Pendekar Kelana 2
Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo Bagian 2
"Dan di mana adanya ketua yang dulu?"
"Tidak seorangpun yang mengetahui nasibnya dan di mana dia berada."
"Wah, gawat kalau begitu. Pangcu, mari antar kami ke sarang Hwa I Kaipang. Urusan ini terpaksa kami harus campur tangan karena akan mencemar nama baik para pengemis. Kalau dibiarkan saja tentu sukar membedakan antara pengemis dan perampok."
"Baik, akan saya antar sekarang juga. Dan perlukah anak buah Hek I Kaipang ikut? Siapa tahu mereka akan melakukan pengeroyokan."
"Tidak perlu. Yang ingin kami temui adalah ketuanya. Perkumpulan pengemis adalah perkumpulan orang-orang yang taat kepada pimpinan. Kalau ketuanya sudah dapat kita bereskan, tentu anak buahnya akan menaati kita."
Lu Tung San, ketua Hek I Kaipang, ternyata sudah sembuh sama sekali. Karena selama sepekan ini dia hampir dikatakan tidak bisa makan, maka para anggautanya telah mempersiapkan makan minum untuk ketua mereka. Lu Tung San mengajak Yok-sian dan Si Kong untuk makan bersama. Dan ternyata makanan itu cukup lumayan, bahkan cukup mewah bagi para pengemis. Setelah makan Lu Tung San berangkat bersama Yok-sian Lo-kai dan Si Kong yang tidak lupa memikul keranjang rempah-rempah milik gurunya.
Sarang Hwa I Kaipang juga berada di luar kota, akan tetapi bukan merupakan rumah tua bekas kuil seperti yang ditempati Hek I Kaipang. Di luar kota, di lereng sebuah bukit, berdiri sebuah rumah besar dari tembok dan itulah sarang Hwa I Kaipang. Ketika mereka mendaki bukit itu, beberapa anggauta Hwa I Kaipang melihat mereka. Mereka mengenal Lu Tung San dan cepat mereka berlari ke sarang mereka untuk memberitahukan kunjungan Lu Tung San yang pernah dirobohkan ketua mereka yang baru itu. Tepat seperti yang dikatakan Yok-sian, tadinya Hwa I Kaipang juga merupakan sebuah perkumpulan pengemis yang sederhana dan baik, tidak pernah mereka itu melakukan pemerasan atau kejahatan lain. Baru beberapa bulan yang lalu, pada suatu hari datang seorang laki-laki berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun ke sarang Hwa I Kaipang.
Laki-laki itu bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam. Ketika ketua Hwa I Kaipang yang usianya sudah enam puluh tahun keluar menemui tamu itu, dengan terang-terangan orang yang mengaku bernama Ouwyang Kwi itu mengatakan bahwa dia hendak mengambil alih pimpinan Hwa I Kaipang! Tentu saja Hwa I Kai-pangcu menjadi marah dan terjadi perkelahian. Akan tetapi ternyata orang itu lihai bukan main. Biarpun dia dikeroyok oleh belasan orang yang merupakan pimpinan dan pembantunya, dia merobohkan mereka semua, bahkan menawan ketuanya. Melihat kelihaian si muka hitam itu, semua pengemis menyatakan takluk dan tunduk dan semenjak hari itu, Ouwyang Kwi menjadi ketua Hwa I Kaipang. Bahkan dia memindahkan sarang Hwa I Kaipang ke lereng bukit itu, dimana berdiri sebuah rumah tembok yang besar.
Dan mulailah terjadi perubahan besar dari para anggauta Hwa I Kaipang. Karena anjuran pemimpin baru mereka, para pengemis itu berani melakukan pemerasan terhadap penduduk kota Su-couw, dusun-dusun dan kota-kota di sekitar wilayah itu. Sejak Ouwyang Kwi menjadi ketua, kehidupan para pengemis baju kembang berubah menjadi mewah. Pakaian mereka yang berkembang-kembang itu bersih dan masih baru karena mereka mendapatkannya dari toko-toko yang tidak berani menentang permintaan mereka. Kalau permintaan mereka ditolak, mereka lalu mengamuk dan tidak ada orang yang berani melawan. Memang tadinya ada orang-orang yang merasa dirinya kuat dan pandai silat, menentang kaum pengemis Baju Kembang, akan tetapi mereka semua satu demi satu dirobohkan oleh ketua Hwa I Kaipang yang bermuka hitam itu.
Demikianlah keadaan Hwa I Kaipang. Ouwyang Kwi tadinya adalah seorang perampok tunggal. Akan tetapi agaknya dia merasa jemu dengan pekerjaan merampok seorang diri saja. Maka diapun mengambil alih kedudukan ketau Hwa I Kaipang dan dia selain memperoleh kedudukan ketua, juga mendapatkan anak buah yang siap melakukan semua perintahnya. Dia merasa seolah menjadi seorang raja! Pakaiannya juga berkembang-kembang, namun pakaian itu mewah, sama sekali bukan pakaian seorang pengemis yang biasanya compang-camping dan penuh tambalan. Dalam waktu beberapa bulan saja semua anak buah Hwa I Kaipang telah berubah. Memang demikianlah
(Lanjut ke Jilid 02)
Pendekar Kelana (Seri ke 12 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 02
keadaannya dengan kita manusia. Mengajar orang-orang agar supaya menjadi baik budi amatlah sukarnya.
Akan tetapi ajarilah orang-orang itu untuk berbudi buruk dan memperoleh kesenangan, maka sebentar saja semua orang akan suka dan menurut. Ketika Lu tung San, Yok-sian dan Si Kong memasuki perkampungan Hwa I Kaipang, mereka disambut oleh Ouwyang Kwi sendiri yang muncul bersama seorang kakek berpakaian mewah. Kakek ini bukan orang biasa. Dia adalah seorang datuk besar dunia kang-ouw dan juga majikan Pulau Tembaga di Lautan Timur. Datuk sesat inilah guru Ouwyang Kwi yang datang berkunjung kepada muridnya yang kini telah menjadi ketua Hwa I Kaipang itu. Kedatangannya di sambut oleh Ouwyang Kwi dengan mengadakan pesta makan minum secara mewah. Ketika Ouwyang Kwi menerima laporan dari anak buahnya bahwa Lu Tung San datang bersama seorang kakek dan seorang pemuda yang pada siang hari tadi menghajar enam orang anggautanya, menjadi marah sekali.
"Bagus dia sudah mengantarkan sendiri nyawanya. Sekarang ini aku tidak akan membiarkan dia pergi hidup-hidup!"
Kata Ouwyang Kwi. Gurunya merasa heran sekali melihat muridnya marah-marah.
"Ada apakah Ouwyang Kwi? Siapa yang datang dan membuatmu marah?"
Datuk ini merasa bangga bahwa muridnya telah menjadi ketua sebuah perkumpulan pengemis yang berpengaruh.
Dia sendiri adalah seorang datuk yang besar pengaruhnya di Lautan Timur. Para bajak laut semua tunduk kepadanya dan membayar "upeti"
Kepadanya sebagai hadiah karena mereka diperkenankan membajak di perairan itu. Datuk ini dikenal di dunia kang-ouw sebagai Tung-hai Liong-ong (Raja Naga Lautan Timur). Julukan Raja Naga ini mungkin karena orang melihat dia bersenjata sebatang tongkat kepala naga yang selalu dibawanya kemanapun dia pergi. Tongkat kepala naga ini menjadi andalan dan senjatanya yang ampuh. Ketika Tung-hai Liong-ong melihat Yok-sian Lo-kai, dia tercengang sejenak dan memandang tajam. Demikian pula dengan Yok-sian Lo-kai. Sama sekali tidak pernah menyangka akan bertemu dengan datuk besar itu di tempat ini.
"Hemm, kiranya Yok-sian Lo-kai yang datang!"
Kata Tung-hai Liong-ong.
"Ha-ha-ha, kiranya majikan Pulau Tembaga berada di sini pula! Tidak mengherankan kalau terjadi keributan!"
