Ceritasilat Novel Online

Asmara Berdarah 1


Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo Bagian 1




   Asmara Berdarah (Seri ke 08 - Serial Pedang Kayu Harum)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 01

   Kota Ceng-tao terletak di tepi laut, merupakan sebuah kota pelabuhan yang besar di Propinsi Shantung. Setiap hari perahuperahu dagang yang besar berlabuh di situ, ada yang datang membawa barang-barang dagangan dari luar daerah, bahkan dari luar negeri ke kota itu, ada pula yang mengangkut barang-barang dari dalam keluar. Bukan hanya perdagangan yang meramaikan kota Ceng-tao, akan tetapi juga hasil penangkapan ikan di laut daerah pelabuhan itu amat baik sehingga pantai itu penuh pula dengan perahuperahu nelayan dan terbentuklah sebuah pasar ikan di tepi pantai. Biasanya, sejak pagi sekali, pantai itu telah sibuk, terutama sibuk dengan para nelayan yang baru pulang dari tengah lautan di mana mereka bekerja,

   Semalam suntuk menangkap ikan, membawa hasil penangkapan ikan mereka yang memenuhi perahu mereka. Bau amis ikan-ikan mati akan memenuhi tempat itu, dan bukan hanya lalat-lalat yang merubung, akan tetapi juga manusia-manusia yang berebutan melelang ikan-ikan itu untuk dijual kembali ke pasar dan memperoleh untung yang Kadang-kadang lebih besar dari pada para nelayan itu sendiri. Kadang-kadang nampak pula pemandangan yang mengharukan, menyedihkan dan mendatangkan rasa penasaran dalam hati. Sebagian besar para nelayan itu hanya alat-alat belaka dari para juragan yang melepas uang untuk memberikan perahuperahu, jala-jala dan alat-alat perlengkapan yang baik untuk menangkap ikan. Dan mereka inilah yang menentukan harga jika para nelayan kembali dari tengah laut.

   Harga ditekan sedemikian rupa dan para nelayan tidak berani melawan karena mereka telah terbenam dalam hutang setinggi leher. Selain itu, para juragan itu membawa tukang-tukang pukul yang galak dan kejam. Tidak jarang terjadi pemukulan-pemukulan di tepi pantai itu oleh para tukang pukul terhadap nelayan yang berani membangkang. Ada pula nelayan-nelayan yang menangis karena hasilnya terlampau sedikit untuk dapat menghidupkan keluarganya, apalagi kalau ada anggauta keluarga yang sedang sakit dan membutuhkan uang untuk biaya pengobatan. Akan tetapi, pada pagi hari itu keadaan di tepi pantai agak sunyi. Hujan telah turun sejak malam tadi. Karena hujan badai membuat air laut meliar, para nelayan banyak yang terpaksa pulang malam tadi tanpa memperoleh hasil.

   Setelah matahari mulai muncul, hujan mereda, tidak selebat semalam, akan tetapi masih juga turun rintik-rintik. Di kota Ceng-tao sendiri, biarpun pagi itu masih hujan gerimis, namun di jalanan penuh juga oleh orang berlalu-lalang memakai payung atau memakai caping lebar untuk melindungi diri dari timpaan air lembut yang dingin. Nampak pula gerobak-gerobak yang membawa barang-barang dagangan seperti sayur-mayur, ikan dan sebagainya, berbondong-bondong menuju ke pasar yang berada di tengah kota. Ada pula tukang-tukang pikul yang memikul barang-barang berat menuju ke pasar. Mereka ini tidak berbaju dan tubuh yang bagian atasnya telanjang itu tertimpa air hujan. Tubuh yang berkeringat itu menjadi semakin basah. Air hujan bercampur air keringat membuat tubuh itu mengkilap, nampak kuat dengan otototot menjendol.

   Namun mereka tidak terganggu oleh air hujan yang dingin. Bahkan terasa enak di badan, sejuk dan banyak mengurangi rasa lelah. Bermacam orang berlalu-lalang di jalan raya menuju ke pasar. Dari keadaan pakaian mereka, dapat diketahui siapa di antara mereka yang pedagang beruang dan siapa yang hanya kuli miskin. Pakaian mereka yang mendatangkan perbedaan itu, bukan hanya pakaian, akan tetapi juga pandang mata dan sikap mereka. Sebagian besar manusia mencerminkan keadaan kehidupan mereka pada sikap dan air muka. Yang kaya, pandai atau berkedudukan biasanya mengangkat muka tinggi-tinggi, merasa lebih dari pada orang lain. Sebaliknya, orang-orang yang merasa dirinya miskin, bodoh dan tidak ada kekuasaan, banyak menunduk dan merendahkan diri.

   Akan tetapi pada pagi hari itu, terdapat suatu suasana gembira yang dapat dirasakan oleh semua orang dari segala tingkatan. Semacam kegembiraan yang aneh, yang terasa oleh seluruh badan dan batin, kegembiraan yang tercipta oleh keadaan bumi dan udara. Setelah hujan lebat semalam, jalan-jalan raya, genteng-genteng rumah, kesemuanya nampak bersih tercuci oleh air hujan. Biarpun hujan masih gerimis dan matahari masih tertutup kabut, namun suasana terasa bersih, sejuk dan jernih. Suara air selokan yang menampung air hujan dan segala kotoran yang disapu olehnya, seperti dendang pagi yang amat merdu. Bahkan pohon-pohon nampak berseri karena merekapun dicuci bersih dari debu-debu, juga daun-daun tua dirontokkan. Setiap daun kini nampak hijau bersih kemilau. Suasana ini mendatangkan suatu rasa gembira yang ajaib.

   Di pintu gerbang kotapun nampak beberapa orang atau gerobak lewat. Mereka datang dari dusun-dusun di luar kota Ceng-tao. Matahari sudah naik agak tinggi namun hujan masih turun rintik-rintik, walaupun sudah mulai jarang. Dan pada saat itu, pintu gerbang telah sunyi, tidak nampak orang lewat lagi. Agaknya orang-orang dusun yang menuju ke kota Ceng-tao sudah habis. Mereka datang mulai pagi sekali tadi, takut kalau kesiangan yang akan membuat dagangan mereka jatuh harga atau tidak laku. Para penjaga pintu gerbang duduk bersantai di dalam gardu. Mereka itu tentu saja merasa enggan untuk berjaga di luar dan tertimpa air hujan. Pula, dalam keadaan aman seperti hari itu, perlu apa berjaga dengan ketat? Yang memasuki pintu gerbang bukan lain hanyalah orang-orang dusun yang hendak berjualan ke pasar kota.

   Suasana di sekitar pintu gerbang sunyi dan hening. Para penjaga yang berada di dalam gardu mengasyikkan diri bermain kartu sambil minum arak untuk menghangatkan tubuh. Tiba-tiba, dari jauh terdengar suara nyanyian! Suaranya agak parau, dalam, dan terdengar lucu, nada-nadanya seenaknya saja. Mau tidak mau para penjaga mendengarnya juga karena suara itu terdengar lucu dan aneh, merekapun setengah memperhatikan. Suara nyanyian itu kini diseling suara ringkik kuda dan makin didengarkan, makin tertariklah hati para penjaga karena memang suara nyanyian itu lucu dan juga aneh kata-katanya. Apalagi diseling ringkik kuda, seolah-olah manusia dan kudanya bernyanyi bersama-sama.

   Tok-tak-tok-tak
Hujan turun bertitik
Top-tap-top-tap
Langkah kudaku cantik!
Hiiii... yeeehhhh...! (ringkik kuda)
Biar hujan biar panas,
Manusia tetap mengeluh
Biar panas biar hujan,
Kuda takkan mengaduh!
Hiii... yeeehhhh...! (ringkik kuda)
Manusia memang pintar,
Pandai berkeluh-kesah
Kudaku memang tolol,
Tak kenal hati susah!
Hiii... yeeehhhh...! (ringkik kuda)
Ha-ha-hi-ha-ha-ha-ha!

