Ceritasilat Novel Online

Asmara Berdarah 23


Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo Bagian 23



"Kalian mengapa berlari-lari ketakutan? Ada apakah?"

   Tegurnya kepada dua orang dusun yang usianya sudah empat puluhan tahun itu. Dua orang itu berlari semakin cepat ketika tiba-tiba saja ada seorang wanita cantik berlari di belakang mereka tanpa mereka dengar sebelumnya. Akan tetapi Sui Cin sekali meloncat sudah berdiri menghadang mereka dan mengembangkan kedua lengannya.

   "Nanti dulu, kalian harus memberi tahu mengapa kalian berlari ketakutan?"

   Dua orang itu memandang kepada Sui Cin dengan mata terbelalak dan muka pucat, lalu seorang di antara mereka berkata,

   "Nona... kami... kami dikejar setan..."

   Sui Cin memandang ke belakang mereka dan diam-diam ia merasa ngeri. Kalau hanya penjahat, tentu ia sama sekali tidak merasa takut. Akan tetapi setan? Ah, mana ada setan berani mengejar manusia, pikirnya.

   "Mana setannya? Di mana?"

   Tanyanya.

   "Di... di kuil, nona. Memang kuil itu terkenal berhantu, akan tetapi kami tidak memasuki kuil, hanya lewat. Tiba-tiba kami mendengar suara tangis disusul tawa seorang wanita, dan ada bayangan berkelebatan lenyap begitu saja di depan kami..."

   Dua orang itu masih menggigil, dan yang seorang segera menarik tangan kawannya lalu diajak lari dari tempat itu sambil mengomel.

   "Hayo kita pergi, siapa tahu ia ini..."

   Keduanya lari tunggang langgang meninggalkan Sui Cin yang tersenyum seorang diri. Sialan, ia malah disangka setan! Akan tetapi sikap dan keterangan dua orang dusun itu membuatnya penasaran. Benarkah ada setan? Bagaimanapun juga, ia harus membuktikan sendiri, tidak percaya omongan orang begitu saja tentang setan. Selama hidupnya in belum pernah melihat setan, dan kiranya semua orang pemberani juga belum pernah melihatnya.

   
Yang pernah melihat setan biasanya hanya orang-orang yang sudah mempunyai rasa takut di dalam hatinya, dan sebagian besar setan hanya ada dalam dongengan dan cerita orang lain saja. Bagaimanapun juga, ia merasa betapa jantung di dalam dadanya berdebar keras ketika ia menghampiri kuil tua itu. Cuaca sudah mulai gelap sehingga kuil kuno itu nampak menyeramkan. Sui Cin bergerak dengan hati-hati. Mungkin tidak ada setan, akan tetapi kalau dua orang dusun itu melihat bayangan, berarti setidaknya tentu ada orang di sekitar atau di dalam kuil. Dan orang yang dapat berkelebat lenyap di depan dua orang dusun itu begitu saja, jelas bukan orang sembarangan, melainkan memiliki kepandaian tinggi. Ia harus hati-hati dan tidak sembrono. Andaikata ada orang pandai di situ, ia masih belum tahu siapa orang itu dan dari golongan apa. Dan ia merasa betapa tidak patut dan kurang ajar mendatangi tempat orang begitu saja.

   Dengan hati-hati sekali, Sui Cin mempergunakan ilmu ginkangnya yang hebat sehingga tubuhnya bagaikan seekor burung saja berkelebat dan melayang ke atas pohon-pohon, lalu melayang ke atas genteng kuil. Kedua kakinya tidak mengeluarkan bunyi apa-apa sehingga mereka yang berada di dalam kuil, biarpun memiliki kepandaian tinggi, tidak mendengar gerakannya dan tidak tahu akan kedatangan pendekar wanita ini. Sui Cin melakukan pemeriksaan dari atas genteng kuil dan akhirnya ia dapat melihat tiga orang sedang bercakap-cakap di dalam kuil itu! Ia tersenyum. Bukan setan bukan iblis, melainkan seorang gadis cantik dan dua orang kakek yang sedang bercakap-cakap dengan suara perlahan di dalam ruangan kuil itu, ruangan yang buruk dan temboknya sudah banyak yang retak-retak.

   "Dua orang dusun tadi tidak curiga?"

   Tanya si gadis cantik.

   "Ha ha ha, seperti biasa, orang-orang dusun itu tahyul. Mereka menyangka kami setan dan lari tunggang langgang,"

   Jawab kakek gendut sambil tertawa.

   "Bagus! Biarlah mereka menyebarkan berita bahwa tempat ini berhantu. Kita tidak ingin diganggu,"

   Kata pula si gadis cantik.

   "Aku lelah sekali malam ini, besok pagi-pagi kita harus mencoba lagi di Gua Iblis Neraka."

   "Kurasa percuma saja,"

   Kata kakek kurus.

   "batu besar itu mana bisa kita buka? Sudah kita coba dengan bantuan banyak kawan tetap gagal. Apakah tidak lebih baik kalau kita melapor saja kepada Ongya?"

   Gadis itu menggeleng kepala.

   "Tidak, suhu dan subo kini sedang sibuk dan sukar mencari mereka. Pula, mereka sudah menugaskan ini kepadaku, mana bisa kutinggalkan begitu saja sebelum berhasil? Kita harus mencoba lagi besok pagi-pagi, kalau gagal, biar aku akan mencari bantuan lagi."

   Agaknya dua orang kakek itu merupakan pembantu-pembantu si gadis cantik karena mereka kelihatan tunduk dan taat. Mereka berdua lalu duduk bersila di ruangan itu sedangkan si gadis cantik memasuki sebuah kamar yang agaknya menjadi kamar tidurnya di dalam kuil itu.

   Yang diintai oleh Sui Cin itu adalah Gui Siang Hwa, murid Raja Iblis yang berjuluk Siangtok Sianli dan dua orang pembantunya, yaitu Huito Cinjin si kakek kurus dan Kangthouw Lomo si kakek gendut, dua orang tokoh dari Cap-sha-kui. Ia tidak mengenal siapa adanya tiga orang itu, akan tetapi gadis ini dapat menduga bahwa tiga orang yang berada di dalam kuil itu tentulah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi. Percakapan mereka amat menarik perhatiannya, terutama sekali mengenai Gua Iblis Neraka itu. Ingin sekali ia tahu siapa adanya mereka dan tempat macam apakah gua itu. Karena ia ingin sekali tahu, maka malam itu ia kembali ke penginapan dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali ia sudah bersembunyi di balik pohon dekat kuil. Pagi-pagi sekali ia melihat tiga orang itu berkelebat keluar dan berlari cepat meninggalkan kuil.

   Ia semakin tertarik karena ternyata tiga orang itu memang benar memiliki kepandaian tinggi dan dapat berlari cepat sekali. Akan tetapi dalam hal ilmu berlari cepat, ia adalah ahlinya dan tanpa kesukaran sama sekali ia dapat membayangi tiga orang itu dari jauh tanpa mereka ketahui. Ketika tiga orang yang dibayangi itu tiba di Gua Iblis Neraka, Sui Cin semakin tertarik sekali. Ia mengikuti kegiatan mereka, ikut pula menyeberangi jembatan batu pedang dan melihat betapa mereka gagal membuka batu besar yang menutupi gua di sebelah dalam. Dari percakapan mereka yang dapat ditangkapnya, akhirnya Sui Cin tahu bahwa mereka itu sedang mencari harta karun yang terdapat di balik batu besar itu! Tentu saja hatinya menjadi semakin tertarik dan ketika akhirnya dengan putus asa mereka gagal lagi, Sui Cin mendengar bahwa gadis cantik itu hendak mencari bantuan.

   Ketika mereka pergi, Sui Cin tinggal di situ dan ia sendiripun lalu melakukan penyelidikan. Akan tetapi iapun tidak mampu membuka batu besar penutup gua, dan karena ia tidak tahu rahasia harta itu, tidak tahu di mana letaknya yang tepat, iapun lalu menanti kembalinya gadis cantik yang akan membawa pembantu-pembantu itu. Ia mulai curiga mendengar dan melihat sikap dua orang kakek yang amat kasar, dan melihat sikap gadis yang genit. Biarpun belum merasa yakin benar karena belum ada buktinya, namun perasaannya mengatakan bahwa tiga orang itu bukanlah orang baik-baik dan tentu termasuk golongan sesat. Ia bersabar menunggu untuk melihat perkembangannya lebih jauh dan ia tinggal di dalam gua itu seorang diri sampai beberapa hari lamanya.

