Kumbang Penghisap Kembang 31
Si Kumbang Merah Penghisap Kembang Karya Kho Ping Hoo Bagian 31
"Hemm, sudah kuduga."
"Bahkan dunia kang-ouw menjuluki ia Tiat-sim Sian-li (Bidadari Berhati Besi) saking keras sikapnya terhadap para penjahat. Saya akan mencoba untuk membujuknya, bengcu, akan tetapi saya khawatir ia akan menolak keras."
"Hemm, orang seperti ia itu, kalau dapat ditarik menjadi kawan amat baiknya, akan tetapi kalau gagal dan ia menjadi lawan, akan membahayakan kita. Kalau ia menolak, kita harus menggunakan muslihat agar ia tunduk dan menyerah!"
Tang Gun memandang kepada Han Lojin dengan mata terbelalak khawatir.
"Bengcu...! Harap jangan ganggu Sumoi..."
Han Lojin mengerutkan alisnya, menatap tajam wajah puteranya itu.
"Hemmm...? Engkau jatuh cinta kepada Sumoimu itu rupanya?"
Tang Gun mengangguk lesu.
"Saya sudah tergila-gila kepadanya, bengcu."
"Dan iapun cinta padamu?"
"Saya tidak tahu, bengcu."
"Kenapa tidak mengaku terus terang dan melihat bagaimana tanggapannya?"
"Saya tidak berani. Ia galak dan keras, saya takut ia marah."
"Hemm, kalau begitu bagus, Tang Gun. Engkau bujuk ia agar suka membantuku. Kita lihat saja, kalau ia menolak, kita tangkap gadis itu dan aku mempunyai akal agar ia menurut dan suka menjadi isterimu. Akan kunikahkan kalian di tempat kita."
Tentu saja Tang Gun menjadi girang setengah mati mendengar janji itu.
"Saya akan melakukan segala perintah bengcu dengan senang hati. Apa yang harus saya lakukan sekarang?"
"Katakan kepada Sumoimu bahwa aku, ketua Ho-han-pang, menanti kunjungan kalian di markas Ho-han-pang, dan akan kutunjukkan di mana adanya orang yang kalian cari. Usahakan agar ia jangan sampai curiga, dan kutunggu kunjungan kalian hari ini juga, siang atau sore hari ini di markas kami."
Dia lalu membuat gambaran dan petunjuk di mana adanya markas Ho-han-pang yang berada di bukit luar kota.
"Satu hal lagi,"
Kata Han Lojin ketika mereka hendak berpisah dan meninggalkan kuil tua yang kosong.
"Nama Sumoimu itu Siangkoan Bi Lian. Ia bermarga Siangkoan, apa hubungannya dengan orang yang namanya Siangkoan Ci Kang?"
"Itu nama Suhu!"
Seru Tang Gun.
"Ahhh...?"
Kini Han Lojin terbelalak, teringat akan musuh besar pembantunya, Sim Ki Liong, yang sedang dicari-cari.
"Kiranya engkau kini menjadi murid Siangkoan Ci Kang? Dan Sumoimu itu puteri Siangkoan Ci Kang?"
"Bengcu mengenal Suhu? Subo juga seorang yang amat lihai, tidak kalah lihainya dibandingkan Suhu. Menurut keterangan Sumoi, Subo bernama Toan Hui Cu dan ia puteri tunggal mendiang Raja dan Ratu Iblis yang kabarnya pernah menggemparkan dunia persilatan."
Kata pula Tang Gun dengan bangga walaupun dia merasa menyesal mengapa baru sekarang dia menjadi murid Suhu dan Subonya sehingga belum banyak ilmu yang di serapnya. Dan dia semakin bangga ketika melihat sikap bengcu itu seperti orang yang terkejut dan agak gentar. Memang bukan main kagetnya hati Han Lojin mendengar bahwa yang dimusuhi oleh Sim Ki Liong itu adalah seorang yang sakti, dan yang memiliki isteri yang sakti pula. Tentu saja dia pernah mendengar nama besar Raja dan Ratu Iblis! Akan tetapi dia harus dapat menyenangkan hati Sim Ki Liong yang merupakan pembantu paling lihai, akan tetapi dia harus meyakinkan hati Tang Gun ini agar tidak memihak guru-gurunya.
"Aku tidak mengenal mereka secara pribadi, akan tetapi aku pernah mendengar nama besar mereka,"
Jawabnya.
"Tang Gun, sekarang engkau pergilah menjemput Sumoimu dan ajak ia ke markas kita. Aku menunggu di sana."
"Baik, bengcu."
Tang Gun lalu meninggalkan kuil itu dengan hati girang bukan main. Tidak saja dia dapat menemukan ayah kandungnya, akan tetapi dia bahkan diterima sebagai pembantu ayahnya yang kini menjadi seorang pangcu (ketua perkumpulan), bahkan juga menjadi bengcu (pemimpin rakyat)! Dan ayahnya itu telah menjanjikan bahwa dia akan dapat memperisteri Siangkoan Bi Lian, dengan bantuan ayahnya!
"Han Lojin?"
Siangkoan Bi Lian memandang kepada Tang Gun dengan mata terbelalak.
"Kau katakan tadi Han Lojin yang kau temui di sana?"
Melihat Sumoinya nampak terkejut mendengar disebutnya nama Han Lojin, Tang Gun bersikap hati-hati.
"Sumoi, apakah engkau pernah mendengar nama Han Lojin? Dialah yang dahulu menyelamatkan aku, dialah pendekar yang memakai kedok hitam, yang telah membebaskan aku dari hukuman pengasingan dan memberi bekal uang kepadaku."
Mendengar ini, Bi Lian menjadi semakin terkejut dan heran.
"Aihh, kiranya dia? Kiranya Ang-hong-cu yang telah menolongmu..."
"Ang-hong-cu...?"
Tang Gun berseru kaget, bukan pura-pura karena dia memang terkejut bukan majn mendengar Sumoinya telah mengetahui bahwa Han Lojin adalah Ang-hong-cu! "Sumoi, Han Lojin ini adalah seorang pang-cu yang terhormat dari Ho-han-pang! Bahkan dia diakui sebagai seorang Beng-cu."
Bi Lian mengerutkan alisnya. Ia mengenang kembali pengalamannya ketika ia bersama Pek Han Siong, Hay Hay dan para pendekar lain membantu pemerintah untuk membasmi gerombolan pemberontak yang dipimpin oleh Lam-hai Giam-lo. Pada waktu itu, muncul Han Lojin yang juga berjasa membantu pemerintah dalam menumpas pemberontak itu. Kemudian ternyata bahwa Han Lojin adalah ayah kandung Hay Hay, bahwa Han Lojin adalah Ang-hong-cu, kumbang merah jahat penghisap kembang itu, jai-hwa-cat (penjahat cabul pemetik bunga) yang pernah menggemparkan dunia persilatan.
Kalau kini Han Lojin muncul sebagai ketua perkumpulan para hohan (patriot), hal itu tidaklah aneh. Akan tetapi, bagaimanapun dalam pandangannya, Ang-hong-cu adalah seorang penjahat cabul yang tidak pantas dibiarkan hidup! Apa lagi penjahat cabul itu telah memperkosa atau menodai kehormatan Pek Eng, adik kandung Pek Han Siong, suhengnya dan bekas tunangannya. Semua pendekar yang ketika itu membantu penumpasan pemberontak, menganggap Ang-hong-cu jahat walaupun berjiwa patriot, dan mereka semua tentu saja menentang dan memusuhinya. Apa lagi ia sendiri yang sepatutnya membalaskan penghinaan yang dilakukan penjahat itu atas diri Pek Eng adik Pek Han Siong, dan Cia Ling.
"Hemmm, begitukah, suheng? Lalu, mengapa pula sekarang suheng hendak mengajak aku menemuinya?"
"Sumoi, dia mengundangku ke markas Ho-han-pang dan dia berjanji akan memberi tahu kepadaku di mana adanya Tang Bun An yang kucari itu."
"Lalu, mengapa aku harus ikut serta denganmu?"
