Siluman Gua Tengkorak 4
Siluman Gua Tengkorak Karya Kho Ping Hoo Bagian 4
"Pertanyaan itu sebenarnya harus dikembalikan kepadamu taihiap. Seingat kami, kami tidak pernah bersimpang jalan dengan Pendekar Sadis, akan tetapi taihiap telah mendatangi tempat kami dan melakukan penyelidikan. Dari pengamatan kami, kami hanya baru menduga saja bahwa taihiap adalah Pendekar Sadis, oleh karena itu karena taihiap telah memasuki daerah terlarang kami, terpaksa teman-teman kami telah menangkapmu. Setelah berada di sini dan kami yakin siapa adanya diri taihiap, tentu saja kami tidak berani mengambil sikap sebagai musuh. Nah, harap taihiap suka jelaskan, mengapa taihiap memasuki daerah kami? Mengapa taihiap mencampuri urusan kami?"
Thian Sin mengangguk-angguk.
"Sebelum saya memberi penjelasan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, lebih dulu saya ingin mengetahui, dengan siapakah sebenarnya saya bicara?"
"Perlukah hal itu taihiap tanyakan lagi? Kalau taihiap sudah datang menyelidiki tempat kami kiranya taihiap sudah dapat menduga siapa adanya saya."
"Saya mendengar tentang nama Siluman Guha Tengkorak, akan tetapi juga mendengar anak buah Siluman Tengkorak menyebut Sian-su."
"Siancai... siancai...! Apa yang taihiap dengar itu sudah cukup, dan terserah kepada taihiap."
"Baiklah, sayapun akan menyebut Sian-su kepadamu. Terus terang saja, selama ini belum pernah saya mendengar tentang Siluman Guha Tengkorak dan hanya secara kebetulan saya melihat seorang bernama Kwee Siu tewas oleh seorang yang memakai pakaian dan topeng sebagai anggauta Siluman Guha Tengkorak. Saya belum pernah bertindak tanpa sebab. Saya mendengar dari mendiang Kwee Siu bahwa Siluman Guha Tengkorak telah membunuh Tujuh Pendekar Tai-goan. Karena itulah saya datang ke sini hendak bertemu dengan Siluman Guha Tengkorak dan bertanya mengapa tujuh orang pendekar itu dibunuh tanpa dosa?"
"Ha-ha, sungguh pertanyaan ini terdengar lucu kalau keluar dari mulut Pendekar Sadis! Taihiap sendiri dinamakan Pendekar Sadis karena tindakan taihiap terhadap musuh-musuh taihiap jadi semua tindakan tentu ada sebabnya, bukan? Nah, demikian pula dengan tujuh orang itu. Mereka telah berani menentang kami, maka anehkah kalau mereka itu roboh dan tewas di tangan kami? Kami hanya membela diri, dan dalam perkelahian, wajarlah kalau kematian bagi yang kalah."
"Memang, sebab melahirkan akibat dan akibat menjadi sebab lagi. Kalau Tujuh Pendekar Taigoan menentang dan melawan Sian-su dan para anggautanya, hal itu tentu ada sebabnya pula."
"Dan sebabnya itu apa, taihiap?"
"Ada seorang ibu muda keluarga Cia yang diculik orang dan suaminya, seorang di antara Tujuh Pendekar Tai-goan, dibunuh. Apakah itu bukan merupakan suatu sebab yang cukup berat?"
"Siancai... siancai! Cu-wi yang hadir tentu sudah mendengar fitnah-fitnah itu. Ceng-taihiap rupanya juga terkena pengaruh fitnah keji yang dilontarkan kepada kami. Taihiap, lihatlah orang-orang terhormat yang hadir di sini! Kalau memang kami demikian jahatnya, apakah mereka itu akan sudi hadir di sini dan menjadi pengikut dan saudara sekepercayaan kami? Ketahuilah bahwa kami mengajak semua orang untuk menikmati hidup dan menjadi anggauta agama baru kami. Dan tentang ibu muda keluarga Cia itu... ah, sebaiknya taihiap menyaksikan sendiri. Kebetulan sekali kami sedang mengadakan pesta dan upacara pengangkatan seorang anggauta wanita baru. Lebih baik taihiap menyaksikan sendiri dari pada mendengar fitnah dari mulut lain orang."
Thian Sin tidak dapat membantah lagi. Siluman itu lalu mempersilahkan dengan suara lantang agar semua orang suka mengikutinya ke apa yang dinamakannya sebagai "Panggung Puncak Bahagia"
Dan semua orangpun berdiri dengan wajah gembira.
"Saatnya telah hampir tiba, mari kita bersiap-siap menyambut turunnya Dewi Cinta dan mempersiapkan upacaranya."
Demikian dia berkata dan menghampiri Thian Sin yang masih duduk.
"Ceng-taihiap, engkau menjadi tamu kehormatan, silahkan mengikuti kami ke tempat upacara."
Thian Sin hanya mengangguk, lalu bangkit berdiri dan berjalan mengikuti siluman itu yang diiringkan pula oleh semua yang hadir. Para anggauta siluman menjaga di kanan kiri dan ada pula yang berada di depan dan belakang. Mereka itu rata-rata memiliki kepandaian tinggi dan gerakan kaki mereka hampir tidak menimbulkan suara.
Semua orang kini mendaki anak tangga menuju ke atas yang bertilam permadani merah dan diam-diam Thian Sin memperhatikan kanan kiri. Dindingnya masih terbuat dari pada batu, akan tetapi kini dihias dengan kain-kain sutera, bahkan ada lukisan-lukisan kuno yang indah. Anak tangga itu memutar beberapa kali, seperti anak tangga yang menuju ke menara sebuah istana kuno. Akan tetapi setelah tiba di bagian teratas, Thian Sin terbelalak penuh kagum. Kalau tadi di kanan kiri anak tangga itu dihias dan diterangi dengan lampu-lampu beraneka warna, kini langit-langit terbuka dan yang menghias langit-langit adalah bintang-bintang yang sinarnya suram karena kalah oleh sinar bulan yang sudah naik tinggi! Bulan sepotong, akan tetapi karena langit bersih, maka cuaca cukup terang.
Kiranya tempat upacara itu berada di atas puncak bukit yang dikelilingi puncak-puncak lain sehingga tidak akan nampak dari jauh, dan puncak itu merupakan tempat datar yang cukup luas, yang dikurung jurang-jurang amat dalamnya sehingga orang tidak akan mungkin menuruni atau naik puncak lewat jurang-jurang itu, kecuali lewat jalan rahasia terowongan! Luas puncak bukit datar itu tidak kurang dari dua puluh lima kaki tombak persegi, kurang lebih seribu lima ratus meter persegi dan karena terbuka, maka sinar bulan bintang atau matahari dari angkasa dapat menerangi seluruh tempat itu tanpa terhalang sesuatu. Tempat itu dihiasi pohon, akan tetapi di sekitar tepinya terdapat tanaman bunga-bunga indah, kemudian rumput-rumput hijau seperti permadani, dan di bagian tengahnya diberi rantai tembok yang halus mengkilap.
