Ceritasilat Novel Online

Pendekar Sakti 9


Pendekar Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 9



Dan tubuh An Lu Kui selalu terpukul dengan tepat oleh tangan Kwan Cu yang kecil! An Lu Kui menyumpah-nyumpah. Ang-Bin Sin-Kai tertawa tergelak-gelak dan Kwan Cu bersorak girang. Bocah gundul itu kini duduk di punggung Gurunya dengan tangan kanan terangkat, siap untuk menempiling, menampar, dan menghantam dan menyodok ke arah "Pintu terbuka"

   Dari lawannya! Adapun Ang-Bin Sin-Kai bagi An Lu Kui seolah-olah merupakan manusia asap saja. Kemana pun sepasang tombaknya menyerang, selalu tidak dapat mengenai tubuh Kakek aneh itu. Ia mulai menjadi gentar dan tamparan-tamparan tangan Kwan Cu biarpun tidak dapat melukainya, namun cukup pedas dan memanaskan kulit, terutama sekali memanaskan hatinya.

   "Orang Tartar, kau masih belum cukup?"

   Tiba-tiba Ang-Bin Sin-Kai berseru dan entah dengan gerakan apa, karena Kwan Cu sendiri tidak mengenal gerakan Gurunya ini, tahu-tahu sepasang tombak cagak di tangan An Lu Kui itu telah pindah tangan. Ang-Bin Sin-Kai menggerakkan kedua tombak itu dan terdengar suara "krak!"

   Patahlah dua batang tombak itu menjadi empat batang! Dengan tersenyum Ang-Bin Sin-Kai melemparkan potongan-potongan tombak itu ke dalam jurang, lalu berkata kepada An Lu Kui yang berdiri dengan muka merah dan terheran-heran.

   "Tidak patut sekali seorang Perwira seperti engkau ini menghina seorang bocah kecil. Pergilah!"

   An Lu Kui menjadi malu sekali. Ia menjura dan berkata,

   "Mohon banyak maaf Siauwte tidak mengenal orang pandai. Siauwte An Lu Kui mohon tanya, siapakah nama Lo-Enghiong yang terhormat?"

   Ang-Bin Sin-Kai tidak mau melayaninya, bahkan lalu menggerakkan kedua kakinya dan melompatlah dia turun dari bukit.

   "An-Sianseng (tuan An), Suhuku itu adalah Ang-Bin Sin-Kai!"

   Kata Kwan Cu yang cepat-cepat berlari turun gunung mengikuti Suhunya. An Lu Kui tertinggal di bukit itu, berdiri tak bergerak bagaikan patung. Celaka tiga belas, pikirnya. Mengapa aku selalu bertemu dengan setan-setan itu?

   Ia teringat akan pengalamannya dengan Pak-Lo-Sian Siangkoan Hai dan sebelum sakit hatinya karena terhina oleh Kakek itu terbalas, sekarang dia mengalami hinaan pula dari Ang-Bin Sin-Kai! Aah, orang-orang Han banyak yang hebat dan luar biasa sekali, keluhnya. Baiknya mereka itu tidak ambil peduli tentang kedudukan dan keadaan pemerintah. Kalau Kaisar tidak begitu bodoh dan dapat menghargai orang orang seperti itu, negara manakah di dunia ini yang dapat menandingi Tiongkok? Dengan hati mengkal sekali, An Lu Kui lalu turun dari bukit itu dan kembali ke markas besar kakaknya di mana dia melatih diri dalam ilmu silat dan ilmu perang dangan amat tekunnya. Dalam hal ilmu perang, barisan yang dipimpin An Lu Shan benar-benar memperoleh kemajuan hebat sekali, berkat petunjuk dan pelajaran dari kitab Im-Yang Bu-Tek Cin-Keng palsu yang diterjemahkan Gui Tin atau Gui-Siucai itu.

   Adapun Kwan Cu lalu melanjutkan perjalanannya dengan Ang-Bin Sin-Kai, dan semenjak itu, Kwan Cu makin tekun mempelajari ilmu silat, karena kini terlihatlah olehnya kegunaan dari pada ilmu ini. Akan tetapi, tetap saja jika dibandingkan dengan murid-murid tokoh lain, dia terhitung yang paling bodoh. Terhitung beberapa bulan yang lalu, menghadapi kedua orang murid Pak-Lo-Sian Siangkoan Hai, dia masih dipermainkan dan beberapa hari kemudian semenjak bertemu dengan An Lu Kui, terjadilah peristiwa lain yang selain menunjukkan bahwa dia masih kalah jauh oleh murid tokoh lain, juga membikin tubuh dan hatinya sakit sekali. Hal itu terjadi ketika mereka telah tiba di kaki bukit Liang-San. Ketika itu, Kwan Cu sedang hendak bertanya keterangan kepada penduduk dusun tentang mendiang Gurunya yang di tempat ini dahulu terkenal dengan sebutan Gui-Lokai (Pengemis tua she Gui). Tiba-tiba terdengar suara ketawa seperti gembreng dipukul dan disusul oleh suara yang keras.

   "Lu Thong, lihat ini adalah saudara misanmu!"

   Di depan Kwan Cu, muncullah Jeng-Kin-Jiu Kak Thong Taisu, Hwesio gundul yang bundar seperti bal tubuhnya itu, tokoh utama dari Selatan! Dan di sampingnya berjalan seorang anak laki-laki yang dikenal baik oleh Kwan Cu sebagai putera Bangsawan yang dahulu menghina Gui Tin dan yang memerintah anjingnya untuk mengeroyok Gui-Siucai! Memang benar, anak itu adalah putera dari Lu Seng Hok, atau cucu dari Menteri Lu Pin! Seperti biasa, Jeng-Kin-Jiu Kak Thong Taisu melakukan perantauannya, kali ini diikuti oleh muridnya. Semenjak menjadi murid Kak Thong Taisu, sikap Lu Thong benar-benar berubah sekali.

   Ia mempelajari ilmu silat dengan amat tekunnya dan menurut segala nasihat Suhunya. Di luarnya, anak ini bersikap baik sekali, pendiam dan tidak jahat atau sombong seperti dahulu. Bahkan pakaiannya, menurut petunjuk dari Suhunya, tidak mewah seperti dulu pula, melainkan pakaian sederhana saja. Biarpun dia dibawa merantau dan hidup sengsara, dia tidak pernah mengeluh, bahkan tidak menolak ketika Suhunya menyuruh dia mengemis makanan! Lu Thong memiliki kekerasan hati dan ketekunan luar biasa sekali sehingga segala keinginan dan nafsunya dapat dia tekan sedemikian rupa sehingga dia merupakan seorang murid yang baik sekali. Tentu saja Gurunya amat sayang kepadanya dan menurunkan ilmu-ilmu silat yang tinggi sehingga sebentar saja Lu Thong memperoleh kemajuan pesat sekali.

   Ketika melihat Kwan Cu dan Ang-Bin Sin-Kai, tentu saja Jeng-Kin-Jiu menjadi girang sekali dan diam-diam dia mengandung hati iri terhadap Ang-Bin Sin-Kai. Sesungguhnya, adalah pengharapannya untuk menurunkan kepandaiannya bersama Ang-Bin Sin-Kai di tepi Laut Po-hai itu. Sebaliknya, Lu Thong mengenal Kwan Cu sebagai bocah jembel yang dulu menolong jembel tua di halaman rumahnya, maka diam-diam dia menjadi gemas sekali. Dulu dia mudah ditakut-takuti oleh bocah gundul ini, akan tetapi sekarang, setelah dia merasa mempunyai kepandaian ilmu silat, dia tidak takut lagi bahkan ingin dia membalasnya! Akan tetapi dia tidak kenal kepada Ang-Bin Sin-Kai, yang sesungguhnya masih kongkongnya sendiri, karena Ayahnya adalah keponakan dari Pengemis tua ini.

   "Gundul bangkotan! Kau di sini?"

   Ang-Bin Sin-Kai menegur dengan muka girang. Di antara para tokoh persilatan, dia lebih suka Hwesio gemuk ini yang selain lucu, juga mempunyai kejujuran dan berhati baik. Jeng-Kin-Jiu Kak Thong Taisu tertawa bergelak

   "Lucu, lucu sekali. Ha, ha, ha! Sekeluarga bertemu di sini, ha, ha, ha! Dan alangkah hebat dan lucunya keluarga ini. Eh, Pengemis kelaparan, kau tahu siapa anak yang menjadi muridku ini?"

   Ang-Bin Sin-Kai memandang, akan tetapi dia tidak mengenal cucunya sendiri. Tadi ketika Jeng-Kin-Jiu Kak Thong Taisu memanggil Lu Thong, dia tidak memperhatikan. Maka dia lalu menggelengkan kepalanya.

