Pendekar Kelana 12
Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo Bagian 12
"Bagaimana sampai kakek Ceng thian Sin meninggal dunia, Hui Lan? Apakah karena sakit dan karena usia tua?"
"Boleh di bilang demikian, akan tetapi juga karena adanya orang-orang yang hendak membalas dendam kepadanya. Tujuh orang datuk datang ke pulau teratai merah menantang kakek buyut. Mereka semua dapat di kalahkan oleh kakek buyut akan tetapi kakek buyut yang sudah tua dan mulai lemah menderita luka berat yang membawanya kepada kematiannya."
Cia Kui Bu menghela napas napas panjang.
"Permusuhan dan permusuhan, saling membalas dendam. Sampai kapankah berakhirnya? Apakah kita juga harus membalas dendam kepada mereka yang membalas dendam?"
Hui Lan tersenyum.
"Tentu saja tidak begitu jalan pikiran kita, paman. Kita tidak membalas dendam, akan tetapi kita selalu menentang segala bentuk perbuatan jahat. Kalau kita membasmi kejahatan lalu ada keturunan orang jahat membalas dendam, tentu saja kita layani, karena keturunan yang membalaskan dendam kematian orang tua mereka yang jahat, sudah pasti bukan orang baik pula."
"Pekerjaan seorang piauwsu penuh bahaya dan permusuhan, Hui Lan. Oleh karena itu, aku ingin berganti perusahaan, tidak lagi menjadi piauwsu, melainkan menjadi pedagang. Aku telah mengumpulkan modal dan aku seringkali mengangkut barang dagangan sehingga aku tahu barang apa yang harus di jual ke sana. Dengan demikian akupun dapat tetap memberi pekerjaan kepada para pembantuku."
"Berganti perusahaan baik-baik saja, paman. Akan tetapi kurasa, menjadi piauwsu juga baik. Adapun halangan atau bahaya itu akan selalu menimpa manusia di manapun dia berada dan pekerjaan apapun yang di lakukannya. Yang jelas, semua yang merintangi pekerjaan piauwsu adalah para perampok dan maling, para orang jahat."
Kembali Cia Kui Bu menghela napas panjang.
"Benar juga pendapatmu, Hui Lan. Biarlah kulanjutkan pekerjaan piauwsu ini. Akan tetapi bagaimana dengan urusan peti emas itu? Bagaimana kalau ia datang lagi untuk meminta ganti?"
"Aku kira tidak, paman. Ang-bi Mo-li tentu tahu bahwa akal busuknya telah kita ketahui dan ia tidak akan begitu bodoh untuk datang lagi setelah ia mendapat hajaran keras tadi. Lain dari pada itu, paman, apakah paman juga mendengar tentang pek-lui-kiam?"
"Pek-lui-kiam yang di pakai perebutan di dunia kangouw itu? Tentu saja aku juga mendengarnya, karena hal itu ramai di bicarakan orang di dunia persilatan. Menurut kabar angin, barang siapa dapat memiliki pedang itu, dia akan menjagoi seluruh dunia dan dapat di angkat atau di pilih menjadi bengcu kelak."
"Ah aku tidak percaya, paman. Kelihaian seseorang tergantung dari kepandaian orang itu sendiri, bukan dari senjatanya walaupun senjata itu membantunya. Orang yang mempunyai ilmu kepandaian setingkat mungkin akan menang dengan menggunakan sebuah pedang pusaka yang ampuh, akan tetapi bagaimana ampuhpun senjata itu, kalau dia berhadapan dengan orang yang tingkatnya jauh lebih tinggi, dia akan kalah juga."
"Pendapatmu itu benar, Hui Lan. Aku juga tidak menginginkan pedang pusaka itu kalau untuk itu aku harus berebutan dengan banyak orang."
"Akan tetapi besar bahayanya kalau pedang pusaka yang kabarnya sangat ampuh itu terjatuh ke tangan seorang datuk jahat yang berilmu tinggi. Dia seperti harimau yang tumbuh sayap, akan berbahaya sekali bagi manusia pada umumnya dan dunia persilatan pada khususnya. Kewajiban kita adalah mencegah terjadinya hal itu, paman. Kalau pedang itu terjatuh ke tangan seorang pendekar gagah perkasa yang budiman, hal itu sudah benar. Akan tetapi kalau terjatuh kepada seorang iblis, aku harus menentangnya!"
"Ada berita bahwa pedang pusaka itu sekarang berada di tangan Ang I Sianjin, ketua dari kwi-kiauw-pang di kwi-liong-san. Entah benar atau tidak berita itu, akan tetapi kalau benar terjatuh ke tangan ketua kwi-jiauw-pang, dunia kang ouw akan menjadi semakin keruh. Kwi-jiauw-pang terkenal sebagai perkumpulan sesat yang amat kuat dan orang-orangnya terkenal kejam. Apa lagi karena kwi-jiauw-pang kabarnya berhubungan dekat dengan perkumpulan besar pek-lian-kauw."
"Hemm, kalau begitu berbahaya sekali, paman. Nanti setelah singgah ke tung-ciu, ke rumah paman Pek Han Siong, aku ingin menyelidiki ke kwi-liong-san."
"Aih, jangan sembrono, Hui Lan. Kwi-jiauw-pang di kwi-liong-san benar-benar kuat, banyak sekali anak buahnya. Kalau engkau hanya seorang diri saja pergi ke sana, amatlah berbahaya bagimu."
"Tentu saja aku tidak akan bertindak sembrono, paman. Aku hanya akan menyelidiki apakah benar Pek-lui-kiam berada di sana. Aku tidak akan melibatkan diri dalam pertempuran dengan mereka."
"Kalau begitu hatiku lega, Hui Lan. Aku percaya bahwa engkau telah mewarisi banyak ilmu silat yang lihai, akan tetapi kalau hanya seorang diri menghadapi puluhan, bahkan ratusan anak buah kwi-jiauw-pang, sungguh perbuatan itu tidak bijaksana."
Pada keesokan harinya, Hui Lan berpamit dari pamannya dan melanjutkan perjalanan ke kota Tung-ciu di sebelah timur kota raja. Ia hendak memenuhi pesan Ayahnya agar singgah ke rumah Pek Han Siong yang menjadi sahabat baik seperti saudara sendiri dari Ayahnya. Akan tetapi karena perjalanan ke Tung-ciu melewati kota raja, ia hendak singgah dulu di kota raja.
Di kota raja tinggal bibinya, adik Ayahnya, yang bernama mayang, peranakan tibet sedangkan Ayahnya adalah kakeknya. Jadi mayang adalah bibi tirinya yang hubungannya amat akrab dengan Ayahnya. Bibinya itu kini menjadi isteri seorang bangsawan, yaitu Cang Sun. sudah lewat dua tahun sejak Cang Sun, mayang, dan Tang Cin Nio, isterinya kedua, datang berkunjung ke Cin-ling-pai. Masih teringat ia betapa gembiranya ketika itu. Ia berkenalan dengan anak-anak mereka. Yang pertama adalah Cang Hok Thian, seorang pemuda putera Mayang, empat tahun lebih tua darinya. Yang kedua adalah puteri Tang Cin Nio bernama Cang Wi Mei, setahun lebih tua darinya. Biarpun mereka hanya tinggal setengah bulan di Cin-ling-san, kedua orang muda itu telah menjadi sahabat akrabnya. Setelah meninggalkan Pao-ting, Hui Lan lalu melakukan perjalanan ke utara, ke kota raja.
