Ceritasilat Novel Online

Kumbang Penghisap Kembang 4


Si Kumbang Merah Penghisap Kembang Karya Kho Ping Hoo Bagian 4



"Ehh? Pesta apa dan pertemuan besar apa?"

   Sui Cin bertanya, mengamati wajah suaminya, juga Kui Hong memandang heran kepada ayahnya. Hui Song tidak menghentikan senyumnya.

   "Pertama, dan hal ini hanya kita bertiga yang mengetahui, untuk merayakan persatuan hati kita kembali. Ke dua, untuk memilih seorang ketua Cin-ling-pai yang baru..."

   "Ayah...! Mengapa? Bukankah ayah yang menjadi ketua Cin-ling-pai dan hal ini sudah tepat sekali? Kenapa harus dilakukan pemilihan ketua baru?" Ayahnya menggeleng kepala dan menarik napas panjang.

   "Sebetulnya, sejak dulu aku tidak suka menjadi seorang ketua. Aku sudah biasa bebas, dan watakku tidak mau terikat. Apalagi sekarang. Aku ingin merantau bersama ibumu, ingin berkunjung ke Pulau Teratai Merah dan mengunjungi tempat-tempat indah lainnya, berdua saja."

   "Wah, akupun ingin sekali!"

   Seru Sui Cin dan ia nampak bersemangat sekali, seolah-olah kembali muda membayangkan betapa ia akan pergi berdua saja dengan suaminya.

   "Akan tetapi..., Kui Bu...,"

   Sambungnya ragu.

   "Anak itu masih terlalu kecil untuk dapat kita didik. Biarlah dia dirumah dan kita serahkan kepada inang pengasuh yang dapat dipercaya. Bukankah Kui Hong juga berada di rumah? Ia dapat mengamati adiknya."

   "Jangan khawatir, ibu. Aku akan menjaga adik Kui Bu,"

   Kata Kui Hong yang ikut girang melihat keadaan ibunya.

   "Akan tetapi, ayah. Kalau ayah mengundurkan diri selaku ketua Cin-ling-pai, lalu siapakah yang akan menjadi penggantinya? Siapa yang tepat untuk menjadi ketua baru?"

   "Karena itulah harus dilakukan pemilihan. Hal ini sebelumnya telah kubicarakan dengan kong-kongmu dan diapun setuju. Kebetulan, kita akan merayakan hari ulang tahun kong-kongmu yang ke tujuh puluh. Kita mengambil peristiwa itu untuk mengadakan pesta, mengundang tokoh-tokoh persilatan yang terkenal untuk menjadi saksi pula akan pemilihan itu agar nama Cin-ling-pai menjadi semakin cerah dan terpandang."

   "Akan tetapi, ayah. Bukankah selama ini Cin-ling-pai diketuai oleh keluarga Cia turun temurun? Ayah menggantikan kakek, dan kakek menggantikan kakek buyut?"

   "Memang demikian, dan inilah sesungguhnya yang membuat keadaan menjadi tidak sehat. Perkumpulan bukanlah milik seseorang, apalagi perkumpulan seperti Cin-ling-pai yang juga menjadi perguruan silat. Bukan anak keturunan saja yang mewarisi ilmu silat dari ketua. Masih banyak murid lain yang mungkin lebih pandai. Kalau anak keturunan yang diharuskan menggantikan menjadi ketua, seperti kaisar, maka mungkin terjadi perkumpulan itu dipimpin oleh seorang yang tidak berbakat menjadi pimpinan, atau yang tiada minat terhadap perkumpulan. Seperti aku ini. Dan perkumpulan tidak akan maju. Karena itu, aku hendak mengubah kebiasaan ini. Sekarang yang terpandailah sajalah yang berhak menjadi ketua, terpandai bukan saja dalam hal ilmu silat, akan tetapi juga dalam hal memimpin perkumpulan, yang berbakat dan berminat."

   Diam-diam Sui Cin menyetujui pendapat suaminya ini. Bukankah keretakan keluarganya yang pernah terjadi juga menjadi akibat dari kekukuhan ayah mertuanya yang ingin sekali memperoleh cucu laki-laki agar kelak dapat melanjutkan sebagai ketua Cin-ling-pai? Dan tanpa kata-katapun ia dapat menyelami pikiran suaminya. Kalau datang banyak tamu dari dunia persilatan, berarti membuka kesempatan bagi puteri mereka untuk mencari atau dicarikan jodoh!

   "Ah, tentu banyak datang kenalan lama, tokoh-tokoh persilatan yang lihai, pimpinan perkumpulan-perkumpulan dan perguruan silat yang terkenal,"

   Katanya.

   "Dan siapa tahu, diantara mereka itu ada yang berjodoh untuk menjadi besan kami!"

   "Ihh, ibu! Agaknya ayah dan ibu yang sudah merindukan besan, padahal aku sama sekali belum memikirkan soal perjodohan!"

   Berkata demikian Kui Hong merangkul ibunya. Ayah, ibu dan anak in bercakap-cakap dengan asyik dan melepaskan kerinduan mereka, kemudian Kui Hong yang tahu bahwa ayah dan ibunya baru saja "akur"

   Kembali, mencari kesempatan untuk meninggalkan mereka berdua saja.

   "Aku ingin menemui kong-kong dan para suheng dan sute!"

   Dan keluarlah ia dari dalam rumah itu.

   Setelah Kui Hong pergi, suami isteri itu bangkit berdiri, saling pandang sampai lama dan perlahan-perlahan kedua mata Sui Cin menjadi basah. Seperti didorong oleh kekuatan gaib maju dan dilain saat, kedua suami isteri yang sudah lama berpisah batin itu, kini saling rangkul tanpa mengeluarkan kata-kata, rangkulan yang penuh kerinduan, kemesraan dan saling memaafkan. Sementara itu, Kui Hong lari menuju ke belakang, dimana kakeknya mengurung diri dan kabarnya tidak mau mencampuri urusan dia. Setibanya di luar kamar kakeknya, yang daun pintunya tertutup, ia tidak berani lancang membuka daun pintu. Ia tau betapa galak kakeknya itu, dan biarpun dahulu kakeknya itu amat menyayanginya, namun karena sudah lama ia pernah meninggalkan Cin-ling-pai bersama ibunya, ia merasa agak asing lagi dengan kakeknya. Dari luar pintu kamar itu iapun berseru memanggil,

   "Kong-kong...! Kong-kong,ini aku Kui Hong yang ingin bicara dengan kong-kong"

   Sampai tiga kali ia mengulang panggilannya, barulah ada jawaban dari dalam.

   "Hemm, kau anak nakal sudah pulang? Bukalah pintunya dan masuklah!"

   Itulah suara kakeknya jelas dan dalam.

   Girang rasa hati Kui Hong. Iapun mendorong daun pintu kamar itu, dan baru saja hendak melangkah masuk, dari dalam kamar melangkah keluar seorang laki-laki muda. Usia laki-laki itu kurang lebih tiga
puluh tahun, tubuhnya tinggi besar, mukanya putih dan boleh dibilang tampan, sepasang matanya tajam dan pria itu agaknya terpesona ketika bertemu pandang dengan Kui Hong. Akan tetapi dia segera menunduk dan bahkan agak membungkuk dengan sikap hormat, berdiri di samping membiarkan Kui Hong masuk lebih dulu! Kui Hong tidak mengenal orang itu, akan tetapi karena orang itu keluar dari dalam kamar kakeknya, ia merasa heran bukan main dan menduga bahwa tentu ada hubungan baik antara orang ini dan kong-kongnya. Seorang laki-laki yang gagah dan sinar matanya sungguh tajam mencorong, akan tetapi asing baginya.

