Pendekar Kelana 3
Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo Bagian 3
"Bocah gila, rasakan pukulanku ini!"
Dia menyerang dengan jotosan ke arah muka Si Kong. Akan tetapi dengan amat mudahnya Si Kong mengangkat tangan menangkap lengan yang menyambar ke arahnya itu dan sekali menggeser kakinya dia telah menekuk lengan itu ke belakang tubuh si juling, lalu mendorong ke depan. Si juling terdorong ke depan dan jatuh menelungkup! Bukan main marahnya si mata juling. Dia meloncat bangun dan sudah menyambar sebatang tombak yang disandarkan pada gardu penjagaan, lalu menyerang Si Kong dengan tusukan-tusukan tombak. Si Kong sudah melihat bahwa kepandaian lawannya itu biasa saja, maka dia masih tidak menggunakan tongkatnya melainkan mengelak ke kanan kiri. Dan setelah mendapat kesempatan, kakinya menendang tangan lawan. Tombak itu terlepas dan terlempar sampai jauh.
Melihat ini, empat orang penjaga yang lain lalu turun tangan mengeroyok Si Kong dengan menggunakan golok dan tombak. Si mata juling juga tidak menjadi jera. Melihat teman-temannya membantu, diapun segera mengambil tombaknya yang terlempar tadi dan ikut pula mengeroyok! Si Kong masih menghadapi pengeroyokan lima orang itu dengan tangan kosong saja. Gerakannya yang gesit sekali membuat lima orang itu bingung, bahkan kadang senjata mereka saling bertemu sendiri. Pemuda itu seperti berubah menjadi bayangan yang tidak dapat disentuh senjata mereka. Si Kong sengaja tidak mau mencari permusuhan, maka diapun hanya mengelak saja dan berloncatan ke sana sini tanpa membalas. Tiba-tiba nampak seorang pemuda meloncat keluar dari sebelah dalam pintu gapura dan dia membentak,
"Hentikan perkelahian!"
Lima orang itu segera menghentikan pengeroyokan mereka sehingga Si Kong merasa lega. Dia melihat seorang pemuda yang perawakannya sedang dan berwajah tampan, berusia kurang lebih delapan belas tahun telah berdiri disitu dengan gagahnya.
"Ada apa ribut-ribut ini?"
Bentak si pemuda kepada lima orang penjaga. Pemimpin para penjaga segera menghadap pemuda itu dengan sikap hormat.
"Maafkan kami, Kongcu. Bocah ini hendak lancang menghadap Tong Loya. Tentu saja kami melarangnya dan timbul perkelahian."
Pemuda ini mengerutkan alisnya dan matanya memandang ke arah Si Kong. Pandangan matanya menunjukkan kemarahan dan dia memandang rendah kepada Si Kong, seorang pemuda yang pakaiannya sederhana seperti orang dusun.
"Siapa engkau yang begitu lancang hendak menghadap Ayahku?"
Tanyanya dan nadanya menunjukkan bahwa dia tidak senang mendengar laporan para penjaga. Si Kong segera memberi hormat, karena dia maklum bahwa pemuda yang disebut kongcu ini tentulah putera majikan Tong itu.
"Maafkan saya, kongcu. Nama saya Si Kong dan saya hanya mohon menghadap Loya untuk minta pekerjaan."
Pemilik atau majikan tempat itu yang disebut Tong-Loya oleh para penjaga itu bernama Tong Li Koan, seorang kaya berusia lima puluh tahun yang juga terkenal memiliki kepandaian ilmu silat tinggi. Pemuda itu adalah puteranya yang bernama Tong Kim Hok, berusia delapan belas tahun. Pemuda ini juga mempelajari ilmu silat dari Ayahnya dan wataknya agak angkuh dan tinggi hati, sadar sepenuhnya bahwa sebagai kongcu (tuan muda) dia adalah majikan kecil Bukit Bangau itu dan menganggap dirinya sudah memiliki ilmu silat yang dapat dibanggakan. Kini melihat ada seorang pemuda lain berani melawan pengeroyokan lima orang penjaga, dia merasa penasaran sekali.
"Minta pekerjaan? Engkau bisa apakah?"
Tanyanya dengan nada tinggi.
"Pekerjaan apapun yang diberikan kepada saya, akan saya lakukan, kongcu. Pekerjaan kasarpun tidak saya tolak!"
"Pekerjaan kasar? Engkau merasa kuat?"
"Tentu saja saya merasa kuat melakukannya, kongcu."
"Hemm, hendak kulihat sampai di mana kekuatanmu. Aku yang akan mengujimu apakah engkau pantas bekerja untuk kami. Coba lawanlah aku. Jaga seranganku ini. Hyaaaaaaatt...!"
Si Kong terkejut sekali. Tak disangkanya akan mendapat sambutan seperti itu dari tuan muda ini. Akan tetapi diapun melihat bahwa serangan pemuda itu tidak seperti gerakan para penjaga yang hanya mengandalkan tenaga kasar.
Serangan pemuda ini mengandung tenaga dalam dan dilakukan cukup cepat. Namun tidak terlalu cepat baginya dan dengan mudah dia sudah mengelak. Serangannya yang luput membuat Tong Kim Hok menjadi semakin penasaran dan marah. Dia merasa malu kepada para penjaga itu kalau dia tidak mampu merobohkan Si Kong. Maka diapun menyerang lagi lebih cepat dan kuat. Si Kong menjadi bingung. Tentu saja dia mampu melawan pemuda yang ilmu silatnya masih mentah itu. Akan tetapi dia tidak berani mengalahkan pemuda itu, karena pemuda itu tentu akan marah dan kalau sudah begitu, tidak mungkin dia diterima bekerja di situ. Maka diapun mengalah, setelah mengelak dari enam tujuh serangan dengan mengelak, dia mulai menangkis tanpa mengerahkan tenaganya sehingga setiap kali menangkis dia terhuyung kebelakang.
"Bukk...!"
Sebuah tendangan dari Tong Kim Hok mengenai lambungnya, membuat Si Kong terhuyung-huyung. Tentu saja dia sudah menjaga lambungnya yang dibiarkannya terkena tendangan itu dengan sinkang sehingga dia tidak sampai terluka. Akan tetapi ternyata Tong Kim Hok masih belum puas dengan sebuah tendangan yang mengenai lambung Si Kong. Dia bahkan merasa penasaran sekali karena Si Kong tidak sampai roboh dan dia menyerang lagi kalang-kabut. Beberapa kali Si Kong membiarkan tubuhnya kena hantaman yang membuatnya terhuyung.
"Sudah cukup, kongcu. Saya mengaku kalah!"
Katanya berulang-ulang, akan tetapi Tong Kim Hok tetap saja menyerangnya terus. Para penjaga menjadi girang melihat Si Kong dihajar. Mereka tertawa-tawa dan ada yang berkata memberi semangat kepada Tong Kim Hok.
"Hajar terus, kongcu! Pukul terus!"
Biarpun dia tidak sampai terluka, akan tetapi karena membiarkan tubuhnya mendapat pukulan-pukulan, bibir kiri Si Kong berdarah dan pipi kanannya menjadi membiru bekas pukulan. Pada saat itu, seekor kuda datang berlari dan sesosok bayangan orang meloncat dari atas punggung kuda itu.
"Cukup, koko (kakak)! Mengapa engkau memukul orang?"
Terdengar seruan dan di antara Si Kong dan Tong Kim Hok sudah berdiri menghadang seorang gadis remaja berusia kurang dari enam belas tahun. Gadis ini cantik manis, dengan rambut dikuncir dua dan diikat pita merah, dibiarkan tergantung di kedua pundaknya.
"Moi-moi (adik), engkau minggirlah, biar aku menghajar bocah lancang ini!"
Kata Tong Kim Hok yang lehernya sudah bersimbah peluh dan napasnya agak memburu karena tadi dia mengerahkan seluruh tenaganya untuk menghajar Si Kong.
"Nanti dulu, koko. Kenapa engkau hendak menghajar orang? Apa kesalahannya?"
