Pendekar Sadis 14
Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo Bagian 14
"Saya masih tetap belum mengerti, paman. Bukankah dengan tindakan kita yang menentang kaum penjahat, berarti kita berusaha untuk membuat dunia ini tenteram dan melenyapkan semua bentuk kejahatan agar rakyat dapat hidup dengan tenang dan makmur?"
"Kejahatan memang dapat ditundukkan oleh kekerasaan, akan tetapi penundukan itu hanya sementara karena yang tunduk oleh paksaan hanyalah orang-orang yang menyimpan dendam dan sakit hati. Buktinya, kami dahulu berhasil menundukkan majikan-majikan Padang Bangkai yang dianggap jahat, bahkan berhasil membunuh mereka. Akan tetapi apakah hal itu berarti kami berhasil menghentikan kejahatan? Bahkan yang jelas, keturunan mereka mendendam kepada kami dan sekarang buktinya mereka itu, agaknya setelah merasa kuat, datang untuk menuntut balas. Kekerasan selalu menghasilkan kekerasan lain! Kebencian lain. Perdemalan tidak mungkin diciptakan oleh peperangan! Kalau toh dapat, itu hanya karena satu fihak kalah dan terpaksa tunduk, namun dendam bernyala di hati yang kalah dan setiap ada kesempatan, tentu mereka akan menuntut balas dan damai macam itu hanya sementara saja."
Baru sekarang ini Cia Kong Liang mendengar hal seperti itu, maka dia merasa bingung sekali dan akhirnya dia bertanya.
"Habis, kalau begitu, apakah semua orang jahat itu harus didiamkan saja dan kita kaum pendekar tidak harus menentang mereka? Lalu kalau begitu, dengan apakah kejahatan dapat dihilangkan dari dunia ini, paman?"
Yap Kun Liong tersenyum.
"Jangan tanya kepadaku, aku sendiri juga tidak tahu, Kong Liang. Agaknya hanyalah penyadaran lewat batin, agaknya hanyalah cinta kasih saja yang akan dapat melenyapkan kejahatan. Yang jelas, kalau menggunakan pedang, melalui darah dan pembunuhan, rasanya tidak mungkin kejahatan akan lenyap dari permukaan bumi ini." Kong Liang tidak berani membantah lagi, akan tetapi di dalam hatinya dia merasa tidak setuju sama sekali.
"Habis, apakah yang harus kita lakukan pada besok pagi-pagi kalau mereka itu datang dan hendak membunuh paman dan bibi berdua?"
Akhirnya dia bertanya dengan suara mengandung kekhawatiran.
"Jangan engkau sembarangan turun tangan, Kong Liang. Biarkan aku seorang menghadapi mereka. Aku ingin mendamaikan urusan ini. Akan kuhadapi dengan kelembutan agar mereka itu sadar dan tidak melanjutkan dendam permusuhan yang tiada gunanya ini."
"Hemm, kaum sesat yang jahat itu mana mau tahu tentang damai? Bagaimana kalau mereka itu berkeras dan hendak membunuh kita? Apakah kita akan diam saja?"
Cia Giok Keng bertanya penasaran.
"Tenanglah, biarkan aku menghadapi mereka. Kita lihat saja narti bagaimana perkembangannya. Aku tidak percaya bahwa mereka tidak akan mau mendengarkan kata-kata yang baik."
Karena Yap Kun Liong berkeras dengan kehendaknya untuk menghadapi fihak musuh dengan jalan damai, akhirnya isterinyapun tidak mau membantah dan mereka lalu membicarakan hal yang mengenai keadaan fihak kedua keluarga dan bercakap-cakap dengan gembira. Kesehatan Cia Giok Keng agaknya pulih kembali dengan kedatangan keponakannya itu. Memang sesungguhnyalah, dia merasa gembira sekali dengan kedatangan Cia Kong Liang, bukan hanya gembira karena memperoleh kunjungan keponakannya yang disayangnya itu, akan tetapi juga diam-diam hatinya lega karena dia maklum bahwa pemuda itu merupakan seorang pemuda yang sakti dan telah mewarisi kepandaian adiknya yang menjadi ketua Cin-ling-pai,
Maka tentu saja dia dapat mengandalkan bantuan Kong Liang kalau musuh yang datang itu terlalu kuat. Memang dia amat percaya akan kesaktian suaminya, Yap Kun Liong, akan tetapi suaminya, juga dia sendiri, sudah amat tua dan sudah belasan tahun lebih tidak pernah berkelahi. Malam itu Yap Kun Liong tidur dengan nyenyak. Pendekar tua ini seolah-olah sudah melupakan ancaman dalam surat itu. Akan tetapi tidak demikian dengan Cia Giok Keng. Nenek ini sukar sekali pulas karena perasaannya selalu membayangkan datangnya musuh-musuh yang tentu amat tangguh itu. Fihak musuh tentu bukanlah orang-orang tolol yang hendak mengantar nyawa. Kalau mereka sudah berani datang secara itu, yaitu dengan mengirim dulu peringatan, tentu mereka itu sudah merasa yakin akan kekuatan mereka sendiri.
Nenek ini tidak tahu bahwa keponakannya, Cia Kong Liang, malam itu beberapa kali bangun dan keluar dari kamar untuk meronda, memeriksa di sekitar pondok sunyi itu, kemudian lewat tengah malam, Kong Liang tidak tidur lagi melainkan duduk bersila untuk berjaga-jaga. Pada keetokan harinya, pagi-pagi sekali puncak Bwee-hoa-san diselimuti kabut. Pondok kecil tempat tinggal suami isteri tua itu juga terbungkus kabut. Hawa cukup dingin dan suasana amatlah sunyinya. Bahkan burung-burung agaknya malas untuk meninggalkan pohon karena kabut demikian tebalnya. Matahari juga masih jauh tenggelam di balik bukit di timur, akan tetapi cahayanya sudah mulai mengusir kegelapan malam sehingga kabut mulai nampak keputihan bergerak perlahan seperti sekumpulan domba malas yang digiring meninggalkan puncak.