"Mengapa tidak, Sumoi? Bukankah engkau pergi bersamaku untuk membantuku? Selain aku ingin memperkenalkan engkau dengan penolongku itu, juga aku mengharapkan bantuanmu kalau-kalau aku bertemu dengan musuhku dan berkelahi dengan dia."
"Baiklah, suheng. Akan tetapi kalau kemudian ternyata olehku bahwa penolongmu itu adalah Ang-hong-cu yang jahat, jangan salahkan aku kalau aku menentangnya, dan berusaha untuk membunuhnya. Penjahat keji itu harus dibasmi, kalau tidak, akan berjatuhan lagi korban di antara para wanita muda yang dipermainkannya!"
Tang Gun bergidik mendengar ancaman yang9 terkandung di dalam ucapan itu dan dia merasa tegang. Akan tetapi bagaimanapun juga dia harus mentaati Han Lojin, bukan saja karena telah menjadi pembantunya, akan tetapi terutama sekali karena Han Lojin adalah ayahnya. Mereka lalu berangkat menuju ke bukit di luar pintu gerbang kota, di mana markas Ho-han-pang berdiri.
Diam-diam Bi Lian yang tetap mencurigai Han Lojin, telah mempersiapkan diri untuk menghadapi bahaya atau untuk turun tangan membunuh jai-hwa-cat yang dibencinya itu. Bukan saja karena Han Lojin telah menodai Pek Eng dan Cia Ling, dua orang gadis pendekar yang dikagumi dan disukanya, akan tetapi juga karena Han Lojin telah membuat Hay Hay terkena fitnah dan orang-orang, juga ia sendiri dahulu, menuduh Hay Hay yang melakukan scmua perkosaan atau perbuatan busuk itu, karena Han Lojin memberi kesan ke arah itu. Jai-hwa-cat itu melakukan perbuatan terkutuk, dan menjerumuskan Hay Hay yang menjadi sasaran pula dari kemarahan para pendekar karena dia disangka menjadi pelakunya. Sementara itu, Han Lojin juga sudah membuat persiapan. Dia mengumpulkan tiga orang pembantu utamanya, yaitu Sim Ki Liong, Tang Cun Sek dan Ji Sun Bi.
Cun Sek tidak mengenal Siangkoan Bi Lian, akan tetapi Sim Ki Liong dan Ji Sun Bi terkejut sekali ketika mendengar keterangan Han Lojin bahwa gadis perkasa itu akan datang berkunjung. Terutama sekali Sim Ki Liong. Mendengar bahwa gadis itu, yang pernah menjadi musuhnya dalam pemberontakan yang dipimpin Lam-hai Giam-lo di mana dia menjadi pembantu utama, kini akan muncul di depannya, tentu saja dia merasa tegang bukan main. Apa lagi ketika Han Lojin mengatakan bahwa gadis perkasa itu adalah puteri musuh besarnya, yaitu Siangkoan Ci Kang! Kalau dia belum sempat membalas sakit hati orang tuanya kepada Siangkoan Ci Kang, biarlah dia akan lebih dulu membalasnya lewat puteri musuh besarnya itu. Agaknya Han Lojin dapat menduga isi hati pembantunya, maka diapun berkata dengan suara berwibawa.
"Siangkoan Bi Lian akan datang dibawa suhengnya yang bernama Tang Gun. Mereka itu akan kutarik sebagai pembantuku. Tang Gun sudah menyatakan suka menjadi pembantuku dan bekerja sama dengan kalian, akan tetapi, kita harus dapat membujuk dulu SiangkoanBi Lian agar suka pula membantu kita. Kalau ia tidak mau membantu, terpaksa harus menggunakan kekerasan..."
"Jangan khawatir, bengcu! Saya yang akan memaksanya!"
Kata Sim Ki Liong sambil mengepal tinju dan dengan hati panas karena dendam.
"Ki Liong, aku tidak menghendaki engkau mengganggu gadis itu! Kalau ia mau membantuku, sukurlah. Andaikata tidak, aku akan menangkapnya dan kalian hanya membantuku. Aku tidak ingin mengganggu atau membunuh, melainkan hendak menundukkannya agar ia suka membantuku, seperti halnya dua orang gadis yang kini telah menjadi tawanan kita. Kita lihat saja bagaimana sikapnya nanti. Kalau ia berkeras tidak mau membantu bahkan mengambil sikap bermusuhan, kita harus menggunakan akal."
Han Lojin lalu mengatur siasat dan para pembantunya tentu saja tidak berani membantah. Bahkan Sim Ki Liong hanya mengangguk setuju, walaupun hatinya masih dibakar dendam. Gadis itu puteri musuh besarnya, bahkan gadis itu pernah pula membantu pemerintah membasmi pemberontakan Lam-hai Giam-lo di mana dia mengambil bagian sehingga berarti menggagalkan cita-citanya pula. Dan kini Han Lojin hendak menarik gadis itu sebagai pembantu, bekerja sama dengan dia. Demikian, ketika Tang Gun dan Bi Lian tiba di pintu gerbang markas perkumpulan Ho-han-pang, keadaannya nampak tenang saja. Para anggauta Ho-han-pang yang bertugas jaga telah diatur sebelumnya sehingga mereka itu menyambut kedatangan pemuda dan gadis itu dengan sikap ramah dan hormat.
"Kami ingin bertemu dengan Ho-han Pang-cu."
Kata Tang Gun kepada beberapa orang pria muda yang berjaga di pintu gerbang masuk. Mereka itu nampak gagah dan tampan.
"Apakah ji-wi (anda berdua) itu saudara Tan Hok Seng dan nona Siangkoan Bi Lian?"
Tanya kepala jaga.
"Benar,"
Kata Tang Gun.
"Ah, selamat datang di Ho-han-pang. Pang-cu memang sudah memesan kepada kami bahwa ji-wi akan datang berkunjung. Mari, silakan masuk dan saya antarkan ji-wi ke ruang tamu."
Mereka berdua mengikuti pemuda tinggi besar itu dan diam-diam Bi Lian siap siaga. Bagaimanapun juga, kalau benar ketua Ho-han-pang ini adalah Han Lojin alias Ang-hong-cu, ia tetap curiga dan harus berhati-hati. Ia tidak mungkin dapat percaya begitu iaja terhadap seorang seperti Ang-hong-cu! Mereka dibawa masuk ke sebuah ruangan yang luas. Ruangan tamu ini besar dan hanya terisi belasan buah bangku yang dikelilingi sebuah meja bundar yang besar. Selebihnya kosong sehingga leluasa berlatih silat, bahkan untuk bertanding sekalipun. Dengan hati-hati Bi Lian memasuki ruangan itu dan kepala jaga mempersilakan mereka duduk dan menunggu.
"Harap ji-wi menunggu sebentar. Pangcu tentu akan datang menyambut ji-wi di sini karena kedatangan ji-wi sudah dilaporkan."
Kepala penjaga itu lalu pergi meninggalkan ruangan itu. Bi Lian mempelajari ruangan itu dengan pandang matanya. Selain pintu besar di depan, terdapat pula dua buah pintu di belakang dan di kiri yang entah menembus ke mana.
Jadi, kalau pihak tuan rumah menghendaki, ia sudah terkepung di ruangan itu. Namun ia bersikap tenang dan sama sekali tidak merasa gentar. Juga ia melihat betapa suhengnya berusaha untuk bersikap tenang, namun dari pandahg mata suhengrlya ia tahu bahwa suhenghya itu merasa gelisah dan matanya tak tenang memandang ke sana-sini. Daun pintu di sebelah dalam terbuka dan muncullah seorang laki-laki berusia lebih dari setengah abad, namun masih nampak ganteng dan gagah, dengan pakaian yang rapi, kumis jenggot terpelihara baik dan penampilan yang memikat. Dia tersenyum dan pandang matanya bersinar tajam. Begitu melihat pria ini, Bi Lian langsung bangkit berdiri dan menatap tajam. Ia tidak salah lihat. Itulah Han Lojin yang dahulu pernah dilihatnya. Itulah Ang-hong-cu, Si Kumbang Merah!
"Kau... Ang-hong-cu...!!"