   Kakek Cia Kong Liang duduk bersila diatas kasur. Sinar matahari menerangi kamar itu, masuk dari jendela kaca terbuka menembus ke dalam taman kecil dari kamar itu yang tertutup dinding. Taman itu adalah taman pribadi kakek Cia Kong Liang,Kui Hong memandang kepada kakeknya penuh perhatian. Seorang kakek yang usianya sudah menjelang tujuh puluh tahun, tubuhnya masih tegak dan tegap, gagah. Rambut dan kumis jenggotnya sudah putih semua, terpelihara rapi. Kamar itupun nampak bersih walaupun sederhana sekali. Ada rasa haru dan iba di hati Kui Hong melihat keadaan kakenya ini yang mengasingkan diri. Agaknya seperti juga ayah dan ibunya, kakeknya ini penuh dengan rasa penyesalan dan mengalami banyak kepahitan hidup.

   "Kong-kong, aku datang...!"

   Kata Ku Hong, lalu ia duduk bersimpuh di depan kakeknya. Orang tua itu memandang kepadanya sambil tersenyum.

   "Kui Hong, cucuku yang nakal! kemana saja kau selama ini?"

   Tegur sang kakek dan rasa sayangnya terhadap cucu ini tergetar melalui suaranya. Kui Hong dapat merasakan getaran kasih sayang kakeknya itu. Hatinya terharu.

   "Kong-kong, aku telah pergi membantu pemerintah dengan para pendekar lain, membasmi gerombolan perampok dan berhasil dengan baik, Gerombolan perampok yang di Bantu oleh para tokoh sesat itu dapat di hancurkan dan sebagian besar tokoh sesatnya Kui Hong bercerita tentang pembasmian gerombolan pemberontak itu, di dengarkan dengan wajah berseri oleh kakeknya. setelah ia selesai bercerita, kakek itu mengangguk-angguk.

   "Aku bangga sekali mendengar ceritamu, Kui Hong. Engkau tidak memalukan menjadi keturunan Cin-ling-pai, aku sebagai kong-kongmu ikut merasa bangga bahwa engkau telah bersikap seperti seorang pendekar sejati, dapat berbakti kepada nusa dan bangsa."

   "Kong-kong, ada berita yang lebih baik daripada itu!"

   "Berita apa cucuku?"

   "Berita yang datang dari tempat ini, kong-kong, yaitu bahwa mulai hari ini ayah dan ibu telah akur kembali, Ayah telah meninggalkan tempat pertapaanya di dekat makam dan kini berkumpul dengan ibu."

   Wajah kakek ini nampak cerah dan sepasang matanya yang tadinya redup itu agak bercahaya.

   "Terima kasih kepada Thian...! setiap saat itulah yang menjadi doa terutama."

   Lega rasa hati Kui Hong melihat betapa kakeknya juga bergembira mendengar berita itu.

   "Lalu kapankah kong-kong sendiri meninggalkan kurungan ini dan hidup di luar seperti biasa? Berjalan memberi petujuk ilmu silat kepadaku?"

   Ajaknya. Kakek itu tersenyum.

   "Hmm jangan kau mentertawakan kakemu, Kui Hong. Apa lagi yang dapat kulakukan untuk memberi petunjuk kalau tingkat ilmu silatmu sekarang lebih sudah lebih tinggi dari kakekmu yang loyo ini? Dan tentang keluar itu", ah, aku sudah terlalu tua untuk ikut memusingkan urusan dunia akan tetapi aku berjanji akan sering keluar dari kamar ini"

   "Tentu kong-kong harus keluar. Bukankah menurut ayah, di sini akan di adakan pesta ulang tahun kakek yang ke tujuh puluh?"

   Kakek itu mengangguk-angguk dan menarik napas panjang, sambil mengelus jenggotnya yang putih.

   "Baiklah, baiklah... ah, Hui Song memang anak yang baik dan berbakti. Sayang dia tidak berbakat dan tidak suka menjadi ketua""

   Mendengar kakeknya menyinggung soal kedudukan ketua, Kui Hong menjadi berani untuk membicarakan soal itu.

   "Kong-kong, menurut ayah, katanya dalam pesta itu yang di hadiri banyak tokoh persilatan, ayah akan mengadakan pemilihan ketua Cin-ling-pai yang baru, bernarkah itu? Kata ayah, dia akan mengundurkan diri, akan merantau bersama ibu berkunjung ke pulau Teratai Merah dan tempat-tempat lain."

   Kakek Cia Kong Liang mengangguk-angguk dan masih mengelus jenggotnya.

   "Hal itu sudah kami bicarakan secara serius. Ayahmu hendak merombak ketentuan yang sudah turun temurun, hendak mamutuskan ikatan antara keluarga Cia dan Cin-ling-pai. Akan tetapi dia benar juga. Cin-ling-pai adalah sebuah perguruan silat, bukan milik keluarga Cia. Siapa saja yang baik dan tepat untuk menjadi ketua demi kemajuan Cin-ling-pai. Dan aku sudah mempunyai pandangan, siapa kiranya yang paling tepat untuk menjadi ketua baru Cin-ling-pai menggantikan ayahmu."

   Kui Hong diam-diam terkejut, akan tetapi ia lalu teringat akan pria yang baru saja meninggalkan kamar kakeknya.

   "Kong-kong, siapakah orang yang baru keluar dari sini tadi? Aku tidak pernah melihatnya."

   "Nah, dia itulah yang menjadi calonku, untuk memimpin Cin-ling-pai. Biarpun dia masih muda, namun dia bijaksana, dan dalam hal ilmu silat kiranya tidak di sebelah bawah tingkat ayahmu dan ibumu sekalipun."

   Tentu saja Kui Hong terkejut mendengar ini. Seorang murid Cin-ling-pai yang memiliki tingkat kepandaian tidak kalah oleh ayahnya atau ibunya? Luar biasa!

   "Tapi, siapakah dia, kong-kong? Apa kah murid Cin-ling-pai!"

   "Namanya Tang Cun Sek, tentu saja dia murid Cin-ling-pai!"

   "Tapi, kong-kong. Kalau dia murid Cin-ling-pai bagaimana sampai aku tidak mengenalinya?"

   "Memang dia murid baru. Hanya beberapa bulan setelah engkau dan ibumu meninggalkan Cin-ling-pai, dia menjadi murid dan anggauta Cin-ling-pai. Karena itu, engkau tidak pernah melihatnya."

   Kui Hong mengerutkan alisnya dan di dalam hatinya menghitung-hitung lalu berkata,

   "Kong-kong, sampai sekarang, kepergianku itu baru lewat empat tahun. Bagaimana dia yang baru belajar empat tahun disini, sekarang sudah memiliki tingkat kepandaian yang sejajar dengan ayah dan ibu? Hal itu sungguh tidak masuk mungkin!"

   Kakek itu tersenyum,

   "Mengapa tidak mungkin? Ketika dia masuk menjadi murid Cin-ling-pai, dia sudah memiliki ilmu silat yang tinggi! Dia adalah seorang pemuda yang sejak kecilnya suka sekali mempelajari ilmu silat sehingga dia telah mempelajari banyak macam ilmu silat dari perguruan-perguruan silat yang besar. Dia masih juga belum puas dan dia belajar disini untuk menambah pengetahuannya. Ternyata dia berbakat sekali dan semua ilmu silat Cin-ling-pai dapat dikuasai dalam waktu singkat. Dia memang pantas menjadi ketua baru, karena dengan ilmunya yang banyak macamnya itu, tentu saja ia dapat menambah perbendaharaan ilmu di Cin-ling-pai. Bahkan menurut pendapatku, diapun pantas untuk menjadi jodohmu, Kui Hong."

   "Ihhh! Kong-kong ini ada saja!"

   Teriak Kui Hong, mukanya berubah merah sekali. Kakek itu tertawa.

   "Aku tidak main-main, cucuku. Bahkan pernah aku membicarakan hal ini dengan ayahmu. Ketahuilah, sudah menjadi kebiasaan di dalam dunia persilatan bahwa seorang gadis akan memilih jodohnya yang gagah perkasa dan yang mampu mengalahkan ilmu silatnya. Dan aku melihat bahwa semua syarat itu ada pada diri Cun Sek! Dia seorang pemuda yang sudah matang, wajahnyapun tampan, sepak terjangnya gagah perkasa, diapun memiliki pengetahuan cukup tentang ilmu baca tulis, dan ilmu silatnya tinggi. Apalagi kalau dia menjadi ketua Cin-ling-pai, berarti dia masih keluarga sendiri sebagai jodohmu, dengan demikian, walaupun berlainan she, tetap saja Cin-ling-pai masih dipegang oleh anggauta keluarga sendiri."

