Ceritasilat Novel Online

Kumbang Penghisap Kembang 20


Si Kumbang Merah Penghisap Kembang Karya Kho Ping Hoo Bagian 20



Melawan seorang dari merekapun tidak akan mampu. Tentu dia akan tewas, tiba-tiba ia merasa khawatir dan gelisah sekali. Tidak, pikirnya, pemuda itu tidak boleh mati. konyol. la tidak berani lagi membantah Subonya, akan tetapi diam-diam ia akan berjaga-jaga dan akan melindungi Hay Hay! Sementara itu, diam-diam Hay Hay kagum bukan main kepada guru Mayang. Wanita tua yang masih cantik dan lembut itu sungguh memiliki penglihatan yang amat tajam. Tentu ia telah tahu bahwa dia memiliki kepandaian, kalau tidak demikian, tidak mungkin ia menyuruh dia melawan lima orang pendeta Lama ini! Maka diapun tersenyum, dan masih berpura-pura tolol karena melihat sikap Mayang.

   "Aihh, syaratnya berat amat! Akan tetapi, baiklah, Siankouw. Demi menolong sahabatku, saya akan berusaha sekuat tenaga untuk melawan lima ekor anjing gundul ini."

   Melihat sikap Hay Hay, Mayang merasa girang dan bangga. Biarpun jelas bahwa pemuda itu bukan lawan lima orang pendeta Lama yang ia duga tentu lihai, namun pemuda itu sudah memperlihatkan sikap yang gagah! Berani memaki mereka sebagai lima ekor anjing gundul, meniru makiannya tadi.

   "Benar, Hay Hay. Hantam kepala lima ekor anjing gundul itu. Jangan takut, kalau mereka akan menggigitmu, akan kuketok kepala mereka yang gundul itu!"

   Teriaknya penuh semangat. Gurunya dan ibunya hanya melirik saja dan tersenyum karena biarpun berteriak, gadis itu tidak turun tangan, mentaati perintah Subonya tadi.

   Hay Hay melirik kepada Mayang dan masih tersenyum, lalu dengan langkah gontai seperti orang yang tidak bertenaga dia maju menghampiri lima orang pendeta Lama itu. Lima orang pendeta Lama itu adalah tokoh-tokoh di Tibet, dan merupakan tangan kanan dari tiga orang pendeta Lama yang bersarang di Bukit Bangau. Mereka sudah marah ketika tadi mendengar penghinaan Mayang, gadis manis yang berani memaki mereka sebagai lima ekor anjing gundul. Dan kini, kembali mereka dimaki dan yang memaki adalah pemuda yang kelihatan lemah ini, bahkan tadi gadis itu hendak mencegah pemuda ini maju karena dikatakan bahwa pemuda ini lemah. Dalam kemarahan itu, lima orang pendeta Lama bermaksud untuk mempermainkan dan menghina Hay Hay. Seorang di antara mereka yang kurus kering berkata dengan suaranya yang parau besar, tidak sesuai dengan tubuhnya.

   "Saudara-saudara sekalian, monyet cilik ini hendak melawan kita? Ha-ha, mari kita membikin dia menari-nari!"

   Ucapan ini merupakan isarat kepada kawan-kawannya agar mereka mempergunakan kekuatan sihir saja untuk mempermainkan dan menghina Hay Hay, yaitu menyihirnya agar dia bersikap seperti seekor monyet! Mereka berlima mengerahkan kekuatan sihir mereka, menatap wajah Hay Hay dengan tajam, kemudian si kurus tadi membentak lagi, kini kekuatan sihirnya disatukan dengan kekuatan empat orang kawannya.

   "Orang muda, engkau adalah seekor monyet yang baru keluar dari dalam hutan! Ingatlah baik-baik, engkau seekor monyet! Monyet! Monyet! Monyet! Hayo monyet, engkau menari-narilah!"

   Mayang merasa benar akan gelombang kekuatan sihir itu. Bagi dirinya sendiri yang sudah kebal, gelombang kekuatan itu hanya lewat saja tanpa membekas, akan tetapi ia khawatir sekali melihat Hay Hay karena bagaimana mungkin pemuda yang tidak mengenal sihir itu akan mampu bertahan menghadapi serangan ilmu sihir sekuat itu? Ia melihat Hay Hay tersenyum lebar, lalu memandang seperti orang bingung dan heran.

   "Monyet? Aku disuruh menjadi monyet? Ha-ha, baiklah, aku akan menari seperti monyet. Akan tetapi pertunjukan monyet harus dilengkapi dengan segerombolan anjing! Dan kalian yang menjadi lima ekor anjingnya! Anjing gundul, ha-ha! Kalian lima ekor anjing gundul, hayo kalian menggonggong, biar aku jadi monyet menari-nari!"

   Kini Mayang terbelalak. Apa yang telah dilihatnya? Lima orang pendeta Lama itu tiba-tiba saja merangkak-rangkak dan menggonggong seperti anjing, menyalak-nyalak dan meringis-ringis! Tadinya ia mengira bahwa mungkin Subonya yang telah membantu Hay Hay sehingga ia merasa girang sekali. Akan tetapi ketika ia menoleh kepada Subonya, ia melihat betapa Subonya juga terbelalak dan terheran-heran, maka ia cepat memandang lagi ke arah Hay Hay dan lima orang pendeta Lama itu. Lima orang pendeta itu masih merangkak-rangkak, berloncatan ke sana-sini sambil menyalak-nyalak dan Hay Hay kini meloncat ke atas punggung pendeta kurus kering. Sambil menari-nari dan menggaruk-garuk tubuh seperti seekor monyet, Hay Hay berloncatan dari satu punggung ke lain punggung, presis seekor monyet yang bermain-main dengan lima ekor anjing. Riuh rendah suara lima orang pendeta itu menggonggong dan menyalak-nyalak dengan galak.

   Mayang hampir tidak dapat percaya akan pandang matanya sendiri. Sudah jelas bahwa Hay Hay agaknya berada di bawah pengaruh sihir dan bersikap seperti seekor monyet, akan tetapi mengapa lima orang pendeta yang menyihir Hay Hay itu seperti terkena sihir pula? Bahkan lebih parah dari Hay Hay? Kalau Hay Hay hanya bersikap seperti monyet, menggaruk-garuk dan menari-nari namun masih bisa bercakap-cakap, lima orang pendeta Lama itu benar-benar bersikap dan bersuara seperti anjing! Akan tetapi ketika kembali Mayang menoleh kepada Subonya, ia melihat Subonya kini tidak terheran-heran lagi. Subonya tersenyum-senyum! Kini ia melihat Hay Hay meloncat turun dari punggung para pendeta Lama itu, masih berjingkrak-jingkrak dan menggaruk-garuk dada dan punggung seperti monyet, sambil tertawa-tawa.

   "Ha-ha-ha, bagus, bagus! Anjjng-anjing gundul, kalian sekarang boleh saling serang, lima ekor anjing berebut tulang dan aku monyetnya yang memberi tulang!"

   Hay Hay, dengan gerakan mirip monyet, mengambil sepotong kayu dan melemparkan kayu ke arah lima orang pendeta yang masih merangkak-rangkak dan berloncat-loncatan, itu dan terjadilah suatu penglihatan yang membuat Mayang kini tertawa terkekeh-kekeh! Lima orang pendeta itu bagaikan lima ekor anjing tulen, kini menyerbu dan saling memperebutkan "tulang"

   Yang bukan lain hanya sepotong kayu itu! Mereka saling terkam dan saling gigit di antara gonggongan yang riuh rendah! Ada yang kena gigit telinganya sampai robek, kena gigit hidungnya sampai berdarah dan melihat semua ini, Mayang tertawa terpingkal-pingkal sampai memegangi perut yang terguncang-guncang dan menjadi keras. Tiba-tiba terdengar suara Hay Hay,

   "Sudah... sudah, cukup! Kalian ini lima orang pendeta Lama, kenapa bermain-main seperti anak-anak kecil?"