(Lanjut ke Jilid 03)
Pendekar Kelana (Seri ke 12 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 03
"Bocah itu minta bertemu dengan Ayah, katanya mencari pekerjaan. Maka aku mengujinya karena dia tadi melawan lima orang penjaga kita. Nah, minggirlah, aku ingin menghajarnya sampai dia tahu rasa!"
Gadis itu bernama Tong Kim Lan berusia hampir enam belas tahun dan adik dari Tong Kim Hok. Ia memang seorang gadis lincah dan berbakat sekali dalam ilmu silat sehingga dibandingkan dengan Tong Kim Hok, ia lebih maju, terutama sekali lebih cepat sekali gerakannya dan dalam hal ilmu pedang, iapun melebih kakaknya. Ia menoleh dan memandang kepada Si Kong yang berdiri dengan muka ditundukkan. Melihat bibir Si Kong berdarah dan pipinya lebam, ia merasa kasihan. Seorang bocah dusun minta pekerjaan malah dihajar!
"Apa salahnya minta pekerjaan? Kalau tidak ada pekerjaan, tolak saja, tidak perlu dipukuli. Dan pula, aku mendengar sendiri dari Ayah bahwa dia membutuhkan tenaga seorang pembantu untuk menggembala kerbau kita. Eh, sobat siapa namamu dan apakah engkau mau diberi pekerjaan menggembala segerombolan kerbau?"
"Nama saya Si Kong, nona. Saya akan senang sekali kalau diberi pekerjaan dan rasanya saya sanggup untuk menggembala kerbau."
Jawab Si Kong dan dalam hatinya dia memuji gadis ini yang sikapnya berbeda jauh sekali dibandingkan kakaknya yang angkuh. Gadis ini ramah dan lincah.
"Kalau ada seekor saja kerbaunya yang hilang, engkau harus menggantinya!"
Bentak Tong Kim Hok, suaranya masih marah.
"Aih, koko. Siapa sih yang berani mencuri kerbau kita? Mari kau ikut aku, Si Kong, kita menghadap Ayah."
"Terima kasih, nona."
Si Kong mengikuti gadis itu yang memasuki pintu gerbang dan menghampiri sebuah gedung yang berdiri dengan megahnya di tengah perkampungan itu. Di kanan-kiri dan belakang gedung besar itu berdiri banyak pondok, agaknya menjadi tempat tinggal para pekerja di situ. Tong Li Koan memang seorang kaya raya yang menjadi majikan Bukit Bangau. Dia menggunakan banyak pekerja dan mengerjakan sawah ladangnya di bukit itu juga memperkerjakan sejumlah belasan tukang pukul untuk menjaga perkampungan.
"Ayah...!"
Kim Lan berteriak ketika memasuki rumah dan menyuruh Si Kong menanti di serambi depan. Tak lama kemudian gadis itu sudah muncul kembali bersama seorang laki-laki berusia lima puluhan tahun, berpakaian mewah dan tangan kirinya memegang sebatang huncwe (pipa tembakau) yang panjangnya setengah meter dan ketika dihisap mengeluarkan bau tembakau yang harum.
"Inikah orangnya?"
Tanya Tong Li Koan kepada puterinya. Dia amat menyayangi puterinya yang jauh lebih pandai dan cerdik dibandingkan puteranya.
"Ya, Ayah. Namanya Si Kong dan dia mau menjadi penggembala kerbau kita."
Si Kong sudah mengangkat kedua tangan depan dada sebagai penghormatan kepada Tong-Loya.
"Saya bersedia untuk bekerja apa saja, Loya,"
Katanya hormat. Tong Li Koan memandang ke arah mulut dan pipi Si Kong lalu mengerutkan alisnya dan menuding dengan huncwenya ke arah muka Si Kong.
"Kenapa mukamu itu? Seperti orang habis berkelahi!"
Katanya. Si Kong merasa tidak enak sekali untuk memberitahu bahwa dia dipukuli putera majikan itu, maka dia hanya menggumam,
"Tidak apa-apa, Loya."
"Dia dipukuli koko, Ayah. Koko hendak mengujinya sebelum dia bekerja."
"Ah, Kim Hok terlalu ringan tangan""
Kata hartawan itu.
"Saya yang bersalah, Loya,"
Kata Si Kong cepat-cepat.
"Saya telah berani lancang hendak menghadap loya untuk minta pekerjaan."
"Sudahlah, engkau kuterima sebagai penggembala kerbau. Setiap hari, pagi-pagi sekali engkau engkau harus menggembalakan kerbau-kerbau kami yang berjumlah tiga puluh ekor itu ke padang rumput, memelihara dan menjaga mereka baik-baik."
Tong Li Koan bertepuk tangan dan seorang pembantu datang berlari kepadanya. Hartawan itu memerintahkan kepada pembantu itu untuk memberi sebuah kamar bagi Si Kong dan memberi petunjuk akan pekerjaannya menggembala kerbau.
"Beri dia kamar di pondok dekat kandang kerbau di belakang. Dan engkau, Si Kong, bekerjalah baik-baik dan engkau akan memperoleh upah yang lumayan serta makan dan pakaian yang secukupnya."
Si Kong merasa girang sekali.
"Terima kasih, Lo-ya dan siocia (nona)."
Lalu dia pergi mengikuti pembantu itu yang membawanya menuju ke kandang kerbau untuk memperlihatkan kerbau-kerbau yang harus dirawatnya, juga menunjukkan sebuah kamar di pondok dekat kandang kerbau di mana dia boleh memakai sebagai tempat tinggalnya. Demikianlah, dengan hati gembira Si Kong menerima pekerjaan baru itu.
Kekosongan hidupnya sudah terisi. Dia mempunyai pekerjaan! Dia merasa beruntung sekali bahwa pada hari kepergian gurunya yang kedua, yaitu Kwa Siucai, langsung dia mendapatkan pekerjaan sebagai penggembala kerbau. Sebulan lewat tanpa terasa sejak Si Kong bekerja di Bukit Bangau. Benar saja seperti telah dijanjikan Tong Li Koan, dia menerima upah yang lumayan, setiap hari makan sekenyangnya dan diberi pakaian sehingga dia dapat berganti pakaian setiap hari. Pekerjaan menggembala kerbau itu cukup menyenangkan. Kerbau-kerbau itu adalah hewan ternak yang sudah diatur, penurut dan mudah dijaga, tidak liar lari ke sana-sini. Setelah matahari naik tinggi, dia menggembala kerbaunya kembali ke kandang. Kelebihan waktunya dia pergunakan untuk menyabit rumput sebagai penambah makanan hewan itu.
Sore hari dan malamnya dia boleh beristirahat di dalam pondok dekat kandang kerbau itu. Dia sama sekali tidak tahu bahwa diam-dian Tong Kim Hok mendendam kepadanya. Pemuda ini telah dimarahi Ayahnya karena memukuli Si Kong. Dia tahu bahwa tentu adiknya yang mengadu, akan tetapi kemarahannya dia timpakan kepada Si Kong. Selain menggembala tiga puluh ekor kerbau, Si Kong juga diberi tugas mengurus lima ekor kuda yang menjadi kuda tunggangan keluarga Tong. Memberi makan dan menggosok badan kuda sampi bersih. Pada suatu siang, setelah dia pulang menggembala kerbau, makan dan hendak berangkat menyabit rumput untuk kerbau-kerbaunya dan lima ekor kuda, mendadak muncul Kim Lan di depan pondoknya. Si Kong menyambutnya dengan hormat.
"Apakah nona membutuhkan kuda untuk ditunggangi hari ini?"
Tanyanya. Sudah seringkali dia bertemu dengan gadis manis ini karena Kim Lan memang suka sekali menunggang kuda dan seringkali datang sendiri ke kandang untuk mengambil kudanya.
"Tidak, Si Kong. Aku hanya ingin bertanya bagaimana dengan pekerjaanmu di sini? Apakah engkau sudah cocok dan suka tinggal di sini bekerja untuk kami?"
"Cocok dan senang sekali, nona. Nona dan Tong-loya amat baik kepada saya."