Pada waktu itu, dalam tahun 1575, kerajaan Beng masih namapak kuat walaupun terjadi pemberontakan di selatan dan barat. Bahkan kini dari timur kekuasaan jepang mulai mendesak dan berebutan dengan orang-orang kulit putih yang tidak pernah jera walaupun belum lama ini pemerintah telah menghancurkan orang-orang portugis dari daratan Cina. Pada waktu kaisarnya adalah kaisar Wan Li (1572-1620), dan dia baru menjabat sebagai kaisar selama tiga tahun. Seperti juga kaisar yang lalu, kaisar Wan Li berusaha keras untuk mempertahankan kedaulatan dan wilayahnya dari desakan orang asing. Kekuasaan dari juga berulang kali mencoba menerobos pertahanan pasukan Beng. Bahkan beberapa tahun yang lalu pernah ada pasukan berani mati bangsa-bangsa Nomad di utara menerobos masuk dan berada di luar tembok kota raja Peking. Akan tetapi akhirnya pasukan berani mati dari utara itu dapat di sapu bersih dan selebihnya melarikan diri cerai berai.
Ada yang menggabungkan diri dengan gerombolan penjahat, bahkan ada yang melarikan diri ke pantai timur dan bergabung dengan orang-orang jepang. Dua orang menteri utama yang amat berjasa selama pemerintahan Kaisar Cia Ceng (1520-1566) merupakan menteri-menteri setia yang bijaksana dan pandai. Setelah mereka meninggal dunia, kerajaan Beng kehilangan pemimpin yang pandai dan bijaksana. Akan tetapi kini terdapat seorang yang diangkat menjadi penasihat kaisar Wan Li, di jadikan penasihat karena orang ini juga memiliki pengetahuan luas dan amat setia kepada kerajaan. Dia ini bukan lain adalah Cang Sun, putera dari mendiang menteri Cang Ku Ceng. Sebagai seorang putera menteri, seorang bangsawan, sejak mudanya Cang Sun telah berkenalan dengan para pendekar yang gagah perkasa dan berjiwa patriot. Biarpun Cang Sun sendiri seorang ahli sastra dan tidak mempelajari ilmu silat,
Namun isterinya yang pertama adalah seorang ahli silat tingkat tinggi, yaitu Mayang, bibi dari Hui Lan. Oleh karena itu, kedua orang anaknya, seorang putera dan seorang puteri, di gembleng oleh Mayang dan menjadi orang-orang muda yang pandai ilmu silat. Kaisar Wan Li yang mengetahui bahwa Cang Sun mewarisi kesetiaan dan kebiksanaan Ayahnya, lalu mengangkat Cang Sun menjadi menteri yang bertugas menasihati kaisar dalam urusan pemerintahan, baik kedalam maupun keluar, karena itu, kekuasaan menteri Cang Sun amat besar. Akan tetapi, seperti mendiang Ayahnya dahulu, menteri Cang Sun bersikap keras terhadap mereka yang ingin menyuapnya. Dia memerintahkan pasukan menangkap mereka yang hendak menyuapnya itu dan menjebloskan ke dalam penjara. Semenjak itu tidak ada lagi yang berani main-main terhadap menteri ini.
Karena menteri Cang Sun bersikap keras dan galak terhadap korupsi, sedikitpun tidak mau menggunakan kedudukannya untuk kepentingan sendiri, semua bawahannya juga bertindak jujur dan tidak ada yang berani melakukan penyelewengan. Sesungguhnyalah, untuk menjaga agar pohon itu subur dan menghasilkan bunga dan buah, yang perlu di pelihara dan di jaga adalah akar dan batangnya. Demikian pula kalau menghendaki anak buah yang yang taat dan jujur, pemimpinnya lebih dulu harus jujur dan tertib. Seorang pemimpin yang bijaksana dapat menindak bawahannya yang menyeleweng, sebaliknya seorang pemimpin yang korup, bagaimana dia dapat menindak bawahannya yang melakukan penyelewengan? Menteri Cang berhubungan dekat sekali dengan para pembesar lainnya, juga dengan panglima-panglima perang.
Melihat perkembangan yang berbahaya dari bangsa jepang, menteri Cang Sun menasihati kaisar untuk mengirim pasukan dan menjaga pantai timur. Namun sukar sekali membendung menyusupnya orang-orang jepang ke daratan karena kulit dan wajah mereka tidak ada bedanya dengan pribumi. Ketika kaisar Wan Li mengirim pasukan ke selatan untuk menaklukkan karena Annam, Siam, dan Birma, menteri Cang Sun merasa tidak setuju. Yang terpenting adalah menjaga kedaulatan di negara sendiri, bukan memerangi kerajaan lain untuk di talukkan! Akhirnya, setelah membujuk berulang kali, akhirnya usaha menteri Cang Sun berhasil juga. Pasukan yang berperang di selatan itu di tarik kembali untuk memperkuat penjagaan di timur dan utara. Setelah demikian, barulah keadaan menjadi agak tenteram.
Pada suatau hari, Cang Sun menonton putera dan puterinya yang sedang berlatih silat di bawah petunjuk isteri pertamanya, Mayang. Dalam hal mendidik dua orang muda itu, Mayang tidak berlaku berat sebelah, tidak mengutamakan puteranya sendiri yang bernama Cang Hok Thian itu. Apa lagi ketika dia mendapat kenyataan bahwa Cang Wi Mei lebih cocok bermain pedang dari pada Cang Hok Thian, ia menurunkan ilmu pedang kepada puteri tirinya itu. Kepada Hok Thia ia mengajarkan ilmu silat tangan kosong yang hebat sekali, yaitu yang di sebut Hek-coa Tok-ciang (Tangan Beracun Ular Hitam). Adapun untuk senjatanya, Hok Thian lebih cocok menggunakan sabuk rantai yang dipakainya sebagai ikat pinggang.
Rantai ini terbuat dari baja murni, agak tipis dan panjangnya dua meter. bIarpun berupa rantai baja, akan tetapi karena tipis dan di gerakkan oleh tangan yang mengandung sin-kang, senjata ini dapat menjadi tajam seperti pedang! Kini kedua orang kakak beradik ini latihan bersama, bertanding dengan tangan kosong. Cang Sun duduk di atas kursi menonton. Dia tidak belajar ilmu silat, akan tetapi pergaulannya erat dengan para ahli silat sehingga dia dapat menilai baik buruknya permainan silat. Ketika melihat putera dan puterinya bertanding dalam suatu latihan bersama, Cang Sun dapat menilai bahwa Cang Wi Mei lebih gesit dan ringan tubuhnya di bandingkan kakaknya. Biarpun dalam hal tenaga Cang Hok Thian masih menang setingkat, namun karena kalah cepat gerakannya. Mendadak Wi Mei berseru,
"Kena!!"
Dan tubuhnya meloncat kebelakang. Hok Thian tersenyum dan mengulurkan tangan untuk minta kembali kain pengikat rambutnya yang sudah berada di tangan adiknya.
"Gerakanmu amat cepat, Mei-moi, aku tidak dapat mengikutimu!"
Kata Hok Thian dengan sejujurnya.
"Tenagamu lebih kuat dariku, Thian-ko, kalau aku tidak menggunakan kecepatan, aku pasti kalah olehmu."
Jawab Wi Mei dengan jujur pula.
"Gerakan cepat saja tanpa di sertai tenaga sin-kang yang memadai, masih kurang daya hasilnya, Wi Mei. Engkau harus lebih banyak bersamadhi dan menghimpun tenaga saktimu. Dan engkau Hok Thian. Gerakanmu sudah cukup cepat, hanya masih kalah setingkat oleh adikmu. Karena itu, engkau harus lebih teliti dalam pertahananmu, sehingga kalau menghadapi lawan yang lebih cepat, engkau dapat melindungi diri lebih baik. engkau perbanyak latihanmu dalam hal pertahanan itu."
Tiba-tiba percakapan mereka terhenti dengan munculnya seorang prajurit yang bertugas menjaga di luar. Dia memberi hormat kepada menteri Cang Sun dan melapor bahwa di luar ada seorang tamu wanita yang bernama Tang Hui Lan mohon menghadap.
"Adik Hui Lan? Ah, aku girang sekali!"
Kata Wi mei. Cang Hok Thian juga berseri wajahnya mendengar nama itu. Mayang segera berkata kepada penjaga itu.
"Cepat persilakan ia masuk!"