"Kukuruyuuuuukkk...!"
Tiba-tiba keruyuk jago di dalam kandang di belakang pondok itu terdengar nyaring dan merdu. Keruyuk perlama yang bergema di seluruh permukaan puncak. Keruyuk pertama ini segera disambut oleh keruyuk ayam hutan yang pendek-pendek suaranya, namun yang nyaringnya melebihi suara ayam jago peliharaan penghuni pondok itu. Dan nun jauh di bawah puncak, terdengar keruyuk ayam yang lain lagi. Mulailah keruyuk ayam bersahut-sahutan, sebagai permulaan tanda bahwa sang malam telah mulai mengundurkan diri untuk memberi tempat kepada matahari.
"Kukuru... kokkk!"
Keruyuk itu terhenti di tengah-tengah. Cia Kong Liang membuka mata. Dia masih duduk bersamadhi. Dia dapat mendengar dengan jelas suara keruyuk yang putus di tengah-tengah tadi, mengerti bahwa hat itu tidak wajar. Ada sesuatu yang membuat ayam jantan itu menghentikan keruyuknya. Sesuatu yang tidak wajar dan mencurigakan sekali. Tiba-tiba terdengar gonggong anjing peliharaan pamannya, anjing kecil berbulu tebal. Akan tetapi, tiba-tiba gonggong itupun terhenti tiba-tiba dengan bunyi "kokk!"
Dan suasana menjadi sunyi bukan main.
Sunyi yang menyeramkan dan menegangkan, karena terhentinya bunyi keruyuk ayam jago dan anjing itu sungguh tidak wajar dan menjadi tanda bahwa pasti telah terjadi sesuatu yang menyeramkan. Dengan hati-hati sekali Cia Kong Liang lalu turun dari atas pembaringan, menyambar pedang Hong-cu-kiam, memakai pedang pemberian ayahnya itu sebagai sabuk pada pinggangnya, kemudian memakai sepatunya dan dengan hati-hati sekali dia membuka daun jendela. Dia tidak berani lancang meloncat keluar, melainkan dengan hati-hati dia naik ke ambang jendela, kemudian keluar dan berjingkat-jingkat menuju ke belakang melalui samping rumah, lalu bersembunyi di balik tiang di samping pondok. Cuaca masih remang-remang, akan tetapi dia dapat melihat bahwa ada beberapa buah benda hitam berserakan di pelataran belakang.
Ketika dia memandang dengan penuh perhatian, jantungnya berdebar tegang. Tidak salah lagi, benda-benda itu adalah bangkai beberapa ekor ayam dan seekor anjing! Dia mengepal tinju. Musuh-musuh pamannya telah datang! Dan, sesuai dengan isi surat, telah mulai melakukan pembunuhan-pembunuhan, mula-mula mereka membunuh ayam-ayam dalam kandang kemudian membunuh anjing yang agaknya dapat mencium kedatangan mereka tadi. Kong Liang merasa betapa jantungnya berdebar dan hatinya panas sekali. Sungguh kurang ajar musuh-musuh yang datang ini, pikirnya. Dia sudah ingin meloncat keluar dan menantang musuh-musuh itu ketika tiba-tiba dia melihat berkelebatnya orang dan kiranya pamannya, Yap Kun Liong, telah berada di situ, berdiri di tengah-tengah pekarangan itu dengan tegak.
"Yap Kun Liong telah berada di sini, yang mempunyai urusan dengan aku silakan datang!"
Terdengar pendekar tua itu berkata dengan suaranya yang halus dan tenang.
"Bagus sekali, orang she Yap telah siap menerima kematian!"
Terdengar suara wanita yang nyaring dan berturut-turut, Dari tiga penjuru nampak bayangan-bayangan berkelebatan cepat dan tahu-tahu di situ telah muncul empat orang!
Orang pertama yang muncul adalah seorang dara yang usianya masih muda, tidak lebih dari sembilan belas tahun, pakaiannya terbuat dari sutera yang halus namun potongannya ringkas sehingga mencetak tubuhnya yang langsing dan padat, rambutnya digelung dengan hiasan emas permata, di punggungnya tergantung sebatang pedang yang gagang dan sarungnya diukur indah, dihias ronce-ronce warna kuning, kedua lengannya memakai gelang emas. Seorang dara yang manis sekali dan diapun sama sekali tidak kelihatan seperti orang jahat karena selain manis diapun berwajah ramah penuh senyum, sungguhpun pada saat itu dia memandang kepada kakek Yap Kun Liong dengan sinar mata mengandung kemarahan dan kebencian.
Adapun tiga orang lainnya adalah laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun, ketiganya mengenakan pakaian serba putih seperti orang berkabung dan wajah mereka menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang kasar yang biasa hidup menghadapi kesulitan dan kekerasan. Yang termuda di antara mereka mempunyai tahi lalat besar di tepi hidungnya, seorang lagi berjenggot panjang sampai ke dada, sedangkan yang tertua kehilangan sebelah telinga kirinya. Tiga orang kakek inipun masing-masing mempunyai sebatang pedang tergantung di punggung mereka. Kalau dara itu hanya tersenyum dan memandang tajam, tiga orang kakek itu tertawa girang dan orang tertua yang telinga kirinya lenyap itu berkata,
"Setelah Yap Kun Liong muncul, mana wanita bernama Cia Giok Keng itu? Suruh dia keluar sekalian menerima kematian!"