   Para penjaga dalam gardu kini menghentikan permainan kartu mereka dan beberapa orang di antara mereka melongok dari jendela gardu untuk melihat siapa gerangan orangnya yang bernyanyi-nyanyi secara aneh dalam hujan rintik-rintik itu. Tak lama kemudian nampaklah orangnya! Seekor kuda yang bentuknya lucu, kecil kurus dan pendek sehingga mirip seekor anak kuda yang mukanya sudah tua, melangkah seenaknya dan agaknya kuda itu selalu berbunyi meringkik kalau lehernya ditepuk oleh penunggangnya. Tidak mengherankan kalau dia dapat ikut bernyanyi menyelingi suara nyanyian majikannya tadi. Kuda kecil mirip keledai itu melangkah sambil menunduk,

   Kadang-kadang berdongak kalau meringkik dan matanya yang besar itu berkilat. Dia nampak gembira dan lega karena tersiram air yang menyegarkan setelah setiap hari melakukan perjalanan jauh di atas jalan berdebu dan di bawah sengatan terik matahari. Air hujan itu amat menyenangkan hatinya, agaknya perasaan itu sama dengan apa yang dirasakan oleh para tukang pikul tadi. Penunggang kuda itu tidak kalah anehnya dibandingkan dengan kudanya sendiri. Ia seorang wanita muda, seorang gadis remaja yang pakaiannya aneh dan tidak karuan! Bajunya kembang-kembang dan tambal-tambal, dijahit seenaknya saja sehingga kebesaran dan kedodoran, Lengan kiri terlalu pendek lengan kanan terlalu panjang, bahkan ada bagian pundak yang robek.

   Mukanya kotor berdebu, muka yang amat lincah gembira penuh senyum dan matanya juga bersinar-sinar membayangkan kelucuan dan kenakalan. Rambutnya yang hitam dan subur itu dikepang dua dan yang sebelah membelit leher, sebelah lagi berjuntai di depan dada. Lucunya, dara remaja yang aneh ini memegang sebuah payung butut yang sudah bocor di sana-sini. Naik kuda pakai payung butut dan bernyanyi-nyanyi! Belum pernah para penjaga itu melihat yang selucu ini dan merekapun tertawa. Mungkin perempuan gila, pikir mereka. Akan tetapi, setelah dara dan kudanya datang semakin dekat, Nampaklah oleh mereka bahwa di balik kelucuan dan kesederhanaan yang ugal-ugalan itu masih dapat dilihat bentuk wajah yang manis dan bentuk tubuh yang padat ramping dan mulai mekar,

   Mulai menunjukkan lekuk lekung tubuh yang amat indah bagaikan setangkai bunga yang mulai mekar dari kuncupnya. Seorang dara yang usianya kurang lebih lima belas tahun. Enam orang penjaga di dalam gardu itu tertawa keras, membuat dara penunggang kuda menengok. Melihat orang-orang itu tertawa, gadis itupun tersenyum dan melihat mereka kini melambaikan tangan, iapun ikut melambaikan tangan. Hal ini membuat para penjaga menjadi semakin gembira. Keadaan yang sunyi, hawa yang dingin, dan pengaruh arak membuat mereka menjadi iseng. Dua orang di antara mereka, yaitu kepala penjaga dan pembantunya, bangkit dan keluar dari gardu sambil berseru,

   "Heii, nona manis, tunggu dulu!"

   Empat orang teman mereka mencoba untuk mengingatkan mereka, akan tetapi karena mereka itu adalah kepala jaga dan pembantunya, yang lain tidak berani menentang.

   "Hemm, kalian tahu aku bukanlah jai-hwa-cat (penjahat pemerkosa wanita). Aku hanya ingin menggoda anak lucu itu, paling-paling hanya menciumnya. Kalau ia mau, boleh kita bawa ke sini dan kita ajak main-main, kalau ia tidak maupun aku tidak akan memaksa.!"

   Dengan kata-kata demikian, para temannya hanya tertawa gembira. Bagaimanapun juga, mereka adalah perajurit-perajurit yang sudah biasa suka bersikap ugal-ugalan dan suka main-main untuk memperlihatkan kekuasaan dirinya. Kepala jaga itu adalah seorang laki-laki berusia empat puluhan tahun, tubuhnya pendek dengan perut gendut sebesar gentong, rambut kepala di bagian ubun-ubun botak dan matanya juga lebar bundar.

   Tubuh yang gendut pendek itu membayangkan kekuatan yang besar dan ketika dia menyeringai, giginya nampak hitam oleh candu rokok. Pembantunya juga berusia empat puluhan, tubuhnya tinggi kurus dan matanya sipit, kulit mukanya agak pucat seperti orang berpenyakitan. Kedua orang ini sudah keluar dari pintu gardu dan kini berdiri menghadang di tengah-tengah pintu gerbang, bertolak pinggang dengan kedua kaki mereka terpentang lebar. Mereka memandang ke depan, ke arah dara berkuda itu dengan mulut menyeringai. Dara itu agaknya tidak mengerti akan maksud dua orang laki-laki yang hendak menggoda atau mengganggu itu. Karena dua orang itu menghadang di tengah pintu gerbang, maka terpaksa ia menahan kudanya agar tidak sampai menabrak mereka dan dengan senyum lebar iapun berkata,

   "Heii, dua orang sobat penjaga, berilah kudaku jalan dan biarkan aku lewat!"

   Setelah kini berhadapan dan melihat dari dekat, kepala jaga itu dengan hati girang sekali mendapatkan kenyataan bahwa gadis yang berpakaian aneh-aneh ini, biarpun kulit mukanya kotor penuh debu, namun sesungguhnya wajah itu amat manis dan sebagian kulit yang agaknya terkena usapan tangan dan bersih dari debu nampak mulus dan putih. Seorang dara remaja yang manis sekali! Apalagi, ketika gadis itu tersenyum, nampak lesung pipit menghias pipinya dan juga giginya nampak putih dan rata.

   "Ha-ha-ha, nona. Boleh saja engkau lewat, akan tetapi engkau harus membayar pajak lebih dulu!"

   Kata kepala jaga yang gendut sambil tertawa sehingga perut gendutnya bergerak-gerak. Nona muda itu mengerutkan alisnya dan memandang heran.

   "Eh, eh, mana ada aturan begitu? Sudah banyak aku keluar pintu gerbang, dan pintu gerbang yang inipun sudah banyak dilewati orang setiap hari, akan tetapi tidak pernah ada orang lewat diharuskan membayar pajak! Rasanya pemerintah belum pernah mengeluarkan keharusan membayar pajak lewat pintu gerbang!"

   "Ha-ha-ha, engkau ini nona manis tapi bodoh. Kalau yang berkuasa menghendaki, jangankan lewat pintu gerbang kota, bahkan orang kentutpun bisa saja diharuskan membayar pajak. Dan sekarang saat ini, yang berkuasa di pintu gerbang ini telah mengharuskan engkau membayar pajak. Jadi, engkau tidak boleh membangkang, nona, karena pembangkangan berarti pemberontakan dan engkau bisa ditangkap dan dijebloskan penjara!"

   "Hemm, dan siapa yang berkuasa di pintu gerbang ini sekarang?"

   "Siapa lagi kalau bukan tuan besarmu ini?"

   Si gendut menunjuk perutnya sendiri yang besar sambil tertawa.

   "Wah, ini namanya bukan pajak tapi pemerasan!"

   Dara remaja itu berteriak dan sebetulnya sikapnya ini saja sudah harus menjadi peringatan bagi dua orang penghadang itu. Kalau nona itu seorang gadis biasa, tak mungkin sikapnya seberani dan secerdik itu dalam berbantah. Seorang gadis biasa apalagi dari dusun, baru bertemu dengan penjaga dan dihardik sedikit saja sudah akan bersikap ketakutan.

   "Jangan banyak cerewet!"

   Si kurus sipit membentak.

   "Taati perintah kepala jaga kami kalau engkau tidak ingin celaka!"