   Akhirnya, pada suatu hari ia melihat munculnya tiga orang itu, sekali ini ditemani oleh seorang pemuda! Dan ketika dengan cepat ia bersembunyi di dalam pohon di atas gua dan melihat pemuda gagah itu, hampir ia berteriak saking girang dan kagetnya. Tentu saja ia mengenal Hui Song! Akan tetapi karena ia masih menaruh hati curiga kepada tiga orang itu, ia menahan diri dan merasa heran sekali bagaimana Hui Song depot bergaul dengan mereka dalam keadaan yang demikian karib. Apalagi melihat sikap gadis cantik itu yang demikian memikat dan dalam sikap dan gerak-geriknya nampak sekali bahwa gadis itu mencinta Hui Song, mendatangkan perasaan tidak enak dalam hati Sui Cin.

   Ia membayangi terus dan terheran-heran melihat betapa kini Hui Song dan gadis itu menyeberangi jembatan batu pedang sedangkan dua orang kakek itu berhenti dan mengatakan bahwa mereka tidak sanggup maju lagi. Padahal, ia pernah melihat kedua orang kakek itu menyeberangi jembatan batu pedang ini bersama si gadis cantik, dan walaupun dengan agak sukar, kedua orang itu mampu menyeberangi. Mengapa kini berpura-pura tidak dapat menyeberang? Ia semakin curiga, apalagi ketika melihat betapa setelah menanti beberapa lama dan Hui Song sudah lenyap bersama gadis itu, kedua orang kakek ini berindap-indap menyeberangi batu pedang! Mulailah Sui Cin mencium sesuatu yang tidak beres dan ia mengkhawatirkan keselamatan Hui Song di tangan tiga orang ini dan iapun cepat membayangi dua orang kakek itu masuk ke bagian dalam.

   Demikianlah, keinginan tahu Sui Cin menyelidiki tiga orang itu dan rahasia di dalam Gua Iblis Neraka telah menyelamatkan Hui Song. Ketika pemuda ini dikeroyok tiga, Sui Cin muncul membantu dan menyelamatkannya karena Hui Song memang amat terancam bahaya ketika itu. Akan tetapi, dalam usaha mereka berdua untuk melarikan diri, Sui Cin terkena lontaran batu Kangthouw Lomo yang mengakibatkan dalam kapalanya terguncang dan ia kehilangan ingatannya! Ketika ia siuman, ia lupa segala dan melihat Hui Song, ia lalu menyerangnya. Hal ini adalah karena yang masuk ke dalam ingatannya pada saat terakhir adalah orang-orang jahat yang dilawannya. Maka begitu melihat Hui Song sebagai orang pertama pada saat ia siuman, iapun menganggap bahwa Hui Song adalah orang jahat dan diserangnya pemuda itu mati-matian.

   Akan tetapi pemuda itu ternyata merupakan lawan yang amat kuat dan ia merasa kepalanya pusing maka iapun melarikan diri, mempergunakan ilmu lari cepat Bueng Huiteng yang membuat pemuda itu tidak mampu mengejarnya. Sui Cin sudah tidak ingat apa-apa lagi, yang diingatnya hanyalah bahwa ia bertemu dengan lawan, seorang pemuda jahat dan curang yang amat lihai, yang telah menyambitkan benda keras dan mengenal kepalanya karena kepala itu masih terasa sakit, dan yang tidak dapat ia kalahkan tadi. Ia hanya tahu bahwa lawan itu mengejarnya, dan karena kepalanya pening, apalagi ia tidak mampu mengalahkan, Maka akan berbahayalah kalau sampai pria itu dapat mengejarnya. Maka, Sui Cin mengerahkan tenaganya dan berlari dengan cepat sekali.

   Sehari lamanya ia berlari terus, hanya Kadang-kadang lambat dan mengaso kalau ia sudah merasa lelah sekali. Setelah malam tiba, baru ia berhenti dan beristirahat di dalam sebuah hutan. Gadis ini sudah lupa sama sekali akan masa lalunya. Bahkan namanya sendiripun ia lupa! Iapun tidak mempunyai apa-apa lagi karena semua, pakaiannya tertinggal di tempat persembunyian di dekat Gua Iblis Neraka. Malam itu ia menangkap seekor kelinci dan setelah memanggang dagingnya lalu makan daging panggang. Lalu ia duduk melamun di depan api unggun, mengerahkan pikiran untuk mengingat-ingat, akan tetapi tetap saja ia tidak tahu apa-apa. Yang diketahuinya hanyalah, bahwa ia dikejar-kejar seorang lawan tangguh, dan bahwa ia harus pergi ke utara, jauh melewati Tembok Besar.

   Entah bagaimana, mungkin karena urusan menghadapi pemberontakan para datuk sesat itu amat terkesan di dalam batinnya, maka inilah yang teringat olehnya, yaitu bahwa ia harus pergi ke utara, keluar Tembok Besar! Biarpun sudah kehilangan ingatannya tentang masa lalu, namun Sui Cin tidak kehilangan semangat dan kelincahannya. Ia tetap nampak segar dan wajahnya selalu berseri-seri, melakukan perjalanan dengap cepat, terus menuju ke utara. Sama sekali tidak ada tanda-tandanya bahwa ia sedang menderita luka dan guncangan yang membuat ia kehilangan ingatannya. Hanya kalau sedang duduk seorang diri melamun dan mencoba untuk mengingat-ingat keadaan dirinya, siapa dirinya dan bagaimana asal usulnya, ia nampak bengong dan bingung. Karena ia tidak sadar betul ke mana ia harus pergi,

   Setelah melewati Tembok Besar, Sui Cin memasuki daerah Mongol tanpa ia ketahui di mana ia berada dan ke mana ia harus pergi. Ia merasa gembira melihat daerah yang sama sekali asing baginya ini. Akan tetapi ia merasa bingung ketika bertemu dengan serombongan orang Mongol, ia sama sekali tidak mengerti bahasa mereka! Setelah rombongan itu pergi ia melamun. Untuk apa ia datang ke tempat asing ini? Ia hanya merasa betapa ada dorongan dalam hatinya bahwa ia harus pergi keluar Tembok Besar, akan tetapi di mana dan untuk apa ia tidak tahu! Ia mengambil keputusan untuk merantau selama beberapa hari. Kalau selama itu ia tidak juga dapat teringat untuk keperluan apa ia berada di tempat ini, ia akan kembali ke selatan, ke daerah di mana bahasa orang-orangnya ia dapat mengerti artinya.

   Pada suatu hari, dalam keadaan kesepian, ia melihat serombongan orang Mongol lagi dan sekali ini di antara mereka terdapat beberapa orang wanita Mongol yang memakai pakaian wanita Han. Sui Cin teringat akan pakaiannya sendiri. Pakaiannya sudah kotor dan banyak yang robek-robek. Hanya beberapa kali saja, di tempat sunyi di mana tidak terdapat orang lain, ia mencuci pakaiannya dan menjemur pakaian itu. Ia sendiri bertelanjang bulat, karena tidak mempunyai pakaian cadangan. Dan kini pakaiannya sudah kotor lagi, bahkan sudah robek-robek. Ia bukan seorang gadis pesolek, bahkan biasanya iapun memakai pakaian seadanya dan seenaknya saja, bahkan Kadang-kadang nampak nyentrik. Walaupun Sui Cin seorang gadis puteri Pendekar Sadis yang kaya raya, namun sejak kecil ia lebih suka berpakaian sederhana.

