Ceritasilat Novel Online

Pendekar Kelana 20


Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo Bagian 20



Tung Giam Ong juga berseru sambil menyerang Si Kong dari samping, menggunakan pukulan maut dari ilmu Thai-yang Sin-ciang.

   Akan tetapi Si Kong juga dapat mengelak dan pemuda ini merasa bingung sekali diserang oleh dua orang datuk yang sakti itu! Akan tetapi dia tidak diberi kesempatan untuk membela dirinya, maka diapun menggunakan Yan-cu Hui-kun untuk mengelak dari serangan berganda itu. Untuk melarikan diri sudah tidak ada kesempatan lagi karena dua orang datuk itu sudah menyerangnya secara bertubi. Terpaksa dia mengelak dan menangkis sambil mencoba untuk balas menyerang untuk membendung hujan serangan itu. Dua orang datuk besar itu menjadi penasaran dan marah sekali. Mereka berdua telah menyerang sampai belasan jurus dan pemuda itu masih belum dapat mereka robohkan. Karena penasaran, dua orang datuk itu lalu berdiri sejajar dan berbareng menyerang dengan pukulan masing-masing yang amat kuatnya.

   Tung Giam Ong menyerang dengan ilmu Thai-yang Sin-ciang yang amat panas sedangkan Lam Tok menyerang dengan ilmu Eng-jiauw-kang (Tenaga Cakar Garuda) yang selain amat kuat juga mengandung racun yang berbahaya. Kulit lawan yang terkena cakaran ini sedikit saja sudah cukup untuk membunuhnya. Darahnya akan keracunan. Melihat dua pukulan ini Si Kong menyadari bahwa nyawanya terancam bahaya maut. Terpaksa dia harus mengeluarkan ilmu silat simpanannya, yaitu Hok-liang Sin-ciang. Karena untuk mengelak atau menangkis dua serangan itu amat berbahaya, tidak ada jalan lain baginya kecuali melawan keras sama keras. Dia berdiri hampir berjongkok, kedua tangannya di dorongkan ke depan menyambut dua serangan lawan itu sambil mengerahkan tenaga sinkangnya.

   "Wuuuutt... dessss...!!"

   Dua tenaga dahsyat itu saling bertemu dan akibatnya tubuh Si Kong terjengkang lalu bergulingan, akan tetapi dua orang kakek itupun terhuyung-huyung kebelakang. Dua orang datuk itu mengira bahwa Si Kong terluka berat, padahal pemuda itu sengaja menggulingkan tubuhnya untuk memunahkan tenaga pukulan yang melanda dirinya. Lam Tok yang melihat Si Kong bergulingan, cepat menggerakkan tangan kirinya ke arah pinggang. Dicabutnya tiga batang anak panah dan disambitkan dengan sepenuh tenaga ke arah tubuh Si Kong yang bergulingan.

   "Ayah, jangan...!!"

   Terdengar pekik melengking dan sesosok bayangan berkelebat menghadang antara Si Kong dan Lam Tok. Bayangan itu bagaikan perisai yang melindungi Si Kong dan tiga batang anak panah itu dengan telak menancap di dadanya dan bayangan itu roboh!

   "Yin-moi...!!"

   Si Kong berteriak sambil menubruk gadis yang roboh itu. Gadis itu memang Cu Yin. Baru saja ia muncul di situ bersama Gin Ciong dan pada saat Lam Tok menyambitkan anak panahnya, Cu Yin mengetahui bahwa nyawa Si Kong berada dalam bahaya maut. Maka tanpa memperdulikan dirinya, gadis itu lalu menghadang dan menjadi perisai, terkena tiga batang anak panah beracun itu. Si Kong menubruk dan memangku kepala gadis itu, sambil mengguncang pundaknya.

   "Yin-moi..., Cu Yin...!"

   Si Kong meratap dan baru sadarlah dia betapa sesungguhnya di lubuk hatinya terdapat perasaan kasih sayang yang besar terhadap Cu Yin.

   "Yin-moi... ah, Yin-moi...!"

   Si Kong mendekap kepala itu. Sekali melihat saja maklumlah dia bahwa tidak dapat tertolong lagi. Tiga batang anak panah itu menancap sampai amblas seluruhnya di dadanya dan seketika tubuh Cu Yin sudah berubah biru kehitaman yang berarti bahwa ia telah keracunan. Cu Yin membuka matanya dan ia tersenyum mendapatkan kenyataan bahwa ia dipangku oleh Si Kong. Ia mengangkat tangan kirinya, mengelus pipi Si Kong.

   "Kong-ko... ah, Kong-ko, aku... girang melihat... engkau selamat..."

   "Yin-moi, kenapa kau lakukan ini? Kenapa engkau mengorbankan nyawamu untukku?"

   Si Kong menunduk dan menciumi muka gadis itu dengan hati hancur. Tak terasa lagi air matanya jatuh berderai membasahi muka Cu Yin.

   "Koko... aku girang"

   Dapat"

   Melakukan sesuatu... untukmu... aku... aku cinta padamu, koko..."

   "Cu Yin...! Jangan mati, Cu Yin, akupun cinta padamu!"

   Si Kong menangis. Gadis itu tersenyum lebar dan memandang ke arah muka Si Kong.

   "Engkau... menangis, koko? Menangis untukku...?"

   "Ya, aku ingin engkau hidup, Yin-moi!"

   Cu Yin menggerakkan tangan kanan dan mengambil pedang Pek-lui-kiam dari punggungnya.

   "Ini... Pek-lui-kiam... kuserahkan padamu sebagai bukti cintaku... selamat... selamat... tinggal, koko..."

   Gadis itu terkulai dan tewas dalam rangkulan Si Kong.

   "Cu Yin... ah, Yin-moi...!"

   Si Kong menangis.

   "Desss...!"

   Tiba-tiba sebuah tendangan yang keras membuat tubuhnya terpelanting dan bergulingan. Kiranya yang menendang adalah Gin Ciong, yang hatinya merasa terbakar oleh api cemburu.

   Si Kong baru sadar dan bangkit dari lautan duka di mana dia tadi terbenam. Pada saat itu, Gin Ciong sudah mengejarnya dan sekali lagi, kaki itu terayun, akan tetapi kini mengarah kepala Si Kong, merupakan tendangan maut. Si Kong sudah sadar sepenuhnya, maka ketika kaki itu menyambar ke arah kepalanya, dia menggerakkan tangan kanannya, menyambar dan menangkap kaki itu lalu dilontarkannya ke depan. Tubuh Gin Ciong terlempar sampai jauh dan menimpa batang pohon. Berdebuk suaranya dan Gin Ciong terbanting, seketika nanar dan tidak mampu bangkit. Melihat puteranya terlempar dan terbanting, Tung Giam Ong menjadi marah sekali. Akan tetapi Lam Tok lebih marah lagi melihat puterinya tewas. Biarpun puterinya tewas karena anak panahnya sendiri, namun dia menyalahkan Si Kong.

   "Jahanam, kau bunuh anakku!"

   Teriaknya dan berbareng dengan Tung Giam Ong, dia menerjang maju. Kini Si Kong telah siap siaga. Mengingat akan kematian Cu Yin, dia berseru,

   "Kalian dua orang tua bangka telah menyebabkan kematian Cu Yin!"

   Setelah itu dia membabatkan pedang yang diterima dari Cu Yin tadi ke arah kedua orang datuk besar itu. Melihat pedang yang bersinar kilat itu, baik Lam Tok maupun Tung Giam Ong terkejut dan cepat merekapun mencabut senjata mereka. Lam Tok mencabut pedangnya dan Tung Giam Ong mencabut tombak cagaknya.

   "Cringg"

   Trakkk...!"

   Pedang di tangan Si Kong patah-patah ketika bertemu dengan kedua senjata itu. Si Kong terbelalak, demikian pula dengan dua orang datuk besar itu. Akan tetapi Gin Ciong yang sudah dapat bergerak kembali berseru kepada Ayahnya.

   "Ayah, pedang itu bukan Pek-lui-kiam, melainkan hanya pedang tiruan!"