Kata Yok-sian sambil tertawa. Dua orang yang sama-sama amat terkenal di dunia kangouw ini memang pernah saling bertemu walaupun di antara mereka belum pernah terjadi pertikaian. Sementara itu, ketika melihat Lu Tung San, Ouwyang Kwi berkata mengejek.
"Hek I Kaipang, agaknya ada orang yang mengobatimu sampai sembuh. Apakah engkau belum jera dan ingin merasakan pukulanku lagi?"
"Ouwyang Kwi, aku datang mengantarkan Locianpwe Yok-sian Lo-kai yang ingin bicara denganmu karena sepak terjang anak buahmu yang sewenang-wenang."
"Aha, kiranya engkau memanggil bala bantuan? Aku tidak takut menghadapi jagoanmu!"
Ouwyang Kwi mengejek. Ouwyang Kwi adalah murid Tung-hai Liong-ong dan dia baru saja masuk ke dalam dunia kangouw setelah selama beberapa beberapa tahun menjadi perampok tunggal. Oleh karena itu dia belum mengenal nama Yok-sian Lo-kai dan sama sekali tidak gentar menghadapi nama julukan itu.
"Jadi mereka inikah yang memukul enam orang anak buahku? Jembel tua dan pengemis muda ini?"
Dia menudingkan telunjuknya ke arah Yok-sian dan Si Kong.
"Ha-ha-ha, betapa sombongnya! Aku sudah mengenal semua ketua perkumpulan para pengemis di empat penjuru. Mereka semua rata-rata baik. Maka ketika melihat enam orang pengemis Baju Kembang melarang Pengemis Baju Hitam untuk mengemis, aku menjadi tertarik dan ingin menyelidiki. Aku pernah mendengar bahwa perkumpulan Pengemis Baju Kembang adalah perkumpulan yang bersih, dipimpin oleh ketuanya yang baik pula. Akan tetapi, kenapa sekarang menjadi tersesat? Aku mendengar bahwa engkau orang she Ouwyang mengambil alih ketua yang lama?"
"Jembel tua, orang di luar Hwa I Kaipang tidak berhak mengurus urusan yang menyangkut Hwa I Kaipang. Sekarang yang menjadi ketua Hwa I Kaipang adalah aku, Ouwyang Kwi. Sebaiknya engkau tidak lancang mencampuri urusan kami, atau kami akan menggunakan kekerasan mengusirmu!"
"Ha-ha-ha-ha! Engkau bukan lawanku, Ouwyang Kwi. Kalau engkau mampu mengalahkan tongkat muridku ini, barulah engkau pantas melawan aku. Si Kong, bersiaplah untuk menandingi ketua palsu yang sombong ini."
Si Kong juga merasa marah mendengar ucapan ketua berpakaian kembang-kembang yang sombong itu, maka mendengar ucapan suhunya, dia lalu menurunkan keranjang rempah-rempah dan melintangkan tongkat bambunya di depan dadanya.
"Aku sudah siap, orang sombong!"
Katanya kepada Ouwyang Kwi. Ouwyang Kwi sudah mendengar laporan anak buahnya bahwa pemuda yang masih remaja itulah yang merobohkan mereka. Akan tetapi tentu saja dia tidak merasa gentar. Dia sudah banyak pengalaman dalam perkelahian selama bertahun-tahun, mana mungkin dia kalah oleh seorang bocah yang usianya paling banyak lima belas tahun ini?
"Baik, akan kubunuh dulu bocah ini, baru kemudian engkau jembel tua dan ketua Hek I Kaipang ini!"
Bentaknya dan tanpa banyak cakap lagi dia sudah mencabut sebatang golok dari punggungnya dan langsung menyerang Si Kong yang memegang tongkat bambu. Akan tetapi Si Kong sudah siap siaga dan dengan mudahnya dia mengelak dan secepat kilat tongkatnya sudah menotok ke tiga bagian jalan darah di kedua pundak dan dada lawannya.
"Eh...!"
Ouwyang Kwi terkejut sekali dan cepat memutar goloknya kedepan tubuhnya untuk melindungi diri dari totokan-totokan yang cepat dan tak terduga itu. Kalau Si Kong bertanding untuk merobohkan lawan saja, sebaliknya Ouwyang Kwi bertanding untuk membunuh lawannya. Dia seorang ahli bermain golok yang lihai, akan tetapi sekali ini dia sudah kewalahan dan sebentar saja dia sudah terdesak hebat! Dia hanya mampu menangkis dan memutar goloknya saja tanpa dapat membalas.
"Jangan pakai golok, gunakan Tok-ciang (Tangan Beracun)!"
Tiba-tiba dia mendengar suara gurunya. Orang lain tidak dapat mendengar seruan itu karena Tung-hai Liong-ong "mengirim"
Suaranya melalui khikang yang kuat sehingga seolah dia berbisik dekat telinga muridnya. Mendengar ini, Ouwyang Kwi melempar goloknya dan dia menggerak-gerakkan kedua tangannya yang perlahan-lahan berubah menghitam! Yang terkejut melihat perubahan ini adalah Yok-sian Lo-kai. Dia pun tidak mendengar bisikan itu, akan tetapi dia dapat menduga bahwa Majikan Pulau Tembaga itu yang agaknya memberi nasihat kepada muridnya. Dia tahu bahwa Si Kong tidak bermaksud membunuh lawan, maka tongkatnya hanya mencoba untuk menotok jalan darah yang tidak membahayakan nyawa lawan.
Dan karena kini Ouwyang Kwi bertangan kosong, dia dapat menangkis tongkat bambu dengan tangannya dan sekaligus mencoba untuk merampas tongkat. Juga sambaran tangan itu mengandung hawa beracun yang berbahaya. Diam-diam Yok-sian mengerahkan khikangnya dan berbisik yang hanya terdengar oleh muridnya.
"Pukul Kaki Seratus Anjing". Ini adalah nama jurus dari ilmu silat Tongkat Sakti Pemukul Anjing itu. Ketika Si Kong mendengar bisikan gurunya itu, cepat dia mengubah caranya bersilat dan tubuhnya bergerak rendah dan tongkatnya secara bertubi-tubi menyerang ke arah kedua kaki lawan. Karena yang diserangnya bagian lutut dan pergelangan kaki, maka kalau mengenai sasaran, tentu lawan akan jatuh berlutut, Kembali Ouwyang Kwi terdesak oleh serangan Si Kong. Dia berloncat-loncatan dan tidak mampu balas menyerang. Kembali telinganya mendengar bisikan gurunya.
"Garuda menyerang segerombolan kelinci!"
Ini merupakan jurus yang dilakukan dengan loncatan ke atas kemudian dari atas mencengkeram ke arah kepala lawan. Dan begitu dia meloncat tinggi di udara, dengan sendirinya serangan Si Kong juga macet, dan berbalik dia yang diserang oleh kedua tangan yang membentuk cakar itu. Si Kong terpaksa mengelak ke sana sini, karena kalau dia menangkis, ada bahayanya tongkat itu terpegang lawan dan kalau hal ini terjadi, tongkatnya dapat terampas atau setidaknya dihancurkan oleh cengkeraman tangan beracun itu! Tiba-tiba dia yang sedang terdesak itu mendengar bisikan gurunya,
"Ular Senduk Menyerang Garuda!"
Si Kong menjadi girang sekali dan cepat dia menggerakkan tongkatnya yang meluncur seperti seekor ular yang menyerang musuh yang datangnya dari atas. Dengan jurus ini maka kembali Si Kong dapat mendesak lawan. Yang diserang oleh luncuran tongkatnya adalah kedua mata dan leher lawan, serangan yang cukup berbahaya kalau mengenai sasaran. Demikianlah, dua orang itu saling serang dan sesungguhnya yang bertanding adalah guru-guru mereka yang membisikkan jurus-jurus melalui mereka. Ketika mendapat kesempatan, Si Kong menggetarkan ujung tongkatnya dan dengan pengerahan sinkangnya, dia menusuk ke arah uluhati lawan. Melihat ini, Ouwyang Kwi menangkis dengan tangan kanan sambil mengerahkan sinkang pula.