   Dalam keadaan kehilangan ingatan inipun ia tidak berubah. Hanya ia sejak kecil memang suka akan kebersihan sehingga biarpun pakaiannya buruk dan lama, akan tetapi harus selalu bersih. Dan kini, dengan pakaian hanya satu-satunya sehingga tak dapat diganti dan sudah kotor, ia merasa tersiksa sekali. Karena itulah, melihat beberapa orang yang mengenakan pakaian bagus-bagus dan bersih itu, ia kepingin sekali. Akan tetapi, di saku bajunya sama sekali tidak ada apa-apanya, apalagi uang untuk membeli pakaian. Dengan hati amat kepingin akan tetapi tidak berdaya membeli dan juga merasa malu untuk mencoba-coba minta, Sui Cin diam-diam mengikuti rombongan yang terdiri dari belasan orang itu. Mereka membawa dua buah kereta untuk wanita dan anak-anak, sedangkan para prianya berjalan sambil berjagajaga.

   Malam itu, ketika rombongan berhenti dan bermalam di sebuah dusun, Sui Cin beraksi dan pada keesokan harinya, keluarga itu ribut-ribut karena kehilangan dua stel pakaian wanita yang masih baru. Dua stel pakaian itu menghilang tanpa bekas! Dan pada pagi hari itu, Sui Cin dengan pakaian baru tersenyum-senyum gembira. Ia telah berganti pakaian dan merasa dirinya segar sehabis mandi di luar dusun dan mengenakan pakaian baru dan bersih, bahkan kini masih ada satu stel yang dibuntalnya dengan pakaian lamanya. Hanya satu hal yang masih membuatnya tidak senang, yaitu bahwa ia sama sekali tidak dapat berhubungan dengan orang-orang itu karena tidak mengerti bahasanya. Dan iapun tidak ingin pakaian yang dipakainya itu dikenal oleh rombongan semalam, maka iapun melanjutkan perjalanannya, kini membelok ke timur.

   Pada keesokan harinya, selagi berjalan seorang diri menimbangnimbang apakah tidak sebaiknya kulau ia kembali ke selatan, tiba-tiba ia melihat seorang nenek sedang menangis di tepi sebuah hutan. Nenek itu berjongkok dan menangisi seekor ular yang mati dan melingkar di atas tanah. Nenek itu jelek sekali. Mukanya penuh keriput dan buruk, tubuhnya kurus dan punggungnya bongkok melengkung, rambutnya yang putih riap-riapan. Pakaiannya jubah kedodoran dan ketika Sui Cin mendekat, ia mencium bau yang tidak enak. Akan tetapi, biarpun demikian, tetap saja hati gadis itu merasa gembira dan ia terus menghampiri. Yang membuatnya bergembira adalah karena ia dapat mengerti kata-kata tangisan atau keluhan nenek itu! Nenek itu mempergunakan bahasa Han dari selatan, walaupun agak kaku, namun ia dapat mengerti dengan jelas.

   "Aduhhh, anakku yang baik... ah, kenapa engkau mati dan kenapa engkau tega sekali meninggalkan aku seorang diri... huhuhuhh... ke mana aku harus mencari pengganti sepertimu, yang setia, patuh dan tangguh? Huhuhuuhhh..."

   Dalam keadaan biasa, tentu Sui Cin akan merasa ngeri mendekati nenek itu. Wajahnya demikian buruk menakutkan, dan sikapnya itu seperti orang gila. Mana ada orang menangisi kematian seekor ular besar? Akan tetapi, karena sudah berhari-hari baru sekarang ia mendengar kata-kata yang dapat dimengertinya, hatinya gembira sekali dan ia merasa kasihan kepada nenek ini. Memang bukan hanya gadis itu yang mempunyai perasaan demikian. Semua orangpun, kalau berada di tempat asing, atau lebih tepat lagi, kalau berada di negara asing, di antara bangsa asing yang berbahasa asing pula, akan merasa gembira sekali kalau berjumpa dengan orang sebangsa, atau setidaknya sebahasa! Seolah-olah bertemu dengan seorang saudara di antara orang-orang asing.

   "Nenek yang baik, mengapa engkau begini bersedih? Engkau kematian binatang peliharaanmu? Mengapa ular ini bisa mati, nek?"

   Nenek itu menghentikan tangisnya dengan tiba-tiba, lalu menoleh. Matanya yang melotot lebar itu amat mengerikan, akan tetapi Sui Cin tersenyum manis kepadanya, dengan sikap menghibur. Nenek ini seperti anak kecil saja, pikirnya, menangisi binatang peliharaannya yang mati. Kalau binatang peliharaan seperti kucing, anjing, kuda atau ternak lainnya, bahkan burung kesayangan, masih wajar. Akan tetapi yang ditangisi kematiannya ini adalah seekor ular besar yang mengerikan!

   "Siapa kau...?"

   Nenek itu tiba-tiba bertanya, seolah-olah merasa heran ada orang menegurnya, apalagi dalam bahasa Han. Kemudian matanya terbelalak dan mengeluarkan sinar berkilat.

   "Eh, engkau... engkau gadis she Ceng itu..."

   Nenek itu berseru dan bangkit berdiri. Setelah ia berdiri, bongkoknya nampak sekali. Sui Cin juga bangkit berdiri, memandang kepada nenek itu dengan wajah berseri.

   "Nenek yang baik, engkau mengenalku? Engkau tahu benar bahwa aku she Ceng? Sesungguhnya, nek, aku telah lupa segala tentang diriku, maka... tolonglah kau beritahu siapa diriku ini, nek?"

   Nenek itu tertawa, suara ketawanya terkekeh lirih dan mata yang lebar itu berkilauan membayangkan kecerdikan dan kelicikan, juga kekejaman luar biasa. Kalau saja Sui Cin tidak kehilangan ingatannya, tentu ia akan terkejut setengah mati berjumpa dengan nenek ini, karena nenek ini adalah seorang musuh lamanya, yaitu Kiu-bwe Coali (Nenek Ular Ekor Sembilan), seorang di antara Cap-sha-kui yang kejam dan lihai! Dan agaknya nenek yang menjadi datuk kaum sesat ini tidak melupakan Sui Cin, maka ia nampak terkejut sekali. Akan tetapi begitu melihat sikap Sui Cin yang lupa akan keadaan dirinya, nenek itu terkekeh girang.

   "Ah, bagaimana engkau bisa melupakan dirimu sendiri, nona?"

   Tanyanya, sikapnya kelihatan ramah dan wajahnya yang amat buruk itu tidak begitu menakutkan lagi.

   "Entahlah, nek. Seingatku, ada yang menghantam kepalaku, mungkin batu yang dilontarkan seorang musuhku kepadaku dan mengenai belakang kepalaku. Akan tetapi aku menjadi pening dan sampai sekarang aku lupa segalanya tentang diriku. Bahkan engkau yapg ternyata sudah mengenal akupun sama sekali aku tidak ingat lagi. Siapakah aku ini, nek? Tolonglah bantu aku agar kembali ingatanku. Siapakah aku ini?"

   "Anak baik, siapakah musuhmu yang menyerangmu dengan lontaran batu itu?"

   Sui Cin menggeleng kepala.

   "Akupun tidak tahu, nek. Hanya setahuku, dia seorang pemuda yang lihai sekali ilmu silatnya, dan aku tidak akan melupakan wajahnya karena sekali waktu aku harus membalas perbuatannya itu!"

   Sui Cin mengepal tinju dengan gemas.

   "Heh heh heh, anak baik, engkau bukan orang lain, masih terhitung cucu keponakanku sendiri."

   Sui Cin terbelalak, terkejut, heran dan juga girang.

   "Aih, benarkah itu, nek? Siapakah engkau dan siapa pula namaku, siapa pula orang tuaku?"

   "Engkau benar-benar tidak ingat kepadaku? Lihat ini, apakah engkau lupa kepada benda ini?"

   Kui-bwe Coali mengeluarkan senjatanya, yaitu cambuk ekor sembilan yang ampuh dan menyeramkan itu. Akan tetapi Sui Cin memandang biasa saja dan menggeleng kepalanya.

   "Tidak, nek, aku tidak mengenal cambuk itu."

   Legalah hati Kiu-bwe Coali. Agaknya gadis ini memang benar-benar kehilangan ingatannya dan tidak ingat lagi akan segala hal yang dikenalnya di masa lalu. Bagus, pikirnya, memudahkan ia untuk melumpuhkan gadis ini!