Kursi-kursi berjajar di sebelah kiri dan ke tempat inilah Siluman Tengkorak membawa para tamu. Semua orang dipersilahkan duduk dan Thian Sin sendiri memperoleh tempat duduk kehormatan di sebelah kiri sang ketua atau mungkin juga sang pendeta karena sebutannya Sian-su. Thian Sin memperhatikan sekeliling. Sungguh merupakan tempat yang tersembunyi dan indah sekali. Tidak nampak dari dunia luar, terlindung dan tersembunyi. Di dekat tempat duduk sang pemimpin terdapat sebuah meja sembahyang. Di samping kiri terdapat sekelompok pemain musik yang pada saat itu memainkan alat musik mereka dengan lembut sehingga membuat suasana menjadi romantis dan syahdu. Di depan mereka terdapat lantai tembok yang halus itu dan di sana-sini, bahkan sampai ke lapangan-lapangan rumput,
Terdapat kasur-kasur kecil yang beraneka warna dengan selubung bersulam. Di tempat-tempat yang dipasang secara nyeni terdapat lampu-lampu dengan penutup warna-warni dan di sana-sini mengepul asap dupa wangi yang mendatangkan rasa nyaman dan menyenangkan. Di sebelah kanan, di tepi tempat itu, terdapat bangunan-bangunan kecil yang agaknya belum selesai dibangun, dan Thian Sin dapat menduga bahwa bangunan-bangunan kecil itu merupakan bangunan yang diperuntukkan para "dewa"
Seperti biasa dipergunakan untuk tempat arca atau patung yang dipuja orang dalam kuil-kuil. Akan tetapi yang hebat bukan main adalah kenyataan bahwa pondok-pondok itu kecil seperti pondok boneka itu terbuat dari pada emas terukir indah. Sukar dibayangkan betapa mahalnya membuat pondok-pondok pemujaan dewa-dewa seperti itu.
Tiba-tiba suara musik yang tadinya lembut itu mulai berobah. Sang pemimpin mengangkat tangan kiri ke atas dan suara musik itu berobah menjadi makin keras dan penuh semangat. Dan bersama dengan perobahan suara musik ini, dari sebuah anak tangga kiri, agaknya menembus ke tempat yang lain lagi dari pada ruangan di mana Thian Sin diterima oleh siluman tadi, berlari-larian naik belasan orang wanita. Mereka, itu semua terdiri dari wanita-wanita yang muda dan cantik-cantik dan mereka memakai gaun panjang tipis yang membuat tubuh mereka nampak terbayang. Gaun dari kain sutera putih yang tembus pandang itu tertimpa sinar bulan dan lampu-lampu, menciptakan lekuk lengkung tubuh ditimpa bayangan-bayangan yang mengairahkan. Karena mereka adalah wanita-wanita muda, tentu saja tubuh mereka itu padat dan indah.
Kaki mereka yang tidak bersepatu itu berlari-larian dan membuat gerakan berjungkit dalam langkahlangkah tarian. Rambut mereka yang hitam panjang terurai lepas ke belakang punggung dan kedua pundak, dihias bunga-bunga putih. Kedua tangan mereka menyangga baki-baki yang agaknya terbuat dari pada emas pula! Dengan gerakan lemah gemulai dan menggairahkan, lima belas orang penari wanita ini menari dan membuat gerakan berlarian kecil berputaran secara teratur menurut irama musik dan sambil menari mereka itu menggerak-gerakkan tubuh mereka dengan cara-cara yang menimbulkan pesona dan gairah, gerakan pinggul yang memikat dan penuh nafsu, makin lama makin liar ketika musik itu makin nyaring dibunyikan para penabuhnya. Sejenak Thian Sin sendiri tertarik dan terpesona. Memang indah sekali. Suasananya demikian romantis,
Sinar bulan dan cahaya lampu-lampu beraneka warna itu, di udara terbuka yang demikian sejuk, dengan harumnya kembang-kembang beercampur wanginya dupa. Dan gadisgadis itu menjadi semakin cantik menarik karena tertimpa cahaya warna-warni yang redup, dan lekuk lengkung tubuh gempal di balik pakaian yang tembus pandang, suara musik yang merangsang! Akan tetapi pemuda ini segera dapat menguasai perasaannya dan diam-diam diapun mengerling ke arah para tamu. Dia tidak merasa heran melihat betapa para tamu pria itu semakin terangsang, pandang mata mereka itu berseri-seri penuh nafsu berahi, wajah mereka itu kemerahan, hidung kembang-kempis dan mulut tersenyum-senyum penuh gairah. Dari samping, nampak betapa sering kalamenjing mereka naik turun ketika mereka menelan ludah. Bahkan ada pula yang memandang dengan mata melotot,
Seolah-olah hendak menelan bulat-bulat dengan pandang matanya tubuh yang menggairahkan itu. Ada pula yang berpakaian sebagai ahli silat, nampak tenang saja, akan tetapi tangannya mengepal keras, tanda bahwa diapun terpesona dan berusaha untuk menekan perasaannya. Semua ini nampak oleh Thian Sin dan dia menemukan sebab yang merupakan daya tarik bagi mereka itu, ialah pemuasan berahi dan rangsangan yang agaknya disengaja disajikan kepada mereka oleh wanita-wanita cantik itu. Dan ketika dia mengerling ke arah siluman yang dipanggil Sian-su itu, dia melihat orang bertopeng inipun seperti dia, sedikit juga tidak memperhatikan lagi kepada para penari, melainkan memandang ke kanan kiri, memperhatikan wajah para tamu dengan senyum puas membayang pada topeng tengkoraknya.
Setelah menari-nari beberapa kali putaran dan setiap berputar di dekat tempat duduk para tamu tercium bau harum winyak wangi dari tubuh mereka, Sian-su mengangkat tangan kirinya lagi dan inipun merupakan isyarat karena suara musik tiba-tiba menurun. Para wanita yang menari itupun memperhalus tarian mereka dan akhirnya mereka berkumpul menjadi suatu kelompok dan bersama-sama menjatuhkan diri berlutut di hadapan Sian-su! Siluman ini mengangguk-angguk dan tangannya bergerak seperti menebarkan sesuatu di udara dan... kelopak-kelopak bunga beterbangan dan melayang turun ke atas kepala lima belas orang penari yang ditundukkan dalam penghormatan mereka itu. Kelopak-kelopak bunga itu hinggap di atas rambut-rambut hitam itu, indah seperti kupu-kupu yang hinggap di atas bunga-bunga mekar.
Thian Sin mengerutkan alisnya dan diam-diam dia tahu bahwa orang itu sungguh lihai, bukan saja ahli ilmu silat tinggi seperti yang telah diduganya, akan tetapi juga pandai mempergunakan kekuatan aihir untuk bermain sulap! Diapun cepat membuat tanggapan dengan sinar mata penuh kagum dan heran seperti yang diperlihatkan oleh wajah semua orang yang hadir. Kebetulan sekali siluman itu memandang kepadanya dan Thian Sin melihat dengan jelas betapa muka tengkorak itu tersenyum simpul, jelas kelihatan girang dan bangga sekali akan kepandaiannya, terutama sekali karena ilmu sihirnya dikagumi oleh seorang pendekar seperti Pendekar Sadis! Sekarang, lima belas orang penari itu bangkit berdiri, dengan gerakan lemah gemulai dan memikat merekapun berjalan menghampiri para tamu dengan baki di kedua tangan. Si Muka Tengkorak itu berkata sambil tersenyum kepada Thian Sin,
"Maaf, taihiap, bukan kami mata duitan, akan tetapi karena kebutuhan untuk pembangunan perkumpulan agama kami membutuhkan banyak biaya dan para anggauta dan pengikut kami bermurah hati, maka acara sekarang ini adalah acara pemberian sumbangan suka rela yang dipungut oleh para gadis penari. Akan tetapi taihiap sebagai tamu kehormatan tentu saja tidak diharapkan untuk menyumbang..."