   Mendengar ucapan ini, mengertilah Si Kong dan dia membuang pedang itu dengan marah, lalu menyambar sebatang cabang pohon untuk di jadikan senjata tongkat. Kini Si Kong dikeroyok tiga. Dia maklum bahwa tiga orang itu lihai dan berkeras hendak membunuhnya. Dia sendiri marah sekali melihat kematian Cu Yin yang mengorbankan nyawa untuknya, maka dia menyambut serangan tiga orang itu dengan tongkatnya,

   Memainkan Ta-kauw Sin-tung dan mengerahkan tenaga sinkang sekuatnya. Namun, betapa lihainya Si Kong, sekarang dia melawan pengeroyokan dua orang datuk besar yang masih dibantu pula oleh Gin Ciong yang cukup tangguh. Dia tidak mendapat kesempatan menggunakan ilmu Thi-khi-i-beng karena tiga orang lawannya semua menggunakan senjata. Thi-khi-i-beng hanya boleh diandalkan kalau bertanding dengan tangan kosong, kalau ada persentuhan antara tangan lawan dan anggauta tubuhnya. Untung bahwa ilmu tongkat yang dimainkannya, yaitu Ta-kauw Sin-tung mempunyai gerakan yang luar biasa, ditambah pula dengan ilmunya Yan-cu Hui-kun (Silat Burung Walet Terbang) membuat tubuhnya bergerak dengan lincah sekali sehingga sampai lima puluh jurus lebih mereka bertanding, belum juga pemuda itu dapat dirobohkan.

   Ini merupakan hal yang luar biasa sekali. Dua orang kakek itu hampir tidak dapat percaya bahwa mereka berdua, dibantu Gin Ciong, tidak dapat merobohkan pemuda itu dalam waktu lima puluh jurus lebih! Kalau hal ini diketahui dunia kangouw, mereka tentu akan menjadi bahan olok-olok. Si Kong merasa bahwa kalau dilanjutkan perkelahian itu, dia akhirnya akan kehabisan tenaga dan akan kalah. Dia ingin melepaskan diri dari pengeroyokan mereka, akan tetapi mereka bertiga tidak memberi kesempatan kepadanya. Mereka mengepung ketat sekali. Tiba-tiba muncul banyak orang, ada puluhan orang banyaknya, tidak kurang dari empat puluh orang. Mereka adalah orang-orang Kwi-jiauw-pang dan Pek-lian-pai. Melihat mereka, Gin Ciong berseru.

   "Kalian semua bantu kami menangkap pemuda ini!"

   Puluhan orang Kwi-jiauw-pang dan Pek-lian-pai segera menyerbu dengan senjata mereka. Akan tetapi hal ini bukan membuat Si Kong terancam bahaya, bahkan memberi jalan kepadanya untuk meloloskan diri dari ancaman maut. Begitu melihat puluhan anak buah itu mengepung dan menyerangnya, Si Kong meninggalkan tiga orang pengeroyoknya dan melompat ke tengah-tengah puluhan orang anak buah itu. Gerakannya demikian cepat sehingga setelah merobohkan beberapa orang, dia sudah lenyap diantara mereka sehingga Lam Tok, Tung-giam-ong dan Tio Gin Ciong tidak dapat mengejarnya.

   Dari dalam kerumunan banyak orang itu Si Kong menyelinap dan akhirnya berhasil keluar dari kepungan dan melarikan diri secepatnya, mempergunakan ilmu berlari cepat Liok-te Hui-teng dan sebentar saja bayangannya telah lenyap di telan pohon-pohon dalam hutan. Setelah bayangan Si Kong lenyap, Lam Tok menghampiri jenazah puterinya dan berjongkok dekat jenazah, melamun sedih. Gin Ciong menghampiri Ayahnya dan menceritakan betapa dia sudah diterima oleh para pimpinan Kwi-jiauw-pang dan Pek-lian-pai dan bersekutu dengan mereka. Tung Giam Ong Tio Sun adalah datuk besar timur yang tentu saja sudah mengenal nama besar Pek-lian-pai sebagai perkumpulan pemberontak yang kuat. Dia mendengar bahwa puteranya telah bersekutu dengan mereka, maka dia menjadi girang sekali.

   "Kabarnya Pek-lui-kiam berada di tangan ketua Kwi-jiauw-pang,"

   Katanya.

   "Benar, Ayah. Akan tetapi kini Kwi-jiauw-pang mempunyai tiga orang ketua, yaitu Toa Ok, Ji Ok dan Ang I Sianjin yang kini memakai julukan Sam Ok. Toa Ok yang mengatur bahwa yang didapatkan para tokoh kangouw hanyalah Pek-lui-kiam palsu, sedangkan yang aseli berada di dalam kekuasaannya."

   "Hemm, aku datang ke sini atas undangan Toa Ok dan Ji Ok untuk menentukan siapa diantara empat datuk besar dari empat penjuru yang pantas mendapatkan gelar datuk terlihai di dunia! Kalau begitu, siapa menang dalam pertandingan nanti berhak memiliki Pek-lui-kiam!"

   "Ayah, mengenai Pek-lui-kiam harap jangan khawatir. Toa Ok dan Ji Ok telah bergabung dengan Pek-lian-pai dan mereka memiliki cita-cita besar untuk meraih kedudukan tertinggi setelah kerajaan Beng dapat kita kuasai. Kalau Ayah menyatakan bersedia membantu gerakan mereka, tentu urusan pedang Pek-lui-kiam menjadi mudah, dan tanpa susah payah Ayah akan dapat memilikinya sebagai upah Ayah suka membantu gerakan mereka."

   Wajah Tung Giam Ong Tio Sun berseri mendengar ucapan puteranya itu.

   "Kau pikir begitukah? Dan bagaimana dengan Lam Tok itu? Diapun ikut diundang dan diapun menginginkan pedang pusaka Pek-lui-kiam!"

   Gin Ciong memandang ke arah kakek yang masih duduk dekat jenazah Cu Yin dan termenung sedih. Pemuda ini mengerutkan alisnya. Cu Yin yang diharapkan menjadi isterinya telah tewas. Tidak ada hubungannya lagi dengan Lam Tok dan bahkan Lam Tok merupakan saingan yang berat, patut disingkirkan lebih dulu.

   "Ayah, diapun menghendaki pedang Pek-lui-kiam. Dia musuh kita. Akan tetapi kalau dia suka membantu gerakan kita, dia boleh dijadikan teman."

   "Kalau dia tidak mau bekerja sama?"

   Tanya kakek tinggi kurus yang mukanya penuh brewok itu. Gin Ciong menggerakkan tangan kanan seperti sebatang golok dan menggorok lehernya sendiri, sebagai tanda bahwa kalau Lam Tok menolak bekerja sama, lebih baik di bunuh saja! Isarat ini membuat Tung Giam Ong merasa senang dan dia menyeringai lebar sambil mendekati Lam Tok yang masih duduk bersila dekat jenazah puterinya.

   "Hemm, Lam Tok. Yang sudah mati tidak perlu ditangisi, tiada gunanya. Lebih baik sekarang engkau bekerja sama dengan aku dan kelak kita tentu akan mampu membalas dendam kepada Si Kong itu!"

   Lam Tok menoleh dan memandang kepada Tung-giam-ong dengan wajah dingin.

   "Bekerja sama dengan kamu?"

   Dia mengulang dalam suaranya terkandung ejekan.

   "Bukan saja dengan aku, Lam Tok. Akan tetapi terutama sekali membantu Kwi-jiauw-pang dan Pek-lian-pai."

   Tiba-tiba Lam Tok meloncat berdiri. Mukanya berubah merah dan matanya bersinar-sinar penuh kemarahan. Telunjuk kirinya menuding ke arah muka Tung-giam-ong.

   "Tung-giam-ong, kau kira aku ini orang apa? Engkau mengajak aku bersekongkol dengan Pek-lian-pai untuk memberontak? Aku bukan pemberontak dan aku tidak sudi membantu Kwi-jiauw-pang dan Pek-lian-pai, tidak sudi bekerja sama dengan pengkhianat macam kamu!"

   Wajah Tung-giam-ong menjadi pucat, lalu merah sekali.

   "Jahanam busuk, kau berani menghinaku?"

   Sementara itu Gin Ciong sudah memberi aba-aba kepada orang-orang Kwi-jiauw-pang dan Pek-lian-pai.