   "Namamu... Bi Hwa, Ceng Bi Hwa, ayah ibumu sudah tidak ada, engkau yatim piatu dan pernah engkau ikut belajar silat kepadaku selama beberapa tahun dahulu. Mendiang ayahmu adalah keponakanku, jadi engkau adalah cucu keponakanku. Aku dijuluki orang sesuai dengan senjataku ini, ialah Kiu-bwe Coali."

   Nenek itu memegang cambuk ekor sembilan di tangan kanannya dan diam-diam ia mempersiapkan diri untuk menyerang, kalau gadis itu teringat kembali akan nama julukannya. Akan tetapi, Sui Cin sama sekali tidak ingat, hanya mengulang namanya dengan alis berkerut,

   "Bi... Ceng Bi Hwa... ah, aku sama sekali tidak ingat lagi namaku sendiri, nek, Harap maafkan aku..."

   Kemudian ia memberi hormat kepada nenek itu.

   "Terimalah hormatku, nek."

   Kiu-bwe Coali mengangguk-angguk sambil terkekeh girang.

   "Bagus, bagus... jangan khawatir, cucuku. Setelah engkau bertemu dengan nenekmu ini, engkau tentu akan menemukan kembali ingatanmu, Heh heh ."

   "Aih, benarkah, nek? Benarkah engkau hendak mengobatiku? Ah, aku akan girang sekali kalau aku dapat mengingat semua keadaan diriku."

   "Tentu saja! Bukankah engkau cucu keponakanku yang tersayang? Jangan khawatir, dengan mudah saja aku akan dapat menyembuhkanmu dan mengembalikan ingatanmu. Akan tetapi sebelum itu, aku ingin sekali menyelidiki bagaimana keadaan orang yang kehilangan ingatannya. Perlu bagiku untuk pengobatan. Bi Hwa, apakah engkau lupa pula dengan semua ilmu silatmu yang pernah kuajarkan kepadamu?"

   Sui Cin mengerutkan alisnya dan menggeleng.

   "Aku lupa bahwa engkau yang mengajarkan ilmu silat kepadaku, nek, dan lupa lagi ilmu silat apa adanya itu. Akan tetapi gerakan ilmu silat itu sudah mendarah daging di tubuhku, menjadi gerakan otomatis kaki tanganku sehingga aku bergerak tanpa kuingat lagi. Agaknya... agaknya aku tidak melupakan ilmu silat itu, nek."

   "Hemm... aneh, aneh. Akan tetapi sebaiknya kalau kucoba untuk membuktikan kebenaran omonganmu. Nah, kau bergeraklah menurut nalurimu, aku akan mencoba untuk menyerangmu dengan cambukku. Setelah ujian ini, baru nanti aku akan mengobatimu sampai sembuh, cucuku tersayang."

   Nenek itu menggerakkan cambuknya ke atas, terdengar bunyi meledak-ledak ketika sembilan ekor cambuknya itu seperti hidup sendiri-sendiri, bergerak-gerak bagaikan sembilan ekor ular hidup! Dan tiba-tiba cambuk itu menyambar ke arah Sui Cin.

   "Tar-tar-tarr..."

   Sui Cin terkejut melihat gerakan cambuk yang hebat ini.

   Tak disangkanya nenek yang aneh seperti orang gila atau seperti anak kecil ini, yang menangisi kematian seekor ular, dan yang ternyata adalah bibi dari ayahnya seperti yang dikatakan nenek itu, kiranya memiliki kepandaian hebat dan serangan cambuk itu benar-benar amat berbahaya. Sembilan ekor ujung cambuk itu bergerak seperti ular-ular hidup dan masing-masing kini menyerang secara bertubi ke arah sembilan jalan darah di tubuhnya! Tentu saja iapun cepat menggerakkan tubuhnya dan tiba-tiba saja tubuh gadis di depannya itu berkelebat dan lenyap! Terkejutlah Kiu-bwe Coali. Seingatnya, gadis yang ia ketahui adalah puteri Pendekar Sadis ini, walaupun memang lihai, namun tidak sehebat ini kelihaiannya. Gadis yang berada di depannya ini memiliki ginkang yang mentakjubkan! Ia menjadi penasaran sekali, akan tetapi mulutnya terkekeh.

   "Heh heh, bagus, engkau masih memiliki kegesitanmu. Nah, bersiaplah, aku akan menyerang sungguh-sungguh!"

   Dan cambuk itu diputar, mengeluarkan suara ledakan-ledakan kecil dan kini nenek itu menyerang dengan hebat sekali. Dahsyat dan buas serangannya, ujung cambuk yang sembilan itu mematukmatuk dan menotoknotok, mencari jalan darah di tubuh Sui Cin. Gadis ini secara otomatis menggerakkan tubuhnya, dengan ginkang yang baru-baru ini dipelajarinya dari Wuyi Lojin, tubuhnya berkelebatan seperti bayangbayang yang cepat sekali menyambar-nyambar di antara gulungan sinar-sinar hitam dari cambuk nenek itu. Tentu saja ia tidak membalas kerena ia menganggap bahwa nenek itu hanya sekedar menguji apakah ia tidak melupakan ilmu silatnya yang menurut nenek itu diajarkan oleh nenek itu kepadanya!

   Tentu saja niat yang terkandung di dalam hati Kiu-bwe Coali tidaklah demikian. Ia hanya ingin melihat sampai di mana kelihaian gadis ini. Kalau mungkin, tentu lebih mudah baginya membunuh gadis puteri Pendekar Sadis itu secara langsung saja dengan cambuknya ini. Akan tetapi, kalau ternyata gadis itu terlalu lihai, dalam keadaan hilang ingatan, ia akan dapat mempergunakan akal lain yang lebih halus untuk menjerat dan melumpuhkannya. Kini, melihat gerakan Sui Cin yang demikian hebatnya ketika berkelebatan mengelak dari sambaran cambuknya, nenek itu terkejut. Tak disangkanya gadis itu kini sedemikian hebatnya, memperoleh kemajuan yang demikian pesat, jauh lebih hebat dibandingkan dahulu. Maka, iapun maklum bahwa dengan cambuknya, ia tidak akan mampu membunuh gadis ini, dan iapun lalu melompat ke belakang menghentikan serangannya.

   "Bagus, bagus... Heh heh , engkau masih belum lupa akan ilmumu. Baiklah, sekarang aku akan memberi obat kepadamu agar engkau dapat pulih kembali, agar ingatanmu sehat kembali."

   Hati Sui Cin merasa lega dan girang sekali. Tadi ia sudah merasa khawatir melihat betapa nenek itu menyerangnya secara dahsyat dan berbahaya.

   "Terima kasih, nek."

   Nenek itu lalu duduk bersila di atas tanah, Sui Cin juga berjongkok di depannya,
(Lanjut ke Jilid 22)
Asmara Berdarah (Seri ke 08 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 22
melihat nenek itu mengeluarkan seguci arak, sebuah cawan dan sebuah botol kecil dari balik jubah yang lebar itu. Ia menuangkan arak dari guci ke dalam cawan, hanya setengah cawan, kemudian menuangkan bubuk kehijauan dari botol kecil ke dalam cawan berisi arak setengahnya itu. Sambil terkekeh ia mengocok arak itu sehingga bubukan hijau bercampur ke dalam arak.

   "Nah, ini obat mujarab sekali, cucuku. Sekali minum engkau akan merasa mengantuk, tertidur dan setelah engkau bangun dari tidur, ingatanmu akan pulih kembali,"

   Katanya sambil menyodorkan minuman itu. Sui Cin menerimanya dan langsung membawa cawan itu ke bibirnya. Akan tetapi begitu cawan itu menempel di bibirnya, ia tidak jadi minum dan memandang nenek itu dengan alis berkerut.

   "Eh, ada apakah, cucuku? Hayo minum obat itu dan engkau akan sembuh."

   "Tapi, nek. Aku tidak tahu apa isi obat ini, hanya perasaanku melarang aku untuk meminumnya karena mengandung bau amis beracun!"