Yap Kun Liong sudah memesan kepada isterinya agar jangan keluar, akan tetapi dia merasa khawatir melihat sikap orang-orang yang datang ini. Kalau mereka mengeluarkan kata-kata kasar, dia tidak berani menentukan bahwa isterinya akan dapat bersabar untuk tidak keluar. Maka cepat dia lalu menjura kepada mereka.
"Cu-wi berempat telah datang,"
Katanya sambil melirik ke arah bangkai anjing dan beberapa ekor ayam itu.
"dan kalau aku tidak salah menduga, agaknya cu-wi yang mengirim surat tiga hari yang lalu. Apakah cu-wi masih ada hubungan dengan Padang Bangkai? Bukankah Padang Bangkai telah menjadi wilayah kediaman Pendekar Lembah Naga?"
Dia memancing, karena dia tahu bahwa kini yang mendiami Istana Lembah Naga adalah Cia Sin Liong dan Padang Bangkai merupakan bagian dari Lembah Naga.
"Yap Kun Liong, lupakah engkau kepada Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li? Mereka itu adalah kakek dan nenekku, aku So Cian Ling hari ini datang untuk membalas dendam kematian mereka! Suruh Cia Giok Keng keluar untuk menebus kematian nenekku seperti engkau, yang harus menebus kematian kakekku!"
Kata dara itu dengan suaranya yang nyaring.
"Dan kami bertiga adalah murid-murid mereka, kami bertigalah yang mewarisi ilmu-ilmu dari suhu Ang-bin Ciu-kwi dan subo Coa-tok Sian-li. Sayang ketika mereka terbunuh, kami baru berusia sepuluh tahun lebih, akan tetapi kami mewarisi ilmu-ilmu mereka dan setelah belajar selama puluhan tahun, hari ini kami datang untuk membalas dendam!"
Kata kakek yang telinga kirinya buntung. Yap Kun Liong mengangguk-angguk.
"Memang, tidak perlu kusangkal bahwa Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li yang ketika itu menjadi penghuni Padang Bangkai telah tewas di tangan kami. Akan tetapi tahukah kalian berempat mengapa mereka itu bertentangan dengan kami dan tewas dalam pertempuran? Karena mereka berdua itu membantu pemberontak, yaitu Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko dua orang iblis yang menjadi guru raja liar Sabutai. Antara mereka dan kami tidak ada urusan pribadi dan pada waktu itu mereka membantu pemberontak dan kami membantu pemerintah. Nah, dengan demikian, kematian mereka itu adalah kematian yang wajar, bukan karena urusan pribadi. Oleh karena itu, perlukah ada dendam sakit hati? Andaikata kami gugur ketika mengabdi kepada pemerintah, apakah keluarga kami juga akan mendendam dan sakit hati atas kematuan kami? Kami rasa tidak. Nah, terutama sekali engkau, nona! Engkau masih begini muda, perlukah engkau hidup menanggung dendam yang tidak ada artinya itu? Bukankah sebaiknya kalau nona sadar dan bahwa kakek dan nenek nona itu tewas karena akibat daripada perbuatan mereka sendiri dan bahkan dapat dijadikan contoh agar nona sendiri tidak sampai melakukan penyelewengan di dalam hidup?"
"Tua bangka she Yap! Tidak perlu kau membujuk-bujuk!"
Bentak kakek bertelinga satu.
"Hemm, pengecut kau ! Saking takut mati engkau hendak membujuk kami?"
Bentak kakek berjenggot panjang. Yap Kun Liong tetap tenang,
"Kalian tidak mengerti. Orang setua aku ini sudah tidak takut akan kematian lagi. Tanpa kalian bunuhpun kematian agaknya sudah dekat denganku dan sewaktu-waktu akan datang menjemputku dan aku sudah siap untuk itu. Aku hanya tidak ingin nona muda ini melakukan hal yang akan membuat dia menyesal kelak. Nona So, sekali lagi kuharap engkau suka merenungkan hal ini."
So Cian Ling, dara muda itu, mengerutkan alisnya dan diapun meragu. Sesungguhnya dia hanyalah cucu angkat saja dari Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li. Mereka, majikan Padang Bangkai itu, tidak mempunyai anak, hanya pernah memungut anak perempuan yang ketika terjadi keributan yang mengakibatkan mereka tewas itu dapat menyelamatkan diri. Anak perempuan ini akhirnya menikah dengan seorang anak buah dari See-thian-ong, yaitu yang kini menjadi datuk nomor satu di wilayah barat. Anak perempuan itu adalah ibu dari So Cian Ling! Dari ibunyalah dia tahu bahwa ibunya itu, anak angkat dari Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li yang tewas oleh pendekar-pendekar sakti Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng.
Tentu saja hal itu sama sekali tidak menimbulkan kesan di dalam hatinya. Akan tetapi ibunya sering kali mengingatkannya akan hal itu. Dan kebetulan sekali ayahnya adalah anak buah See-thian-ong dan pada suatu hari, See-thian-ong melihat dia dan memuji bakatnya, bahkan lalu dia diangkat menjadi murid oleh datuk yang sakti itu sampai dia memperoleh ilmu silat yang tinggi! Akan tetapi, biarpun demikian, dia tidak pernah mempunyai pikiran untuk mencari pembunuh kakek dan nenek angkatnya itu. Kemudian, muncullah tiga orang kakek itu. Mereka ini adalah pewaris dari kitab-kitab yang terisi ilmu-ilmu kepandaian dari mendiang Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li yang berhasil dilarikan oleh seorang anak buah Padang Bangkai ketika terjadi keributan.