Penjaga itu tidak langsung pergi melainkan memandang kepada menteri Cang Sun. setelah pembesar ini menganggukkan kepala, barulah dia memberi horamt dan pergi keluar. Tak lama kemudian muncullah Hui Lan dalam ruangan itu. Ia segera memberi hormat kepada keluarga itu, mengangkat kedua tangan di depan dada dan berkata gembira,
"Paman, bibi...!"
"Ah, Hui Lan. Dengan siapa engkau datang? Dari mana saja engkau?"
Tanya Mayang dengan gembira sekali.
"Saya hanya sendiri bibi, sebelum singgah kesini saya telah mengunjungi paman Cia Kui Bu."
Mereka lalu bercakap-cakap dengan akrab sekali, akan tetapi ketika Hui Lan menceritakan tentang, kematian kakek buyutnya, Ceng Thian Sin, semua orang terdiam karena terkejut dan ikut berduka.
"Ah, siapa yang mengira bahwa kakek Ceng Thian Sin yang memiliki kesaktian luar biasa itu akhirnya meninggal dunia juga. Hal ini mengingatkan kepada kita bahwa semua orang, tidak perduli dia itu pandai atau berkedudukan tinggi sekalipun, pada suatu hari tentu akan mati dan kembali kepada asal mulanya. Sayang kami tidak tahu akan kematiannya sehingga kami tidak dapat melayat. Apakah ketika meninggal dia masih berada di pulau Teratai Merah? Lalu siapa yang berada dengan dia di saat terakhirnya? Dan bagaimana kematiannya, apakah karena sakit dan usia tua?"
"Kebetulan saja saya dan Ayah ibu berkunjung ke pulau Teratai Merah. Kedatangan kami agak terlambat karena kakek-buyut sudah berada diambang kematian. Kakek-buyut meninggal karena usia tua dan dalam keadaan sudah lemah itu terpaksa dia melawan tujuh orang yang datang menantangnya. Dia berhasil mengusir tujuh orang itu, akan tetapi dia sendiri menderita luka dalam karena dalam keadaan sudah tua sekali itu dia mengerahkan sin-kangnya."
Cang Sun menghela napas panjang.
"Menyedihkan sekali. Dalam usia yang sudah lewat seratus tahun itu pendekar Sadis itu masih saja di musuhi orang! Dan orang-orang jahat dan sesat itu masih ada saja sepanjang masa, kejahatan akan selalu timbul sebagai imbangan dari kebaikan. Siapakah tujuh orang yang memusuhinya itu, Hui Lan?"
"Menurut seorang murid kakek-buyut yang hidup berdua saja dengan kakek-buyut di pulau itu, yang datang menantang kakek-buyut adalah dua orang datuk dari barat berjuluk Toa Ok dan Ji Ok, bersama kelima Bu-tek ngo-sian yang juga datang dari barat."
Mayang mengerutkan alisnya. Ia sendiri berasal dari barat akan tetapi semenjak menjadi isteri Cang Sun ia tidak pernah lagi pergi ke tibet maka ia tidak pernah mendengar akan nama datuk-datuk yang di sebut itu.
"Bagaimana keadaan Ayah dan ibumu Hui Lan? Aku sudah rindu sekali kepada mereka!"
Kata Mayang, mengalihkan percakapan dari berita yang tidak menyenangkan itu. Hui Lan tahu dari Ayah ibunya bahwa bibinya ini amat sayang kepada Ayahnya. Ia pun menjawab dengan nada suara gembira.
"Mereka baik-baik saja bibi, juga kakek Cia Hui Song dan nenek Ceng Sui Cin dalam keadaan sehat. Keadaan Cin-ling-pai pada umumnya baik dan tidak pernah terjadi hal-hal yang tidak menyenangkan."
"Syukurlah, Hui Lan. Aku girang mendengar itu. Sayang sekali bahwa pamanmu selalu sibuk dengan pekerjaaannya. Negara sedang di rong-rong oleh banyak persoalan pemberontakan dan kekacauan di perbatasan sehingga kami tidak memiliki waktu luang untuk berkunjung ke Cin-ling-pai."
"Mendengar berita bahwa mereka dalam keadaan sehat merupakan hal yang menyenangkan sekali,"
Kata Cang Sun menghibur.
"Tak lama lagi tentu Cin-ling-pai akan mengadakan pesta pernikahan Hui Lan dan kesempatan itu boleh kau pergunakan untuk berkunjung ke sana bersama dua orang anak kita."
Wajah Hui Lan berubah merah mendengar ucapan pamannya itu, akan tetapi ia tidak marah karena ucapan itu di keluarkan untuk menghibur bibinya dan bukan untuk berolok-olok.
"Bagus sekali!"
Wi Mei bersorak.
"Adik Hui Lan, kapankah engkau akan menikah? Aku sudah ingin sekali berkunjung ke Cin-ling-pai!"
Tentu saja Hui Lan tersipu malu.
"Ah, sama sekali belum ada rencana untuk itu, enci Wi Mei engkau dan kakak Hok Thian tentu akan menikah lebih dulu dari pada aku, dan untuk merayakan hari baik kalian itu, Ayah ibu dan kakek nenek tentu akan datang ke sini!"
Kini Wi Mei menjadi merah mukanya dan Thian Hok juga tersipu.
"Kami juga belum ada rencana untuk menikah!"
Kata Wi Mei. Tiba-tiba Hok Thian berkata kepada orang tuanya.
"Ayah, bagaimana kalau kami berdua ikut dengan adik Hui Lan berkunjung ke Cin-ling-pai? Kami juga ingin melakukan perjalanan dan menambah pengalaman kami!"
"Betul sekali, Ayah. Saya juga ingin sekali melakukan perjalanan seperti adik Hui Lan, melihat-lihat dunia kangouw!"
Kata Cang Wi Mei.
"Ibu tentu setuju, bukan?"
Pada saat itu, seorang wanita berusia empat puluh lima tahun muncul dari dalam memasuki ruangan itu.
"Hemm, apakah yang harus di setujui itu, Wi Mei?"
Wanita itu adalah Tang Cin Nio, isteri kedua dari Cang Sun. Hui lan segera bangkit berdiri memberi hormat.
"Ah, engkau Hui Lan, bukan? Sudah menjadi seorang gadis yang gagah perkasa dan cantik jelita!"
Tang Cin Nio berkata gembira dan ia pun ikut duduk dekat Mayang.
"Kedua orang anak kita ini minta untuk di perkenankan pergi ke Cin-ling-pai bersama Hui Lan,"
Kata Mayang kepadanya. Tang Cin Nio mengerutkan alisnya dan ia memandang kepada suaminya lalu berkata,
"Agaknya tidak bijaksana kalau membolehkan mereka melakukan perjalanan sejauh itu tanpa pengawalan pasukan. Aku khawatir kalau terjadi hal yang tidak baik kepada mereka."
"Aku sendiri juga agak keberatan. Biarpun selama ini mereka sudah mempelajari beberapa macam ilmu silat, namun di dalam dunia kangouw terdapat banyak sekali orang jahat yang tinggi ilmu silatnya."
Mendengar ucapan kedua orang ibunya itu, Wi Mei merengek.
"Takut apa? Bukankah adik Hui Lan juga melakukan perjalanan seorang diri dan tidak ada bahaya menimpa dirinya? Kalau kami berdua pergi bersamanya, bukankah kami bertiga cukup kuat membela diri?"
Cang Sun yang mendengar ucapan kedua orang isterinya itu, lalu berkata kepada kedua orang anaknya.
"Hui Lan lagi. Ia tentu telah menguasai semua ilmu Ayah ibunya yang amat tinggi. Dan pula, kalau sampai ada yang mendengar bahwa kalian berdua adalah anakku, tentu banyak orang sesat yang berusaha untuk menawan kalian, untuk di jadikan sandera. Ketahuilah bahwa banyak sekali orang yang memusuhi aku, terutama yang melakukan pemberontakan. Tidak, kalian tidak boleh pergi kecuali kalau membawa pasukan pengawal yang kaut."