Bi Lian berkata dan sepasang matanya mengeluarkan sinar kilat. Diam-diam Han Lojin bergidik. Gadis ini berbahaya sekali, mirip Cia Kui Hong. Kalau menjadi lawan, akan mengancam keselamatannya. Akan tetapi dia tersenyum dan membungkuk dengan sikap hormat.
"Aih, kiranya Sumoi dari Tan Hok Seng adalah nona Siangkoan Bi Lian yang gagah perkasa! Pernah kita saling bertemu dan bekerja sama membantu pemerintah ketika membasmi gerombolan pemberontak yang dipimpin Lam-hai Giam-lo! Selamat datang di Ho-han-pang, nona! Kami akan merasa terhormat dan gembira sekali kalau kita dapat bekerja sama lagi dalam membantu pemerintah di segala bidang."
Akan tetapi, dengan senyum sindir Bi Lian menggerakkan tangan kanannya dan nampak sinar berkelebat dan tahu-tahu tangan kanan itu telah memegang sebatang pedang yang bercahaya. Itulah Kwan-im-kiam, pedang pusaka ampuh pemberian orang tuanya. Dengan pedang melintang depan dada, Bi Lian menudingkan telunjuknya ke arah muka Han Lojin dan suaranya terdengar lantang.
"Ang-hong-cu, tidak perlu banyak cakap lagi dan keluarkan senjatamu! Aku harus membunuhmu demi membalaskan kekejian yang kau lakukan terhadap Pek Eng, Cia Ling dan banyak wanita lain, juga demi menjaga keselamatan wanita-wanita lain. Keluarkan senjatamu dan mari kita mengadu nyawa!"
"Aih, nona Siangkoan! Kami mengundang kalian berdua ke sini untuk membantu kalian menemukan orang yang kalian cari, bukan untuk bermusuhan...!"
Kata Han Lojin sambil memandang kepada Tang Gun. Pemuda itu menjadi bingung melihat sikap Sumoinya dan diapun cepat melangkah ke depan Sumoinya.
"Eh, Sumoi, kenapa begini? Bengcu ini adalah penyelamatku, juga dia akan menunjukkan dimana adanya orang yang kucari-cari..."
"Suheng, dia inilah Ang-hong-cu, orang yang amat jahat dan kejam. Aku harus membunuhnya, demi keselamatan dan keamanan para wanita lemah yang tidak berdosa!"
Gadis itu dengan sikap yang galak sudah melangkah maju hendak menyerang Han Lojin. Melihat ini, Tang Gun cepat meloncat ke depan gadis itu, menghalanginya.
"Sumoi, kuminta, jangan engkau menyerangnya dulu. Biarkan dia menunjukkan dulu di mana aku dapat bertemu dengan musuhku, setelah itu baru, engkau boleh berurusan dengan dia. Kalau engkau menyerangnya, tentu dia tidak mau membantuku menunjukkan tempat di mana Tang Bun An bersembunyi!"
Bi Lian mengerutkan alisnya, matanya mencorong menatap wajah Han Lojin yang masih tersenyum-senyum dengan tenangnya. Ia tahu bahwa kalau ia berkeras menyerang Han Lojin, tentu saja Ang-hong-cu itu tidak akan sempat memberi tahu lagi di mana adanya musuh besar Tang Gun. Maka, ia menahan diri dan mengangguk.
"Baiklah, akan tetapi aku tidak akan melepaskan dia, aku harus mengikuti ke mana dia membawamu pergi!"
"Ha-ha-ha, nona Siangkoan Bi Lian yang gagah dan cantik jelita. Jangan khawatir, nona. Aku tidak akan melarikan diri dan setiap saat aku siap untuk melayanimu. Sekarang, karena sudah ber-janji dengan bekas perwira ini, aku akan melayaninya lebih dulu, untuk menunjukkan tempat di mana dia dapat menemukan sahabat lamanya, ha-ha!"
"Tak perlu banyak cakap lagi. Tunjukkan tempat orang itu kepada suheng, kemudian kita bertanding sampai engkau mampus di ujung pedangku untuk pergi menghadapi hukumanmu di neraka!"
Bentak Bi Lian.
"Beng-cu, marilah! Kau tunjukkanlah dimana adanya Tang Bun An!"
"Mari kalian ikuti aku!"
Kata Han Lojin sambil tersenyum dan diapun tidak menoleh lagi, melangkah memasuki pintu belakang.
Bi Lian yang khawatir kalau Ang-hong-cu yang dibencinya itu melarikan diri, juga untuk melindungi suhengnya agar jangan terjebak oleh jai-hwa-cat yang kini menjadi ketua Ho-han-pang itu, mendahului Tang Gun dan melangkah dengan cepat di belakang Han Lojin. Tang Gun berjalan di belakangnya sehingga ia tidak tahu betapa pemuda itu nampak tegang sekali. Memang hati Tang Gun gelisah memikirkan Sumoinya ini! Dia telah jatuh cinta kepada Sumoinya yang cantik manis dan gagah perkasa ini dan setelah kini jelas bahwa Sumoinya tidak saja enggan membantu Han Lojin bahkan memaksanya untuk mengadu nyawa, dia merasa khawatir karena dia tahu bahwa ayahnya itu, Han Lojin, kini hendak menggunakan siasat untuk menjebak Bi Lian. Dan dia tahu pula bagaimana perangkap itu dipasang dan apa yang harus dilakukannya.
Dia sayang kepada Bi Lian, akan tetapi juga taat kepada ayahnya. Akan tetapi karena dia sudah mendapat ketegasan dari ayahnya bahwa Sumoinya hanya akan ditawan dan tidak akan diganggu atau dibunuh, kemudian bahkan akan dipergunakan siasat agar Sumoinya suka menyerahkan diri kepadanya dan dengan suka rela menjadi isterinya, hatinyapun lega dan dia hanya mentaati saja perintah ayahnya yang kini menjadi atasannya. Dia tahu pula bahwa kini para pembantu ayahnya tentu sudah berjaga-jaga dan mengepung tempat itu sehingga betapapun lihainya semuanya, ia tidak akan mampu lolos dari tempat ini. Biarpun hatinya penuh dengan kecurigaan, namun Bi Lian tidak merasa gentar ketika tuan rumah memasuki sebuah lorong yang menuju ke bawah, menuju ke ruangan bawah tanah! Ia hanya menoleh ke arah suhengnya sebentar.
"Hati-hati, suheng."
Bisiknya dan Tang Gun mengangguk. EngKau lah yang harus berhati-hati, Sumoi, katanya di dalam hati. Lorong bawah tanah itu membawa mereka di depan sebuah kamar berpintu besar.
"Nah, di dalam kamar ini kalian dapat menemukan orang yang kalian cari. Bukalah pintunya dan masuklah."
Kata Han Lojin. Tang Gun melewati Sumoinya, hendak membuka pintu itu, akan tetapi Bi Lian sudah menangkap lengannya.
"Suheng, jangan! Waspada terhadap perangkap orang jahat!"
Karena lengannya dipegang, Tang Gun tidak jadi membuka daun pintu dan menoleh kepada Han Lojin yang tertawa.
"Ha-ha-ha, nona Siangkoan Bi Lian yang gagah perkasa itu ternyata penakut. Nona, apakah engkau tidak berani membuka pintu itu? Apakah harus aku yang membukakannya untuk kalian?"
Bi Lian tersenyum mengejek.
"Ang-hong-cu, aku sama sekali tidak takut kepadamu, hanya tidak-percaya dan curiga kepadamu. Bukan takut melainkan hati-hati terhadap kecuranganmu! Bukalah pintunya dan biarkan kami melihat dulu siapa yang berada di dalam kamar ini."
Han Lojin tertawa, diam-diam kagum kepada gadis perkasa itu. Seorang gadis yang gagah berani dan cerdik, seperti juga Cia Kui Hong maka akan menguntungkan sekali kalau gadis ini mau menjadi pembantunya. Dia sudah mengatur siasat sebelumnya dan merasa girang bahwa hal ini dia lakukan karena kalau tidak, akan berbahaya menghadapi amukan gadis seperti ini. Sebelum dia membawa Bi Lian ke depan kamar tahanan bawah tanah dia telah membuat dua orang tawanan di kamar itu, Mayang dan Cia Kui Hong, roboh pingsan oleh asap pembius.
