati!"

   Bwe Hwa lalu menerjang dengan pedang di tangan, menyerang Leng kun dengan tusukkan ke arah dada.

   "Tranggg...!"

   Leng Kun menangkis dengan sulingnya dan dia terhuyung karena Bwe Hwa dalam serangannya tadi telah mengerahkan seluruh tenaganya. Akan tetapi Bwe Hwa tidak dapat mendesak pemuda yang terhuyung itu karena See-thian Su-hiap telah menghadang dan mengeroyoknya, Bwe Hwa memutar pedangnya dan mengamuk.

   Akan tetapi dia segera di kepung oleh lima orang itu dan betapapun lihainya di keroyok lima orang yang tingkat kepandaiannya telah tinggi membuat Bwe Hwa kewalahan dan ia segera terdesak. Dalam keadaan terdesak ini, Bwe Hwa teringat akan pedang pusaka Pek-lui-kiam. Ia teringat bahwa pedang Pek-lui-kiam merupakan pusaka yang ampuh sekali. Maka iapun meraih dengan tangan kirinya ke belakang punggung dan di lain saat ia telah mencabut Pek-lui-kiam dari sarung pedang. Nampak sinar berkilat ketika ia mencabutnya, akan tetapi lima orang pengeroyoknya tidak menjadi gentar. Mereka mendesak terus dan Bwe Hwa segera memuta Pek-lui-kiam di tangan kiri dan Kwan-im-kiam di tangan kanan. Dengan pengerahan tenaga ia menangkis hujan senjata lima orang pengeroyoknya itu dengan harapan mudah-mudahan pedang pusaka itu akan merusak senjata para pengeroyoknya.

   "Trangg... trangg... trangg...!!"

   Terdengar bunyi nyaring ketika kedua pedang gadis itu bertemu dengan empat pedang dan sebuah suling para pengeroyoknya.

   Akibat pertemuan antara senjata-senjata itu, Bwe Hwa meloncat mundur ke belakang dan wajahnya berubah ketika ia melihat bahwa pedang di tangan kirinya itu telah patah menjadi dua potong! Mengertilah gadis yang cerdik ini bahwa ia telah tertipu. Pedang itu tentu pedang Pek-lui-kiam yang palsu. Kalau pedang aseli tidak mungkin patah bertemu dengan senjata lawan. Kalau pedang itu selemah itu, tidak mungkin di jadikan perebutan antara orang-orang kang-ouw. Iapun membuang dengan gemas sisa pedang yang tinggal sepotong itu dan kembali ia harus mengandalkan pedang Kwan-im-kiam untuk menghadapi pengeroyokan lima orang yang kini menyeringai seperti mengejek Bwe Hwa dengan pedang yang buntung tadi. Tubuh Bwe Hwa sudah basah oleh keringatnya sendiri.

   
Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ia terpaksa mengerahkan tenaga sepenuhnya secara terus menerus dan bergerak dengan cepatnya. Semua ini menguras tenaganya dan membuat ia lelah sekali. Akan tetapi gadis perkasa ini sudah mengambil keputusan untuk melawan sampai dia tidak kuat lagi. Ia melainkan Kwan-in-kiam-sut dan ilmu pedang inilah yang membuat ia belum juga dapat disentuh senjata para pengeroyok. Memang ilmu pedang ini hebat sekali. Gerakannya lembut namun menyembunyikan daya serangan dan daya tahan yang amat kuat. Lima orang itu mencoba mendesaknya, akan tetapi mereka belum juga mampu melukai Bwe Hwa, hanya mampu mendesak saja sehingga Bwe Hwa seringkali mundur dan gadis ini kini hanya mampu bertahan saja, tidak sempat lagi menyerang. Dalam keadaan yang amat gawat bagi keselamatan Bwe Hwa itu, tiba-tiba terdengar seruan nyaring dan merdu,

   "Enci Bwe Hwa, jangan khawatir, aku datang membantumu menghadapi lima ekor anjing ini!"

   Orang yang berseru itu ternyata adalah Tang Hui Lan.