   "Hemm, jadi pajak ini bukan peraturan pemerintah melainkan peraturan kalian sendiri?"

   "Benar, kami yang berkuasa di sini!"

   Kata si gendut.

   "Dan hasil pungutan pajak liar ini kalian nikmati sendiri, bukan untuk pemerintah?"

   "Tentu saja!"

   "Wah, kalau begitu kalian adalah perampok-perampok seragam yang menyamar sebagai pejabat pemerintah!"

   "Hush, tutup mulutmu atau engkau kami tangkap dan kami jebloskan penjara!"

   "Huh, pantasnya orang-orang macam kalian ini yang ditangkap dan dipenjarakan. Kalian merongrong kewibawaan pemerintah dengan tingkah laku kalian, kalian mencemarkan nama negara dengan menggunakan kekuasaan menggendutkan perut dan kantong sendiri, dan kalian inilah pengkhianat-pengkhianat dan musuh-musuh rakyat dan negara yang menekan dan memeras rakyat!"

   "Hei, perempuan gila, tutup mulutmu!"

   Si tinggi kurus membentak, akan tetapi si gendut menyeringai.

   "Gadis liar, makin menyenangkan kalau nanti dapat kutundukkan! Hayo, engkau harus mentaati peraturan dan membayar pajak, nona manis.!

   "Berapa pajaknya?"

   Gadis itu bertanya sambil bersungut-sungut.

   "Ha-ha-ha, itulah anehnya. Pajak yang harus kau bayar adalah... dua kali ciuman pada kami!"

   Sepasang mata itu terbelalak, akan tetapi mulut itu lalu tersenyum manis. Agaknya kalau tadi ia marah karena peraturan pajak yang dianggapnya pemerasan itu, kini kemarahannya lenyap dan ia merasa betapa permintaan pajak cium itu amat lucu. Agaknya timbul kembali kejenakaan dan kelincahan dara itu. Sikapnya tidak lagi serius seperti tadi ketika ia berbantah tentang pajak dan pemerasan.

   "Bagus, kiranya kalian minta cium? Kebetulan sekali, aku memang ahli memberi ciuman! Heh, sobat gendut, engkau minta cium pipi kiri atau pipi kanan?"

   Mendengar ucapan yang sama sekali tidak pernah disangkanya itu, karena tadinya si gendut mengira bahwa gadis itu akan marah, para penjaga itu tertawa gembira. Kiranya gadis itu menerima ajakan mereka dengan kedua tangan terbuka dan kini malah menantang ciuman!

   "Ha-ha-ha, coba engkau cium pipi kananku dua kali, nona manis!"

   "Engkau mana dapat bertahan dua kali? Satu kalipun cukup. Dan engkau, sobat kurus, engkau minta ciuman kanan atau kiri?"

   Si tinggi kurus bermata sipit menjadi gugup juga. Tak pernah disangkanya gadis ini malah menawarkan ciuman kepadanya.

   "Eh, aku... hemm, yang kiripun bolehlah!"

   Kembali para penjaga tertawa riuh rendah dan mereka semua sudah keluar dari dalam gardu karena mereka semua kini ingin minta ciuman dari gadis yang agaknya suka membagi-bagi ciuman itu. Dara itu turun dari atas punggung kudanya dan memandang kepada mereka dengan senyum simpul, matanya bersinar-sinar penuh kegembiraan. Mata si gendut berminyak ketika dia melihat bahwa setelah turun dari kudanya, tubuh gadis itu nampak jelas keindahannya. Tinggi semampai dan padat, juga lenggangnya seperti batang yang-liu tertiup angin ketika gadis itu meninggalkan kuda menghampirinya.

   "Sobat gendut minta ciuman pipi kanan dan sobat kurus minta ciuman pipi kiri? Baiklah, akan kuberi ciuman seorang satu kali saja, kalau kurang nanti boleh tambah lagi!"

   Mendengar ucapan ini, si gendut dengan lagak lucu menggosok-gosok pipi kanannya agar bersih, siap menerima ciuman sedangkan si kurus juga berseri-seri wajahnya. Akan tetapi, tiba-tiba tubuh dara itu bergerak dengan amat cepatnya sehingga bayangannya saja yang nampak, kedua kakinya melayang ke atas.

   "Plakk! Plakkk!"

   Tubuh si gendut dan si kurus itu terpelanting dan terbanting jatuh bergulingan. Mereka mengaduh-aduh sambil memegangi pipi masing-masing, dan ketika mereka merangkak bangkit duduk, ternyata pipi kanan si gendut bengkok dan biru sedangkan bibirnya mengalir darah karena empat buah gigi di ujung kanan patah-patah, sebaliknya si kurus memegangi pipi kirinya yang juga bengkak dan bibirnya berdarah. Kiranya gadis tadi, dengan gerakan yang luar biasa cepatnya, telah menendang pipi kanan si gendut dengan kaki kiri sedangkan kaki kanannya menyambar pipi kiri si kurus. Tendangan itu selain cepat, juga mengandung tenaga besar sekali, membuat kedua orang itu merasa seolah-olah kepala mereka telah copot.

   "Hei, kenapa engkau menendang orang?"

   Empat orang penjaga yang melihat adegan itu menjadi terkejut dan marah, lalu berlari mendatangi dan mengurung gadis itu sambil mencabut golok.

   "Bukankah mereka yang minta ciuman pipi kanan dan pipi kiri?"

   Gadis itu balas bertanya dengan sikap mengejek.

   "Itu bukan ciuman!"

   Bentak seorang di antara para penjaga.

   "Aku tadi tidak mengatakan cium dengan apa! Apakah kalian kira aku akan sudi mencium pipi mereka dengan hidung atau bibirku? Aih, tak usah, ya? Aku sudah memberi ciuman dengan ujung sepatu, masing-masing satu kali, kalau kurang boleh ditambah lagi. Apakah kalian berempat juga ingin minta bagian ciuman?"

   Pada saat itu, si gendut dan pembantunya sudah bangkit berdiri. Pipi mereka semakin besar bengkaknya dan dengan mata merah si gendut kini memandang kepada gadis itu. Hatinya lebih nyeri dari pada pipinya. Rasa malu mengatasi rasa nyeri dan lebih mendatangkan dendam dari pada kewaspadaan. Sesungguhnya, gerakan gadis itu yang dalam sekali gerak saja sudah mampu merobohkan dia dan pembantunya, sudah cukup membuktikan bahwa dia berhadapan dengan seorang gadis yang berilmu tinggi. Akan tetapi, perasaan dendam membuatnya mata gelap.

   "Tangkap perempuan iblis ini! Bunuh...!"

   Dia sendiri sudah mencabut golok besarnya dan bersama lima orang anak buahnya, dia lalu menerjang dan menyerang gadis itu dengan amat ganasnya. Gerakan golok mereka berenam itu jelas merupakan serangan untuk membunuh.

   Sinar golok mereka berkilauan tertimpa sinar matahari yang mulai menimpakan cahayanya setelah ditinggalkan awan dan setelah hujan mulai berhenti menitik. Akan tetapi, pandang mata enam orang penjaga itu menjadi kabur ketika mereka melihat betapa nona di depan mereka itu lenyap dan hanya nampak bayangannya saja yang mengelak ke kanan kiri dengan kecepatan yang luar biasa. Semua tusukan dan bacokan golok tidak ada yang mengenai sasaran bahkan pada saat golok terayun, bayangan itu telah lenyap untuk muncul di tempat lain. Ketika tiba-tiba si gendut melihat bayangan dara itu muncul di depannya sambil tersenyum mengejek, dia mengeluarkan bentakan nyaring dan goloknya menyambar ke arah leher nona itu dengan kecepatan kilat dan pengerahan tenaga seluruhnya.