"Ha-ha-ha, Siangkoan Bi Lian, akan kubuka pintunya. Kau lihatlah baik-baik siapa yang berada di dalam kamar ini!"
Katanya sambil maju menghampiri pintu kamar. Bi Lian menggerakkan tangan dan mencabut lagi pedang pusaka Kwan-im-kiam yang tadi telah ia simpan di sarung pedangnya.
Daun pintu terbuka dan Bi Lian melangkah ke ambang pintu, memandang ke dalam, Tang Gun berada pula di belakangnya dekat sekali dan ikut menjenguk ke dalam. Kamar itu cukup luas akan tetapi tidak ada meja atau kursi di situ. Hanya ada kasur tebal di atas lantai dan sebuah kamar kecil di sudut. Dan di atas kasur itu nampak dua orang wanita rebah terlentang seperti dalam keadaan tidur. Bi Lian memandang penuh perhatian, demikian pula Tang Gun yang sama sekali tidak mengenal dua orang gadis itu. Dua orang gadis yang keduanya cantik jelita. Dia hanya tahu bahwa ayahnya akan menggunakan tipu muslihat dan perangkap untuk menangkap dan menundukkan Sumoinya, akan tetapi dia tidak tahu dengan cara bagaimana. Tiba-tiba Han Lojin mendorong punggung Tang Gun. pemuda ini mengerti dan diapun menabrak. Sumoinya yang berada di depannya dari belakang sambil berteriak,
"Celaka, Sumoi...!"
Ketika merasa betapa suhengnya terdorong dari belakang dan kedua tangan suhengnya itupun mendorong punggungnya, Bi Lian terkejut. Sama sekali ia tidak menyangka bahwa yang diserang bukan ia melainkan suhengnya yang berada di belakangnya. Dan iapun agak lengah karena kagetnya ketika mengenal seorang di antara dua orang wanita yang rebah telentang di dalam kamar itu. Ia mengenal Cia Kui Hong! Dan pada saat ia terkejut itu, Tang Gun yang berada di belakangnya terdorong ke depan dan pemuda itupun mendorongnya. Tidak ada jalan lain baginya kecuali cepat mendoyongkan tubuh ke kiri sambil meloncat ke dalam kamar, lalu membalik. Ia melihat suhengnya terdorong ke depan dan terhuyung, dan yang mendorong suhengnya itu bukan lain adalah Ang-hong-cu!
"Keparat!"
Serunya, akan tetapi terlambat karena ketika ia meloncat tadi, daun pintunya segera ditutup dari luar oleh Han Lojin. Ia melompat ke pintu untuk mencegah, namun pintu itu terbuat dari besi dan sudah tertutup. Dicobanya untuk mendorong daun pintu, namun sia-sia belaka.
"Sumoi, mari kita buka pintu itu!"
Tang Gun juga meloncat dan membantu Sumoinya. Keduanya mengerahkan tenaga sin-kang, namun pintu itu terlampau kuat!
"Ha-ha-ha-ha!"
Han Lojin tertawa bergelak dari luar pintu. Suaranya masuk melalui lubang kecil yang biasanya dipergunakan penjaga untuk memasukkan makanan dan minuman untuk tawanan yang berada di dalam kamar itu.
"Tan Hok Seng dan Siangkoan Bi Lian, sekarang kalian tinggal pilih. Menyerah dan suka menjadi pembantu kami, bersama-sama bekerja dalam Ho-han-pang untuk menguasai dunia kang-ouw, ataukah kalian akan kami bunuh perlahan-lahan sebagai tawanan kami!"
Mendengar ini, Tang Gun mengerti bahwa dia sengaja dipergunakan oleh ayahnya untuk menjebak Sumoinya. Dengan begini, Sumoinya tidak akan menyangka buruk terhadap dirinya, karena bukankah dia sendiripun ikut pula terjebak dan tertawan?
"Beng-cu, kami tidak mempunyai permusuhan denganmu. Bukankah Beng-cu dahulupun sudah
(Lanjut ke Jilid 29)
Ang Hong Cu (Seri ke 10 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 29
menolongku? Kenapa kami ditawan? Kalau kami tidak disuruh melakukan kejahatan, tentu saja kami mau membantumu dan..."
"Suheng...!"
Bi Lian membentak suhengnya yang terdiam. Gadis itu lalu menghadapi lubang di pintu dan suaranya lantang ketika ia menjawab.
"Ang-hong-cu! Biarpun gerombolanmu memakai nama Ho-han-pang (Perkumpulan Orang Gagah), siapa percaya? Aku tidak sudi membantumu dan tentang ancamanmu, aku tidak takut mati! Kalau engkau gagah dan bukan seorang pengecut yang curang, mari kita bertanding satu lawan satu sampai seorang di antara kita mampus di ujung pedang!"
Akan tetapi Han Lojin hanya menjawab dengan suara ketawanya yang riang. Agaknya dia girang sekali melihat betapa dengan mudahnya dia telah berhasil menjebak gadis yang berbahaya itu.
Gembira dia membayangkan betapa gadis yang keras dan liar itu akhirnya akan menjadi lunak dan tunduk kepadanya, menyerahkan segalanya dengan suka rela. Dia merasa muda kembali membayangkan betapa dua orang gadis pendekar yang berilmu tinggi, dalam waktu dekat akan berada di dalam pelukannya. Cia Kui Hong dan Siangkoan Bi Lian, merekalah yang akan menjadi wanita taklukannya terakhir, yang akan mendatangkan perasaan bangga di hatinya di samping kepuasannya merusak kehidupan dua orang wanita, wanita pendekar pula! Suara ketawa itu makin menjauh dan juga langkah kaki Han Lojin terdengar meninggalkan lorong bawah tanah itu. Setelah langkah kaki itu tidak terdengar lagi, Bi Lian cepat menghampiri Kui Hong yang menggeletak seperti orang tidur itu.
"Cia Kui Hong...!"
Ia berseru heran dan memeriksa. Hatinya lega karena Kui Hong tidak terluka dan pingsan saja. Ia mengenal Kui Hong sebagai seorang gadis yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, tidak kalah dibandingkan dirinya sendiri, namun ternyata menjadi tawanan pula di sini. Ia dapat menduga bahwa Kui Hong terjebak pula, seperti ia dan suhengnya. Ia memeriksa gadis ke dua yang juga rebah telentang dan keadaannya sama dengan Kui Hong. Tidak terluka, dan pingsan. Ia tidak mengenal gadis itu, yang melihat wajahnya seperti peranakan asing. Ketika ia menengok, ia melihat suhengnya sedang memeriksa keadaan kamar tawanan itu, seolah mencari jalan keluar. Iapun bangki t berdiri.
"Bagaimana, suheng? Apakah ada bagian lemah yang memungkinkan kita keluar?"
Tang Gun menarik wajah duka dan khawatir, menggelengkan kepalanya, kemudian berbalik dia bertanya,
"Siapakah gadis-gadis itu, Sumoi? Agaknya engkau telah mengenal mereka."
Si Kumbang Merah Penghisap Kembang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Yang peranakan asing ini aku tidak kenal, akan tetapi gadis ke dua ini tentu saja aku mengenalnya dengan baik. Ia seorang pendekar wanita yang berilmu tinggi, pendekar kenamaan dari Cin-ling-pai. Sungguh mengherankan sekali bagaimana seorang gadis yang lihai seperti ia dapat menjadi tawanan di sini."
"Sumoi, hal itu membuktikan betapa lihainya Beng-cu, ketua Ho-han-pang itu. Apakah tidak lebih baik kalau kita membantu perkumpulan orang gagah itu dari pada menentangnya dan membiarkan diri kita terancam bahaya?"
"Suheng! Engkau tidak tahu betapa jahat dan kejinya Ang-hong-cu! Kalau engkau tahu, tentu tidak akan berpendapat seperti itu! Kita harus menentang iblis busuk itu. Sampai mati aku tidak sudi membantu iblis seperti dia!"