Dan mereka bertiga inilah yang diam-diam merasa sakit hati dan mendendam. Setelah mempelajari ilmu-ilmu itu mereka lalu terkenal dengan julukan See-ouw Sam-ciu-ong (Tiga Raja Arak dari Telaga Barat). Akan tetapi pada suatu hari mereka bentrok dengan See-thian-ong dan mereka itu ketiganya ditundukkan dan menakluk! Di sinilah mereka bertemu dengan ibu So Cian Ling dan oleh bujukan-bujukan See-ouw Sam-ciu-ong itulah akhirnya So Cian Ling, dibujuk pula oleh ibunya, pergi dan membantu tiga orang kakek itu untuk menuntut balas kepada Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng yang telah ditemukan tempat tinggalnya oleh tiga orang kakek itu. Demikianlah sedikit keadaan So Cian Ling, dara murid See-thian-ong yang amat lihai itu.
"Nona So, kalau memang nona masih berkeras dan merasa bahwa nona benar untuk menuntut balas, nah, silakan. Aku orang tua Yap Kun Liong tidak takut mati dan daripada dalam usia setua ini harus menanam permusuhan lagi, biarlah nona membunuhku dan aku tidak akan melakukan perlawanan."
Mendengar kata-kata ini dan melihat sikap kakek yang berdiri tegak dengan agung itu, hati So Cian Ling sudah menjadi gentar dan tunduk. Tak mungkin dia dapat turun tangan membunuh seorang kakek yang begini agung sikapnya dan gagah perkasa. Dia sudah tunduk dan merasa kagum, bahkan mulai merasa malu atas sikapnya dan juga atas perbuatan tiga orang kakek itu membunuhi anjing dan ayam-ayam itu. So Cian Ling ragu-ragu dan bengong, tidak tahu apa yang harus dilakukan atau bahkan dikatakan. Akan tetapi, kakek ke tiga yang bertahi lalat di dekat hidungnya, agaknya sudah tidak dapat menahan kemarahannya lagi.
"Tua bangka pengecut!"
Teriaknya dan dia sudah menerjang ke depan dan memukulkan tangan kanannya yang terkepal ke dada Yap Kun Liong.
Tentu saja, sebagai seorang pendekar yang telah memiliki tingkat kepandaian ilmu silat yang amat tinggi, secara otomatis tenaga sin-kang dari pusar telah menjalar ke arah dada yang akan terpukul. Kakek ini amat lihai, bahkan dialah pewaris pertama dari ilmu mujijat Thi-khi-i-beng dari pendiri Cin-ling-pai sehingga kalau dia menghendaki, tentu saja dengan mudah dia dapat menangkis, mengelak atau juga menerima pukulan itu tanpa melukai dirinya. Akan tetapi, kakek ini sudah mengambil keputusan untuk menghindarkan kekerasan dan menghadapi kekerasan lawan dengan kelembutan dan usaha damai, maka diapun cepat menarik kembali tenaganya dan menerima pukulan itu dengan begitu saja, tanpa disertai tenaga sin-kang yang melindungi tubuhnya.
"Bukkk!"
Pukulan itu keras sekali dan karena tubuh tua itu tidak terlindung sin-kang, maka tubuh Yap Kun Liong terlempar sampai tiga meter jauhnya lalu terbanting ke atas tanah sampai bergulingan!
Sejak tadi, Cia Kong Liang sudah merasa marah bukan main dan hanya karena hormatnya kepada paman yang menjadi kakak ibunya itu maka dia bertahan diri dan hanya mengintai saja dengan muka berubah merah mendengar betapa kakek itu dihina orang. Akan tetapi ketika dia melihat paman tuanya itu dipukul sampai tunggang langgang dan dia tahu bahwa pamannya itu sama sekali tidak mau mengerahkan tenaga, dia terkejut bukan main. Pukulan itu bisa mematikan! Akan tetapi pada saat itu, dua orang kakek, yaitu yang bertahi lalat dan yang berjenggot panjang, kakek ke tiga dan ke dua, sudah berloncatan untuk menyerang Yap Kun Liong yang belum bangkit duduk. Dan pada saat itu nampak berkelebat bayangan dua orang yang tahu-tahu sudah tiba di depan Yap Kun Liong dan dua orang pemuda telah menangkis pukulan dua orang kakek itu.
"Plak! Plak!"
Dua orang kakek itu terkejut merasakan betapa kuatnya lengan yang menangkis serangan mereka terhadap Yap Kun Liong sehingga mereka itu cepat meloncat ke belakang sambil memandang dengan penuh selidik. Kiranya yang muncul dengan cepat dan tak terduga-duga itu adalah dua orang pemuda yang usianya belum ada dua puluh tahun, yang seorang bertubuh tegap berwajah gagah dengan sepasang mata yang penuh wibawa, sedangkan pemuda yang kedua amat tampan dan juga bersikap gagah.
"Hemm, tidakkah kalian malu, memukul orang tua yang sama sekali tidak mau melawan?"