   Gadis perkasa ini telah mencabut Hok-mo Siang-kiamnya dan memutar kedua pedang itu sehingga yang nampak hanya dua gulungan sinar hitam yang menyerbu kearah lima orang pengeroyok itu. Mereka terkejut dan segera berlompatan ke belakang untuk melihat lebih jelas kepada gadis yang memainkan dua batang pedang hitam yang dahsyat itu. Hui Lan kini juga dapat memandang mereka dan ia mengerutkan alisnya ketika melihat Leng Kun. Ia mengenal pemuda berpakaian putih yang pernah membantunya ketika ia diserang orang-orang jahat di kota Liok-bun. Ia bahkan sempat berkenalan dengan Coa Leng Kun, pemuda itu yang mendatangkan kesan sebagai seorang pemuda lihai yang sopan dan baik budi. Akan tetapi ternyata sekarang pemuda ini mengeroyok Bwe Hwa bersama empat orang Tosu yang lihai!

   "Nona Tang..., engkaukah ini?"

   Coa Leng Kun juga terkejut melihat Hui Lan menegur.

   "Benar aku! dan aku adalah saudara gadis yang kau keroyok ini!"

   Jawab Hui Lan sambil memandang dengan mata mencorong. Untung ia dahulu menjauhkan diri dari Leng Kun sehingga tidak terjalin persahabatan yang lebih akrab.

   "Adik Hui Lan, engkau mengenal bangsat ini? Jangan tertipu oleh gayanya yang yang lembut dan baik, sebetulnya dia adalah seekor serigala yang berbulu domba! Dia amat jahat sekali, berniat busuk terhadap diriku!"

   "Coa-sicu, siapakah gadis ini?"

   Tanya Kui Hwa Cu, orang pertama dari See-thian Su-hiap kepada Leng Kun.
(Lanjut ke Jilid 18)

   Pendekar Kelana (Seri ke 12 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 18
"Su-wi To-tiang, ketahuilah bahwa gadis ini adalah puteri Tang Hay, ibunya adalah ketua Cin-ling-pai!"

   "Ahhh! Kebetulan sekali, kalau begitu kita bunuh dua orang gadis, puteri musuh kita ini!"

   Bentak Kui Hwa Cu dan dengan marah dia menyerang Bwe Hwa lagi. Akan tetapi Hui Lan yang meloncat ke depan menyambut serangan Kui Hwa Cu. Dalam beberapa gebrakan saja Kui Hwa Cu terdesak dan dua orang rekannya segera membantunya mengeroyok Hui Lan, sedangkan yang seorang lagi membantu Leng Kun menghadapi Bwe Hwa.

   "Kong-ko, kenapa tidak lekas keluar membantu enci Bwe Hwa menghajar lima anjing ini?"

   Hui Lan berseru dan muncullah Si Kong yang tadi datang bersama Hui Lan dan hanya menonton saja di bawah pohon. Melihat Si Kong, Bwe Hwa girang sekali. Sambil memutar pedangnya melindungi diri dari serangan dua orang lawannya, iapun berseru,

   "Kong-ko, bagus sekali engkau juga datang! Mari bantu kami bereskan lima orang jahat ini!"

   "Hemm, kulihat kalian berdua akan mudah mengalahkan mereka!"

   Kata Si Kong. Leng Kun dan See-thian Su-hiap terkejut sekali. Munculnya Hui Lan saja sudah membuat mereka kewalahan karena gadis ini begitu hebat sepak terjangnya. Dua batang pedangnya itu seperti dua ekor naga saja menyambar-nyambar, membuat tiga orang di antara See-thian Su-hiap yang mengeroyoknya menjadi kewalahan. Apalagi kalau ditambah lagi seorang lawan yang belum mereka ketahui kelihaiannya. Karena itu, Kui Hwa Cu merasa lebih baik kalau mereka pergi dari situ untuk minta bala bantuan.

   "Pergi...!"

   Kui Hwa Cu berteriak memberi komando kepada empat orang temannya sambil melemparkan suatu benda ke depan mereka.

   "Awas! Menghindar!"

   Teriak Si Kong dan dua gadis itu menaati aba-aba ini cepat meloncat kebelakang dan berlindung di belakang pohon besar.

   "Darrrr...!"

   Benda itu setelah menyentuh tanah lalu meledak dan mengeluarkan asap hitam tebal.