Tan Gun menundukkan mukanya yang nampak sedih. Ini bukan dibuat-buat, karena memang dia merasa sedih sekali melihat betapa Sumoinya amat membenci Han Lojin, ayah kandungnya! Dia merasa sayang kepada Siangkoan Bi Lian dan mengharapkan dapat menjadi suami gadis perkasa yang cantik jelita itu, akan tetapi gadis itu demikian membenci ayahnya. Kalau Sumoinya itu mengetahui bahwa dia bukan Tan Hok Seng, melainkan Tang Gun putera Ang-hong-cu, tentu Sumoinya itu akan membencinya pula.
"Akan tetapi... Dia... eh, dia pernah menyelamatkan aku, dan sikapnya kepadaku demikian baik..."
Bi Lian memandang suhengnya dan iapun mengerti. Ang-hong-cu menjebak karena ia memusuhi jai-hwa-cat itu, dan karena ia dan Ang-hong-cu bermusuhan, kini suhengnya itu terbawa-bawa dan menjadi tawanan pula.
"Tan-suheng, aku menyesal sekali bahwa engkau ikut pula tertawan. Akan tetapi, jangan khawatir, suheng. Kita masih hidup dan kita berdua akan mampu membela diri. Bahkan kalau kita dapat bebas dari sini, aku tidak akan terjebak lagi dan akan kubasmi Ang-hong-cu dan sarangnya. Betapapun muluk nama yang dia pakai untuk perkumpulannya, pasti di dalamnya busuk! Dan di sini masih ada Cia Kui Hong. Ia amat lihai, bahkan mungkin lebih lihai dari pada aku, maka kita bertiga pasti akan dapat membasmi Ang-hong-cu dan anak buahnya. Siapa tahu, mungkin gadis peranakan asing inipun memiliki kepandaian. Biar kucoba sadarkan Kui Hong."
Bi Lian berjongkok dekat Kui Hong yang masih pingsan, sedangkan Tang Gun hanya berdiri memandang saja. Tiba-tiba dia melihat asap putih memasuki kamar itu dari lubang kecil dari mana biasanya penjaga memasukkan makanan dan minuman.
"Sumoi awas...!!!"
Teriaknya. Bi Lian cepat meloncat sambil membalikkan tubuhnya. Iapun melihat asap itu dan sekali bergerak, tubuhnya sudah mendekati lubang itu dan sekali tangannya bergerak, sinar hitam lembut menyambar keluar dari lubang.
Terdengar teriakan kesakitan di luar dan asap berhenti berhembus masuk. Mudah diduga bahwa jarum-jarum halus yang dilepas oleh Bi Lian tadi mengenai sasaran dan orang yang melepas asap itu tentu menjadi korban jarum beracun! Ilmu ini dipelajarinya dari kedua orang gurunya yang pertama, yaitu Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi! Tang Gun terbatuk-batuk. Dia telah terkena pengaruh asap putih tadi. Tersedot olehnya asap tadi yang membuatnya terbatuk-batuk dan pusing. Akan tetapi Bi Lian bersikap lebih berhati-hati. Ketika tadi ia menyerang, ia menahan napas sehingga asap itu tidak sampai tersedot dan kini ia meloncat ke belakang menjauhi lubang. Akan tetapi, terdengar suara mendesis dan ketika ia memandang ke kanan kiri dan atas ia terkejut sekali.
Asap putih menyerbu kamar itu dari mana-mana, dari lubang-lubang tersembunyi, bahkan dari atas! Bi Lian menyambar selimut yang berada di atas kasur dan menggunakan selimut itu untuk diputar-putar mengusir asap yang mendekatinya. Akan tetapi karena lubang-lubang di kamar tahanan itu tidak terlalu banyak sedangkan asap yang masuk banyak sekali, maka asap yang diusir dengan putaran selimut itu hanya berpusing di dalam kamar itu saja dan akhirnya membalik lagi ke arah Bi Lian. Gadis itu menahan napas dan terus melawan sekuat tenaga. Ia melihat betapa suhengnya sudah terhuyung kemudian terkulai pingsan. Ia masih terus melawan sampai akhirnya iapun harus bernapas dan tersedotlah asap ke dalam paru-parunya. Ia mencium bau yang keras dan wangi, yang membuatnya terbatuk-batuk dan iapun terkulai lemas, pingsan.
Kalau saja Hay Hay langsung berkunjung ke Ho-han-pang, tentu dia akan dapat bertemu dengan Siangkoan Bi Lian. Akan tetapi Hay Hay tidak mau langsung berkunjung. Mayang sudah ditawan orang-orang Ho-han-pang. Kalau dia datang berkunjung, sama saja artinya dengan menyerahkan diri karena mereka tentu akan mempergunakan Mayang sebagai sandera untuk membuat dia tidak berdaya dan dia tahu bahwa kalau mereka mengancam Mayang, tentu dia tidak berani menggunakan kekerasan. Tidak, dia tahu bahwa dia berhadapan dengan pihak lawan yang licik dan curang. Dia tidak boleh datang berkunjung begitu saja. Dia harus lebih dulu melakukan penyelidikan dan kalau mungkin, lebih dulu membebaskan Mayang sebelum bertindak lebih lanjut. Dia masih menduga-duga mengapa perkumpulan yang namanya begitu gagah, Ho-han-pang, perkumpulan orang-orang gagah, memusuhinya bahkan menawan Mayang.
Dan cara yang mereka pergunakan itu jauh dari pada pantas dilakukan oleh para ho-han (patriot gagah)! Setelah mempergunakan kepandaiannya yang tinggi, menyusup mengelilingi dinding tembok yang mengepung perkampungan yang menjadi sarang Ho-han-pang, Hay Hay mendapat kenyataan bahwa penjagaan dilakukan ketat sekali oleh para anak buah Ho-han-pang yang rata-rata nampak muda dan gagah itu. Terutama di dua buah pintu gerbangnya, disitu terjaga oleh lebih dari dua puluh orang! Dan di sepanjang dinding yang tinggi sekitar dua meter itu selalu terdapat peronda sehingga akan sukarlah bagi orang luar untuk memasuki tempat itu tanpa diketahui para peronda dan penjaga. Dengan ginkangnya yang tinggi, tentu tidak sukar bagi Hay Hay untuk meloncat dan menyelinap masuk ke balik dinding tembok. Akan tetapi dia, ingin yakin agar dapat masuk tanpa diketahui orang.
Kalau sampai ada yang melihatnya, akan berbahayalah, bukan lagi diri sendiri melainkan bagi Mayang! Tentu mereka itu akan mengancam untuk mencelakai Mayang kalau sampai diketahui dia memasuki sarang perkumpulan itu. Dia ingin masuk tanpa diketahui, agar mendapat kesempatan untuk membebaskan Mayang terlebih dahulu sebelum bentrok secara terbuka dengan mereka. Diapun tidak tahu mengapa Ho-han-pang memusuhinya. Hay Hay teringat akan nasihat kakek yang dijumpainya bersama Mayang di dusun sebelah luar kota raja. Kakek itu menasihati bahwa perjalanan tidak aman, bukan karena gangguan perampok, melainkan karena adanya orang-orang gagah dari Ho-han-pang yang suka merayu dan menggoda gadis-gadis cantik untuk dijadikan isteri mereka! Dia semakin tertarik dan ingin sekali mengetahui, perkumpulan apa gerangan yang bernama Ho-han-pang itu.
Kalau melihat namanya, sepatutnya sebuah perkumpulan yang baik, bukan perkumpulan orang jahat. Tapi mengapa kini memusuhinya dan menggunakan siasat busuk untuk menawan Mayang? Baik adalah suatu keadaan batin, suatu mutu batin yang wajar, tidak dibuat-buat, seperti keadaan pohon mawar yang mengeluarkan bunga mawar yang indah dan harum, tanpa disengaja. Perbuatan yang nampaknya baik belum tentu baik mutunya, karena perbuatan itu dapat saja palsu, nampaknya saja baik namun itu hanya merupakan cara untuk mendapatkan sesuatu. Yang berpamrih selalu palsu. Batin yang bersih dari pada cengkeraman nafsu daya rendah, akan membuahkan perbuatan yang baik, wajar, bahkan tidak diketahui sebagai baik oleh pelakunya sendiri.