Cang Hok Thian dan Cang Wi Mei bersungut-sungut dan melihat ini, Hui Lan menghibur.
"Kakak Cang Hok Thian dan enci Cang Wi Mei, dari sini aku tidak akan terus langsung pulang ke Cin-ling-pai. Aku hendak berkunjung ke rumah paman Pek Han Siong di Tung-ciu. Dan aku masih hendak merantau entah kemana sebelum aku kembali ke Cin-ling-pai. Sebaliknya kalau kalian menurut kata orang tuamu, karena kalau kalian ikut aku lalu terjadi sesuatu atas diri kalian berdua, aku yang merasa tidak enak sekali."
Hui Lan tinggal di istana menteri Cang selama tiga hari. Selama itu pergaulannya dengan kedua orang putera menteri itu menjadi semakin akrab. Mereka bahkan latihan silat bersama dan dalam kesempatan ini Hok Thian dan Wi Mei mendapat petunjuk yang berharga dari Hui Lan. Tingkat kepandaian Hui Lan jauh lebih tinggi dari pada tingkat mereka dan kelebihan ini membuat Hok Thian merasa rendah diri. Sebetulnya, di dalam hatinya Hok Thian kagum dan jatuh cinta kepada Hui Lan. Akan tetapi rasa rendah diri karena Hui Lan jauh lebih tangguh darinya membuat dia menekan rasa cintanya dan menganggap dirinya tidak patut menjadi pasangan Hui Lan. Setelah tiga hari, Hui Lan berpamit dari keluarga Menteri Cang itu untuk melanjutkan perjalanannya menuju Tung-ciu, tempat tinggal Pek Han Siong dan keluarganya.
Seorang pemuda menunggang kudanya yang berbulu putih menuruni sebuah lereng bukit. Kuda itu besar dan bagus sekali, nampak kuat dan gagah. Penunggangnya juga gagah dan tampan, duduk dengan tegak di atas kudanya yang dibiarkan mencongklang seenaknya. Dia tidak nampak tergesa-gesa, memandang ke kanan kiri menikmati keindahan pemandangan dari lereng bukit itu. Pemuda itu berpakaian serba indah seperti seorang kongcu yang kaya raya, berpakaian seperti seorang terpelajar, dan melihat rambutnya yang licin dan rapi, pakaiannya yang mewah, sepatunya yang baru, ada kesan pesolek pada diri pemuda ini. Pemuda ini mengenakan sebuah topi yang bagus untuk melindungi kepalanya dari sinar matahari.
Di punggungnya terdapat sebatang pedang sehingga dia nampak gagah dan tampan. Wajahnya bundar, matanya lebar, hidungnya mancung dan bibirnya selalu tersungging senyuman mengejek sehingga dia nampak tinggi hati. Setelah tiba di bawah lereng, di luar sebuah hutan, dia menghentikan kudanya dan menoleh ke kiri. Dari hutan itu muncul sepuluh orang yang segera memberi hormat kepada pemuda itu. Mereka adalah orang-orang yang kelihatan kasar dan bertubuh tegap.
"Selamat siang, kong cu!"
Kata yang menjadi pemimpin sepuluh orang itu.
"Ada berita apa? Kenapa kalian menemui aku? Sudah kukatakan jangan sekali-kali bertemu denganku di tempat umum."
"Maaf, kongcu. Disini aman, sepi tidak ada orang lain. Kami hanya ingin melaporkan bahwa di depan sana ada serombongan orang wanita memikul sebuah joli. Kami telah mengintai dan melihat bahwa ketika joli tersingkap, didalamnya duduk seorang gadis yang kecantikannya seperti seorang puteri raja. Mungkin kongcu akan tertarik, maka kami sengaja menghadang kongcu disini."
"Hemm, siapa gadis itu?"
"Kami tidak tahu, kongcu. Para pengawalnya juga rata-rata wanita cantik."
"Baik, hendak kulihat orang macam apa adanya gadis itu! Kalian boleh muncul dan mengganggunya sebagai perampok biasa. Kalau aku muncul kalian harus melarikan diri ketakutan."
"Baik, kongcu. Kami mengerti apa yang kongcu maksudkan!"
Kata pemimpin rombongan itu dan mereka lalu berloncatan menghilang ke dalam hutan. Pemuda tampan itu melanjutkan jalan kudanya, terus ke depan dengan santai dan seenaknya. Dari tempat yang agak tinggi dia memandang ke depan dan benar saja. Dia melihat empat orang wanita muda memikul sebuah joli berwarna hijau dan ada dua orang gadis lain yang berjalan di belakang joli itu.
Dari cara mereka berjalan, dapat di duga bahwa para wanita itu bukanlah orang sembarangan. Langkah mereka ringan dan tegap. Joli itu namapak ringan sekali bagi mereka. Dan di punggung enam orang wanita itu nampak gagang sebatang pedang. Pemuda itu tertarik sekali dan menonton dari tempat tinggi itu. Kemudian muncullah sepuluh orang anak buahnya yang tadi menghadangnya. sepuluh orang itu cengar-cengir menghadang rombongan wanita itu dan pemimpinnya mengangkat tangan kanan keatas tanda bahwa rombongan pemikul joli itu harus berhenti. Dua orang wanita yang tadinya berjalan di belakang joli, kini sudah berpindah ke depan. Para pemikul joli tetap berhenti akan tetapi tidak menurunkan joli. Dua orang gadis pengawal itu memandang dengan alis mata berkerut, dan seorang diantara mereka bertanya, suaranya ketus,
"Kalian mau apa menghadang perjalanan kami?"
Pemimpin rombongan orang laki-laki itu, yang bertubuh tinggi besar, tertawa dan teman-temannya juga tertawa cengar-cengir dengan sikap kurang ajar sekali.
"Ha-ha-ha, masih hendak bertanya lagi? Kami tidak minta banyak. Hanya lepaskan semua perhiasan dan pakaian kalian, berikan kepada kami termasuk nona yang berada di dalam joli. Dan kalian
(Lanjut ke Jilid 12)
Pendekar Kelana (Seri ke 12 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 12
bertujuh ikut dengan kami bersenang-senang!"
Ucapan itu sudah jelas sekali. Yang berada di dalam joli itu bukan lain adalah Siangkoan Cu Yin. Seperti kita ketahui, ia ditingggalkan oleh Si Kong dan gadis yang keras hati itu nekat hendak pergi ke kwi-liong-san untuk mencari dan menyusul Si Kong yang ia tahu tentu akan pergi ke sana pula. Dari dalam jolinya Cu Yin dapat mengintai keluar dan tahu bahwa ada segerombolan perampok hendak mengganggu.
"Turunkan joli!"
Perintahnya dan empat orang pemikul lalu menurunkan joli. sepuluh orang lelaki itu tertawa-tawa gembira. Mereka mengira bahwa rombongan wanita ini tentu akan menyerah kepada mereka karena takut. Karena nona mereka minta joli di turunkan, hal itu berarti nona mereka akan menghadapi sendiri sepuluh orang itu. Enam orang wanita pengawal itupun berdiri di kanan kiri joli, masing-masing tiga orang dan mereka sudah siap siaga untuk berkelahi kalau nona mereka memerintahkan. Cu Yin membuka penutup joli dan semua orang laki-laki yang berdiri di situ mengeluarkan seruan kagum. Gadis dalam joli itu cantik jelita bukan main.
Akan tetapi, Cu Yin tanpa berkata apa-apa sudah menggerakkan kedua tangannya dan meluncur empat batang anak panah ke arah rombongan orang itu. Sambil mengeluarkan teriakan kesakitan, empat orang di antara mereka terjungkal dan sekarat lalu tewas seketika! Melihat hal ini, enam orang lainnya menjadi terkejut sekali, akan tetapi mereka juga marah bukan main. Tadinya mereka hanya ingin mengganggu sambil menanti munculnya kongcu mereka yang akan bertindak seolah-olah menolong gadis itu. Siapa kira yang terjadi adalah sebaliknya. Empat dari mereka telah roboh dan tewas di tangan gadis cantik itu. Hal ini dapat terjadi karena mereka sama sekali tidak mengira akan di serang dengan panah-tangan yang merupakan senjata rahasia yang ampuh itu. Enam orang itu segera mencabut golok masing-masing dan menyerang maju.