   Diam-diam Kui Hong mengerti mengapa kakeknya agaknya demikian bersemangat untuk menjodohkan ia dengan pria yang bernama Tang Cun Sek itu, dan mendukung pengangkatan Cun Sek sebagai ketua baru Cin-ling-pai.

   Kiranya kakek itu ingin agar pimpinan Cin-ling-pai tidak terjatuh kepada orang lain! Kalau Cun Sek menjadi suaminya, berarti bahwa Cun Sek masih anggota keluarga, mantu dari ayahnya! Mengertilah gadis ini bahwa persetujuan kakeknya mengenai pergantian ketua di Cin-ling-pai adalah persetujuan yang terpaksa dan berlawanan dengan suara hati kakeknya. Diam-diam ia merasa kasihan kepada kong-kongnya itu. Pendirian kakeknya masih tetap keras, akan tetapi kini terjadi perubahan, yaitu sikap kakeknya menjadi lebih lunak, tidak seperti dahulu bahwa setiap kehendaknya tidak boleh dibantah oleh siapapun. Karena ia tidak ingin berbantahan dengan kakeknya atau mengecewakan hatinya, maka ketika kakeknya mendesaknya dan menanyakan pendapatnya, ia hanya menjawab,

   "Kita lihat bagaimana nanti sajalah, kong-kong."

   Setelah meninggalkan kamar kakeknya, Kui Hong lalu keluar dan berkunjung keperkampungan Cin-ling-pai dimana terdapat sekelompok rumah yang menjadi tempat tinggal para murid Cin-ling-pai. Semenjak ayahnya menjadi ketua, Cin-ling-pai tidak pernah menerima murid wanita, dan ia merupakan satu-satunya murid wanita! Semua murid Cin-ling-pai adalah pria, sebagian ada yang tinggal di luar dan mereka ini adalah murid-murid yang sudah berkeluarga, sedangkan yang masih bujangan tinggal di perkampungan Cin-ling-pai. Junlah mereka medekati seratus orang! Kedatangan Kui Hong disambut oleh para murid Cin-ling-pai, ada yang menyambutnya dengan gembira, adapula yang bersikap biasa, dan bahkan ada yang bersikap dingin! Mereka itu terdiri dari pria-pria yang berusia antara dua puluh sampai empat puluh tahun.

   Tentu saja banyak diantara mereka yang diam-diam mengagumi Kui Hong sebagai pria terhadap wanita, namun dapat dimengerti bahwa tak seorangpun berani menyatakan perasaan kagum dan suka ini secara berterang. Kui Hong melihat jelas bahwa ada semacam kelesuan di antara para murid Cin-ling-pai. Hal ini adalah karena terjadinya peristiwa menyedihkan di dalam keluarga ketuanya, sehingga membuat ketua mereka mengasingkan diri di dekat makam, dan ketua lama mengasingkan diri di dalam kamar. Tentu saja mereka semua merasa bingung dan seperti kehilangan pasangan, namun mereka masih memandang muka nyonya ketua yang amat lihai sehingga tidak membuat ulah macam-macam. Melihat sikap mereka yang dingin dan lesu, Kui Hong segera menegur mereka sambil tersenyum ramah.

   "Heii, kalian ini mengapakah? Seperti lampu ke habisan minyak! Aku ini masih Cia Kui Hong yang dahulu itu, teman kalian berlatih silat dan bermain-main! Hayo kita berkumpul di lian-bu-thia (ruangan latihan silat), ingin aku melihat sampai di mana kemajuan para suheng dan sute di sini""

   Melihat kegembiraan gadis itu, ajakan itu di sambut oleh para murid yang masih muda dengan gembira. Mereka mengikuti Kui Hong dan sebentar saja lian-bu-thia itu penuh dengan murid Cin-lin-pai. Jumlah mereka tidak kurang dari lima puluh orang. hanya mereka yang agak tua dan menjadi suheng (kakak perguruan ) dari Kui Hong yang tidak ikut. Mereka ini merasa diri sudah tua dan berkedudukan lebih tinggi, maka mereka tidak mencampuri kegembiraan para murid muda itu.

   Mereka adalah murid-murid tua dari Cin-ling-pai, bahkan ada beberapa orang masih terhitung susiok (paman guru) dari Kui Hong karena mereka adalah saudara-saudara seperguruan dari Cia Hui Song, atau murid langsung dari kakek Cia Kong Liang. Setelah tiba di lian-bhu-thia, Kui Hong langsung meloncat ke tengah ruangan yang luas itu. Kegembiraannya muncul, akan tetapi diam-diam ia telah memperhitungkan sikapnya. Ia ingin sekali menguji, sebelum terjadi pemilihan ketua baru, siapa diantara murid dan anggota Cin-ling-pai yang sudah memiliki ilmu silat tinggi dan pantas untuk menjadi ketua baru. Terutama sekali, ingin ia memancing keluarnya murid bernama Tang Cun Sek itu, untuk diujinya sampai dimana kepandaian orang itu maka dipilih oleh kong-kongnya sebagai calon ketua baru. Setelah berada di tengah ruangan berlatih silat. Kui Hong lalu berkata,

   "Hayo, silahkan siapa yang hendak latihan bersamaku! Sudah lama kita tidak berlatih bersama-sama. Siapa diantara kalian yang paling maju ilmu silatnya.? Majulah, mari kita main-main sebentar!"

   Para murid Cin-ling-pai maklum benar siapa adanya Kui Hong. Memang benar diantara mereka banyak terdapat murid yang lebih tua dan lebih dahulu belajar dibandingkan Kui Hong. Akan tetapi merkapun tahu bahwa kalau mereka hanya mempelajari ilmu-ilmu asli dari Cin-ling-pai yaitu San-in Kun-hoat, Thai-kek Sin-kun yang amat sukar, Tiat-po-san dan Ilmu pedang Siang-bhok-kiamsut, sebaliknya gadis itu selain mewarisi ilmu-ilmu dari keluarga Pendekar Sadis! Bahkan dalam hal gin-kang (ilmu meringankan tubuh gadis itu amat hebat karena telah menguasai Bu-eng-hui-teng dari ibunya yang menjadi mendiang Wu Yi Lojin, seorang di antara Delapan Dewa! Karena maklum bahwa mereka tidak akan mampu menandingi ilmu kepandaian Kui Hong, maka tantangan gadis itu tidak ada yang berani menyambutnya.

   "Hayolah!"

   Ajak Kui Hong.

   "Kenapa sekarang kalian semua berubah menjadi pemalu dan penakut? Aku hanya ingin melihat kemajuan kalian, mari kita bersama latihan San-in Kun-hoat!"

   Seorang murid yang berusia tiga puluh tahun dan yang terkenal sebagai murid yang paling ahli dalam hal ilmu silat San-in Kun-hoat (Silat Awan Gunung), dengan malu-malu melangkah maju menghadapi Kui Hong, diantar tepuk tangan memberi semangat oleh para saudaranya. Melihat pria yang jangkung dan berwajah pemalu ini, Kui Hong tersenyum dan cepat memberi hormat,
(Lanjut ke Jilid 04)

   Ang Hong Cu (Seri ke 10 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 04
"Aih, kiranya suheng Ciok Gun! Saudara-saudara sekalian, aku girang bahwa dia ini yang maju. Ketahuilah bahwa ketika aku sedang belajar San-in Kun-hoat dahulu, justeru yang memberi banyak petunjuk kepadaku adalah suheng Ciok Gun ini!"

   Ucapan ini kembali disambut tepuk tangan para murid Cin-ling-pai dan suasananya kini berubah semakin meriah.

   "Sumoi terlalu memujiku, sekarang mana mungkin aku dapat melawanmu?"