Gadis itu tersenyum dan menatap tajam wajah Si Kong yang gagah. Ia mengerutkan alisnya dan bertanya.
"Si Kong, engkau berasal dari manakah dan mengapa bisa sampai ke sini, minta pekerjaan kepada Ayahku? Di mana orang tua dan keluargamu?"
Si Kong tersenyum sedih dan menjawab.
"Saya berasal dari jauh, nona, dari sebuah dusun yang disebut Ki-ceng. Akan tetapi saya sudah yatim piatu dan tidak mempunyai sanak keluarga, tidak mempunyai siapa-siapa di dunia ini, sebatangkara. Saya seorang kelana dan ketika lewat di sini, saya tertarik dan ingin mencari pekerjaan tetap. Untung nona menolong saya dan menghadapkan kepada Loya sehingga saya mendapatkan pekerjaan di sini. Terima kasih, nona."
Tiba-tiba dari arah kandang kerbau muncul Tong Kim Hok. Pemuda itu kelihatan marah sekali dan berkata kepada Si Kong,
"Hei, Si Kong! Bagaimana engkau bekerja ini? Kalau engkau lalai seperti ini, lama-kelamaan kerbau-kerbau kami akan mati semua!"
Si Kong terkejut dan memandang kepada pemuda itu dengan mata terbelalak heran.
"Apa yang kongcu maksudkan? Saya tidak pernah lalai menjaga kerbau-kerbau itu!"
"Enak saja kau bicara! Seekor di antara mereka mengalami luka parah pada kakinya dan kau bilang kau menjaga dengan baik?"
"Koko, apa artinya ini?"
Tanya Tong Kim Lan.
"Moi-moi, engkau tidak perlu bersikap manis kepadanya! Kau lihat sendiri, ada kerbau yang terluka dan dia pura-pura tidak tahu! Mari lihat sendiri!"
Kim Hok berjalan ke arah kandang, diikuti oleh Kim Lan dan Si Kong yang merasa heran akan tetapi juga khawatir. Setelah tiba di kandang, Kim Hok menuding ke arah seekor kerbau yang mendekam di sudut.
"Lihat itu! Kakinya luka berdarah. Dia bahkan tidak kuat berdiri!"
Si Kong terkejut sekali dan cepat memasuki kandang, membantu kerbau yang mendekam itu agar berdiri. Dan nampak olehnya betapa sebuah kaki depan kerbau itu terluka parah!
"Tapi ini... ini aneh sekali! Tadi ketika saya menggiring mereka masuk kandang, tidak ada yang terluka kakinya!"
"Apa yang aneh? Kerbau-kerbau ini setiap hari engkau yang mengurusnya. Kini ada yang terluka kakinya, karena engkau takut dimarahi Ayah, engkau pura-pura bodoh dan tidak tahu! Bagus sekali, ya?"
"Si Kong, apakah yang terjadi dengan kerbau ini? Nampaknya seperti terluka oleh bacokan senjata tajam!"
Kata Kim Lan, mendekati Si Kong dan kerbaunya.
"Saya tidak tahu, nona. Ketika tadi saya menggiring semua kerbau memasuki kandang, belum ada yang terluka. Agaknya ada orang sengaja melukai kerbau ini sewaktu saya sedang makan."
"Apa? Kau berani menuduh aku melukai kerbau ini? Jangan kurang ajar, Si Kong!"
Bentak Kim Hok marah dan dia sudah menghampiri Si Kong dengan sikap hendak menyerang. Akan tetapi Kim Lan menghadangnya.
"Tahan, koko. Si Kong tidak menuduh siapa-siapa, hanya mengatakan bahwa agaknya ada orang melukai kerbau ini sewaktu dia sedang makan, tidak menuduhmu!"
Pada saat itu terdengan suara orang tertawa, tawa seorang wanita terkekeh-kekeh. Kim Hok dan Kim Lan terkejut dan menengok, demikian pula Si Kong memandang ke kanan, ke arah datangnya suara tawa. Kiranya di situ telah berdiri seorang wanita yang usianya sekitar empat puluh tahun, akan tetapi ia masih kelihatan cantik dengan pakaiannya yang mewah. Di punggungnya tergantung sebatang pedang dan tangan kirinya memegang sebatang kebutan berbulu merah.
"Hi-hi-hik-heh-heh! Kalau tidak ada yang membacok dengan pedang, mana mungkin kaki kerbau bisa terluka? Si Huncwe Maut serakah dan curang, agaknya menurun kepada puteranya! Heh-heh!"
Mendengar ini Kim Hok menjadi merah mukanya dan dia meloncat ke depan wanita itu. Huncwe Maut adalah nama julukan Ayahnya di dunia kang-ouw, maka jelas bahwa wanita itu tadi maksudkan dia sebagai putera Huncwe Maut.
"Siapakah engkau? Berani sekali berlancang mulut!"
Bentak Kim Hok marah.
"Hi-hik, orang muda, engkau masih remaja akan tetapi sudah banyak akal dan licik. Coba cabut pedangmu, di situ pasti masih ada bekas darah kaki kerbau itu!"
"Perempuan lancang! Engkau datang melanggar wilayah kami, hayo cepat pergi sebelum aku terpaksa menggunakan kekerasan!"
"Heh-heh-heh-hi-hik! Persis seperti Ayahnya, berani, angkuh dan cerdik! Akan tetapi engkau tidak tahu siapa yang engkau hadapi, anak muda. Lebih baik lekas panggil Ayahmu ke sini untuk bertemu denganku!"
Watak Kim Hok memang angkuh dan dia merasa kuat sendiri. Tentu saja dia memandang rendah kepada wanita setengah tua itu. Orang perempuan itu berani tidak memandang kepada Ayahnya!
"Engkau layak dipukul!"
Katanya dan cepat dia sudah menerjang ke depan dan memukul ke arah muka wanita itu. Wanita itu hanya mengelak sedikit dan begitu tangannya bergerak, tubuh Kim Hok telah terlempar ke belakang dan terbanting jatuh!
Kim Hok marah sekali. Dia tidak menjadi jera, bahkan dia kini mencabut pedangnya dan menyerang wanita itu dengan tusukan pedangnya ke arah dada. Akan tetapi wanita itu menggerakkan tangan kirinya, bulu kebutannya membelit pedang dan sekali bergerak, ia sudah menendang Kim Hok hingga kedua kalinya tubuh pemuda itu terpental dan pedangnya telah terampas. Sambil mendengus penuh ejekan wanita itu menggerakkan kebutannya dan pedang itu meluncur dan menancap di atas tanah dekat kaki Kim Hok! Seorang pembantu melihat perkelahian itu dan dia cepat lari masuk ke gedung untuk memberitahu kepada majikannya. Sementara itu, Kim Hok sudah mencabut lagi pedangnya dari tanah dan seperti kerbau gila mengamuk dan menyerang wanita itu, lupa bahwa sudah dua kali dia dirobohkan. Melihat kakaknya dua kali dirobohkan wanita itu, Kim Lan mencabut pedangnya dan hendak membantu, akan tetapi Si Kong berkata kepadanya,
"Nona, wanita itu bukan lawanmu! Ia terlalu lihai bagimu!"
Kim Lan tidak jadi menyerang dan hanya memandang ketika kakaknya itu kembali sudah menyerang secara bertubi-tubi. Akan tetapi wanita itu dengan mudahnya mengelak ke sana-sini, sambil mengeluarkan suara tawanya yang mengejek seperti mempermainkan seorang anak.
"Anak nakal, engkau masih juga belum mau mengaku kalah?"
Wanita itu tiba-tiba menggerakkan hudtimnya ke depan dan seketika tubuh Kim Hok menjadi kaku dan tidak mampu bergerak lagi karena jalan darahnya sudah tertotok.
"Hi-hi-hik, kau anak nakal yang bandel!"
Wanita itu menggunakan tangannya untuk mengelus dan mencubit dagu Kim Hok dengan gaya yang genit sekali kemudian tangannya itu mendorong dada Kim Hok dan untuk ketiga kalinya Kim Hok terjengkang roboh! Sekali ini dia roboh dekat kaki Si Kong yang segera membungkuk dan menolongnya.