   Si Kong keluar dari balik pohon dan menggunakan tenaga sinkangnya, kedua tangannya mendorong ke depan dan asap hitam itu seperti tertiup angin, sebentar saja membubung ke atas dan tempat itu menjadi terang kembali. Akan tetapi ternyata lima orang itu lenyap, tentu melarikan diri dengan lindungan asap hitam tebal tadi. Bwe Hwa memandang kepada Hui Lan dan Si Kong dengan heran. Diam-diam ia merasa iri mengapa Hui Lan dapat melakukan perjalanan bersama pemuda yang ia kagumi itu. Padahal dahulu, dalam pertemuannya dengan Si Kong ketika ia membantu ketua Hek-i-kaipang melawan Si Kong kemudian berkenalan dengan murid mendiang Pendekar Sadis ini, Si Kong tidak memberi kesempatan kepadanya untuk berkenalan lebih lanjut dan pemuda itu segera berpamit dan pergi.

   "Adik Hui Lan dan Kong-ko, bagaimana kalian dapat muncul di sini?"

   "Kami memang melakukan penyelidikan ke bukit Kwi-liong-san ini, enci Bwe Hwa. Dan bagaimana engkau sampai berkelahi dengan pemuda bernama Coa Leng Kun itu dan dikeroyok oleh empat orang pendeta itu?"

   "Panjang ceitanya, adik Hui Lan. Akan tetapi aku merasa beruntung dan berterima kasih sekali bahwa engkau telah menolong dan membantuku. Kalau engkau dan Kong-ko tidak keburu datang, mungkin aku akan tewas di tangan mereka."

   "Aihh, diantara kita, mana ada berterima kasih segala, enci Bwe Hwa? Kami bersyukur sekali bahwa engkau tidak terluka dalam pengeroyokan tadi. Akupun pernah bertemu dengan pemuda bernama Coa Leng Kun tadi. Dia bersikap sopan dan baik, juga ilmu silatnya lihai sekali. Siapa kira dia seorang yang berwatak jahat."

   "Aku sendiripun terjebak oleh sikapnya yang baik dan sopan, adik Hui Lan. Aku secara kebetulan saja bertemu dan berkenalan dengan dia ketika aku mendekati bukit ini. Karena sikapnya amat sopan dan baik, aku mau berkenalan dengan dia dan bersamanya naik ke puncak bukit ini. Dia sudah mengenal ketua Kwi-jiauw-pang maka dia mengajak aku menemui para pimpinan Kwi-liong-pang. Dan benar saja, para pemimpin Kwi-liong-pang menerimaku dengan baik sebagai tamu yang terhormat. Bahkan mereka telah menyerahkan pedang pusaka Pek-lui-kiam kepadaku!"

   "Ahh...!"

   Hui Lan berseru.

   "Bohong semua itu! Tipuan belaka! Tadi malam empat orang Tosu itu membantu Leng Kun untuk menguasai aku dengan sihir mereka sehingga malam tadi aku terbangun dan ada kekuatan yang menarikku supaya berkunjung ke kamar Leng Kun. Aku menyadari akan pengaruh sihir maka dapat membebaskan diri dari pengaruh itu. Akan tetapi aku pura-pura masih tersihir dan diam-diam telah membawa pedangku Kwan-im-kiam dan juga pedang Pek-lui-kiam pemberian mereka. Aku sengaja mengetuk daun pintu dan memanggil Leng Kun. Pintu terbuka dan ternyata Leng Kun berniat busuk terhadap aku dan dikamarnya terdapat empat orang pendeta itu. Aku marah dan menyerang Leng Kun, akan tetapi empat orang pendeta itu mengeroyokku dan ternyata mereka lihai juga. Aku terpaksa melarikan diri sampai disini. Setalah fajar, aku mengira mereka tidak mengejarku, maka aku hendak melanjutkan perjalanan. Mereka berlima menyusul kembali dan kembali aku dikeroyok disini sampai engkau muncul membantuku."

   "Dan pedang pusaka Pek-lui-kiam itu?"

   Tanya Si Kong yang juga tertarik oleh cerita Bwe Hwa.

   "Pedang Pek-lui-kiam palsu!"

   Kata Bwe Hwa yang lalu memungut pedang yang telah patah menjadi dua potong itu.