Akan tetapi enam orang pengawal wanita itu sudah berloncatan ke depan dengan pedang di tangan dan terjadilah perkelahian enam orang pria melawan enam orang wanita dengan seru sekali. Terdengar bunyi senjata mereka berkerontangan kalau beradu dan nampak bunga api berpijar. Melihat enam orang pengawalnya sudah menandingi para perampok itu, Siangkoan Cu Yin hanya duduk saja dalam jolinya dan mengamati jalannya pertandingan. Ia tahu bahwa para pembantunya tidak akan kalah oleh para perampok itu, maka iapun tidak mau turun tangan membantu, hanya bersikap waspada untuk menjaga agar jangan sampai ada pembantunya yang terluka. Sementara itu, pemuda tampan berkuda yang tadi menonton dari tempat yang tinggi, terkejut bukan main melihat empat orang anak buahnya tewas. Dia lalu membalapkan kudanya menuruni tempat tinggi itu menuju ketempat pertempuran.
Pemuda ini bukan orang sembarangan. Dia adalah putera tunggal dari datuk timur Tung Giam-ong (Raja Maut Timur), seorang datuk besar yang terkenal dan di takuti di wilayah timur, dari pantai utara sampai pantai sebelah selatan. Nama pemuda itu adalah Tio Gin Ciong. Sebagai putera tunggal, tentu saja dia telah mewarisi seluruh ilmu kepandaian Ayahnya dan kini dia merupakan seorang pemuda berusia dua puluh lima tahun yang masih belum menikah. Tio Gin Ciong berada di tempat itu adalah dalam melaksanakan tugas yang di berikan Ayahnya kepadanya, yaitu mencari Pek-lui-kiam dan ikut memperebutkannya. Dia pergi membawa sepuluh orang pembantu pilihan. Siapa menduga bahwa empat dari sepuluh orang pembantunya mati konyol di tangan seorang gadis yang duduk di dalam joli!
Dengan muka merah karena marah, Gin Ciong membalapkan kudanya dan sebentar saja dia sudah tiba di tempat perkelahian. Dia meloncat turun dari atas kudanya dan berjongkok memeriksa seorang diantara empat orang pembantunya. Dari atas tadi dia hanya melihat empat orang pembantunya roboh. Dia tidak dapat melihat apa yang menyebabkan mereka jatuh dan mengapa mereka tidak dapat bangkit kembali. Kini dia tahu bahwa empat orang pembantunya itu telah tewas dengan bagian tubuh yang tertancap anak panah kecil itu berwarna hitam. Anak panah beracun, pikirnya dan dia mencabut anak panah itu untuk memeriksanya. Melihat ukiran dua huruf Lam Tok di gagang anak panah, dia makin terkejut. Lam Tok adalah seorang datuk besar yang berkuasa di selatan! Racun selatan itu sama kedudukannya dengan Ayahnya yang berjuluk Raja Maut Timur! Keduanya merupakan datuk besar yang di takuti dan di segani. Dia bangkit berdiri sambil memegang anak panah itu.
"Berhenti berkelahi! Kalian semua mundur!"
Teriakan dan suaranya berpengaruh dan berwibawa sekali. Enam orang anak buahnya segera berloncatan ke belakang mendengar teriakan ini dan enam orang wanita juga berlompatan ke dekat joli di mana nona merela masih duduk dengan tenang.
Kini Gin Ciong melangkah maju dan berhadapan dengan Cu Yin yang masih enak-enak duduk di dalam jolinya yang sudah terbuka tirainya. Dua orang itu saling pandang dengan sinar mata penuh selidik. Keduanya menjadi kagum. Cu Yin tidak menyembunyikan rasa kagumnya melihat pemuda itu. Seorang pemuda yang tampan dan gagah sekali, dan kudanya yang putih itu juga seekor kuda pilihan. Kini seorang anak buah Gin Ciong menuntun kuda itu untuk di lepas kendalinya dan di biarkan makan rumput di bawah pohon, mengikatkan kendali pada pohon itu. Tio Gin Ciong juga kagum bukan main. Benar pelaporan anak buahnya bahwa gadis di dalam joli itu teramat cantik jelita seperti puteri istana. Tidak, bahkan lebih cantik lagi. Seperti bidadari dari surga! Sambil mengangkat anak panah itu ke atas, Gin Ciong bertanya kepada Cu Yin,
"Nona, ada hubungan apakah antara engkau dan Lam Tok? Anak panah ini senjata rahasia Lam Tok, mengapa engkau pergunakan?"
Cu Yin merasa bangga bahwa anak panah itu merasa di kenal di mana-mana. Itu menandakan bahwa nama besar Ayahnya sudah terkenal di semua penjuru.
"Mau tahu apa hubunganku dengan Lam Tok? Dia adalah Ayahku! Dan siapa engkau ini. Para perampok ini apakah anak buahmu?"
Gin Ciong semakin terkejut mendengar bahwa nona itu adalah puteri Lam Tok. Pantas saja tindakannya demikian keras dan kejam, sekali turun tangan membunuh empat orang anak buahnya!
"Kiranya engkau puteri paman Si-angkoan? Dengar, nona. Antara Ayahmu dan Ayahku ada hubungan, karena keduanya merupakan datuk besar di wilayah masing-masing. Kalau Ayahmu itu datuk besar selatan maka Ayahku adalah datuk besar dari timur."
Cu Yin terkejut dan memandang dengan mata terbelalak. Ia bahkan keuar dan turun dari jolinya, kini berdiri berhadapan dengan pemuda itu. Sebaliknya Gin Ciong semakin kagum karena setelah berdiri ternyata gadis itu bukan saja cantik jelita, juga memiliki bentuk tubuh yang menggairahkan.
"Engkau tentu putera Tung Giam-ong?"
Gin Ciong menjura dengan hormat sambil berkata,
"Benar, nona. Namaku Tio Gin Ciong, putera tunggal dari Ayahku Tung Giam-ong. Kalau boleh aku mengetahui namamu..."
"Namaku Siangkoan Cu Yin,"
Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jawabnya singkat.
"Apakah sepuluh orang ini anak buah pulau beruang?"
"Dugaanmu benar, nona. sepuluh orang ini adalah para pembantuku. Akan tetapi empat orang dari mereka telah kau bunuh!"
Gin Ciong menekan kata terakhir itu sebagai protes.
"Tentu saja mereka ku bunuh, karena mereka mengaku perampok dan mengeluarkan kata-kata kurang ajar kepadaku! Sepatutnya mereka itu kubunuh semua!"
Gin Ciong mengerutkan alisnya yang hitam tebal.
"Mereka kurang ajar? Kata-kata bagaimana yang mereka ucapkan?"
"Mereka bukan saja minta semua perhiasan dan pakaian kami, bahkan hendak menawan kami untuk di permainkan. Tidakkah mereka itu layak di bunuh?"
Gin Ciong kini menghadapi enam orang anak buahnya.
"Benarkah apa yang di katakan nona ini? Kalian berani kurang ajar?"
Seorang diantara enam orang itu menjawab,
"Tidak, kongcu, kami hanya menggertak mereka, tidak mengeluarkan ucapan kurang ajar."
"Jahanam!"
Gin Ciong membentak dan sekali tangan kirinya yang memegang anak panah itu bergerak, anak panah itu meluncur kedepan dan menancap di dada anak buahnya yang menjawab tadi. Orang ini hanya menjawab sekali lalu jatuh telentang dengan mata mendelik dan tewas tak lama kemudian.