"Tuk...!"
Ujung tongkat bertemu telapak tangan dan keduanya terdorong mundur sampai lima langkah. Ternyata dalam hal tenaga sinkang, mereka seimbang dan hal ini amat mengejutkan hati Ouwyang Kwi. Tadipun kalau tidak mendapatkan bisikan-bisikan gurunya, dia sudah terdesak beberapa kali oleh pemuda remaja itu! Kini tahulah dia mengapa anak buahnya yang enam orang jumlahnya tidak mampu melawan pemuda ini. Baik Yok-sian Lo-kai maupun Tung-hai Liong-ong merasa khawatir kalau pertandingan antara murid-murid mereka dilanjutkan.
"Hemm, Jembel Tua, murid kita sudah cukup bertanding. Bagaimana kalau guru mereka, tua sama tua, maju menguji ilmu kepandaian?"
"Ha-ha-ha, Naga Tua, kalau dilanjutkan pun muridmu akan kalah. Kau menantang aku? Ha-ha-ha, memang sudah lama aku ingin sekali mengetahui sampai di mana kelihaian Tung-hai Liong-ong dari Pulau Tembaga yang namanya tersohor itu!"
"Jembel Tua, kalau kita menggunakan senjata, orang-orang akan menganggap aku tidak adil karena senjataku lebih berat dan lebih besar dari pada tongkat bambumu. Karena itu, aku tantang engkau untuk bertanding dengan tangan kosong!"
Berkata demikian Tung-hai Liong-ong menancapkan tongkat kepala naga itu ke tanah. Tongkat itu menancap di tanah sampai hampir setengahnya dan ini menunjukkan betapa kuat tenaga sinkang datuk itu. Yok-sian tertawa. Dia maklum bahwa lawannya tentu gentar menghadapi ilmu tongkatnya Ta-kaw Sin-tung maka sengaja menantang pertandingan tangan kosong. Tentu mengandalkan Tok-ciang (Tangan Beracun) yang hebat. Akan tetapi dia hanya tertawa dan tidak menolak tantangan itu.
"Ha-ha-ha, sesukamulah, Naga Tua. Bersenjata baik, bertangan kosong juga baik! Nah, aku sudah siap, mulailah!"
Kakek pengemis itu berdiri santai saja, tidak memasang kuda-kuda seperti orang yang hendak bertanding. Melihat sikap lawannya, Tung-hai Liong-ong segera mengeluarkan suara bentakan nyaring dan tubuhnya bergerak ke depan menyerang dengan dahsyat bagaikan angin topan!
"Hyaaaat...!!"
Kedua lengan Tung-hai Liong-ong menyambar dari kanan kiri.
"Heiiiittt...!"
Yok-sian mengelak dengan tubuh condong ke belakang sehingga serangan pertama Liong-ong (Raja Naga) itu luput dan segera kakinya mencuat untuk membalas serangan lawan dengan sebuah tendangan kilat.
"Wuuuutt... dukk!"
Liong-ong sudah menangkis tendangan Yok-sian dan balas memukul. Terjadilah pertandingan yang berjalan amat cepat sehingga yang nampak hanya bayangan dua orang kakek itu yang menyambar-nyambar seperti dua ekor ayam jantan berlaga. Diam-diam Si Kong memperhatikan dan dia melihat bahwa dalam hal ginkang atau meringankan tubuh gurunya masih menang setingkat. Akan tetapi Liong-ong memiliki ilmu pukulan yang hebat sekali. Dari kedua tangannya itu menyambar hawa pukulan yang panas. Tahulah dia bahwa Liong-ong memiliki kedua tangan yang sudah mengandung hawa beracun amat jahatnya dan kini dia mengerti mengapa Liong-ong mengajak gurunya bertanding dengan tangan kosong.
Tentu karena dia mengandalkan ilmunya itu untuk mengalahkan Yok-sian. Setelah lewat seratus jurus, dua orang kakek mengubah gerakan mereka, kini tidak cepat lagi seperti tadi, melainkan dengan gerakan lambat, namun setiap gerakan mengandung hawa sakti yang menyambar-nyambar, terasa oleh mereka yang menonton. Kedua orang sakti itu kini mengerahkan tenaga sinkang untuk saling serang. Pukulan mereka dilakukan dengan jari tangan terbuka dan dari telapak tangan mereka itulah menyambar hawa pukulan yang dahsyat bukan main. Dengan khawatir Si Kong melihat betapa kedua tangan Liong-ong menghitam sampai kesikunya. Itulah tandanya bahwa Liong-ong telah mempergunakan Tok-ciang (Tangan Beracun) yang amat berbahaya.
"Heeeiiiiiittt...!"
Liong-ong berseru dan tangan kirinya mendorong ke depan, sementara tangan kanannya diangkat tinggi di atas kepalanya. Ada hawa menghitam menyambar dan ketika Yok-sian mengelak, sebatang pohon kena dihantam tangan Liong-ong. Pohon itu tumbang dan di bagian yang terpukul menjadi hitam seperti terbakar.
"Hyaaatt...!"
Yok-sian yang sudah mengelak itu kini merendahkan tubuh dan dengan menekuk kedua lututnya dan kedua tangannya mendorong ke depan. Akan tetapi Tung-hai Liong-ong agaknya hendak mengadu tenaga karena dia pun melakukan gerakan yang sama dan mendorongkan kedua tangannya.
"Wuuuuuuutttt... plak..."!"
Dua pasang tangan itu bertemu di udara dan telapak tangan mereka saling melekat. Kini kedua orang kakek itu seperti dua orang anak-anak bermain dorong-dorongan!
Nampak sekali mereka mengerahkan seluruh tenaga untuk mendorong lawan. Dari kepala Liong-ong mengepul uap hitam dan dari kepala Yok-sian mengepul uap putih. Si Kong memandang dengan hati khawatir sekali. Dia tahu betul bahwa gurunya sedang bertanding mati-matian, mengerahkan seluruh tenaga. Kalau gurunya kalah kuat dan dapat terdorong, tentu akan menderita luka dalam yang hebat! Untuk membantu juga tidak mungkin, bahkan berbahaya karena dia dapat terserang oleh dua tenaga singkang yang sedang saling dorong itu. Ouwyang kwi juga mengerti keadaan gurunya. Dia nampak bingung dan tidak tahu harus berbuat apa, hanya membanting-banting kakinya dengan kesal. Wajah Liong-ong menjadi tegang dan kemerahan, sedangkan wajah yok-sian masih tersenyum seperti biasa.
"Hyaaaaaaaaaaaattt!!"
Dua orang kakek itu mengeluarkan teriakan melengking dan akibatnya, tubuh Tung-hai Liong-ong terdorong mundur sampai lima langkah dan hampir saja dia terjatuh, akan tetapi ditahannya, lalu dia muntahkan darah segar dari mulutnya! Tubuh Yok-sian hanya bergoyang-goyang akan tetapi kedua kakinya tidak melangkah, hanya mukanya yang menjadi agak pucat. Tung-hai Liong-ong menoleh kepada Ouwyang Kwi sambil mengusap darah dari bibirnya dan berkata dengan suara parau.
"Hayo kita pergi! Untuk apa memperebutkan kedudukan ketua pengemis busuk?"
Dengan kedua tangan dia mencabut tongkatnya yang tadi tertancap di atas tanah dan pergilah Tung-hai Liong-ong setelah dia memandang kepada Yok-sian.
"Lain kali aku menang!"
Dia melangkah pergi. Ouwyang Kwi nampak bingung. Akan tetapi diapun tahu bahwa dia sudah kalah, maka tanpa banyak cakap lagi diapun mengikuti langkah gurunya. Lu Tung San kini melangkah maju dan menghadapi anak buah Hwa I Kaipang dan berteriak lantang.
"Kami akan memaafkan kalian kalau kalian mencari di mana adanya ketua kalian yang lama, Tang Sin Pangcu."