"Kongcu, engkau tidak apa-apa?"
Katanya diam-diam menotok punggung pemuda itu sehingga tubuh Kim Hok yang tadinya kaku dapat bergerak kembali.
"Huh! Jangan pegang-pegang aku!"
Bentak Kim Hok sambil meronta, dan dia sudah memegang pedangnya kuat-kuat untuk menyerang lagi. Akan tetapi sebelum Kim Hok menyerang lagi, terdengar bentakan Ayahnya,
"Kim Hok, jangan lancang!"
Mendengar bentakan Ayahnya, Kim Hok berhenti menyerang dan mundur. Tong Li Koan kini berdiri berhadapan dengan wanita itu. Setelah memandang dengan mata tajam penuh selidik sambil mengisap huncwenya, Tong Li Koan melepaskan huncwe cari mulut dan berkata sambil tersenyum.
"Hemm, kalau tidak salah sangka, agaknya aku berhadapan dengan Ang-bi Mo-li (Iblis Perempuan Cantik Merah)"
Tentu julukannya ini dihubungkan dengan bulu kebutannya yang berwarna merah. Wanita itu tertawa dan nampak giginya yang rapi berderet rapi.
"Kiranya yang berjuluk Huncwe Maut, selain kaya raya juga berpemandangan tajam! Tong Wan-gwe (Hartawan Tong), aku memang Ang-bi Mo-li! Puteramu ini curang angkuh dan pemberani. Tidak kecewa menjadi putera Huncwe Maut, hanya sayang ilmu silatnya rendah saja sehingga aku menjadi ragu apakah ilmu kepandaianmu juga sebesar namamu!"
Tong Li Koan maklum bahwa Iblis Betina ini sengaja hendak mencari perkara, maka diapun mengangkat tangan ke depan dada memberi hormat lalu berkata,
"Anakku masih muda dan lancang, harap engkau suka memaafkannya. Setelah engkau lewat disini, mari silakan singgah di rumah kami agar lebih leluasa kami menyambutmu sebagai tamu."
Tong Li Koan sengaja bersikap lunak karena dia tidak ingin bermusuhan dengan wanita yang namanya terkenal di dunia persilatan sebagai tokoh yang lihai sekali. Mendengar ini, Ang-bi Mo-li tertawa terkekeh-kekeh.
Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Heh-heh-heh-hi-hik! Tong wan-gwe aku berada di daerah ini bukan sebagai tamu dan juga engkau bukan sebagai tuan rumah di sini. Dahulu, lama sebelum engkau datang, tanah ini sudah menjadi wilayahku dan aku tinggal di sebelah timur bukit. Sekarang, aku mendengar bahwa engkau menguasai seluruh bukit. Ini tidak adil! Karena aku berminat untuk tinggal di sini lagi, kita bagi rata saja. Bagian timur bukit menjadi milikku, dan engkau menguasai bagian barat ini."
Tong Li Koan mengerutkan alisnya, mengisap huncwenya dan mengepulkan asapnya dari hidung. Kemudian dia berkata, suaranya lantang.
"Usulmu itu tidak mungkin dilaksanakan, Mo-li! Sebelum aku datang, seluruh daerah bukit ini masih merupakan hutan dan rawa liar. Aku yang membangunnya sehingga kini menjadi tanah sawah ladang yang subur dan digarap oleh orang-orangku. Mana bisa aku yang mencangkul dan menanam, sekarang engkau ingin memetik hasilnya begitu saja?"
"Aku yang datang lebih dulu, orang she Tong! Kalau engkau berkukuh hendak menguasai bukit ini seluruhnya, engkau harus dapat mengalahkan dan mengusir aku dari sini. Sebaliknya kalau engkau kalah olehku, engkaulah dan seluruh keluargamu harus pergi meninggalkan tempat ini!"
Mendengar ini, Tong Li Koan menjadi marah. Bahkan kedua orang anaknya juga menjadi marah.
"Ayah, kita hajar saja orang kurang ajar ini!"
Kata Kim Lan sambil mencabut pedangnya.
"Kim Lan, dan engkau Kim Hok, jangan ikut campur. Dia bukan lawan kalian!"
Kata Tong Li Koan dan dia maju menghampiri Ang-bi Mo-li lalu berkata.
"Mo-li, kalau kedatanganmu ini hendak menantang aku, aku tidak dapat menolaknya. Jangan dikira bahwa aku takut menghadapimu! Silakan!"
Dia lalu memasang kuda-kuda dan memegang huncwenya dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya mencabut pedangnya. Melihat ini, Ang-bi Mo-li tertawa terkekeh-kekeh, lalu tiba-tiba tangan kanannya bergerak dan tahu-tahu ia telah mencabut pedangnya dari punggung dengan amat cepatnya.
"Orang she Tong! Engkau memilih mati dari pada menyerahkan bagian timur bukit ini?"
Ejeknya.
"Akan kupertaruhkan nyawaku untuk bukit ini!"
Jawab Tong Li Koan dengan tegas.
"Bagus, lihat seranganku!"
Ang-bi Mo-li tanpa rikuh lagi sudah mulai menyerang. Pedangnya berkelebat di susul berkelebatnya hud-tim (kebutan) di tangan kirinya. Entah mana yang lebih berbahaya, pedangnya atau kebutannya karena keduanya menyambar dengan dahsyat dan mengirim serangan maut.
"Trang-traang...!"
Si Huncwe Maut menangkis dengan pedang dan huncwenya, lalu balas menyerang dengan hebatnya pula. Ang-bi Mo-li juga dapat menghindarkan diri dari serangan Huncwe Maut.
Terjadilah perkelahian yang amat menegangkan antara kedua orang yang namanya sudah terkenal di dunia persilatan itu. Kalau kebutan itu berbahaya sekali karena dapat menjadi kaku untuk menusuk atau menotok lalu menjadi lemas untuk melilit senjata lawan, huncwe itu tidak kalah berbahayanya. Dengan gerakan tertentu Tong Li Koan dapat membuat huncwe itu memercikan api ke arah wajah lawan, lalu menotok jalan darah dengan ujungnya. Berkali-kali kedua pedang bertemu dan berpijarlah bunga-bunga api yang menyilaukan mata. Kim Hok dan Kim Lan yang menonton pertandingan itu merasa tegang sekali. Mereka tidak tahu apakah Ayah mereka akan menang atau kalah dalam pertandingan itu dan untuk membantu mereka tidak berani. Ilmu kepandaian mereka masih jauh untuk dapat membantu.
Akan tetapi Si Kong yang juga menonton pertandingan itu mengerutkan alisnya. Dengan tingkat kepandaiannya dia dapat mengikuti pertandingan itu dengan baik dan dia melihat betapa tingkat kepandaian wanita itu masih lebih tinggi dari pada kepandaian majikannya. Majikannya akan kalah, hal ini sudah dapat diduganya melihat jalannya pertandingan. Dugaan Si Kong memang benar. Biarpun dalam hal tenaga dalam kedua orang yang bertanding itu memiliki kekuatan seimbang, namun dalam hal kecepatan gerakan, Tong Li Koan atau si Huncwe Maut masih kalah sehingga kini perlahan-lahan wanita itu mendesaknya dengan sambaran kebutan dan pedangnya. Baru setelah Tong Li Koan terdesak dan mundur terus, kedua orang anaknya mengetahui bahwa Ayah mereka terdesak dan hampir kalah.
Rasa takut terhadap wanita itu hilang karena melihat Ayah mereka terancam bahaya maut, maka dua orang anak itu meloncat ke depan dan menggunakan pedang mereka untuk menyerang Ang-bi Mo-li! Akan tetapi kebutan Ang-bi Mo-li menyambar. Kim Hok dan Kim Lan terlempar ke belakang dan bergulingan. Pada saat itu, pedang Tong Li Koan menusuk ke arah dada Ang-bi Mo-li. Wanita itu dengan cepatnya mengelak, kebutannya menyambar dan membelit pergelangan tangan Tong Li Koan yang memegang pedang. Ketika Tong Li Koan mengayun huncwenya, dia kalah dulu karena pedang wanita itu telah mengenai ujung pundaknya. Dia berteriak dan meloncat ke belakang, pedangnya terampas dan pundaknya berdarah. Kim Hok dan Kim Lan melompat dekat Ayah mereka.