   Karena didorong oleh kemarahan dan nafsu membunuh yang berkobar, kepala jaga gendut ini lupa akan pantangan dalam gerakan silat. Pantangan ini adalah mempergunakan seluruh tenaga dalam serangan. Seharusnya, dalam setiap serangan, orang selalu mempergunakan tenaga terbatas agar masih ada sisa tenaga untuk memperkuat kedudukan kaki dan untuk persiapan penjapan diri. Namun, si gendut melakukan serangan dengan mengerahkan seluruh tenaga. Maka, ketika gadis itu dengan amat lincahnya mengelak, si gendut tak dapat mengendalikan dirinya lagi dan diapun terdorong oleh tenaganya sendiri tanpa kakinya dapat mengatur keseimbangan badan lagi, tubuhnya tersungkur ke depan. Pada saat itu, kaki gadis itu kembali menciumnya, sekali ini mencium dada sebelah kiri.

   "Ngekk...!"

   Si gendut terpelanting dan tahu-tahu goloknya telah terampas oleh nona itu. Sambil tersenyum, nona itu menggerakkan golok rampasan ke arah si gendut yang memandang terbelalak dan wajahnya pucat sekali karena dia tahu bahwa maut telah menerkamnya. Tiba-tiba golok itu dilepas oleh si nona dan meluncur ke bawah, gagangnya di depan dan menyambar ke arah si gendut.

   "Krekkkk...!"

   Si gendut mengeluh akan tetapi sukar mengeluarkan suara karena mulutnya dipenuhi gagang golok yang telah membuat seluruh gigi dalam mulutnya rontok! Ada beberapa buah gigi yang tertelan dan kini dia mendelik, menggunakan kedua tangan untuk mengeluarkan golok itu yang gagangnya tertanam dalam mulutnya. Setelah merobohkan kepala jaga, nona itu lalu meloncat ke atas punggung kudanya. Lima orang penjaga mengejarnya dengan golok akan tetapi tiba-tiba nona itu mengeluarkan pekik melengking dan kedua tangannya bergerak ke kanan kiri. Sungguh hebat! Tanpa tersentuh, tubuh lima orang penjaga itu terpelanting semua dan terbanting roboh seperti terlanda angin yang amat kuat. Dan ketika mereka bangkit berdiri, kuda itu telah lari memasuki kota.

   "Kejar...!"

   Teriak si mata sipit dan mereka berlima meninggalkan si gendut yang masih mengeluh dan meratapi giginya itu, melakukan pengejaran. Namun, nona dan kudanya telah lenyap. Bahkan ketika mereka melapor dan pasukan penjaga ikut mencari, mereka tidak dapat menemukan jejak nona dengan kudanya itu, seolah-olah kudanya telah lenyap ditelan bumi. Tentu saja peristiwa ini segera tersiar dan menjadi buah percakapan para penduduk Ceng-tao.

   Berita akan munculnya seorang dara aneh dengan kuda aneh, menyanyikan lagu aneh pula dan setelah dengan mudahnya merobohkan enam orang penjaga lalu lenyap begitu saja, semua orang lalu menghubungkannya dengan kepercayaan mereka akan kesaktian Dewi Laut yang mereka percaya. Mana mungkin seorang gadis muda selain merobohkan enam orang penjaga, memiliki kuda sakti juga pandai menghilang begitu saja seperti terbang ke langit atau amblas ke bumi kalau ia bukan Dewi Laut? Di dalam kota itu terdapat sebuah kuil yaitu kuil Dewi Laut. Menurut dongeng turun-temurun di antara penduduk Ceng-tao yang di jaman dahulunya adalah nelayan, Dewi Laut dikenal sebagai dewi yang selain menguasai lautan, juga menjadi pelindung kaum nelayan.

   Oleh karena itu, maka patung dewi itu di dalam kuilnya dipuja-puja dan disembahyangi, bahkan dirayakan setiap tahun pada hari ulang tahunnya. Bahkan ada dongeng di antara para penduduk bahwa Dewi Laut itu sewaktu-waktu "turun"

   Ke bumi dan melakukan bermacam hal yang menggemparkan. Akan tetapi, semua hal yang dilakukannya itu pada umumnya menentang kejahatan dan menghukum pelakunya. Betapapun juga, ada kalanya Sang Dewi muncul melakukan hal-hal yang ganas. Hal ini kabarnya terjadi kalau penduduk lupa memberi sesajen atau korban sehingga sang dewi menjadi marah dan menghukum penduduk dengan perbuatan-perbuatan yang ganas.

   Kalau sekali waktu terdengar berita bahwa amukan dewi itu adalah karena penduduk lupa memberi sesajen, maka dapat dipastikan bahwa berita itu bersumber dari kuil itu sendiri. Tentu saja para nikouw yang menjaga kuil itulah yang menjadi sumber berita. Hal ini amat penting bagi mereka karena berita itu dapat memperkuat kembali kepercayaan dan rasa takut penduduk terhadap Dewi Laut. Kalau sudah begitu maka berbondonglah orang-orang datang bersembahyang dan memberi sedekah! Dan hal ini perlu bagi kehidupan para nikouw, bagi terpenuhinya semua kebutuhan dan biaya menjaga dan merawat kuil. Mungkin sekali yang dimaksudkan dengan sebutan Dewi Laut adalah nama lain dari Kwan Im Posat.

   Begitu banyaknya dongeng tentang Dewi Kwan Im Posat sebagai Dewi Belas Kasih ini sehingga tidak mengherankan kalau penduduk Ceng-tao yang dahulunya adalah kaum nelayan dan laut merupakan daerah penting bagi mereka lalu menciptakan sebutan Dewi Laut bagi Kwan Im Posat. Setelah turun-temurun, maka hanya nama Dewi Laut itu saja yang dikenal sebagai dewi pujaan mereka. Ketua nikouw yang bertugas di kuil itu adalah seorang nikouw berusia enam puluh tahun berjuluk Hat Cu Nikouw. Ia sengaja memakai julukan Hat Cu yang berarti Mustika Laut, agar sesuai dengan tempat itu dan sesuai pula dengan dewi yang dipuja. Hat Cu Nikouw bukanlah nikouw biasa yang lemah.

   Tidak, ia adalah seorang ahli silat yang memiliki tingkat cukup tinggi sehingga namanya dikenal dan ditakuti orang terutama kaum penjahat yang tidak berani mengganggu kuil itu, bahkan tidak berani beroperasi di daerah yang berdekatan dengan kuil Dewi Laut. Hat Cu Nikouw ini mempunyai seorang suheng, juga kini menjadi ketua kuil yang berada di luar kota. Suhengnya itu berjuluk Thian Kong Hwesio, berusia enam puluh tahun lebih dan memiliki ilmu silat yang lebih Lihai dari pada sumoinya. Ketika penduduk ramai-ramai membicarakan tentang munculnya seorang gadis aneh yang melakukan kegemparan dan penduduk mulai menghubungkan gadis itu dengan Dewi Laut, Hat Cu Nikouw juga mendengarnya. Nikouw tua ini tersenyum saja. Di dalam hatinya ia maklum bahwa semua berita tentang Dewi Laut itu hanyalah bohong belaka, walaupun ia sendiri adalah pemuja Dewi Laut.

   Dan kini ia menduga bahwa tentu gadis yang dihebohkan itu sama sekali bukan penjelmaan Dewi Laut, melainkan seorang gadis kang-ouw. Iapun tahu bagaimana tingkah para petugas jaga di pintu gerbang itu dan dapat menduga bahwa tentu gadis kang-ouw itu diganggu sehingga mengamuk dan menghajar mereka. Akan tetapi, ia hanya tersenyum dan tidak mau membantah kabar itu. Biarlah, pikirnya, biar penduduk makin yakin akan kesaktian Sianli. Pada keesokan harinya, berita tentang Dewi Laut itu menjadi semakin besar dan menggemparkan. Apalagi ketika diterima kabar oleh penduduk dari para nikouw penjaga kuil itu bahwa patung Dewi Laut semalam telah lenyap tanpa meninggalkan bekas! Para nikouw yang mengurus kuil itupun tidak tahu kapan dan ke mana hilangnya patung itu, seolah-olah menghilang begitu saja dari tempat pemujaannya.