   Kata pria jangkung yang bernama Ciok Gun itu sambil tersenyum dan memasang kuda-kuda Ilmu Silat San-in Kun-hoat. pasangan kuda-kudanya memang mantap, setelah dia menarik napas dalam-dalam dan mengumpulkan semua khikang ke dalam pusar dari mana tenaga dalam itu akan mengatur semua gerakan dari tubuhnya dalam ilmu San-in Kun-hoat yang lihai itu. Kui Hong mengangguk-angguk kagum lalu berseru,

   "Nah, mari kita mulai, suheng. Lihat seranganku!"

   Berkata demikian, gadis itu mulai melakukan serangan, dengan jurus Pek-in-toan-san (Awan Putih Memutuskan Gunung).

   Kedua tangan gadis itu dengan cepat menyambar ke arah leher dan dada lawan. Gerakannnya itu nampaknya tanpa tenaga, namun Ciok Gun merasakan betapa ada angin pukulan menyambar halus dan kuat bukan main, dan terutama sekali, gerakan gadis itu amat cepatnya, terlalu cepat baginya sehingga tergesa-gesa dia mengelak ke belakang dan membalas dengan tendangan kakinya dari samping. Dengan lincah sekali, dan amat luwes gerakannya, Kui Hong meliukkan tubuhnya dan tendangan itu menyambar lewat tempat kosong. Gadis itupun membalikkan tangannya dan kembali sudah menyerang dengan amat cepatnya. Ciok Gun memutar tangan hendak menangkis disusul tangkapan tangan ke arah lengan lawan, namun dia kalah cepat karena Kui Hong sudah menarik kembali tangannya, mengganti serangan itu dengan serangan dari samping.

   Terjadilah pertandingan yang amat seru dengan ilmu silat yang sama. Namun, segera nampak betapa Ciok Gun terdesak hebat dan setalah lewat sepuluh jurus, dia hanya mampu mengelak dan menangkis, sama sekali tidak sempat membalas karena memang dia jauh kalah dalam kecepatan gerakan. Untung bahwa dia memang ahli ilmu silat San-in Kun-hoat, sehingga ia mampu membela diri dan melindungi tubuhnya dan lebih untung lagi baginya bahwa lawannya juga mempergunakan ilmu silat yang sama sehingga, biarpun amat cepat gerakan Kui Hong, dia selalu dapat melihat awal gerakan dan menduga dengan tepat ke mana arah serangan gadis itu. Biarpun demikian, saking cepatnya lawan bergerak, dia dipaksa untuk bergerak cepat mengimbanginya dan hal ini membuat kepalanya terasa pening dan pandang matanya berkurang!

   "Kalau ada suheng atau sute yang ingin meramaikan latihan ini dan membantu Ciok-suheng, silakan maju!"

   Kui Hong berkata sambil mengelak dari sambaran tangan Ciok Gun yang baru dapat membalas serangan ketika gadis itu berhenti sebentar untuk bicara kepada murid lainnya.

   "Jangan malu-malu, hayo maju dan kita latihan bersama!"

   Mendengar ucapan ini, dan melihat betapa Ciok Gun yang mereka kenal sebagai ahli ilmu silat San-in Kun-hoat sama sekali tidak mampu menandingi puteri ketua mereka itu, empat orang murid menjadi penasaran dan juga bangkit kegembiraan mereka. Mereka berempat adalah murid-murid yang lebih tua dari Kui Hong dan termasuk juga suheng (kakak seperguruan) gadis itu. Mereka saling memberi isarat, lalu keempatnya meloncat ke depan memasuki kalangan adu silat.

   "Sumoi, kami hendak ikut berlatih!"

   Kata mereka.

   "Bagus! Marilah, suheng berempat, maju dan bantulah Ciok-suheng agar lebih ramai!"

   Tantang Kui Hong tanpa sombong, wajahnya berseri, cantik sekali dan sepasang matanya bersinar-sinar, membuat kagum semua murid yang berada di situ.

   Empat orang murid itu lalu mulai membantu Ciok Gun, mengepung Kui Hong dan menyerang secara bertubi-tubi, akan tetapi serangan mereka itu selalu menggunakan ilmu silat Sam-in Kun-hoat karena mereka itu sedang berlatih, bukan berkelahi dan tiada seorangpun di antara mereka yang mau bertindak curang. Dan kini Kui Hong benar-benar memperlihatkan kelihaiannya! Gadis itu tidak berani main-main lagi seperti ketika menghadapi Ciok Gun seorang. Kini dara ini dikeroyok oleh lima orang murid Cin-ling-pai yang sudah tinggi ilmunya, dan tentu saja empat orang yang baru masuk itupun telah menguasai San-in Kun-hoat dengan baik, walaupun mereka tidak seahli Ciok Gun. Kini Kui Hong mengerahkan tenaga lebih besar dan memainkan San-in Kun-hoat sebaik mungkin. Terjadilah adu ilmu yang amat seru dan menarik sekali. Gerakan Kui Hong sedemikian cepat dan ringannya, juga amat indah.

   Tubuhnya bergerak seolah-oleh seekor kupu-kupu di antara lima tangkai bunga yang tertiup angin bergerak ke sana sini dan kupu-kupu itu beterbangan di antara mereka! Betapapun lima orang itu mendesak dan berusaha mengalahkan Sumoi mereka, namun tak pernah mereka mampu menyentuh ujung baju Kui Hong! Dan para murid yang menonton adu ilmu ini menjadi bengong. Barulah mereka melihat kenyataan bahwa ilmu silat San-in Kun-hoat dapat menjadi ilmu yang amat hebat, yang membuat gadis itu sama sekali tidak terdesak biarpun dikeroyok oleh lima orang murid utama yang merupakan tokoh-tokoh tingkat dua di Cin-ling-pai! Tentu saja hal ini tidaklah aneh. Semua ilmu silat merupakan ilmu bela diri yang amat baik dan teratur, penuh dengan daya serang dan daya tahan yang baik. Tinggi rendahnya tingkat seseorang bukan ditentukan oleh ilmu silatnya itu sendiri, melainkan oleh orangnya!

   Siapa yang tekun berlatih dan menguasai rahasia ilmu silat itu, dan yang memiliki tenaga sakti yang kuat, tentu dapat memainkan ilmu silat itu dengan amat baik dan membuatnya amat tangguh, sukar dikalahkan lawan. Sebaliknya, betapapun tinggi dan hebatnya suatu ilmu, kalau yang mempelajarinya hanya menguasai setengah-setengah saja, ilmunya belum matang dan tentu saja tidak membuat dia terlalu tangguh. Kui Hong bukan saja telah menguasai ilmu San-in Kun-hoat dengan amat baik, akan tetapi setelah menerima gemblengan dari kakek dan neneknya di Pulau Teratai Merah, gadis ini telah memiliki sin-kang yang amat kuat, dan juga kakek dan neneknya menunjukkan kekurangan kekurangan dalam gerakan semua ilmu silat yang telah dikuasainya sehingga ilmu itu menjadi semakin ampuh karena seakan-akan telah disempurnakan oleh dua orang ahli silat yang sakti!

   Oleh karena itu, menghadapi lima orang suhengnya, biarpun seorang di antara mereka ahli San-in Kun-hoat, dara ini memang jauh lebih matang, lebih cepat karena menguasai gin-kang (ilmu meringankan tubuh) gemblengan neneknya, juga memiliki sin-kang (tenaga sakti) gemblengan kakeknya. biarpun dikeroyok lima, Kui Hong menguasai keadaan karena dengan kecepatan gerakan tubuhnya, semua serangan yang telah dikenalnya baik-baik itu dapat dielakkan dan kalau tidak sempat mengelak, setiap tangkisannya membuat tubuh penyerangnya terdorong kebelakang. Akhirnya, lima orang itu harus mengakui keunggulan Sumoi mereka dan mereka tahu bahwa dalam perkelahian sungguh-sungguh, sudah sejak tadi mereka akan roboh seorang demi seorang! Ciok Gun yang lebih dulu melompat ke belakang diikuti empat orang murid lain.

   "Hebat, ilmu kepandaianmu sekarang sangat hebat, Sumoi. Sungguh membuat kami semua kagum dan membuka mata kami bahwa keturunan ketua dan guru kami memang hebat!"