Thian Sin, pemuda yang tampan itu, menudingkan telunjuknya ke arah muka kakek bertahi lalat di dekat hidung. Mereka itu adalah Han Tiong dan Thian Sin. Biarpun mereka itu berangkat belakangan, namun karena mereka berdua melakukan perjalanan cepat,
Maka pada pagi itu mereka telah dapat menyusul dan tiba di puncak Bwe-hoa-san dan kebetulan sekali mereka sempat melihat munculnya empat orang musuh yang datang untuk membunuh kakek dan nenek itu! Begitu melihat Yap Kun Liong dipukul, Han Tiong yang sudah pernah bertemu dengan mereka dan mengenal mereka, cepat meloncat disusul adiknya yang telah dibisiki bahwa kakek itu adalah kakek tirinya, atau ayah tiri ibunya, dan cepat mereka menangkis serangan ke dua itu. Sementara itu. dengan terheran-heran, Kong Liang juga meloncat keluar, bersama dengan Cia Giok Keng yang juga sudah meloncat keluar. Melihat munculnya mereka itu, dua orang kakek yang tadi ditangkis oleh Han Tiong dan Thian Sin, menjadi marah dan mereka sudah mencabut pedang masing-masing dan menyerang dua orang pemuda yang melindungi kakek yang hendak mereka bunuh itu.
"Bagus, kalian hendak menjadi pembuka jalan ke akhirat bagi kakek dan nenek itu? Mampuslah!"
Bentak kakek berjenggot panjang sambil menyerang Han Tiong. Pemuda ini cepat mengelak dan balas menyerang. Juga kakek bertahi lalat telah menusukkan pedangnya ke arah leher Thian Sin yang cepat mengelak.
"Manusia-manusia berwatak iblis!"
Thian Sin berteriak marah sekali dan membalas dengan dahsyat, memukul dengan Thian-te Sin-ciang.
Mula-mula, Yap Kun Liong yang sudah bangkit berdiri tanpa terluka, hanya merasa dadanya agak nyeri, juga isterinya dan Kong Liang, terkejut dan terheran melihat munculnya dua orang pemuda itu, kemudian mereka merasa khawatir sekali melihat betapa dua orang kakek yang memiliki ilmu kepandaian tinggi itu mencabut pedang dan menyerang dua orang pemuda itu untuk kemudian terheran-heran ketika melihat betapa pemuda-pemuda itu dapat mengelak dengan lincahnya dan ketika mereka mengenal pukulan Thian-te Sin-ciang! Ketika Yap Kun Liong melihat gerakan Han Tiong dan Thian Sin yang berdasarkan ilmu silat Thai-kek Sin-kun, wajahnya berseri-seri dan dia mulai mengenal Han Tiong.
"Eh, bukankah dia itu Han Tiong?"
Teriaknya sambil menuding ke arah Han Tiong yang masih diserang bertubi-tubi oleh lawannya.
"Benar! Dia itu Han Tiong putera Sin Liong!"
Kata Cia Giok Keng girang. Kong Liang juga teringat dan mengenal Han Tiong, maka diapun menjadi girang sekali melihat bahwa seorang di antara dua pemuda itu adalah keponakannya sendiri. Kini mereka bertiga menduga-duga siapa adanya pemuda tampan yang datang bersama Han Tiong. Melihat sepak terjangnya, ternyata dia lebih ganas, jauh bedanya dengan gerakan Han Tiong yang tenang sehingga Yap Kun Liong mengerutkan alisnya. Pemuda itu memiliki pukulan-pukulan yang amat ganas, pikirnya.
Akan tetapi jelas bahwa semua gerakannya menunjukkan bahwa dia adalah murid Cin-ling-pai yang sudah pandai sekali, yaitu memiliki ilmu-ilmu yang amat dikenalnya. Demikian pula dengan Cia Giok Keng dan Kong Liang yang menduga bahwa tentu pemuda itu setidaknya merupakan adik-adik seperguruan dari Han Tiong. Kini mereka hanya menonton dan tidak merasa khawatir lagi karena ternyata dua orang pemuda itu biarpun bertangan kosong, mampu menghadapi dua orang lawan yang berpedang. Hanya Kong Liang yang masih mengerutkan alisnya dengan khawatir. Keponakannya itu masih muda dan lawan itu bukan lawan yang ringan. Ingin dia maju membantu, akan tetapi dia tahu bahwa pamannya tidak akan menyukai itu, dan pula dia sendiripun pantang untuk melakukan pengeroyokan.
"Han Tiong, kau mundurlah dan biarkan pamanmu menghadapi iblis itu!"
Teriaknya.
"Biarlah, Paman Kong Liang, saya masih sanggup menandinginya!"
Jawab Han Tiong dan mendengar itu, tahulah Thian Sin bahwa pemuda gagah perkasa itu adalah Cia Kong Liang, putera ketua Cin-ling-pai. Diam-diam dia merasa tidak senang. Paman yang muda dan sebaya itu sombong, terlalu memandang rendah kepada Han Tiong.
Maka diapun lalu mengubah gerakannya dan tidak memberi kesempatan lagi kepada lawannya untuk mendesaknya dengan pedang. Dia bergerak lebih cepat daripada gerakan pedang lawan. Kakek bertahi lalat di dekat hidung itu terkejut bukan main dan dia menjadi bingung karena tubuh lawannya yang muda itu seolah-olah telah berubah menjadi beberapa orang banyaknya, saking cepatnya pemuda itu bergerak. Tak disangkanya sama sekali bahwa dia akan berhadapan dengan seorang pemuda selihai ini. Dan sebelum dia sempat memperkuat segi pertahanan, tiba-tiba sebuah tamparan yang amat keras mengenai pergelangan tangannya. Padahal pedangnya tadi menyambar dengan ganas dan ternyata pemuda itu menerima pedang itu dengan tangan telanjang, menangkis pedang dan melanjutkan dengan tamparan yang mengenai pergelangan tangannya.
"Plakk!"
Pedang itu terlepas dan terlempar sedangkan kakek itu berteriak kesakitan dan terhuyung ke belakang. Thian Sin meloncat dan mengirim pukulan maut dengan Thian-te Sin-ciang, akan tetapi tiba-tiba Han Tiong meloncat dan menangkis pukulannya.