Oleh karena itu, kebaikan tidak mungkin dapat dilatih atau dipelajari, karena kalau demikian, maka kebaikan yang dilakukan dengan sengaja itu hanya perbuatan munafik belaka, sengaja dilakukan agar mendatangkan sesuatu yang diinginkan oleh si pelaku. Kebaikan adalah bebas dari perhitungan pikiran. Kebaikan adalah sesuatu yang dilandasi cinta kasih. Seorang ibu yang menyusui anaknya tidak akan merasa bahwa ia melakukan suatu kebaikan wajar dan tidak disengaja, dasarnya cinta kasih. Dan cinta kasih hanya menyinari batin yang bebas dari pengaruh pikiran yang bergelimang nafsu daya rendah! Matahari sudah condong ke barat. Hay Hay cepat menyelinap ke balik sebatang pohon ketika melihat ada dua orang peronda berjalan menuju ke tempat itu sambil bercakap-cakap. Dia mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Kenapa pang-cu menyuruh kita berjaga dengan ketat dan waspada? Bukankah semua pengacau telah tertawan? Dan kalau yang datang itu hanya gadis-gadis cantik, untuk apa kita takut?"
"Wah, engkau tidak tahu! Tiga orang gadis cantik itu memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi sehingga sepuluh orang dari kita belum tentu akan mampu mengalahkan mereka!"
"Hemm, kalau begitu, tentu pangcu akan berpesta pora karena kemenangannya. Apakah ketiga-tiganya akan dimiliki dan dinikmati pangcu sendiri?"
"Hushhh, jangan mencari penyakit!"
Bisik kawannya.
"Apapun yang akan dilakukan pangcu dan para pembantu utamanya, bukan urusan kita, itu urusan tingkat tinggi!"
Keduanya berjalan melewati pohon di mana Hay Hay bersembunyi dan tiba-tiba Hay Hay keluar dari balik pohon dan sejak tadi dia memang telah mengerahkan kekuatan sihirnya.
"Ssttt...!"
Dua orang itu terkejut dan cepat membalikkan tubuh mereka. Mereka memandang terbelalak dan nampak bingung. Hay Hay tadi sudah mengintai ke arah gardu di depan pintu gerbang di mana berkumpul para anak buah Ho-han-pang dan melihat seorang diantara mereka yang agaknya menjadi pimpinan dan disebut Ciong toa-ko.
"Hemm, kenapa kalian bengong? Apakah tidak mengenal lagi pemimpinmu, aku orang she Ciong ini?"
"Ahh, Ciong toa-ko!"
Kata yang tinggi kurus.
"Ciong-toa-ko mengejutkan kami saja!"
Kata orang ke dua yang perutnya agak gendut.
"Kalau meronda baik-baik, jangan melamun,"
Kata Hay Hay yang telah berhasil membuat dua orang itu melihat dia sebagai "Ciong toa-ko".
"Kalian tahu bukan? Bahwa pang-cu kita telah menawan tiga orang gadis yang lihai sekali?"
Tentu saja ucapan ini dikeluarkan sesuai dengan apa yang baru saja didengarnya dari percakapan mereka. Dua orang itu mengangguk-angguk.
"Kalian tahu di mana tiga orang tawanan kita itu dikurung, bukan?"
"Tahu, toa-ko. Di kamar tahanan bawah tanah..."
"Bagus! Akan tetapi tutup mulutmu dan jangan ceritakan hal ini kepada siapapun juga. Hati-hati kalau terdengar pihak musuh."
Kata Hay Hay.
"Tidak mungkin, toa-ko. Pula, lorong bawah tanah itu selain rahasia juga dijaga ketat oleh para pembantu utama pangcu. Siapa yang akan mampu masuk ke sana?"
"Hemm, bagaimanapun juga, kalian yang berjaga di luar harus hati-hati. Tahukah kalian di mana sekarang pangcu berada?" .
"Tadi kami melihat pang-cu pergi ke puncak bukit kecil itu, mungkin pergi ke taman kesayangannya."
Seorang dari mereka menunjuk ke arah bukit kecil yang menjulang di tengah perkampungan itu. Bukan bukit, hanya merupakan bagian yang lebih tinggi saja dan di bawah gundukan itulah tahanan bawah tanah itu dibuat.
"Sudah, lanjutkan perondaanmu!"
Katanya dan diam-diam dia mengerahkan kekuatan sihirnya untuk membuat mereka berdua itu melupakan pertemuan ini. Setelah mereka pergi diapun meloncati pagar dinding itu dan memasuki daerah perkampungan Ho-han-pang. Dia merasa lega bahwa dia telah memperoleh keterangan yang amat diharapkan, yaitu tempat di mana Mayang ditahan. Dia yakin bahwa di antara tiga orang wanita tawanan mereka. Dan dia tahu pula di mana adanya sang ketua yang menawan Mayang dan mengundangnya. Untuk mencoba menolong Mayang bukan hal mudah. Mayang ditahan di dalam tempat tahanan di bawah tanah, dan dijaga ketat oleh para pembantu utama Ho-han-pang. Sebaliknya sang ketua berada di gundukan tanah seperti bukit kecil itu, dan mungkin berada di taman kesayangannya di sana.
Mungkin seorang diri. Adalah lebih mudah untuk menemui ketua itu dan kalau perlu menangkapnya, memaksanya membebaskan Mayang, daripada menghadapi semua anak buah Ho-han-pang dan dikeroyok banyak orang sebelum senlpat membebaskan Mayang. Dengan kecepatan gerakannya yang ringan, Hay Hay menyusup-nyusup di antara pohon-pohon dan rumah-rumah perkampungan Ho-han-pang. Dua kali dia kepergok orang, akan tetapi dengan cepat dia menggunakan ilmu sihirnya, dan dua kali dia dapat lolos dari perhatian orang-orang itu yang percaya bahwa yang mereka lihat itu hanya bayangan saja. Akhirnya, dengan jantung berdebar tegang Hay Hay lari naik mendaki gundukan tanah seperti bukit kecil yang berada di tengah perkampungan itu. Sebuah bukit kecil yang di puncaknya dijadikan sebuah taman bunga yang indah oleh ketua Ho-han-pang!
Sementara itu, siang tadi di kota raja terjadi hal lain yang menarik hati. Seorang pemuda berusia dua puluh tiga tahun, berpakaian sederhana seperti seorang pelajar, berwajah tampan dengan muka bulat putih dan alis tebal, mata agak sipit, memasuki rumah penginapan Pak-hai-koan. Dia menggendong sebuah buntalan kuning dan gerak-geriknya halus dan tenang. Tidak nampak tanda bahwa dia seorang pemuda luar biasa, kecuali bahwa sepasang mata yang agak sipit itu mempunyai sinar cemerlang dan kadang-kadang tajam bukan main. Pemuda ini bertubuh sedang namun tegap dan dia adalah Pek Han Siong, pemuda yang di waktu kecilnya disebut Sin-tong (Anak Ajaib) dan dikejar-kejar oleh para pendeta Lama untuk dijadikan Dalai Lama! Seperti kita ketahui, akhirnya Han Siong dengan bantuan Hay Hay, mampu membebaskan diri dari pengejaran para pendeta Lama,
Bahkan telah bertemu dengan Wakil Dalai Lama yang menyatakan bahwa para pendeta tidak lagi menganggap Han Siong sebagai calon Dalai Lama. Bahkan Han Siong sempat pula ikut "menjodohkan"
Hay Hay dengan Mayang, akan tetapi kemudian dia merasa menyesal bukan main karena perjodohan itu hampir saja menyeret keduanya ke dalam lembah kenistaan, karena ternyata bahwa Mayang adalah adik tiri seayah berlainan ibu dengan Hay Hay. Keduanya adalah anak-anak dari Ang-hong-cu! Menghadapi peristiwa yang menyedihkan ini, Han Siong semakin marah kepada Si Kumbang Merah yang dianggapnya penyebab utama dari kesengsaraan batin yang diderita Hay Hay, sahabat baiknya yang sudah dianggapnya sebagai saudara sendiri, dan Mayang gadis yang tidak berdosa itu.