   Apalagi penduduk, bahkan Hai Cu Nikouw sendiri terkejut dan merasa heran ketika menerima laporan para muridnya bahwa patung Dewi Laut telah lenyap! Siapa orangnya berani main-main dan berani mati mencuri patung keramat itu? Agaknya tidak mungkin ada pencuri berani melakukan hal itu. Akan tetapi... kenyataannya, patung itu lenyap begitu saja. Benarkah bahwa Dewi Laut telah menjelma menjadi gadis aneh? Ah, tak mungkin! Nikouw tua itu segera menghubungi suhengnya dan merekapun berunding. Hilangnya patung Dewi Laut sungguh merupakan hal yang menimbulkan penasaran dan marah. Terang bahwa penjahat yang mencurinya tidak memandang mata kepada mereka, atau setidaknya kepada Hai Cu Nikouw dan pencurian patung itu dapat dianggap sebagai suatu tantangan.

   "Tidak mungkin patung itu dicuri karena nilainya. Tidak ada emas permata yang menghias patung itu. Maka, jelaslah bahwa pencurinya melakukan hal itu untuk menghinaku, untuk menantangku!"

   Demikian antara lain Hai Cu Nikouw menyatakan rasa penasaran hatinya di depan suhengnya. Ia adalah seorang wanita yang biarpun usianya sudah enam puluh tahun, namun masih nampak segar dan sehat, juga wajahnya masih membayangkan raut yang cantik. Rambutnya habis dicukur licin, wajahnya belum banyak dimakan kerut, sepasang matanya masih tajam dan ada keangkuhan membayang pada dagunya yang meruncing, agaknya keangkuhan yang timbul karena yakin akan kemampuan dirinya. Tubuhnya kecil, agak tinggi dan gerak-geriknya masih cekatan. Sepasang pedang tergantung di punggungnya dan baru mulai hari itulah ia selalu membawa sepasang pedang itu, karena merasa bahwa ia ditantang orang. Suhengnya menarik napas panjang.

   "Tenanglah, sumoi. Kalau memang benar pencuri patung itu menantangmu, kenapa sampai sekarang dia tidak muncul? Apa maksudnya mencuri patung? Dan berita tentang gadis yang aneh itu. Jangan-jangan ia yang mencuri patung itu, hanya untuk memperlihatkan kepandaiannya. Banyak ulah gadis muda kang-ouw seperti itu, hanya untuk mencari kepopuleran nama belaka.!

   Hwesio itu berusia enam puluh tiga tahun. Kepalanya gundul licin dan malam itu dia memakai penutup kepala. Jubahnya kuning dan tubuhnya gendut tinggi. Seuntai tasbeh panjang tergantung di lehernya dan jubah kuningnya cukup bersih. Di meja dekat dia duduk tersandar tongkatnya, sebuah tongkat hwesio yang terbuat dari baja disepuh emas. Tongkat ini selain menjadi tanda kebesarannya sebagai ketua kuil, juga merupakan senjatanya yang ampuh. Mereka bercakap-cakap di ruangan belakang kuil Dewi Laut ketika hwesio tua itu mengunjungi sumoinya, setelah mendengar apa yang telah terjadi di kuil itu dan dihubungi oleh sumoinya. Keadaan sunyi di kuil itu. Para nikouw sibuk berjaga karena patung itu lenyap malam kemarin, Hai Cu Nikouw nampak murung dan mudah marah, dan memarahi murid-muridnya yang dikatakan lengah dan banyak tidur.

   Maka merekapun malam ini tidak berani tidur dan berjaga secara bergiliran. Tiba-tiba keheningan di ruangan itu terpecah oleh suara ketawa lirih dari atas datangnya, disusul suara orang mendengus dan mengejek. Thian Kong Hwesio dan Hai Cu Nikouw terkejut sekali dan cepat kakak beradik seperguruan itu telah meloncat keluar dari jendela. Thian Kong Hwesio telah menyambar tongkatnya dan sumoinya sudah mencabut siang-kiamnya, kemudian keduanya melayang naik ke atas genteng dari luar ruangan. Nampak bayangan yang amat gesit berkelebat menjauh atau agaknya sengaja memancing kedua orang itu. Di dalam kegelapan malam yang remang-remang, di bawah sinar bulan sepotong, nampak jelas bahwa sosok bayangan itu adalah seorang wanita, dengan tubuh ramping terbungkus pakaian ketat.

   "Iblis betina, engkau hendak lari ke mana?"

   Bentak Hai Cu Nikouw sambil meloncat ke depan dan mengejar, dibayangi suhengnya. Akan tetapi bayangan itu berlari terus, berlompatan ke sana-sini, dari genteng ke genteng rumah lain, sambil Kadang-kadang terdengar suara ketawanya, ketawa seorang wanita.

   Thian Kong Hwesio dan Hai Cu Nikouw menjadi penasaran sekali. Mereka mengejar dan mengerahkan semua tenaga untuk mengimbangi keringanan tubuh bayangan itu, namun harus mereka akui bahwa ginkang dari bayangan di depan itu amat hebatnya. Kadang-kadang meloncat turun kalau dikejar ke bawah, tahu-tahu sekali melesat sudah berada di atas genteng rumah lain. Kejar-mengejar terjadi beberapa lamanya dan kedua orang pendeta itu terkejut dan merasa heran sekali setelah berlari-larian sekian lamanya, ternyata bayangan itu membawa mereka kembali ke genteng kuil Dewi Laut! Dan tiba-tiba bayangan itu meloncat tinggi sekali dan kakinya hinggap di atas ujung menara kuil yang kecil. Mereka memandang bengong, kagum dan tidak tahu bagaimana mereka akan dapat menyusul wanita aneh itu.

   "Hemm, hwesio dan nikouw tolol! Apakah kalian benar-benar hendak menentang dan melawan Dewi Laut?"

   Mendengar bentakan suara yang mengandung wibawa itu, Hai Cu Nikouw dan suhengnya terkejut dan menjadi bimbang. Benarkah bayangan ini adalah bayangan Dewi Laut? Mereka berdua adalah pemuja Dewi Laut, akan tetapi mereka bukan orang-orang yang percaya akan tahyul dan dongeng-dongeng tentang Dewi Laut menjelma sebagai manusia, maka mereka merasa ragu-ragu.

   "Hemm, kalian masih ragu-ragu? Apakah menanti sampai aku marah dan kubakar kuil ini? Kalian memujaku hanya pura-pura saja, ya?"

   Hai Cu Nikouw terkejut sekali dan cepat ia menjatuhkan diri berlutut. Dewi Laut yang sejati atau bukan, jelas bayangan itu memiliki ilmu kepandaian yang hebat dan bagaimanapun juga, bayangan itu belum melakukan sesuatu yang merugikan. Melihat sumoinya berlutut, Thian Kong Hwesio juga berlutut sambil berseru,

   "Omitohud, harap maafkan kami yang tidak tahu akan kedatangan Sianli.! Bayangan itu tertawa, suara ketawanya halus dan mengerikan. Sukar untuk mengenal wajahnya karena bulan sepotong selain kurang terang sinarnya, juga berada di belakang kepalanya sehingga wajah bayangan itu tertutup kegelapan.

   "Ha-ha-hi-hi-hi, sekarang baru kalian menyembahku. Dengarlah baik-baik. Para penghuni kota Ceng-tao mulai kurang kepercayaannya kepadaku, padahal akulah yang melindungi mereka. Katakan kepada mereka bahwa aku menghendaki sesajen yang harus disediakan malam besok di dalam menara ini. Aku menghendaki emas murni lima puluh tail, berikut hidangan yang paling lezat dan masih panas-panas untuk lima orang. Dan semua itu harus diantarkan oleh dua orang pria muda yang masih perjaka dan yang tampan, dan mereka harus membawa semua itu ke dalam ruangan kosong di atas menara. Awas, kalau permintaanku tidak ditaati, bukan hanya kuil ini kubakar, akan tetapi juga akan kudatangkan badai besar, agar ombak menggulung habis kota Ceng-tao!"