   "Kenalkah kau pada Pengemis kelaparan ini?"

   Tanya Jeng-Kin-Jiu Kak Thong Taisu kepada muridnya. Juga Lu Thong menggelengkan kepalanya setelah memandang tajam.

   "Teecu tidak kenal, Suhu."

   "Lu Thong, inilah Kong-kongmu yang tidak mau mengajar ilmu silat padamu!"

   Kata Kak Thong Taisu. Terbelalak mata Lu Thong.

   "Ang-Bin Sin-Kai...??"

   Katanya perlahan.

   "Ya, ya! Dialah Ang-Bin Sin-Kai Lu Sin, Twa-pek (Uwa) dari Ayahmu!"

   Adapun Ang-Bin Sin-Kai juga terkejut mendengara kata-kata ini.

   "Gundul jahat! Apakah muridmu ini putera Lu Seng Hok?"

   Lu Thong sekarang telah dapat mengubah sikapnya dan diapun amat cerdik. Ia tahu bahwa Ang-Bin Sin-Kai ini seorang tokoh yang pandai, maka dia cepat menjatuhkan dirinya berlutut di depan Pengemis tua itu.

   "Kong-kong, harap maafkan cucumu yang tidak tahu adat!"

   Katanya sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Diam-diam Kwan Cu merasa heran sekali mengapa anak yang begitu jahat seperti ketika dilihatnya di depan gedung itu, kini dapat bersikap sopan santun dan baik. Biarpun Ang-Bin Sin-Kai Lu Sin tidak setuju dengan pendirian adiknya Lu Pin yang bekerja membantu Kaisar yang dianggapnya lemah dan tidak baik, namun melihat cucunya ini, timbul juga rasa terharu dalam hatinya.

   "Bagus kau menjadi murid Jeng-Kin-Jiu, belajarlah baik-baik,"

   Katanya sambil mengelus-elus kepala Lu Thong yang berambut hitam panjang itu.

   "Kong-kong, biarpun cucumu ini menjadi murid dari Suhu Kak Thong Taisu, namun masih amat mengharapkan semacam ilmu silat dari Kong-kong sebagai warisan sehingga kelak jangan ada yang mengatakan bahwa sebagai cucu Ang-Bin Sin-Kai yang terkenal, cucumu ini tidak tahu sama sekali tentang kepandaian Kong-kongnya sendiri. Bukankah itu amat tidak baik bagi keluarga kita?"

   Semua orang termasuk Kwan Cu, tertegun mendengar ini. Ucapan itu selain tepat, juga cerdik sekali. Jeng-Kin-Jiu menegur muridnya.

   "Eh, Lu Thong. Apakah kau tidak puas dengan pelajaran yang kau dapat dari pinceng?"

   Buru-buru Lu Thong memberi hormat kepada Suhunya.

   "Tidak sama sekali, Suhu. Teecu merasa girang dan puas menerima pelajaran yang amat berharga dari Suhu. Hanya saja, Teecu minta tanda mata sebagai warisan dari Kong-kong, apakah ini salah?"

   Terdengar Ang-Bin Sin-Kai tertawa bergelak.

   "Kau tidak mengecewakan menjadi cucu Lu Pin, karena kau memiliki kecerdikan. Ha, ha, ha, ha, ha! Jangan bicara tentang kekeluargaan, karena aku Lu Sin telah menjadi keluarga dari bumi dan langit. Tidak ada manusia yang bukan keluargaku, karena bukankah manusia di seluruh dunia ini bersaudara belaka? Betapapun juga, untuk kecerdikanmu itu, biarlah aku menurunkan ilmu silat keturunanku, yakni Ilmu Silat Kong-Jiu-Toat-Beng (Dengan Tangan Kosong Merenggut Nyawa)! He, Hwesio gundul, kau terimalah Kong-Jiu-Toat-Beng untuk diajarkan kepada muridmu ini, akan tetapi bersumpahlah bahwa selama hidupmu kau takkan mempergunakan ilmu ini!"

   Katanya kemudian kepada Kak Thong Taisu. Kak Thong Taisu tertawa bergelak.

   "Pengemis kelaparan! Kau kira aku sudah begitu rakus untuk mengambil ilmu silatmu? Tanpa meniru akupun tak dapat kau kalahkan. Aku bersumpah!"

   Ia mengangkat kedua tangan di depan dada seperti menghormat kepada Buddha. Ang-Bin Sin-Kai mengangguk puas, lalu Kakek ini bersilat tangan kosong. Dalam pandangan Lu Thong dan Kwan Cu, Kakek ini bergerak cepat sekali seperti orang menari-nari dengan jari-jari tangan terbuka. Akan tetapi setelah Ang-Bin Sin-Kai mengulangi sampai dua kali ilmu silat tangan kosong yang terdiri dari dua puluh empat jurus itu, Jeng-Kin-Jiu sudah dapat menghafalnya!

   "Hebat, hebat! Pinceng sudah hafal semua,"

   Kata Hwesio gemuk itu. Ang-Bin Sin-Kai tertawa lagi.

   "Eh, Thong-ji (anak Thong), sekarang coba, kau menghadapi Kwan Cu, hendak kulihat Hwesio bundar ini sampai berapa jauhnya memberi pelajaran kepadamu!"

   Kemudian dia menoleh kepada Kwan Cu.

   "Coba kau layani Lu Thong, hitung-hitung berlatih!"

   Kwan Cu baru saja mempelajari dua macam ilmu silat, yakni ilmu mempertahankan diri Pai-Bun-Tui-Pek-To dan ilmu menyerang Sam-Hoan-Ciang. Mendengar ucapan Suhunya, dengan taat dia lalu berdiri menghadapi Lu Thong sambil memasang kuda-kuda.

   "Lu Thong, kau hadapi dia dengan Lam-Hai-Kong-Jiu (Tangan kosong Dari Laut Selatan)!"

   Kata Jeng-Kin-Jiu sambil tertawa-tawa gembira. Bagi dia dan juga Ang-Bin Sin-Kai, tidak ada kesenangan yang lebih menggembirakan daripada tandingan silat, seperti dua orang Kakek yang sudah "nyandu"

   Adu Ayam melihat dua jago berlaga.

   Berbeda dengan Kwan Cu, Lu Thong sudah banyak mempelajari ilmu silat dari Gurunya, dan dalam hal tingkat kepandaian silat, Lu Thong juga cerdik dan berbakat, terutama sekali karena baru-baru saja Kwan Cu mulai mempelajari ilmu pukulan dari Ang-Bin Sin-Kai dan juga baru saja anak ini mulai suka mempelajari ilmu silat yang tadinya dianggap sebagai ilmu memukul orang yang tiada gunanya. Akan tetapi, kalau dilihat dari isinya, dasar dalam diri Kwan Cu jauh lebih kuat. Bocah gundul ini memiliki tubuh yang kuat, di tambah pula oleh nasibnya yang baik sehingga dia tanpa sengaja telah makan Coa-Ko (Buah Ular), kemudian Ang-Bin Sin-Kai yang memang sengaja melatihnya kuda-kuda terus-menerus sehingga berdasar kuat sekali. Ketika Lu Thong sudah siap, cucu Menteri ini serta-merta melancarkan serangan-serangan hebat dengan kedua kepalan tangannya.

   Kwan Cu cepat mainkan Pai-Bun-Tui-Pek-To, ilmu silat mempertahankan diri yang baru saja dipelajarinya. Ketika lengan tangannya beradu dengan lengan tangan Lu Thong, dia merasa kulit lengannya pedas, maka tahulah dia bahwa Lu Thong memiliki tenaga Gwakang yang lihai sekali. Memang, Jeng-Kin-Jiu Kak Thong Taisu adalah seorang ahli Gwakang yang memiliki tenaga hebat. Semenjak belajar kepadanya, dia telah melatih kedua tangan muridnya ini dengan tekun dan menggembleng tangan Lu Thong dengan latihan-latihan memukul pasir panas. Biarpun usianya masih delapan tahun, namun Lu Thong telah berani mempergunakan lengannya untuk menangkis serangan tongkat! Kwan Cu berlaku hati-hati dan dalam menghadapi serangan lawannya, dia lalu mempergunakan tenaga Lweekang.