Seorang anggauta Hwa I Kaipang berlari ke dalam dan tak lama kemudian dia menuntun seorang kakek yang nampak lemah. Dia itu bukan lain adalah Tang Sin, ketua Hwa I Kaipang yang dikalahkan oleh Ouwyang Kwi dan ditahan di kamar tahanan belakang gedung! Yok-sian sendiri kini duduk bersila dan mengatur pernapasannya. Dari sudut mulutnya nampak darah. Kiranya dia pun terluka parah, hanya tidak kelihatan seperti halnya Tung-hai Liong-ong. Si Kong berlutut di sisi gurunya.
"Suhu terluka...?"
Tanyanya lirih. Yok-sian mengangguk, membuka mata memandang kepada Tang Sin yang sudah menjatuhkan diri berlutut di depannya. Yok-sian berkata kepada muridnya.
"Si Kong, kau cepat periksa dia dan obati sampai sembuh."
Si Kong memenuhi permintaan gurunya. Dia memeriksa tubuh Tang Sin yang lemah. Ternyata Tang Sin juga terluka oleh pukulan beracun seperti halnya Lu Tung San. Maka cepat dia menotok dan menekan beberapa jalan darah di tubuhnya dan memasakkan obat dengan bantuan para pengemis baju berkembang dan memberikan obat itu kepada Tang Sin.
"Si Kong, mari kita pergi dari sini!"
Kata Yok-sian kepada muridnya sambil bangkit berdiri. Wajahnya masih pucat akan tetapi dia tetap penuh senyum.
"Kami menghaturkan terima kasih kepada Locianpwe Yok-sian Lo-kai!"
Kata Lu Tung San.
"Sudahlah, di antara kita mana ada budi dan terima kasih? Semua yang kita lakukan adalah kewajiban kita. Dan engkau, Hek I Kai-pangcu, engkau pun mempunyai kewajiban. Bantulah ketua Hwa I Kaipang untuk menyadarkan para anggautanya yang dibawa menyeleweng oleh Ouwyang Kwi. Bantu dia membawa anak buahnya ke jalan lurus kembali. Sekarang, biarkan kami pergi melanjutkan perjalanan kami."
Tang Sin dan Lu Tung San yang berterima kasih itu mencoba untuk mencegah kepergian kakek itu, akan tetapi sia-sia belaka. Mereka hanya dapat mengantar sampai di luar gedung dan membiarkan Yok-sian Lo-kai dan Si Kong pergi dari situ.
"Kita mencari tempat yang sunyi. Aku... ingin beristirahat."
Kata Yok-sian. Si Kong membawanya keluar kota Souw-ciu dan melihat ada sebatang pohon besar di sebelah kanan jalan, Si Kong mengajak gurunya ke sana dan Yok-sian duduk bersila di bawah pohon.
"Suhu, biarkan teecu (murid) memeriksa keadaan suhu."
"Aku sudah tahu keadaanku. Aku terserang hawa beracun dari Naga Tua itu. Terluka parah sekali. Aku tidak akan mampu lagi mengerahkan tenaga sinkang sampai lama."
"Suhu, apakah tidak ada obatnya untuk mengobati luka suhu?"
Yok-sian menggeleng kepala.
"Salahku sendiri. Kalau aku mengaku kalah dan tidak menahan, tentu tidak akan terluka sampai seperti ini. Diapun terluka, sama parahnya dengan aku. Dia dan aku kini menjadi orang-orang tua tanpa daya dan untuk memulihkan keadaanku, aku harus menghimpun tenaga dari hawa murni, entah selama berapa tahun lagi."
Tentu saja Si Kong merasa prihatin sekali.
"Suhu, biarlah teecu berusaha untuk membantu suhu mengusir mengusir hawa beracun itu."
Katanya dan diapun lalu bersila di belakang tubuh suhunya dan menempelkan kedua tangannya di punggung Yok-sian sambil mengerahkan tenaga saktinya. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika terasa olehnya ada hawa yang amat panas menyerangnya dan membuatnya terpelanting.
"Jangan kau lakukan itu, percuma saja, bahkan engkau bisa terluka. Tenaga dalamku menjadi kacau dan keracunan. Aku membutuhkan waktu lama untuk memurnikannya kembali."
Kata Yok-sian Lo-kai. Si Kong merasa sedih melihat keadaan gurunya. Dia mengusulkan kepada gurunya untuk bermalam di sebuah penginapan dan dia sendiri ingin bekerja mencari uang untuk membayar sewa kamar. Akan tetapi gurunya tidak setuju.
"Pengemis-pengemis menginap di rumah penginapan? Kita hanya akan diejek dan diusir. Sudahlah, aku tidak membutuhkan tempat yang baik, hanya membutuhkan tempat yang sunyi."
Akhirnya Si Kong menemukan sebuah kuil tua yang kosong, beberapa li jauhnya dari kota Souw-ciu. Dia mengajak suhunya untuk tinggal di kuil itu. Dan setiap pagi dia pergi ke kota Souw-ciu pulangnya membawa makanan dan juga obat penguat badan untuk gurunya. Dia bekerja apa saja untuk mendapatkan uang guna keperluan itu. Setelah tiga bulan tinggal di kuil itu dan setiap hari dia bekerja sebagai buruh kasar, pada suatu siang ketika dia kembali ke kuil tua, gurunya sudah tidak ada di tempat itu! Si Kong menjadi bingung dan khawatir, akan tetapi dia menemukan coret-coretan di dinding sebelah dalam. Itu adalah tulisan Yok-sian Lo-kai yang dilakukan dengan ujung tongkatnya.
Si Kong,
Aku terpaksa meninggalkanmu. Aku tidak ingin melihat engkau bersusah payah untuk mengurus diriku. Aku hanya membutuhkan istirahat selama beberapa tahun. Engkau merantaulah seorang diri dan pergunakanlah apa yang kau pelajari dariku untuk menegakkan kebenaran dan keadilan.
Selamat tinggal.
Si Kong menjadi lemas. Seperti orang kebingungan dia lari keluar dan mencari ke sana-sini, untuk mengejar suhunya. Akan tetapi usahanya itu gagal dan akhirnya dia kembali ke kuil menjatuhkan dirinya duduk di lantai yang biasa diduduki gurunya dan termenung. Dia merasa nelangsa, merasa kesepian. Setelah hidup bersama Yok-sian Lo-kai selama lima tahun, orang tua itu sudah melekat di hatinya, menjadi satu-satunya orang yang dekat dengannya. Kini, tiba-tiba saja gurunya pergi karena tidak ingin menyusahkannya! Bagaimana hatinya tidak akan merasa sedih. Padahal, dengan senang hati dia ingin merawat suhunya sebagai pembalas budi. Akan tetapi orang tua itu tidak mau dan meninggalkannya. Selama ini dia merasa hidupnya bahagia. Biarpun harus hidup sebagai seorang pengemis, namun dia tidak pernah merasa susah.
Kemanapun dia merasa berbahagia karena gurunya selalu tersenyum dan tertawa katanya menertawakan dunia dan manusianya yang serba palsu dan lucu. Si Kong merasa kesepian dan ditinggalkan kebahagiaan. Rasanya berat harus hidup seorang diri, seolah kehilangan pegangan. Kemana dia harus pergi? Ketika bersama gurunya tak pernah dia tanya hal ini. Seolah dengan sendirinya dia harus pergi kemana gurunya pergi dan gurunya itupun tidak pernah mempunyai rencana harus pergi kemana. Dia teringat akan kata-kata gurunya. Manusia mencari kebahagiaan ke mana-mana dan dengan segala cara, namun tidak pernah dapat menemukan kebahagiaan itu. Menurut gurunya, kebahagiaan tidak bisa ditemukan kalau dicari. Kebahagiaan adalah suatu keadaan batin yang tidak diganggu oleh gejolaknya nafsu.