   "Heh heh heh heh, tentu saja, memang obat itu mengandung racun dari ular sendok merah! Memang obat itu racun, racun itu obat, asal kita tahu cara mempergunakannya saja. Eh, Bi Hwa, apakah engkau tidak percaya kepada nenekmu sendiri, kepada orang yang menimang-nimangmu di waktu engkau kecil, kepada orang yang telah mengajarkan semua ilmu itu kepadamu? Apa kau kira aku akan meracunimu? Pikiranmu telah jadi hilang ingatan, akan tetapi tentu belum begitu gila untuk mengira bahwa aku, nenekmu yang menyayangmu, akan meracunimu!"

   Merah wajah Sui Cin. Tentu saja ia merasa tidak enak sekali. Ia tidak tahu pasti apakah minuman itu akan mencelakakannya, akan tetapi nenek ini mengenalnya, dan nenek ini tadi sudah mengujinya dan kini hendak menyembuhkannya. Mengapa ia ragu-ragu? Ia mendekatkan lagi cawan itu sambil memejamkan mata, iapun menuangkan arak itu ke dalam mulut dan terus ditelannya. Ia menahan diri untuk tidak muntah oleh bau amis itu! Begitu arak itu memasuki perutnya, ia merasa ada hawa panas berputaran di dalam perutnya. Itulah hawa ginkang dari pusar yang otomatis memberontak dan hendak melawan ketika perut itu dimasuki benda berbahaya. Akan tetapi, racun itu sudah bekerja dan Sui Cin merasa betapa tubuhnya lemas dan matanya mengantuk.

   "Heh heh heh, engkau sudah mulai mengantuk, bukan? Nah, tidurlah dan setelah bangun nanti engkau sudah akan sembuh sama sekali. Tidurlah, cucuku yang baik, tidurlah."

   Nenek itu sambil tersenyum melihat Sui Cin yang lemas itu merebahkan tubuhnya di atas tanah, dan Sui Cin mendengar nenek itu bersenandung, seperti sedang meninabobokkan cucunya! Suara itu aneh sekali, dan tidak enak didengar, akan tetapi karena rasa kantuk tak tertahankan lagi, iapun tertidurlah. Sui Cin tidak tahu berapa lama ia tertidur pulas, akan tetapi ketika ia sadar kembali, matahari telah naik tinggi dan ia berada dalam keadaan terikat pada sebatang pohon! Tentu saja ia terkejut sekali dan otomatis ia mencoba untuk meronta. Akan tetapi, usahanya sia-sia belaka karena ia mendapat kenyataan yang amat mengejutkan, yaitu bahwa kaki tangannya lemas tidak bertenaga! Ia teringat akan nenek itu dan tahulah ia bahwa ia telah tertipu!

   "Nenek iblis jahanam!"

   Ia memaki dan terdengar suara terkekeh di belakangnya. Lalu muncullah nenek itu, yang tadinya tertidur pula di atas rumput, agaknya menanti sampai korbannya terbangun. Kini nenek itu menyeringai dan berdiri di depan Sui Cin, mengebut-ngebutkan bajunya yang terkena tanah.

   "Heh heh heh, nona yang tolol, Heh heh heh!"

   Ia terkekeh-kekeh girang melihat korbannya. Nenek ini, sebagai seorang di antara Cap-sha-kui, memang memiliki hati yang kejam sekali dan kepuasan hatinya adalah kalau ia dapat menyiksa korbannya. Maka, kini dapat menawan nona yang menjadi musuhnya itu dalam keadaan tidak berdaya, tentu saja hatinya girang bukan main.

   "Nenek iblis, kiranya engkau telah menipuku! Hayo kalau memang engkau gagah, lepaskan aku dan kita bertanding sampai mati!"

   Sui Cin berteriak memaki.

   "Heh heh heh, andaikata kulepaskan juga, engkau takkan mampu bertahan lebih dari satu dua jurus. Dan aku tidak menipu, karena memang aku adalah Kiu-bwe Coali, musuh besarmu, ha ha ha!"

   Diam-diam Sui Cin terkejut. Kiranya hilangnya ingatannya berakibat demikian hebat sampai musuh lamanya tidak ia kenal dan akibatnya ia mudah terjebak.

   "Jadi kalau begitu... namaku itu... bukan... bukan Ceng Bi Hwa..."

   "Heh heh heh, namamu Ceng Sui Cin, engkau puteri Pendekar Sadis, Heh heh heh, dan sekarang jatuh ke tanganku. Aku ingin menikmati kematianmu yang akan terjadi perlahan-lahan... Ha-ha. Eh, nona manis, apa engkau suka dengan ular?"

   "Ular...?"

   Sui Cin yang merasa bingung itu bertanya.

   "Ya, ular... Heh heh , engkau tahu, aku adalah Kiu-bwe Coali, Ratu Ular!"

   Dan nenek itu lalu membunyikan cambuknya berkali-kali. Terdengar suara meledak-ledak dan suara ledakan ini seperti bergema sampai jauh. Tidak lama kemudian, terbelalak mata Sui Cin melihat datangnya banyak ular dari empat penjuru, seperti tertarik oleh suara cambuk yang masih meledak-ledak itu, dan suara mendesis yang keluar dari mulut ompong Kiu-bwe Coali. Ular-ular itu menggeleser di atas tanah, membuat rumput-rumputan bergerak-gerak dan terdengarlah suara mereka mendesis-desis, lidah mereka itu keluar masuk dan kini mereka semua berkumpul mengelilingi tempat itu.

   "Bagus, bagus, Heh heh heh, anak-anakku, kalian sudah datang..."

   Sui Cin bergidik. Teringat ia akan nenek itu yang menangisi kematian seekor ular yang juga disebut anaknya.

   Nenek ini gila atau lebih dari itu, jahat dan keji seperti iblis. Kini nenek itu membuat suara dengan mulutnya, suara mendesis dibarengi ledakan cambuknya dan beberapa ekor ular yang besar mengembangkan lehernya. Itulah ular-ular sendok yang amat berbahaya karena amat kuat. Sekali saja digigit oleh ular seperti ini, dalam waktu beberapa jam saja, kalau tidak memperoleh obat penawarnya yang ampuh, orang itu tentu akan mati! Sui Cin yang kehilangan ingatannya itu tidak mengenal ular seperti itu, akan tetapi ia tahu bahwa ular-ular ini tentu berbahaya sekali. Tiga ekor ular sendok yang paling besar berjoget di depannya, dengan lidah merah menjilat-jilat keluar, mata yang tak berkedip itu memandang kepedanya, kepalanya lenggang-lenggok seperti menggoda dan hendak mempermainkan Sui Cin.

   "Heh heh heh, mereka bertiga ini yang kupilih untuk menggerogoti dagingmu, sedikit demi sedikit, ha ha ha!"

   Kata nenek itu dan makin gencar cambuknya berbunyi, makin lincah lagi tiga ekor ular itu menari-nari di depan Sui Cin, makin lama makin mendekati gadis yang terikat kaki tangan dan pinggangnya pada batang pohon itu. Sui Cin memandang tak berkedip kepada tiga ekor ular ini, menahan hatinya agar jangan sampai ia menjerit kengerian. Sementara itu, puluhan ekor ular lainnya yang mengurung tempat itu ikut pula bergerak-gerak seperti menari, akan tetapi mereka tidak berani mendekati tiga ekor ular sendok itu.

   "Heh heh heh, Ceng Sui Cin, engkau baru tahu bahwa aku ini adalah ratu ular, ya? Aku dapat memerintah ular-ular ini menurut sekehendakku. Dan pertama-tama, aku akan memerintahkan mereka itu menyusup ke dalam pekaianmu, menelusuri seluruh tubuhmu sampai kau hampir mati karena geli dan ngeri. Kemudian, aku akan memerintahkan mereka itu merobek-robek semua pakaianmu sampai kau bertelanjang bulat. Nah, sesudah itu mulailah pesta untuk mereka. Gigit sana-sini, betis, paha, lengan dan bagian-bagian yang tidak berbahaya, menjilati darah dari luka-luka itu. Kemudian mukamu, pipimu yang halus itu, hidungmu yang mancung, bibirmu yang merah, akan digerogoti perlahan-perlahan. Engkau takkan mudah mati, akan kusiksa dulu sampai puas, sebagai hukuman ayahmu, Si Pendekar Sadis, ha ha ha!"