"Ah, jangan sungkan, Sian-su. Akupun bersedia menyumbang, jangan khawatir!"
Thian Sin lalu merogoh saku dalam bajunya dan mengeluarkan sebongkah kecil emas dan ketika seorang penari lewat di depannya, dia menaruh bongkahan emas yang sekepal besarnya itu di atas baki. Tentu saja penari itu terkejut bukan main, terbelalak melihat emas yang berat itu dan melempar senyum manis dan kerling mata penuh daya memikat. Semua tamu juga memandang heran dan mereka maklum betapa besarnya harga sumbangan yang diberikan oleh Pendekar Sadis. Akan tetapi, tentu saja mereka tidak tahu bahwa Pendekar Sadis adalah seorang yang kaya raya dan sebongkah emas itu tidak ada artinya sama sekali baginya!
Melihat ini, siluman itu tertawa.
"Siancai... taihiap sungguh dermawan. Terima kasih, taihiap. Abwee, simpan kerlingmu itu, jangan khawatir, engkau boleh melayani Ceng-kongcu malam nanti!"
Gadis penari yang disebut A-bwee itu menahan senyum lalu berlari-lari ke arah tamu lain. Thian Sin memperhatikan ke sekelilingnya dan dia melihat betapa royalnya para tamu itu ketika menyerahkan sumbangan kepada para gadis penari, meletakkan sumbangan mereka di atas baki-baki yang disodorkan oleh para gadis itu. Diantara mereka bahkan ada yang mengajak para gadis itu bersendau-gurau dan berbisik-bisik lirih. Setelah selesai upacara sumbangan itu, para gadis itu lalu mengundurkan diri sambil berlari-larian menuju anak tangga yang letaknya di belakang, yaitu tempat dari mana mereka tadi naik. Musik masih dimainkan dengan lembut, dan tak lama kemudian, nampak para gadis manis itu sudah kembali lagi dan kini baki-baki itu telah berganti isi,
Yaitu cawan-cawan dan guci-guci arak dan ada pula yang membawa piring-piring terisi makanan. Sambil tersenyum-senyum para gadis itu menghidangkan arak dan makanan di atas meja para tamu, kemudian dengan sikap lemah gemulai dan tersenyum--senyum ramah mereka lalu menuangkan arak dari guci ke dalam cawan para tamu. Begitu arak dituangkan ke dalam cawan, tercium bau sedap arak yang baik dan tua. Kini bukan hanya lima belas orang gadis penari tadi yang menjadi pelayan, melainkan ditambah lagi oleh beberapa orang lain yang sama muda dan cantiknya sehingga jumlah mereka ada dua puluh lima orang. Setelah melihat betapa semua tamu menerima suguhan arak dan cawan mereka telah dipenuhi arak harum, Siluman Tengkorak yang juga sudah menerima suguhan secawan arak, lalu mengangkat cawan araknya ke atas dan berkata dengan suara ramah,
"Cu-wi, silahkan minum untuk persahabatan kita yang kekal!"
Semua orang mengangkat cawan arak masing-masing dan Thian Sin juga mengangkat cawan araknya,
Tetapi tidak memperlihatkan sikap curiga walaupun dia menduga bahwa tentu ada apa-apanya di dalam suguhan arak ini. Akan tetapi dia mengandalkan kekuatan sin-kangnya untuk melindungi tubuhnya apabila arak itu dicampuri racun. Pula, dia melihat sendiri bahwa arak untuknya itu dari satu guci dengan arak untuk para tamu lain, maka dia ikut minum tanpa curiga sama sekali. Begitu arak itu melalui mulut dan kerongkongannya, Thian Sin merasa bahwa arak itu memang lezat sekali dan ada sesuatu yang merupakan obat keras namun halus. Dia merasa yakin bahwa itu bukanlah racun, walaupun dia tahu bahwa tentu arak itu dicampuri semacam obat yang cukup keras. Beberapa lama kemudian setelah arak memasuki perutnya, barulah Thian Sin tahu bahwa arak itu mengandung obat perangsang yang membuat tubuhnya hangat dan pikirannya gembira.
Setelah merasa yakin bahwa arak itu tidak mengandung racun, Thian Sin berani minum dengan hati tenang. Dia melihat betapa para tamu itu sudah mulai terpengaruh arak, mereka tertawa-tawa gembira. Hidanganpun dikeluarkan dan musik kini mengiringi gadis-gadis yang datang dan menari-nari. Pakaian mereka merupakan gaun-gaun tipis warna-warni sehingga selain indah, juga amat menggairahkan karena pakaian-pakaian itu tembus pandang gerakan-gerakan mereka yang erotis membuat suasana menjadi semakin panas, ditambah pula pengaruh arak sehingga para tamu itu sudah ada yang mulai nakal dengan kata-kata dan tangan mereka, menggoda dan menowel para pelayan wanita yang muda dan cantik.
Thian Sin melihat bahwa pelayan-pelayan itu agaknya juga sudah terpengaruh oleh sesuatu yang membuat mereka itu bersikap genit-genit dan berani, Padahal sikap mereka itu gadis-gadis dari golongan baik-baik. Makin larut malam, suasana menjadi semakin panas. Thian Sin melihat betapa ada sudah beberapa orang di antara para tamu itu yang berani menarik lengan seorang pelayan dan mendudukkannya di atas pangkuan dan menciuminya begitu saja di depan orang hanyak! Agaknya siluman yang jadi ketua perkumpulan itu dapat melihat pula hal ini, maka diapun memberi isyarat dengan tangan diacungkan ke atas dan seorang di antara para anggota siluman itu lalu membunyikan canang bertalu-talu. Mendengar ini, gadis-gadis pelayan itu melepaskan diri dan mundur, bahkan lalu menghilang bersama-sama para gadis penari. Siluman Tengkorak itu bangkit berdiri dan suaranya terdengar lantang namun lembut dan ramah.
"Cu-wi yang terhormat, setelah diketahui malam hari yang suci ini akan dilakukan upacara pengangkatan seorang anggauta baru. Oleh karena itu, sebelum acara tarian bebas gembira untuk memuja dewa, terlebih dahulu akan dilakukan upacara pengangkatan murid atau anggauta baru itu. Harap cu-wi suka menjadi saksi."
Semua tamu yang sudah makan kenyang itu kini duduk tenang dan Thian Sin sendiripun mengikuti perkembangan selanjutnya dengan penuh perhatian. Dia belum tahu di mana adanya ibu dari dua orang anak itu,
Akan tetapi dia sabar menanti sampai semua upacara selesai, baru dia akan mendesak siluman itu. Dia harus berhati-hati karena tempat ini sungguh amat berbahaya. Jumlah anak buah siluman ini kiranya tidak kurang dari dua puluh lima orang, belum dihitung gadis-gadis itu dan siapa tahu bahwa di antara para tamu itu terdapat orang-orang pandai yang agaknya tentu akan membantu siluman itu pula. Semua ini di tambah lagi dengan kenyataan bahwa dia berada di dalam sarang musuh yang berbahaya sekali dan yang agaknya penuh dengan perangkap-perangkap rahasia sehingga andaikata dia akan mampu menghadapi keroyokan begitu banyaknya orang, belum tentu dia mampu mengatasi semua alat-alat jebakan di tempat itu. Biarlah bersabar sambil mencari kesempatan baik untuk turun tangan sambil mengukur sampai dimana kekuatan pihak lawan.