   "Bunuh orang tak tahu diri ini!"

   Pada saat itu, Tung-giam-ong sudah menyerang Lam Tok dengan senjata tombak cagaknya. Gin Ciong mencabut pedangnya dan dia pun menyerang Lam Tok. Lam Tok yang marah sekali itu sudah pula mencabut pedangnya dan dia menangkis penyerangan Ayah dan anak itu, dan membalas serangan mereka dengan tak kalah hebatnya.

   Akan tetapi Lam Tok sekali ini menghadapi pengeroyokan yang ketat dan kuat. Baru menghadapi Tung-giam-ong seorang saja kepandaiannya sudah seimbang. Dengen pengeroyokan Gin Ciong, Lam Tok sudah terdesak, apalagi masih ada puluhan orang anggauta Kwi-jiauw-pang dan Pek-lian-pai yang mengeroyoknya, maka dia segera terdesak hebat. Lam Tok mengamuk. Ketika dia berloncatan meninggalkan pengeroyokan Ayah dan anak itu dan menerjang kepungan anak buah Kwi-jiauw-pang dan Pek-lian-pai, pedangnya diputar dengan hebat dan empat ornag pengeroyok mati berdarah. Akan tetapi Tung-giam-ong Tio Sun dan Tio Gin Ciong sudah mengejar dan menyerang dengan berbareng, membuat Lam Tok terpaksa harus memutar pedang menangkis.

   Pada saat itulah, sebuah cakar setan dari anggauta Kwi-jiauw-pang telah mengenai punggungnya. Cakaran itu merobek baju dan kulit punggungnya, mendatangkan luka memanjang. Lam Tok terkejut dan membalikkan tubuhya. Tangan kirinya menyambar dan dia sudah dapat memegang lengan penyerangnya itu dan sekali sentakan, tubuh anggauta Kwi-jiauw-pang itu terangkat ke atas lalu dibanting ke atas tanah. Orang itu tewas seketika. Lam Tok sudah pula memutar pedangnya, akan tetapi pengeroyokan semakin ketat dan kembali pundak kirinya terkena goresan cakar setan. Karena luka dipunggung dan pundaknya itu terasa nyeri sekali, Lam Tok lalu meniru perbuatan Si Kong tadi. Dia meloncat dan menyerbu diantara para anggauta Kwi-jiauw-pang dan Pek-lian-pai, menyelinap diantara mereka dan merobohkan banyak orang.

   Akhirnya dia dapat lolos, melarikan diri dan dikejar oleh Tung-giam-ong dan Gin Ciong. Kembali Lam Tok dapat dikejar dan terpaksa melayani datuk timur dan puteranya itu. Akan tetapi luka-luka beracun di punggung dan pundaknya membuat gerakannya lambat dan terpaksa dia mundur terus sampai tiba di dekat jurang. Karena tidak mungkin mundur lagi, dia mengamuk menghadapi pengeroyokan dua orang itu dan akhirnya, sebuah pukulan tangan kiri Tung-giam-ong mengenai dadanya. Pukulan itu adalah satu jurus dari Thai-yang Sin-ciang. Dadanya yang terpukul terasa panas dan tubuhnya terjengkang masuk ke dalam jurang yang menganga di belakang Lam Tok. Tung-giam-ong dan Gin Ciong menjenguk ke dalam jurang. Ternyata jurang itu amat dalam dan tertutup kabut sehingga mereka tidak dapat melihat tubuh Lam Tok.

   "Ha-ha-ha, lenyaplah sudah seorang sainganku!"

   Tung-giam-ong tertawa bergelak karena girangnya. Ketika terjatuh tadi, pikiran Lam Tok masih terang. Tahulah dia bahwa bahaya maut mengancam dirinya. Dia berusaha untuk menggunakan kedua tangan meraih, kalau-kalau ada sebatang pohon terjulur, akan tetapi tangannya tidak dapat menangkap apa-apa dan dirinya tenggelam dalam kabut. Tidak ada lain jalan baginya untuk menyelamatkan diri kecuali mengerahkan tenaga saktinya melindungi tubuh dari bantingan ke dasar jurang.

   "Wuuuuttt... bukk...!!"

   Tubuh Lam Tok terbanting ke atas dasar jurang itu. Dia sudah mengerahkan tenaga saktinya untuk melindungi pinggulnya dari bantingan itu. Akan tetapi ternyata dia mendarat dengan mulus dan lunak. Kiranya di tempat itu terdapat banyak daun kering, bertumpuk sampai tebal sehingga merupakan tempat lunak seolah dia terbanting ke atas kasur tebal!

   Akan tetapi rasa nyeri di punggung dan pundaknya karena terluka cakar setan membuat dia pening sekali. Apalagi bekas pukulan Tung-giam-ong tadi masih terasa panas sekali olehnya, maka setelah merintuh satu kali, Lam Tok lalu jatuh pingsan. Lam Tok membuka matanya dan dia segera teringat bahwa dia habis dikeroyok Tung-giam-ong dan terjatuh ke dalam jurang. Dia teringat pula bahwa punggung dan pundaknya terluka oleh cakaran setan anggauta Kwi-jiauw-pang yang mendatangkan rasa nyeri bukanmain. Akan tetapi dia merasa heran karena punggung dan pundaknya tidak terasa sakit sama sekali. Juga rasa panas akibat pukulan Tung-giam-ong sudah lenyap! Dan bajunya tersingkap seolah ada yang menanggalkannya sebagian. Terdengar gerakan orang disebelah kirinya dan Lam Tok segera menengok.

   Ketika melihat bahwa seorang pemuda duduk diatas batu di sebelahnya, dia segera bangkit, kaget karena dia mengenal pemuda itu sebagai Si Kong! Dia menoleh ke kanan kiri. Dia tidak lagi berada di dasar jurang, melainkan dalam sebuah hutan, rebah di atas rumput hijau. Lam Tok adalah seorang yang cerdik sekali maka sekali lihat saja dia sudah dapat menduga apa yang terjadi. Tentu pemuda ini yang telah memindahkannya dari dasar jurang. Dia mengerahkan sinkang ke punggung dan pundaknya. Tidak terasa nyeri. Juga dadanya yang tadi terasa panas kini telah biasa kembali. Lam Tok dapat menduga bahwa dia telah di tolong oleh Si Kong. Akan tetapi, dia bangkit duduk, memandang kepada Si Kong lalu bertanya, suaranya dingin karena dia masih ingat bahwa pemuda ini yang menyebabkan kematian Cu Yin.

   "Engkau disini?"

   Si Kong memberi hormat dan berkata sopan,

   "Saya melihat Locianpwe rebah pingsan di dasar jurang itu."

   Dia menuding ke depan dimana terdapat jurang.

   "Engkau memindahkan aku kesini dan engkau yang mengobati aku sehingga lukaku sembuh?"

   Tanyanya lagi dan pandang mata datuk itu mengamati wajah Si Kong penuh selidik.

   "Benar, Locianpwe. Melihat Locianpwe terluka goresan cakar beracun dan akibat pukulan yang berhawa panas, aku lalu mengobati Locianpwe dengan menyedot racun dan melawan hawa panas dengan sinkang. Sayang aku tidak mempunyai mustika batu giok seperti yang dimiliki nona Tang Hui Lan sehingga bekas racun itu belum bersih benar, akan tetapi dengan pengerahan sinkang, Locianpwe tentu akan dapat mengusirnya keluar."

   "Hemm, mengapa engkau menolong dan menyelamatkan aku?"

   Pertanyaan ini dilakukan dengan suara membentak seperti orang menuntut.

   "Mengapa tidak, Locianpwe? Melihat engkau atau siapa saja menggeletak pingsan dan terancam bahaya maut, tentu saja aku turun tangan menolongmu."

   "Tapi... tadi aku berusaha untuk membunuhmu! Bahkan mengeroyokmu dengan si jahanam Tung-giam-ong itu. Dan engkaupun tentu sudah mati di tanganku kalau saja Cu Yin tidak mengorbankan nyawa untukmu!"

   Si Kong memejamkan kedua matanya dan mengerutkan alisnya, lalu berkata dengan suara parau penuh permohonan.

   "Ah, Locianpwe, aku mohon janganlan Locianpwe bicara lagi tentang Yin-moi!"