Dia berpamit dari Hay Hay yang sedang dilanda duka itu dengan hati penuh semangat untuk mencari Ang-hong-cu dan membinasakannya, menghukumnya atas dosa yang dilakukannya terhadap adik kandungnya, Pek Eng, dan terhadap para gadis lain yang menjadi korbannya. Juga untuk dosanya terhadap Hay Hay dan Mayang! Setelah meninggalkan Hay Hay yang juga sedang bersiap-siap untuk pergi bersama Mayang yang mencari Ang-hong-cu, Han Siong lalu pergi mengunjungi Suhu dan Subonya, yaitu suami isteri Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu yang tinggal di puncak Kim-ke-kok (Lembah Ayam Emas) Pegunungan Heng-tuan-san sebelah timur. Dia mencoba mengatakan kepada dirinya sendiri bahwa dia berkunjung untuk memberi hormat kepada Suhu dan Subonya, akan tetapi jauh di lubuk hatinya terpendam pamrih utama dari keinginannya berkunjung itu.
Pamrih itu ialah untuk dapat melihat dan bertemu dengan Siangkoan Bi Lian yang sudah amat dirindukannya. Dia tak pernah dapat melupakan gadis itu. Gadis yang menjadi bekas tunangannya, yang kemudian menjadi pujaan hatinya. Biarpun gadis itu menolak tali perjodohan itu dengan alasan bahwa ia tidak mempunyai perasaan cinta asmara kepada Han- Siong, melainkan hanya perasaan suka sebagai saudara seperguruan, namun dia tidak pernah dapat melupakannya dan tidak pernah berhenti mencintainya. Akan tetapi ketika dia tiba di puncak Lembah Kim-ke-kok, yang menyambutnya hanyalah Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu. Suhu dan Subonya itu menyambutnya dengan penuh kegembiraan dan kasih sayang.
Mereka menghujaninya dengan pertanyaan-pertanyaan dan mereka merasa ikut bangga dan gembira ketika mendengar akan pengalaman Han Siong di Tibet, gembira bahwa murid mereka itu kini telah terbebas dari pengejaran para pendeta Lama di Tibet. Akan tetapi, walaupun pada lahirnya Han Siong juga menperlihatkan kegembiraannya, namun dia merasa kecewa bukan main karena tidak melihat adanya Bi Lian. Untuk bertanya kepada Suhu dan Subonya, dia merasa sungkan. Akan tetapi, setelah mereka mendengarkan pengalaman yang amat menarik dari murid mereka itu, akhirnya Toan Hui Cu yang berpenglihatan tajam dapat menduga bahwa muridnya ini tentu diam-diam mempertanyakan ketidakmunculan puterinya.
"Han Siong,. engkau tentu merasa heran mengapa Bi Lian tidak berada di sini."
Berdebar rasa jantung di dada Han Siong.
"Benar, Subo. Di mana Sumoi? Kenapa teecu sejak tadi tidak melihatnya?"
"Sumoimu baru beberapa hari yang lalu pergi turun gunung, Han Siong. Ia pergi bersama... sutemu."
"Sute? Siapakah yang Subo maksudkan?"
Tanya Han Siong terheran.
"Belum lama ini kami menerima seorang murid baru, namanya Tan Hok Seng. Sebelum menjadi murid kami, dia telah memiliki ilmu kepandaian yang cukup lumayan."
Toan Hui Cu lalu menceritakan tentang Tan Hok Seng yang men jadi murid mereka, dan menjadi "suheng"
Baru Bi Lian.
"Dan sekarang mereka berdua pergi? Ke manakah kalau teecu boleh bertanya?"
"Mereka pergi ke kota raja untuk mencari orang jahat yang melempar fitnah kepada Tan Hok Seng sehingga dia dipecat dari kedudukannya sebagai perwira istana, bahkan dijatuhi hukuman. Karena merasa kasihan kepada suhengnya itu, Bi Lian membantunya dan mereka kini berada di kota raja untuk mencari musuh yang bernama Tang Bun An itu."
"Tang...?"
Han Siong terkejut mendengar disebutnya she ini. She yang dihafalnya benar karena itu adalah she dari Hay Hay dan juga she dari Ang-hong-cu!
"Ya, Tang Bun An. Kenalkah engkau nama itu, Han Siong?"
Tanya Siangkoan Ci Kang yang sejak tadi membiarkan isterinya yang bicara. Han Siong menggeleng kepalanya.
"Teecu belum pernah mendengar nama itu, akan tetapi she Tang itu yang menarik perhatian teecu karena Ang-hong-cu yang teecu cari-cari juga she Tang."
Suami isteri itu mengangguk-angguk.
"Demikian pula dengan Bi Lian. Ia tertarik karena she Tang itulah."
Han Siong mengerutkan alisnya.
"Teecu merasa khawatir, Suhu. Siapa tahu Sumoi akan berhadapan dengan Ang-hong-cu yang amat lihai dan jahat. Kalau Suhu dan Subo menyetujui, teecu akan menyusul mereka ke kota raja, hanya untuk melihat kalau-kalau Sumoi menghadapi bahaya dan memerlukan bantuan teecu."
Suami isteri itu saling pandang, kemudian Siangkoan Ci Kang berkata,
"Memang sebaiknya begitulah, Han Siong. Kami berdua juga akan merasa lebih tenang kalau engkau suka membantu Sumoimu."
Han Siong segera berpamit dan diapun menuruni Gunung Heng-tuan-san untuk menyusul Sumoinya ke kota raja. Dia tidak tahu betapa Suhu dan Subonya mengikuti bayangannya dengan pandang mata penuh keharuan dan betapa Subonya berkata kepada Suhunya.
"Murid kita itu jelas masih mencinta Bi Lian."
Suhunya menghela napas panjang,
"Engkau benar. Kasihan dia..."
"Memang kasihan, akan tetapi kalau Bi Lian tidak suka menjadi isterinya, bagaimana kita itu dapat memaksanya? Dan nampaknya anak kita itu akrab dengan Hok Seng."
"Hemm, jodoh berada di tangan Tuhan. Biarlah Tuhan yang menentukan siapa yang akan menjadi jodoh anak kita. Kita hanya dapat berdoa semoga Bi Lian tidak akan salah pilih."
Demikianlah, Han Siong melakukan perjalanan yang tidak mengenal lelah, pergi ke kota raja mencari Sumoinya. Dan pada siang hari itu, dia telah tiba di kota raja. Kota raja amat besar dan ramai.
Sukar untuk mencari Sumoinya yang tidak diketahuinya berada di mana. Jalan satu-satunya baginya adalah menyelidiki tentang perwira yang bernama Tang Bun An itu. Akan tetapi mudah menyelidiki tempat tinggal seorang perwira dari pada seorang pendatang seperti Sumoinya yang tidak dikenal orang-orang di tempat itu. Han Siong memasuki rumah penginapan Pak-hai-koan. Sebelum melakukan penyelidikannya, dia akan mencari sebuah kamar penginapan dulu. Dengan demikian, dia akan lebih leluasa, meninggalkan buntalan pakaiannya di dalam kamar. Pula, dia merasa gerah dan pakaiannya kotor berdebu. Dia ingin mandi dan berganti pakaian. Dan di rumah penginapan itupun dia akan dapat memulai dengan penyelidikannya, bertanya kepada karyawan di situ tentang perwira Tang Bun An dan di mana dia tinggal.
"Selamat siang, kongcu."
Seorang pelayan rumah penginapan menyambutnya dengan ramah. Biarpun pakaian Han Siong sederhana, namun dia rapi, tampan gagah dan juga sikapnya berwibawa dan lembut, seperti seorang terpelajar.
"Kongcu hendak menyewa kamar?"
Han Siong mengangguk.
"Benar, paman. Tolong beri saya sebuah kamar yang sejuk dan bersih."
"Ah, kamar tujuh kebetulan kosong, kongcu. Kamar itu sejuk dan bersih. Mari, silakan, kongcu."