   Tiba-tiba saja lima orang pendeta itu berloncatan berdiri dan saling pandang. Wajah mereka tiba-tiba menjadi pucat, lalu menjadi merah sekali. Mereka menyusut darah dari muka dan kini mereka memandang kepada Hay Hay dengan mata melotot penuh kemarahan.

   "Srat! Srat! Singg...!"

   Nampak sinar berkilauan dan lima orang pendeta Lama itu telah mencabut golok dari sarung golok yang menempel di punggung mereka. Mereka ini mengepung Hay Hay dengan golok di tangan, sikap mereka beringas dan penuh ancaman sehingga Mayang memandang dengan muka berubah agak pucat.

   "Heii, kalian ini berpakaian pendeta, kenapa memegang golok? Apakah pekerjaan kalian menjagal babi?"

   Hay Hay agaknya tidak sadar akan bahaya maut yang mengancam maka masih sempat berkelakar.

   "Kami memang jagal, sekali ini hendak menjagal kamu monyet busuk!"

   Bentak seorang di antara mereka yang hidungnya pecah berdarah karena digigit kawannya sendiri.

   "Hemm, kalian tadi memperebutkan tulang, sekarang tulangnya ditinggal begitu saja!"

   Kata Hay Hay dan diapun mengambil sepotong kayu tadi, yang besarnya selengan dan panjangnya tiga kaki.

   "Orang muda sombong, bersiaplah untuk mampus!"

   Bentak lima orang pendeta itu yang sudah mengepungnya.

   "Hay Hay, mundurlah! Mereka itu lihai dan engkau tidak pandai silat...!"

   Tiba-tiba Mayang berteriak karena gadis ini merasa khawatir sekali. Hay Hay menoleh kepadanya dan tersenyum!

   "Biarlah, Mayang. Justeru karena mereka itu lihai, maka hendak kuhadapi dengan gerakan yang bukan silat. Aku menjadi monyet, aku akan bergerak seperti monyet."

   "Jangan, Hay Hay! Engkau akan celaka...!"

   Mayang sudah siap untuk meloncat ke depan, untuk menggantikan Hay Hay, atau setidaknya untuk melindunginya, akan tetapi Subonya menegurnya.

   "Mayang, jangan mencampuri!"

   Mayang terkejut dan cepat ia menghampiri Subonya, lalu menjatuhkan diri duduk di atas tanah dekat Subonya yang juga sudah duduk di atas sebuah bangku yang tadi disediakan oleh seorang pelayan wanita. Ibu gadis itu juga duduk di atas bangku di sebelah kiri Kim Mo Siankouw.

   "Subo, bagaimana ini? Jangan biarkan Hay Hay tewas, Subo. Dia akan mati konyol..."

   "Husshhh..., Mayang, kau pergunakanlah matamu baik-baik. Sejak bertemu tadi aku sudah melihat bahwa pemuda itu sama sekali bukan orang lemah. Kau lihat saja!"

   Gadis itu terkejut dan merasa heran. Hay Hay bukan orang lemah? Dengan bingung ia memandang dan melihat betapa kini lima orang pendeta Lama itu sudah mulai menyerang dengan golok mereka.

   Gulungan sinar golok menyambar-nyambar ganas dan hampir Mayang memejamkan mata karena ngeri membayangkan tubuh pemuda itu akan tersayat-sayat. Akan tetapi aneh! Ia melihat tubuh pemuda itu bergerak seperti monyet, berloncatan ke sana-sini, tangan kanan memegang tongkat dan tangan kiri menggaruk-nggaruk sana-sini di tubuhnya, dan lima batang golok itu tidak pernah mampu menyentuhnya! Mula-mula Mayang terbelalak, terheran-heran, akan tetapi segera ia tersenyum dan akhirnya ia berteriak-teriak saking gembiranya. Hay Hay tentu saja bukan lawan lima orang pendeta Lama itu. Dengan mudah saja pendekar ini menggunakan ilmu Ji-auw-pouw-poan-san, yaitu gerak langkah kaki ajaib yang membuat tubuhnya selalu dapat mengelak dari sambaran lima batang golok.

   Hanya gerakannya itu dicampurnya dengan gerakan dan loncatan mirip monyet sehingga nampak lucu sekali. Dan tongkat di tangannya itu membantunya, setiap kali ada golok yang terlalu berbahaya menyambarnya, tongkat bergerak dan ujungnya mendorong golok lawan sehingga menyerong. Lima orang pendeta Lama itu terkejut, akan tetapi juga penasaran dan marah sekali. Tadi mereka telah dihina secara luar biasa, yaitu mereka seolah-olah menjadi seperti anjing yang saling serang sendiri. Sekarang, golok mereka sama sekali tidak mampu menyentuh tubuh pemuda itu, pada hal pemuda itu tidak pandai silat katanya, dan juga kini hanya bergerak seperti monyet. Namun golok mereka selalu membacok dan menusuk udara kosong!

   "Bocah keparat! Kalau berani, hadapilah kami dan mari kita mengadu kepandaian, bukan terus mengelak seperti itu!"

   Bentak si kurus kering.

   "Singgg...!"

   Goloknya menyambar ke arah leher Hay Hay dari kanan ke kiri. Hay Hay merendahkan tubuhnya dan golok itu menyambar lewat di atas kepalanya.

   "Nih tulang, makanlah!"

   Kata Hay Hay dan tiba-tiba, tanpa dapat dihindarkan lagi oleh si tinggi kurus, ujung tongkat itu telah menusuk ke arah mulutnya, dan terdengar bunyi berkerotokan!

   "Auhhhh...!"

   Si tinggi kurus terjengkang dan dia menutupi mulutnya yang berdarah-darah karena sebagian besar giginya bagian depan telah rontok dan tanggal karena mulut itu dijejali ujung tongkat! Empat orang pendeta lainnya menjadi terkejut, akan tetapi juga marah sekali. Golok mereka menyambar-nyambar semakin ganas. Namun, Hay Hay tidak ingin membuang banyak waktu lagi.

   Diapun kmi membalas dan nampak sinar hijau bergulung-gulung ketika tongkatnya berkelebatan. Terdengar suara tak-tuk-tak-tuk disusul teriakan kesakitan empat orang itu. Empat batang golok terlempar dan empat orang pendeta itu menghentikan serangan mereka dan kini mereka itu mengelus-elus kepala gundul mereka yang ternyata telah benjol-benjol karena tadi dihajar tongkat. Lima orang pendeta itu maklum kini bahwa mereka berhadapan dengan lawan yang amat pandai, maka tanpa banyak cakap lagi, tanpa memungut golok mereka, lima orang pendeta Lama itu lari tunggang langgang tanpa pamit! Mayang hampir tidak berkedip sejak tadi. Kini ia meloncat berdiri dan menghampiri Hay Hay, kini pandang dari sepasang mata yang jeli indah itu berubah. Penuh kagum, akan tetapi juga penuh dengan perasaan penasaran.

   "Kau... kau... telah berpura-pura bodoh, ya?"

   Bentaknya penuh teguran karena ia merasa dipermainkan pemuda ini. Hay Hay hanya tersenyum dan dia segera menghadap Kim Mo Siankouw dengan sikap hormat. Wanita itu kini bersikap angkuh ketika berkata dan bangkit berdiri.

   "Orang muda, kita bicara di dalam!"

   Hay Hay mengangguk dan mengikuti wanita itu yang memasuki rumah bersama ibu Mayang. Gadis itu sendiri mengikuti dari belakang, hatinya masih merasa mendongkol terhadap Hay Hay karena ia merasa dibodohi, merasa dipermainkan pemuda itu dalam pertemuan pertama. Wajahnya berubah kemerahan kalau ia membayangkan semua peristiwa yang telah terjadi semenjak ia bertemu dengan Hay Hay yang membakar gubuk dan pura-pura sebagai seorang pemuda yang lemah! Tidak tahunya, pemuda ini memiliki ilmu silat yang hebat, yang dengan amat mudahnya mengalahkan lima orang pendeta Lama itu dan yang lebih hebat lagi, pemuda ini agaknya juga seorang ahli sihir! Mereka kini duduk di dalam ruangan sebelah belakang. Hanya empat orang di antara mereka. Kim Mo Siankouw duduk di atas kursi yang ditilami sutera merah.