   Si Kong membuka matanya yang menjadi basah air mata. Hatinya tertusuk ketika dia teringat akan Cu Yin, gadis yang sesungguhnya dikasihinya itu.

   "Cu Yin begitu mencintamu, mengapa engkau pernah menolak cintanya?"

   "Aku tidak menolak, hanya... merasa tidak berharga untuk melakukan perjalanan bersamanya, pula tidak patut dipandang orang kalau seorang gadis seperti ia melakukan perjalanan bersama seorang pemuda. Akan tetapi... ah, semua itu telah berlalu, Locianpwe dan aku memang bersalah kepada Cu Yin. kalau Locianpwe masih merasa menyesal dan hendak membunuh aku, silakan. Aku tidak akan melawan."

   Melihat pemuda itu demikian sedihnya, kemarahan Lam Tok menghilang, bahkan timbul rasa suka di hatinya terhadap pemuda yang telah menyelamatkan nyawanya itu. Akan tetapi dia tidak mau memperlihatkan kelemahan hatinya ini dan berkata dengan nada keras.

   "Sudahlah, pergilah, pergi jauh-jauh sebelum aku berubah pikiran. Pergi tinggalkan aku seorang diri!"

   Si Kong menghela napas dan bangkit berdiri lalu memberi hormat kepada datuk itu.

   "Selamat tinggal, Locianpwe."

   Lam Tok diam saja, wajahnya dingin dan dia bersila sambil memejamkan matanya untuk menghimpun hawa murni dan menghilangkan sisa racun dari punggung dan pundaknya. Si Kong memandang dengan terharu, maklum betapa sedihnya datuk yang kehilangan puterinya itu, dan dia lalu pergi meniggalkan Lam Tok. Si Kong berlari cepat ke tempat dimana pertempuran tadi berlangsung. Dan seperti yang diharapkannya, jenazah Cu Yin masih menggeletak disitu, tidak ada yang mengurus, sedangkan mayat-mayat para anak buah Kwi-jiauw-pang dan Pek-lian-pai sudah dibawa rekan-rekan mereka. Dia merasa kasihan sekali kepada Cu Yin. Tak disangkanya nasib gadis jenaka itu demikian menyedihkan. Tewas di tangan Ayah kandungnya sendiri dan jenazahnya terlantar tidak ada yang mengurusnya.

   "Maafkan aku, Yin-moi. Baru sekarang aku dapat mengurus jenazahmu. Semoga arwahmu mendapat tempat yang layak di alam baka."

   Si Kong lalu menggali sebuah yang cukup dalam. Dengan hati kasihan dan terharu terpaksa dia menguburkan jenazah itu begitu saja, tanpa peti, tanpa upacara sembahyang, tanpa apa-apa. Dan setelah dia merebahkan jenazah itu di dalam lubang, dari atas dia melihat jenazah itu dan kembali kedua matanya basah. Cu Yin yang nampak demikian cantik rebah di lubang itu, seperti orang sedang tidur pulas saja.

   "Selamat berpisah, Yin-moi, semoga kita dapat saling bertemu kembali di alam lain."

   Dia menguatkan batinnya, menutupi jenazah itu dengan daun-daun kering sehingga tidak nampak lagi dan barulah dia tega untuk menutup lubang itu dengan tanah kembali. Setelah selesai, dia mengambil sebuah batu besar yang digulingkannya ke depan makam itu agar dapat menjadi semacam nisan atau tanda. Dengan mengerahkan sinkangnya, dia lalu mengukir beberapa huruf di permukaan batu, yang berbunyi: "Yang tercinta Siangkoan Cu Yin."

   Setelah duduk bersila di depan batu nisan itu selama setengah jam, Si Kong lalu bangkit dan sekali lagi memandang ke arah gundukan tanah, berbisik,

   "Selamat tinggal Yin-moi."

   Dia lalu mengerahkan tenaganya dan sebentar saja hilang dari tempat itu, berlari cepat sekali di antara pohon-pohon besar.

   Ketiga ketua Kwi-jiauw-pang bergembira menerima Tung-giam-oang yang diajak oleh puteranya menjadi tamu kehormatan Kwi-jiauw-pang. Toa Ok semakin senang mendengar bahwa Lam Tok telah tewas oleh Tung-giam-ong. Lam Tok merupakan satu diantara para datuk yang disegani dan sekarang datuk itu telah tewas.

   "Kami mengucapkan selamat atas kemenangan Tung-giam-ong atas Lam Tok. Mari minum secawan arak untuk menghormati Tung-giam-ong dan menghaturkan selamat datang!"

   Semua orang minum arak untuk menyambut ucapan selamat dari Toa Ok itu. Tung-giam-ong sendiri juga dengan gembira minum araknya.

   "Sebagai Ayah dari sahabat baik kami Tio-kongcu, kami harap agar Tung-giam-ong berterus terang tentang tujuan perjalanannya kesini,"

   Kata pula Toa Ok.

   "Ha-ha-ha-ha, Toa Ok masih pura-pura bertanya lagi!"

   Tung-giam-ong tertawa, memandang kepada semua yang hadir dan minum lagi arak dari cawannya. Mereka semua lengkap duduk di meja perjamuan itu. Toa Ok, Ji Ok, Sam Ok, Coa leng Kun, Tio Gin Ciong, kelima Butek Ngo-sian dan empat orang tokoh Pek lian-kauw See-thian Su-hiap.

   "Biarpun kamu sudah dapat menduga, akan tetapi akan lebih baik kalau engkau mengatakannya kepada kami, karena sebagai seorang tamu kehormatan, kami harus dapat melayanimu sebaik-baiknya, Tung-giam-ong!"

   Kembali Tung-giam-ong tertawa, lalu memandang kepada puteranya dan berkata,

   "Puteraku telah mengadakan hubungan dengan Kwi-jiauw-pang, itu saja sudah menunjukkan bahwa kedatanganku sebagai sahabat, bukan musuh. Akan tetapi aku mengingatkan Toa Ok dan Ji Ok. Kalian sudah mengundang para datuk termasuk aku untuk mengadakan pertandingan disini untuk menentukan siapa yang paling lihai di antara para datuk. Karena undangan itulah aku datang, dan kedua, akupun tertarik oleh berita tentang Pek-lui-kiam, maka akupun hendak memperebutkannya pula!"

   Kini dia memandang kepada Sam Ok atau Ang I Sianjin dengan sinar mata menantang.

   "Bagus, memang sudah kami duga, Tung-giam-ong. Akan tetapi mengingat bahwa engkau adalah Ayah dari Tio-kongcu, kami mengajak engkau untuk bekerja sama. Pertama-tama, engkau bantulah kami untuk mengusir semua datuk dan tokoh kang-ouw yang hendak memperebutkan pedang Pek-lui-kiam. Setelah semua datuk dapat kita kalahkan, barulah diantara engkau dan kami berdua bertanding untuk menentukan siapa datuk yang paling lihai,"

   Kata Toa Ok.

   "Ha-ha-ha-ha! Aku orang tua tidak begitu berminat untuk mengejar nama. Tanpa menjadi datuk paling lihai di dunia akupun sudah dikenal orang. Akan tetapi bagaimana kalau pertandingan, pemenangnya bukan saja menjadi datuk terlihai, akan tetapi juga berhak memiliki pedang pusaka Pek-lui-kiam?"

   Toa Ok dan Ji Ok saling pandang, kemudian tertawa bergelak. Toa Ok kembali mengangkat cawannya dan berkata,

   "Tung-giam-ong, mari kita minum untuk itu. Kami setuju sekali karena sebagai datuk terlihai, tentu saja berhak menjadi pemilik Pek-lui-kiam!"

   Bukan main girang rasa hati Tung giam-ong. Tentu saja baginya jauh lebih ringan memenuhi syarat yang diajukan Toa Ok daripada kalau dia sendiri harus memperebutkan Pek-lui-kiam itu diantara banyak datuk dan tokoh kangouw. Dia lalu menerima ajakan minum arak sampai tuga cawan penuh. Selagi mereka minum dengan gembira, tiba-tiba seorang penjaga berlari masuk dan wajahnya pucat. Toa Ok memandang penjaga itu dengan marah.