"Sin-te, jangan bunuh orang!"
Kakak ini membentak dan pukulan Thian Sinpun ditarik kembali. Pada saat Han Tiong mencegah adiknya ini, kakek berjenggot panjang melihat kesempatan baik dan menusukkan pedangnya ke arah dada Han Tiong pada saat Han Tiong menangkis pukulan maut adiknya itu. Semua orang terkejut melihat ini, dan hampir saja Kong Liang bergerak meloncat, akan tetapi dengan gerakan indah sekali Han Tiong melempar diri ke bawah dan kakinya menyambar.
"Desss!"
Tendangan itu tepat mengenai tangan yang memegang pedang dan pedang itupun terlepas! Akan tetapi kakek berjenggot itu masih penasaran dan diapun menubruk tubuh Han Tiong yang masih rebah di atas tanah sehabis menendangnya tadi.
"Plakk!"
Tubuh kakek berjenggot panjang itu terpelanting dan kiranya dia telah kena ditampar oleh Thian Sin yang sudah marah sekali.
Hanya karena teringat akan larangan kakaknya, maka tamparan itupun ditujukan kepada pundak kiri kakek itu. Kakek itu bangkit sambil meringis karena tulang pundaknya yang kena tamparan itu patah-patah, sepertl juga kakek yang terpukul pergelangan tangannya itupun kini memegangi pergelangan tangannya yang patah tulangnya. Tentu saja kakek bertahi lalat dan kakek berjenggot panjang itu tidak mungkin dapat bertempm lagi setelah tulang pergelangan tangan dan tulang pundaknya patah. Kini kakek pertama yang kehilangan telinga kirinya itu maju. Wajahnya agak pucat karena dia sangat terkejut menyaksikan kekalahan dua orang sutenya. Berbeda dengan dua orang kakek pertama tadi, kakek yang buntung telinga kirinya ini bersikap hati-hati.
"Ah, kiranya di sini berkumpul orang-orang muda yang lihai,"
Katanya untuk menutupi rasa kaget dan kecewanya.
"Baiklah, dua orang dari kami telah kalah, akan tetapi bukan berarti bahwa kami semua telah menyerah. Masih ada kami berdua yang belum maju. Nah, siapakah yang akan menghadapi aku?"
Katanya sambil mencabut pedangnya. Dari cara dia mencabut pedang dan dari bunyi pedangnya, yang berdesing nyaring sekali ketika dicabut, jelaslah bahwa tingkat kepandaian kakek yang buntung telinga kirinya ini lebih tinggi dibandingkan dengan dua orang kakek tadi. Melihat ini, Kong Liang menjadi khawatir akan keselamatan keponakannya, maka dia sudah meloncat ke depan dan memegang lengan Han Tiong.
"Han Tiong, kau mundurlah. Kakek ini lawanku!"
"Paman,"
Kata Han Tiong yang memberi isyarat kepada Thian Sin untuk mundur pula. Karena keadaan, maka Han Tiong belum sempat banyak bicara dengan kakek dan nenek itu, hanya memberi hormat sambil berlutut yang diturut pula oleh Thian Sin yang juga belum sempat memperkenalkan diri. Yap Kun Liong memberi isyarat dengan tangan menyuruh mereka berdiri dan mereka semua kini menonton Kong Liang yang menghadapi kakek telinga buntung. Kakek itu menyilangkan pedangnya di depan dada sambil berkata.
"Orang muda, aku telah siap, engkau mulailah!"
Sebetulnya, dengan segala ilmu kepandaian yang telah diwarisinya dari ayah dan ibunya, biar dia menghadapi lawan berpedang ini dengan tangan kosong sekalipun belum tentu Kong Liang akan kalah. Akan tetapi pemuda ini tidak mau membuang waktu, maka diapun sudah mencabut pedang yang melingkar di pinggangnya dan nampaklah sinar keemasan berkelebat ketika Hong-cu-kiam telah berada di tangannya. Pedang tipis ini mengeluarkan sinar berkilauan dan melihat ini agak gentar jugalah kakek buntung telinganya itu.
Dan tanpa banyak cakap lagi, Kong Liang sudah menyerang dengan pedangnya dan begitu menggerakkan pedang, dia sudah mainkan Siang-bhok Kiam-sut yang hebat! Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut (Pedang Kayu Harum) merupakan ilmu pedang pusaka dari Cin-ling-pai, yaitu merupakan ilmu pedang asli dari pendiri Cin-ling-pai, pendekar sakti Cia Keng Hong dan tentu saja hanya keturunan pendekar itu saja yan mewarisi ilmu pedang ini. Cia Bun Houw mewarisinya dari Cia Keng Hong dan kini ilmu pedang itu diwariskan pula kepada Cia Kong Liang. Maka, begitu pemuda ini memainkan Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut, dengan menggunakan sebatang pedang pusaka seperti Hong-cu-kiam yang amat tipis dan ringan sehingga sesuai sekali kalau dipakai untuk mainkan Siang-bhok Kiam-sut,
Kakek yang buntung telinganya itu menjadi terkejut dan bingung sekali. Cia Kong Liang memang memiliki gerakan yang amat tangkas dan kuat, diapun tidak mau memberi hati kepada lawannya, maka begitu mereka bergebrak, dia sudah terus mendesak amat dahayatnya, sedikitpun tidak memberi kelonggaran sehingga dari jurus pertama, kakek yang buntung telinganya itu sama sekali tidak mampu balas menyerang, melainkan hanya menangkis, mengelak sambil main mundur terus. Han Tiong dan Thian Sin memandang kagum. Mereka juga banyak mempelajari ilmu silat, akan tetapi mereka tidak mengenal Siang-bhok Kiam-sut dan kini mereka memandang dengan kagum karena memang gerakan ilmu pedang ini selain amat indah juga aneh.