   "Inilah pedang itu. Ketika terdesak tadi, aku mencabut pedang ini untuk membela diri. Ternyata pedang ini patah ketika bertemu dengan senjata mereka!"

   Si Kong memeriksa dua potong pedang itu.

   "Memang palsu, besi biasa yang dilapisi perak sehingga mengeluarkan sinar. Jelas bahwa semua yang kau alami itu telah mereka atur, Hwa-moi. Untung engkau masih dapat lolos dari siasat licik mereka. Akan tetapi ada baiknya juga karena pengalamanmu sebagai tamu di puncak sana amat berharga. Engkau tentu mengetahui keadaan dan kekuatan mereka."

   "Yang menjadi ketua Kwi-jiauw-pang ada tiga orang yang menyebut dirinya Toa-pangcu, Ji-pangcu dan Sam-pangcu. Toa-pangcu dan Ji-pangcu itu adalah Toa Ok dan Ji Ok, dan Sam-pangcu tentu Ang I Sianjin karena dia selalu berjubah merah. Disamping ketiga ketua ini, di sana masih ada Bu-tek Ngo-sian yang lihai, dan kini bahkan ditambah lagi dengan empat orang Tosu tadi yang juga lihai. Anak buah Kwi-jiauw-pang kurang lebih seratus orang, dan aku pernah melihat segerombolan orang di hutan sebelah utara, mungkin anak buah empat orang Tosu itu."

   "Hemm, kalau begitu kedudukan mereka kuat sekali. Kong-ko, ternyata mereka yang berkuasa di puncak dan menjadi pimpinan Kwi-jiauw-pang adalah Toa Ok, Ji Ok, dan Bu-tek Ngo-sian yang pernah mengeroyok kakek buyut Ceng Thian Sin."

   "Memang kedudukan mereka kuat sekali."

   Kata Si Kong dengan tenang.

   "Dan kita belum tahu pasti apakah Pek-lui-kiam berada di tangan mereka."

   "Sudah pasti, Kong-ko!"

   Kata Bwe Hwa sambil menatap wajah pemuda itu dengan sinar mata yang tajam.

   "Lihat saja pedang palsu ini. Kalau mereka tidak menguasai Pek-lui-kiam yang aseli, bagaimana mereka dapat membuat yang palsu? Sekarang aku baru tahu mengapa mereka semudah itu menyerahkan Pek-lui-kiam kepadaku. Ternyata mereka hanya mempermainkan aku. Semua ini tentu ulah jahanam Coa Leng Kun itu!"

   Bwe Hwa dengan gemas mengepal tangan kanannya.

   "Sebenarnya siapakah Coa Leng Kun itu? Mengapa dia memusuhimu, enci Bwe Hwa? Dan empat orang Tosu itu, dari manakah mereka?"

   "Aku sendiri tidak tahu, Lan-moi. Aku hanya mendengar darinya bahwa dia sudah yatim piatu dan bahwa gurunya bernama Bu Beng Lo-jin. Entah benar atau tidak keterangan itu. Dan mengenai empat orang Tosu itu, sebelum ini aku tidak pernah bicara dengan mereka dan tidak tahu mereka berasal dari mana."

   Si Kong yang sejak tadi mendengarkan penuh perhatian, lalu berkata,

   "Empat orang Tosu itu menggunakan sihir untuk mempengaruhimu, Hwa-moi. Dan melihat ilmu silat mereka tadi, aku hampir yakin bahwa mereka adalah orang Pek-lian-kauw."

   "Pek-lian-kauw yang dipergunakan sebagai agama dan dipergunakan untuk menutupi kejahatan Pek-lian-pai yang selalu mengadakan pemberontakan itu?"

   Tanya Hui Lan sambil memandang wajah Si Kong.

   "Kalau begitu, Kwi-jiauw-pang bersekongkol dengan pemberontak Pek-lian-pai?"

   Tanya Bwe Hwa.

   "Kemungkinan itu bisa saja terjadi. Datuk-datuk besar seperti Toa Ok dan Ji Ok menguasai perkumpulan kecil seperti Kwi-jiauw-pang, untuk apa mereka melakukan itu kalau bukan mencari pengikut dan kini bergabung dengan Pek-lian-kauw?"

   Kata Si Kong.