   Ibu Mayang duduk di sebelah kirinya, dan Mayang sendiri berlutut di atas lantai sebelah kanannya, Hay Hay duduk pula di bangku berhadapan dengan mereka. Sejenak, mereka hanya saling pandang saja. Ibu Mayang memandang dengan alis berkerut dan sinar mata penuh selidik. Kim Mo Siankouw memandang dengan mata menyelidik pula dan seperti hendak mengukur dan menjenguk isi hati pemuda itu. Sedangkan Mayang sendiri memandang dengan wajah berubah-ubah, kadang-kadang penuh kagum, lalu penuh perasaan dongkol. Hay Hay sendiri bersikap tenang saja. Walaupun dengan jelas dia dapat melihat keadaan hati mereka melalui wajah mereka, namun dia berpura-pura tidak tahu dan bersikap tenang, tersenyum. Tiba-tiba Hay Hay terkejut karena merasakan suatu getaran yang amat kuat datang dari wanita tua itu.

   Ketika dia mengangkat muka, dia, melihat betapa sepasang mata Kim Mo Siankouw mencorong, seperti dua buah bintang yang memiliki sinar amat kuatnya. Tahulah dia bahwa wanita itu memandang kepadanya dengan pengerahan kekuatan batin untuk mengukur dirinya, karena sinar yang keluar dari mata wanita tua itu bukan menyerang, melainkan berusaha untuk membuka isi hatinya melaJui pikiran, seolah-olah hendak memaksa dirinya mengaku. Diapun mengerahkan tenaga batinnya dan menyambut sinar mata itu dengan sinar matanya sendiri sehingga terjadilah bentrokan antara dua kekuatan batin yang amat kuat. Sejenak mereka itu saling tatap, kemudian, ketika merasakan betapa sinar mata Kim Mo Siankouw melembut, Hay Hay juga menarik kembali tenaganya dan diapun menundukkan pandang matanya.

   "Orang muda yang gagah, sekarang katakan terus terang kepadaku, siapakah yang mengajarkan ilmu sihir kepadamu?"

   Pertanyaan itu lembut namun tegas. Hay Hay membutuhkan bantuan wanita sakti ini maka diapun tidak ragu untuk membuat pengakuan.

   "Yang mengajarkan kepada saya adalah mendiang Suhu Pek Mau Sanjin dan Song Lojin."

   Kim Mo Siankouw mengangguk-angguk, tidak lagi merasa penasaran melihat kehebatan orang muda itu dalam ilmu sihir setelah mendengar siapa gurunya.

   "Dan siapa pula gurumu dalam ilmu silat?"

   Pertanyaan ini saja membuktikan bahwa Kim Mo Siankouw memang sudah mengenal keadaan mendiang Pek Mau Sanjin, seorang pertapa sakti yang amat kuat dengan ilmu sihirnya, namun yang tidak pernah mempelajari ilmu silat.

   "Kedua Suhu saya adalah See-hian Lama dan Ciu-sian Sin-kai."

   "Siancai...!"

   Kini wanita tua itu nampak terkejut.

   "Kiranya engkau adalah murid dari dua di antara Delapan Dewa...! Ah, Mayang, sungguh engkau beruntung sekali dapat bertemu dan bersahabat dengan pendekar muda ini!"

   Akan tetapi Mayang cemberut. Biarpun ia merasa semakin kagum, namun juga semakin dongkol karena kebodohannya sehingga mudah saja ia dipermainkan Hay Hay, mengira bahwa Hay Hay adalah seorang pemuda yang hanya memiliki kepandaian merayu saja, seorang pemuda yang menyenangkan namun lemah.

   "Orang muda yang gagah, melihat deretan nama para gurumu, engkau telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, dan kiranya engkau tidak perlu gentar menghadapi para pendeta Lama yang murtad dan sesat itu. Kenapa engkau masih ingin minta bantuanku?"

   Hay Hay menarik napas panjang. Kini dia tidak boleh berpura-pura lagi, harus menceritakan segata hal dengan sejujurnya.

   "Locianpwe, sesungguhnya saya tidak maju sendiri menghadapi para pendeta Lama, melainkan berdua dengan sahabat baik saya itu, dan diapun seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, baik ilmu silat maupun ilmu sihir. Namun, tetap saja kami merasa khawatir karena kami berada di Tibet, bukan daerah kami. Apa lagi kalau diingat bahwa daerah ini berada dalam kekuasaan Dalai Lama yang agaknya terpaksa kami hadapi sebagai lawan."

   Kim Mo Siankouw mengerutkan alisnya dan nampak terkejut.

   "Memusuhi Dalai Lama? Hemm, orang muda, sungguh mengejutkan sekali ucapanmu itu. Kenapa engkau dan sahabatmu memusuhi Dalai Lama?"

   "Bukan kami yang memusuhi, melainkah Dalai Lama sendiri yang sejak lahirnya sahabat saya itu, selalu mengganggu dan hendak menculik sahabat saya. Ketahuilah, locianpwe, sahabat saya itu bernama Pek Han Siong dan sejak lahir dia selalu dicari dan hendak diculik para pendeta Lama atas perintah Dalai Lama. Sahabatku itu dahulu dlsebut Sin-tong (Anak AJaib) yang menurut pendapat para pendeta Lama adalah seorang calon Dalai Lama!"

   "Hemm, kiranya Sin-tong? Putera dari ketua Pek-sim-pang di Nam-co itu? Kami sudah mendengar akan peristiwa itu! Jadi, sahabatmu itukah Sin-tong? Teruskan ceritamu, orang muda. Sungguh ceritamu mulai menarik hatiku."

   Kim Mo Siankouw kini benar-benar tertarik. Ia sudah mendengar akan Sin-tong yang pernah dicari oleh para pendeta Lama. Ia sendiri merupakan sahabat Dalai Lama dan ia sendiri tahu bahwa Dalai Lama mencari Sin-tong bukan dengan niat buruk.

   "Keluarga Pek tidak merelakan putera mereka diambil oleh para pendeta Lama."

   Hay Hay bercerita.

   "Sampai dewasa, Han Siong bersembunyi dan dia menjadi seorang yang berilmu tinggi. Akan tetapi para pendeta Lama itu agaknya sampai kini masih terus mengejarnya. Akhir-akhir ini, muncul tiga orang pendeta Lama di kota Hok-lam dan secara jujur mereka mengatakan bahwa mereka diutus oleh Dalai Lama untuk mengundang Pek Han Siong. Karena tidak ingin dia diganggu terus, Han Siong dan saya bekerja sama. Dia pura-pura terpengaruh oleh sihir tiga orang pendeta Lama itu dan menurut saja dibawa ke daerah ini. Saya diam-diam membayanginya. Maka terjadilah pertemuan antara saya dengan adik Mayang. Mendengar akan kesaktian locianpwe, juga melihat kehebatan adik Mayang yang tidak mempan sihir para Pendeta Lama. maka saya memberanikan diri untuk mohon bantuan lo-cian-pwe untuk menghadapi para pendeta, terutama untuk membujuk Dalai Lama agar tidak lagi mengejar-ngejar sahabat saya Pek Han Siong itu."

   Kim Mo Siankouw menarik napas panjang.

   "Sungguh aneh. Ketahuilah orang muda, bahwa Gunga Lama, Janghau Lama dan Pat Hoa Lama itu adalah tiga orang pendeta Lama tokoh-tokoh besar di Tibet yang memberontak terhadap Dalai Lama. Mereka telah dihadapi para pengikut Dalai Lama, gerombolan mereka sudah dihancurkan dan mereka melarikan diri. Sungguh aneh sekali kalau sekarang mereka itu mengaku utusan Dalai Lama untuk mengundang Pek Han Siong. Hemm. tentu ada maksud tertentu yang tidak sehat. Dan sahabatmu itu sekarang seorang diri berada di antara mereka, tentu dibawa ke puncak Bukit Bangau dan hal ini berbahaya sekali. Baiklah, karena tertarik oleh peristiwa ini, juga karena aku adalah sahabat baik Dalai Lama yang agaknya nama besarnya akan di cemarkan, aku akan membantumu. Memang, ketika Dalai Lama mendapatkan ilham bahwa calon Dalai Lama yang baru telah terlahir sebagai Sin-tong, tentu saja dia berusaha menarik Sin-tong untuk dididik sebagai calon Dalai Lama. Akan tetapi hal itu terjadi dengan suka rela, dengan cara damai, tidak ada pemaksaan sama sekali. Kalau ada pemaksaan terhadap Pek Han Siong, hal itu tidak sesuai dengan sikap Dalai Lama dan merupakan hal yang tidak wajar. Nanti kalau matahari telah naik tinggi, aku akan menemanimu naik ke Bukit Bangau. Sekarang, engkau boleh beristirahat dulu, orang muda. Mayang, engkau persiapkan sebuah kamar untuk tamu kita."