"Ayah, engkau tidak apa-apa?"
Tanya Kim Hok.
"Ayah, pundakmu berdarah."
Kata Kim Lan. Tong Li Koan menghela napas panjang.
"Aku telah kalah..."
Katanya dengan nada sedih.
"Heh-heh-heh-hi-hik, engkau cukup jantan untuk mengaku kalah. Aku memberi waktu dua hari kepada kalian semua untuk meninggalkan bukit ini!"
Kata Ang-bi Mo-li.
"Nanti dulu...!"
Terdengar bentakan dan semua orang menengok memandang kepada Si Kong yang datang menghampiri karena pemuda inilah yang membentak tadi.
"Ang-bi Mo-li, enak saja kau bicara! Majikanku telah mengalah, hal itu sudah sepatutnya karena engkau seorang wanita. Akan tetapi engkau tidak tahu diri, hendak merampas hak milik orang lain begitu saja. Masih ada aku di sini yang mempertahankannya dan kuharap engkaulah yang segera pergi dan jangan mengganggu majikanku!"
"Si Kong...!"
Kim Lan berlari mendekati.
"Apa kau sudah gila? Ia... Ia akan membunuhmu!"
Si Kong tersenyum. Hatinya senang karena anak perempuan majikannya ini mengkhawatirkan dirinya. Kim Lan selama ini bersikap ramah dan baik sekali kepadanya.
"Terima kasih, nona. Sebaiknya nona kembali kepada loya, biar aku hadapi iblis betina itu!"
Kim Lan berlari kembali kepada Ayahnya.
"Ayah...!"
Ia hendak minta Ayahnya mencegah wanita itu membunuh Si Kong yang berani mati membela keluarganya. Akan tetapi Ayahnya menggeleng kepala dan memandang kepada Si Kong dengan sinar mata heran dan kagum. Dengan langkah lebar dan tenang Si Kong kini menghampiri Ang-bi Mo-li. Sejenak iblis betina inipun tertegun dan heran melihat seorang pemuda remaja berani berkata dan bersikap seperti itu kepadanya. Apa lagi pemuda remaja itu menyebut Tong Li Koan sebagai majikannya. Pemuda ini tentu hanya seorang pembantu!
"Kau... kau siapa?"
Tanyanya, alisnya berkerut dan pedangnya menuding ke arah muka Si Kong.
"Namaku Si Kong dan aku menjadi penggembala kerbau di sini."
Ang-bi Mo-li sudah menguasai keheranannya dan kini ia tertawa terkekeh-kekeh.
"Penggembala kerbau? Hah-hah-heh-heh-heh-heh, Tong Li Koan, tidak malukah engkau dibela oleh penggembala kerbaumu? Suruh dia mundur, karena dia berani menentangku berarti dia akan mati di tanganku!"
Tong Li Koan menghela napas panjang. Tentu saja dia merasa malu kalau penggembala itu sampai mengorbankan nyawa untuknya.
"Si Kong, mundurlah. Aku tidak ingin melihat engkau mati untukku."
"Lo-ya, harap jangan khawatir. Aku tidak akan mati oleh wanita ini. Ang-bi Mo-li, kalau engkau tidak berani melawan aku, bilang saja terus terang, tidak perlu bicara dengan majikanku!"
"Bocah setan! Engkau tadi telah dikhianati kongcumu dan sekarang engkau bahkan hendak membela Ayahnya? Kongcumu yang melukai kerbaumu, aku melihatnya sendiri."
"Cukup! Urusan kami tidak ada sangkut pautnya denganmu, Ang-bi Mo-li!"
Kini Ang-bi Mo-li benar-benar marah. Tentu saja ia tidak takut kepada Si Kong, hanya merasa malu kalau harus bertanding melawan seorang pemuda remaja penggembala kerbau!
"Bocah gila! Kalau engkau sudah bosan hidup, majulah. Akan tetapi sekali kau maju, engkau pasti akan mampus!"
"Dan aku tidak akan membunuhmu, Ang-bi Mo-li! Aku tidak akan sekejam itu."
Ang-bi Mo-li menyarungkan pedangnya di punggung dan memegang kebutannya dengan tangan kanan. Tanpa pedang, bahkan tanpa kebutan sekalipun ia akan mampu membunuh pemuda remaja itu.
"Ang-bi Mo-li, kalau engkau menurunkan tangan keji membunuh seorang pemuda remaja, engkau akan menjadi bahan ejekan orang sedunia kangouw!"
Kata Tong Li Koan dalam usahanya untuk menghindarkan Si Kong dari kematian.
"Heh-heh-heh, aku tidak sebodoh itu, Tong Li Koan. Aku tidak akan membunuhnya, hanya akan membuat kedua kakinya lumpuh selama hidupnya, heh-heh!"
Sementara itu, melihat betapa lihainya wanita itu mempergunakan kebutannya sebagai senjata, Si Kong tidak berani main-main dan dia sudah menyambar sebuah tongkat bambu yang biasa dia pergunakan untuk memikul keranjang rumput.
"Ang-bi Mo-li, aku sudak siap, tidak perlu terlalu banyak bicara lagi!"
Katanya sambil menghadapi wanita itu dengan tongkat di tangan.
"Heh-heh, kau sudah siap untuk menjadi lumpuh seumur hidupmu? Nah, sambutlah serangan ini!"
Ang-bi Mo-li seudah menggerakkan kebutannya dengan cepat sekali.
"Wuuuttt...!"
Ang-bi Mo-li terkejut melihat betapa pemuda itu dengan mudah dan lincahnya mengelak dengan loncatan ke kiri, dan tiba-tiba saja tongkatnya di tangan sudah terayun dan mengancam pinggul kirinya. Tentu saja wanita ini tidak mau pinggul kirinya digebuk tongkat. Ia mengayun kebutannya untuk menangkis dengan membuat kebutan itu menjadi kaku dengan maksud untuk membentur tongkat itu agar terlepas dari pegangan si penggembala kerbau.
"Takkk...!"
Kembali Ang-bi Mo-li terkejut bukan main karena ketika kebutannya menangkis tongkat, tangannya tergetar hebat karena tongkat itu ternyata mengandung tenaga yang sangat kuat! Dan ia hampir terpekik kaget karena begitu tertangkis tongkat itu sudah membalik dan kini menghantam ke arah pundaknya! Ia menggunakan kelincahannya untuk mengelak, namun nyaris pundaknya terkena hantaman tongkat. Dari rasa kaget, wanita itu menjadi marah bukan main. Hampir ia tidak dapat percaya bahwa pemuda tanggung itu dapat memiliki tenaga demikian kuat dan kecepatan gerakan tongkat yang luar biasa.
"Bocah setan, mampuslah!"
Ia berseru dengan marah dan menggerakkan kebutannya untuk menyerang lebih cepat dan kuat lagi. Kini ia tidak perduli lagi apakah serangannya akan membunuh lawan ini. Kebutan itu menengang dan menusuk ke arah leher Si Kong. Akan tetapi kembali Si Kong menggerakkan tongkatnya yang menggetar ujungnya untuk menangkis.
"Plakk!"
Ketika kebutan bertemu tongkat, Ang-bi Mo-li mengubah tenaganya dan kebutan itu menjadi lemas dan membelit tongkat itu. Ia ingin merampas tongkat itu sebelum menghajar pemiliknya. Akan tetapi untuk yang kesekian kalinya ia terkejut. Kebutannya sama sekali tidak mampu merampas tongkat. Biarpun ia menarik dengan tenaga dalam yang kuat, tongkat itu tidak bergeming bahkan kini tongkat itu membalik dan ujungnya yang lain menyodok perutnya!
"Ihh...!"