   Ia tidak mau mengadu kekerasan, dan hanya menolak lengan lawan dengan meminjam tenaga. Kagetlah Lu Thong ketika dia merasa betapa kedua tangan Kwan Cu seperti karet saja, lunak dan setiap pukulannya dapat ditangkis dengan tak banyak tenaga. Ia menjadi penasaran dan mengeluarkan ilmu silatnya, menyerang dengan Ilmu Silat Lam-Hai-Kong-Jiu yang ganasnya seperti gelombang Laut Selatan mengamuk. Kwan Cu terdesak hebat dan payah juga. Biarpun ilmu silatnya Pai-Bun-Tui-Pek-To dapat dipergunakan untuk menghindarkan semua serangan lawan, dan biarpun dia melihat adanya pintu-pintu terbuka dalam kedudukan Lu Thong, namun dia tidak sempat membalas serangan lawan. Cara mengombinasikan Ilmu Silat Pai-Bun-Tui-Pek-To dan Sam-Hoan-Ciang belum dipahaminya benar.

   Namun dengan sekuat tenaga dia melakukan perlawanan. Beberapa kali kepalan tangan Lu Thong telah mengenai tubuhnya, namun berkat tenaga Lweekang, pukulan itu tidak sampai membuat dia terjungkal. Menarik sekali kalau dilihat sikap kedua orang Kakek yang menonton murid-murid mereka bertempur. Ang-Bin Sin-Kai duduk di atas tanah, bersandar kepada pohon dan menonton dengan mata merem melek, sedikit pun tidak mengeluarkan suara dan tidak pula bergerak. Akan tetapi, sebaliknya, Jeng-Kin-Jiu Kak Thong Taisu tidak mau diam, seperti orang melihat Ayamnya diadu. Ia berjingkrak-jingkrak, sebentar-sebentar berseru "Ah!," "Bagus!"

   Atau mencela "Salah!"

   Sambil memperhatikan gerakan muridnya. Kaki tangannya bergerak-gerak seakan-akan dia sendiri yang bertempur.

   "Untuk apa kau mempelajari tendangan Liong-jiauw-twi (Tendangan Kaki Naga)?"

   Tiba-tiba dia berkata seperti mencela muridnya. Padahal ucapan ini merupakan petunjuk dan mendengar ini, Lu Thong lalu menambah serangannya dengan tendangan yang datangnya bertubi-tubi dan cepat sekali. Menghadapi serangan ini, Kwan Cu tak berdaya dan dengan kerasnya sebuah tendangan mengenai pahanya sehingga tubuhnya terlempar jauh dan jatuh berduduk ke atas tanah!

   "Ha, ha, ha! Ang-Bin Sin-Kai, muridmu kalah!"

   Kwan Cu menjadi merah mukanya dan teringat akan nasihat Suhunya, dia lalu menjura kepada Lu Thong dan berkata,

   "Kepandaianmu hebat. Aku mengaku kalah!"

   Lu Thong mengangkat dadanya dan memandang bangga. Gurunya menepuk-nepuk pundaknya dengan gembira. Ang-Bin Sin-Kai bangkit berdiri dan pada wajahnya terbayang sinar kegembiraan pula. Ia merasa gembira melihat jalannya pertandingan tadi, karena dia maklum bahwa dasar dari kedua orang anak itu sudah terlihat nyata. Kwan Cu jauh lebih kuat dan kalau saja anak gundul itu sudah mempelajari ilmu menyerang yang hebat, sekali terkena pukulannya Lu Thong tentu takkan dapat bangun kembali tanpa menderita luka hebat. Sedangkan Kwan Cu yang berkali-kali mengalami pukulan dan sekali tendangan hebat, sama sekali tidak terluka! Pula, dia senang melihat cara muridnya mengaku kalah.

   "Hwesio gendut. Yang baik-baik kau melatih Lu Thong agar kelak tidak mengecewakan. Sepuluh tahun kemudian, kita bertemu lagi dan kita mengadu murid-murid kita. Beranikah kau?"

   "Ha, ha, ha! Pengemis kurus, tentu saja aku berani. Boleh, boleh! Sepuluh tahun kemudian kita bertaruh dalam pibu murid-murid kita."

   "Bagus! Taruhanku begini. Kalau muridku menang kau harus memberi hadiah semacam ilmu silat, sebaliknya kalau Lu Thong menang aku akan menambah dengan semacam ilmu silat pula kepadanya. Bagaimana?"

   "Ha, ha, ha! Kau memang Pengemis kelaparan yang licik! Bagimu, menambah pelajaran kepada muridku tidak ada ruginya karena dia adalah cucumu sendiri. Akan tetapi bolehlah, aku pun sudah berjanji ingin menjadi Guru dari bocah gundul goblok ini!"

   Ang-Bin Sin-Kai lalu mengajak muridnya pergi, akan tetapi sebelum pergi, dia menoleh kepada Lu Thong dan memandang dengan tajam sambil berkata,

   "Thong-ji, karena kau adalah cucu dari Lu Pin, maka aku hendak memberi nasihat. Hilangkanlah sifat kesombonganmu, karena kalau kau pelihara sifat itu, kelak kau tentu akan mengalami kekecewan karena kesombonganmu."

   Ketika mengangkat muka memandang Lu Thong merasa terkejut sekali melihat sinar mata Kakek itu demikian tajam dan seakan-akan menembus sampai menjenguk ke dalam lubuk hatinya! Ia buru-buru menundukkan mukanya dan belakang lehernya terasa dingin.

   "Baik, Kong-kong,"

   Katanya perlahan. Ang-Bin Sin-Kai lalu pergi bersama Kwan Cu. Bocah gundul ini merasa penasaran dan tidak hanya tubuhnya merasa sakit sekali. Begitu bertemu, Gurunya telah menurunkan ilmu silat yang hebat kepada Lu Thong seperti yang dilihatnya tadi. Sedangkan dia hanya menerima ilmu-ilmu silat yang untuk menahan serangan Lu Thong saja masih tidak sanggup! Akan tetapi, dasar dia memang anak yang taat dan penerima, dia tidak mau berkata apa-apa dan diam-diam dia mengambil keputusan bahwa kelak dia akan mencari ilmu silat sendiri yang membuat dia tidak terkalahkan!

   Hek-I Hui-Mo (Iblis Tebang Baju Hitam) setelah berhasil menggondol pergi kitab Im-Yang Bu-Tek Cin-Keng, lalu melarikan diri secepatnya. Ia tidak percaya akan keterangan Kwan Cu, bocah gundul itu bahwa kitab itu palsu, karena kalau palsu, mengapa Panglima An Lu Shan begitu mau bersusah payah untuk menterjemahkannya? Hek-I Hui-Mo adalah seorang pendeta Tibet yang selain berkepandaian tinggi sekali, juga dia membentuk sebuah perkumpulan agama di Tibet yang memisahkan diri dari Lama atau juga dari aliran pendeta Buddha jubah kuning. Semua murid-muridnya atau anak buahnya mengenakan jubah hitam seperti dia pula. Hwesio ini mempunyai cita-cita untuk menguasai daerah Tibet dan untuk keperluan ini, perlu sekali menterjemahkan kitab Im-Yang Bu-Tek Cin-Keng,

   Selain untuk mempertinggi ilmu silat, juga untuk melatih ilmu perang kepada murid-muridnya. Kalau

   (Lanjut ke Jilid 09)

   Pendekar Sakti/Bu Pun Su Lu Kwan Cu (Seri ke 01 - Serial Pendekar Sakti)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 09

   lain orang tokoh besar menganggap tidak ada gunanya lagi kitab itu yang selain di anggap palsu, juga dianggapnya tidak ada orang yang mampu menterjemahkannya, Hek-I Hui-Mo beranggapan lain. Ia tahu bahwa di Tiongkok, tidak hanya Gui Tin yang pandai tentang sastra kuno. Ia mengenal pula nama dua orang Sastrawan yang kepandaiannya mungkin tidak kalah oleh Gui Tin. Yang seorang adalah Li Po, dan orang ke dua adalah Tu Fu. Tidak ada harapan untuk minta bantuan Li Po karena Sastrawan besar ini orangnya aneh dan keras. Ia hendak mencoba untuk minta bantuan Sastrawan besar Tu Fu karena kebetulan sekali dia tahu di mana adanya Sastrawan perantau ini pada waktu itu.