Dan memang hal ini disengaja oleh Kong Liang yang tahu dengan pasti bahwa Pendekar Lembah Naga, yaitu kakak tirinya, biarpun terkenal amat lihai, tidak pernah menerima pelajaran Siang-bhok Kiam-sut, dan oleh karena itu kedua pemuda itupun sudah pasti tidak akan mengenal Siang-bhok Kiam-sut! Kalau dia mainkan ilmu lain, besar kemungkinan dua orang pemuda itu akan mengenalnya dan hal itu tentu tidak menimbulkan kesan. Memang, biarpun dia sendiri mencoba untuk menutupinya, namun pada diri pemuda Cin-ling-pai ini terdapat suatu watak yang ingin dipuji dan dikagumi. Mungkin hal ini timbul karena dia merasa dimanjakan oleh kedua orang tuanya yang selain hanya mempunyai putera dia seorang, juga telah berusia agak lanjut ketika memperoleh dia sebagai keturunan tunggal.
Dan memang ilmu pedang itu luar biasa sekali, apalagi dimainkan dengan baiknya oleh Kong Liang. Biarpun kakek bertelinga buntung satu itu berusaha mati-matian, namun dia sama sekali tidak mampu membalas dan sampai hampir tiga puluh jurus dia selalu diserang dan didesak hebat. Tiba-tiba kakek itu menggerakkan tangan kirinya dan sinar kehijauan yang halus meluncur dari tangan kiri ke arah tubuh Kong Liang. Thian Sin dan Han Tiong terkejut bukan main karena mereka maklum apa artinya sinar-sinar lembut itu. Itu adalah jarum-jarum halus sebagai senjata rahasia kakek itu. Jarum-jarum ini amat berbahaya, disebut Coa-tok-ciang (Jarum Racun Ular) dan kalau jarum ini sampai mengenai kulit lawan,
Racun yang berada di ujung jarum itu dapat terbawa darah dan akibatnya seperti orang digigit ular berbisa saja. Bahkan Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng juga terkejut dan khawatir. Akan tetapi Cia Kong Liang tidak mengecewakan menjadi putera Cin-ling-pai. Begitu melihat menyambarnya sinar hijau, dia sudah memutar pedangnya dan meloncat ke belakang, kemudian berjungkir balik ke atas dan meluncur turun setelah semua jarum itu dapat ditangkis pedangnya dan lewat di bawah kakinya. Begitu tubuhnya meluncur, pedangnya sudah menyambar dengan kecepatan kilat ke arah ubun-ubun, kedua pundak, dada dan pusar lawan, demikian cepatnya bertubi-tubi sehingga seolah-olah yang menyerang itu bukan sebatang pedang, melainkan lima batang!
"Ihhh...!"
Kakek itu terkejut dan mengelak mundur sambil menangkis. Terdengar bunyi berdencingan
(Lanjut ke Jilid 14)
Pendekar Sadis (Seri ke 05 "
Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 14
ketika dua pedang itu bertemu dengan keras berkali-kali, akan tetapi tiba-tiba kakek itu berteriak kaget dan terjengkang! Sebatang jarum, jarumnya sendiri, telah menancap di dadanya sebelah kiri, menembus bajunya dan menancap sampai setengahnya lebih. Itulah sebatang jarum yang tadi dapat ditangkap oleh tangan kiri Kong Liang tanpa dapat dilihat oleh lawan dan kini jarum itu telah makan tuannya! Kong Liang menerjang terus, hendak mengirim tusukan maut, akan tetapi Yap Kun Liong berseru keras,
"Kong Liang, jangan...!"
Namun pedang telah digerakkan, tak mungkin dapat ditarik kembali dan pemuda itu hanya dapat memiringkan tangannya saja sehingga pedang yang tadi menusuk dada, kini menyeleweng dan hanya mengenai pangkal lengan. Namun luka yang didatangkan tusukan itu cukup lebar dan dalam, membuat kakek itu mengaduh dan meloncat mundur. Pangkal lengan kanannya luka, juga dadanya yang sebelah kiri terkena jarum beracun yang perlu harus cepat diobatinya, maka tentu saja dia tidak dapat melanjutkan pertandingan dan melangkah mundur dengan muka pucat.
"Hemm, sungguh sayang pada paman ini telah gagal. Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng, kuharap kalian suka maju sendiri agar perhitungan antara kita dapat dilunaskan sekarang juga. Kalian mati di tanganku atau aku yang akan tewas di tangan kalian seperti kakek dan nenekku."
Kata dara manis itu dan tidak nampak dia menggerakkan kakinya,
Akan tetapi tahu-tahu tubuhnya telah melayang ke tengah taman itu. Ini saja sudah menunjukkan betapa lihainya dara ini dan melihat betapa ketika tubuhnya melayang tadi kedua tangannya digerakkan seperti burung, menunjukkan bahwa dia adalah seorang yang ahli dalam ilmu gin-kang yang disebut Hui-heng-sut (Ilmu Lari Terbang) dan orang yang memiliki ilmu ini amat berbahaya karena gerakannya amat ringan seperti seekor burung saja. Dara itu berdiri tegak menghadap ke arah kakek dan nenek itu, sikapnya tenang dan tabah, nampak gagah sekali sehingga diam-diam Thian Sin merasa kagum bukan main. Hebat dara ini, pikirnya dengan jantung berdebar karena dia merasa tertarik sekali. Tanpa disadari dia sudah melangkah maju dan berkata,
"Biarlah aku menghadapi nona ini!"