   Tentu saja Hay Hay menjadi girang sekali dan menghaturkan terima kasih, lalu mengikuti Mayang meninggalkan ruangan itu menuju ke sebelah dalam bangunan besar itu.

   "Nah, ini kamarmu, engkau boleh beristirahat sekarang,"

   Kata Mayang ketika mereka tiba di sebuah kamar tamu yang sudah bersih karena memang di situ terdapat kamar-kamar tamu yang siap pakai. Melihat sikap Mayang, Hay Hay tersenyum dan mengerutkan alisnya.

   "Mayang, aku berterima kasih kepadamu. Gurumu suka membantu kami, semua ini berkat engkau, Mayang. Kalau tidak bertemu denganmu, bagaimana mungkin aku bertemu dengan Subomu."

   Akan tetapi, dengan cemberut, gadis itu berkata singkat,

   "Tidak usah berterima kasih kepada aku seorang gadis yang bodoh!"

   Katanya dan iapun membalikkan tubuhnya dan lari meninggalkan Hay Hay. Pemuda ini terbelalak, lalu cepat mengejar. Mayang memasuki taman bunga yang indah, lalu duduk di atas bangku di dekat kolam ikan emas. Mendengar ada suara di belakangnya, ia membalik dan ternyata Hay Hay telah berdiri di belakangnya.

   "Mau apa engkau ke sini? Engkau disuruh beristirahat!"

   Kata Mayang, suaranya mengandung keheranan, akan tetapi juga masih ketus dan terutama sekali pandang matanya tidak menyamankan rasa hati Hay Hay.

   "Wah, bagaimana aku dapat beristirahat kalau engkau seperti ini, Mayang? Suaramu yang ketus akan terus meledak-ledak dalam telingaku, wajahmu yang cemberut akan terus menghantuiku, dan pandang matamu seperti hendak mencekik leherku. Amboi, dewi yang jelita, apakah gerangan dosa hambamu ini maka paduka marah-marah kepada hamba?"

   Akan tetapi sekali ini Mayang tidak tertawa melihat ulah Hay Hay, bahkan kerut di keningnya makin mendalam dan mulutnya yang cemberut menjadi semakin meruncing. Dengan gerakan marah ia membuat dua kuncir tebal yang tadinya bergantung di depan dada, melayang dan berpindah ke punggungnya. Mata yang sipit itu basah, hidung yang agak besar itu cupingnya bergerak lembut, mulut yang kecil kemerahan itu membentuk bundaran runcing, kedua pipi yang putih mulus dan biasanya kemerahan itu kini menjadi merah padam. Akan tetapi bagi Hay Hay nampak semakin cantik manis saja!

   "Tidak perlu menjual rayuan! Aku juga tahu bahwa aku seorang gadis bodoh dan tolol, tidak sehebat engkau ini pendekar jagoan yang serba bisa!"

   "Astaga! Marah benar-benar ini namanya! Mayang sayang, siapa sih yang mengatakan bahwa engkau gadis. bodoh dan tolol? Biar kugampar mulutnya dia yang berani memakimu seperti itu!"

   Gadis itu tadinya memutar tubuh membelakangi Hay Hay yang hanya dapat mengagumi pinggulnya yang bulat besar membusung. Tiba-tiba ia membalik dan sepasang kuncirnya ikut pula melayang ke depan lagi. Secepat gerakan pecutnya, suaranyapun meledak dalam serangan yang mendadak dan mengejutkan.

   "Engkau yang menghina dan memaki aku!"

   Hay Hay memandang bengong.

   "Aku? Ya ampun dewiku! Aku menghina dan memakimu? Akan kupukuli kepala ini kalau berani! Engkau telah menolongku, engkau telah bersikap ramah dan baik, engkau begini manis dan jelita, engkau sahabat baikku. Bagaimana mungkin aku menghina dan memakimu?"

   "Engkau masih berani menyangkal? Bukankah, ketika engkau bertemu dengan aku, engkau berlagak bodoh? Engkau berlagak seperti seorang pemuda yang lemah? Bukankah itu berarti bahwa engkau telah mempermainkan aku, bahwa engkau telah menganggap aku bodoh dan karenanya menghinaku? Hayo katakan! Hayo katakan bahwa engkau tidak menganggapku bodoh! Engkau telah mempermainkan aku, membikin aku merasa bodoh dan malu bukan main! Ihhhh... ingin aku menghajarmu!"

   Baru Hay Hay mengerti dan diam-diam diapun menyesal. Dia bukan bermaksud mempermainkan gadis ini, sama sekali tidak. Kalau dia berpura-pura, hal itu adalah karena dia memang ingin menyembunyikan kepandaiannya, tidak ingin diketahui bahwa dia memiliki ilmu kepandaian. Hal ini penting baginya karena bukankah dia sedang membayangi para pendeta itu, dan bukankah dia sedang bertugas untuk menyelidiki rahasia para pendeta Lama? Tadipun di depan Kim Mo Siankouw, karena terpaksa saja dia harus mengeluarkan ilmunya, karena dia tidak mungkin dapat mengelak lagi setelah menghadapi pengeroyokan lima orang pendeta Lama yang lihai. Apa lagi karena agaknya mata Kim Mo Siankouw tajam sekali, dapat menduga bahwa dia seorang yang memiliki kepandaian. Dan diapun kini maklum bahwa tentu saja Mayang merasa dipermainkan.

   "Aduh, Mayang, maafkanlah aku. Sungguh mati, demi Langit dan Bumi aku bersumpah, bukan maksudku mempermainkan engkau, sayang. Memang terus terang saja, tadinya aku ingin menyembunyikan kepandaianku, bukan hanya darimu, akan tetapi juga dari Subomu dan dari semua orang. Ingat bahwa aku mempunyai tugas penting bersama Han Siong, menyelidiki keadaan para pendeta Lama. Kalau aku memperlihatkan kepandaian, tentu akan menghadapi banyak kesulitan. Sungguh mati, Mayang, aku tidak bermaksud menghinamu. Kalau engkau merasa begitu, maukah engkau mengampuni aku, sayang? Lihat, aku jujur, aku mau minta ampun, kalau perlu aku akan berlutut di depan kakimu untuk minta ampun. Mayang, ampunkan aku."

   Dan Hay Hay benar benar menjatuhkan diri berlutut di depan gadis itu. Tentu saja Mayang menjadi terkejut sekali dan cepat dia membalikkan tubuhnya sehingga Hay Hay berlutut di belakang sepasang bukit pinggul yang besar itu.

   "Taihiap, engkau... engkau bangkitlah, jangan berlutut!"

   Katanya, suaranya tidak begitu ketus lagi biarpun masih kering.

   "Ampun! Engkau menyebut aku Taihiap lagi! Ya ampun, Mayang, kalau engkau tidak mau menyebut namaku dan mengatakan bahwa engkau mengampuni aku, sampai mati aku tidak akan bangkit dan akan berlutut terus sampai dunia kiamat!"

   Mau tidak mau Mayang tersenyum sendiri mendengar ini.

   "Aku tidak percaya. Mana kedua lututmu kuat bertahan kalau menanti sampai dunia kiamat!"

   Legalah hati Hay Hay mendengar ucapan yang nadanya sudah mengajak berkelakar itu.