   Cambuknya meledak-ledak dan tiga ekor ular itu mulai nampak beringas. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara suling yang ditiup dengan indah dan kuatnya, menyelinap suara itu di antara ledakan-ledakan cambuk dan akibatnya sungguh aneh. Ular-ular yang mengelilingi tempat itu nampak gelisah dan ketakutan, lalu perlahan-lahan mereka meninggalkan tempat itu! Kini hanya tinggal tiga ekor ular sendok itu saja yang masih bertahan, menari-nari di depan Sui Cin. Akan tetapi suara suling terdengar semakin kuat dan tiga ekor ular itu kelihatan ragu-ragu dan bingung, kacau oleh suara ledakan-ledakan cambuk yang kini bercampur suara suling yang agaknya lebih terasa dan lebih mempengeruhi mereka!

   "Eh, keparat jahanam kurang ajar!"

   Nenek Kiu-bwe Coali memaki dan menoleh.

   Matanya terbelalak marah ketika ia melihat seorang pemuda datang sambil meniup suling, sikapnya tenang dan gagah. Sui Cin juga melihat datangnya pemuda ini dan iapun merasa girang karena ia mengerti bahwa suara suling pemuda itu telah mengusir ular-ular yang tadinya mengurung tempat itu, dan kini suara suling itu membuat tiga ekor ular itu menjadi bimbang dan bingung, seperti kehilangan pegangan. Ia dapat menduga bahwa suara suling itu menghancurkan pengaruh nenek iblis terhadap ular-ularnya dan timbullah harapannya walaupun ia sendiri masih lemas dan tidak mampu meloloskan diri dari belenggu. Pemuda yang mampu meniup suling seperti itu tentu memiliki kepandaian tinggi, ia menduga. Sementara itu, Kiu-bwe Coali yang menengok dan memandang pemuda itu, segera mengenalnya dan wajahnya agak berubah, kemarahannya memuncak.

   "Kau..."

   Keparat, kau putera ketua Pek-Liong-Pang di Lembah Naga itu?"

   Nenek itu menggerakkan cambuknya dan mengeluarkan suara mendesis. Karena semua ularnya sudah pergi terusir oleh suara suling tadi, kini tinggal tiga ekor ular sendok yang hendak dikerahkan untuk menyerang pemuda itu. Akan tetapi, dengan tenang pemuda itu melangkah maju ketika tiga ekor ular sendok menerjangnya dengan semburan-semburan uap hitam dari mulut mereka. Tiba-tiba pemuda yang bukan lain adalah Cia Sun itu, meniup sulingnya dengan kuat.

   Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Terdengar suara melengking yang membuat Sui Cin sendiri terpaksa harus berusaha mematikan rasa menulikan telinga karena suara melengking itu amat tinggi dan dahsyat, menusuk telinga menikam jantung. Akan tetapi agaknya suara itu memang sengaja ditujukan untuk menyerang atau menyambut tiga ekor ular itu. Tiga ekor ular yang sudah mengangkat kepala tinggi-tinggi itu, tiba-tiba mendengar suara ini lalu terkulai dan berkelojotan seperti dalam keadaan kesakitan hebat. Cia Sun melangkah maju dan tiga kali kakinya menginjak, pecahlah kepala tiga ekor ular itu. Tubuh mereka masih berkelojotan, akan tetapi karena kepala sudah hancur terinjak kaki yang kuat itu, mereka berkelojotan dalam keadaan sekarat!

   Dapat dibayangkan betapa marahnya Kiu-bwe Coali melihat tiga ekor ular andalannya itu mati. Sambil mengeluarkan suara melengking ia menerjang ke depan, cambuknya meledak-ledak di atas kepalanya dan tangan kirinya yang berkuku panjang itupun dipergunakan untuk menyerang dengan cakarancakaran dan cengkeraman-cengkeraman maut karena kuku-kuku panjang tangan kiri itu mengandung racun. Akan tetapi, dengan amat tenangnya, Cia Sun mengelak mundur dua langkah kemudian sekali tangan kirinya bergerak mendorong ke depan, angin pukulan dahsyat menyambar bagaikan hawa berapi, panas dan kuat. Kiu-bwe Coali menyambut dengan cambuk dan tangan kirinya dan akibatnya, ia terpental ke belakang!

   "Ehhh..."

   Nenek itu berseru kaget bukan main. Kalau tadi ia dikejutkan oleh kecepatan gerakan Sui Cin, kini ia dikejutkan pula oleh kekuatan sinkang yang menyambar keluar dari tangan kiri pemuda ini.

   Ia pernah melawan pemuda ini, bahkan pernah ia hampir merobohkan Cia Sun dengan bantuan ular-ularnya beberapa tahun yang lalu. Akan tetapi, pada waktu itu, biarpun pemuda ini sudah amat lihai, tenaga sinkangnya tidaklah sehebat sekarang ini. Tentu saja nenek ini tidak tahu bahwa Cia Sun tiga tahun yang lalu tidak dapat disamakan dengan Cia Sun sekarang. Seperti kita ketahui, pemuda ini diajak pergi oleh seorang kakek sakti yang hanya memperkenalkan diri sebagai Gobi Sanjin dan di antara puncak-puncak Pegunungan, Gobisan yang sunyi, pemuda ini telah digembleng dengan hebat. Setelah oleh gurunya yang baru itu dia dinyatakan sudah cukup menerima ilmu, gurunya menyuruhnya pergi ke bekas benteng Jeng-hwa-pang di luar Tembok Besar, tidak begitu jauh dari Lembah Naga, untuk menghadiri pertemuan para pendekar.

   "Dunia sudah berubah,"

   Demikian Gobi Sanjin yang gendut itu berkata.

   "para datuk sesat, seperti iblis-iblis, keluar dari neraka dan siap mengacau dunia. Sudah menjadi kewajiban kita untuk menentang mereka itu dan para pendekar sudah bersepakat untuk mengadakan pertemuan di tempat itu. Pergilah ke sana. Akan tetapi jangan lupa, engkau mempunyai semacam tugas lain. Jika engkau bertemu dengan seorang murid dari Ciu-sian Lokai, nah, dia itu lawanmu. Bukan musuh, melainkan lawan dan antara aku dan Ciu-sian Lokai sudah saling berjanji untuk mengadu murid kami masing-masing. Engkau tidak boleh kalah karena hal itu akan membuatku malu."

   Tugas pertama diterima dengan gembira oleh Cia Sun, akan tetapi tugas kedua ini sebenarnya tidak berkenan di dalam hatinya.

   Bagaimana dia harus melawan dan berkelahi dengan seorang yang tidak dikenalnya, tanpa sebab, bahkan bukan musuh, melainkan hanya karena perjanjian antara guru mereka untuk saling mengadu murid-murid mereka? Seperti ayam aduan atau jengkerik saja. Akan tetapi, perintah guru tidak mungkin diabaikan dan diapun menyanggupi. Demikianlah, pemuda dari Lembah Naga ini meninggalkan gurunya dan dalam perjalanan menuju ke bekas benteng Jeng-hwa-pang, di daerah Mongol ini, secara kebetulan saja dia melihat seorang gadis yang akan dikorbankan kepada ular-ular berbisa oleh seorang nenek mengerikan. Cia Sun segera mengenal nenek itu sebagai Kiu-bwe Coali, seorang di antara Cap-sha-kui, akan tetapi hampir dia berteriak ketika dia mengenal pula Sui Cin! Gadis yang dibelenggu dan menghadapi ancaman mengerikan dari ular-ular sendok itu adalah Sui Cin puteri Pendekar Sadis yang selama ini tidak pernah dia lupakan.