"Hayo siapa lagi yang tidak mau mengakui kesalahannya?"
Pemuda itu membentak. Lima orang anak buahnya lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Gin Ciong,
"Kami bersalah, kami siap menerima hukuman!"
Ucapan ini mereka kelaurkan secara serentak. Gin Ciong tersenyum mengejek.
"Bagus! Kalian sudah mengaku salah, maka kuampunkan untuk sekali ini. Hayo minta maaf kepada Siangkoan Siocia!"
Lima orang itu berlutut menghadap Cu Yin dan berkata serentak,
"Siocia, kami berlima mohon ampun atas kesalahan kami."
Cu Yin tersenyum dan melambaikan tangan.
"Sudahlah, lima orang dari kalian telah di hukum mati, aku sudah puas!"
"Terima kasih, Siocia. Terima kasih, kongcu!"
Mereka berlima lalu bangkit berdiri dan mundur mengambil jarak cukup jauh sambil menanti perintah selanjutnya. Cu Yin memerintahkan pembantunya untuk mengambil kembali anak panahnya dari tubuh kelima mayat itu. Seorang di antara enam orang pembantunya dengan cekatan lalu mencabuti anak panah itu, membersihkannya dari darah dengan selembar kain lalu menyimpannya. Gin Ciong juga memerintahkan anak buahnya untuk mengubur jenazah lima orang anak buahnya di dalam hutan di sebelah. Lima orang anak buahnya lalu mengangkat lima mayat itu dan membawanya ke dalam hutan untuk di kuburkan. Setelah kelima orang anak buahnya pergi, Gin Ciong merasa lebih bebas untuk bicara dengan gadis itu.
"Nona Siangkoan, kalau boleh aku mengetahui, apa yang hendak nona lakukan maka nona berada di sini? Ke manakah nona hendak pergi dan dari mana nona datang?"
Cu Yin tersenyum. Pemuda ini tampan dan putera seorang datuk besar, akan tetapi sikapnya demikian sederhana dan hormat serta sopan, sehingga hatinya tertarik. Akan tetapi tentu saja ia tidak dapat menceritakan apa yang hendak di carinya kepada sembarang orang yang baru saja di kenalnya.
"Tio-kongcu, kita secara kebetulan saja bertemu di sini, dan karena ulah anak buahmu maka kita dapat saling bertemu dan berkenalan. Sudah sewajarnya kalau orang-orang yang baru bertemu saling menceritakan keadaan dirinya maka kuharap engkau suka lebih dulu menceritakan apa yang sedang kau lakukan di tempat sunyi ini."
Gin Ciong juga tertawa mendengar betapa pertanyaannya di jawab dengan pertanyaan pula.
"Baiklah, nona. Memang sudah sepatutnya kalau aku yang menceritakan keadaanku lebih dulu. Ketahuilah, nona Siangkoan, aku meninggalkan pulau beruang untuk mencari pedang Pek-lui-kiam. Ayah yang menyuruhku, dengan maksud agar dalam mencari pedang pusaka itu, aku memperoleh pengalaman dan dapat bertemu dengan tokoh-tokoh kangouw."
Diam-diam Cu Yin merasa geli. Keadaan pemuda ini tidak ada bedanya dengan ia sendiri. Ia pun hendak mencari pedang pusaka itu, seperti yang di perintahkan Ayahnya!
"Hi-hi-hik,"
Cu Yin tertawa geli tanpa menutupi mulutnya seperti kebiasaan para gadis kalau tertawa. Puteri Lam To ini tertawa dengan wajar dan bebas, tidak menutupi mulutnya sehingga nampak sederetan giginya yang rapi dan putih mengkilap.
"Kalau begitu, kita ini saling berhadapan sebagai saingan karena akupun meninggalkan tepi sungai Hun-kiang memenuhi perintah Ayah untuk mencari dan merampas pedang pusaka Pek-lui-kiam!"
Mula-mula Gin Ciong terkejut mendengar ini, akan tetapi setelah berpikr sejenak diapun lalu tertawa gembira.
"Bagus sekali kalau begitu! Kita sama sekali tidak saling berhadapan sebagai saingan. Kita adalah orang-orang segolongan. Ayahmu datuk selatan dan Ayahku datuk timur. Kebetulan sekali kalau begitu. Kita tidak bersaing, bahkan saling membantu untuk memperoleh Pek-lui-kiam. Kalau begitu kita bekerja sama, kukira akan lebih mudah menguasai Pek-lui-kiam!"
"Ah, mana bisa di atur begitu? Pedang itu hanya sebatang, bukan dua atau lebih yang dapat di bagi-bagi!"
"Tentu saja tidak di bagi, nona. Kalau kita dapat memperoleh pedang pusaka itu, aku akan mengalah dan memberikannya kepadamu. Pedang itu menjadi milikku atau milikmu, apa sih bedanya? Kita segolongan, dan aku tentu akan mengalah terhadapmu."
"Sesungguhnyakah? Kalau begitu, engkau akan membantu merampas pedang itu?"
Gin Ciong mengangguk.
"Boleh kau anggap begitu. Akan tetapi aku belum tahu harus mencari kemana."
"Aku tahu di mana adanya pedang itu!"
Kata Cu Yin yang teringat kepada Si Kong, pemuda yang di cintainya namun tidak menanggapinya bahkan meninggalkannya. Wajah Gin Ciong berseri gembira,
"Ah, itu baik sekali, nona. Kalau begitu mari kita melakukan perjalanan bersama untuk merampas pedang itu!"
"Nanti dulu, Tio-kongcu (tuan muda Tio)..."
"Aih, nona, setelah kita menjadi sahabat, jangan panggil aku kongcu lagi."
"Habis, harus menyebut bagaimana? Engkau sendiri menyebutku nona."
"Baiklah, mulai sekarang kita jangan menggunakan sebutan tuan muda dan nona lagi. Aku lebih tua darimu, maka akan kusebut engkau Yin-moi (adik Yin) dan engkau menyebut aku Ciong-ko (kakak Ciong), bagaimana pendapatmu? Setujukah engkau, Yin-moi?"
"Baik, Ciong-ko. Dengan sebutan ini kita menjadi lebih akrab dan tidak merasa asing.
"Yin-moi, dengan ilmu kepandaian kita berdua, kita akan sanggup menghadapi siapapun juga. Karena itu, kukira tidak ada perlunya lagi bagi kita untuk di temani pelayan atau pengawal. Lebih baik kita menyuruh mereka pulang dan kita beli seekor kuda untukmu."
Cu Yin mengangguk.
"Aku setuju,"
Katanya dan iapun menggapai enam orang wanita yang menjadi pengawalnya dan meyuruh mereka membelikan seekor kuda untuknya. Enam orang wanita pengawal yang setia dan patuh itu lalu berlari pergi untuk melaksanakan perintah nona majikan mereka. Gin Ciong juga memanggil lima orang pembantunya dan menyuruh mereka pergi, pulang ke pulau Beruang dan melaporkan kepada Ayahnya bahwa dia bersama puteri Lam-tok hendak pergi merampas pedang pusaka Pek-lui-kiam. Tak lama kemudian, para pembantu Cu Yin sudah tiba kembali ke tempat itu dan mereka menuntun seekor kuda berbulu coklat yang cukup kuat dan bagus.
"Sekarang kalian boleh pulang ke sungai Hung-kiang, laporkan pada Ayah bahwa aku baik-baik saja dan sedang pergi merampas pedang Pek-lui-kiam, dibantu oleh putera Tung Giam-ong. Enam orang wanita itu tidak berani membantah dan mereka segera pergi dari situ setelah memberi hormat kepada nona majikan mereka.
"Mari kita berangkat!"
Kata Cu Yin sambil meloncat ke atas punggung kudanya. Gin Ciong juga melompat ke atas kuda putihnya.
"Kemana?"
"Ketempat di mana Pek-lui-kiam berada."
"Di mana itu?"
"Nanti engkau juga tahu. Marilah!"