   Tu Fu di samping Li Po, adalah seorang Sastrawan yang amat pandai dan terkenal. (Bahkan sampai di jaman atom ini masih terkenal hasil- hasil karyanya). Ia adalah seorang dari keluarga terpelajar dan berpangkat. Ia masih keturunan dari Tu Yu, seorang jenderal besar yang gagah perkasa dan terkenal sekali dari Kerajaan Cin Barat. Kakeknya juga seorang Sastrawan besar yang ternama, bernama Tu Shen Yan, sedangkan Ayahnya, pernah menjadi seorang jaksa. Namun Tu Fu berwatak jujur dan berjiwa Patriot. Ia amat mencinta nusa Bangsanya dan melihat keadaan pemerintahan yang dipimpin oleh orang-orang korup, dia tidak mau menduduki pangkat dan bahkan rela hidup sebagai perantau yang miskin, seperti halnya mendiang Gui Tin yang semasa hidupnya dia kenal baik. Hek-I Hui-Mo maklum bahwa selain Gui Tin yang sudah tewas,

   Orang-orang yang kiranya dapat menterjemahkan kitab kuno yang telah berada di tangannya, hanya Tu Fu dan Li Po, akan tetapi yang dapat dia mintai tolong hanya Tu Fu seorang. Maka pergilah dia ke Ho-nan di mana dia tahu Sastrawan muda itu berada pada waktu itu. Memang Tu Fu telah menjadi seorang perantau yang menjelajah di propinsi-propinsi Kiang-su, Ce-king, Ho-nan, dan Shan-tung. Di kota Kai-Feng sebelah Timur Ibukota Ceng-cou, di dekat pintu gerbang sebelah Timur, terdapat sebuah rumah bobrok, bentuknya seperti kelenteng. Memang rumah ini adalah bekas kelenteng yang sudah rusak dan yang gentingnya sudah hampir tidak ada sehingga kalau hujan, tempat itu menjadi basah semua sedangkan di waktu panas tidak terlindung sama sekali. Agaknya yang dapat hidup di tempat rusak dan kotor ini hanya Ayam dan babi belaka.

   Akan tetapi, pada waktu itu, sebelah dalam kelenteng, ada seorang manusia yang tinggal. Orang ini belum tua benar, usianya kurang lebih tiga puluh tiga tahun atau tidak lebih dari tiga puluh lima tahun. Melihat potongan pakainnya, biarpun kain bajunya sudah lapuk dan penuh tambalan, jelas dapat dilihat bahwa dia seorang terpelajar. Pakaiannya seperti pakaian pendeta, panjang sampai ke kaki, dengan ikat pinggang terbuat daripada tali hitam. Kumisnya hitam dan panjang, menggantung di kanan kiri mulitnya. Jenggotnya sedikit saja, di tengah-tengah dagu dan tergantung sepanjang lehernya. Kepalanya tertutup sebuah topi butut, topi Sastrawan pula. Tubuhnya kecil kurus, tulang-tulang pipinya menonjol. Sepasang matanya lebar dan tajam sinarnya sedangkan dahinya lebar sekali.

   Inilah dia Tu Fu, Sastrawan yang rela hidup dalam kemiskinan karena dia tidak suka pada pemerintah yang dipimpin oleh orang-orang tidak jujur. Ia rela menderita seperti Bangsanya, yakni Rakyat kecil yang banyak sekali menderita seperti dia pula. Di dalam penghidupannya yang miskin, kelaparan. Ia berduka sekali dan menangis, bukan hanya karena kehilangan puteranya, terutama sekali karena penderitaan keluarganya ini mengingatkan dia akan keadaan para Petani miskin, Rakyat kecil yang banyak juga menderita kelaparan seperti keluarganya! Semenjak itu, dia pergi merantau, membuat sajak-sajak yang isinya selain memuji alam indah permai sebagaimana menjadi kesukaan para Sastrawan, juga dia membuat sajak-sajak keluhan dan protes terhadap pemerintah yang lalim!

   Betapapun miskinnya Tu Fu, kalau orang menjenguk ke dalam kelenteng bobrok itu, dia akan melihat Sastrawan ini tidak pernah berpisah dari alat tulisnya, yakni pena bulu, kertas, dan tinta! Pada waktu itu, matahari telah condong ke Barat dan keadaan di dalam kelenteng sudah mulai remang-remang. Akan tetapi, Tu Fu seperti tidak merasai ini semua dan dia masih saja duduk termenung seperti orang bersamadhi, tangkai pena di tangan kanan dan sebuah kipas bobrok di tangan kiri. Tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di depannya telah berdiri seorang Hwesio berpakaian hitam yang tubuhnya gendut, kulit mukanya hitam dan misainya panjang. Hwesio itu merangkapkan kedua tangan di depan dadanya dan berkata,

   "Omitohud! Tu-Siucai benar-benar rajin sekali. Untuk apakah kau bekerja begitu keras?"

   Tanya Hwesio ini yang bukan lain adalah Hek-I Hui-Mo adanya. Bagaikan dalam mimpi, Tu Fu menjawab,

   "Aku takkan berhenti bekerja sebelum berhasil menuliskan sesuatu yang berguna!"

   "Tu-Siucai bersusah payah menulis sajak, untuk apakah gerangan?"

   Tanya pula Hek-I Hui-Mo.

   "Untuk siapa?"

   Tu Fu mengerutkan keningnya.

   "Tentu saja untuk Rakyat sebagai penambah semangat dan untuk negara sebagai obat pahit yang manjur!"

   Sambil berkata demikian, Tu Fu bangkit berdiri dan baru sekarang dia memandang kepada pengunjungnya dengan mata terbelalak karena dia heran sekali siapa adanya pendeta yang tak dikenalnya ini. Namun, sebagai seorang terpelajar dan sopan, dia memberi hormat lalu bertanya.

   "Siapakah Lo-Suhu ini? Dan mengapa datang mengunjungi Siauwte yang miskin? Harap dimaafkan, di sini Siauwte tidak mampu mengeluarkan air teh atau arak untuk disuguhkan."

   Hek-I Hui-Mo tertawa bergelak.

   "Mengapa Siucai memikirkan keadaan lain orang? Bagi pinceng tidak membutuhkan makan minum, akan tetapi sebaliknya kau lah yang memerlukan makan dan minum. Lihat, pinceng membawa sedikit daging dan arak untukmu!"

   Sambil berkata demikian, Hek-I Hui-Mo mengeluarkan seguci arak wangi dan sebungkus daging panggang dari saku bajunya yang lebar. Tu Fu menerima pemberian ini dan menghela napas,

   "Apa artinya haus dan lapar? Kadang-kadang sampai sepuluh hari aku tidak makan minum dan bajuku mempunya tambalan lebih seratus jumlahnya, akan tetapi, apakah artinya kalau dibandingkan dengan penderitaan Rakyat kecil? Mengingat penderitaan mereka itu, perutku terasa kenyang sendiri dan bajuku sudah terlampau baik! Ah, Lo-Suhu, agaknya hidupmu sebagai pendeta lebih bahagia daripada hidupku sebagai seorang Sastrawan!"

   "Keliru, keliru! Tu-Siucai keliru sekali!"

   Jawab Hek-I Hui-Mo sambil menggoyang-goyangkan kedua tangannya.

   "Suka dan duka timbul karena hati dan pikiran sendiri. Kebahagiaan berada di dalam hati sendiri, demikian pula keadaan. Kebahagiaan dapat di usahakan dengan mudah, mengapa kau masih saja duduk merenung menyusahkan keadaan orang lain? Kalau kau suka menerima jabatan, apakah lagi yang menyusahkanmu? Kau memiliki kepandaian tinggi."

   "Cukup!"

   Tiba-tiba Tu Fu membentak dan suaranya keras saking marahnya.

   "Siapa sudi membantu orang-orang yang hidup seperti lintah menghisap darah Petani miskin? Tidak! Lebih baik mati!"

   Kemudian, teringat bahwa dia bersikap kasar terhadap seorang suci, dia lalu memberi hormat dan berkata dengan sikap halus.

   "Maaf, Lo-Suhu. Kalau tadi Siauwte dikuasai oleh nafsu amarah. Siapakah sebetulnya Lo-Suhu?"

   Ulangnya, karena pertanyaannya tadi belum terjawab.

   "Nama pinceng Thian Seng Hwesio dan pinceng datang dari Tibet,"

   Jawab Hek-I Hui-Mo. Memang sebetulnya dia bernama Thian Seng Hwesio, dan di kalangan kang-ouw saja dia disebut Hek-I Hui-Mo. Mendengar keterangan ini, Tu Fu memandang dengan mata lebar.

   "Dari Barat? Ah, Lo-Suhu melakukan perjalanan begitu jauh menjumpai Siauwte, ada keperluan apakah?"

   "Tu-Siucai, pinceng tidak mempedulikan perjalanan ribuan li jauhnya dengan maksud memohon sedikit pertolongan darimu, maka pinceng mengharap kemurahan hatimu dan mengharap Tu-Siucai takkan menolak."