Selama nafsu masih bergejolak dalam batin, tidak mungkin manusia dapat berbahagia, karena dia akan terbentur dengan halangan-halangan dalam mengejar kesenangan seperti yang dikehendaki oleh nafsu. Dalam keadaan tidak berbahagia, bagaimana mungkin menemukan kebahagiaan? Kalau keadaan yang tidak berbahagia itu tidak ada lagi, manusia tidak lagi membutuhkan kebahagiaan. Kenapa? Karena dia sudah bahagia! Kebahagiaan itu sudah ada selalu dalam diri manusia sendiri, namun terselubung oleh bermacam persoalan dan kesukaran yang menjadi akibat dari menuruti nafsu diri. Seperti orang yang mencari kesehatan. Bagaimana mungkin akan dapat mengalami kesehatan kalau tubuhnya sedang sakit? Daripada mencari kesehatan yang tak mungkin dia temukan, lebih baik meneliti dirinya sendiri yang sakit, mengusahakan agar penyakit itu lenyap.
Kalau dirinya sudah tidak dihinggapi penyakit lagi, apakah dia butuh mencari kesehatan? Tidak perlu lagi karena dia sudah sehat! Manusia biasanya tidak dapat menikmati kesehatan kalau dia sehat. Baru merindukan kesehatan kalau dia sakit. Demikian pula manusia tidak dapat menikmati kebahagiaan kalau dia berbahagia. Baru merindukan kebahagiaan dikala dia sedang tidak berbahagia. Hidup itu sendiri adalah indah, hidup itu sendiri adalah bahagia. Mengapa repot-repot mencari kebahagiaan dengan segala cara? Setelah merenungkan kembali apa yang pernah dia dengar dari Yok-sian Lo-kai, Si Kong merasa terhibur. Kalau dia merasa kehilangan dan kesepian, itu sama saja dengan mengundang ketidak-bahagiaan dalam hatinya. Kata gurunya hidup haruslah berani mandiri, tidak boleh terikat atau tergantung kepada apa dan siapapun juga.
Hidup adalah miliknya sendiri, akan diisi apapun terserah kepada dirinya sendiri. Dia bangkit berdiri, merasa lega dan merasa kuat. Aku memang sudah semestinya hidup sendiri. Demikian pikirnya. Aku sudah yatim piatu dan tidak memiliki apa-apa. Aku akan merantau, seperti yang dilakukan suhu. Aku harus berani dan menempuh kehidupan ini dengan tabah dan gembira. Aku harus menjadi seoang kelana, pergi kemana saja menurutkan arah kakinya melangkah. Terbang bebas lepas di udara seperti seekor burung. Kata gurunya, burung yang kecil-kecil dan penakut terbang berkelompok dan tidak berani menyendiri. Akan tetapi burung rajawali berani terbang melayang dengan lepas bebas seorang diri saja, menghadapi kehidupan ini seorang diri tanpa rasa takut.
"Aku akan berkelana! Terima kasih atas segala petunjuk dan bimbinganmu suhu!"
Katanya keras-keras, lalu dia keluar dari kuil itu mulai dengan pengembaraannya.
Setelah berkelana seorang diri Si Kong meninggalkan pula kebiasaannya memakai pakaian seperti pengemis, yaitu tambal-tambalan. Dengan tubuhnya yang kuat dan tenaganya yang besar, mudah baginya mencari pekerjaan kasar yang menghasilkan sedikit uang dan mulailah dia membeli pakaian yang sederhana namun tidak ada tambalannya. Dia berkelana dari kota ke kota, dari dusun ke dusun, dan berhenti beberapa bulan lamanya untuk bekerja. Setelah mendapatkan uang, dia berkelana lagi. Pada suatu pagi, dia berjalan dengan santai mendaki sebuah bukit kecil. Dia baru saja meninggalkan kota Pu-han di mana dia tinggal sebulan lamanya untuk bekerja. Kini dia melanjutkan kelananya dengan mengantungi uang hasil pekerjaannya. Hatinya terasa ringan, segala yang nampak kelihatannya indah. Matahari belum naik tinggi, sinarnya masih kemerahan.
Pemandangan di bukit kecil itu pada pagi hari amatlah indahnya. Burung-burung berkicau, siap meninggalkan sarangnya di mana dia melewatkan malam gelap. Para petani sepagi itu sudah menuju ke sawah ladangnya membawa cangkul. Semua nampak indah berseri dan seperti itulah seyogyanya kehidupan ini. Namun sayang, batin selalu mudah terguncang sehingga menimbulkan perasaan tidak bahagia. Si Kong mendaki makin tinggi dan di dekat puncak bukit sudah tidak ada lagi sawah ladang, melainkan padang rumput dan hutan di sana-sini. Tiba-tiba dia mendengar suara orang menyanyikan sajak. Jantungnya berdebar. Gurunya, Yok-sian Lo-kai yang biasa bernyanyi seperti itu! Akan tetapi suaranya agak lain. Dia mempercepat langkahnya dan dapat menyusul seseorang yang berjalan sambil menyanyikan sajak.
"Sebelum timbul girang dan marah
sebelum terasa senang dan susah
batin berada dalam
keadaan bimbang.
Apa bila perasaan itu timbul
namun dapat mengendalikan
batin berada dalam
keadaan keselarasan.
Keseimbangan dasar
termulia di dunia
dan keselarasan adalah
alan utama di dunia"
Si Kong segera mengenal kata-kata itu. Dia sudah banyak mempelajari ayat-ayat dari kitab-kitab agama dari Yok-sian. Maka diapun mengenal syair yang dinyanyikan itu, ialah sebagian daripada isi kitab Tiong Yong. Karena suara orang itu terdengar lantang gembira, dia terbawa gembira dan seperti tanpa disadari diapun menyambung nyanyian itu dengan suaranya yang lantang.
"Apabila Keseimbangan dan Keselarasan
dilaksakan dengan sempurna,
maka keberesan abadi meliputi
langit dan bumi,
dan segala mahluk dan benda
terpelihara dengan baik."
Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mendengar ini, orang itu menghentikan langkahnya dan menoleh. Dia seorang laki-laki berusia lima puluh tahun, tubuhnya kurus kering seperti pohon kekeringan, namun wajahnya tampan dengan kumis dan jenggot terpelihara baik-baik. Orang itu membelalakkan matanya dan nampak keheranan setelah melihat bahwa orang yang menyambung sajaknya itu hanyalah seorang pemuda remaja! Dia berhenti melangkah dan menanti sampai Si Kong datang dekat.
"Engkau hafal akan ujar-ujar dalam kitab Tiong Yong?"
Tanya orang itu, masih keheranan.
"Engkau tentu seorang anak yang terpelajar!"
Si Kong tersenyum dan memberi hormat.
"Paman, saya tidak pernah bersekolah atau belajar, saya hanya menirukan apa yang pernah di katakan suhu."
"Siapa suhumu?"
Dengan bangga Si Kong menjawab,
"Suhu adalah Yok-sian Lo-kai."
"Ah, dia? Pantas engkau hafal ayat-ayat Tiong Yong. Akan tetapi apakah engkau mengerti akan artinya ayat-ayat itu?"
"Justru artinya yang membingungkan aku, paman. Suhu tidak pernah menjelaskan dan hanya mengatakan bahwa kelak aku akan mengerti sendiri."