Kamar itu memang bersih, walaupun tidak besar. Han Siong lalu minta disediakan air dan mandi sampai bersih sehingga tubuhnya terasa segar. Setelah mengenakan pakaian bersih, dia lalu duduk melamun dikamarnya. Ke mana dia harus mencari Bi Lian? Dan dia terkenang akan perjalanannya dari obet ke sini. Dia telah singgah di rumah ayah ibunya, yaitu di Kong-goan, Propinsi Secuan.
Ayahnya masih menjadi ketua Pek-sim-pang yang kini mengadakan usaha pengawalan barang-barang dalam lalu lintas barat timur dan sebaliknya. Hanya dengan adanya usaha piauw-kiok (perusahaan pengawalan ekspedisi) inilah perkumpulan Pek-sim-pang (Perkumpulan Hati Putih) dapat dipertahankan, bahkan nampak maju. Ketika dia pulang, ayahnya yang berusia empat puluh tiga tahun itu minta agar dia tinggal saja di rumah membantu pekerjaan perkumpulan yang mempunyai perusahaan itu. Juga ibunya membujuk agar dia suka memilih isteri dan berumah tangga. Akan tetapi, dengan halus dia menolak ajakan ayah ibunya itu dan mengatakan bahwa dia masih ingin meluaskan pengalaman dan menambah pengetahuan, dan tentang perjodohan dia mengatakan bahwa dia belum mempunyai pilihan dan masih ingin menyendiri.
Dia telah berbohong kepada ibunya. Dia telah mempunyai pilihan hati, sudah lama, semenjak dia bertemu dengan Sumoinya yang dicari-carinya. Siangkoan Bi Lian, Sumoinya juga bekas tunangannya. Bayang-bayang gadis itu masih selalu melekat di hatinya. Akan tetapi Sumoinya itu dengan jujur dan gagah menyatakan bahwa ia tidak mempunyai perasaan cinta kepadanya, dan minta agar tali perjodohan yang diikatkan oleh Suhu dan Subonya itu dibikin putus. Biarpun demikian, diam-diam dia masih selalu mengenang Sumoinya itu, bahkan masih mengharapkan sekali waktu Sumoinya itu akan dapat merasakan cinta kasihnya dan dapat pula menerima dan membalasnya.
"Tok-tok-tok!"
Ketukan di pintu membuyarkan lamunannya dan dia menoleh ke arah pintu.
"Buka saja pintunya, tidak dikunci."
Katanya. Daun pintu didorong dan terbuka dari luar. Pelayan yang tadi nampak berdiri di situ, membawa baki yang penuh dengan mangkok piring yang terisi makanan masih panas mengepulkan asap yang sedap.
"Kongcu, ini makanan yang kongcu pesan. Kongcu hendak makan di ruangan makan ataukah di dalam kamar ini saja?"
"Bawa masuk saja, paman. Aku ingin makan di sini saja."
Mangkok dan panci terisi makanan itu ditaruh di atas meja oleh pelayan yang diam-diam merasa heran mengapa seorang pemuda yang begini halus memesan masakan sedemikian banyaknya. Akan tetapi, keheranannya berubah ketika Han Siong berkata sambil menahannya setelah dia hendak pergi.
"Paman, harap duduk di sini dan temani aku makan. Rasanya tidak enak makan sendirian. Marilah, paman. Aku sudah memesan makanan untuk dua orang, bukan?"
Pelayan itu sejenak tertegun. Kini mengertilah dia mengapa pemuda itu memesan masakan demikian banyaknya. Dan dia terheran-heran melihat seorang tamu mengajaknya makan bersama. Di dalam pekerjaannya selama belasan tahun sebagai pelayan, belum pernah dia mengalami hal seaneh ini. Akan tetapi, karena sikap Han Siong demikian ramahnya, diapun duduk di atas bangku berhadapan dengan pemuda itu, terhalang meja, setelah dia menutupkan daun pintu.
"Terima kasih, kongcu. Engkau baik sekali dan memang sesungguhnya saya juga belum makan siang ini."
Dia meragu sejenak.
"Akan tetapi, kongcu, mengapa kongcu mengajak saya, seorang pelayan, untuk makan bersama? Belum pernah saya mendapat kehormatan seperti ini."
"Terus terang saja, paman. Ketika melihat paman, aku segera merasa suka sekali karena wajah paman mirip sekali dengan wajah seorang pamanku yang tinggal jauh di selatan dan sudah bertahun-tahun tidak pernah kutemui."
Kata Han Siong. Tentu saja ini hanya merupakan alasan yang dicari-cari. Dia sengaja menjamu pelayan ini karena ingin mencari keterangan pertama dari pelayan ini. Mereka makan dan minum kesempatan inilah yang dipergunakan oleh Han Siong untuk melakukan penyelidikannya. Setelah bertanya tentang keadaan pelayan itu dan mendengar bahwa pelayan itu sejak kecil tinggal di kota raja dan sudah belasan tahun bekerja di rumah penginapan itu, Han Siong lalu berkata, dengan sikap sambil lalu.
"Kalau begitu, engkau tentu mengenal atau setidaknya mengetahui di mana tempat tinggal seorang perwira yang bernama Tang Bun An, paman."
"Perwira Tang... Bun An? Sungguh aneh!"
"Kenapa aneh, paman?"
"Katakan dulu, kongcu. Ada urusan apakah kongcu mencari perwira she Tang itu?"
"Aku mempunyai urusan pribadi yang sangat penting dengan dia, paman,"
Kata Han Siong girang, tidak mengira akan semudah itu mendapatkan keterangan tentang perwira Tang Bun An yang sedang dicari oleh Bi Lian itu.
"Tahukah engkau di mana dia sekarang?"
Han Siong kecewa ketika melihat pelayan itu menggeleng kepala.
"Saya tidak tahu di mana dia sekarang, kongcu. Tentu saja saya tahu siapa dia. Tang Ciangkun tadinya amat terkenal di kota raja sebagai penolong kaisar dan dia menjadi perwira di istana. Akan tetapi sudah lama dia mengundurkan diri dan sekarang entah berada di mana."
"Kalau begitu, mengapa engkau tadi terheran dan mengatakan aneh ketika aku bertanya tentang dia kepadamu, paman?"
"Memang saya merasa heran karena baru kemarin dulu, dua orang yang bermalam di sini, kebetulan
yang pria juga menginap di kamar ini, juga mereka bertanya-tanya tentang seorang perwira she Tang, dan sekarang kongcu juga menanyakan orang yang sama. Bukankah itu suatu kebetulan yang aneh?"
"Hemm, siapakah dua orang itu? Apakah seorang gadis cantik dan seorang pemuda?"
"Tepat sekali! Ah, kiranya kongcu mengenal mereka? Mereka itu aneh sekali, setelah bermalam di sini, pagi-pagi sekali pemuda itu pergi. Kemudian, ada tamu yang mengajak gadis itu pergi dan mereka tidak pernah kembali lagi, padahal mereka belum membayar sewa kamar..."
"Jangan khawatir, paman. Aku yang akan membayar sewa kamar mereka! Katakan, bukankah gadis itu cantik jelita, bertubuh ramping, berkulit putih mulus, ada tahi lalat kecil di dagu, mukanya bulat telur?"
Pelayan itu mengerutkan alisnya.
"Ia memang cantik jelita dan bertubuh tinggi ramping. Akan tetapi saya tidak berani terlalu memperhatikan karena ia kelihatan galak. Entah ada tahi lalat di dagunya atau tidak, kongcu. Adapun tentang sewa kamar, biarpun mereka belum membayar, telah diselesaikan dan dibayar oleh Ho-han-pang, jadi tidak perlu menyusahkan kong-cu."
Han Siong merasa heran. Dia belum yakin apakah gadis dan pemuda yang menginap di rumah penginapan ini benar Bi Lian dan suheng barunya itu. Akan tetapi mengapa mereka bertanya-tanya tentang perwira Tang? Tentu Sumoinya. Dia tidak boleh terlalu mendesak dan menimbulkan kecurigaan pelayan itu, maka dia lalu mengajak pelayan itu melanjutkan makan minum sampai kenyang.
Pendekar Mata Keranjang Eps 5 Asmara Berdarah Eps 30 Pendekar Mata Keranjang Eps 5