   Mendengar ucapan Ciok Gun itu, semua murid menjadi gembira karena tadinya banyak di antara murid Cin-ling-pai kebingungan, merasa kehilangan pimpinan, seperti sekumpulan anak ayam ditinggalkan induknya ketika ketua mereka, Cia Hui Song, bertapa di makam isterinya kedua, sedangkan ketua lama, Cia Kong Liang hanya bersamadhi di dalam kamarnya tanpa mau mencampuri urusan luar, dan Ceng Sui Cin juga acuh terhadap perkumpulan itu karena bagaimanapun juga, ia merasa bukan haknya untuk memimpin Cin-ling-pai. Akan tetapi, sekarang muncul Cia Kui Hong yang demikian lihai, maka para murid mempunyai harapan untuk dapat memperoleh seorang pemimpin yang pandai dan boleh diandalkan, juga yang ahli dalam ilmu-ilmu silat Cin-ling-pai.

   "Hidup nona Cia Kui Hong!"

   Teriak para murid. Ada yang. menyebut Sumoi, suci, dan juga nona! Kui Hong menjura ke arah mereka dengan sikap merendah.

   "Para suheng dan sute, harap jangan terlalu memuji padaku. Ketahuilah, aku memperoleh kemajuan karena aku tekun dan giat berlatih, dan aku menerima bimbingan kakek dan nenekku di Pulau Teratai Merah. Akan tetapi, aku mengajak kalian berlatih bukan untuk pamer, melainkan karena aku melihat kelesuan di antara kalian. Marilah kita berlatih dengan baik, karena siapa lagi kalau bukan kita yang harus menegakkan nama besar Cin-ling-pai! Dan bagaimana kita akan mampu menegakkan nama besar Cin-ling-pai kalau kita lemah dan malas berlatih? Ketahuilah, aku membawa berita baik, yaitu bahwa mulai hari ini ayahku, yaitu ketua kalian, telah meninggalkan tempat pertapaan dan akan memimpin Cin-ling-pai seperti biasa."

   Mendengar ini, semua murid bersorak gembira sekali karena berita ini merupakan berita baik. Kui Hong mencari dengan matanya dan akhirnya ia melihat pemuda tinggi besar bermuka putih yang bernama Tang Cun Sek itu, murid Cin-Iing-pai yang baru dan disuka oleh kakeknya, dan yang menurut kakeknya amat lihai sekali karena sebelum masuk menjadi anggauta Cin-ling-pai telah memiliki banyak macam ilmu silat yang tinggi. Ia melihat pemuda itu di sudut, turut pula bertepuk tangan dengan para murid lain. Tiba-tiba seorang murid lain yang berdiri di dekat Tang Cun Sek murid bertubuh kurus yang dikenal oleh Kui Hong sebagai seorang murid lama, terhitung suhengnya, berusia tiga puluh lima tahun bangkit berdiri dan berkata dengan suara nyaring,

   "Kami gembira sekali mendengar berita itu, Cia-Sumoi, akan tetapi kami pernah mendengar bahwa akan diadakan pemilihan ketua baru untuk Cin-ling-pai. Sampai di mana kebenaran berita itu?"

   Kui Hong kembali bertemu pandang dengan Tang Cun Sek dan ia melihat betapa pemuda itu memandang kepadanya dengan penuh perhatian, seolah-olah tertarik sekali dan ingin benar mendengar jawabannya atas pertanyaan itu. Gadis itu tersenyum. Tentu saja para murid itu sudah mendengar akan hal ini, karena bukankah kakeknya juga mendengar? Ia mengangguk dan memandang kesekeliling.

   "Memang benar, ayahku sudah memberitahu pula kepadaku bahwa dalam waktu dekat ini akan diadakan pesta di Cin-ling-pai, pertama untuk merayakan hari ulang tahun ke tujuh puluh dari kakekku."

   "Hidup dan panjang umur lo-pangcu!"

   Terdengar para murid Cin-ling-pai berseru untuk menghormati ketua lama yang akan merayakan ulang tahunnya itu.

   "Dan kedua kalinya, memang ayahku berniat untuk mengangkat seorang ketua Cin-ling-pai yang baru. Hal ini adalah karena ayah dan ibuku hendak pergi merantau dan tidak baik kalau Cin-ling-pai dibiarkan tanpa ketua."

   Sambung Kui Hong.

   "Kenapa mesti susah-susah mencari ketua baru? Nona Cia Kui Hong cukup lihai dan pantas menjadi pengganti ketua!"

   Terdengar teriakan seorang murid dan ucapan ini kembali mendapat sambutan sorak-sorai, tanda bahwa sebagian besar dari para murid itu setuju kalau Kui Hong menjadi ketua Cin-ling-pai. Mereka sudah melihat kelihaian Kui Hong dan juga merasa senang sekali kalau ketua mereka seorang gadis yang demikian cantik dan gagah perkasa! Kui Hong memperhatikan wajah Tang Cun Sek, akan tetapi, pemuda tinggi besar yang bermuka putih itu kelihatan tenang saja, bahkan tersenyum dan mengangguk-angguk tanpa menyatakan setuju, akan tetapi juga tidak menentang. Wajah Kui Hong yang menjadi merah,

   "Aih, para sute dan suheng ini ada-ada saja. Aku hanyalah seorang wanita, bagaimana dapat menjadi seorang ketua yang menghadapi banyak tantangan dan persoalan? Aku paling tidak suka dengan kesibukan, apa lagi kalau harus mempergunakan otak memikirkan banyak persoalan. Aku ingin bebas. Kurasa Cin-ling-pai memiliki cukup banyak murid yang pandai dan pantas untuk menjadi ketua, kalau memang ayah menghendaki adanya seorang ketua baru."

   Berkata demikian, kembali Kui Hong melayangkan pandang matanya kepada Tang Cun Sek yang masih diam saja, tidak membuat tanggapan apapun.

   "Sudahlah, kita menanti datangnya saat itu dan kita lihat saja nanti. Bagaimanapun juga, seorang calon ketua Cin-ling-pai haruslah benar-benar seorang yang selain pandai ilmu silat Cin-ling-pai juga bijaksana. Tentu kepandaiannya itu akan diuji lebih dulu, dan kurasa para susiok, dan pemuka Cin-ling-pai juga sudah siap untuk menghadapi peristiwa besar itu. Sekarang, siapa lagi yang ingin berlatih silat dengan aku?"

   Para murid Cin-ling-pai itu dengan bergembira bergantian maju dan berlatih silat dengan gadis puteri ketua itu yang ternyata pandai dalam semua ilmu silat perkumpulan mereka. Dan Kui Hong tidak segan-segan untuk memberi petunjuk dan bimbingan kepada mereka dengan hati tulus. Demikianlah, semenjak Kui Hong pulang ke Cin-ling-pai, banyak di antara para murid memperoleh kegembiraan baru dan mereka mulai rajin lagi berlatih silat. Sementara itu, Cia Hui Song sibuk mengirim surat undangan kepada para tokoh pendekar, pimpinan perkumpulan persilatan besar, untuk menghadiri pesta yang akan diadakan dengan dua peristiwa penting,

   Yaitu pertama untuk merayakan hari ulang tahun ayahnya yang ke tujuh puluh tahun, dan ke dua untuk mengadakan pemilihan ketua baru dari Cin-ling-pai dengan disaksikan oleh para tokoh yang hadir. Dan tanpa diketahui orang lain kecuali ketua Cin-ling-pai itu dan anak isterinya, pesta itupun diam-diam diadakan untuk merayakan pertemuan dan bersatunya keluarga mereka setelah berpisah batin selama kurang lebih empat tahun lamanya. Setelah mengirim kan surat-surat undangan, Cin-ling-pai sibuk membuat persiapan menyambut datangnya hari baik itu dan tempat-tempat darurat dipersiapkan untuk menampung para tamu. Cin-ling-pai adalah sebuah perkumpulan besar yang sudah terkenal sekali. Keluarga Cia yang sejak turun temurun memimpin Cin-ling-pai juga dikenal sebagai pendekar-pendekar gagah perkasa,

   
Si Kumbang Merah Penghisap Kembang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Juga para murid perkumpulan ini belum pernah ada yang melakukan penyelewengan sehingga nama Cin-ling-pai dihormati dan disegani dunia kang-ouw, ditakuti golongan hitam dan dikagumi para pendekar. Oleh karena, itu, para tokoh persilatan yang menerima undangan dari Cin-ling-pai, memerlukan datang untuk memberi selamat kepada kakek Cia Kong Liang, juga untuk menyaksikan pemilihan ketua baru yang tentu akan menarik sekali. Seperti sudah lajim dilakukan di kalangan persilatan, penggantian ketua selalu diramaikan dengan ujian ilmu silat, bahkan tidak jarang terjadi adu ilmu dalam kesempatan itu. Juga berita bahwa Cin-ling-pai akan mengangkat seorang ketua di antara para murid, bukan keturunan langsung dari ketua yang sekarang, merupakan hal yang menarik bagi para tokoh kang-ouw. Jarang di antara mereka yang menerima undangan tidak datang hadir .