Siluman Tengkorak itu kemudian mengangkat tangan memberi isyarat dan musikpun dimainkan lagi dengan lagu yang lembut akan tetapi juga mengandung kekerasan di dalamnya, seperti dalam lagu puja-puji. Asap dupapun mengepul makin tinggi, semerbak baunya dan lampu-lampu diganti dengan lampu yang warnanya hijau sehingga cuaca menjadi redup. Kini nampak tujuh orang gadis naik ke tempat itu, bertelanjang kaki dan mengenakah pakaian yang begitu tipisnya sehingga pakaian itu seperti kabut saja yang menutupi tubuh mereka, membuat tubuh di balik pakaian itu nampak membayang. Mereka berjalan perlahan, penuh khidmat, dan mereka membawa bermacam-macam benda.
Ada yang membawa seekor kelinci putih yang gemuk, ada yang membawa sebuah bokor emas, ada yang membawa guci arak dan ada pula yang membawa sebatang pedang kecil. Hebatnya, bokor, guci dan bahkan pedang kecil itu semua terbuat dari pada emas tulen! Tujuh orang gadis ini melangkah perlahan, dengan kepala tunduk, ke arah tempat duduk Siluman Tengkorak, lalu mereka berlutut dengan sikap menanti. Siluman itu lalu bangkit berdiri, melangkah maju dan gadis-gadis itu berlutut di sekelilingnya. Siluman itu lalu mengangkat kedua tangannya ke atas kepala dengan lengan dikembangkan, muka tengkorak itu tengadah lalu terdengar suaranya lantang dan mengandung getaran yang amat kuat sehingga diam-diam Thian Sin terkejut bukan main. Itulah tenaga khi-khang yang kuat bercampur dengan kekuatan mujijat ilmu sihir!
"Yang Mulia Dewa Kematian, silahkan menjelma agar hamba sekalian dapat mengesahkan pengangkatan seorang pemuja baru untuk paduka...!"
Suara itu bergema dan semua hadirin memandang dengan sikap hormat dan juga dengan hati tegang.
Biarpun mereka yang hadir itu sudah beberapa kali menyaksikan peristiwa ini, namun selalu mereka merasakan ketegangan luar biasa karena pada saat itu mereka merasakan getaran aneh yang seolah-olah mengguncang jantung. Bahkan para pendekar yang hadir diam-diam harus mengakui bahwa sin-kang yang mereka kerahkan untuk menekan getaran itu jauh kalah kuat, membuat mereka merasa semakin kagum terhadap Sian-su! Thian Sin bersikap tenang, namun dengan mengerahkan tenaga dalam dan juga kekuatan sihirnya, dia mampu memandang lebih terang dan tahulah dia bahwa dengan kekuatan sihir yang kuat, orang itu telah mempengaruhi semua orang dengan halus tanpa mereka sadar bahwa mereka telah disihir melalui suara itu. Tiba-tiba terdengar suara ledakan keras dan nampak asap putih kebiruan mengepul tebal di tempat Siluman Tengkorak itu berdiri.
Siluman itu lenyap terbungkus asap tebal dan musik masih dimainkan dengan lagu yang aneh tadi. Selagi asap masih mengepul tebal, nampaklah dua puluh orang lebih penari yang tadi, kini sudah berganti pakaian gaun tipis berwarna-warni. Mereka berlari-lari ringan dan menari-nari, membuat lingkaran mengelilingi Sian-su yang masih terbungkus asap di tengah-tengah lingkaran tujuh orang gadis yang masih berlutut. Perlahan-lahan asap itu membuyar dan mulai nampak lagi tubuh orang itu, dan kini semua orang memandang dengan hormat, bahkan ada di antara para hadirin yang menjatuhkan diri berlutut memberi hormat. Thian Sin memandang tajam dan diapun terkejut melihat betapa wajah tengkorak itu kini mengeluarkan cahaya cemerlang! Orangnya masih yang tadi, tidak ada perobahan, yang berobah hanya wajah tengkorak itu yang mengeluarkan cahaya,
Sedangkan sepasang mata itupun kini bersinar-sinar mencorong lebih terang dari pada tadi. Thian Sin maklum bahwa ledakan dan asap tadi hanya merupakan hasil dari pada bahan ledakan saja, dan bahwa orang itu telah mempengaruhi pikiran dan semangat para hadirin dengan getaran suaranya. Akan tetapi, dia sendiri tidak tahu apa yang membuat wajah tengkorak atau topeng tipis itu menjadi cemerlang seperti itu. Dia tahu pula bahwa tentu semua yang hadir percaya bahwa kini Dewa Kematian telah menjelma dan memasuki tubuh Sian-su! Tentu saja kepercayaan seperti ini membuat mereka itu semua tunduk dan kagum. Seorang anggauta siluman mendekati Thian Sin dan dari kepalanya yang miring ke kiri itu Thian Sin dapat menduga bahwa orang ini tentulah tosu yang pertama kali memancingnya masuk ke tempat ini.
"Taihiap, saya bertugas untuk memberi keterangan kepadamu sekiranya taihiap ingin mengetaui sesuatu."
Thia Sin tersenyum dan merasa bahwa pertunjukan ini, selain untuk mempengaruhi para hadirin dan menarik kepercayaan mereka, juga sengaja diperlihatkan kepadanya! Maka diapun mengikuti permainan ini dan bertanya dengan suara dibuat bernada penuh keheranan,
"Aku ingin tahu mengapa wajah Sian-su menjadi bercahaya seperti itu?"
Dengan suara yang serius dan penuh hormat, siluman itu berbisik,
"Taihiap, yang berdiri itu hanyalah tubuh Sian-su, akan tetapi sesungguhnya adalah Dewa Kematian yang memasuki dirinya."
"Ahhh...!"
Thian Sin pura-pura heran dan mengangguk-angguk. Kini dia melihat dua orang anggauta siluman naik dan menghampiri Sian-su.
Siluman Tengkorak ini menggerakkan tangan kiri ke udara dan tahu-tahu dia telah memegang secawan arak! Lalu dipercikkan arak dari cawan itu kepada dua orang anggauta yang sudah belutut, mengenai kepala dan sebagian lehernya. Percikan cawan ini seolah-olah menjadi isyarat bagi mereka berdua dan mereka sudah mencabut sebatang pedang pendek dari pinggang, kemudian mulai menggurat leher dan pipinya dengan pedang itu. Darahpun muncrat dari luka-luka itu, akan tetapi kedua orang ini seperti tidak merasakan sesuatu, lalu menari-nari dengan aneh diiringi suara musik dan ditanggapi oleh para penari yang mengelilingi tempat itu dengan gerakan-gerakan pinggul yang memutar-mutar erotis. Dua orang itu lalu sibuk menuliskan huruf-huruf dengan darah mereka di atas potongan-potongan kain putih. Anggauta siluman yang duduk di dekat Thian Sin menerangkan tanpa diminta,
"Itu adalah hui-hu yang ditulis dengan darah mereka dan menjadi jimat penolak iblis yang akan dibagi-bagikan kepada para tamu. Sekarang akan diadakan upacara injak bara api dan mandi minyak mendidih."
Ternyata persiapannya untuk itu telah dikerjakan dengan amat cepatnya oleh para anggauta siluman dan sebentar saja telah terhampar bara api dari arang yang membara sepanjang tiga meter, dan tak jauh dari situ terdapat kuali besar penuh minyak yang dipanaskan sampai mendidih.