   "Berani benar engkau mengganggu kami! Apa kau tidak takut untuk dihukum mampus?"

   "Ampun, Toa-pangcu,"

   Penjaga itu melapor.

   "Diluar terdapat seorang pemuda yang minta bertemu dengan pangcu, dan"

   
Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Dan puncak ini sudah terkepung pasukan yang besar jumlahnya!"

   Semua orang menjadi kaget mendengar ini. Tanpa banyak kata lagi Toa Ok memberi isarat kepada para pembantunya dan Tung-giam-ong juga segera bangkit dan ikut keluar. Serombongan orang yang menjadi pimpinan itu keluar membawa senjata masing-masing. Toa Ok berjalan di depan, diikuti Ji Ok dan Sam Ok, lalu Tung-giam-ong. Mereka terkejut dan terheran melihat bahwa yang datang hanya seorang pemuda saja. Akan tetapi Tung-giam-ong dan Bu-tek Ngo-sian mengenal pemuda itu dan sudah tahu akan kelihaiannya, maka mereka memandang dengan alis berkerut, tidak gentar karena mereka kini ditemani tiga pangcu dari Kwi-jiauw-pang dan yang lain-lain.

   "Hemm, orang muda, siapakah engkau dan apa maksudmu hendak bertemu dengan kami?"

   "Aku datang untuk menantang pembunuh pendekar Tan Tiong Bu di Sia-lin dan minta kembali Pek-lui-kiam yang dirampasnya!"

   Kata Si Kong sambil memandang tajam kepada Sam Pangcu atau Ang I Sianjin yang berjubah merah. Mendengar tantangan ini, semua orang tersenyum mengejek. Pemuda itu hanya seorang diri dan mereka terdiri dari lima belas orang jagoan.

   "Ha-ha-ha, katakan siapa engkau sebelum kami membunuh engkau, jangan sampai mati tanpa nama!"

   Gertak Toa Ok. Si Kong tersenyum. Pemuda perkasa ini tidak begitu tolol untuk mendatangi sarang harimau itu seorang diri pula. Dia telah bertemu dengan Pek Bwe Hwa dan Hui Lan, telah diperkenalkan pada Panglima Gui Tin dan Cang Hok Thian yang sudah memimpin pasukannya mendaki puncak dan mengepung puncak yang menjadi sarang Kwi-jiauw-pang itu. Dia muncul seorang diri akan tetapi teman-temannya menanti di belakangnya, siap untuk turun tangan kalau dia dikeroyok!

   "Toa Ok, biarkan Ang I Sianjin melawan aku, ataukah engkau sendiri yang akan maju?"

   Toa Ok mengerutkan alisnya.

   "Bocah sombong! Katakan siapa namamu!"

   "Toa Ok, apakah engkau sudah lupa kepadaku? Ingat, ketika engkau bersama Ji Ok dan Bu-tek Ngo-sian menyerbu Pulau Teratai Merah, kita sudah pernah saling berhadapan, akan tetapi kalian begitu pengecut untuk melarikan diri!"

   Toa Ok terbelalak dan mengingat-ingat. Kini teringatlah dia akan pemuda yang membawa tongkat dan hendak menerjangnya ketika mereka sudah terluka oleh perlawanan Ceng Lo-jin.

   "Hemm, kiranya engkau bocah di Pulau Teratai Merah itu?"

   "Benar, namaku Si Kong. Aku menantang Ang I Sianjin atau siapa saja yang menghalangiku untuk merampas kembali Pek-lui-kiam."

   "Engkau akan mampus dikeroyok!"

   Kata Gin Ciong yang membenci pemuda yang pernah di cinta Cu Yin itu. Si Kong tersenyum dan menatap tajam wajah Toa Ok yang kelihatan masih ragu-ragu. Kemudian dia berkata dengan suara lantang sehingga terdengar oleh semua orang yang berada di situ.

   "Toa Ok, jangan mencoba untuk main keroyokan! Aku tantang kalian untuk bertanding satu lawan satu. Kalau kalian mau main keroyokan, dibelakangku terdapat banyak kawan-kawanku, dan juga pasukan kerajaan telah mengepung sarang Kwi-jiauw-pang ini!"

   Toa Ok adalah seorang datuk yang cerdik. Dari laporan penjaga tadi, dia tidak perlu menyangsikan kebenaran ucapan Si Kong, bukan gertakan kosong belaka. Akan tetapi dia ditemani banyak orang pandai, kalau bertanding satu lawan satu belum tentu kalah. Dia juga melihat kebawah dan dibelakang Si Kong, teraling pohon-pohon dan semak-semak, kelihatan bayangan beberapa orang.

   "Si Kong, apakah engkau menepati janji untuk bertanding satu lawan satu dan tidak mengerahkan pasukan?"

   "Pasukan kerajaan akan maju kalau pasukan Kwi-jiauw-pang dan Pek-lian-pai bergerak, dan kawan-kawan akan maju kalau teman-temanmu maju pula! Engkau sebagai orang nomor satu disini, hayo majulah dan tandingi aku, murid Pendekar Sadis Ceng Thian Sin!"

   Tantang Si Kong yang sudah marah sekali. Mendengar disebutnya pemuda itu sebagai murid Pendekar Sadis, agak gentarlah hati rasa Toa Ok, dan dia lalu menoleh kepada Ji Ok dan berkata,

   "Ambilkan Pek-lui-kiam!"

   Ji Ok melompat pergi memasuki rumah induk. Si Kong yang mendengar ini, tersenyum.

   "Bagus, pergunakan Pek-lui-kiam kalau engkau merasa jerih kepadaku dan aku hanya akan menggunakan tongkat bambu ini!"

   Si Kong memalangkan tongkat bambu yang sudah di bawanya ke depan dada. Tak lama kemudian Ji Ok datang lagi sambil membawa pedang pusaka Pek-lui-kiam. Toa Ok menerima pedang itu lalu digantungkan di punggungnya, sedangkan tangan kananya memegang senjatanya yang istimewa, yaitu sebatang tongkat berbentuk ular yang tingginya sepundaknya. Agaknya dia akan membawa pedang pusaka itu agar jangan sampai dirampas orang lain dan juga agar dia dapat mempergunakannya dan mengandalkan keampuhannya kalau sampai dia terdesak. Selain itu, juga kalau pihaknya terdesak dan dia terpaksa melarikan diri, dia dapat membawa serta pedang pusaka itu.

   "Bocah sombong, sekarang saatnya bagimu untuk mampus ditanganku!"

   Toa Ok membentak untuk mengecilkan hati lawannya. Akan tetapi Si Kong tersenyum mengejek.

   "Toa Ok, ketika engkau menyerbu Pulau Teratai Merah dulu, masih untung guruku memberi maaf kepadamu sehingga tidak mencabut nyawamu. Akan tetapi sekarang aku tidak akan memberi maaf lagi karena kejahatanmu sudah meningkat dengan pemberontakan!"

   Mendengar ucapan ini, Toa Ok menjadi marah sekali dan dia sudah menggerakkan tongkat ularnya menerjang maju. Tongkat itu menyambar dahsyat ke arah kepala Si Kong, dibarengi dengan menyambarnya tangan kirinya yang melakukan pukulan dengan sinkang yang panas.

   Tangan kiri ini ampuh sekali, tidak kalah dahsyatnya dibandingkan tongkatnya. Namun Si Kong telah siap siaga. Dia maklum akan kelihaian datuk dari barat ini. Tongkatnya diputar secara aneh menangkis tongkat ular dan menyambar ke bawah menotok tangan kiri lawan yang terbuka dan didorongkan kepadanya. Toa Ok kaget karena dari kedudukan menyerang sekarang mendadak dia diserang! Tongkat ularnya mental kembali ketika bertemu tongkat bambu yang mengandung getaran kuat itu dan kini telapak tangan kirinya terancam totokan tongkat bambu. Dia cepat menarik kembali tangan kirinya dan tongkatnya sudah menyambar ke arah kedua kaki Si Kong. Dengan gerakan ringan bagaikan burung walet tubuh Si Kong meloncat ke atas sehingga tongkat ular itu lewat di bawah kakinya.