   "Tentu akan kuat, asal engkau juga terus berdiri di depanku. Kita sama-sama lihat saja siapa yang kuat dan siapa yang tidak. Hayo, Mayang, katakan bahwa engkau suka mengampuni aku. Aku berjanji bahwa selama hidupku, aku tidak akan berpura-pura bodoh lagi kepadamu!"

   Senyum di bibir gadis itu makin melebar walaupun ia belum memutar tubuh.

   "Huh, siapa mau makan akalmu? Berpura-pura bodohpun tidak ada gunanya karena aku sudah tahu!"

   "Sudah tahu bahwa aku bodoh?"

   "Sudah tahu bahwa engkau pan...dir!"

   Hay Hay cemberut. Disangkanya gadis itu akan berkata "pandai", tidak tahunya berubah menjadi "pandir".

   "Nah, engkau sudah membalas memaki aku. Sudah satu lawan satu, kan? Mayang, hayolah, katakan bahwa engkau mengampuni aku. Kedua lututku sudah mulai nyeri dan lelah nih!"

   Mayang tidak dapat menahan ketawanya lagi. Ia membalik dan tersenyum.

   "Baiklah, Hay Hay, aku memaafkanmu. Sejak tadipun aku sudah memaafkanmu, kalau tidak begitu, tentu aku tidak akan sudi bicara denganmu."

   Hay Hay bangkit berdiri dan mereka saling pandang dengan wajah berseri.

   "Akupun sudah menduga bahwa engkau tentu akan suka memaafkan aku, Mayang. Seorang gadis yang manis dan jelita seperti engkau ini sudah pasti memiliki watak yang baik."

   "Huh, merayu lagi! Sekali diberi kesempatan, engkau tentu akan merayu. Hay Hay, aku masih merasa penasaran.

   "Engkau begini baik kepadaku, akan tetapi mengapa engkau tega mempermainkan aku? Bahkan ketika kita berjalan melalui tebing itu, engkau pura-pura ketakutan sehingga terpaksa harus kugandeng tanganmu. Mengapa engkau begitu kejam mempermainkan aku?"

   Hay Hay tersenyum.

   "Bukan mempermainkanmu, Mayang. Pertama-tama aku hanya ingin menyembunyikan keadaan diriku demi keamanan dan kepentingan penyelidikanku. Akan tetapi, melihat engkau semanis ini, aku berpura-pura dan, ketika engkau menggandeng tanganku, hemmm... tanganmu begitu lembut, lunak dan hangat sehingga aku tidak ingin melepaskannya "

   "Ihhh! Engkau memang mata keranjang tak ketulungan lagi!"

   Mayang berkata, akan tetapi mukanya berubah merah sekali dan untuk menutupi perasaannya yang terguncang, agar jangan sampai salah tingkah, iapun tertawa. Dan sejak detik itu, hati Mayang telah jatuh cinta kepada pemuda yang demikian pandai merayu dan menyenangkan hatinya. Ia memang sudah merasa suka ketika bertemu dengan Hay Hay, dan rasa suka itu kini ditambah rasa kagum melihat betapa Hay Hay memiliki ilmu kepandaian yang demikian tinggi, maka timbullah perasaan.

   "Sudahlah, Hay Hay. Engkau tadi disuruh beristirahat. Engkau menghadapi tugas berat dan berbahaya. Beristirahatlah agar aku jangan sampai ditegur Subo kalau melihat kita bercakap-cakap di sini."

   Hay Hay maklum bahwa seorang seperti Kim Mo Siankouw tentu memiliki watak aneh dan tidak mengherankan kalau ia bersikap kadang-kadang keras luar biasa. Dia tidak ingin menyusahkan Mayang, maka diapun lalu meninggalkan gadis itu, menuju ke kamar yang sudah disediakan untuknya.

   Tiga orang pendeta Lama yang membawa Han Siong dari Hok-lam sampai keperbatasan Tibet itu memang merupakan tokoh-tokoh besar di Tibet. Kim Mo Siankouw sudah mengenal mereka sebagai tiga orang tokoh yang dahulu menjadi pembantu-pembantu Dalai Lama kini menjadi tiga orang pimpinan sekelompok pendeta Lama yang memberontak terhadap Dalai Lama. Mula-mula, jumlah mereka yang memberontak ini tidak kurang dari dua ratus orang. Akan tetapi setelah Dalai Lama dan para pengikutnya yang terdiri dari banyak orang pandai menghancurkan pemberontakan itu, jumlah mereka paling banyak tinggal lima puluh orang lagi.

   
Si Kumbang Merah Penghisap Kembang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Gunga Lama, Janghau Lama dan Pat Hoa Lama mengajak Han Siong naik ke puncak Bukit Bangau. Han Siong masih terus bersandiwara, pura-pura tunduk terhadap pengaruh sihir dan dia mengikuti mereka sambil diam-diam memperhatikan lingkungan bukit itu. Ketika melihat puluhan orang pendeta Lama di puncak bukit, diam-diam Han Siong merasa terkejut dan heran. Juga dia khawatir sekali. Bagaimana Hay Hay dapat terus membayanginya kalau puncak bukit ini terdapat demikian banyaknya pendeta Lama? Akan tetapi, dia terus mengikuti dan dia mendengar betapa Pat Hoa Lama memerintahkan lima orang pendeta Lama untuk turun bukit dan mencari gadis bernama Mayang.

   "Ia seorang gadis manis yang pekerjaannya menggembala dan mengawal pengiriman ternak. Tangkap gadis itu dan bawa ke sini, jangan melukainya, apa lagi membunuhnya!"

   Demikian pesan Pat Hoa Lama kepada lima orang muridnya. Kiranya pendeta yang batinnya sesat dan menjadi hamba nafsunya sendiri itu masih merasa penasaran karena gadis yang membuatnya tergila-gila itu terlepas dari tangannya. Setelah memerintahkan lima orang murid itu, Pat Hoa Lama dan dua orang suhengnya membawa Han Siong masuk ke dalam bangunan induk di puncak itu. Mereka mengajak pemuda itu duduk di dalam sebuah ruangan yang luas dan menghadapi pemuda yang duduk santai dan nampak tidak bersemangat itu.

   "Pek Han Siong,"

   Terdengar Gunga Lama berkata, suaranya mengandung penuh wibawa dan sinar mata tiga orang itu menatap wajah Han Siong dengan dorongan tenaga sihir yang amat kuat. Han Siong merasa betapa jantungnya terguncang dan seluruh tubuhnya tergetar. Dia terpaksa menyerah, karena kalau dia mempergunakan kekuatan pada kalung kemalanya, dia khawatir kalau rahasianya ketahuan. Diapun memejamkan matanya dan merasa betapa keadaan sekelilingnya berputaran dan dalam keadaan setengah sadar itu dia mendengar suara yang berwibawa itu.

   "Pek Han Siong, mulai detik ini engkau adalah calon Dalai Lama! Ingat baik-baik, sejak lahir engkau sudah ditakdirkan untuk menjadi Dalai Lama! Engkau akan kami angkat menjadi Dalai Lama dan upacara pengangkatannya dilaksanakan siang nanti. Sekarang, engkau beristirahatlah, tidurlah di kamar yang sudah dipersiapkan, dan terimalah nasibmu yang mengangkat dirimu menjadi calon Dalai Lama"

   Setengah terpaksa dan setengah pula sadar, Han Siong menjawab,

   "Saya mentaati..."

   Gunga Lama dan dua orang sutenya lalu bangkit. Gunga Lama menghampiri Han Siong, memegang lengannya dan pemuda itu dituntun ke sebuah kamar. Dia lalu disuruh memasuki kamar. Kamar itu cukup mewah dan terdapat sebuah pembaring di tengah kamar. Han Siong yang merasa lesu dan lelah, menghampiri pembaringan lalu merebahkan diri, sebentar saja pulas! Tiga orang pendeta Lama itu lalu memanggil anak buah mereka.

   "Jaga dia baik-baik. Kalau dia bergerak dan sadar, beritahu kepada kami!"