Semua tamu yang duduknya cukup jauh dari tempat itu masih merasakan panasnya bara api itu. Setelah persiapannya selesai dan semua kain putih sudah ditulisi darah, dua orang anggauta perkumpulan siluman itu bangkit, menari-nari, masih menggores-goreskan pisau atau pedang kecil itu pada dada mereka yang telanjang, kemudian mereka menghampiri bara api dan berjalan dengan kaki telanjang di atas arang membara! Dua kali mereka jalan melintasi arang membara itu, kemudian keduanya menghampiri kuali yang penuh minyak mendidih dan mengoles-oleskan minyak mendidih itu pada tubuh mereka. Sungguh luar biasa sekali. Asap mengepul dari tubuh mereka, akan tetapi kulit mereka sama sekali tidak melepuh atau terbakar, bahkan luka-luka goresan yang tadinya berdarah itu menjadi sembuh dan pulih kembali, bahkan bekas goresan luka saja tidak ada lagi!
Tontonan seperti ini bukanlah tontonan baru bagi orang-orang yang hadir, juga bagi Thian Sin, akan tetapi selalu masih amat menarik perhatian dan mendatangkan kengerian, membuat kepercayaan orang akan hal-hal yang aneh dan tidak mereka mengerti menjadi semakin tebal menyelinap ke dalam hati, dan membuat mereka lebih condong menerima ketahyulan dan membiarkan diri terpengaruh. Thian Sin pernah nonton beberapa kali pertunjukan dari para tangsin seperti itu, yang
(Lanjut ke Jilid 04)
Siluman Gua Tengkorak (Seri ke 07 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 04
dilakukan di kuil-kuil sewaktu ada upacara atau pesta. Maka, dia tidak merasa heran walaupun dia tahu bahwa peristiwa itu sama sekali bukan hasil main sulap, melainkan akibat dari penyihiran diri sendiri melalui kepercayaan yang mutlak. Sudah menjadi kelemahan kita manusia pada umumnya untuk merasa tertarik kepada hal-hal yang aneh-aneh,
Peristiwa-peristiwa yang tak masuk akal dan penuh rahasia, keajaiban-keajaiban dan kemujijatan-kemujijatan. Kita selalu merasa haus akan hal-hal yang baru, yang aneh, yang tidak kita mengerti. Kita begitu mendambakan hal-hal baru sehingga kita sudah melupakan hal-hal lain yang terjadi di sekeliling kita, yang kita anggap lapuk dan lama, tidak menarik lagi. Padahal segala macam keajaiban dan kemujijatan terjadi di sekitar kita, bahkan di dalam diri kita sendiri. Tumbuhnya setiap helai rambut di kepala dan bulu di kulit kita merupakan keajaiban dan kemujijatan yang besar, detik jantung kita yang mengatur peredaran darah di seluruh tubuh kita, kembang-kempisnya paru-paru kita yang menghidupkan, bekerjanya seluruh anggauta tubuh kita, panca indera kita, be-kerjanya otak kita yang membuat kita dapat bicara, mendengar, melihat dan berpikir.
Bukankah semua itu merupakan sesuatu yang amat indah, sesuatu yang amat ajaib dan mujijat, di mana sepenuhnya terdapat suatu kekuatan gaib yang sungguh maha kuasa? Kemudian, segala yang nampak di luar diri kita. Gunung-gunung raksasa, tumbuh-tumbuhan dengan aneka warna, bunga, dan aneka rasa buahnya, segala mahluk hidup yang bergerak dengan segala macam bentuk, corak dan sifatnya, lalu awan berarak di angkasa, menciptakan hujan, hawa udara yang menghidupkan, sinar matahari, air, bumi, langit dan segala isi alam ini. Bukankah semua itu merupakan keajaiban yang amat hebat? Namun kita sudah tidak menghargai semua itu lagi, kita sudah buta akan keajaiban itu, kita menggapnya biasa saja sehingga melihat orang menginjak bara api saja kita kagum setengah mati!
Padahal, apa sih anehnya menginjak bara api itu kalau dibandingkan dengan tumbuhnya sehelai rambut kepala atau kuku jari kita? Keajaiban atau sesuatu yang kita anggap aneh adalah karena kita belum mengerti. Karena tidak mengerti, tidak tahu bagaimana proses terjadinya, maka kita lalu menganggapnya aneh, ajaib dan menimbulkan khayal yang bukan-bukan. Akan tetapi, sekali orang sudah mengerti, hal yang tadinya dianggap ajaib itupun menjadi biasa dan terlupakan, tidak menarik lagi, seperti tidak menariknya melihat segala keajaiban yang terjadi sehari-hari di sekeliling kita. Kita memandang selalu jauh ke depan, mencari-cari yang baru. Kita ini mahkluk pembosan. Tertarik akan hal-hal baru memang merupakan suatu sifat yang baik, seperti kanak-kanak yang selalu ingin tahu.
Akan tetapi sifat ini harus merupakan dorongan untuk menyelidiki sesuatu bukan menerima segala sesuatu begitu saja sehingga men-ciptakan watak tahyul. Ketahyulan adalah suatu kebodohan, menerima sesuatu dengan keyakinan padahal kita tidak mengerti, dan hal ini terjadi karena kita suka akan sensasi. Menerima sesuatu dengan kata "percaya"
Maupun dengan kata "tidak percaya"
Adalah perbuatan bodoh dan tidak bijak-sana, karena menerima sesuatu dengan kata seperti itu berarti bahwa kita belum atau tidak mengerti. Sebaiknya kalau kita menghadapi sesuatu yang tidak kita mengerti itu dengan waspada, membuka mata dan telinga, dan menyelami sendiri, menyelidiki sendiri sehingga kita mengerti. Karena kalau kita sudah mengerti, tidak ada lagi istilah percaya atau tidak percaya.
"Taihiap, sekarang akan dimulai upacara pengangkatan murid wanita yang baru,"
Kata pula anggauta siluman itu kepada Thian Sin ketika pertunjukan itu selesai dan tempat itu sudah dibersihkan kembali. Tiba-tiba musik berbunyi lebih nyaring dan nampaklah seorang wanita berjalan perlahan-lahan menaiki panggung atau puncak datar itu.
Thian Sin memandang dan dia melihat bahwa wanita itu cantik dan biarpun mukanya agak pucat, namun muka itu sungguh mempunyai daya tarik yang kuat. Wajah dan tubuhnya menakjubkan bahwa wanita ini sudah masak, usianya tentu ada dua puluh tujuh tahun, rambutnya yang hitam terurai lepas itu amat tebal dan panjangnya sampai ke pinggul, kedua kakinya yang kecil telanjang dan ia memakai gaun yang sama tipisnya dengan gadis-gadis penari, gaun panjang menutupi kaki dan terseret ke atas lantai, warnanya putih bersih. Dipandang sepintas lalu wanita ini seperti seorang mempelai yang akan dipertemukan. Wanita itu berjalan perlahan, kemudian berhenti di depan Sian-su yang masih berdiri tegak dengan wajah bercahaya, dan wanita itu sejenak memandang wajah itu lalu mengeluh lirih dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Sian-su!
"Itukah anggauta baru?"
Thian Sin bertanya.
"Benar, taihiap, dan ia itulah wanita yang kau sebut-sebut ketika taihiap menghadap Sian-su."
Thian Sin benar-benar terkejut sekali.