Ang-bi Mo-li berseru dan melepaskan libatan kebutannya sambil meloncat ke belakang. Si Kong kini mendesak maju dan mainkan ilmu silat tongkat Ta-kaw Sin-tung. Tongkatnya seolah berubah menjadi banyak dan ujung-ujung tongkat dengan gencarnya menghujankan gebukan kepada lawannya, Ang-bi Mo-li terkejut bukan main melihat gerakan tongkat itu, gerakan ilmu tongkat yang mengingatkan ia akan seorang tokoh besar dunia persilatan. Kembali ia memutar kebutannya untuk melindungi dirinya sambil berloncatan ke belakang.
"Tahan dulu!"
Serunya setelah ia mendapatkan kesempatan. Mendengar seruan itu, Si kong menahan tongkatnya, memegang tongkat itu melintang di depan dadanya.
"Apa hubunganmu dengan Yok-sian Lo-kai?"
Tanya Ang-bi Mo-li.
"Beliau adalah guruku!"
Kata Si Kong yang kembali mulai menyerang sambil berseru.
"Lihat seranganku!"
Ang-bi Mo-li cepat mencabut pedangnya karena hanya menggunakan kebutan saja ia merasa kewalahan. Sementara itu, Tong Li Koan, Kim Hok dan Kim Lan memandang dengan bengong. Sedikitpun tidak pernah mereka sangka bahwa Si Kong selihai itu! Terutama sekali Kim Hok. Wajahnya menjadi pucat dan matanya terbelalak memandang kepada Si Kong, seolah-olah tidak percaya kepada penglihatannya sendiri. Si Kong yang pernah dihajarnya! Tanpa dapat melawannya! Kini dapat menandingi Ang-bi Mo-li yang demikian lihainya! Sedangkan Kim Lan ternganga, terkagum-kagum.
Ang-bi Mo-li kini menyerang dengan pedang dan kebutannya. Serangannya cepat dan dahsyat sekali. Wanita itu kini tidak berani memandang rendah setelah mendengar bahwa pemuda remaja ini murid Yok-sian Lo-kai. Dengan sepasang senjatanya yang lihai, ia merasa sanggup menghadapi ilmu tongkat Ta-kaw Sin-tung. Akan tetapi tiba-tiba ia terkejut sekali. Ia telah kehilangan lawannya yang tahu-tahu telah berada di belakangnya. Demikian cepatnya gerakan Si Kong sehingga ia sendiri menjadi bingung. Pemuda itu seolah dapat menghilang. Ternyata pemuda itu telah menggabung ilmu tongkat Ta-kaw Sin-tung dengan ilmu meringankan tubuh Liok-te Hui-teng sehingga tubuhnya seperti pandai menghilang dan gerakan tongkatnya semakin cepat sehingga seolah tongkat itu mempunyai ber puluh ujung yang menyerang dari segala penjuru.
"Takk... tranggg...!"
Kebutan dan pedang itu terpental ketika bertemu dengan tongkat. Kecepatan gerakan pemuda itu membuat Ang-bi Mo-li teringat kepada Penyair Gila yang terkenal memiliki ginkang yang sukar ditandingi. Ia menggunakan kesempatan ketika ia melompat mundur untuk bertanya.
"Apa hubunganmu dengan Kwa Siucai?"
"Beliau adalah guruku!"
Jawab Si Kong pula dengan terus terang tanpa menghentikan desakannya. Ang-bi Mo-li terkejut bukan main mendengar pengakuan itu.
Pantas pemuda ini lihai bukan main, kiranya murid Yok-sian Lo-kai dan Kwa Siucai! Dengan repot ia menggerakkan kebutan dan pedangnya untuk melindungi tubuhnya dari hujan serangan ujung tongkat yang gerakannya amat cepat dan sukar diikuti pandang mata itu. Namun, betapapun cepat ia memutar kedua senjatanya untuk melindungi tubuhnya, tetap saja ujung tongkat itu menotok pundaknya, membuat lengannya seperti lumpuh dan ia terhuyung ke belakang, memegang pundak kanannya dengan tangan kiri yang masih memegang kebutan. Wajahnya berubah pucat, lalu kemerahan. Ia merasa malu bukan main karena jelas ia telah kalah. Ia harus mengakui ini dan menerimanya, karena kalau dilanjutkan, mungkin ia akan menderita luka yang lebih hebat. Pemuda itu terlalu cepat baginya, ilmu tongkatnya terlalu aneh dan sulit ditandingi.
"Si Kong, sekali ini aku mengaku kalah. Akan tetapi lain kali aku akan menebus kekalahan ini!"
Katanya untuk menutupi rasa malunya dan tanpa berkata apa-apa lagi tubuhnya melompat jauh dan ia sudah melarikan diri secepatnya dari tempat yang membuatnya malu itu. Sejenak suasana menjadi sunyi karena keluarga Tong masih tertegun saking heran dan kagumnya. Kemudian meledaklah kegembiraan Kim Lan yang lari menghampiri Si Kong.
"Si Kong, engkau hebat sekali!"
Kata gadis itu dengan penuh kekaguman. Juga Tong Li Koan menghampiri pemuda itu dengan wajah gembira dan kagum. Pemuda yang menjadi penggembala kerbaunya ini telah menyelamatkannya! Kalau tidak ada Si Kong, dia tentu terpaksa harus meninggalkan tempat itu bersama seluruh keluarganya dan menyerahkan bukit itu kepada Ang-bi Mo-li!
"Si Kong, kenapa engkau tidak pernah memberitahukan kepadaku bahwa engkau memiliki kepandaian yang tinggi?"
Kata Tong Li Koan dengan nada menegur. Kalau Tong Li Koan dan Tong Kim Lan menghampiri Si Kong dengan wajah berseri gembira dan penuh kagum, Tong Kim Hok masih berdiri di tempatnya yang tadi tanpa menggerakkan kakinya dan mukanya menjadi pucat. Dia merasa malu bukan main! Si kong sudah mengambil keputusan untuk pergi meninggalkan Bukit Bangau. Tong Kim Hok sudah jelas tidak suka kepadanya. Untuk apa dia bekerja terus di situ kalau putera majikannya tidak suka kepadanya?
"Maaf, Lo-ya. Saya pamit karena hendak pergi dari sini."
Tong Li Koan terbelalak.
"Pergi dari sini? Hendak ke mana dan mengapa pergi?"
Si Kong tersenyum.
"Hendak melanjutkan pergi berkelana. Sudah terlalu lama saya tinggal di sini. Terima kasih kepada Lo-ya dan Siocia, selama ini telah bersikap baik sekali kepadaku."
"Si Kong, jangan pergi dan jangan sebut aku nona. Panggil saja namaku. Aku ingin bersahabat denganmu, ingin belajar silat darimu."
Kata Kim Lan.
"Benar, Si Kong. Mulai sekarang engkau tidak usah menggembala kerbau, bantu saja mengawasi para pekerja di ladang."
Kata Tong Li Koan.
"Engkau tidak usah pergi dari sini."
"Maaf, Loya dan Siocia. Saya harus pergi berkelana untuk meluaskan pengalamanku."
Pada saat itu Kim Hok berlari menghampirinya. Dengan muka kemerahan dia berkata.
"Ayah, akulah yang bersalah mengganggunya. Si Kong, kau maafkanlah aku dan jangan pergi dari sini."
Si Kong tersenyum dan menepuk-nepuk pundak pemuda yang lebih tua darinya itu.
"Sudahlah, kongcu. Kesalahan apapun yang dilakukan seseorang, kalau dia sudah insaf dan menyesali kesalahannya, hal itu baik sekali. Saya senang melihat kongcu menyadari kesalahannya."
Biarpun tiga orang itu membujuknya agar jangan pergi, tetap saja Si Kong mengambil buntalan pakaiannya, lalu mengangkat kedua tangan depan dada, berkata,
"Loya, harap jangan khawatir. Ang-bi Mo-li tentu tidak berani datang lagi. Kini kemarahannya tertumpah kepadaku, kalau ia hendak membalas tentu mencari saya bukan mencari Loya. Selamat tinggal Loya, Siocia dan Kongcu."