"Mengerti sendiri memang dapat, akan tetapi ada kemungkinan pengertian itu menyeleweng dari arti yang sebenarnya. Nah, dengarlah baik-baik anak muda. Batin manusia seperti yang telah ada padanya sejak lahir memiliki Watak Aseli yang sifatnya tenteram, lurus dan seimbang. Akan tetapi apabila batin diguncangkan oleh perasaan seperti suka dan duka, senang dan marah, maka keseimbangannya dapat menjadi goyah dan miring dan kalau demikian halnya, maka dia akan meninggalkan Tao atau Jalan Kebenaran atau Hukum Alam. Akan tetapi manusia disertai pula oleh nafsu-nafsu daya rendah yang saling berebut untuk menguasainya, maka tidak dapat dielakkan lagi berbagai macam guncangan itu akan menerjangnya dalam kehidupan, seperti sebuah biduk tak terbebas dari guncangan ombak. Akan tetapi kalau dia sedang diguncang nafsu, namun dapat mengendalikan perasaan itu, maka akan terciptalah keselarasan. Sudah manusiawi kalau mendapatkan sesuatu yang tidak enak, manusia berduka, apabila melihat kejadian yang tidak adil, dia marah, akan tetapi kalau semua itu dapat dia kendalikan, maka segalanya akan selaras dan dia tidak akan tenggelam ke dalam perasaan itu dan pertimbangannya akan tetap tegak dan berimbang. Demikian pula kalau menghadapi sesuatu yang mendatangkan perasaan suka dan girang, dia tidak akan mabuk dan menjadi bangga, angkuh, serakah dan selanjutnya. Demikianlah, maka seperti yang kau nyanyikan tadi, apabila Keseimbangan dan Keselarasan dapat dilaksanakan dengan sempurna, maka langit dan bumi akan menjadi beres dan tenteram, dan kehidupan di dunia akan penuh kebahagiaan."
Si Kong memandang kagum. Jelas bahwa orang ini seorang sastrawan, atau setidaknya seorang yang terpelajar tinggi. Dia segera memberi hormat dan berkata,
"Paman, terima kasih atas penerangan semua itu. Kalau begitu, dalam kitab Tiong Yong terdapat pelajaran tentang kehidupan yang amat mendalam."
"Dalam kitab suci, tentu saja tersimpan pelajaran yang amat mendalam. Hanya persoalannya, kalau hanya dipelajari dan tidak dilaksanakan, maka pelajaran itu menjadi benda yang tidak ada gunanya sama sekali."
Si Kong menghela napas panjang.
"Tepat sekali, paman. Akan tetapi mengapa di dunia ini terdapat lebih banyak kejahatan daripada kebaikan, terdapat demikian banyaknya orang jahat padahal di dunia ini terdapat pelajaran agama yang demikian indah dan mendalam?"
"Ha-ha-ha-ha!"
Sastrawan itu terbahak, mengingatkan Si Kong akan gurunya yang mempunyai kebiasaan tertawa lepas.
"Mudah sekali menjawabnya. Karena manusia disertai nafsu-nafsu daya rendahnya yang selalu ingin menguasainya. Nafsu-nafsu daya rendah sudah menguasai manusia lahir batin, lebih kuat karena memang manusia itu lemah sehingga manusia menjadi budak dari nafsunya. Bahkan pikirannya sudah dikuasai nafsu sehingga biarpun dia tahu bahwa melakukan perbuatan yang menyimpang dari kebenaran, pikiran yang sudah dikuasai nafsu itu selalu mencoba untuk membelanya dan membenarkan tindakannya yang menyimpang dari kebenaran itu. Maka orang bijaksana jaman dahulu selalu mengingatkan manusia agar berhati-hati menghadapi musuh dalam selimut, yaitu nafsu-nafsunya sendiri."
"Wah, paman. Sungguh jelas apa yang paman terangkan itu! Terima kasih paman."
"Dan engkau juga seorang anak yang aneh. Masih remaja akan tetapi sudah tertarik akan soal-soal kehidupan."
"Tentu saja, paman. Bukankah saya inipun manusia hidup yang harus tahu akan kehidupan, bukan?"
"Ha-ha-ha, engkau juga cerdik Siapakah namamu orang muda?"
"Nama saya Si Kong, paman."
"Si Kong? Nama yang bagus, engkau harus berhati-hati kalau mempunyai nama yang bagus, karena engkau harus menyesuaikan perbuatanmu dengan namamu itu! Kau tidak ingin tahu namaku?"
"Tentu saja, paman. Paman tentu seorang yang terkenal sekali di dunia."
"Ha-ha-ha, orang-orang menyebut aku Kwa Siucai (Pelajar Kwa) dan ada pula yang menyebutku Penyair Gila! Orang-orang itu membenciku karena aku suka berterus terang menyatakan watak-watak mereka yang buruk. Aku seorang peramal, heh-heh!"
"Saya tidak suka diramal nasib saya, paman."
"Kenapa?"
"Tahu lebih dulu akan nasib diri mendatangkan banyak kerugian. Kalau nasibnya baik akan membuat dia sombong dan tekebur, sebaliknya kalau mengetahui nasibnya buruk akan membuat dia putus asa dan murung. Tidak, saya lebih baik tidak mengetahui dan menanti saja apa yang akan datang menimpa diri kita."
"Ha-ha-ha, cocok sekali! Aku sendiripun tidak suka meramalkan nasib sendiri. Tapi orang-orang bodoh itu ingin sekali menjenguk masa depan mereka. Dan aku hidup bebas dari rasa takut. He, Si Kong, banyak sikap yang sama di antara kita, dan melihat bentuk tubuhmu, aku tidak akan merasa heran kalau engkau lihai dalam ilmu silat. Bukankah gurumu Yok-sian Lo-kai yang lihai?"
"Saya hanya mempelajari beberapa macam pukulan dengan tongkat ini, paman."
"Ah, engkau tentu sudah pandai mainkan Ta-kaw Sin-tung!"
Si Kong tertegun. Orang ini memang aneh. Ternyata pandai pula menebak ilmu silat yang dia pelajari dari Yok-sian Lo-kai.
"Bagaimana paman dapat mengetahuinya?"
"Engkau masih muda, sebetulnya tidak membutuhkan tongkat, akan tetapi engkau selalu membawa tongkat bambu. Apalagi kalau tidak pandai Ta-kaw Sin-tung, Tongkat Sakti Pemukul Anjing yang tersohor itu?"
"Ah, saya hanya bisa sedikit saja, paman."
"Ada nasihat yang dikatakan orang-orang di dunia kangouw bahwa semakin orang merendahkan diri, makin lihailah dia! Sudah lama sekali aku mendengar tentang Tongkat Sakti Pemukul Anjing yang kabarnya telah mengalahkan banyak anjing dan srigala di dunia kangouw. Sekarang aku bertemu denganmu, ingin sekali aku merasakan bagaimana lihainya ilmu tongkat itu."
"Ah, paman hanya main-main saja. Aku tidak akan mau menggunakan tongkat ini untuk memukul paman. Tongkat ini kubawa hanya untuk memukul anjing-anjing dan srigala."
"Nah, anggap saja aku ini anjing atau srigala!"
"Tidak, paman adalah seorang yang baik hati. Aku tidak ingin berkelahi dengan paman."
"Aku hanya ingin mencoba kelihaian tongkatmu, bukan mengajakmu berkelahi. Sekarang begini saja. Aku akan menyerangmu dan kau lawanlah dengan Ta-kaw Sin-tung. Awas, aku mulai!"
Setelah berkata demikian, Kwa Siucai atau Penyair Gila itu sudah menerjang ke depan dan tangannya menghantam ke arah dada Si Kong. Pemuda ini terkejut bukan main ketika dari tangannya yang menghantam itu menyambar hawa pukulan yang amat kuat! Kiranya Penyair Gila ini memiliki tenaga sin-kang yang amat hebat. Diapun cepat mengelak sambil memutar tongkatnya. Begitu serangan pertamanya luput, Kwa Siucai sudah menyusul dengan serangan kedua yang lebih cepat dan lebih kuat. Kini terpaksa untuk membela diri Si Kong mainkan Ta-kaw Sin-tung, menangkis, memutar tongkat melindungi dirinya dan balas menyerang. Dalam ilmu tongkat Ta-kaw Sin-tung, balas menyerang merupakan gaya melindungi diri yang paling tepat. Kalau orang diserang anjing, dia harus membalas dengan serangan, bukan hanya mengelak saja, demikian inti ilmu tongkat itu.