"Apa? kau maksudkan ia ibu muda dari kedua orang anak itu? Ibu dari keluarga Cia yang terculik?"
Thian Sin bangkit berdiri.
"Jadi benarkah bahwa kalian telah menculiknya dan membawanya ke sini?"
"Sabar dan tenanglah, taihiap,"
Kata orang itu dan dengan sudut matanya, Thian Sin dapat melihat betapa para anggauta perkumpulan itu agaknya selalu memperhatikannya dan mereka telah siap untuk turun tangan apa bila nampak gejala bahwa dia akan memberontak.
"Jangan menuduh yang bukan-bukan. Nanti setelah diadakan upacara sembahyang, selalu para tamu diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan sendiri kepada calon anggauta atau murid baru."
"Hemm, jadi akupun boleh mengajukan pertanyaan langsung kepada wanita itu?"
"Tentu saja boleh, akan tetapi nanti setelah upacara sembahyang."
Thian Sin menahan dorongan hatinya yang membuatnya penasaran. Jadi benar, wanita itu, ibu dari dua orang bocah she Cia itu, telah berada di sini!
Dan memakai gaun yang begitu tidak sopan sama sekali, gaun tipis tembus pandang tanpa ada sehelai kain penutup tubuh di balik itu! Padahal, suami wanita ini terbunuh, demikian pula enam orang pendekar lain. Ada apakah di balik semua ini? Tentu wanita itu berada dalam pengaruh sihir, pikirnya. Akan tetapi, ada peristiwa seperti itu yang amat keji dan jahat kalau dugaannya memang benar, mengapa para tamu yang terdiri dari orang-orang berpangkat dan para pendekar itu suka menjadi pengikut atau peminat? Apakah mereka itupan tersihir oleh Sian-su itu? Dia harus menyelidikinya dan kalau benar seperti apa yang diduganya itu, dia harus menentang dan membas-minya! Akan tetapi, diapun bukan tidak tahu bahwa pihak lawan ini amat berbahaya dan kuat, maka dia harus bersikap hati-hati sekali.
Kini Sian-su mengulur tangannya ke arah wanita itu yang segera menyambut uluran tangan itu dan wanita itupun bangkit berdiri, kemudian digandeng tangannya oleh Sian-su, berjalan menuju ke tepi dataran itu di mana terdapat pondok kecil untuk pemujaan dewa. Sian-su atau siluman itu lalu menerima sebongkok hio yang sudah dinyalakan dari seorang anggauta perkumpulan yang bertugas di situ. Dia lalu mengacungkan hio ke empat penjuru, dan membagi-bagi hio itu menjadi tujuh. Kini wanita itu lalu bersembahyang di depan tujuh pondok kecil, setiap kali selesai sembahyang sambil berlutut lalu menaruh hio di depan pondok, di tempat abu hio. Setelah selesai, ia dituntun oleh Sian-su dan setelah dilepaskan, wanita itu kembali menjatuhkan diri berlutut di depan Sian-su yang berdiri di depannya.
Tujuh orang gadis yang tadi membawa kelinci dan bermacam barang itu selalu mengikuti mereka dari belakang dan kini mereka bertujuh juga berlutut mengelilingi Sian-su. Orang itu lalu mengangkat kedua tangan ke atas kepala dan mengeluarkan suara aneh, suara melengking dalam seperti bukan suara manusia dan ketika tangan kanannya melambai, tahu-tahu tangan itu telah memegang sebatang bunga yang diberikannya kepada wanita itu. Wanita itu menerima bunga, mencium bunga dengan khidmat, lalu menancapkan bunga itu di rambutnya yang tebal. Kemudian, kembali Sian-su mengangkat kedua tangan ke atas dan mengembangkan kedua lengannya. Terdengar suara ledakan disusul asap seperti tadi. Seperti juga tadi, asap itu menyelulubungi dirinya dan juga wanita itu sehingga tidak nampak, kemudian setelah asap membuyar, Sian-su masih berdiri seperti tadi, hanya kini cahaya pada wajahnya tidak lenyap.
"Sang Dewa Kematian telah kembali ke asalnya,"
Demikianlah si muka tengkorak yang menemani Thian Sin menerangkan hal yang memang telah dapat diduga oleh Thian Sin. Siluman Tengkorak atau Sian-su itu kini meng-hadapi para tamunya dan berkata dengan suara biasa,
"Cu-wi yang mulia, seperti biasa, kalau ada yang ingin tahu, silahkan mengajukan pertanyaan kepada murid baru ini."
Mendapatkan kesempatan ini, Thian Sin tidak dapat menahan kesabaran hatinya lagi. Dia lalu bangkit berdiri dan menghampiri Sian-su yang menyambutnya dengan sikap ramah.
"Ah, Ceng taihiap suka memberi kehormatan kepada murid baru kami untuk mengajukan pertanyaan? Silahkan, silahkan, taihiap!"
Thian Sin mengangguk dan semua tamu memandang dengan hati tertarik. Mereka semua adalah pengikut-pengikut yang setia dan penuh kepercayaan, maka kini mendengar bahwa Pendekar Sadis hendak mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tentu saja maksudnya menguji, mereka merasa tertarik.
Mereka sendiripun tadinya ragu-ragu terhadap perkumpulan agama pemuja Dewa Kematian ini, akan tetapi setelah mereka menguji dan melihat hasil-hasil baiknya, mereka menaruh kepercayaan sepenuhnya. Siapa yang tidak suka menjadi pengikut? Selagi hidup dapat menikmati kesenangan yang amat luar biasa di tempat ini, dan selain itu, mereka semua telah menjadi pemuja Dewa Kematian sehingga telah menjadi "sahabat"
Baik dewa itu. Dengan demikian, mereka akan terjamin kelak kalau terpaksa harus menghadapi kematian karena dewanya telah menjadi sahabat baik mereka dan akan menurut wejangan Sian-su, karena menjadi sahabat baik, maka Dewa Kematian akan berlaku murah terhadap mereka dan akan dapat "memperpanjang"
Kehidupan mereka dan tidak cepat-cepat mencabut nyawa mereka.
Janji-janji muluk yang selalu dipamerkan memang merupakan umpan yang amat menarik bagi manusia pada umumnya yang selalu mengejar kesenangan dan keenakan, di manapun dan kapanpun juga. Bahkan untuk mendapatkan janji-janji muluk ini, manusia tidak segan-segan untuk melakukan apa saja, bahkan kalau perlu menyiksa diri. Betapa banyaknya orang menyiksa diri dengan berpuasa dan betapa di tempat sunyi, penyiksaan diri karena di sana terdapat harapan atau janji bahwa mereka akan memperoleh ganjaran batin yang tentu saja menyenangkan? Bahkan untuk keadaan mereka sesudah mati sekalipun, selagi masih hidup manusia sudah hendak mengaturnya, se-mua itu demi memperoleh kepastian bahwa keadaannya kelak "di sana"
Akan enak, keenakan yang diukur dengan keadaan di waktu masih hidup. Wanita itu masih berlutut dan Thian Sin terpaksa juga berjongkok ketika menghampirinya dan hendak mengajukan pertanyaan.
"Nyonya, bolehkah saya mengetahui namamu?"
Wanita itu mengangkat muka memandang kepada Thian Sin dan diam-diam Thian Sin harus mengakui bahwa isteri Cia Kok Heng ini adalah seorang wanita yang cantik menarik dan manis sekali. Ketika dia memandang matanya, dia mendapatkan kenyataan bahwa memang benar wanita itu berada dalam keadaan tersihir atau setidaknya dalam keadaan tidak begitu sadar! Tentu saja dia menjadi marah.