   Dua orang pendeta itu mendengarkan sambil menundukkan muka dan hati mereka memang merasa gentar juga, walaupun masih ada perasaan bimbang apakah benar ini suara dewi yang mereka puja-puja sebagai pelindung rakyat Ceng-tao itu. Ketika suara itu lenyap, mereka mengangkat muka memandang dan ternyata bayangan itu telah lenyap dari puncak menara! Mereka berdua memandang ke kanan kiri dan tidak melihat apa-apa lagi. Bayangan daun pohon tinggi yang tumbuh di belakang kuil bergoyang-goyang tertiup angin dan kedua orang pendeta yang lihai itu merasa juga betapa tengkuk mereka menjadi dingin. Betapa hebatnya wanita itu, pikir mereka. Dapat menghilang begitu saja dari puncak menara yang begitu tinggi tanpa mereka ketahui. Mereka berdua lalu meloncat turun dan ketika mereka berjalan menuju ke dalam, dua orang nikouw menyambut mereka dan seorang di antara mereka berkata,

   "Subo... patung... patung itu...!

   "Ada apa? Bicara yang benar!"

   Bentak Hai Cu Nikouw.

   "Patung itu sudah kembali...!"

   Mendengar ini, Hai Cu Nikouw cepat berlari ke dalam, ke ruangan pemujaan dan ia berdiri terpukau memandang wajah patung Dewi Laut yang diterangi oleh lilin! Patung itu sudah kembali di tempatnya! Mereka berdua, suheng dan sumoi itu, lalu berunding di dalam ruangan.

   "Bagaimana pendapatmu, suheng? Benarkah... Sang Dewi menjelma dan yang kita jumpai tadi adalah penjelmaan beliau?"

   Suhengnya menghela napas panjang dan menggeleng kepala.

   "Omitohud... semoga Thian melindungi kita semua. Kita semua sudah tahu betapa mulia dan bijaksananya Sang Dewi pelindung rakyat dan kota Ceng-tao. Akan tetapi, permintaan tadi sungguh berlawanan sekali. Lima puluh tail emas? Masakan-masakan lezat dan diantar oleh dua orang pemuda tampan! Sungguh berlawanan sekali dengan kemuliaan dan kebijaksanaan. Pinceng merasa curiga, sumoi.!

   "Akan tetapi... kesaktiannya itu... dan... dan patung itu..."

   Suhengnya mengangguk-angguk.

   "Engkau tentu tahu betapa banyaknya orang berilmu tinggi di dunia ini. Juga golongan sesat banyak mempunyai orang-orang yang sakti. Siapa tahu ada yang menyamar sebagai Sang Dewi. Pinceng tetap merasa curiga sekali dan tidak sepatutnya kalau kita mentaati perintah yang begitu keterlaluan dan yang berbau nafsu keserakahan."

   "Habis, bagaimana baiknya menurut pendapatmu, suheng?"

   "Kita harus bersiap siaga. Besok kita rundingkan hal ini dengan kepala daerah dan para komandan pasukan keamanan di kota ini, untuk bersama-sama menghadapi tantangan ini."

   Pada keesokan harinya, suheng dan sumoi itupun pergilah ke kantor kepala daerah dan melaporkan apa yang telah mereka alami semalam. Kepala daerah mengerutkan alisnya. Bagaimanapun juga, dialah yang bertanggung jawab kalau kotanya diganggu penjahat.

   Maka diapun cepat memanggil para pemimpin pasukan penjaga keamanan dan mereka lalu mengadakan perundingan dan mengatur siasat untuk menghadapi penjahat yang menyamar sebagai Dewi Laut itu. Atas usul Thian Kong Hwesio, dua orang pemuda dipilih untuk menjadi pengantar barang-barang permintaan Dewi Laut. Tentu saja bukan pemuda biasa, melainkan dua orang murid Thian Kong Hwesio sendiri yang selain muda dan tampan, juga gagah dan memiliki kepandaian silat yang sudah cukup tinggi. Kamar di menara itu adalah sebuah kamar atau tempat Hai Cu Nikouw biasa berlatih samadhi, sebuah ruangan yang berukuran tiga meter kali tiga meter. Satu-satunya jalan menuju ke ruangan itu hanya melalui sebuah anak tangga yang sempit dan yang hanya dapat dilalui oleh seorang saja. Suheng dan sumoi itu bersama kepala daerah dan para perwira lalu memasang perangkap dan mengatur baris pendam.

   Pasukan pilihan bersembunyi di kanan kiri anak tangga, dan sekitar menara itu telah bersembunyi pula pasukan lain, sedangkan Thian Kong Hwesio dan Hai Cu Nikouw sendiri bersembunyi di atas genteng menara, siap untuk menyerbu kalau penjahat itu memasuki kamar menara. Dua orang pemuda murid Thian Kong Hwesio yang membawa barang yang dipesan penjahat yang menyamar Dewi Laut, diam-diam juga memperlengkapi dirinya dengan senjata yang disembunyikan di bawah baju longgar. Malam itu, bulan lebih terang dari pada malam kemarin. Langit cerah, akan tetapi tidak demikian cerah rasa hati dua orang suheng dan sumoi yang bersembunyi di atas genteng. Jantung mereka berdebar tegang. Biarpun mereka tahu bahwa tempat itu telah dikurung oleh pasukan yang dipimpin oleh para perwira yang pandai,

   
Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Bahkan di dalam menara telah terdapat pasukan pilihan yang bersembunyi, namun mereka tahu bahwa mereka menghadapi seorang yang amat lihai. Di samping itu, timbul kekhawatiran di hati Hai Cu Nikouw, yaitu kalau-kalau yang akan muncul adalah benar-benar penjelmaan Dewi Laut. Ngeri ia memikirkan kemungkinan ini, biarpun suhengnya sudah menyatakan keyakinannya bahwa tentu wanita itu seorang penjahat yang mengaku-aku sebagai Dewi Laut. Setelah malam agak larut dan bulan naik tinggi, suasana amat sunyi dan semakin menyeramkan. Suara burung malam yang terbang di atas kepala mereka sempat mengejutkan hati dua orang pendeta yang berilmu tinggi itu. Dalam keadaan tegang, memang orang menjadi mudah kaget. Dua orang pemuda murid Thian Kong Hwesio nampak naik ke menara melalui anak tangga.

   Mereka adalah dua orang pemuda berusia dua puluh tahun, berwajah tampan dan bersikap gagah, berpakaian indah. Dengan langkah tegap mereka menaiki anak tangga. Seorang di antara mereka membawa baki penuh dengan hidangan yang masih mengepulkan uap panas. Yang seorang lagi membawa baki tertutup kain merah dan di baki itu terdapat gumpalan-gumpalan emas seberat lima puluh tail emas. Mereka telah mempersiapkan diri dengan senjata rahasia dan pedang pendek yang mereka sembunyikan di bawah jubah. Mereka tahu pula bahwa guru dan bibi guru mereka berjaga di atas genteng menara, dan bahwa di situ banyak terdapat penjaga-penjaga yang bersembunyi untuk melindungi mereka. Namun tetap saja mereka merasa tegang dan agak gentar karena guru mereka sudah berpesan bahwa yang mereka hadapi adalah wanita iblis yang amat lihai.

   Jantung mereka berdebar tegang ketika keduanya tiba di depan kamar menara. Dengan hati-hati mereka menggunakan kaki mendorong daun pintu yang terbuka dengan mudah karena memang tidak terkunci. Ruangan itu kosong. Sebuah ruangan bersih berbau harum dupa dan bunga, dan lantainya ditilami permadani dan kasur tipis. Mereka berdua saling pandang dengan hati lega karena ternyata iblis itu tidak berada di situ. Dengan hati-hati mereka membuka sepatu dan memasuki ruangan itu, meletakkan baki masakan dan emas itu di atas lantai. Karena lilin yang bernyala di sudut ruangan itu hampir padam, seorang di antara mereka lalu menyalakan sebuah lilin besar di sudut dan kamar itu menjadi terang. Agaknya sinar terang kamar itu menjadi tanda bagi sesosok bayangan untuk bergerak datang.