Cu Yin sudah membalapkan kudanya dan terpaksa Gin Ciong juga menyuruh kudanya lari kencang. Pemuda ini menggeleng kepala melihat kelakuan Cu Yin yang berandalan. Akan tetapi telah terjadi sesuatu dalam hatinya. Dia mencinta gadis itu! Alangkah cocoknya kalau kelak gadis itu menjadi isterinya! Dan siapa tahu pedang Pek-lui-kiam yang akan menjadi perantaranya. Kalau pedang pusaka itu jatuh ke tangannya, kemudian dia berikan kepada Cu Yin sebagai tanda cintanya, mustahil kalau gadis itu tidak membalas perasaan kasihnya, Juga Lam-tok tentu akan menyetujui karena dia sudah berjasa membantu sehingga pedang Pek-lui-kiam dapat terjatuh ke tangan datuk selatan itu.
Kota Tung-ciu di sebelah timur kota raja adalah sebuah kota yang cukup ramai. Kota ini terkenal sebagai gudang rempah-rempah dan hasil bumi karena daerahnya memiliki tanah yang subur. Karena itu, penduduk di Tung-ciu dan daerahnya dapat hidup makmur. Tanahnya subur karena di sana mengalir sungai yang tak pernah kering. Di antara deretan toko-toko, rumah makan dan rumah penginapan, terdapat sebuah toko rempah-rempah yang sedang saja besarnya. Pemilik toko ini adalah seorang pria berusia lima puluh satu tahun, dan isterinya yang berusia hampir lima puluh tahun. Semua penduduk Tung-ciu tidak tahu bahwa pemilik toko yang bernama Pek Han Siong ini sesungguhnya merupakan seseorang yang memiliki kesaktian. Dia ahli silat tingkat tinggi. Mukanya yang bulat dengan alis tebal dan mata agak sipit itu tidak menunjukkan sesuatu yang luar biasa. Akan tetapi dunia kangouw mengenal namanya sebagai seorang pendekar sakti yang pernah menggemparkan dunia persilatan.
Bersama Tang Hay yang menjadi sahabat akrabnya, dia pernah mengalahkan dan menewaskan banyak tokoh sesat, terutama para tokoh Pek-lian-kauw. Pria berwatak tenang, sabar, pendiam dan halus tutur katanya ini memiliki ilmu-ilmu silat tinggi yang dahsyat. Dia memiliki ilmu Pek-sim-pang sebanyak tiga belas jurus yang sukar di lawan, mahir pula menggunakan ilmu pedang Kwan Im Kiamsut dan ilmu-ilmu silat tinggi lainnya. Dan lebih dari pada itu, diapun ahli sihir yang kuat sekali. Isterinya bernama Siangkoan Bi Lian. Dalam hal ilmu silat, wanit aini juga mencapai tingkat tinggi, sedikit lebih rendah dari tingkat suaminya. Dalam usianya yang empat puluh sembilan tahu itu, Siangkoan Bi Lian masih nampak cantik. Didagunya terdapat sebuah tahi lalat yang membuat wajahnya yang manis itu nampak membayangkan kekerasan hati. Iapun ahli dalam ilmu silat Kwan Im Sin-kun dan Kim-ke Sin-kun.
Suami isteri ini bagi para penduduk Tung-ciu merupakan suami isteri biasa karena memang Pek Han Siong dan isterinya tidak pernah memperlihatkan kemahiran mereka dalam ilmu silat. Mereka di anggap pedagang rempah-rempah biasa saja yang bersikap ramah terhadap para pelanggannya. Seperti kita ketahui, Pek Han Siong dan isterinya mempunyai seorang puteri bernama Pek Bwe Hwa. Gadis yang cantik seperti ibunya ini tentu saja di gembleng Ayah ibunya sejak kecil sehingga setelah kini berusia delapan belas tahun, ia telah menjadi ahli silat yang amat tangguh. Karena itu, kedua orang tuanya tidak keberatan melepas puteri mereka itu pergi untuk mencari pengalaman di dunia kangouw. Bahkan mereka berpesan agar puteri mereka itu ikut mencari Pek-lui-kiam yang kabarnya di perebutkan para tokoh kangouw.
Pada suatu hari, pagi-pagi sekali Pek Han Siong bersama isterinya telah bangun dari tidurnya. Mereka berdua seperti biasanya, berlatih silat di taman kecil belakang rumah mereka. Tidak ada orang lain yang melihat kalau mereka berlatih silat. Bahkan seorang pelayan wanita tua tidak mengerti kalau suami isteri itu bermain silat. Mereka hanya mengatakan bahwa mereka berolah raga senam untuk menyehatkan tubuh. Suami isteri itu latihan bersama, memainkan ilmu Kwan Im Sin-kun. Gerakan mereka nampak hanya dua bayangan berkelebatan saling serang. Mendadak keduanya berhenti dan berlompatan kebelakang, lalu memandang kearah pagar tembok yang mengelilingi taman berikut rumah mereka. Mereka mendengar gerakan orang di pagar tembok itu dan biarpun mereka sedang latihan, pendengaran mereka demikian tajam sehingga mereka dapat menangkap suara gerakan orang di situ.
"Siapa di sana? Masuklah!"
Kata Pek Han Siong dengan suara tegas.
Tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat dan meloncati pagar tembok. Gerakan bayangan itu gesit sekali. Dengan sekali loncat saja dia sudah berada di depan suami isteri itu. Pek Han Siong dan Siangkoan Bi Lian memandang tajam penuh selidik. Orang berusia kurang lebih lima puluh tahun, seorang laki-laki bertubuh tinggi kurus berpakaian seperti pendeta agama To rambutnya di gelung ke atas dan di ikat pita putih. Pakaiannya berwarna kuning dan di punggungnya nampak gagang sebatang pedang. Wajah Tosu itu kurus seperti kurang makan, akan tetapi matanya yang cekung itu mengeluarkan sinar mencorong. Dari matanya itu saja suami isteri sudah dapat mengetahui bahwa mereka berhadapan dengan orang berilmu tinggi.
"Siancai (damai)...! Kiranya Pek Han Siong dan puterinya Siangkoan Ci Kang bersembunyi di sini. Pantas di kota Tung-ciu ini tidak ada yang tahu bahwa kalian adalah ahli-ahli silat yang hebat!"
Pek Han Siong mengangkat kedua tangan di depan dada. Bagaimanapun juga, orang ini adalah tamunya dan seorang pendeta pula maka sudah sepatutnya kalau dia menghormatinya.
"Maaf, totiang. Totiang siapakah dan ada keperluan apakah dengan kami?"
Akan tetapi Siangkoan Bi Lian tidak mau menghormatinya, bahkan bertanya dengan suara menegur,
"Seorang pendeta semestinya mengenal kesopanan dan kehormatan. Akan tetapi engkau datang meloncati pagar dan mengatakan kami bersembunyi. Kami sama sekali tidak bersembunyi, dan juga tidak takut menghadapi siapapun juga termasuk engkau!"
"Tenanglah dan biar totiang ini memberi penjelasan."
Kata suaminya menyabarkan hatinya. Akan tetapi Siangkoan Bi Lian masih cemberut dan memandang kepada Tosu itu dengan sinar mata mengandung kemarahan.
"Aku tidak datang sendirian saja!"
Kata Tosu itu dan iapun bertepuk tangan. Nampak bayangan berkelebat dan di situ telah berdiri tiga orang lain yang juga melompati pagar tembok. Tiga orang ini juga berusia kurang lebih lima puluh tahun. Mereka berpakaian ringkas akan tetapi memakai jubah luar yang terlampau besar sehingga nampak kedodoran. Begitu berdiri di dekat Tosu pertama tadi, mereka membuka jubah luarnya dan nampaklah gambar lingkaran dan sebatang teratai putih di baju bagian dada mereka. Melihat ini, Siangkoan Bi Lian berseru,
"Ah, jadi kalian ini orang-orang Pek-lian-kauw? Pantas tidak mengenal aturan, datang bukan seperti tamu, melainkan seperti segerombolan perampok dan pencuri!"