"Namaku Lu Sui Hwa..."
Jawab wanita itu dengan sikap ramah dan senyum manis menghias bibirnya. Thian Sin lalu mengerahkan tenaga saktinya dan menggunakan kekuatan sihir untuk menyadarkan wanita itu sambil berkata,
"Lu Sui Hwa, sadarlah engkau dan mulai saat ini pergunakan pikiranmu sendiri!"
Dengan gerakan tangan, Thian Sin membuat gerakan jari tangan kiri di depan wajah wanita itu. Wanita itu segera terbelalak dan mengeluarkan seruan tertahan.
"Ihhh...!"
"Sui Hwa, tenanglah dan jawab semua pertanyaan Pendekar Sadis. Ingat, engkau berada dalam keadaan aman!"
Tiba-tiba terdengar suara Sian-su yang lemah lembut. Ucapan itu membuat sepasang mata yang terbelalak itu menjadi suram dan wanita itu memandang kepada Thian Sin dengan penuh kecurigaan! Akan tetapi, Thian Sin melihat bahwa usahanya berhasil dan wanita itu kini benar-benar telah sadar.
"Nyonya, kenalkah engkau kepada orang yang bernama Cia Kok Heng?"
Tanyanya dengan lantang. Akan tetapi, betapa heran hatinya ketika wanita itu menjawab dengan wajar,
"Dia adalah suamiku."
"Dan dua orang anak kecil, seorang anak laki-laki dan seorang wanita bernama Cia Liong dan Cia Ling?"
Wajah itu menjadi pucat sekali, akan tetapi suaranya masih terdengar tenang dan lantang ketika menjawab,
"Mereka adalah anak-anakku!"
Thian Sin lalu bangkit berdiri dan suaranya lantang dan penuh wibawa ketika dia berkata lagi,
"Nyonya Cia, engkau yang mempunyai suami dan dua orang anak, kenapa bisa berada di sini?"
Suasana menjadi tegang. Semua tamu maklum bahwa Pendekar Sadis ini mencari-cari permusuhan, dan semua telinga ditujukan kepada wanita itu, menanti jawabannya. Thian Sin sudah bersiap siaga karena dia merasa yakin bahwa wanita ini tentu akan membuka rahasia Siluman Guha Tengkorak, bahwa ia telah diculik oleh mereka.
"Aku memang meninggalkan mereka untuk menjadi pengikut Sian-su!"
Jawaban ini tentu saja tidak disangka sama sekali oleh Thian Sin dan mukanya menjadi merah ketika dia mendengar suara ketawa tertahan di sana-sini. Dia menggunakan kekuatan sihirnya untuk "mencuci"
Wanita yang masih berlutut itu dari hawa atau pengaruh sihir yang mempengaruhi, akan tetapi mendapat kenyataan bahwa wanita itu tidak lagi dalam pengaruh sihir, melainkan menjawab dalam keadaan sadar!
"Engkau sebagai seorang nyonya terhormat rela merendahkan diri, mengenakan pakaian seperti ini dan meninggalkan suami dan anak-anakmu?"
Suara Thian Sin mengandung penasaran dan dia tahu bahwa pertanyaannya itu tentu akan menikam perasaan seorang ibu dan isteri yang terhormat.
"Taihiap, pertanyaanmu itu sudah menyimpang dan merupakan penghinaan!"
Siluman Gua Tengkorak Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Terdengar Sian-su berkata halus dan Thian Sin menoleh. Dia melihat betapa pandang mata para tamu ditujukan kepadanya dengan penuh penasaran, dan wanita itupun menunduk dan menangis! "Sui Hwa, jawablah, apakah ada yang memaksamu menjadi pengikut kami dan menjadi pemuja Dewa Kematian?"
Tanya Sian-su dengan suara lantang.
"Tidak ada, aku masuk atas kehendakku sendiri,"
Jawab nyonya itu.
"Dan engkau rela mengikuti semua upacara dan peraturan seperti yang sudah berlaku di sini?"
"Aku rela."
Sian-su berpaling kepada Thian Sin.
"Ceng-taihiap sudah mendengar cukup, maka harap silahkan duduk dan menyaksikan upacara selanjutnya. Boleh saja orang luar merasa tidak setuju dengan cara-cara kami, akan tetapi jelas bahwa orang luar tidak berhak mencampuri."
"Aku tidak ingin mencampuri, hanya ingin tahu keadaan yang sebenarnya,"
Bantah Thian Sin. Akan tetapi, para anggauta perkumpulan itu sudah dating mengurung dan para tamu juga memandang marah. Melihat ini, Thian Sin menggerakkan pundaknya dan kembali ke tempat duduknya, mulai meragukan kebenaran tindakannya memasuki sarang berbahaya ini. Bagaimana kalau memang wanita itu adalah wanita tak bermalu yang rela meninggalkan suami dan anak-anak untuk menjadi pengikut perkumpulan yang cabul ini?
Mungkin saja suaminya tidak rela melepaskan dan bersama kawan-kawannya yang merupakan Tujuh Pendekar Tai-goan mereka memusuhi perkumpulan ini akan tetapi mereka dikalahkan sehingga semua jatuh tewas. Kalau benar demikian keadaannya, maka persoalannya tentu saja menjadi lain sama sekali! Dengan termangu-mangu Thian Sin menyaksikan upacara yang mulai dilakukan oleh Sian-su. Siluman atau pendeta siluman ini mengambil kelinci putih dari tangan seorang di antara tujuh orang gadis, lalu mengambil pedang emas. Dia mengangkat kelinci itu di depannya, tepat di atas kepala Lu Sui Hwa atau nyonya Cia Kok Heng, kemudian pisau atau pedang kecil dari emas itu dihunjamkan ke leher kelinci putih! Darah me-ngucucur keluar dari luka leher itu ketika pisau dicabut nampak jelas sekali menodai bulu putih bersih, kemudian darah itu mengucur jatuh ke atas kepala nyonya muda itu! Dari atas kepala, darah kelinci itu mengalir dan membasahi mukanya.
Wanita itu tengadah dan nampak tersenyum bahagia sambil memejamkan matanya dan dari jauh Thian Sin dapat melihat bahwa wanita itu kembali telah berada dalam cengkeraman sihir. Akan tetapi karena tadi malam dalam keadaan sadar wanita itu telah mengaku bahwa ia melakukan semua itu atas kehendak hatinya sendiri dan secara suka rela, apa yang dapat dilakukannya? Dia hanya dapat memandang. Kini pendeta siluman itu membiarkan darah kelinci memasuki bokor emas yang dipegang oleh salah seorang gadis, sampai darah itu tidak menetes lagi dari leher kelinci. Tentu saja kelinci itu mati kehabisan darah. Akan tetapi, ketika pendeta siluman itu dengan bentakan nyaring melemparkan kelinci ke bawah, kelinci yang mandi darah itu menggerakkan tubuhnya dan lari cepat ke tebing dan menghilang di balik jurang! Thian Sin mengangguk-angguk. Memang pendeta ini seorang lawan yang tangguh, juga dalam ilmu sihirnya!