   Demikian cepatnya bayangan itu bergerak sehingga Thian Kong Hwesio dan Hai Cu Nikouw yang berjaga di atas genteng, hanya melihat berkelebatnya bayangan yang kemudian lenyap. Mereka mengira bahwa itu hanya bayangan burung yang lewat, maka mereka tetap mendekam di tempat persembunyian mereka sambil menanti dengan waspada. Akan tetapi, ternyata bayangan yang berkelebat cepat tadi bukan burung, melainkan bayangan sesosok tubuh manusia yang ramping pinggangnya. Bayangan itu melesat dengan cepatnya dan bersembunyi di balik wuwungan menara. Sinar lilin besar yang menyorot keluar dari genteng menara menimpa mukanya. Muka yang mengerikan karena memakai topeng hitam yang mempunyai lubang-lubang kecil memperlihatkan sepasang mata yang bersinar tajam, hidung yang kecil dan mulut yang bibirnya lebar dan amat merah.

   Sukar menaksir bagaimana bentuk wajahnya ataupun berapa usianya. Agaknya ia tidak tahu atau pura-pura tidak tahu bahwa di sekitar tempat itu bersembunyi banyak penjaga yang kini mengikuti gerak-geriknya dengan pandang mata yang tegang. Dengan seenaknya bayangan itu lalu meloncat turun dan menghampiri anak tangga. Akan tetapi baru saja ia menaruh kakinya pada anak tangga pertama, tiba-tiba enam orang penjaga yang bersembunyi di sekitar anak tangga bermunculan dan menyerbunya dengan senjata mereka. Melihat senjata berkilatan dari segenap penjuru, wanita berkedok itu mengeluarkan suara mendengus dari hidungnya, kelihatan tidak terkejut sama sekali dan bibir yang merah lebar di balik kedok itu menyeringai, memperlihatkan gigi yang putih dan besar-besar.

   Tiba-tiba kedua tangannya bergerak, benda-benda kecil berkeredepan menyambar ke arah enam orang penyerangnya dan terdengarlah suara mereka menjerit dan seorang demi seorang roboh terpelanting dan tidak dapat bangkit kembali melainkan berkelojotan dan sekarat! Leher mereka, tepat di tenggorokan, tertancap oleh sebatang jarum yang amblas masuk, membawa racun bersamanya. Jeritan-jeritan ini tentu saja menarik perhatian dan nampaklah bayangan banyak orang berlari-larian, dan dari atas menyambar tubuh Hai Cu Nikouw. Melihat betapa seorang wanita berkedok berdiri di bawah anak tangga dan enam orang penjaga yang bertugas menjaga di situ semua telah roboh berkelojotan, Hai Cu Nikouw dan suhengnya terkejut bukan main. Bagaimana wanita ini dapat masuk ke situ tanpa mereka ketahui?

   "Iblis jahat, terimalah hukumanmu!"

   Bentak Hai Cu Nikouw sambil menerjang ke depan, menggunakan sepasang pedangnya yang jarang sekali keluar dari sarungnya itu. Dua sinar putih berkelebat menyilang dan titik pertemuan silang adalah leher wanita berkedok itu. Hebat bukan main serangan nenek pendeta ini.

   "Cringgg..."

   Sepasang pedang itu saling serempet sendiri akan tetapi leher yang menjadi sasaran sudah tidak ada di tempat. Kiranya wanita berkedok itu dengan gerakan yang lebih cepat lagi sudah dapat mengelak dan meloncat ke belakang sambil tersenyum di balik kedoknya.

   "Hemm, kalian mengkhianatiku! Berarti kalian mencari mampus dan kuil ini akan kubakar habis!"

   Thian Kong Hwesio sudah menerjang pula, menggunakan tongkat bajanya. Wanita berkedok itupun dapat mengelak dari sambaran tongkat yang mengarah kepala, dan tiba-tiba ia menggerakkan kedua tangannya seperti yang tadi dilakukan untuk merobohkan enam orang penjaga.

   "Wuuuttt..."

   Tiga batang jarum beracun menyambar ke arah tubuh Thian Kong Hwesio dan tiga lagi ke arah Hai Cu Nikouw. Akan tetapi, dua orang pendeta ini tidaklah selemah para penjaga tadi. Mereka berdua sudah dapat menduga akan kelihaian dan kecurangan lawan, maka begitu wanita itu menggerakkan kedua tangan dan melihat berkelebatnya benda kecil, mereka cepat meloncat ke samping dan terhindar dari maut. Dengan marah mereka berdua lalu menyerang wanita iblis itu dari kanan kiri.

   "Singgg..."

   Wanita itu menggerakkan tangan kanan ke bawah jubahnya dan nampaklah sebatang pedang berkilauan di tangannya.

   Begitu ia menggerakkan pedang menangkis, serangan kedua orang pendeta itu dapat ditangkisnya dan mereka berdua melangkah mundur dengan kaget ketika tangkisan itu menimbulkan suara nyaring dan mereka merasa betapa lengan mereka kesemutan. Cepat mereka memeriksa senjata masing-masing dan merasa lega bahwa senjata mereka yang juga merupakan senjata pilihan tidak sampai rusak oleh tangkisan pedang wanita iblis itu. Kembali mereka menerjang dan sekali ini wanita berkedok bukan hanya mengelak dan menangkis, melainkan juga membalas dengan serangan yang gerakannya amat ganas, cepat dan kuat. Dalam belasan jurus saja suheng dan sumoi itu terdesak hebat oleh pedang si wanita iblis yang gaya permainannya aneh dan ganas itu.

   Akan tetapi, kakak beradik seperguruan itu segera merasa lega ketika bermunculan perwira-perwira dengan pasukannya yang mengurung dan mengeroyok si wanita iblis. Wanita berkedok itu kini terdesak dan iapun memaki-maki dengan kata-kata kotor. Hal ini makin meyakinkan hati Thian Kong Hwesio dan sumoinya bahwa tidak mungkin kalau wanita berkedok ini penjelmaan Dewi Laut yang berbudi mulia itu. Merekapun menyerang dan mendesak dengan sengit. Karena kini dikeroyok banyak orang, wanita berkedok yang mulai terdesak itu meninggalkan bawah anak tangga dan menuju ke ruangan tak jauh dari situ, sebuah ruangan yang luas di mana ia dapat memainkan pedangnya dengan leluasa. Wanita itu memang lihai sekali, terutama memiliki kecepatan yang luar biasa.

   Kalau bukan dikeroyok sampai delapan orang, rata-rata memiliki ilmu silat yang lumayan karena mereka yang membantu dua orang pendeta itu adalah para perwira, belum tentu dua orang itu mampu mendesaknya. Ia sudah berusaha untuk menyebar jarum-jarumnya akan tetapi enam orang perwira itu terlalu tangguh untuk dapat dirobohkan dengan senjata rahasia. Dan baiknya para perajurit penjaga yang mengepung tempat itu sudah gentar menghadapinya setelah empat orang yang ikut ikutan maju roboh dan tewas oleh pedangnya. Mereka hanya mengepung tempat itu dengan senjata di tangan, akan tetapi tidak berani sembarangan maju, bahkan dilarang oleh para perwira. Kini wanita berkedok itu mulai merasa repot dan mencari-cari jalan keluar yang sudah tertutup dan terkepung oleh pasukan. Selagi ia kerepotan, tiba-tiba terdengar suara ketawa yang parau, disusul suara ejekan yang kasar.

   "Ha-ha-ha, sekarang nenek cabul seperti tikus tersudut!"

   Terjadi kekacauan di dekat pintu dan enam orang anggauta pasukan roboh mandi darah disusul munculnya seorang kakek yang usianya sudah ada hampir enam puluh tahun.