"Siancai! Puteri Siangkoan Ci Kang masih berhati keras dan galak!"
Pek Han Siong melangkah maju.
"Totiang, kalau kalian berempat datang dari Pek-lian-kauw, maka ada keperluan apakah kalian menemui kami?"
"Pek Han Siong! Dua puluh tahun lebih kami menanti dengan sabar, bahkan mengasingkan diri untuk memperdalam ilmu silat. Semua itu kami lakukan untuk membuat perhitungan dengan engkau dan Siangkoan Ci Kang. Akan tetapi karena Siangkoan Ci Kang telah meninggal dunia, maka perhitungan ini di wakili oleh puterinya."
"Majulah kalian! Kami tidak takut!"
Kata Siangkoan Bi Lian. Akan tetapi suaminya memegang lengannya sebagai isyarat agar isterinya dapat menahan emosinya.
"Perhitungan apakah yang kalian maksudkan? Harap jelaskan agar kami mengerti apa yang kalian maksudkan."
Kata Pek Han Siong dengan sikapnya yang tenang. Melihat ketenangan Pek Han Siong, empat orang Tosu itu kelihatan jerih juga. Tosu yang pertama muncul itu agaknya menjadi pemimpin dari rombongan itu dan dia sengaja melantangkan suaranya untuk mengatasi rasa jerihnya terhadap pendekar yang sikapnya luar biasa tenangnya itu.
ek Han Siong termenung, mengenang peristiwa yang terjadi dua puluh enam tahun yang lalu. Ketika itu dia dan Bi Lian yang kini menjadi isterinya, bekerja sama dengan Tang Hay dan para pendekar Cin-ling-pai, menentang Pek-lian-kauw. Mereka mendapat kemenangan dan menewaskan banyak tokoh Pek-lian-kauw yang berilmu tinggi.
Diantara musuh itu terdapat Ban Tok Siansu dan Hek Tok Siansu. Akan tetapi, Ban Tok Siansu memang benar tewas di tangan Siangkoan Ci Kang. Hanya saja, Hek Tok Siansubukan tewas di tangannya melainkan tewas oleh Tang Hay. Akan tetapi dia tidak menyangkal. Bagaimanapun juga, Tang Hay bekerja sama dengan dia, berarti kedua orang Siansu yang tewas itupun musuhnya. Dia berani bertanggung jawab atas perbuatan Tang Hay yang menjadi sahabat baiknya. Dia masih ingat benar bahwa Ban Tok Siansu dan Hek Tok Siansu adalah dua orang pendeta yang sesat dan bekerja sama dengan Pek-lian-kauw. Ilmu kepandaian mereka tinggi. Kalau empat orang ini murid-murid mereka yang selama dua puluh enam tahun memperdalam ilmu meraka, dapat di bayangakan betapa lihainya mereka, Siangkoan Bi Lian kembali berkata,
"Bagus! Kiranya kalian murid-murid orang pendeta sesat itu? Jangan kalian mati tanpa nama, siapa nama kalian!"
Tosu pertama berkata sambil tersenyum mengejek.
"Aku bernama Kui Hwa Cu dan tiga orang adik seperguruanku ini bernama Lian Hwa cu, Thian Hwa cu, dan Tiat Hwa Cu."
"Kui Hwa Cu, bagaimana caranya kalian hendak membalas dendam dan membuat perhitungan? Apakah kalian berempat hendak main keroyokan atau satu lawan satu?"
Bi Lian bertanya dengan nada suara menantang. Sama sekali ia tidak merasa takut karena selama ini ia dan suaminya hampir setiap hari berlatih dan ketika puteri mereka belum pergi merantau, mereka berdua melatih puteri mereka. Dengan demikian, di bandingkan dua puluh enam tahun yang lalu, mereka memperoleh kemajuan.
"Ha-ha-ha! Kedatangan kami ini bukan untuk mengadu ilmu, melainkan untuk membalas dendam dan membunuh kalian berdua. Karena itu, kami tentu saja akan maju bersama!"
"Bagus! Selamanya Pek-lian-kauw adalah perkumpulan penjahat berkedok perjuangan yang pengecut. Baik, kalau kalian hendak megandalkan jumlah banyak untuk mengeroyok kami, majulah!"
Bentak nyonya yang berhati baja itu. Empat orang Tosu itu lalu membuat gerakan dengan tangan mereka. Mula-mula mereka menggerakkan kedua tangan di udara seperti orang menuliskan huruf-huruf, kemudian Kui Hwa Cu mengambil dua potong kertas yang sudah bertuliskan huruf dan dia berkata dengan suara berwibawa mengandung getaran kuat sedangkan tiga orang temannya berpangku tangan dengan mata di tujukan kepada Pek Han Siong dan isterinya.
"Pek Han Siong dan isteri, saat kematian kalian sudah di depan mata! Dua ekor naga ini akan membunuh kalian!"
Kui Hwa cu melemparkan dua potong kertas itu ke udara dan Siangkoan Bi Lian terbelalak karena ia melihat betapa di udara tiba-tiba muncul dua ekor naga yang menyeramkan, dengan mata mencorong dan lidah-lidah api terjulur keluar dari mulut dan hidung mereka. Tahulah ia bahwa lawan menggunakan sihir yang amat kuat, maka ia pun mengeluarkan sinkang untuk melawan pengaruh sihir itu. Pek Han Siong pernah di ambil murid oleh Ban Hok Lo-jin, seorang diantara delapan dewa dan dia di latih ilmu sihir yang amat kuat. Maka, melihat permainan Kui Hwa Cu dia tertawa dan terdengar suaranya yang penuh wibawa.
"Ha-ha-ha, Kui Hwa Cu berempat! Kalian yang membuat naga ini, maka kalian pula yang akan di terkamnya!"
Han Siong menggerakkan tangannya menunjuk kearah empat orang Tosu itu dan mereka terbelalak ketika melihat betapa dua ekor naga ciptaan ilmu sihir mereka itu kini membalik dan menyerang mereka berempat! Tentu saja mereka menjadi terkejut sekali dan cepat mereka menyimpan sihir mereka, menarik kekuatan sihir itu dan dua ekor naga itu kini melayang turun menjadi dua potong kertas! Kembali Kwi Hwa Cu membentak,
"Pek Han Siong, kalian menghadapi kami delapan orang! Bersiaplah kalian berdua untuk mampus!"
"Kui Hwa Cu, kalau kalian maju dengan delapan orang, kami akan maju sepuluh orang!"
Yang terheran-heran adalah Siangkoan Bi Lian. Mula-mula ia melihat betapa empat orang Tosu itu menjadi delapan, setiap orang menjadi dua, akan tetapi setelah suaminya bicara, ia melihat dirinya sendiri menjadi lima orang demikian pula diri suaminya menjadi lima orang!
Ia tahu bahwa semua ini hasil kekuatan sihir, akan tetapi ia tetap menjadi bingung. Ia tahu bahwa suaminya beradu kekuatan sihir melawan empat orang Tosu itu, maka tidak ada jalan lain baginya kecuali mengerahkan tenaga sakti untuk menolak pengaruh sihir itu. Melihat hasil serangan mereka yang dapat di ungguli oleh Pek Han Siong, tahulah ke empat orang Tosu itu bahwa mereka tidak akan mendapat keuntungan kalau mengadu kekuatan sihir. Tangan mereka turun kembali dan semua kekuatan sihir mereka di tarik. Han Siong juga menghentikan pengerahan sihirnya karena kekuatan sihir itu kalau di keluarkan terlalu lama, akan menghabiskan tenag saktinya. Kui Hwa Cu dan tiga orang temannya lalu meraih ke punggung dan mereka telah memegang sebatang pedang.
Kumbang Penghisap Kembang Eps 13 Pendekar Mata Keranjang Eps 44 Jodoh Si Mata Keranjang Eps 18