Tiga orang itu tidak sempat lagi menahan karena setelah berkata demikian, sekali berkelebat Si Kong yang menggunakan ginkangnya itu telah lenyap dari depan mereka. Tong Li Koan menghela napas panjang.
"Luar biasa sekali anak itu. Semuda itu telah memiliki ilmu kepandaian hebat, bahkan menjadi murid Yok-sian Lo-kai dan Kwa Siucai! Dan dia tidak malu untuk bekerja menjadi penggembala kerbau! Luar biasa! Kim Hok, engkau patut mencontoh dia sudah pandai masih rendah hati sedemikian rupa."
"Ini semua kesalahan koko!"
Kim Lan merengek.
"Karena perbuatan koko, Si Kong menjadi tersinggung dan meninggalkan kita! Koko telah menuduhnya menggembala kerbau tidak benar sehingga kaki seekor kerbaunya terluka, padahal, menurut Moli tadi, yang melukai kaki kerbau itu adalah koko sendiri!"
Tong Li Koan mengerutkan alisnya dan memandang tajam penuh selidik kepada puteranya.
"Benarkah itu, Kim Hok?"
"Ampun, Ayah. Saya memang bersalah, dan tadipun saya sudah minta maaf kepada Si Kong,"
Kata Kim Hok.
"Akan tetapi kenapa engkau melakukan fitnah begitu kepada Si Kong?"
"Tadinya hati saya masih jengkel kepadanya, Ayah, karena dia pernah melawan para penjaga."
"Jangan ulangi lagi perbuatan semacam itu, Kim Hok. Engkau sama sekali tidak boleh tinggi hati dan angkuh dan sama sekali tidak boleh memandang rendah orang lain. Ah, kalau saja sikapmu seperti Si Kong, alangkah akan bahagianya hatiku."
"Ampun, Ayah. Saya sudah sadar sekarang dan saya akan mencontoh Si Kong, saya akan belajar dengan tekun dan tidak akan memandang rendah orang lain."
"Begitu baru kakakku!"
Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kata Kim Lan girang. Tong Li Koan mengajak dua orang anaknya masuk kedalam, diam-diam berterima kasih sekali kepada Si Kong karena berkat anak pengelana itu keluarganya terbebas dari ancaman Ang-bi Mo-li dan lebih dari itu, puteranya telah menyadari kesalahannya dan akan berusaha mencontoh sikap Si Kong yang rendah hati.
Dalam perantauannya, pada suatu pagi yang cerah Si Kong mendaki sebuah bukit yang penuh dengan hutan pohon-pohon besar yang oleh penduduk di bukit-bukit lain di sebut Bukit Iblis. Justeru mendengar sebutan Bukit Iblis inilah yang membuat hati Si Kong tertarik sehingga pagi itu dia mendaki Bukit Iblis, sebuah di antara bukit-bukit di pegunungan Thian-san yang amat luas dan penuh perbukitan itu.
"Kenapa bukit itu disebut Bukit Iblis?"
Tanya kepada pemilik rumah di dusun pegunungan di mana dia numpang menginap.
"Entahlah, akan tetapi tidak ada seorangpun berani naik ke bukit yang kabarnya dihuni oleh iblis-iblis yang mengerikan. Kabarnya, dahulu setiap kali ada orang berani mendaki bukit itu, tidak kembali lagi ke bawah dan lenyap begitu saja."
Si Kong sudah mendapat pendidikan cukup dari Yok-sian Lo-kai dan Kwa Siucai. Dia seorang pemberani dan tidak percaya akan tahyul, maka mendengar keterangan itu, timbul keinginan hatinya untuk menyelidik keadaan Bukit Iblis itu. Setelah tiba di lereng teratas, Si Kong tersenyum sendiri. Penduduk dusun yang tahyul itu, pikirnya.
Di situ tidak ada apa-apa kecuali pemandangan yang indah sekali di pagi hari yang cerah itu! Apalagi iblis! Tidak nampak bayangannya sekalipun. Akan tetapi tiba-tiba Si Kong menahan langkahnya. Dia mendengar bunyi langkah orang di belakangnya! Dia cepat menengok dan tidak melihat siapa-siapa. Dia melangkah maju lagi dan kembali terdengar langkah dua orang, langkah yang terdengar lembut sekali. Kalau dia tidak mengetahui kekuatan pendengarannya dan menahan napas, dia tidak akan dapat mendengar langkah itu. Tepat di belakangnya! Cepat sekali dia menoleh ke belakang akan tetapi kembali dia kecelik. Tidak nampak seorangpun di belakangnya! Dia mulai bergidik ngeri. Benarkah ada iblis di tempat ini? Siang hari ada iblis berkeliaran? Ataukah manusia-manusia yang mengeluarkan bunyi langkah itu?
Kalau manusia tentu ilmunya meringankan tubuh sudah mencapai tingkat tinggi sekali. Dia mendaki terus ke puncak. Ternyata puncak bukit itu datar dan merupakan padang rumput yang cukup luas. Ketika dia tiba di atas, dia melihat belasan orang laki-laki yang bertubuh kekar sedang berkumpul, duduk mengelilingi batu besar di mana duduk seorang laki-laki tinggi besar seperti raksasa yang berusia kurang lebih empat puluh tahun. Dari sikap dan lagaknya, mudah diketahui bahwa laki-laki raksasa itu tentulah menjadi pemimpin belasan orang itu. Dia menyelinap di balik semak-semak dan mengintai. Kiranya mereka itu orang-orang biasa yang bertubuh kekar kuat dan bersikap kasar. Dan bukan iblis-iblis! Raksasa yang duduk di atas batu besar itu mengembangkan kedua lengannya dan berkata dengan suara lantang.
"Saudara-saudaraku, bagaimana kalian berpendapat tentang bukit ini kalau menjadi sarang kita yang baru? Ha-ha-ha, tempat ini sunyi tak pernah didatangi orang yang takut karena nama bukit ini Bukit Iblis. Ha-ha-ha, sekarang benar-benar menjadi Bukit Iblis dan iblisnya adalah kita."
Belasan orang ikut tertawa sehingga suara tawa mereka riuh rendah memenuhi permukaan bukit itu. Kalau ada orang mendengarnya, tentu akan mengira bahwa iblislah yang tertawa itu.
"Tempat ini baik sekali, twako! Kami merasa cocok untuk tinggal di sini. Di hutan-hutan bawah itu terdapat banyak kayu besar dan bambu, mudah bagi kita untuk membuat bangunan-bangunan untuk kita tinggal."
Pada saat itu terdengar suara orang terkekeh-kekeh saling sahutan. Dari suara tawa yang berbeda-beda itu dapat diketahui bahwa yang tertawa itu lebih dari satu orang. Kemudian nampak tiga sosok bayangan orang berkelebat dan tahu-tahu di situ telah berdiri tiga orang yang menyeramkan. Yang seorang tinggi kurus seperti tiang bambu, kepalanya juga panjang kecil sehingga nampak aneh sekali. Orang kedua pendek gendut dan segalanya yang ada pada orang ini bundar belaka, jauh sekali bedanya dengan orang pertama yang serba kecil panjang. Orang ketiga bertubuh katai seperti kanak-kanak, akan tetapi mukanya menunjukkan bahwa dia sudah tua, sedikitnya lima puluh tahun usianya dan lebih muda sedikit saja dari dua orang terdahulu. Tiga orang ini muncul sambil tertawa-tawa.
"Ha-ha-he-heh-heh!"
Orang pertama yang tinggi kurus berkata sambil tertawa-tawa.
"Segerombolan setan kecil berani mengganggu daerah kami, sungguh sudah bosan hidup!"
"Jangan, Sam-kwi (Setan ke Tiga), jangan bunuh. Mereka perlu untuk menjadi pelayan-pelayan kita. Kita bikin tempat kita ini menjadi istana dengan belasan orang pelayannya, heh-heh!"
"Benar apa yang dikatakan Thai-kwi (Setan Tertua), Sam-kwi. Akupun sudah bosan setiap hari mencari makanan sendiri!"