   Kakek ini bertubuh tinggi besar, pakaiannya juga terbuat dari kain kasar dan sederhana, sepatunya butut dan mukanya membayangkan kekasaran. Matanya lebar bundar, hidungnya besar, mulutnya hampir tidak kelihatan tertutup kumis dan jenggot. Kakek ini membawa sebatang pecut panjang, akan tetapi ketika dia membobolkan kepungan pasukan dari belakang, dia merobohkan enam orang perajurit itu dengan cengkeraman-cengkeraman tangan kirinya yang seperti tangan baja itu. Sekali cengkeram, pecahlah kepala orang-orang itu dan merekapun roboh berlumuran darah dalam keadaan yang amat mengerikan! Biarpun kakek itu datang sambil memaki si wanita iblis, namun melihat betapa dia membunuh enam orang perajurit, para perwira menjadi marah dan maklum bahwa kakek inipun bukan orang baik-baik dan bukan kawan.

   Maka merekapun menyambutnya dengan serangan senjata mereka. Terdengar bunyi ledakan-ledakan keras ketika kakek itu menggerakkan cambuknya dan robohlah seorang di antara enam orang perwira itu. Dahinya, antara kedua mata, berlubang mengeluarkan darah dan diapun tewas seketika. Kiranya di ujung cambuk kakek itu dipasangi sebuah benda dari baja seperti paku dan benda inilah yang tadi menyambar dan melubangi dahi itu. Tentu saja keadaan menjadi geger dan kini perkelahian terjadi semakin sengit di mana nenek berkedok dan kakek bercambuk itu mengamuk dan membabati musuh seenaknya. Karena ditinggalkan oleh enam orang perwira yang kini tinggal lima orang yang mengeroyok kakek itu, Thian Kong Hwesio dan Hai Cu Nikouw kini terpaksa menghadapi nenek iblis itu berdua saja dan mereka segera terdesak hebat.

   "Kakek hina dina, aku tidak butuh bantuanmu!"

   Berkali-kali nenek iblis itu berteriak memaki-maki kakek itu.

   "Nenek cabul tak tahu budi, tutup saja mulutmu dan mari kita bereskan mereka ini!"

   Kakek itu menjawab, dengan suara kasar pula. Karena saling memaki ini, agaknya timbul kemarahan di dalam hati mereka dan keduanya mengamuk semakin hebat.

   Dalam waktu yang tidak terlalu lama, akhirnya lima orang perwira itupun roboh dan tewas di tangan kakek itu, sedangkan Thian Kong Hwesio dan Hai Cu Nikouwpun terdesak, bahkan telah menderita luka-luka yang cukup parah oleh sambaran pedang wanita iblis! Pasukan yang mengepung melihat atasan mereka roboh semua, berusaha untuk mengeroyok, akan tetapi mereka yang berani maju lebih dulu seperti mengantarkan nyawa saja. Yang lain-lain menjadi gentar dan ketika Thian Kong Hwesio dan sumoinya terpaksa meloncat ke atas genteng dan menyelamatkan diri, sisa pasukan itupun lari cerai berai! Kini tinggal nenek iblis itu dan si kakek lihai yang berdiri saling berhadapan dan dengan senjata di tangan, wajah mereka masih beringas. Belasan mayat bergelimpangan di sekitar mereka dan bau amis darah memenuhi udara tempat itu.

   "Koai-pian Hek-mo, siapa suruh engkau membantu? Kita adalah saingan dan musuh, aku tidak membutuhkan bantuanmu!"

   Nenek iblis itu membentak. Kakek yang berjuluk Koai-pian Hek-mo itu mengusap mukanya yang kasar dan hitam dengan tangan kiri, mengusap peluhnya.

   "Hwa-hwa Kuibo, dalam keadaan kita ditentang oleh golongan putih, engkau masih congkak begini terhadap orang segolongan? Apakah otakmu sudah mulai miring?"

   "Tua bangka hina, mampuslah!"

   Nenek berkedok itupun cepat menyerang dengan pedangnya, mengirim tusukan yang amat cepat ke arah dada lawan.

   "Cring, tranggg..."

   Cambuk itu bergerak dan gagangnya menangkis pedang. Pedang dan cambuk bertemu dengan amat kerasnya dan keduanya melangkah mundur tiga kali.

   "Kuibo, musuh-musuh yang kuat sudah mulai berkumpul. Kita harus bersatu untuk menghadapi mereka. Biarlah saat ini kita berdamai dulu, kalau perlu lain kali kita lanjutkan. Mari kita bekerja sama. Bukankah ada dua orang pemuda di menara itu? Kita bagi saja seorang satu. Engkau sendiri tidak boleh terlalu menghamburkan tenaga, dan dua orang pemuda sekaligus akan menghabiskan tenagamu, padahal kita memerlukannya dalam hari-hari mendatang ini. Bagaimana? Apa kau ingin kita terus berkelahi dan membiarkan musuh-musuh kita mentertawakan kita?"

   Nenek itu nampak bimbang dan akhirnya ia mendengus.

   "Huh, enak saja, aku yang susah payah engkau hanya ingin menggerogoti hasilnya!"

   Akan tetapi sambil berkata demikian, ia menyimpan pedangnya, membalikkan tubuh dan berjalan menuju ke tangga menara. Kakek itu tertawa bergelak.

   "Ha-ha-ha, akupun sudah ikut bersusah payah tadi, sudah sepatutnya kalau aku mendapatkan bagiannya pula."

   Dan diapun melangkah lebar menyusul nenek iblis itu menaiki anak tangga. Dapat dibayangkan betapa gentar dan tegang rasa hati dua orang muda yang berada di dalam kamar menara itu. Dari atas mereka menyaksikan perkelahian yang amat hebat itu dan melihat betapa lihainya nenek dan kakek iblis. Bahkan mereka melihat pula betapa guru mereka, Thian Kong Hwesio, terluka dan melarikan diri. Kalau guru mereka sendiri, dibantu oleh bibi guru mereka, tidak mampu mengalahkan nenek iblis itu, apalagi mereka! Dan kini nenek itu malah disertai oleh kakek yang demikian lihainya.

   Biarpun demikian, sebagai pemuda-pemuda yang sejak kecil digembleng kegagahan oleh guru mereka, dua orang muda itu menanti datangnya kakek dan nenek iblis dengan pedang di tangan kanan dan senjata rahasia piauw (pisau terbang) di tangan kiri. Begitu Hwa-hwa Kuibo dan Koai-pian Hek-mo muncul dan baru saja mereka melangkahkan kaki melewati ambang pintu, dua orang muda itu menyerang dengan sambitan piauw mereka! Akan tetapi, sedikitpun kedua orang iblis itu tidak memperlihatkan rasa kaget. Hanya dengan gerakan tangan kiri sedikit saja keduanya telah mampu menyampok runtuh dua batang piauw itu yang meluncur ke bawah dan menancap ke atas lantai kamar menara yang berbuat dari papan tebal. Kini dua orang muda itu menyerang dengan pedang mereka secara nekat.

   "Ha-ha-ha, kekasih-kekasih kita menyambut dengan hangat!"

   Koai-pian Hek-mo tertawa dan diapun menyambut pedang lawan dengan tangan kosong! Dalam beberapa gebrakan saja, pedang itu dapat dirampas dan sekali tangan kakek itu menotok, pemuda yang menyerangnya roboh lemas dan segera disambar dalam rangkulannya. Pemuda kedua menyerang Hwa-hwa Kuibo juga mengalami nasib yang sama. Pedangnya terpukul jatuh dan diapun ditotok lalu dirangkul dan dipondong. Sambil tertawa-tawa, Koai-pian Hek-mo sudah memondong pemuda tawanannya menuju ke dalam kamar menara, membawanya ke sebuah sudut kamar. Hwa-hwa Kuibo juga membawa korbannya ke sudut yang lain, kemudian dari tempat itu ia meniup ke arah lilin besar yang seketika menjadi padam.

   

Pendekar Lembah Naga Eps 55 Pendekar Sadis Eps 39 Harta Karun Jenghis Khan Eps 1

Cari Blog Ini