   Pada hari yang ditentukan, para tamu berdatangan mendaki Gunung Cin-ling-san. Para murid kepala Cin-ling-pai menyambut mereka dengan sikap hormat dan mereka dipersilakan masuk ke dalam taman yang luas di belakang rumah induk. Taman itu memang dipersiapkan untuk pesta ini. Sebuah taman luas dan kini telah dihias dan kursi-kursi berpencaran di antara tanaman bunga. Di tengah taman yang lapang dibangun sebuah panggung dan pihak tuan rurnah duduk di deretan kursi yang ditaruh di sudut, menghadap ke arah semua tamu yang duduk disetengah lingkaran menghadap ke panggung. Ternyata Cia Hui Song, ketua Cin-ling-pai tidak ingin membuat pesta besar-besaran. Yang diundang tidak banyak. Para tamu yang sudah datang semua itu hanya berjumlah kurang lebih seratus lima puluh orang, terdiri dari bermacam golongan, tokoh-tokoh persilatan, pimpinan perkumpulan silat, dan orang-orang penting dalam dunia persilatan.

   Biarpun tamu yang diundang tidak banyak, namun mereka mewakili tokoh-tokoh terpenting dan suasana cukup meriah karena Cin-ling-pai mendatangkan rombongan musik, nyanyian dan tari yang kenamaan, juga mendatangkan koki yang sudah berpengalaman. Tentu saja yang diundang itu hanyalah tokoh-tokoh dunia persilatan yang tinggal di daerah Propinsi Shensi saja, terutama mereka yang tinggal di kota-kota besar seperti Sian, Han-cung, Pao-ci, Yen-an dan sebagainya. Namun, semua perkumpulan persilatan besar sudah terwakili oleh wakil masing-masing yang terdapat di Propinsi Shensi seperti Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, dan Kun-lun-pai karena kebetulan sekali di propinsi ini terdapat murid-murid pandai dari perkumpulan besar itu yang mewakili perkumpulan masing-masing.

   Para tamu itu bergiliran memberi selamat kepada kakek Cia Kong Liang yang duduk di sudut panggung. Karena sudah bertahun-tahun dia selalu mengeram diri di dalam kamarnya, bersamadhi, maka kakek inipun merasa lemah kalau terlalu lama berdiri, maka dia menyambut penghormatan para tamu sambil duduk. Puteranya, Cia Hui Song atau ketua Cin-ling-pai, berdiri di sebelah kanannya dan dialah yang membalas setiap ucapan selamat para tamu itu dengan penghormatan, mewakili ayahnya yang hanya duduk sambil tersenyum dan mengangguk-angguk terhadap setiap para tamu yang menghaturkan selamat kepadanya. Setelah memberi kesempatan kepada para tamu untuk memberi selamat kepada kakek Cia Kong Liang. Cia Hui Song lalu memberi ucapan selamat datang kepada para tamu dan pestapun dimulailah dengan meriah.

   Rombongan pemain musik, penari dan penyanyi mulai memperlihatkan kemahiran mereka, dan taman itupun penuh dengan senyum dan tawa diantara mengalirnya arak dan anggur harum sebagai teman hidangan yang serba lezat karena dibuat oleh koki yang pandai. Para tamu makan minum sambil mengobrol dengan gembira, ada pula yang makan minum sambil menikmati tontonan yang menarik, yaitu tari-tarian dan nyanyian yang dilakukan para gadis cantik. Mereka semua bergembira, terutama sekali karena mereka tahu bahwa setelah makan minum, mereka akan disuguhi tontonan yang mereka nanti-nantikan, bahkan yang mendorong mereka untuk hadir dalam pesta itu, ialah pemilihan ketua baru dari Cin-ling-pai. Para tamu muda tiada hentinya mengerling ke arah panggung di mana duduk seorang gadis yang amat menarik perhatian mereka,

   Apa lagi ketika mereka mendengar bahwa gadis yang cantik jelita dan gagah itu bukan lain adalah puteri ketua Cin-ling-pai! Nama Cia Kui Hong sudah banyak dikenal orang kalangan persilatan karena gadis ini termasuk seorang di antara para pendekar yang telah ikut membasmi pemberontakan yang dipimpin oleh Lam-hai Giam-lo. Apa lagi merekapun mendengar bahwa gadis cantik dan gagah perkasa itu, yang usianya sudah sembilan belas tahun, bagaikan setangkai bunga mawar sedang mekar mengharum dengan indahnya, belum menikah, bahkan belum bertunangan! Setelah pesta makan minum selesai, Cia Hui Song lalu bangkit dan melangkah maju ke tengah panggung, menghaturkan terima kasih dan memberitahu kepada para tamu bahwa kini Cin-ling-pai hendak mengadakan pemilihan ketua baru dan dia mengharap agar para tamu suka menjadi saksi.

   "Harap Cia-pangcu (Ketua Cia) suka memberitahu kepada kami mengapa pangcu hendak mengadakan pemilihan ketua baru? Bukankah pangcu ketuanya dan selama dalam bimbingan pangcu, Cin-ling-pai memperoleh banyak kemajuan?"

   Terdengar seorang tamu berseru dan para tamu lainnya mengangguk menyatakan persetujuan mereka dengan pertanyaan itu karena memang rata-rata mereka merasa heran akan pemilihan ketua Cin-ling-pai secara tiba-tiba ini, pada hal ketuanya masih muda dan memiliki ilmu kepandaian tinggi. Mendengar pertanyaan ini, Hui Song tersenyum ramah dan mengangguk. Dia memang sudah mempersiapkan diri menghadapi pertanyaan seperti itu.

   "Harap cu-wi (anda sekalian) tidak salah sangka. Sesungguhnya, tidak terjadi sesuatu yang aneh dalam perkumpulan kami dan pemilihan ketua baru ini wajar saja. Tidak lain karena saya bersama isteri ingin merantau dan karena merasa tidak baik meninggalkan Cin-ling-pai tanpa seorang ketua, maka sebelum pergi kami hendak mengadakan pemilihan ketua baru. Kami sengaja memilih hari ini agar ada cu-wi yang dapat menjadi saksi."

   Keterangan Cia Hui Song ini agaknya dapat diterima karena tidak ada lagi diantara para tamu yang mengajukan pertanyaan. Kemudian, Cia Hui Song menyerahkan pimpinan untuk pemilihan ketua baru itu kepada ayahnya. Baru sekarang Cia Kong Liang yang sudah tua itu nampak bersemangat setelah puteranya menyerahkan pimpinan kepadanya. Dia masih tetap duduk di atas kursinya, akan tetapi suaranya terdengar lantang ketika dia berkata,

   "Semua murid dan anggota Cin-ling-pai tidak terkecuali, harap berkumpul di dekat panggung!"

   Berkumpullah semua murid Cin-ling-pai, bahkan mereka yang tadinya bertugas jaga, atau ikut melayani tamu, ikut pula berkumpul. Setelah semua murid berkumpul dekat panggung, menempati bagian belakang panggung agar tidak menghalangi pandangan para tamu yang duduk di kursi menghadap panggung, ketua lama Cia Kong Liang berkata lagi, nada suaranya tegas dan berpengaruh.