   Kemudian tiga orang pendeta Lama ini sibuk di dalam sebuah ruangan sembahyang, mempersiapkan upacara sembahyang besar untuk pengangkatan Pek Han Siong menjadi Dalai Lama! Sudah dipersiapkan pula pisau untuk menggunduli kepala Han Siong, juga jubah pendeta Dalai Lama yang tersulam indah,

   Bahkan juga sebatang tongkat komando sebagai tanda bahwa dia adalah Dalai lama yang berkuasa penuh! Setelah matahari naik tinggi dan dari atap yang terbuka sinar matahari menimpa gambar pat-kwa (segi delapan) yang berada di atas meja sembahyang, tepat di tengahnya tiga orang pendeta lama itu lalu menggugah Han Siong yang tidur nyenyak. Pemuda itu terbangun dan teringat akan keadaannya. Akan tetapi dia dapat segera membiarkan dirinya hanyut lagi dalam gelombang kekuatan sihir, akan tetapi diam-diam dia menggunakan tangan kiri untuk menekan kalung kemala ke dadanya sehingga dia tidak begitu tenggelam ke dalam gelombang pengaruh sihir tiga orang kakek itu. Ketika dia dituntun dan disuruh duduk bersila di atas kasur bundar di depan meja sembahyang, dia melihat semua perlengkapan upacara sembahyang itu.

   "Lo-Suhu, apa yang akan sam-wi (kalian bertiga) lakukan kepada saya?"

   Han Siong bertanya, menekan suaranya sehingga terdengar wajar saja. Pada hal dia merasa gelisah dan menduga-duga di mana adanya Hay Hay. Dia mengharapkan Hay Hay berada di dekat situ kalau sampai dirinya terancam bahaya. Pertanyaan itu dia ajukan agar dia tahu apa yang akan mereka lakukan terhadap dirinya. Tiga orang pendeta itu saling pandang sejenak, agaknya terkejut dan heran melihat bahwa pemuda itu masih mampu mengajukan pertanyaan, hal yang membuktikan bahwa pemuda itu tidak sepenuhnya berada di bawah pengaruh sihir mereka. Akan tetapi, mereka tidak merasa khawatir. Pemuda itu telah berada di dalam cengkeraman mereka, telah berada di sarang mereka. Andaikata tidak terpengaruh sihirpun, tidak mungkin akan mampu meloloskan diri lagi.

   "Begini, Sin-tong,"

   Kata Gunga Lama, sengaja menyebut Sin-tong kepada pemuda itu.

   "Sejak engkau dilahirkan, engkau sudah ditakdirkan menjadi Dalai Lama. Oleh karena itu, kami hendak mengadakan upacara sembahyang besar untuk mengangkatmu menjadi Dalai Lama yang baru."

   "Tapi... bukankah masih ada Dalai Lama...?"

   "Hemm, dia sudah tidak patut menjadi Dalai Lama, sudah tersesat dan menyeleweng. EngKau lah yang seharusnya diangkat menjadi Dalai Lama yang baru, dan kita akan menggulingkan Dalai Lama yang tua itu. Engkau yang berhak menjadi Dalai Lama, menguasai seluruh Tibet!"

   Kata Gunga Lama. Biarpun tidak memperlihatkan sesuatu pada mukanya, namun diam-diam Han Siong terkejut dan kini mengertilah dia, atau dia sudah dapat menduga apa yang dilakukan tiga orang ini. Kiranya, dia bukan dihadapkan kepada Dalai Lama, melainkan oleh tiga orang ini hendak diangkat menjadi Dalai Lama yang baru, Dalai Lama tandingan dengan maksud merebut kedudukan Dalai Lama! Dia akan dijadikan Dalai Lama boneka, dan tentu selanjutnya semua kekuasaan berada di tangan tiga orang ini.

   "Tidak, Lo-Suhu, aku tidak mau menjadi Dalai Lama!"

   Tiba-tiba Han Siong berseru dan terpaksa dia tidak dapat lagi bersandiwara. Biarpun tadinya dia sudah hampir hanyut di dalam gelombang tenaga sihir mereka, namun berkat pengerahan tenaga batinnya dibantu khasiat kalung kemala, dia dapat meronta dan melepaskan diri dari cengkeraman sihir dan diapun meloncat berdiri. Dia merasa terlalu ngeri membayangkan bahwa dia dipaksa menjadi Dalai Lama untuk maksud pemberontakan! Tiga orang pendeta itu terkejut setengah mati. Tak mereka sangka bahwa pemuda itu dapat melepaskan diri dari belenggu sihir mereka. Tahulah mereka bahwa mereka terlalu memandang rendah kepada pemuda ini sehingga mereka lengah dan kurang kuat menguasainya.

   "Pek Han Siong, engkau tidak boleh menolak lagi!"

   Bentak Gunga Lama dan dia sudah memegang tongkatnya yang memakai kelenengan hitam. Juga Janghau Lama sudah meloloskan sabuknya yang mengerikan, yaitu sabuk hidup, seekor ular putih. Dan Pat Hoa Lama juga sudah mengeluarkan sepasang cakar harimau yang merupakan senjatanya yang ampuh. Mereka membentuk segi tiga mengepung Han Siong. Han Siong maklum bahwa dirinya berada dalam bahaya. Selain tiga orang kakek ini yang dia tahu amat lihai, juga kini puluhan orang pendeta yang melihat betapa dia telah terlepas dari pengaruh sihir, sudah mengepung ruangan itu dengan senjata di tangan!

   "Lo-Suhu sekalian, harap jangan memaksaku,"

   Kata Han Siong untuk mencari waktu sambil menanti munculnya Hay Hay.

   "Kalau cu-wi Suhu hendak memberontak kepada Dalai Lama, silakan akan tetapi jangan membawa-bawa aku. Aku tidak mempunyai urusan apapun dengan para pendeta Lama di Tibet dan sejak kecilpun aku tidak suka dijadikan Dalai Lama."

   "Orang muda, percuma saja engkau menolak. Lihat, engkau telah kami kepung dan tak mungkin engkau akan mampu meloloskan diri dalam keadaan hidup!"

   Bentak Gunga Lama sambil memberi isarat kepada dua orang sutenya. Mereka mencoba untuk menggertak dan menakut-nakuti pemuda itu. Mereka tidak tahu bahwa Han Siong adalah seorang pemuda gemblengan yang tentu saja tidak gentar menghadapi ancaman. Bagi seorang pemuda berjiwa pendekar seperti dia, kematian bukan merupakan suatu hal yang terlalu menakutkan. Mati dalam kebenaran bahkan membanggakan hati, sebaliknya hidup dalam keadaan sesat merupakan hal yang dipantang sekali.

   "Bagaimanapun juga, kalian tidak akan dapat memaksaku untuk menjadi Dalai Lama dan membantu pemberontakan kalian."

   Kata pula Han Siong. Tiga orang pendeta Lama itu ternyata sudah menyimpan senjata masing-masing dan kini, sesuai dengan isarat yang dilakukan Gunga Lama, mereka bertiga sudah menubruk dari tiga jurusan untuk menangkap Han Siong. Akan tetapi, pemuda ini sudah siap siaga. Dia cepat mengelak dan membalas dengan ayunan kedua lengannya dalam ilmu Pek-hong Sin-ciang (Tangan Sakti Pelangi Putih) menangkis ke tiga jurusan.

   "Wuuuttt... wuuuttt...!"

   Kedua lengan itu mengeluarkan angin pukulan yang amat kuat sehingga tiga orang penyerang itu terdorong ke belakang. Mereka makin terkejut dan tiba-tiba mereka mengeluarkan teriakan yang parau rendah sekali, lalu teriakan itu meningkat menjadi tinggi. Mereka menggerak-gerakkan kedua tangan ke arah Han Siong. Pemuda ini merasa betapa seluruh tubuhnya menggigil. Selagi dia mengerahkan tenaga batinnya, terdengar pula suara gemuruh dan ternyata para pendeta Lama yang mengepung ruangan itu juga sudah mengeluarkan suara teriakan seperti itu. Tidak begitu kuat, akan tetapi karena keluar dari perut puluhan orang. Tentu saja menjadi kuat bukan main dan tubuh Han Siong semakin menggigil.

   "Hay Hay!"

   Han Siong masih ingat untuk memanggil kawannya itu.