   Hek-I Hui-Mo biarpun terkenal kejam dan ganas, namun dia juga seorang cerdik dan banyak pengalaman. Menghadapi seorang Sastrawan seperti Tu Fu yang biarpun kepandaian tinggi tidak mau menduduki jabatan dan rela hidup menderita, maka dia tahu bahwa orang ini memiliki kekerasan hati yang luar biasa, dan seperti juga Gui Tin, tiada gunanya menghadapi orang seperti ini menggunakan kekerasan.

   Andaikata dia mempergunakan kekerasan memaksa Sastrawan ini membantunya menterjemahkan kitab, hati Sastrawan ini hanya akan tersinggung saja dan kalau sampai terjadi demikian, maka agaknya biarpun dia akan memukul sampai mati, Sastrawan muda ini takkan sudi membantunya! Oleh karena itulah maka Hek-I Hui-Mo menjalankan siasat licin dan bersikap halus dan manis budi. Berbeda dengan Gui Tin yang lebih tua yang sudah banyak bertemu dengan orang-orang kangouw, Tu Fu tidak mengenal tokoh-tokoh besar di dunia persilatan, maka dia tidak mengenal Hek-I Hui-Mo dan keganasannya. Ia memang seorang yang berhati mulia dan suka menolong, apalagi menolong seorang Hwesio yang lajimnya menuntut penghidupan beribadat suci, tentu saja dia bersiap sedia untuk menolong.

   "Tu-Siucai tak perlu tergesa-gesa. Silakan makan lebih dulu, baru nanti kita bicara kembali,"

   Kata Hek-I Hui-Mo. Tu Fu tidak berlaku sungkan-sungkan dan Sastrawan muda ini lalu makan habis daging dan minum arak itu sampai setengah guci. Setelah tu Fu selesai makan, Hek-I Hui-Mo lalu mengeluarkan kitab Im-Yang Bu-Tek Cin-Keng dari saku bajunya, dan sambil memperlihatkan kitab itu kepada Tu Fu, dia berkata.

   "Pertama-tama pinceng ingin sekali mengetahui pendapat Siucai tentang kitab ini. Pinceng mendapat kitab kuno ini akan tetapi tidak dapat mengerti huruf-hurufnya yang kuno dan sukar dibaca. Dan karena kitab ini bagi pinceng penting sekali. Maka harap Siucai sudi menerangkan apakah kitab ini palsu atau bukan?"

   Tu Fu menerima kitab itu seperti seorang kelaparan menerima sepotong kue. Sastrawan mana yang tidak tertarik dan penuh gairah melihat sejilid kitab? Ia menerima kitab itu dengan penuh khidmat, lalu mulai membuka lembaran-lembaran pertamanya.

   "Hm, sebuah kitab kuno yang menarik hati sekali,"

   Katanya perlahan, didengarkan oleh Hek-I Hui-Mo dengan penuh perhatian.

   "Sudah ribuan tahun usianya dan ditulis dengan bahasa dalam jaman Kerajaan Couw Timur!"

   Hek-I Hui-Mo tertegun.

   "Pinceng mendengar bahwa kitab ini di tulis di jaman Shia!"

   
Pendekar Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tu Fu menggelengkan kepalanya.

   "Tidak mungkin! Sudah pasti sekali ditulis dalam bahasa Couw Timur, Lo-Suhu, Siauwte tahu betul akan hal ini."

   "Kalau begitu, apakah kitab ini palsu?"

   "Bagaimana orang dapat menyatakan palsu kalau tidak melihat aselinya? Orang baru dapat mengenal kejahatan kalau sudah mengenal kebaikan, maka orang pun baru bisa mengenal barang palsu kalau sudah melihat barang tulennya. Siauwte tidak bisa mengatakan bahwa kitab ini palsu atau aseli, namun kitab ini benar-benar amat menarik hati. Siauwte mengenal seorang yang benar-benar ahli dalam bahasa yang ditulis dalam kitab ini yaitu Gui-Siucai."

   Kembali Hek-I Hui-Mo tertegun.

   "Pinceng mendengar bahwa Giu-Siucai sudah meninggal dunia, akan tetapi, pinceng lebih suka mohon pertolongan kepadamu, Tu-Siucai. Harap kau suka menterjemahkan kitab ini untuk pinceng."

   Tu Fu tidak menjawab, melainkan membuka lembaran kitab itu dan membacanya. Baru membaca dan membalik-balikkan lembaran kitab itu, berkerutlah keningnya.

   "Aneh sekali! Kitab ini bernama Im-Yang Bu-Tek Cin-Keng, sebuah kitab pelajaran yang luar biasa anehnya. Akan tetapi yang lebih aneh lagi adalah kau, Lo-Suhu. Kitab ini adalah pelajaran tentang ilmu silat dan ilmu perang, bagaimana seorang Hwesio yang menuntut penghidupan suci seperti Lo-Suhu ingin mempelajari isi kitab ini? Apakah gunanya untuk Lo-Suhu?"

   Hek-I Hui-Mo merasa muaknya panas. Kalau saja kulit mukanya tidak begitu hitam, tentu akan terlihat betapa mukanya menjadi merah. Ia merasa mendongkol dan marah sekali. Hm, pikirnya, kalau saja aku tidak membutuhkan pertolongan cacing Buku ini, kuketok kepalanya sampai pecah! Ia menarik muka sungguh-sungguh ketika menjawab.

   "Tu-Siucai, harap jangan salah mengerti. Kitab ini seperti kau katakan tadi adalah kitab ilmu silat dan ilmu perang. Untuk pinceng pribadi memang tidak ada gunanya, sungguhpun harus pinceng akui bahwa semenjak kecil pinceng paling suka mempelajari ilmu silat. Akan tetapi tidakkah kau lihat betapa buruknya keadaan negara? Kalau pinceng dapat mempelajari ilmu silat dari dalam kitab ini yang juga belum tentu hebat, bukankah pinceng dapat menurunkan kepandaian itu kepada orang-orang gagah sehingga dapat dipergunakan untuk membela negara?"

   Pada saat Tu Fu hendak menjawab, tiba-tiba terdengar suara ketawa nyaring dari luar kelenteng, disusul oleh suara seorang wanita berkata,

   "Bangsat gundul menjemukan! Kau kira dapat melarikan diri dariku? Kembalikan kitab itu!"

   Hek-I Hui-Mo terkejut sekali dan sekali dia melompat, dia telah berada diluar kelenteng menghadapi Kiu-Bwe Coa-Li yang datang bersama muridnya, Sui Ceng! Bukan main kagetnya hati Tu Fu ketika melihat betapa Hwesio gendut itu seakan-akan menghilang dari depannya.

   "Aduh..., setankah dia?"

   Katanya perlahan. Kemudian dia mendengar suara gaduh di luar kelenteng. Tu Fu segera memburu keluar dan bukan main heran dan terkejutnya ketika dia melihat dua bayangan orang bertempur di halaman kelenteng seperti iblis sedang menari-nari!

   Memang Hek-I Hui-Mo tidak membuang waktu lagi. Begitu dia melihat bahwa yang datang adalah Kiu-Bwe Coa-Li, tanpa banyak cakap lagi dia lalu mengeluarkan tasbih dan Liong-Thouw-Tung (Tongkat Kepala Naga) dan segera menyerang dengan hebatnya. Kiu-Bwe Coa-Li tertawa mengejek dan wanita sakti ini pun lalu menggerakkan pecutnya yang bernama Kiu-Bwe-Sin-Pian (Ruyung Lemas Berekor Sembilan). Pertempuran kali ini bukan main dahsyatnya. Satu lawan satu, tanpa khawatir ada tokoh lain yang mengganggu mereka. Bun Sui Ceng berdiri di pinggir menonton pertempuran antara Gurunya dan Hek-I Hui-Mo dengan penuh perhatian. Mukanya yang manis dan elok itu sama sekali tidak nampak gelisah, karena anak ini selain mempunyai hati yang tabah, juga percaya penuh bahwa Gurunya pasti akan menang.

   "Kiu-Bwe Coa-Li, kau manusia usilan mengganggu saja!"

   Seru Hek-I Hui-Mo dan Tongkat Kepala Naga di tangan kanannya menyambar bagaikan halilintar ke arah kepala wanita itu.

   "Pendeta busuk, kau pencuri tak tahu malu!"