   "Kalau begitu, apakah Coa Leng Kun itu anggauta Pek-lian-kauw?"

   Tanya Bwe Hwa.

   "Bisa jadi,"

   Kata Si Kong.

   "Kedudukan mereka kuat sekali. Kalau kita bertiga naik ke puncak dan harus menghadapi mereka semua, kita akan kalah kuat."

   "Lalu bagaimana baiknya, apakah kita harus berdiam saja membiarkan pedang Pek-lui-kiam di tangan orang-orang jahat seperti mereka?"

   Tanya Bwe Hwa penasaran.

   "Tentu saja tidak, Hwa-moi. Akan tetapi kita harus berhati-hati. Mereka sudah mengetahui kehadiran kita bertiga, tentu mereka akan melakukan penjagaan kuat. Sebaiknya kita menahan diri dulu, melihat perkembangan dan kita bersembunyi dulu di dalam guha yang kami temukan di bawah lereng ini."

   "Benar, enci Bwe Hwa. Guha itu besar dan tersembunyi, baik untuk persembunyian kita untuk sementara. Aku mendengar bahwa banyak tokoh kang-ouw akan datang ke puncak Kwi-liong-san untuk memperebutkan pedang Pek-lui-kiam. Biarlah mereka naik dulu dan bertanding dengan pimpinan Kwi-jiauw-pang. Dalam keadaan ribut itu, baru kita mendaki puncak sehingga kita tidak perlu harus menghadapi pengeroyokan orang-orang Kwi-jiauw-pang dan Pek-lian-pai,"

   Kata Hui Lan yang menyetujui usul Si Kong. Demikianlah, tiga orang muda itu menuruni lagi lereng itu dan mereka tiba di tempat yang dimaksudkan tanpa halangan.

   Seperti dikatakan oleh Si Kong, tempat itu merupakan tempat persembunyian yang baik sekali. Guha itu lebar dan dalam sehingga mereka akan terhindar dari hujan dan panas, dan tak jauh dari situ, disebelah kiri guha terdapat air pancuran yang jernih sekali. Guha itu tertutup oleh semak belukar sehingga tidak nampak dari luar. Si Kong dan Hui Lan menemukan guha itu tanpa disengaja. Mereka berdua sedang memburu kijang yang sudah terluka oleh sambitan batu Si Kong, dan kijang itulah yang membawa mereka menemukan guha itu. Bwe Hwa juga senang melihat guha itu yang lantainya sudah ditutup rumput dan daun kering. Kalau malam mereka dapat membuat api unggun di dalam guha untuk mengusir nyamuk dan hawa dingin. Melihat pancuran air jernih itu, Bwe Hwa ingin sekali mandi dan bertukar pakaian.

   "Kau mandilah dulu, enci Bwe Hwa. biar aku menyusul setelah engkau selesai mandi,"

   Kata Hui Lan. Bwe Hwa lalu membawa pakaian yang bersih ke pancuran air yang juga tertutup semak sehingga tidak nampak dari guha. Gadis ini mandi membersihkan dirinya dan perasaan bahagia menyelimuti perasaan hatinya sehingga tanpa terasa ia bersenandung! Setelah Bwe Hwa pergi mandi, Hui Lan duduk berdua saja dengan Si Kong.

   "Engkau sudah mengenal baik enci Bwe Hwa, bukan? Bagaimana pendapatmu tentang gadis itu?"

   Si Kong mengangguk.

   "Mengenal baik sih belum. Baru satu kali aku bertemu dengannya dan kami sempat bertanding karena kesalahpahaman antara kita. Aku salah duga bahwa Hek I Kaipang itu perkumpulan pengemis yang sesat maka aku menyerbu ke sana. Sebaliknya Bwe Hwa menjadi tamu kehormatan Hek I Kaipang karena ketua perkumpulan itu kenalan Ayahnya dan dia sedang mencari keterangan tentang Pek-lui-kiam. Karena kesalah-pahaman ini kami bertanding dan ia segera mengenal ilmu silatku. Demikianlah, kami baru bertemu satu kali dan berkenalan."

   "Akan tetapi bagaimana pendapatmu tentang dia, Kong-ko?"

   Si Kong memandang tajam.

   "Mengapa engkau tanyakan itu, Lan-moi?"