Kwa Siucai tertawa terbahak karena girang melihat betapa pemuda itu mainkan ilmu tongkat yang ingin sekali dilihatnya itu. Dan setelah Si Kong menyerangnya secara bertubi, barulah dia menjadi repot melayaninya. Memang ilmu tongkat itu aneh bukan main. Yang dipukul kepala akan tetapi tahu-tahu ujungnya yang lain menotok ke arah kaki. Kalau yang dipukul bagian tubuh yang kanan, ujungnya yang lain menyerang tubuh kiri! Anjing-anjing memang akan menjadi bingung dan terkena pukulan kalau diserang seperti itu! Si Kong tidak ingin melukai Kwa Siucai, maka tongkatnya hanya mendesak saja dan tidak pernah dia memukul dengan sungguh-sungguh walaupun kedua ujung tongkatnya menyerang silih berganti dan tidak memberi peluang kepada lawan untuk membalas menyerang.
"Bagus, Si Kong. Bagus sekali! Akan tetapi sekarang berhati-hatilah engkau!"
Tiba-tiba saja tubuh Kwa Siucai yang diserangnya itu lenyap! Dari hawa pukulannya yang datang dari belakang tahulah dia bahwa lawannya telah berada di belakangnya. Dia membalik dan memutar tongkatnya untuk menyerang, akan tetapi hanya kelihatan berkelebatnya bayangan orang dan tahu-tahu Kwa Siucai sudah lenyap pula. Tiba-tiba orang itu sudah berada di sebelah kananya.
Kini Si Kong yang menjadi repot. Dia harus terus menangkis pukulan yang datangnya dari semua penjuru seolah tubuh Kwa Siucai berubah menjadi puluhan banyaknya! Tahulah dia dengan hati kagum dan kaget bahwa Kwa Siucai sebenarnya seorang sakti yang memiliki ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai sempurna sehingga dia seperti pandai menghilang saja! Karena terus diserang dari berbagai penjuru dan sama sekali dia tidak dapat balas menyerang, Si Kong sampai mandi keringat menjaga diri dari serangan yang tiba-tiba datangnya itu. Akan tetapi, mendadak setelah Si Kong kehilangan lagi bayangan Kwa Siucai, tahu-tahu tongkatnya terpegang ujungnya dari belakang. Dia mempertahankan tongkatnya sehingga tidak dapat dirampas, akan tetapi dia pun tidak dapat menggerakkan lagi tongkatnya!
"Ha-ha-ha, memang bukan kosong saja berita tentang kehebatan Ta-kaw Sin-tung! Aku kagum sekali, Si Kong!"
Si Kong adalah seorang pemuda remaja yang cerdik bukan main. Dari pengalamannya bertanding tadi, tahulah dia bahwa dia berhadapan dengan seorang yang sakti yang memiliki ilmu silat tinggi. Maka, tanpa banyak cakap lagi dia segera menjatuhkan diri berlutut di depan Penyair Gila itu.
"Locianpwe telah membuka mata saya untuk melihat ilmu meringankan tubuh yang luar biasa sekali. Mohon petunjuk, Locianpwe!"
"Ha-ha-ha-ha! Bagus sekali, Si Kong. Tadi ketika bertemu pertama kali melihat engkau dapat menghafal ujar-ujar dalam kitab Tiong Yong, aku sudah tertarik sekali padamu. Sekarang melihat engkau mainkan Ta-kaw Sin-tung, aku lebih kagum lagi. Agaknya kita memang berjodoh, Si Kong. Bagaimana kalau engkau menjadi muridku?"
Memang inilah yang dikehendaki Si Kong. Maka, tanpa banyak cakap lagi dia sudah memberi hormat sambil berlutut dan berkata,
"Teecu (murid) akan menaati semua perintah suhu!"
Kwa Siucai menjadi girang sekali.
"Bagus! Nah, bangkitlah dan perhatikan semua petunjukku. Kejarlah aku!"
Dan tiba-tiba saja tubuh Kwa Siucai sudah melesat seperti anak panah terlepas dari busurnya, sebentar saja sudah jauh. Melihat ini, Si Kong menjadi gembira dan dia pun melompat dan mengejar. Akan tetapi betapapun dia mengerahkan tenaga untuk berlari secepatnya, tetap saja dia tidak mampu mengejar, padahal Kwa Siucai kelihatan melangkah dengan santai saja. Dipandang sepintas lalu, seolah kedua kaki Penyair Gila itu tidak menyentuh tanah! Napas Si Kong hampir putus ketika mereka tiba di puncak bukit karena dia mengerahkan seluruh tenaganya sejak tadi. Tahu-tahu Kwa Siucai sudah menanti di puncak bukit dan tertawa melihat dia terengah-engah.
"Duduklah bersila!"
Perintahnya. Si Kong menaati dan duduk bersila di depan suhunya yang juga sudah duduk bersila di atas tanah berumput.
"Bernapaslah dengan perut tarik napas sepanjang dan sekuat mungkin, tarik terus lalu keluarkan ke dalam tan-tian dan tahan sejenak, lalu keluarkan dari mulut dengan mengeluarkan suara begini!"
Kwa Siucai memberi contoh kepada Si Kong dan pada saat itu juga dia sudah mulai dilatih untuk menghimpun udara bersih dan memperkuat pernapasannya.
Si Kong berlatih dengan penuh kesungguhan sehingga gurunya menjadi semakin suka. Pada hari-hari berikutnya dia mulai melatih ginkang (ilmu meringankan tubuh) kepada Si Kong. Perlahan-lahan dia mengajarkan ilmu meringankan tubuh yang disebut Liok-te Hui-teng (Lari Terbang Di atas Tanah) dan ilmu silat yang mengandalkan ginkang dan disebut ilmu silat Yan-cu Hui-kun (Silat Burung Walet Terbang). Tentu saja untuk mempelajari kedua ilmu ini, membutuhkan waktu lama, terutama untuk latihan pernapasan, akan tetapi Si Kong dengan tekunnya mengikuti semua petunjuk Kwa Siucai. Dalam kehidupannya bersama guru barunya ini, Si Kong mendapatkan kenyataan bahwa Penyair Gila itu bahkan lebih miskin dibanding Yok-sian Lo-kai.
Yok-sian setidaknya diterima orang dengan senang hati dan tangan terbuka karena Dewa Obat ini datang untuk mengobati orang sehingga dia dan guru pertamanya itu dimana-mana disambut orang dengan hidangan dan kehormatan. Dan kalau dia mau, dengan kepandaiannya mengobati orang, dia akan bisa mendapatkan uang. Akan tetapi Penyair Gila ini tidak dapat menjual sajak-sajaknya yang aneh, apalagi ramalannya yang menelanjangi orang-orang sehingga membuat banyak orang merasa tidak suka kepadanya! Dan terdapat perbedaan yang besar antara watak Kwa Siucai ini dengan Yok-sian. Yok-sian biarpun miskin namun menjaga nama dan kehormatan dirinya, tidak suka mencuri bahkan tidak pernah menjual kepandaiannya mengobati orang. Daripada mencuri dia lebih baik mengemis! Akan tetapi ternyata tidak demikian dengan Kwa Siucai.
"Orang-orang kaya yang tidak pernah mau memperdulikan nasib sesama manusia yang menderita karena kemiskinannya, adalah orang-orang yang tidak berbudi,"
Demikian antara lain Kwa Siucai berkata.
"Orang-orang kaya itu sudah mendapatkan kemurahan dari Thian, maka sudah sepatutnya kalau dia menjadi seorang dermawan pula. Seorang hartawan harus menjadi seorang dermawan, maka barulah cocok. Kalau dia kikir, maka orang seperti itu pantas kalau dikurangi sebagian hartanya."
Yang dimaksudkan oleh Kwa Siucai dengan dikurangi sebagian hartanya itu adalah dicuri, kemudian uang hasil curian itu dia bagikan kepada orang-orang miskin. Kwa Siucai menjadi seorang maling budiman! Dan Si Kong yang menjadi muridnya diharuskan melakukan perbuatan yang sama.