   "Sekarang dimulai tahap pertama, yaitu para murid diberi kesempatan untuk mengajukan calon-calon yang mereka pilih!"

   Semenjak ada pernyataan ketua Cin-ling-pai bahwa akan diadakan pemilihan ketua baru, telah terjadi semacam persaingan di antara para murid Cin-ling-pai. Di satu pihak, ada yang memilih Gouw Kian Sun untuk menjadi ketua. Gouw Kian Sun ini berusia hampir empat puluh tahun, dan dialah yang dapat dikata murid Cin-ling-pai terpandai di waktu itu. Dia adalah sute dari Cia Hui Song, atau murid dari Cia Kong Liang dan murid ini telah menguasai semua ilmu silat Cin-ling-pai.

   Bahkan dialah yang selama ini mengurus sebagian besar tugas di Cin-ling-pai ketika Hui Song bertapa di makam isterinya yang ke dua dan Cia Kong Liang mengeram diri di dalam kamarnya. Oleh Cia Hui Song dia diangkat pula menjadi pembantu utama, Gouw Kian Sun ini seorang yang tidak mempunyai keluarga, tidak ada orang tua dan biarpun usianya sudah hampir empat puluh tahun, dia tidak menikah. Orangnya rajin, pendiam, setia kepada Cin-ling-pai, bertanggung jawab dan pendiam. Semua murid tingkat atas maklum belaka bahwa Gouw Kian Sun memiliki ilmu kepandaian silat yang menonjol dan hanya berada di bawah tingkat kepandaian ketua sendiri! Karena itu, maka sebagian murid memilih dan mengajukan dia sebagai calon ketua. Akan tetapi sebagian pula memilih Tang Cun Sek!

   Hal ini adalah karena mereka itu percaya akan kelihaian Tang Cun Sek yang menguasai banyak ilmu silat selain ilmu-ilmu Cin-ling-pai dan mereka menganggap bahwa kalau Cun Sek menjadi ketua, tentu mereka akan dapat mempelajari ilmu-ilmu silat yang baru. Selain itu, juga Tang Cun Sek yang pendiam itu menarik perhatian, terutama setelah para murid tahu bahwa Tang Cun Sek agaknya disayang oleh ketua lama, yaitu kakek Cia Kong Liang! Sebelum Kui Hong pulang ke Cin-ling-san, para murid terbagi menjadi dua kelompok yang memilih dua orang ini, akan tetapi setelah gadis itu pulang, banyak di antara para murid yang condong memilih gadis puteri ketua itu menjadi pangcu (ketua) yang baru! Maka, ketika kakek Cia Kong Liang menyuruh para murid memilih dan mengajukan calon ketua terdengarlah teriakan-teriakan yang menyebut tiga nama.

   "Gouw Kian Sun!"

   "Tang Cun Sek!"

   "Nona Cia Kui Hong...!"

   Demikianlah terdengar para murid meneriakkan nama calon masing-masing. Mendengar disebutnya nama Cia Kui Hong itu, Cia Hui Song dan isterinya, Ceng Sui Cin, saling pandang.

   Mereka tidak menyangka bahwa ada sebagian murid yang memilih puteri mereka sebagai calon ketua baru! Akan tetapi karena mereka berada pada suatu upacara pemilihan, tentu saja mereka tidak dapat menyatakan sesuatu dan suara dari para murid pada saat seperti itu mempunyai hak dan kekuasaan. Mereka hanya memandang kepada puteri mereka yang juga kelihatan terkejut mendengar namanya disebut-sebut sebagai calon ketua! Akan tetapi iapun hanya tersenyum saja karena merasa tidak enak kalau menolak begitu saja. Iapun sudah tahu akan peraturan pemilihan seperti ini, harus tunduk kepada suara banyak, dan yang berhak menentukan adalah suara terbanyak. Kalau ia menyatakan penolakannya, sama saja dengan melanggar peraturan yang sudah diadakan oleh perkumpulannya sendiri, atau sama saja dengan mengkhiat hati Cin-ling-pai.

   Namun, gadis yang cerdik ini diam-diam membayangkan bagaimana kalau ia menjadi ketua, terikat oleh tugas dan kewajiban. Diam-dim ia merasa ngeri dan alam benaknya telah diaturnya bagaimana agar ia dapat mengatasi hal itu. Iapun sudah mengenal Gouw Kian Sun yang dipanggilnya su-siok, seorang yang setia epada Cin-ling-pai, pandai dan juga bijaksana. Dan dara inipun tahu bahwa calon ke dua, Tang Cun Sek, adalah orang yang didukung oleh kakeknya, juga mempunyai banyak pendukung di antara para murid Cin-ling-pai, dan biarpun ia sendiri belum membuktikan, ia mendengar bahwa Tang Cun Sek adalah orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi! Bahkan menurut keterangan kakeknya, pemuda tinggi besar bermuka putih itu memiliki tingkat kepandaian silat yang tidak berada di bawah tingkat ayahnya atau ibunya!

   Sungguh hal ini sukar untuk dapat dipercayanya. Ayahnya adalah murid dari mendiang Siangkiang Lojin, seorang di antara Delapan Dewa, sedangkan ibunya adalah puteri tunggal Pendekar Sadis, kong-kongnya yang sakti dan neneknya yang juga tidak kalah saktinya! Kalau benar Tang Cun Sek ini memiliki tingkat kepandaian seperti ayahnya atau ibunlya, tentu dia lihai bukan main dan mudah diduga bahwa tingkat kepandaian susioknya, Gouw Kian Sun yang menjadi calon pertama itu tidak akan mampu mengalahkannya. Tentu saja diam-dlam Kui Hong condonlg memilih susioknya yang sudah dikenal benar wataknya. Setelah ia bicara dengan ayah ibunya tentang Tang Cun Sek, ternyata bahwa agaknya ayah ibunya juga tidak begitu setuju kalau orang ini menjadi ketua baru, akan tetapi ayah ibunya juga merasa sungkan terhadap kakeknya.

   "Kami sendiri belum pernah membuktikan sampai di mana kelihaiannya,"

   Demikian antara lain Cia Hui Song menjawab pertanyaan puterinya tentang Tang Cun Sek.

   "Akan tetapi ketika dia mohon menjadi murid Cin-ling-pai, sikapnya amat baik dan tidak ada alasan bagiku untuk menolaknya. Dan dia memang berbakat sekali karena semua ilmu silat Cin-ling-pai, yang bagaimana sukarpun, dapat dikuasainya dengan baik. Dan diapun amat tekun belajar, bahkan paling menonjol dalam hal ketekunannya."

   "Dan bagaimanapun juga, harus kami akui bahwa sikapnya amat baik. Dia pendiam, tidak banyak cakap, dan tidak banyak ulah, bahkan rajin pula bekerja. Tidak ada alasan bagi kami untuk merasa kecewa atau tidak suka kepadanya."

   "Dan agaknya memang ayah amat suka kepada pemuda itu. Entah mengapa kakekmu itu sering memanggilnya, dan bahkan hanya Tang Cun Sek yang diperkenankan memasuki pondoknya, kemudian bahkan mengharuskan murid itu yang melayani kakekmu."

   Kata Hui Song.

   "Ayah dan ibu, agaknya kakek sudah condong memilih dia sebagai ketua baru, bahkan kakek pernah mengatakan kepadaku bahwa murid itu patut menjadi jodohku. Hemm, agaknya kakek sudah suka bukan main kepada Tang Cun Sek itu."

   Ayah dan ibunya saling pandang dan tersenyum.

   "Tentang itu, terserah kepadamu, anakku,"

   Kata Ceng Sui Cin.

   "Ayahmu dan aku memang sudah ingin sekali mempunyai mantu dan cucu, akan tetapi tentang jodohmu, kami menyerahkan sepenuhnya kepada pilihanmu. Andaikata kakekmu, ayah dan ibumu sudah menyukai seorang calon suamimu, kalau engkau sendiri tidak suka dan tidak setuju, siapapun tidak akan dapat memaksamu."