   "Karena aku ingin tahu pendapatmu tentang ia, apakah cocok dengan pendapatku."

   Si Kong tersenyum.

   "Ah, mudah saja menilai Bwe Hwa. Ia seorang gadis yang cantik jelita dan gagah perkasa, memiliki ilmu kepandaian yang tinggi dan ia pemberani pula."

   Hui Lan mengangguk-angguk.

   "Tepat, memang ia cocok sekali dengan engkau Kong-ko."

   Si Kong tertegun.

   "Cocok, apa maksudmu, Lan-moi?"

   "Maksudku bahwa ia memang cocok dan pantas sekali untuk menjadi pasanganmu!"

   Si Kong terbelalak dan dia melihat wajah Hui Lan berubah agak kemerahan.

   "Ah, engkau ini ada-ada saja, bicara yang tidak karuan!"

   Dia menegur halus serius. Akan tetapi Hui Lan masih berkata,

   "Seorang pemuda seperti engkau harus mendapatkan pasangan yang setimpal, Kong-ko. Dan kalau ada gadis yang pantas mendampingimu, maka enci Bwe Hwa itulah orangnya!"

   "Aih, jangan begitu, Lan-moi. Engkau membuat aku menjadi salah tingkah dan malu."

   Kata Si Kong sambil tersenyum lebar dan menganggap gadis ini hanya bergurau dan menggodanya saja. Akan tetapi percakapan itu terhenti karena suara Bwe Hwa memangggil.

   "Adik Hui Lan, aku sudah selesai! Ke sinilah menggantikan aku mandi!"

   Terdengar langkah kaki Bwe Hwa yang lari ke guha. Hui Lan segera bangkit dan mengambil pakaian penggantinya. Bwe Hwa muncul dengan wajah segar kemerahan, rambutnya basah terurai dan tangannya membawa pakaian bekas pakai yang tadi telah dicucinya.

   "Wah, airnya jernih dan sejuk sekali, Lan-moi!"

   Katanya gembira.

   "Aku benar beruntung sekali bertemu dengan kalian."

   "Aku hendak mandi dan mencuci pakaian. Engkau temani Kong-ko di sini enci Bwe Hwa!"

   Kata Hui Lan yang cepat lari menuju ke pancuran air.

   "Ah, rambutku basah dan awut-awutan!"

   Kata Bwe Hwa sambil tersenyum dan menggosok-gosok rambut kepalanya dengan sehelai kain.

   "Tentu jelek sekali seperti iblis betina. Benar tidak, Kong-ko?"

   Di tanya demikian terpaksa Si Kong memandang gadis itu dan melihat rambut hitam panjang yang terurai itu dan terpaksa dia menjawab sejujurnya.

   "Rambutmu indah sekali, Hwa-moi!"

   "Aih, benarkah itu?"

   "Aku berkata dengan jujur, bukan pujian untuk menyenangkan hatimu saja."

   Bukan main girangnya rasa hati Bwe Hwa mendengar ucapan itu. Pemuda itu bukan merayu, melainkan memuji sejujurnya. Wanita manakah yang tidak akan bangga dan girang kalau dirinya dipuji, bukan sekedar rayuan melainkan pujian yang sejujurnya? Bwe Hwa lalu menggelung rambutnya setelah mengeringkan dengan kain. Sungguh sedap dipandang kalau wanita sedang menggelung rambutnya, dengan kedua tangan diangkat, dengan cekatan menata rambut itu. Apalagi wanita secantik Bwe Hwa. Sambil menyusut mukanya dengan kain, Bwe Hwa memandang kepada Si Kong dan ternyata pemuda itu tidak memandangnya. Si Kong memang tidak berani memandang lama-lama takut terpesona oleh keindahan tubuh Bwe Hwa.

   "Kong-ko, engkau dan Hui Lan tentu telah bergaul erat sekali, bukan? Engkau melakukan perjalanan ke sini bersama-sama dan tentu telah mengalami banyak hal bersama pula. Sudah berapa lamakah engkau melakukan perjalanan dengan Hui Lan?"

   

Kumbang Penghisap Kembang Eps 15 Kumbang Penghisap Kembang Eps 4 Kumbang Penghisap Kembang Eps 20

Cari Blog Ini