   Akan tetapi tiga orang pendeta lama itu sudah menubruk dan dia tidak mampu menghindarkan diri lagi ketika tubuhnya ditotok dan diapun roboh tak berdaya. Pengaruh sihir menguasainya lagi dan pikirannya menjadi gelap. Han Siong tidak sadar. Dia tidak tahu betapa pakaiannya dilucuti dan sebagai penggantinya, dia dibungkus dengan pakaian pendeta Dalai Lama yang hanya merupakan kain sutera yang dilibat-libatkan di tubuhnya. Dia juga tidak melihat betapa sembahyangan sudah diatur di atas meja, lilin-lilin besar dinyalakan dan dupa dibakar. Ketika Han Siong sadar, dia mendapatkan dirinya sudah duduk bersila di depan meja sembahyang, seperti tadi sebelum dia memberontak. Biarpun kepalanya agak pening, namun dia sadar! Dia melirik ke arah kalung di lehernya. Batu kemala itu masih ada.

   Agaknya para pendeta tidak mencurigai batu kemala itu maka dibiarkannya tergantung di lehernya, tidak dirampas dan berkat kekuatan batu kemala itulah maka kini Han Siong masih dapat sadar kembali dari pengaruh sihir. Akan tetapi ketika dia hendak menggerakkan tubuh, ternyata kaki tangannya tidak dapat dia gerakkan. Dia dalam keadaan tertotok! Ini lebih hebat dari pada pengaruh sihir. Pengaruh sihir masih dapat dilawan kekuatan batinnya dibantu khasiat batu kemala. Akan tetapi totokan itu membuat dia benar-benar tak berdaya, tak mampu berkutik lagi. Dia juga melihat betapa pakaiannya sudah berganti pakaian pendeta Lama! Jantungnya berdebar tegang. Apa lagi ketika dia melihat tiga orang pendeta Lama itu berlutut di dekatnya, menghadap meja sembahyang dan berdoa. Doa yang terdengar aneh dan tidak dimengertinya.

   Kemudian, tiga orang itu selesai sembahyang dan Gunga Lama memegang sebatang pisau yang mengkilap saking tajamnya. Janghau Lama memegang sebuah bokor emas berisi air kembang mulailah Janghau Lama membasahi rambut kepalanya! Dan Pat Hoa Lama memegangi kepalanya. Tahulah dia. Dia akan digunduli! Dia akan dipaksa menjadi pendeta. Menjadi Dalai Lama! Akan tetapi apa daya? Dia tidak mampu bergerak, bahkan ketika dia hendak mengeluarkan suara untuk membantah, suaranya tidak keluar! Lehernya sudah tertotok pula, mcmbuat dia tidak mampu bersuara! Kini Gunga Lama mempergunakan tangan kirinya menjambak rambut kepalanya, mulutnya mengeluarkan doa pendek dan tangan kanan yang memegang pisau tajam sudah siap untuk mencukur rambutnya! Beberapa detik lagi dia akan gundul. Gunga Lama menggerakkan tangan kanan yang memegang pisau dan...

   "Tahan! Gunga Lama, engkau tidak boleh melakukan hal itu!"

   Bentakan suara wanita yang nyaring ini membuat tiga orang pendeta itu terkejut bukan main. Mereka mengangkat muka dan semakin kaget melihat munculnya seorang wanita tua yang masih cantik, bersama seorang pemuda dan seorang gadis manis yang bukan lain adalah Hay Hay dan Mayang. Mereka mengenal pula Kim Mo Siankouw karena dahulu mereka sering melihat wanita sakti ini menjadi tamu dan sahabat Dalai Lama.

   "Kim Mo Siankouw, engkau tidak boleh mencampuri urusan kami!"

   Bentak Gunga Lama dengan marah tanpa melepaskan rambut kepala Han Siong yang sudah dijambak tangan kirinya. Tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring sekali, mengejutkan semua orang yang berada di situ. Suara melengking itu keluar dari mulut Hay Hay. Melihat, betapa rambut kepala sahabatnya terancam musnah, Hay Hay sudah mengerahkan seluruh kekuatan sihirnya dan dia mengeluarkan suara melengking itu untuk menjadi daya tarik pertama, kemudian disusul teriakannya sambil menudingkan telunjuknya ke arah meja sembahyang, dengan wajah nampak kaget dan mata terbelalak, dia berseru,

   "Lihat, meja sembahyang itu terbakar! Ada kebakaran! Kebakaran! Awasss...!"

   Dia sendiri melompat ke depan. Semua orang terkejut. Tiga orang pendeta Lama itu menengok dan merekapun terkejut melihat betapa meja sembahyang yang besar itu telah berkobar dimakan api! Juga para pendeta Lama lainnya melihat kebakaran itu. Bahkan Mayang sendiri juga melihat meja itu terbakar! Saking kaget dan gugupnya, Gunga Lama melepaskan rambut kepala Han Siong yang dijambaknya, juga Pat Hoa Lama melepaskan kepala pemuda itu yang dipegangnya.

   Mereka bertiga melompat berdiri menghampiri meja sembahyang dengan maksud untuk memadamkan api yang berkobar besar, yang mengancam menimbulkan kebakaran besar di ruangan itu. Pada saat itu, setelah mereka bertiga tiba di dekat meja sembahyang mereka melihat bahwa tidak ada kebakaran apapun di sana! Mereka terkejut dan menyadari bahwa mereka telah dipermainkan orang, akan tetapi ketika mereka membalikkan tubuh, mereka sudah terlambat. Hay Hay sudah mempergunakan kesempatan itu untuk meloncat ke dekat Han Siong dan membebaskan totokan pada tubuh sahabatnya itu. Han Siong terbebas dan diapun bersama Hay Hay meloncat ke dekat Kim Mo Siankouw. Bukan main marahnya tiga orang pendeta itu. Gunga Lama menudingkan tongkatnya kepada wanita itu dan membentak,

   "Kim Mo Siankouw, sungguh bagus perbuatanmu ini! Kami selamanya tidak pernah mencampuri urusanmu, akan tetapi hari ini engkau datang untuk menghina kami!"

   Dengan sikap tenang namun sinar matanya mencorong, Kim Mo Siankouw menjawab,

   "Gunga Lama, mengapa engkau tidak bercermin lebih dulu sebelum mencela orang lain? Pin-ni hendak bertanya, apa yang telah kalian lakukan terhadap muridku Mayang ini? Ketika kalian memberontak terhadap Dalai Lama, pin-ni tidak ambil perduli karena itu bukan urusanku. Akan
(Lanjut ke Jilid 19)
Ang Hong Cu (Seri ke 10 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 19
tetapi, kalian berniat keji terhadap Mayang, dan kalian hendak memaksa pemuda ini menjadi Dalai Lama, untuk kalian peralat dalam pemberontakan kalian. Tentu saja pin-ni tidak mau tinggal diam saja!"

   "Kalian datang mengantar nyawa!"

   Gunga Lama berteriak marah, lalu mengangkat tongkatnya dan memberi aba-aba kepada anak buahnya.

   "Serbu, dan bunuh mereka semua! Tangkap Sin-tong...!"

   Akan tetapi, kini Han Siong yang sudah menerima pedang pusaka Gin-hwa-kiam dari tangan Hay Hay, di samping Hay Hay yang juga memegang pedang pusaka Hong-cu-kiam, sudah siap menyambut serangan mereka.

   Kim Mo Siankouw juga sudah siap dengan sebatang pedang di tangannya, sebatang pedang pusaka yang disebut Kim-lian-kiam (Pedang Teratai Emas) karena pada gagangnya yang terbuat dari emas itu terukir bunga teratai. Juga Mayang sudah siap dengan senjatanya yang khas, yaitu sebatang cambuk! Gunga Lama yang merupakan tokoh pertama, segera menyerang Kim Mo Siankouw dengan tongkat saktinya yang memakai kelenengan. Ketika tongkat menyambar, terdengar suara kelenengan yang nyaring, akan tetapi sinar pedang di tangan Kim Mo Siankouw menyambut dengan tangkisan, bahkan sinar pedang membalas cepat sehingga amat mengejutkan Gunga Lama. Keduanya segera bertanding dengan seru, dan segera bermunculan banyak pendeta Lama membantu sehingga Kim Mo Siankouw dikeroyok. Janghau Lama menerjang ke arah Hay Hay dengan sabuk ular putihnya. Hay Hay pura-pura ketakutan.