   Ketika tubuhnya masih terbang ke atas, tongkat bambunya sudah menyambar ke bawah, menotok ke arah belakang kepala Toa Ok. Kembali Toa Ok terkejut karena serangan balik Si Kong itu sama sekali tidak disangka-sangka. Memang disitulah letak kelihaian ilmu tongkat Ta-kauw Sin-tung, gerakannya sukar diduga lebih dulu dan amat aneh, tidak seperti ilmu tongkat pada umumnya. Ilmu tongkat Pemukul Anjing ini memang amat hebat dan pernah dengan ilmu itu Yok-sian Lo-kai malang melintang di dunia kang-ouw, dan menjadi tokoh nomor satu diantara seluruh kaipang (perkumpulan pengemis). Toa Ok harus memutar tubuhnya dilindungi oleh tongkat ularnya untuk dapat terhindar dari bahaya maut. Tongkatnya menangkis tongkat bambu yang menotok ke arah tengkuknya itu.

   "Trakkk!"

   Tongkat ular bertemu tongkat bambu dan tongkat ular mental kembali dengan kuatnya. Memang tongkat bambu ini cocok sekali untuk ilmu tongkat Ta-kauw Sin-tung, seolah dalam ruas-ruas tongkat yang kosong itu kini terisi tenaga sinkang yang kuat sekali, membuat tongkat bambu itu terasa keras dan berat ketika bertemu tongkat ular. Tiba-tiba Toa Ok melompat ke belakang dan sambil melompat itu tangannya bergerak. Sinar hitam menyambar ke arah Si Kong.

   Melihat sambaran senjata-senjata rahasia itu hebat sekali, Si Kong melepaskan capingnya dan sekali melemparkan caping itu, topi lebar itu berputar dan semua jarum hitam itu menancap pada caping dan runtuh ke atas tanah. Si Kong cepat menerjang ke depan dengan tongkatnya sehingga Toa Ok harus melindungi dirinya dengan putaran tongkat ularnya yang membentuk perisai melindungi seluruh tubuhnya. Melihat betapa Toa Ok sudah maju dan bertanding dengan pemuda itu dengan serunya, hati Tung-giam-ong menjadi tidak enak. Yang dikhawatirkan adalah kalau Toa Ok kalah dan pedang Pek-lui-kiam yang aseli di punggung Toa Ok itu sampai berpindah tangan terampas oleh pemuda lihai itu. Dia tidak dapat membantunya karena sebelumnya sudah berjanji terlebih dahulu. Akan tetapi dia ingin mengetahui kekuatan pihak lawan, maka diapun meloncat ke depan sambil menantang.

   "Siapa yang akan melayani aku? Marilah kita bertanding satu lawan satu!"

   Sebelum Hui Lan atau Bwe Hwa menyambut tantangan datuk besar dari timur itu, dari arah kiri meloncat seorang laki-laki tua yang bertubuh sedang, berwajah tampan dan sikapnya gagah. Orang ini bukan lain adalah Lam Tok Siangkoan Lok, datuk dari selatan itu. Begitu muncul, dia langsung menghadapi Tung-giam-ong Tio Sun sambil tersenyum lebar.

   "Tua bangka dari timur yang curang dan pengecut. Tentu engkau mengira bahwa aku sudah mati, bukan? Tidak, aku tidak mati sebelum mencabut nyawamu yang rendah itu!"

   Setelah berkata demikian, Lam Tok sudah mencabut pedangnya. Tung-giam-ong Tio Sun memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat. Dia melihat Lam Tok seperti melihat setan, melihat orang yang sudah mati hidup kembali! Bagaimana mungkin Lam Tok masih hidup dan segar bugar setelah menerima cakaran-cakaran beracun dari cakar setan, menerima pukulan sinkangnya dan kemudian bahkan terjatuh ke dalam jurang yang teramat dalam?

   "Kau... kau masih"

   Hidup?"

   Kata-kata ini keluar dari mulutnya dan seperti bertanya kepada diri sendiri, matanya masih terbelalak dan mulutnya ternganga. Akan tetapi diam-diam majikan Pulau Biruang itu telah mengerahkan tenaga Thai-yang Sin-ciang di tangan kirinya, siap untuk menyerang dengan pukulan jarak jauh.

   "Hemm, andaikata aku sudah mati, aku akan hidup kembali hanya untuk mencabut nyawamu!"

   Kata Lam Tok dan dia menggerakkan tangan kirinya. Tiga batang anak panah meluncur seperti kilat menyambar ke arah tubuh Tung-giam-ong. Akan tetapi pada saat itu, Tung-giam-oang sudah siap siaga dan dia lalu memukulkan tangan kirinya ke depan. Hawa pukulan yang amat kuat menyambut tiga batang anak panah itu dan tiga batang anak panah beracun itu runtuh ke atas tanah. Lam Tok menerjang ke depan, menggerakkan pedang di tangan kanan dan tangan kirinya siap melancarkan pukulan Jeng-kin-lat (Tangan Seribu Kati). Tung-giam-ong melihat serangan dahsyat dan berbahaya. Dia menggerakkan senjata tombak cagaknya menangkis sambil mengerahkan sinkangnya.

   "Tringg... cringgg...!!"

   Dua senjata itu bertemu dua kali dan kedua orang datuk itu terhuyung mundur beberapa langkah. Akan tetapi Lam Tok sudah menerjang lagi dengan hebatnya. Dia menyerang dengan pedangnya, memainkan ilmu silat Lam-hai Sin-ciang yang bergelombang, dan tangan kirinya juga membentuk cakar garuda mengirim serangan bergantian dengan pedangnya. Tung-giam-ong terpaksa harus memutar tombak cagaknya melindungi dirinya.

   "Tranggg...!"

   Kembali pedang berdentang ketika bertemu dengan tombak cagak dan pada saat itu, tangan kiri Lam Tok menyambar ke arah dada lawannya. Bukan main hebatnya serangan tangan kiri ini karena menggunakan tenaga seribu kati dan tangan kiri yang ampuh itu mengandung racun yang berbahaya sekali. Maklum bahwa lawannya adalah seorang ahli racun yang lihai, Tung-gia-ong terpaksa menghindarkan diri dengan elakan ke kiri sambil menusukkan tombak cagaknya ke arah lambung Lam Tok

   "Cringgg...!"

   Kembali kedua senjata saling bertemu dan bunga api berpijar. Keduanya kembali saling serang dengan hebatnya. Sementara itu, ketika Ji Ok melihat betapa kakaknya mulai terdesak melawan Si Kong, dia lalu meloncat ke depan dengan maksud untuk mengeroyok. Toa Ok dan Ji Ok memang biasanya maju bersama dan pasangan ini merupakan lawan yang amat tangguh.

   "He-he, tidak boleh main keroyokan! Engkau adalah lawanku, Ji Ok!"

   Terdengar bentakan dari samping dan seorang kakek tinggi besar berkepala botak telah melompat dan menyambut Ji Ok dengan melintangkan sepasang goloknya di depan dada dan sikapnya menantang. Ji Ok segera mengenal kakek ini yang bukan lain adalah Pai Ong Loa Thian Kun. Dia dijuluki Pai Ong (Raja Utara) karena semua orang kang-ouw di utara menganggap dia sebagai rajanya dunia kang-ouw.

   "Pai Ong! Jangan mencampuri urusan kami!"

   Ji Ok membentak marah.

   "Heh-he-heh! Engkau dan Toa Ok yang mengundang kami semua naik ke sini. Sekarang aku sudah datang dan melihat ramai-ramai mengadu kepandaian ini, aku tidak mau ketinggalan. Toa Ok sudah mendapatkan lawan, kalau engkau maju, akulah lawanmu untuk menentukan siapa yang lebih lihai diantara kita, dan siapa yang lebih berhak mendapatkan Pek-lui-kiam!"

   Ji Ok adalah seorang datuk besar dari barat. Tentu saja dia tidak gentar melawan Pai Ong. Dia menggerakkan kepala dan rambutnya yang tadi sebagian terurai ke depan, kini tergantung dibelakang punggungnya sampai ke pinggang. Wajahnya yang menyeramkan seperti wajah monyet penuh rambut itu nampak marah, matanya kemerahan dan hidungnya mendengus-dengus. Tangannya meraih kepunggung dan dia telah mencabut senjatanya yang istimewa, yaitu sebatang pecut penggembala yang berekor panjang.
(Lanjut ke Jilid 20 - Tamat)
Pendekar Kelana (Seri ke 12 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 20 (Tamat)

   "Pai Ong, jangan mengira bahwa aku takut melawanmu!"