   Balas memaki Kiu-Bwe Coa-Li dan sedikit miringkan kepala saja, serangan lawan dapat digagalkan. Pecut berekor sembilan di tangannya tidak tinggal menganggur, cepat melakukan serangan balasan, merupakan sembilan ekor ular yang bergerak dari segala jurusan, menyerang ke sembilan jalan darah di tubuh lawannya! Hek-I Hui-Mo terkejut sekali melihat serangan hebat ini. Ia maklum akan kelihaian lawan dan sudah mendengar pula tentang keganasan Kiu-Bwe Coa-Li yang terkenal sekali turun tangan, tentu akan menewaskan lawan. Maka tanpa ayal lagi dia lalu menggerakkan tasbihnya diputar sedemikian rupa dibantu oleh Tongkat kepala Naga untuk melindungi tubuhnya. Beberapa kali terdengar suara,

   "Tar!Tar! Tar!"dari pecut di tangan Kiu-Bwe Coa-Li, sungguh membikin hati menjadi ngeri. Makin lama, pertempuran berjalan makin seru dan gerakan mereka menjadi makin cepat. Tiga macam senjata berubah menjadi gulungan sinar yang paling menarik dan indah dipandang adalah gerakan cambuk di tangan Kiu-Bwe Coa-Li. Cambuk yang berujung sembilan itu merupakan segundukan sinar yang bertangan sembilan, seperti seekor ikan gurita yang berjari sembilan. Setiap ujung cambuk ini merupakan perenggut nyawa yang lihai sekali. Namun ilmu silat Hek-I Hui-Mo juga tidak kalah hebatnya. Dia adalah seorang tokoh Barat yang pernah menggemparkan Tibet, yang telah menjatuhkan jago-jago dan tokoh-tokoh dari Barat dan boleh dibilang, selama melakukan perantauannya di dunia kang-ouw, Hek-I Hui-Mo tak pernah terkalahkan.

   Entah sudah berapa ratus orang lawan terpaksa mengakui kehebatan ilmu silatnya dan sudah berapa puluh lawan binasa di tangannya! Tasbihnya berputar menjadi segundukkan sinar bundar seperti mustika Naga sakti, adapun tongkatnya yang merupakan naganya sehingga sepasang senjata di tangannya itu bergerak-gerak bagaikan seekor Naga mengejar mustikanya! Sukarlah untuk dikatakan siapa yang lebih lihai diantara dua orang tokoh besar ini. Masing-masing memiliki keistimewaan sendiri dan keduanya mengaku bahwa selamanya baru kali ini mereka menghadapi tandingan yang benar-benar seimbang dan berat. Agaknya pertempuran ini akan menjadi pertandingan mati hidup yang berjalan lama sekali sebelum seorang di antara mereka menggeletak tak bernyawa lagi di depan kaki lawannya.

   Pecut Kiu-Bwe Coa-Li menyambar, saking kerasnya, sampai terdengar angin bersiutan, dan karena sembilan ekor bulu pecut itu menyambarnya dari berbagai jurusan dalam kecepatan yang tidak sama, maka suara angin itu terdengar aneh sekali, bagaikan sembilan buah Suling ditiup berbareng. Hek-I Hui-Mo menangkis dengan tongkat yang disapukan dan sehelai daripada ujung pecut Kiu-Bwe Coa-Li menyambar dan melibat kaki meja sembahyang yang sudah berdiri miring. Hebat sekali tenaga manita sakti ini, karena meja itu melayang ke atas dan bagaikan disambitkan, meja itu menimpa tempat di mana Sui Ceng berdiri. Melihat hal itu, Tu Fu menjerit. Akan tetapi dia membelalakkan kedua matanya saking kagum dan heran melihat anak perempuan yang manis itu menampar dengan tangan kirinya yang kecil.

   "Brakk!"

   Meja itu pecah berkeping-keping! Kini tongkat Liong-Thouw-Tung di tangan kanan Hek-I Hui-Mo menyambar pinggang Kiu-Bwe Coa-Li. Serangan ini dilakukan sekuat tenaga sehingga wanita sakti itu tidak berani menangkis. Tubuhnya melompat ke atas dan mundur. Akan tetapi Hek-I Hui-Mo tidak mau memberi hati dan terus melangkah maju lalu menyapu lagi dengan tongkatnya, dibarengi memukul kepala lawan dengan tasbihnya! Kiu-Bwe Coa-Li cepat mengelak dan tongkat yang kuat itu menyambar tiang kelenteng di bagian depan.

   "Kraaaakk... bruuuk...!"

   Tiang itu patah dan mengeluarkan suara hiruk-pikuk!

   "Aduh, tahan...! Tahan...! Apa-apaan sih semua ini? Apakah Ji-wi (Tuan Berdua) tidak malu? Orang-orang tua bertingkah seperti anak-anak kecil berebut kembang gula. Ada urusan dapat diurus, mohon mendengar kata-kata Siauwte,"

   Tu Fu berseru berkali-kali sambil mengangkat kedua tangannya ke atas. Kalau saja tidak mengingat bahwa Tu Fu adalah orang yang dapat dimintai tolong menterjemahkan kitab yang tidak dapat mereka baca sendiri itu, mana dua orang tokoh lihai ini mau mendengarkan kata seorang Sastrawan lemah seperti Tu Fu? Keduanya melompat kebelakang dan saling pandang bagaikan dua ekor Harimau sedang marah.

   "Tu-Siucai, kau menahan kami mau apakah?"

   Tanya Kiu-Bwe Coa-Li dengan suara dingin sehingga Tu Fu merasa bulu tengkuknya berdiri. Bukan main hebatnya wanita ini, pikirnya, sudah bukan merupakan manusia lagi!

   "Harap Suthai suka bersabar, dan demikian pula Lo-Suhu. Sebetulnya, mengapa Ji-wi bertempur mati-matian seakan-akan di dunia ini tidak ada pekerjaan lain yang lebih baik daripada saling gempur dan saling mencoba untuk membunuh?"

   Hek-I Hui-Mo menarik napas panjang.

   "Tak lain karena kitab itulah. Kami berebut Kitab Im-Yang Bu-Tek Cin-Keng!"

   Tu Fu masih membawa kitab itu. Kini dia mengangkat kitab itu tinggi-tinggi dan berkata,

   "Memperebutkan kitab ini? Alangkah lucunya. Dan untuk dapat membaca dan mengerti isinya saja, Ji-wi tidak bisa dan sengaja datang untuk minta Siauwte menterjemahkannya?"

   Kiu-Bwe Coa-Li mengangguk dan berkata tegas,

   "Orang she Tu, tak usah direntang panjang lagi. Memang kami membutuhkan isi kitab itu. Akan tetapi karena di sini kami dua orang, terpaksa kami harus melenyapkan salah seorang lebih dulu, barulah nanti kau yang bekerja, menterjemahkan kitab itu. Hayo, Hek-I Hui-Mo, kita selesaikan pertempuran kita!"

   "Baik, Kiu-Bwe Coa-Li. Awaslah kau!"

   Dua orang jago tua ini sudah bersiap-siap lagi untuk bertempur mati-matian, akan tetapi Tu Fu segera mencegah mereka. Sastrawan ini, seperti juga Gui Tin dan Li Po atau Sastrawan dan seniman-seniman lainnya, tidak suka akan kekerasan dan mencinta kedamaian, maka tentu saja Tu Fu tidak mau melihat dua orang aneh itu saling gempur mati-matian seperti tadi.

   "Tahan!"

   Katanya keras.

   "Kalau Ji-wi berkeras hendak saling bunuh, aku Tu Fu takkan mau menterjemahkan kitab ini. Biar Ji-wi memaksa dan membunuhku, aku takkan mau menterjemahkannya."

   Mendengar ini, kedua orang tokoh kang-ouw itu tertegun dan saling pandang. Mereka sudah maklum bahwa Sastrawan-Sastrawan dan seniman-seniman sama anehnya dengan orang-orang kang-ouw bahkan mereka itu lebih hebat pula. Biarpun mereka itu memiliki jasmani yang lemah, namun mereka berhati keras dan tidak takut mati. Kiu-Bwe Coa-Li dan Hek-I Hui-Mo percaya dan tahu bahwa kata-kata yang keluar dari mulut Sastrawan ini menyatakan tidak mau membantu, biar dia dibunuh atau disiksa sekalipun, tetap dia takkan mau menterjemahkan isi kitab itu. Dan apa artinya kitab itu tanpa ada penterjemahnya? Tiada beda dengan kertas-kertas pembungkus belaka!

   "Habis, kalau di sini ada kami berdua, bagaimana Tu-Siucai hendak menagturnya?"

   Tanya Hek-I Hui-Mo dengan suara minta pertimbangan. Tu Fu mempersilakan mereka duduk di atas lantai di depan kelenteng. Kemudian dia melambaikan tangan kepada Sui Ceng yang tanpa ragu-ragu datang menghampiri.