   "Hiiihh, kenapa senjatamu ular? Menjijikkan sekali!"

   Katanya sambil mengelak, akan tetapi sambil membalik, pedangnya menyambar dan nampak sinar emas meluncur ke arah ular putih itu. Janghau Lama terkejut dan cepat menarik kembali ularnya sehingga ular itu luput dari sambaran sinar pedang. Hay Hay tertawa dan menyerang lagi. Namun, lawannya cukup tangguh dan serangan balasan dengan ular berbisa itu amat berbahaya, maka biarpun dia tertawa-tawa, Hay Hay bergerak dengan hati-hati.

   Seperti juga dengan halnya Kim Mo Siankouw, dia segera dikeroyok oleh hampir sepuluh orang pendeta yang membantu Janghau Lama. Han Siong menyambut Pat Hoa Lama yang menggunakan senjata sepasang cakar harimau. Pedang Gin-hwa-kiam di tangannya berubah menjadi gulungan sinar perak dan diapun dikeroyok oleh banyak pendeta. Seperti juga Hay Hay, dia mengamuk dengan pedangnya dan pedang Gin-hwa-kiam mengeluarkan suara berdesing-desing. Dalam beberapa gebrakan saja, Pat Hoa Lama terdesak, namun segera bermunculan delapan orang pendeta Lama yang mengeroyok Han Siong seperti yang terjadi pada Kim Mo Siankouw dan Hay Hay. Melihat betapa gurunya, Hay Hay dan Han Siong sudah terlibat perkelahian dan dikeroyok, Mayang menjadi khawatir akan tetapi juga marah sekali.

   "Kalian ini pendeta-pendeta sungguh tak tahu malu dan curang sekali! Beraninya hanya main keroyokan!"

   Setelah membentak dan memaki-maki, gadis lincah ini lalu mengamuk pula di antara para pendeta yang membantu tiga orang tokoh besar itu. Biarpun ruangan itu luas, namun dengan adanya perkelahian keroyokan ini, mereka mulai berpisah. Mayang sendiri tergeser keluar dari ruangan itu, dikeroyok oleh enam orang pendeta Lama yang berusaha keras untuk menangkapnya.

   Agaknya memang para pendeta pengikut para pendeta Lama pemberontak itu bukanlah pendeta-pendeta sejati, melainkan orang-orang yang pada dasarnya berbatin rendah, dan yang mempergunakan jubah dan kedudukan pendeta sebagai kedok saja untuk menutupi gejolak nafsu mereka yang masih menguasai diri. Perkelahian terjadi semakin seru. Kim Mo Siankouw, Hay Hay, Han Siong dan Mayang harus menghadapi pengeroyokan kurang lebih enam puluh orang yang rata-rata memiliki kepandaian silat yang cukup tinggi sehingga tidak mengherankan kalau mereka itu mulai terdesak. Sudah beberapa orang pengeroyok yang roboh, namun sisanya masih terlalu banyak bagi mereka, dan mereka sudah merasa lelah sekali berkelahi selama hampir satu jam! Untuk melarikan diri, tidak ada kesempatan lagi.

   Mereka berempat itu kini dikeroyok secara terpisah dan pihak pengeroyok terlampau banyak sehingga jangankan untuk melarikan diri, untuk bersatu dengan kawan-kawan saja mereka tidak sempat sama sekali. Datangnya serangan seperti hujan dan setiap serangan lawan cukup berbahaya. Terutama sekali Mayang. Biarpun ia lihai dan lincah, namun di antara mereka berempat, ia yang boleh dikata paling lemah. Masih untung baginya bahwa para pengeroyoknya jelas ingin menangkapnya hidup-hidup dan tidak ingin melukainya. Hal ini membuat ia masih mampu bertahan sampai sekian lamanya walaupun ia sudah hampir kehabisan tenaga dan napas Gadis inipun maklum mengapa para lawan itu tidak melukainya dan mengapa pula mereka hendak menangkapnya hidup-hidup. Hal ini membuat ia menjadi semakin marah dan iapun mengamuk mengambil keputusan untuk berkelahi sampai mati. dari pada harus menyerah.

   Yang terutama membuat ia muak dan hampir tidak tahan, hampir muntah atau pingsan adalah bau keringat para pengeroyoknya! Mereka mengenakan jubah, karenanya tubuh mereka mengeluarkan banyak keringat. Ditambah lagi, agaknya mereka jarang mandi dan jarang berganti pakaian sehingga bau tubuh mereka sungguh memuakkan! Ia sudah terbiasa mencium bau ternak, domba atau sapi, akan tetapi tidak pernah ada yang baunya sebusuk gerombolan orang yang mengeroyoknya itu! Dengan kemarahan yang meluap dan kenekatan yang luar biasa, Mayang sudah berhasil merobohkan dua orang pengeroyok, akan tetapi tetap saja ia dikeroyok oleh sepuluh orang! Menghadapi pengeroyokan lima atau empat orang saja mungkin saja ia hanya dapat mengimbangi mereka, kini dikeroyok sepuluh!

   Napasnya sudah memburu dan keringatnya membasahi seluruh tubuh. Cambuknya masih meledak-ledak, akan tetapi ledakannya tidak senyaring tadi, tanda bahwa tenaganya sudah banyak berkurang. Kim Mo Siankouw adalah seorang wanita sakti. Ilmu kepandaiannya tinggi dan seperti juga Hay Hay dan Han Siong, andaikata tidak dikeroyok oleh demikian banyaknya lawan, tentu Gunga Lama tidak akan mampu menandinginya. Seperti dua orang pemuda sakti itu, ia dikeroyok oleh dua belas orang dan biarpun ia sudah merobohkan tiga orang pengeroyok, tetap saja masih ada sembilan orang pengeroyok yang mcngepung ketat. Tongkat sakti Gunga Lama sendiri amat berbahaya, dan para pembantunya juga merupakan pendeta-pendeta yang dahulunya menjadi jagoan-jagoan dari Dalai Lama.

   Demikian pula dengan Han Siong dan Hay Hay. Mereka berdua mengamuk, akan tetapi harus mereka akui kebenaran berita yang pernah didengarnya bahwa Tibet merupakan kedung atau gudangnya orang-orang yang berilmu tinggi. Baru sekarang mereka merasakan buktinya. Janghau Lama dan Pat Hoa Lama pasti tidak akan mampu menandingi mereka, akan tetapi dengan pengeroyokan seperti itu, mereka berdua merasa lelah dan juga terdesak. Pada saat yang amat berbahaya bagi empat orang penyerbu itu, terutama bagi Mayang karena gadis ini mulai terhuyung-huyung dan nayris tertangkap, tiba-tiba terdengar bunyi lonceng yang di susul suara doa yang di lakukan banyak orang secara berbareng.

   Makin lama, semakin nyaring bunyi doa yang di lakukan banyak orang secara berbareng. Makin lama, semakin nyaring bunyi doa yang memanjang itu. Mendengar ini, Gunga Lama dan kawan-kawannya menjadi pucat wajahnya. Pat Hoa Lama yang tadinya mengeroyok Han Siong, begitu mendengar suara itu, segera menyusup lenyap di antara anak buahnya dan dia cepat berloncatan menghampiri Mayang. Ketika itu, Mayang masih di keroyok dan sudah terhuyung-huyung. Tiba-tiba, Pat Hoa Lama meloncat di dekatnya dan menyambar tubuh mayang. Melihat ini, Kim Mo Siankouw mengeluarkan suara teriakan melengking, tubuhnya sudah mencelat meninggalkan Gunga Lama dan kawan-kawannya yang kelihatan bingung, dan ia sudah menghadang di depan Pat Hoa Lama, dengan pedang di tangan.

   

Pendekar Mata Keranjang Eps 8 Pendekar Mata Keranjang Eps 30 Asmara Berdarah Eps 22

Cari Blog Ini