Mendengar ucapan tiga orang itu, si raksasa yang memimpin lima belas orang anak buahnya itu terbelalak.
"Apakah kalian yang berjuluk Liok-te Sam-kwi (Tiga Iblis Bumi)?"
Kakek yang gendut bundar tertawa.
"Ha-ha-ha, setan cilik ini cerdik juga, sudah dapat menduga siapa adanya kita. Setan-setan cilik, setelah kalian ketahui siapa kami, hayo lekas berlutut dan berjanji untuk menjadi pelayan-pelayan kami yang patuh!"
Raksasa yang berdiri di atas batu besar itu bangkit berdiri, tubuhnya yang tinggi besar penuh otot mengembang itu menyeramkan dan dia berkata dengan lantang.
"Liok-te Sam-kwi, orang lain boleh merasa takut kepada kalian bertiga. Akan tetapi kami tidak takut kepada kalian. Kalau kalian tidak cepat pergi dari sini, kami enam belas orang pasti akan menyingkirkan kalian dengan paksa."
Thai-kwi yang bertubuh pendek gendut itu tertawa mendengar ucapan ini.
"Ji-kwi dan Sam-kwi, kalian mendengar bualan itu? Mari kita hajar mereka agar mengenal siapa kita, akan tetapi jangan dibunuh, kita membutuhkan tenaga mereka untuk melayani kita!"
Kepala gerombolan itu meloncat turun dari atas batu besar, mencabut sebatang golok besar dari punggungnya dan memberi aba-aba kepada para anak buahnya,
"Serbu...! Bunuh mereka...!"
Lima belas orang anak buahnya juga sudah mencabut golok masing-masing dan dengan ganas mereka menyerang tiga orang aneh itu. Si Kong dalam persembunyainnya melihat betapa tiga orang itu kelihatan tenang saja, akan tetapi setelah serangan keroyokan itu dilakukan, mereka bergerak cepat mengelak dan membalas dengan tamparan dan tendangan mereka itu. Hebat sekali memang gerakan mereka itu. Mereka tidak memegang senjata akan tetapi gerakan mereka demikian cepat sehingga sukar diikuti dengan mata, tahu-tahu para pengeroyok itu berpelantingan terkena sambaran tangan atau kaki mereka. Golok-golok beterbangan terlepas dari tangan mereka dan dalam waktu pendek saja enam belas orang itu sudah roboh semua! Diam-diam Si Kong memandang dengan kagum. Di antara tiga orang itu dia melihat si pendek gendut yang paling lihai.
Akan tetapi yang di herankan di antara tiga orang ini walaupun memiliki ilmu meringankan tubuh yang cukup tinggi, masih belum mampu melangkah seperti yang didengarnya ketika mendaki bukit ini tadi. Langkah-langkah orang di belakangnya akan tetapi begitu dia menengok, tidak nampak orangnya! Agaknya ginkang tiga orang ini belum setinggi yang dia dengar langkahnya tadi. Betapapun juga, harus diakui bahwa tiga orang itu lihai sekali. Dikeroyok enam belas orang yang rata-rata memiliki tenaga besar, begitu mudahnya bagi tiga orang itu untuk merobohkan mereka semua. Raksasa itu agaknya terkena tendangan yang paling parah karena dia tidak dapat segera bangun, hanya mengaduh-aduh sambil memegang dadanya yang tertendang oleh kaki si pendek gendut.
"Ha-ha-ha-ha!"
Tiga orang itu kini tertawa-tawa.
"Apakah kalian sudah mengenal kami?"
Si pendek gendut yang menjadi ornag pertama dari Tiga Iblis itu menghampiri pimpinan belasan orang itu. Raksasa itu maklum bahwa dia dan teman-temannya tidak akan menang melawan tiga Datuk Iblis itu, maka diapun terpaksa mengakui kekalahannya daripada dibunuh.
"Kami telah kalah dan meyerah atas pimpinan sam-wi."
"Bagus! Mulai sekarang kalian enam belas orang menjadi anak buah kami, siapa berani membangkang akan kami bunuh!"
Kata pula si pendek gendut dengan girang. Si Kong menyaksikan semua ini dan dia tidak ingin mencampuri. Itu adalah urusan orang-orang kang-ouw yang sesat saling berebut kekuasaan di Bukit Iblis itu.
Tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya dan dia tidak ingin mencampuri. Biarlah kalau tiga orang Iblis ini menguasai bukit ini dan mengambil belasan orang itu sebagai anak buah mereka. Akan tetapi selagi dia hendak pergi menyingkir dari tempat itu agar jangan terlibat, tiba-tiba terdengar lengkingan panjang yang membuat dia terkejut dan terpaksa Si Kong tidak jadi pergi, tetap mendekam di balik semak-semak untuk melihat apa yang akan terjadi. Suara melengking tinggi itu bukan saja nyaring, akan tetapi juga mengandung getaran yang membuat semua orang yang mendengarnya merasa jantung mereka terguncang hebat. belasan orang yang tadi kena hajar dan belum pulih benar, mendengar lengkingan ini menjadi panik dan mereka roboh kembali karena tidak dapat menahan guncangan jantung mereka.
Adapun tiga orang Datuk Iblis itu juga nampak terkejut dan mereka memejamkan mata, mengerahkan sinkang untuk melindungi jantung mereka dan menolak pengaruh yang hebat dari lengkingan panjang itu. Si Kong sendiri menahan napas dan mengerahkan sinkang untuk melindungi jantungnya. Belum habis suara melengking itu, disusul suara gerengan yang juga amat hebat. Gerengan ini seperti gerengan harimau yang mengguncangkan jantung. Dua suara yang sama kuat getarannya ini seperti saling sahutan, dan akhirnya dua suara ini berhenti dan entah dari mana datangnya, di atas batu besar yang tadi diduduki raksasa pemimpin gerombolan itu telah berdiri dua orang kakek. Yang seorang berusia sedikitnya enam puluh tahun, kepalanya besar sekali, sungguh menyolok karena berbeda dengan tubuhnya yang kecil. Kedua telinganya juga lebar bukan seperti telinga manusia biasa, kepalanya botak dan dia mengenakan baju serba putih,
Tangan kanannya memegang sebuah tongkat kayu berbentuk ular dan panjangnya sampai kepundaknya. Orang kedua juga aneh. Kepalanya penuh rambut yang tebal dan panjang sampai ke punggung, mukanya juga penuh rambut seperti muka monyet, kedua lengannya panjang sekali sampai melebihi lututnya ketika bergantung di kanan kirinya. Tangan kanannya memegang sebatang pecut seperti yang biasa dipegang oleh para penggembala ternak. Pakaiannya serba hitam. Si Kong terkejut sekali melihat mereka. Dia sendiri tidak tahu kapan mereka itu datang, tahu-tahu telah berada di atas batu itu. Sekarang tahulah dia siapa yang tadi terdengar langkahnya akan tetapi tidak nampak orangnya. Tentu kedua orang kakek aneh ini. Mereka memiliki ginkang yang sukar di ukur tingginya.
Dia sendiri yang sudah mahir ilmu Liok-te Hui-teng yang membuat dia dapat bergerak seperti terbang cepatnya, sama sekali tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan dua orang kakek ini. Liok-te Sam-kwi (Tiga Setan Bumi) itu juga terkejut melihat munculnya dua orang aneh ini. Mereka bertiga adalah tokoh-tokoh dunia sesat yang terkenal namun belum pernah mereka bertemu dengan dua orang ini. Dan melihat kemunculan mereka, tiga orang itu teringat akan dua nama yang amat ditakuti para tokoh persilatan. Dua nama yang hanya dikenal nama akan tetapi jarang ada orang bertemu dengan dua orang ini. Thai-kwi, orang pertama dari Liok-te Sam-kwi yang pendek gendut, segera memberi hormat dari tempat di mana dia berdiri. Dia mengangkat kedua tangan ke depan dada sebagai penghormatan dan dengan suaranya yang besar dia berkata,
Kumbang Penghisap Kembang Eps 5 Kumbang Penghisap Kembang Eps 14 Kumbang Penghisap Kembang Eps 11