   "Anak baik, kau benar-benar hidup dalam alam yang aneh,"

   Kata Sastrawan itu sambil mengelus-elus rambut Sui Ceng yang hitam, halus, dan panjang, kemudian Sastrawan in berkata kepada dua orang tokoh kang-ouw itu.

   "Harap Ji-wi dengarkan baik-baik keputusanku yang tak dapat diubah lagi. Siauwte sanggup membantu dan menterjemahkan isi kitab ini, akan tetapi hanya dengan syarat. Pertama, Siauwte hanya akan menterjemahkan dengan cara membacanya saja dan Ji-wi harap mendengarkan dengan penuh perhatian dan mengingatnya baik-baik. Kedua, sehabis membaca semua isi kitab, kitab ini harus dibakar di depan Siauwte, agar tidak menjadi perebutan mati-matian lagi. Hanya dengan dua macam syarat ini Siauwte mau menolong, kalau tidak, biar Ji-wi akan membunuh Siauwte, tak nanti Siauwte mau menterjemahkannya. Bagaimana?"

   Kedua orang tokoh kang-ouw itu saling pandang. Celaka, pikir mereka, bagaimana dapat menghafal isi kitab dengan sekali mendengar saja? Akan tetapi kalau mereka tidak mau menerima, selain Sastrawan aneh ini tak mungkin dipaksa, juga mereka masih saling berhadapan dan untuk mendapatkan kitab itu harus bertempur mati-matian dulu. Andaikata menang, bagaimana pula isi kitab dapat diterjemahkan? Apalagi kalau sampai terdengar oleh tiga orang tokoh besar yang lain dan mereka datang pula, tentu akan makin berabe saja!

   "Aku setuju!"

   Kata Kiu-Bwe Coa-Li.

   "Hanya aku minta supaya pembacaan dilakukan dua kali!"

   Kiu-Bwe Coa-Li memang cerdik. Ia datang bersama muridnya dan dia percaya akan kecerdikan otak Sui Ceng. Tentu muridnya akan dapat membantu dan mengingat-ingat bunyi isi kitab itu. Hek-I Hui-Mo tidak dapat mencari jalan lain. Ia pun tahu bahwa fihak Kiu-Bwe Coa-Li untung dengan adanya Sui Ceng, maka dia merasa ragu-ragu, lalu berkata,

   "Tidak adil sekali. Kau dibantu oleh muridmu sedangkan aku hanya seorang diri!"

   "Kau boleh mencari seorang pembantu pula,"

   Jawab Kiu-Bwe Coa-Li. Tu Fu mengerti akan maksud pembicaraan dua orang itu, akan tetapi dia pun tidak dapat memecahkan persoalan ini. Kebetulan sekali pada saat itu, terdengar tindakan kaki dan muncullah seorang anak laki-laki berusia kurang lebih delapan tahun.

   "Tu-Sianseng, Hakseng (murid) datang membawa makanan,"

   Kata anak itu sambil memandang kepada tamu-tamu Gurunya dengan mata terheran.

   "Eh, Tu-Siucai, siapakah anak ini?"

   Tanya Hek-I Hui-Mo yang memandang tajam kepada anak laki-laki yang berwajah tampan dan jujur ini. Biarpun anak ini bertubuh kurus dan tinggi, namun dia memiliki bakat yang baik juga untuk belajar silat.

   "Dia adalah Li Siang Pok, seorang anak dari kota Kai-Feng. Ayahnya seorang Sastrawan pula dan dia datang di sini untuk belajar kesusastraan dari Siauwte."

   "Hm, jadi dia boleh dibilang muridmu?"

   Tu Fu mengangguk membenarkan.

   "Bagus! Pinceng mengambil dia sebagai pembantuku! Dengan adanya dia yang membantu pinceng, mengingat-ingat isi kitab Im-Yang Bu-Tek Cin-Keng, maka keadaan pinceng dan Kiu-Bwe Coa-Li menjadi berimbang. Ini baru adil namanya!"

   Tu Fu ragu-ragu, lalu bertanya kepada Siang Pok,

   "Siang Pok, Lo-Suhu ini minta bantuanmu untuk mengingat-ingat bunyi isi kitab kuno yang akan kubacakan. Maukah kau?"

   Siang Pok adalah seorang anak yang suka sekali akan kesusastraan, tentu saja mendengar akan dibacanya kitab kuno, tanpa berpikir panjang lagi dan tanpa bertanya lebih jelas, dia menganggukkan kepalanya.

   "Hakseng bersedia, Sianseng!"

   Demikianlah, mereka semua duduk bersila di atas kelenteng sebelah luar.

   Keadaan di situ sunyi dan ketika Tu Fu mulai membaca isi kitab, suaranya terdengar lantang dan jelas. Empat orang yang duduk mengelilinginya, yakni Hek-I Hui-Mo, Kiu-Bwe Coa-Li, Sui Ceng, dan Siang Pok, mendengarkan dengan penuh perhatian. Kitab itu tidak terlalu tebal dan isinya pun tidak begitu banyak, karena seperti juga kitab-kitab kuno lainnya, ditulis hanyalah garis besarnya saja. Sebagaimana diketahui, kitab itu isinya dibagi menjadi dua soal, yakni tentang ilmu silat dan tentang ilmu perang. Kepandaian Tu Fu ini dalam hal bahasa kuno, tidak kalah oleh mendiang Gui Tin, maka dia dapat membacanya dengan amat lancar. Kiu-Bwe Coa-Li dan Sui Ceng, tidak mendengarkan atau lebih tepat, tidak memperhatikan sama sekali akan bunyi ilmu perang yang dibaca oleh Tu Fu. Guru dan murid ini mencurahkan seluruh perhatiannya kepada bunyi ilmu silat saja.

   Sebaliknya, karena tidak diberi tahu lebih dulu, anak laki-laki yang bernama Lai Siang Pok itu mendengarkan seluruh isi kitab, yaitu bagian ilmu silat dan bagian ilmu perangnya. Demikian pula, Hek-I Hui-Mo, karena dia mempunyai cita-cita Pemberontakkan, dia juga memperhatikan kedua bagian ini. Hampir satu hari lamanya Tu Fu membaca habis kitab itu untuk kedua kalinya dan semua fihak merasa puas. Kiu-Bwe Coa-Li dan Hek-I Hui-Mo karena mengerahkan seluruh ingatan untuk mengingat-ingat kembali apa yang mereka telah dengarkan tadi, kini melihat saja dan tidak mempedulikan lagi ketika Tu Fu menggunakan api membakar kitab itu di depan mereka! Setelah melihat kitab itu habis terbakar Hek-I Hui-Mo tertawa bergelak dan dengan cepat sekali dia melompat lalu mengempit Lai Siang Pok, terus di bawa lari!

   "He, Lo-Suhu! Lepaskan muridku!"

   Tu Fu berteriak-teriak, akan tetapi hanya suara ketawa dari jauh sana menjawabnya. Adapun Kiu-Bwe Coa-Li yang tidak mau terganggu pikirannya yang sedang menghafal itu lalu menggandeng tangan Sui Ceng dan pergi pula dari situ. Tu Fu menggeleng-gelengkan kepalanya dan berkata seorang diri.

   "Benar-benar aneh sekali orang-orang itu. Apa sih gunanya segala macam ilmu kekerasan yang kasar itu?? Aneh... aneh...!"

   Sastrawan ini pun beberapa hari kemudian tidak kelihatan lagi di tempat itu, telah melanjutkan perantauannya. Ketika berada di tempat sunyi, Kiu-Bwe Coa-Li segera bertanya kepada muridnya.

   "Sui Ceng, coba kau ulangi kata-kata di dalam kitab yang dibaca oleh Tu-Siucai tadi."

   Sui Ceng lalu mengulangi kata-kata yang masih diingatnya. Kiu-Bwe Coa-Li tidak mempedulikan tentang peraturan latihan Lweekang dan ginkang, yang paling diperhatikan hanya gerakan-gerakan ilmu silat yang terdapat di dalam kitab itu. Semua terdapat tiga puluh enam pokok gerakan yang perkembangannya dapat timbul sendiri tergantung dari bakat dan kecerdikan masing-masing pelajar. Karena gerakan-gerakan itu hanya ditulis dan tidak digambar, maka dapat dibayangkan betapa sukarnya.