   Akan tetapi, Cia Sun adalah seorang pemuda yang tenang. Melihat keadaan Sui Cin, dia tidak tergesa-gesa bertindak sembrono untuk menyelematkannya dengan kekerasan begitu saja. Dia tahu betapa lihainya nenek itu dan tiga ekor ular sendok itu sudah siap mematuk, apalagi tempat itu dikelilingi oleh puluhan ekor ular. Maka, sambil bersembunyi dia lalu meniup sulingnya yang selalu dibawanya, dan mengerahkan khikang untuk mengusir ular-ular itu. Barulah dia muncul dan dia masih terus menggunakan sulingnya untuk mengalihkan perhatian tiga ekor ular sendok itu dari Sui Cin kepada dirinya. Setelah ular-ular itu menyerangnya, barulah dia turun tangan membunuh binatang-binatang itu.

   Melihat betapa nenek iblis itu menyerangnya dengan ganas, Cia Sun tidak tinggal diam menahan diri begitu saja. Nenek ini adalah seorang di antara Cap-sha-kui, datuk-datuk sesat yang amat jahat dan karenanya haruslah dibasmi. Dulu, pernah dia hampir celaka diserang nenek ini bersama pengeroyokan ular-ularnya dan pada waktu itu untung muncul Sui Cin yang membantunya. Kini, Sui Cin yang menjadi korban kejahatan nenek itu, dan untung dia yang tanpa disengaja tiba di tempat itu sehingga dapat menyelamatkan Sui Cin. Yang membuat dia terheran-heran adalah melihat Sui Cin kelihatan begitu lemah, tidak mampu membebaskan diri dari belenggu yang tidak begitu kuat itu. Apa yang telah terjadi dengan gadis itu? Dan mengapa Sui Cin memandangnya dengan sinar mata keheranan seperti itu, sama sekali tidak kelihatan bahwa gadis itu mengenalnya? Apakah Sui Cin sudah pangling kepadanya?

   Setelah mengelak dari sambaran cambuk ekor sembilan, Cia Sun membalas dengan serangan tamparan tangan kirinya, disusul totokan suling yang tadi dipergunakannya untuk mengusir ular. Nenek itu mengelak dan menggerakkan lagi cambuknya yang mengeluarkan suara meledak-ledak. Terjadilah perkelahian yang seru, serangmenyerang dengan dahsyatnya. Akan tetapi, segera nenek itu mendapatkan kenyataan pahit bahwa lawannya ini luar biasa kuatnya, terlalu tangguh baginya. Semua serangannya gagal, bukan hanya gagal, akan tetapi setiap kali benturan tenaga, ia tentu terdorong dan terhuyung. Hatinya mulai merasa jerih. Akan tetapi Cia Sun yang mengambil keputusan untuk membunuh nenek jahat ini, mendesak terus dengan pukulan-pukulannya yang ampuh.

   Pada suatu saat nenek itu terdesak dan terhuyung ke belakang. Dengan gerakan aneh tangan kanan Cia Sun menyambar ke arah ubun-ubun kepala nenek itu dengan cengkeraman maut yang dahsyat. Nenek itu terkejut, cepat menggerakkan cambuknya menangkis dan langsung melibat lengan kanan lawan, kemudian kepalanya bergerak dan rambutnya yang riap-riapan itu menyambar ke arah leher Cia Sun untuk menotok jalan darah maut. Pemuda itu tidak menjadi gugup, tangan kirinya menyambar dan menangkap bulu-bulu cambuk, kemudian kaki kiri Cia Sun melayang ke depan mengirim tendangan yang mengarah leher lawan. Hebat sekali tendangan ini dan dilakukan selagi kedua tangan mereka tidak bebas. Kiu-bwe Coali terkejut dan cepat mengelak dengan miringkan kepala, akan tetapi tetap saja ujung sepatu kaki Cia Sun mengenai pundaknya.

   "Dukkk..."

   Tubuh nenek itu terpelanting dan ujung bulu cambuknya rontok karena sebagian putus oleh cengkeraman tangan Cia Sun, sedangkan rambut kepalanya juga banyak yang jebol. Ia menggulingkan tubuh untuk menghindarkan serangah susulan, akan tetapi pemuda itu tidak mau mendesak lawan yang sudah roboh, hanya bersiap-siap melanjutkan perkelahian itu. Kiu-bwe Coali tidak terluka berat, akan tetapi ia maklum bahwa kalau dilanjutkan, tentu akhirnya ia akan kalah karena pemuda itu sungguh lihai bukan main. Ia khawatir bahwa kalau ia melarikan diri, pemuda itu tentu akan mengejarnya, maka iapun mempergunakan akal. Sambil menudingkan cambuknya yang sudah bodol itu ke arah Sui Cin yang masih terbelenggu, ia berkata,

   "Kau membelanya? Biarlah ia mampus sekarang juga!"

   Dari tengah gagang cambukhya meluncur Jarum-jarum halus yang digerakkan oleh alat di gagang cambuk. Cia Sun terkejut bukan main. Tangannya cepat membuat gerakan memukul ke arah depan gadis itu dan Jarum-jarum halus beracun itupun runtuh semua! Kiu-bwe Coali semakin kaget. Pemuda ini benar-benar hebat, pikirnya dan hatinya menjadi semakin gentar. Kini cambuknya menuding ke arah pemuda itu dan kembali ada belasan batang jarum halus menyambar ke arah Cia Sun.

   "Nenek iblis jahat!"

   Cia Sun membentak dan begitu ia mengebutkan lengan bajunya, Jarum-jarum itu bukan hanya runtuh, melainkan membalik ke arah nenek itu! Kiu-bwe Coali mengebutkan cambuknya dan Jarum-jarum itupun runtuh.

   "Heh heh heh, orang muda, kau boleh juga. Akan tetapi temanmu itu jangan harap akan dapat hidup lagi, ia telah keracunan. Lihat, wajahnya sudah mulai kehilangan cahayanya!"

   Cia Sun terkejut dan menoleh. Kesempatan ini dipergunakan oleh Kiu-bwe Coali untuk meloncat dan melarikan diri.

   Cia Sun tiduk mau mengejar karena dia mengkhawatirkan keadaan Sui Cin. Dia tahu bahwa nenek itu tidak membohong. Keadaan Sui Cin memang tidak wajar. Gadis yang dahulu dia kenal sebagai seorang pendekar wanita yang hebat, puteri tunggal Pendekar Sadis, kini demikian lemah dan tidak berdaya sehingga terbelenggu seperti itupun tidak mampu membebaskan diri. Tentu gadis itu telah terluka, atau keracunan seperti yang dikatakan nenek itu. Diapun cepat meloncat dekat dan melepaskan ikatan kaki tangan dan pinggang gadis itu. Sejak tadi Sui Cin menjadi saksi perkelahian itu dan iapun merasa kagum kepada pemuda berpakaian serba putih sederhana yang lihai itu. Setelah semua belenggu yang mengikat kaki tangannya putus dan ia menjadi bebas, ia segera merangkap kedua tangan depan dada memberi hormat dan berkata,

   "Terima kasih, engkau telah menyelamatkan aku dari tangan nenek iblis itu."

   Cia Sun membalas penghormatan itu sambil tersenyum.

   "Adik Sui Cin, kenapa engkau begini sungkan? Di antara kita mana ada sebutan pertolongan?"

   Sui Cin memandang dengan mata terbelalak dan jelas nampak oleh Cia Sun betapa gadis ini sekarang menjadi semakin cantik menarik.

   "Saudara yang gagah perkasa, apa maksudmu...?"

   Kini Cia Sun yang melongo.

   "Cin-moi... lupakah engkau kepadaku? Aku Cia Sun..."

   Akan tetapi gadis itu memandang bingung.

   "Cia Sun...? Aku... aku tidak mengenal nama itu..."

   "Ehh...? Bagaimana ini? Bukankah engkau... adik Ceng Sui Cin?"

   Sui Cin menggeleng kepala dan mengerutkan alisnya.

   "Aku tidak tahu... aku tidak tahu..."

   Cia Sun merasa khawatir sekali dan memandang tajam.

   "Apa maksudmu? Apakah engkau hendak mengatakan bahwa engkau bukan adik Ceng Sui Cin?"

   "Aku tidak tahu apakah namaku Ceng Sui Cin ataukah Ceng Bi Hwa..."

   "Apa pula ini? Bagaimana engkau tidak yakin akan nama sendiri?"

   "Aku tidak tahu, aku sudah lupa segalanya... dan nama Ceng Sui Cin atau Ceng Bi Hwa itupun kudengar dari nenek itu..."