   "Tar-tar-tarr...!"

   Pecutnya meledak-ledak di udara dan nampak asap mengepul saking kuatnya pecut itu melecut, dan di lain saat dia sudah menyerang Pai Ong dengan pecutnya. Pai Ong menggerakkan sepasang goloknya, menyambut lecutan itu dengan gerakan menggunting dengan sepasang goloknya. Ji Ok tidak membiarkan pecutnya digunting dua batang golok. Ditariknya kembali pecutnya dan kini tiba-tiba dia menyerang kedua kaki lawan dengan sabetan pecutnya.

   Pai Ong melompat ke atas akan tetapi dari atas menyambar sinar hitam yang bukan lain adalah rambut panjang Ji Ok yang menyambar begitu dia menggerakkan kepalanya. Ternyata Ji Ok dapat menggunakan rambutnya untuk menyerang dengan cepat dan berbahaya karena rambut itu mengandung tenaga sin-kang yang kuat. Pai Ong kembali menangkis dengan golok kirinya, dengan maksud untuk menyabet putus rambut itu, sementara golok kanannya sudah membacok ke arah pinggang lawan. Dari kedudukan menyerang kini Ji Ok malah terserang hebat. Maka dia mencelat ke belakang untuk mengelak, lalu memutar tubuh dan kembali menyerang dengan pecutnya. Dua orang datuk ini sudah bertanding dengan hebatnya. Setiap serangan mereka merupakan serangan maut yang berbahaya.

   Melihat betapa Toa Ok dan Ji Ok sudah maju dan berkelahi dengan para pendatang itu, Sam Ok atau Ang I Sianjin menjadi marah. Bagaimanapun juga, tadinya puncak Kwi-liong-san adalah sarang dari perkumpulannya. Dialah tuan rumah disitu. Kini, agaknya perkumpulannya terancam oleh Si Kong dan kawan-kawannya, bahkan Lam Tok dan Pai Ong, dua orang datuk besar itu, menentang Kwi-jiauw-pang seperti berpihak kepada Si Kong. Dia merasa berbesar hati karena bagaimanapun dia memiliki seratus orang lebih anggauta Kwi-jiauw-pang dan seratus orang lebih anggauta Pek-lian-pai. Kalau dia mengerahkan semua pembantunya maju, pihaknya tidak akan kalah. Agaknya Tio Gin Ciong berpendapat sama dengan Sam Ok. Melihat betapa Ayahnya, Tung-giam-ong kini telah di lawan oleh Lam Tok, dia menjadi marah sekali.

   Diapun meloncat ke depan dengan maksud untuk membantu Ayahnya menghadapi Lam Tok. Akan tetapi pada saat itu, muncul Pek Bwe Hwa dan Hui Lan. Hui Lan melompat ke depan saat Sam Ok dan Gin Ciong maju sehingga dara ini menghadapi dua orang lawan. Tanpa banyak cakap lagi Sam Ok dan Gin Ciong sudah menggunakan senjata masing-masing untuk menerjang Hui Lan. Sam Ok menggunakan pedang di tangan kanan dan kipas di tangan kiri, sedangkan Gin Ciong juga menggunakan pedangnya. Biarpun dara itu diserang oleh dua orang lawan, namun Hui Lan sama sekali tidak menjadi gentar. Hok-mo Siang-kun (Sepasang Pedang Penakluk Iblis) telah berada di kedua tangannya dan begitu ia memainkan sepasang pedang itu, nampak sinar hitam bergulung-gulung, dan gulungan sinar yang seperti sepasang naga bermain di angkasa.

   Begitu gadis itu memainkan sepasang pedangnya, Sam Ok dan Gin Ciong terkejut dan main mundur, mencoba untuk mengepung dara itu dari kiri dan kanan. Segera dua orang pengeroyok itu melakukan serangan bertubi-tubi, akan tetapi semua serangan itu terpental kembali begitu bertemu dengan dua gulungan sinar hitam itu. Coa Leng Kun merasa tidak enak kalau tinggal diam saja. Dia melompat ke depan untuk membantu pihak tuan rumah, akan tetapi Bwe Hwa melompat ke depannya dengan muka kemerahan karena gadis ini sudah marah sekali melihat Coa Leng Kun. Ia teringat betapa ia hampir celaka, dipengaruhi sihir empat orang tokoh Pek-lian-kauw kemudian ia dikeroyok oleh Leng Kun dan See-thian Su-hiap. Ia yang tadinya tertarik dan kagum kepada Leng Kun ternyata hanya ditipu saja oleh pemuda berpakaian serba putih dan yang bersenjata suling itu!

   "Jahanam Coa Leng Kun, sekarang tiba saatnya aku membasmi manusia berwatak rendah dan hina seperti kamu!"

   Melihat munculnya Pek Bwe Hwa, Leng Kun terkejut bukan main. Dia sudah tahu akan kelihaian gadis itu, maka dia lalu menoleh kearah See-thian Su-hiap dan berkata,

   "Su-wi totiang, bantulah aku!"

   See-thian Su-hiap memang sudah siap untuk bertanding, maka mendengar permintaan Leng Kun, mereka berlompatan dan mengepung gadis itu. Melihat ini, Cang Hok Thian melompat ke depan dan membantu Bwe Hwa. Dua orang muda ini berhadapan dengan lima orang lawan dan mereka segera bergerak mengamuk, membuat lima orang pengeroyok itu mengepung dengan hati-hati. Pertempuran itu menjadi semakin hebat ketika Bu-tek Ngo-sian maju pula mengeroyok. Dua orang dari mereka membantu Toa Ok yang sudah terdesak oleh Si Kong, dua orang lagi membantu Ji Ok yang juga kerepotan menghadapi serangan Pai Ong, dan seorang lagi membantu Tung-giam-ong yang sedang bertanding melawan Lam Tok.

   Panglima Gui Tin melihat betapa pertandingan itu sudah tidak adil lagi, melainkan main keroyokan. Maka diapun memberi aba-aba kepada pasukannya. Beratus-ratus pasukan kerajaan menyerbu dan mengepung tempat itu, mengepung sarang Kwi-jiauw-pang dan pasukan Kwi-jiauw-pang dan Pek-lian-pai menyambut mereka. Terjadilah pertempuran sengit dan hiruk-pikuk di puncak Kwi-liong-san. Akan tetapi pasukan kerajaan berjumlah tiga sampai empat kali lebih banyak dibandingkan pasukan pemberontak, maka pertempuran itu menjadi berat sebelah. Gui Tin yang berpengalaman dalam pertempuran segera melihat bahwa pasukannya akan menang dengan mudah. Dia lalu memilih belasan orang pembantunya yang memiliki ilmu silat tinggi untuk membantu para pendekar yang dikeroyok.

   Bu-tek Ngo-sian dan See-thian Su-hiap tidak dapat lagi membantu kawan-kawan mereka karena mereka sendiri menghadapi pengeroyokan para prajurit. Kini Si Kong berhadapan satu lawan satu dengan Toa Ok. Ketika dia mendapat kesempatan, pemuda itu memutar tongkat bambunya dan melibat tongkat ular lawan. Selagi mereka saling betot, Si Kong mempergunakan Hok-liong Sin-ciang untuk menyerang dengan tangan kirinya. Ilmu silat Hok-liong Sin-ciang ini merupakan ilmu silat istimewa dari mendiang Ceng Lo-jin. Pukulan yang dilakukan tangan kiri Si Kong itu mendatangkan hawa pukulan yang amat dahsyat. Karena tongkat mereka seolah menjadi satu sama lain, tidak ada jalan lain bagi Toa Ok kecuali menangkis dengan dorongan tangan kiri pula.

   "Plakkk!"