Sang pendeta lalu menuangkan arak atau anggur dari dalam guci-guci emas ke dalam bokor, mencampur arak itu dengan darah kelinci. Kemudian musikpun dipukul dengan gencar penuh semangat, makin lama makin panas ketika pendeta itu, diwakili oleh tujuh orang penari, membagibagikan isi bokor ke dalam cawan arak para tamu! Thian Sin yang hendak diberi, menolak keras dengan menggeleng kepala dan mukanya menyatakan jijik. Kini semua penari, berikut tujuh orang gadis yang jumlahnya tidak kurang dari tiga puluh orang, menari semua, menurutkan irama musik yang makin lama semakin panas merangsang. Dan perlahan-lahan, Lu Sui Hwa juga menggerak-gerakkan tubuhnya dan bangkit berdiri sambil menari. Agaknya ia tidak pernah belajar menari, akan tetapi ia hanya menggerak-gerakkan kedua lengan dan pinggulnya,
Dan karena ia seorang wanita cantik yang memiliki bentuk tubuh yang indah, biarpun begitu tetap saja ia nampak amat menarik! Seorang pemuda yang tadinya duduk di bagian tamu, nampaknya sudah mabok atau terseret oleh keadaan itu. Sambil tersenyum lebar dia maju menghampiri Sian-su yang memegang tangannya dan menariknya mendekati Sui Hwa. Mereka agaknya berkenalan dan Sui Hwa menyambutnya dengan senyum manis, kemudian pemuda yang kelihatan sudah mabok itu lalu merangkul dan menjilati darah yang menodai wajah Sui Hwa, dan keduanya menari-nari dan berpelukan! Para tamu mulai gembira, bersorak dan bertepuk tangan mengikuti irama musik. Agaknya setelah minum anggur bercampur darah tadi, mereka semua menjadi mabok berahi! Serentak mereka berdiri dan menari-nari,
Masing-masing memilih pasangan sendiri-sendiri di antara para penari dan terjadilah pemandangan yang hampir tidak dapat dipercaya oleh Thian Sin kalau dia tidak menyaksikannya sendiri! Orang-orang itu mungkin telah menjadi gila, pikirnya. Mereka menari berpasang-pasangan, saling rangkul, saling belai dan saling cium, sedikitpun tidak merasa malu dan musikpun semakin riuh rendah, keranjingan dan mereka semua seperti telah kerasukan iblis! Pendeta siluman itu sendiri sudah meraih pinggang seorang wanita muda sekali, yang cantik manis dan yang agaknya memang menjadi kekasihnya. Thian Sin tahu bahwa wanita muda ini adalah Thio Siang Ci, mempelai wanita di dusun Ban-ceng yang telah diculik pada malam pengantin! Diculik karena pendeta siluman itu sendiri yang tertarik dan tergila-gila kepada kembang dusun Ban-ceng ini.
Juga Pendekar Sadis tidak tahu bahwa orang muda yang kini sudah bergumul sambil menari-nari itu adalah seorang pemuda bangsawan she Phang dari Taigoan yang telah lama tergila-gila kepada isteri Cia Kok Heng yang kini telah berada dalam pelukannya dan melayani hasrat hatinya dengan nafsu berahi bernyala-nyala itu. Sebetulnya, perkumpulan yang menamakan dirinya perkumpulan agama Jit-sian-kauw ini secara diam-diam sudah lama bersarang di tempat itu. Perkumpulan ini dipimpin oleh orang yang hanya dikenal dengan sebutan Sian-su dan secara diam-diam pula telah diakui oleh banyak anggauta yang terdiri dari orang-orang penting di sekitar Tai-goan, bahkan ada pula yang dari kota raja. Secara resmi, agama ini mengadakan pelajaran-pelajaran agama yang diambil dari Agama Buddha Hinayana dan Agama To, dicampur dengan unsur dari agama kuno seperti Im-yang kau w dan lain-lain yang menjurus kepada pelajaran kebatinan yang mengejar hal-hal gaib.
Di antara tujuh dewa yang dipuja oleh Jit-sian-kauw (Agama Tujuh Dewa) itu yang terutama sekali dan menjadi pusat dari pemujaan mereka adalah Dewa Kematian. Di bawah pimpinan Sian-su, para anggauta dituntun untuk memuja dewa ini yang dianggap dapat memberi usia panjang dan dapat mengatur nasib mereka kelak setelah mereka mati. Pemimpin yang disebut Sian-su itu adalah seorang yang selalu bersembunyi di balik topeng tengkorak sehingga belum pernah ada yang melihat atau mengenal wajah aselinya. Akan tetapi semua anggauta dan pengikut amat hormat dan taat kepadanya karena memang orang ini memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, bukan hanya dalam ilmu silat akan tetapi juga ilmu gaib. Sian-su ini dikabarkan memiliki kepandaian seperti dewa, dapat menghilang, dapat mendatangkan tujuh dewa yang dipuja-puja itu.
Bukan itu saja, bahkan dalam upacara-upacara diadakan pesta yang oleh Sian-su dinamakan pesta pembebasan nafsu badaniah! Di dalam pesta seperti ini, mereka membiarkan diri hanyut dalam seretan gelombang nafsu berahi yang melanda mereka di mana mereka boleh melampiaskan nafsu berahi mereka sepuasnya dengan siapapun juga asal tidak ada unsur pemaksaan. Menurut ajaran Sian-su itu, nafsu itu akan meliar dan kalau diberi penyaluran sewajarnya tanpa ada perbuatan paksa, akhirnya nafsu itu akan habis sendiri kekuatannya dan tidak lagi mencengkeram jasmani kita sehingga jasmani kita cukup memenuhi syarat untuk menjadi jasmani yang bersih dan dihuni oleh jiwa yang bersih pula dan yang kelak akan diterima menjadi kesayangan Dewa Kematian.
Tentu saja pelajaran yang diberikan ini merupakan pelajaran palsu yang amat berbahaya dan sama sekali tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Yang jelas dapat dinyatakan adalah bahwa nafsu keinginan dalam bentuk apapun juga timbul dari pada si aku yang ingin senang, dan nafsu ini bersifat seperti api yang apabila diberi hati, apabila dituruti akan seperti api yang diberi bahan bakar. Makin banyak diberi bahan bakar, makin bernyala dan makin menjadi, makin membesar dan tidak akan padam lagi. Mengendalikan nafsupun tidak akan ada gunanya. Mematikan nafsu dengan kekerasan kemauanpun percuma karena yang mematikan dengan kekerasan itu adalah kemauan si aku pula yang ingin senang, yang menganggap bahwa kalau dapat mematikan nafsu itu akan lebih senang dari pada kalau dikuasai nafsu.
Sering kali terjadi konflik dalam batin sendiri. Di satu pihak keinginan atau nafsu itu timbul, di lain pihak keinginan untuk mematikanpun timbul. Konflik ini merupakan api dalam sekam yang nampaknya saja padam, namun sesungguhnya masih membara dan sewaktu-waktu akan dapat berkobar lagi kalau penutupnya kurang kuat atau terbuka. Nafsu itu sendiri merupakan enersi yang hebat. Nafsu itu sendiri amat penting bagi kehidupan. Hanya cara penggunaannya yang menentukan apakah ia merusak ataukah mendatangkan manfaat. Dan cara yang baik dan benar ini timbul dengan sendiri melalui kewaspadaan dan kesadaran dari pengamatan diri pribadi. Pengamatan diri pribadi akan menimbulkan kebijaksanaan dan dengan sendirinya timbul ketertiban yang tidak diatur lagi oleh si aku yang ingin senang.
Pendekar Sadis Eps 41 Harta Karun Jenghis Khan Eps 5 Pendekar Sadis Eps 16