   "Engkau adalah adik Ceng Sui Cin, tak salah lagi! Coba ingat-ingat baik-baik, aku adalah Cia Sun, dari Lembah Naga. Lupakah engkau kepada nama itu? Antara ayahmu dan ayahku terdapat hubungan yang amat erat... bukankah ayahmu adalah paman Ceng Thian Sin yang berjuluk Pendekar Sadis?"

   Dengan sedih Sui Cin menggeleng kepala.

   "Aku lupa semua, aku tidak tahu apa-apa, aku lupa siapa sebenarnya diriku. Aku hanya ingat bahwa aku terkena lemparan batu pada kepalaku, dan aku dikejarkejar seorang musuh lihai. Kemudian aku bertemu dengan nenek itu dan ia telah menipuku, memberi minum yang katanya obat mengembalikan ingatanku. Akan tetapi ternyata obat itu adalah racun, aku menjadi lemas dan dibelenggunya seperti tadi... dan ia mengaku bernama Kiu-bwe Coali, katanya ia adalah musuh besarku..."

   "Tentu saja! Ia adalah seorang di antara Cap-sha-kui yang jahat. Lupakah engkau?"

   "Aku tidak ingat lagi siapa itu Cap-sha-kui..."

   "Aih, Cin-moi. Aku pernah hampir celaka di tangan nenek ini beberapa tahun yang lalu, dan engkau lah yang muncul menolongku. Apakah engkau tidak ingat?"

   Sui Cin menggeleng kepalanya.

   "Aku lupa segala... kepalaku pening, ahh... batu itu menghantam kepalaku amat kerasnya..."

   Gadis itu duduk kembali dan memejamkan mata untuk berusaha mengumpulkan tenaganya, akan tetapi ia mengeluh. Tenaganya hilang.

   "Aku lemas sekali, seluruh tenagaku lenyap... ini tentu karena racun yang diberikan nenek iblis itu kepadaku..."

   "Cin-moi, kalau begitu aku mengerti sekarang. Engkau tentu telah kehilangan ingatanmu, entah mengapa, mungkin seperti yang kau ingat itu, terkena lemparan batu sehingga otokmu terguncang dan ingatanmu hilang atau kabur. Kemudian, dalam keadaan hilang ingatan itu engkau bertemu dengan Kiu-bwe Coali dan nenek iblis yang curang itu telah menipumu, menggunakan keadaan dirimu yang lupa ingatan, kemudian meracunimu. Engkau keracunan, Cin-moi. Dan inilah yang harus lebih dahulu disembuhkan. Mari kubantu engkau..."

   Cia Sun lalu duduk bersila di belakang Sui Cin, akan tetapi gadis itu meloncat bangun dan memandang dengan sinar mata meragu.

   "Adikku yang baik, apakah engkau tidak percaya kepadaku?"

   "Aku tidak kenal denganmu..."

   "Cin-moi, dalam keadaan hilang ingatan, aku tidak merasa heran kalau engkau tidak lagi mengenal aku, bahkan namamu sendiripun engkau lupa, juga siapa orang tuamu. Akan tetapi, biarpun aku sekarang menjadi seorang kenalan baru, apakah engkau tetap tidak percaya kepadaku setelah tadi melihat betapa aku mati-matian membantumu dari ancaman nenek iblis itu?"

   Sui Cin boleh jadi kehilangan ingatannya tentang mesa lalu, akan tetapi ia tidak kehilangen kegagahan dan keadilannya. Ia mengangguk.

   "Baiklah, aku yang salah. Lalu, apa yang hendak kau lakukan dalam usahamu mengobatiku?"

   "Aku tidak tahu racun apa yang diminumkan nenek itu kepadamu, Cin-moi, karena itu tentu saja akupun tidak tahu apa obat penawarnya. Akan tetapi setidaknya, dengan pengerahan sinkang, barangkali aku akan dapat memulihkan tenagamu, atau setidaknya aku akan dapat mencegah racun itu menjalar dan membahayakan keselamatan nyawamu."

   Kembali Sui Cin mengangguk.

   "Baiklah, saudara..."

   "Cin-moi, dahulu engkau selalu menyebut twako kepadaku, dan namaku Cia Sun..."

   Pemuda itu berkata halus.

   "Baik, Sun-twako, silakan dan sebelumnya aku menghaturkan terima kasih."

   Gadis itu duduk bersila kembali. Cia Sun duduk di belakangnya dan menempelkan kedua telapak tangannya di punggung gadis itu. Segera Sui Cin merasa betapa ada hawa panas menjalar ke dalam tubuhnya melalui telapak kedua tangan itu yang menempel punggung dan ia bergidik. Ia tahu bahwa pemuda itu sungguh lihai, akan tetapi mengerti juga bahwa nyawanya seolah-olah berada di telapak tangan pemuda itu. Ia menyerah dengan ikhlas dan memejamkan kedua matanya.

   Kiu-bwe Coali lari sambil memaki-maki.

   "Keparat! Anjing monyet tikus sialan!"

   Ia merasa betapa nasibnya amatlah buruknya. Sudah baik-baik bertemu dengan puteri Pendekar Sadis, malah sudah berhasil ia meringkus tanpa banyak susah dan selagi ia menikmati kepuasan hatinya menyiksa gadis itu sebelum membunuhnya, tahu-tahu muncul pemuda lihai itu, putera ketua Pek-Liong-Pang dari Lembah Naga! Dan nyaris ia celaka, mungkin tewas di tangan pemuda itu! Hanya dengan susah payah dan berkat kecerdikannya ia mampu lolos dari ancaman maut, walaupun cambuk ekor sembilan dan rambutnya rontok dan bodol!

   "Sialan..."

   Gerutunya. Mungkin ia kurang perhitungan ketika melakukan perjalanan, keliru memilih hari baik!

   Memang menggelikan sekali ulah nenek iblis itu. Akan tetapi, kalau kita mau membuka mata melihat kenyataan hidup ini, akan nampaklah oleh kita bahwa kenyataan hidup sehari-hari di antara kita tidaklah banyak bedanya dengan sikap nenek Kiu-bwe Coali itu. Kitapun sudah terbiasa sejak kecil untuk menggantungkan diri pada nasib! Kiu-bwe Coali bersungut-sungut dan marah-marah, menyalahkan nasibnya. Padahal semua kegagalan yang menimpa dirinya bukan lain merupakan buah yang dipetik dari pohon yang ditanamnya sendiri! Ia bersungut-sungut dan karena ia berjalan cepat sambil melamun, hampir saja ia menabrak seorang yang sedang berjalan perlahan dari depan. Orang itu menyerongkan langkah, memiringkan tubuh sehingga tabrakan terhindar. Kiu-bwe Coali hanya merasakan angin berseliwer halus ketika orang itu lewat di sampingnya dan barulah ia sadar bahwa hampir saja ia bertubrukan dengan orang lain.

   Hatinya yang sedang murung itu menjadi panas dan marah, apalagi ketika ia mengangkat muka dan melihat bahwa yang hampir bertubrukan dengannya itu juga seorang nenek yang pakaiannya indah dan bersih. Nenek inipun sudah tua, tentu sudah tujuh puluh tahun lebih, malah lebih tua dari nenek Kiu-bwe Coali. Akan tetapi jelas nampak perbedaan antara kedua orang nenek itu. Kalau Kiu-bwe Coali berwajah buruk sekali, sebaliknya nenek ini menunjukkan bahwa di waktu mudanya ia tentu seorang wanita yang amat cantik. Akan tetapi bukan kecantikan seorang wanita Han, melainkan kecantikan asing, dengan matanya yang lebar, hidungnya yang terlalu mancung dan dagunya yang panjang meruncing itu. Juga dandanannya jauh berbeda dengan wanita Han, bahkan juga berbeda dengan pakaian wanita-wanita Mongol pada umumnya. Rambutnya yang sudah putih itu dikuncir dua, bukan dikuncir melainkan dibagi dua dan diikat dengan kain lebar.

   

Pendekar Sadis Eps 42 Pendekar Sadis Eps 40 Pendekar Sadis Eps 14

Cari Blog Ini