   Dua telapak tangan bertemu, akan tetapi Si Kong sudah menyimpan tenaga Hok-liong Sin-ciang dan menggantikan dengan ilmu Thi-ki-i-beng! Seketika Toa Ok merasa betapa tenaga sin-kangnya membocor keluar dari tangan kirinya, tersedot oleh telapak tangan kiri Si Kong. Dia terkejut sekali dan teringat akan ilmu Thi-ki-i-beng yang amat berbahaya itu. Cepat dia menyimpan kembali tenaga sin-kangnya. Setelah tidak lagi menggunakan sin-kang, tempelan telapak tangan itu terlepas dengan sendirinya. Akan tetapi pada saat itu, tangan kiri Si Kong menghantam ke arah tongkat ular dengan tangan miring seperti sebatang golok.

   "Krekk!"

   Tongkat berbentuk ular itu patah menjadi dua potong. Marahlah Toa Ok. Dia membuang tongkat yang sudah patah itu dan mencabut pedang di punggungnya. Tampak sinar terang berkilat ketika pedang tercabut dan sekali ini Si Kong maklum bahwa yang berada di tangan Toa Ok itu adalah pedang Pek-lui-kiam yang aseli dan karena itu ampuh sekali. Sinar terang itu menyambar ke arah lehernya dari samping. Si Kong menggetarkan tongkat bambunya untuk menangkis.

   "Crokk!"

   Tongkat bambunya putus menjadi dua potong. Si Kong terkejut sekali. Tongkat bambunya itu tidak akan putus bertemu dengan senjata tajam yang manapun juga. Akan tetapi sekali ini, begitu bertemu Pek-lui-kiam lalu putus, padahal dia sudah mengerahkan tenaga sin-kangnya! Terdengar Toa Ok tertawa mengejek dan kakek itu terus menyerang dengan gencar. Si Kong menggunakan dua potongan bambu di tangan kanan dan kiri untuk menyambut, akan tetapi berturut-turut tongkat bambu yang sudah menjadi pendek itu putus lagi.

   Dia lalu membuang potongan tongkat bambu itu dan menggunakan kelincahan tubuhnya untuk mengelak dari sambaran Pek-lui-kiam. Biarpun Toa Ok menyerang dan mendesak dengan pedang pusakanya, namun gerakan Si Kong terlampau gesit sehingga semua serangannya hanya mengenai tempat kosong saja. Makin cepat Toa Ok menyerang, semakin cepat pula Si Kong bergerak mengelak dan dia sudah menggunakan ilmu silat Yan-cu Hui-kun yang membuat tubuhnya seperti seekor burung walet saja gesitnya. Setelah lewat lima puluh jurus sejak Toa Ok mencabut Pek-lui-kiam Si Kong mendapatkan kesempatan yang baik. Secepat kilat dia menangkap pergelangan tangan kanan lawan yang memegang pedang. Tangan kiri Toa Ok melakukan pukulan dengan sin-kang panas ke arah dada Si Kong dalam jarak dekat. Akan tetapi Si Kong menerima pukulan itu dengan dadanya.

   "Bukk!"

   Telapak tangan Toa Ok melekat pada dada Si Kong dan seketika hawa sin-kang membanjir keluar dari tangan kiri Toa Ok, tersedot oleh ilmu Thi-ki-i-beng! Toa Ok terkejut bukan main, akan tetapi Si Kong sudah mengerahkan tenaganya dan menggunakan tangan kanan untuk merenggut pedang Pek-lui-kiam dari tangan kanan Toa Ok. Karena Toa Ok sedang sibuk hendak melepaskan tangan kirinya, maka dia tidak dapat mempertahankan pedang itu yang dapat terampas oleh Si Kong. Dia menggereng marah dan menggerakkan tangan kirinya tanpa pengerahan sin-kang. Akan tetapi dia terlambat. Si Kong sudah memukulnya dengan jurus Hok-liong Sin-ciang dan pukulan itu tepat mengenai ulu hatinya.

   Dess...!!"

   Tubuh Toa Ok terlempar seperti bola dan jatuh terbanting ke atas tanah tanpa bergerak lagi. Isi dadanya sudah remuk oleh pukulan yang amat hebat itu! Pada saat yang hampir bersamaan, Hui Lan sudah merobohkan Sam Ok atau Ang I Sianjin dengan pedang hitamnya. Dada Ang I Sianjin tertusuk pedang dan diapun roboh dan tewas seketika.

   Setelah merobohkan Sam Ok, Hui Lan mengamuk dan robohlah Tio Gin Ciong dan Kui Hwa Cu, orang pertama dari See-thian Su-hiap. Mendengar teriakan maut puteranya, Tung-giam-ong terkejut dan perhatiannya terpecah sehingga Lam Tok berhasil memukul dada datuk besar timur itu dengan tangan kirinya. Pukulan itu beracun dan hebat sekali sehingga tubuh Tung-giam-ong terjengkang keras dan diapun tewas seketika. Dapat dibayangkan betapa paniknya Ji Ok yang masih dapat bertahan melawan Pai Ong. Akan tetapi karena hatinya sudah merasa takut melihat robohnya teman-temannya, terutama robohnya Toa Ok, dia main mundur dan mencari kesempatan untuk melarikan diri. Dia memutar pecutnya dengan cepat, membentuk perisai yang lebar menutupi tubuhnya dan tiba-tiba tangan kirinya bergerak ke depan.

   Tiga batang paku beracun menyambar ke arah tubuh Pai Ong. Datuk utara ini cepat mengelak sambil meloncat ke kiri dan kesempatan itu di pergunakan oleh Ji Ok untuk melarikan diri. Akan tetapi baru lima langkah dia lari, Pai Ong menggerakkan tangan kirinya dan golok di tangan kirinya itu meluncur dan menancap di punggung Ji Ok sampai tembus ke dadanya dan Ji Ok roboh. Diapun tewas seketika. Yang masih bertahan terhadap Bwe Hwa hanya Coa Leng Kun. Pemuda ini masih dapat bertahan karena dia dibantu oleh dua orang dari Bu-tek Ngo-sian yang lihai. Melihat betapa Bwe Hwa belum dapat merobohkan lawan yang mengeroyoknya, Hui Lan melompat dan membantu Bwe Hwa. Kini pertempuran itu menjadi berat sebelah dan dengan mudah pedang Kwan-im-kiam di tangan Bwe Hwa menyambar dan melukai leher Coa Leng Kun.

   Dua orang Bu-tek Ngo-sian itu, orang pertama Ciok Khi dan orang kedua Sia Leng Tek, menjadi gentar akan tetapi tidak ada kesempatan bagi mereka untuk melarikan diri sedangkan tiga orang adik mereka juga sudah terdesak oleh pengeroyokan banyak prajurit. Mereka berdua menjadi nekat melawan dua orang gadis perkasa itu. Akan tetapi karena hati mereka sudah gentar, permainan pedang mereka menjadi lemah dan hampir berbareng mereka roboh oleh tusukan pedang Hui Lan dan pedang Bwe Hwa. Para anggauta Kwi-jiauw-pang dan Pek-lian-pai sudah banyak yang tewas melawan pasukan kerajaan yang tiga empat kali lebih banyak jumlahnya. Tiga orang dari See-thian Su-hiap dan tiga orang dari Bu-tek Ngo-sian masih bertahan,

   Akan tetapi Si Kong, Hui Lan dan Bwe Hwa menerjang mereka dan dalam waktu singkat saja mereka semua sudah roboh dan tewas. Apalagi karena Si Kong mempergunakan Pek-lui-kiam yang amat ampuh sehingga sepak terjangnya menggiriskan. Begitu sinar berkelebat, sudah ada seorang lawan yang tewas! Melihat ini, sisa anak buah Kwi-jiauw-pang dan Pek-lian-pai menjadi ketakutan dan mereka membuang senjata dan berlutut menyerah. Panglima Gui Tin lalu menyuruh pasukannya untuk menangkapi mereka, kemudian dia memerintahkan pasukannya untuk mundur. Setelah memeriksa keadaan pasukannya, dia lalu memerintahkan pasukannya untuk bekerja, mengubur semua jenazah dan mengobati mereka yang terluka. Sementara itu, Lam Tok berhadapan dengan Pai Ong. Mereka saling pandang dan Lam Tok yang lebih dulu berkata,

   

Kumbang Penghisap Kembang Eps 13 Kumbang Penghisap Kembang Eps 12 Jodoh Si Mata Keranjang Eps 20

Cari Blog Ini