   Mendengar ucapan ibunya itu, Kui Hong lalu merangkul dan mencium pipi ibunya dengan hati yang girang dan terharu. Ucapan ibunya itu saja sudah menunjukkan betapa besarnya cinta kasih ayah dan ibunya kepadanya.

   "Terima kasih, ibu. Semoga saja aku akan menemukan seorang jodoh yang akan menyenangkan hati kita semua, termasuk hati kakek pula."

   Kini hati Kui Hong merasa tidak enak. Yang diajukan oleh para murid Cin-ling-pai hanya dua orang saja, tiga dengannya. Dan di antara dua orang itu, agaknya Tang Cun Sek yang lebih unggul. Apakah ia harus memperebutkan kedudukan ketua dengan Tang Cun Sek? Pada hal, ia sama sekali tidak ingin menjadi ketua! Membiarkan Tang Cun Sek menjadi ketua Cin-ling-pai yang baru? Hal inilah yang diragukan, karena ia belum tahu benar bagaimana watak orang baru itu. Bahkan ayah dan ibunyapun belum mengenal wataknya dengan baik. Ia mendekati ibunya dan berbisik.

   "Ibu, bagaimana ini? Aku tidak ingin menjadi ketua. Apakah kita harus membiarkan Cun Sek itu menjadi ketua baru? Apakah susiok Gouw Kian Sun mampu mengalahkannya dalam ujian ilmu silat?"

   Ibunya juga berbisik kembali kepadanya.

   "Dengar, Kui Hong. Terus terang saja, aku masih belum percaya kepadanya. Kalau memang dia seorang murid yang baik, tentu dia tidak mengandalkan kepandaian dari luar untuk merebut kemenangan dan menduduki jabatan ketua! Tentu dia akan mengalah dan membiarkan susiokmu Gouw Kian Sun untuk menjadi ketua baru. Maka, lihat saja baik-baik dan kalau perlu engkau harus menjadi penghalang agar dia tidak menjadi ketua dengan jalan kekerasan atau mempergunakan kepandaian silat yang datang dari luar Cin-ling-pai. Mengertikah engkau?" Kui Hong mengangguk dan pada saat itu terdengar suara kakek Cia Kong Liang, lantang berwibawa,

   "Apakah hanya tiga orang itu yang dijadikan calon oleh para murid?"

   Terdengar para murid Cin-ling-pai menjawab berbareng seperti sarang lebah diusik, semua membenarkan pertanyaan ketua lama itu. Akan tetapi tiba-tiba di antara para tamu, nampak seorang laki-laki bangkit berdiri dari kursinya. Dia seorang pria yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun, dan dia adalah seorang di antara para wakil Bu-tong-pai.

   "Maaf, Cia Lo-cian-pwe (orang tua gagah Cia). Bolehkah kami mengajukan pertanyaan karena walaupun bukan anggauta Cin-ling-pai namun kami hadir disini sebagai saksi."

   Kakek Cia Kong Liang tersenyum mendengar pertanyaan itu.

   "Tentu saja boleh. Silakan!"

   "Lo-cian-pwe, apakah yang berhak menjadi calon ketua hanya murid atau anggauta Cin-ling-pai saja? Bagaimana kalau ada orang luar yang hendak masuk menjadi calon dan menghadapi ujian, ingin menjadi ketua Cin-ling-pai yang baru?"

   Kakek Cia Kong Liang memperlebar senyumnya.

   "Sungguh aneh pertanyaan itu, orang muda yang gagah. Kurasa tidak ada perkumpulan silat di dunia ini yang akan membolehkan orang luar menjadi ketua mereka. Dan kamipun tidak terkecuali. Tentu saja yang berhak menjadi calon ketua hanyalah seorang murid Cin-ling-pai."

   "Maaf, Lo-cian-pwe,"

   Kata lagi orang itu.

   "Sudah bertahun-tahun kami mengenal Cin-Iing-pai, dan banyak murid-murid utama Cin-ling-pai kami kenal sebagai pendekar-pendekar budiman. Saudara Gouw Kian Sun juga kami kenal sebagai seorang Cin-ling-pai yang gagah perkasa dan sudah selayaknya kalau dia terpilih menjadi calon ketua. Juga nona Cia Kui Hong, sudah sepatutnya pula menjadi calon karena ia adalah seorang puteri Cia Pang-cu. Akan tetapi orang ke tiga yang namanya disebut tadi, Tang Cun Sek, sama sekali tidak kami kenal. Apakah dia seorang anggota Cin-ling-pai?"

   Mendengar pertanyaan ini, berkerut kening Tang Cun Sek dan hanya Kui Hong, yang agaknya memperhatikan perubahan pada wajahnya. Gadis itu melihat betapa sinar mata Cun Sek seperti mengeluarkan api ditujukan kepada si pembicara.

   "Tang Cun Sek memang seorang anggota baru,"

   Kata kakek Cia Kong Liang.

   "Baru empat tahun dia menjadi murid Cin-ling-pai, maka diapun berhak untuk menjadi calon ketua."

   "Empat tahun?"

   Orang Butong-pai itu berseru heran.

   "Lo-cian-pwe, bagaimana mungkin seorang murid yang baru empat tahun mempelajari ilmu-ilmu dari Cin-ling-pai, dapat diangkat menjadi ketua? Tentu ilmu silatnya belum ada artinya sama sekali!"

   "Tidak biarpun dia baru empat tahun menjadi murid Cin-ling-pai, namun sebelumnya dia telah menguasai banyak macam ilmu silat tinggi. Kalau dia tidak memillki kepandaian tinggi, bagaimana mungkln dia dipilih?"

   Agaknya kakek itu ingin menyudahi percakapan itu, maka diapun segera berseru dengan suara lantang.

   "Tiga orang calon yang terpilih supaya maju dan naik ke atas panggung!"

   Yang muncul lebih dahulu adalah Tang Cun Sek. Karena seperti para murid Cin-ling-pai lainnya diapun berdiri di bawah panggung maka kini dia meloncat ke atas panggung yang tingginya sekepala orang itu. Agaknya dia memang hendak memperlihatkan kepandaiannya karena ketika dia meloncat, seperti terbang saja tubuhnya melayang naik jauh lebih tinggi dari panggung itu, berjungkir balik tiga kali sebelum dia turun ke atas panggung. Agaknya untuk minta maaf atas perbuatannya yang seperti memamerkan kepandaian ini, begitu kedua kakinya turun, dia langsung menjatuhkan diri berlutut di depan kakek Cia Kong Liang, memberi hormat kepada kakek yang terhitung kakek gurunya itu. Cia Kong Liang memandang dengan wajah berseri,

   "Cun Sek, bangkitlah dan berdirilah di tengah panggung agar dikenal oleh semua tamu."

   Akan tetapi Cun Sek tidak segera bangkit berdiri, melainkan cepat memberi hormat kepada Cia Hui Song dan Ceng Sui Cin yang disebutnya Suhu dan Subo.

   Barulah dia bangkit dan mundur sampai ke tengah panggung, kemudian membalik dan menghadap ke arah para tamu sambil menjura dan bersoja (memberi hormat dengan kedua tangan dirangkap depan dada). Para murid yang menjagoinya bertepuk tangan menyambut kehadiran orang muda tinggi besar ini. Para tamu yang melihat seorang pemuda berusia tiga puluh tahunan, bertubuh tinggi besar bermuka putih, tampan dan gagah, matanya mencorong, diam-diam memandang kagum. Sementara itu, Gouw Kian Sun juga meloncat ke atas panggung, meloncat biasa saja lalu menjatuhkan diri berlutut memberi hormat kepada Suhu dan suhengnya. Berbareng dengan itu, Kui Hong juga melangkah maju, berlutut di dekat susioknya.

   "Suhu dan suheng. Sesungguhnya, teecu tidak berani maju dengan lancang untuk menjadi calon ketua, akan tetapi teecu didorong oleh para anggauta Cin-ling-pai yang memilih teecu."

   

Pendekar Mata Keranjang Eps 10 Pendekar Mata Keranjang Eps 12 Asmara Berdarah Eps 26

Cari Blog Ini