Si Kong mempertimbangkan alasan Kwa Siucai itu, dan akhirnya diapun tidak keberatan untuk mencuri uang dari para hartawan untuk dibagi-bagikan kepada orang miskin. Sejak kecil dia sudah terbiasa dengan kemiskinan dan dapat merasakan penderitaan orang miskin. Maka setelah mendapat pelajaran dari Kwa Siucai, dia merasakan betapa bahagianya orang-orang miskin yang diberinya uang hasil curian itu. Akan tetapi semua ini dikerjakan oleh Kwa Siucai secara diam-diam. Dia mencuri tanpa meninggalkan bekas dan memberikan uang kepada orang-orang miskin tanpa mereka ketahui siapa pemberinya. Hartawan-hartawan pemeras rakyat itu tahu-tahu kehilangan sebagian hartanya, dan orang-orang miskin itu tahu-tahu menemukan uang didalam rumahnya tanpa mengetahui siapa yang memberi mereka.
Kalau guru dan murid ini mendengar adanya seorang hartawan yang dermawan, mereka sama sekali tidak mengganggu hartawan itu. Akan tetapi hartawan yang pelit dan suka memeras rakyat jelata, tidak pernah diampuni. Dan di antara yang mereka curi itu, hanya sedikit saja yang mereka pergunakan untuk keperluan sendiri. Hanya untuk membeli makan dan minum, juga pengganti pakaian sekadarnya. Semua dihabiskan untuk dibagi-bagikan kepada orang miskin! Setelah belajar selama setahun dengan tekun sambil merantau bersama Kwa Siucai, Si Kong telah menguasai dua ilmu yang diajarkan oleh Kwa Siucai, yaitu ilmu meringankan tubuh Liok-te Hui-teng dan ilmu silat Yan-cu Hui-kun. Dia kini tinggal mematangkan saja ilmu-ilmu itu dengan latihan yang tekun. Pada suatu hari Kwa Siucai berkata kepada Si Kong.
"Si Kong, engkau sudah menguasai dua ilmu yang kuajarkan kepadamu. Dalam waktu setahun engkau sudah dapat menguasainya, hal itu luar biasa sekali. Bakatmu amat besar dan engkau memiliki ketekunan yang teguh. Sekarang tiba saatnya bagi kita untuk berpisah!"
Si Kong terkejut sekali.
"Akan tetapi kenapa, suhu? Kenapa kita harus berpisah? Teecu masih membutuhkan bimbingan suhu dalam segala hal!"
Kwa Siucai tersenyum dan menggerakkan tangannya.
"Engkau telah menguasai Ta-kaw Sin-tung. Kalau kau gabungkan ilmu tongkatmu itu dengan Yan-cu Hui-kun, maka engkau sudah menjadi orang yang sukar di tandingi. Aku ingin kembali ke kampungku, jauh di selatan, Si Kong, dan kita pun tidak mungkin berkumpul terus. Aku dapat mengurus diriku sendiri seperti juga engkau dapat mengurus dirimu sendiri. Ada pertemuan tentu ada perpisahan, Si Kong."
Si Kong menjatuhkan dirinya berlutut.
"Suhu, perkenankan teecu ikut dengan suhu untuk membalas semua kebaikan suhu."
"Aih, sudahlah, tidak ada budi dan tidak ada pembalasan. Selama ini engkau menjadi murid yang baik, itu sudah cukup menyenangkan hatiku. Selamat tinggal, Si Kong!"
"Suhu...!"
Akan tetapi Si Kong melihat bayang berkelebat dan suhunya sudah tidak berada di depannya lagi. Dia tetap berlutut lalu berkata lantang.
"Terima kasih atas semua kebaikan suhu kepada teecu!"
Dia memberi hormat beberapa kali baru bangkit berdiri dan kembali dia merasakan kekosongan di hatinya seperti ketika dulu ditinggalkan Yok-sian Lo-kai. Dia merasa kesepian dan sendiri, bagaikan seekor burung di udara, tidak tahu harus pergi kemana dan harus berbuat apa! Dia menghela napas. Inilah kelemahannya selama ini. Dia terlalu menggantungkan dirinya kepada orang lain! Maka, begitu ditinggalkan, dia merasa kesepian dan nelangsa. Tidak! Dia harus berani hidup sendiri! Dia mengepal tinjunya. Dia sama sekali tidak boleh lemah seperti ini. Kedua orang gurunya itu telah memberi banyak pelajaran tentang hidup kepadanya.
Sekaranglah saatnya untuk memasuki kehidupan seorang diri dan menghadapi apa saja yang menimpa dirinya seorang diri. Dia bukan anak kecil lagi. Usianya sudah enam belas tahun! Dia harus berani dan harus mampu mandiri. Si Kong seperti mendapat semangat baru. Dengan cepat dia menuruni bukit itu. Dari atas bukit itu tadi dia melihat samar-samar genteng rumah orang di bukit depan. Tentu disana ada penghuninya, maka diapun kini menuruni bukit lalu mendaki bukit di depan. Hari telah menjelang sore dan dia ingin mencari tempat bermalam di dusun yang berada di lereng bukit itu. Setelah tiba dilereng itu, dia melihat sebuah perkampungan yang dikelilingi tembok yang cukup tinggi. Akan tetapi agaknya itu bukan merupakan sebuah dusun karena di pintu gerbangnya yang besar terjaga oleh lima orang yang bertubuh tinggi besar dan berwajah keren.
"Hei, orang muda! Siapa engkau dan hendak kemana?"
Tanya seorang diantara para penjaga itu ketika melihat Si Kong hendak memasuki pintu gerbang. Lima orang itu menghadang di pintu gerbang dan sikap mereka galak.
"Maaf, aku hanya ingin memasuki dusun ini untuk mencari tempat menginap malam ini,"
Kata Si Kong dengan sikap tenang. Lima orang itu saling pandang lalu tertawa bergelak. Si penanya tadi yang agaknya menjadi pimpinan membentak,
"Bocah lancang! Ini bukan dusun, akan tetapi tempat tinggal majikan kami, Tong Lo-ya (Tuan besar Tong). Orang dari luar sama sekali tidak boleh masuk!"
"Ah..."
Kata Si Kong kecewa, akan tetapi dia mendapat pikiran baik dan segera berkata.
"Kebetulan kalau begitu. Aku ingin menghadap majikan kalian untuk mohon diberi pekerjaan."
Memang dalam hatinya Si Kong sudah mengambil keputusan untuk tidak mengemis seperti Yok-sian dan tidak mencuri seperti Kwa Siucai. Kedua kebiasaan ini dianggapnya tidak baik. Dia ingin bekerja untuk mendapatkan uang guna biaya hidupnya.
"Hemm, tidak demikian mudah untuk menghadap majikan kami! Dan bocah macam engkau ini dapat bekerja apakah?"
Menghadapi sikap yang angkuh dan kasar ini, Si Kong masih bersabar hati.
"Aku dapat melakukan apa saja yang kalian dapat lakukan."
Pemimpin para penjaga itu mengerutkan alisnya.
"Kau dapat melakukan apa saja yang kami dapat lakukan? Huh, kalahkan dulu kami kalau engkau ingin diberi kesempatan menghadap Lo-ya!"
Dia menantang untuk menakut-nakuti pemuda remaja itu, sedangkan empat orang kawannya tertawa-tawa. Pemuda itu pasti pergi ketakutan, pikir mereka. Akan tetapi Si Kong kini merasa penasaran.
"Kalau itu yang kalian kehendaki, aku siap melawan kalian berlima!"
"Bocah gila! Melawan aku seorang saja jangan harap kau dapat menang, apalagi melawan kami berlima!"
Teriak seorang di antara mereka yang matanya agak juling.
"Boleh coba-coba!"
Kata Si Kong yang menganggap sikap mereka ini keterlaluan. Dia sudah menancapkan tongkatnya ke atas tanah karena tidak memerlukan senjata itu untuk melawan lima orang sombong itu. Si juling makin marah.
Kumbang Penghisap Kembang Eps 25 Kumbang Penghisap Kembang Eps 31 Kumbang Penghisap Kembang Eps 5