   Setelah ia mendengar apa yang yang masih diingatnya oleh Sui Ceng dan dikumpulkan dengan ingatannya sendiri, Kiu-Bwe Coa-Li ternyata hanya dapat mengumpulkan empat belas gerakan saja! Akan tetapi, empat belas jurus pokok gerakan silat Im-Yang Bu-Tek Cin-Keng ini baginya sudah cukup berharga. Memang dia seorang yang ahli dalam ilmu silat dan ternyata olehnya betapa hebat, lihai, dan aneh isi gerakan-gerakan ini. Cepat-cepat ia lalu mempelajari gerakan-gerakan ini dan disesuaikan dengan kepandaiannya sendiri. Selama tiga bulan Kiu-Bwe Coa-Li seakan-akan lupa makan dan lupa tidur, tiap hari hanya berlatih ilmu silat baru yang sesungguhnya dia ciptakan sendiri berdasarkan apa yang ia dengar dari kitab itu. Dan tercipatalah ilmu silat baru yang benar-benar luar biasa sekali. Kiu-Bwe Coa-Li menjadi girang dan berbareng ia pun lalu melatih muridnya dengan sungguh-sungguh.

   "Sui Ceng, ilmu silat yang kita dapatkan ini entah Im-Yang Bu-Tek Cin-Keng yang aseli atau bukan, namun kau harus tahu bahwa ini memang benar-benar ilmu silat yang aneh dan hebat sekali. Setelah kuperbaiki apa yang kita berdua ingat, kurasa ilmu silat yang kuciptakan berdasarkan dari Im-Yang Bu-Tek Cin-Keng ini, takkan mudah dikalahkan oleh lain orang. Mari kita mencari seorang di antara mereka, hendak kucoba sampai di mana kegunaan ilmu silat baru ini!"

   Maka berangkatlah Kiu-Bwe Coa-Li bersama muridnya, untuk mencari seorang di antara empat besar, yakni Hek-I Hui-Mo, Jeng-kin Jiu Kak Thong Taisu, Ang-Bin Sin-Kai atau juga Pak-Lo-Sian Siangkoan Hai untuk mengadu ilmu silatnya yang baru! Perjalanan dilakukan lambat sekali karena sepanjang hari Kiu-Bwe Coa-Li melatih diri dengan ilmu silat baru ini, dan juga berbareng memberi latihan-latihan ilmu silat tinggi kepada muridnya. Pada suatu hari, mereka tiba di kota Cin-Leng yang cukup besar dan ramai. Berbeda dengan tokoh-tokoh kang-ouw lainnya, Kiu-Bwe Coa-Li paling teliti dalam memilih makan dan tempat menginap. Ia selalu memilih rumah penginapan yang terbersih dan memilih makanan dari restoran yang besar.

   Oleh karena itu, pakaian yang dipakai oleh Sui Ceng pun selalu bersih dan baik dan anak perempuan ini dibelikan pakaian beberapa stel yang dibungkus dengan kain kuning dan selalu buntalan itu digendong di atas punggungnya. Di kota Cin-Leng, begitu memasuki sebuah rumah penginapan yang besar, Kiu-Bwe Coa-Li terus saja berdiam di dalam kamarnya, duduk di atas pembaringan dan bersamadhi. Sebaliknya, Sui Ceng yang ketika memasuki kota tadi melihat bangunan-bangunan indah dan keadaan kota yang ramai, lalu keluar dari Hotel itu dan pergi berjalan-jalan. Ketika tiba di depan sebuah restoran, perhatian Sui Ceng tertarik kepada tujuh orang yang sedang makan di ruang depan restoran itu. Mereka ini nampaknya seperti orang-orang gagah dan dari pakaian mereka, tahulah Sui Ceng bahwa mereka adalah serombongan Piauwsu (pengawal kiriman barang berharga).

   Dari wajah mereka yang muram dan percakapan mereka yang hangat, Sui Ceng dapat menduga tentu telah terjadi sesuatu yang hebat. Oleh Gurunya, Sui Ceng selalu dibekali uang, karena Kiu-Bwe Coa-Li berwatak terlalu angkuh untuk membiarkan muridnya mencuri atau mengemis makanan. Maka Sui Ceng lalu bertindak memasuki restoran itu dan mengambil tempat duduk tidak jauh dari para Piauwsu yang sedang bercakap-cakap itu. Tentu saja ada beberapa orang yang memandang kepadanya dengan heran, karena jarang terjadi seorang anak perempuan berusia kurang lebih tujuh tahun memasuki restoran seorang diri, akan tetapi selanjutnya tidak ada yang menaruh perhatian, karena ia disangka puteri seorang kaya raya yang suka jajan! Sui Ceng tertarik sekali ketika mendengar seorang diantara para Piauwsu itu berkata,

   "Jalan satu-satunya bagi kita untuk menolong mereka, tak lain kita harus minta bantuan dari Bin Kong Siansu Ketua Kim-Pan-Sai. Selain orang tua itu, agaknya Siluman itu takkan dapat di lawan."

   Pada saat itu, terdengar suara banyak orang mendatangi di luar restoran. Ketika Sui Ceng melirik, yang datang itu adalah belasan orang laki-laki yang kelihatan gagah dan yang pada saat itu nampak marah sekali.

   "He, pengecut-pengecut dari Hui-To-Piauwkiok (Perusahaan Expedisi Golok Terbang)! Keluarlah untuk terima binasa!"

   Teriak seorang di antara para pendatang itu.

   "Hm, menyebalkan sekali orang-orang Sin-To-Pang itu!"

   Kata seorang Piauwsu sambil mencabut goloknya, lalu berjalan keluar diikuti oleh kawan-kawannya. Sementara itu, ketika mendengar bahwa orang-orang yang datang adalah anggauta-anggauta Sin-To-Pang (Perkumpulan Golok Sakti), Sui Ceng terkejut sekali dan cepat berdiri lalu melihat dengan penuh perhatian.

   "Kalian ini orang-orang Sin-To-Pang mau apakah? Ketua kami dan isterinya mengalami bencana, kalian ini sebagai orang-orang yang menganggap diri gagah, bukannya membantu bahkan mencari masalah!"

   Kata Piauwsu tadi sambil bersiap dengan golok di tangannya. Seorang di antara anggauta-anggauta Sin-To-Pang, yang semuanya juga memegang golok, menudingkan goloknya sambil memaki,

   "Orang-orang rendah! Kalau tidak Ketua kalian si pemikat she Ong itu membujuk Thio-Toanio, tidak nanti sampai terjadi Thio-Toanio tertangkap oleh Toat-Beng Hui-Houw (Macan Terbang Pencabut Nyawa)! Sekarang kalian harus menebus kesalahan Ketuamu itu, baru kami akan menolong Thio-Toanio."

   "Manusia-manusia sombong dan bodoh!"

   Para Piauwsu itu berseru dan terjadilah perang tanding antara belasan anggauta Sin-To-Pang dan tujuh orang Piauwsu itu. Semua menggunakan golok dan pertempuran terjadi ramai sekali. Orang-orang yang berada di sekitar tempat itu menjadi ketakutan dan cepat-cepat melarikan diri. Akan tetapi, pada saat itu, sesosok bayangan yang kecil melompat ke tengah medan pertandingan dan terdengar seruan nyaring,

   "Tahan semua senjata!"

   Bayangan ini adalah Sui Ceng yang bergerak dengan tubuh ringan dan cepat, juga suaranya dikeluarkan dengan tenaga Khikang sehingga terdengar nyaring dan berpengaruh. Beberapa orang segera menahan senjata mereka dan mundur, akan tetapi ada tiga orang anggauta Sin-To-Pang dan dua orang Piauwsu yang berangasan dan masih saja bertanding dengan hebatnya.

   "Tahan kataku!"

   Teriak Sui Ceng dan sekali saja dia menggerakkan tangannya dan tubuhnya menyambar, terdengar suara berkerontangan dan empat batang golok telah terlepas dari pegangan dan terlempar ke atas tanah mengenai batu-batu. Orang-orang itu terkejut sekali karena ternyata bahwa yang membuat tangan mereka untuk sesaat lumpuh tadi adalah seorang anak perempuan! Sui Ceng telah mempergunakan gerakan jari-jari tangan untuk menotok urat-urat nadi mereka, dan mengandalkan ginkangnya yang sudah tinggi, dia dapat melakukan serangan-serangan ini dengan amat mudah!

   "Siauw-Pangcu (Ketua cilik)!!"

   Para anggauta-anggauta Sin-To-Pang berseru ketika mereka melihat Sui Ceng. Serta-merta orang-orang ini lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Sui Ceng! Para Piauwsu yang melihat hal ini menjadi tertegun dan kini dua orang di antara mereka mengenal pula Sui Ceng yang dulu pernah ikut Ibunya, ketika Ibunya menikah dengan Ong Kiat Pemimpin mereka.

   

Pendekar Kelana Eps 15 Jodoh Si Mata Keranjang Eps 3 Pendekar Kelana Eps 10

Cari Blog Ini