"Sin-te, jangan lancang!"
Han Tiong mencela adiknya.
"Kalian mundurlah,"
Kata Kong Liang yang masih memegang pedang Hong-cu-kiam di tangannya, sambil melangkah maju.
"Nona ini agaknya memiliki kepandaian, biarlah aku yang mewakili paman dan bibi memberi hajaran kepadanya!"
Dara itu tadi sudah menatap wajah Thian Sin dan sejenak keduanya saling pandang, dan keduanya merasa tertarik. Dara itu mendapat kenyataan betapa tampan dan gagahnya pemuda yang pertama kali maju ini dan harus diakuinya bahwa belum pernah dia bertemu dengan seorang pemuda yang begini menarik hatinya. Akan tetapi, majunya Kong Liang dan teguran kakaknya itu membuat Thian Sin mundur kembali sungguhpun dia masih terus memandang wajah dara yang amat manis dan menarik hatinya itu. Dan dara itupun terpaksa kini memandang Kong Liang yang tadi telah merobohkan kakek telinga buntung. Tahulah dara ini bahwa dia berhadapan dengan lawan yang tangguh, akan tetapi sedikitpun dia tidak gentar.
"Pertandingan ini adalah untuk mengadu nyawa, oleh karena itu aku tidak ingin membunuh atau terbunuh oleh orang yang tidak kuketahui siapa. Kalau aku tidak salah, engkau adalah orang dari Cin-ling-pai, bukan?"
Dara itu bertanya.
"Aku telah memperkenalkan diriku. Aku bernama So Cian Ling, murid dari See-thian-ong. Akan tetapi aku datang sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan guruku, melainkan mewakili arwah nenek dan kakekku untuk membalas dendan kepada Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng."
Sikap dara itu sungguh tenang dan juga gagah, tidak seperti orang dari golongan jahat dan kasar.
Apalagi ketika dia mengaku bahwa dia adalah murid See-thian-ong, Yap Kun Liong dan isterinya, juga para pemuda itu terkejut sekali. Mereka sudah mendengar akan nama See-thian-ong yang dianggap sebagai datuk dunia bagian barat, yang setingkat dengan Pak-san-kui dari utara, atau dengan Tung-hai-sian dari timur dan Lam-sin dari selatan! Kiranya dara ini adalah murid datuk barat, maka dapat diduga bahwa dia tentu lihai sekali, jauh lebih lihai daripada tiga orang kakek yang telah kalah tadi. Diam-diam Cia Kong Liang juga terkejut, bukan hanya karena ternyata bahwa dara ini adalah murid See-thian-ong yang terkenal, akan tetapi juga betapa dara ini telah dapat menduga bahwa dia datang dari Cin-ling-pai hanya dengan melihat gerakan-gerakannya tadi. Maka diapun menjawab cepat.
"Memang benar, aku adalah putera ketua Cin-ling-pai dan keponakanku di sana itu adalah putera Pendekar Lembah Naga. Nah, kami semua telah berada di sini untuk melindungi paman dan bibiku yang sudah tua. Engkau sungguh sudah bosan hidup berani menentang paman dan bibiku."
Dara itu juga terkejut, bukan hanya mendengar bahwa pemuda di depannya ini adalah putera ketua Cin-ling-pai, akan tetapi juga mendengar bahwa pemuda-pemuda yang lain itu datang dari Lembah Naga, bahkan seorang di antaranya adalah putera Pendekar Lembah Naga. Tahulah dia bahwa dia benar-benar sial, akan tetapi karena sudah terlanjur, dia tidak akan undur lagi.
"Siapapun yang melindungi mereka, aku tidak peduli. Kematian kakek dan nenekku harus ditebus! Nah, majulah!"
Tantangnya dan sekali tangannya bergerak ke belakang dia telah mencabut pedangnya dan nampak sinar putih seperti perak. Ternyata pedangnya itupun merupakan sebatang pedang pusaka yang indah dan juga ampuh.
"Bagus, bersiaplah engkau!"
Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bentak Kong Liang dan sekali bergerak dia sudah mengirim serangan bertubi-tubi sampai lima kali beruntun! Akan tetapi, dengan tangkas sekali nona itu menangkis sampai lima kali dan balas menyerang, sekali serang juga sudah mengirim tusukan dan bacokan sampai lima kali berturut-turut yang semua telah dapat dielakkan dan ditangkis oleh Kong Liang. Ketika pemuda ini menangkis untuk ke lima kalinya, dia sengaja mengerahkan tenaganya.
"Trang...!"
Bunga api berpijar menyilaukan mata dan keduanya merasa betapa lengan tangan mereka tergetar hebat. Cepat mereka memeriksa pedang masing-masing, akan tetapi dengan hati lega mereka mendapat kenyataan bahwa pedang mereka tidak rusak. Pada saat itu, Yap Kun Liong sudah meloncat datang dan menengahi.
"Kong Liang, kau mundurlah dan biarkan aku sendiri menyelesalkan urusan pribadiku ini."
Mendengar ucapan pamannya ini, tentu saja Kong Liang cepat mundur dan menyimpan kembali pedangnya, memakainya sebagai ikat pinggang.
"Nona So, sungguh sedih sekali hatiku melihat bahwa urusan ini berlarut-larut. Aku tidak ingin membuat keluargaku terikat dengan urusan permusuhan yang tidak ada artinya ini. Nah, kalau memang benar-benar engkau mendendam atas kematian Ang-bin Ciu-kwi dan Coa-tok Sian-li, kau bunuhlah aku, dan aku tidak akan melawan sama sekali. Aku tidak menyesal bahwa dahulu aku menentang mereka, karena sesungguhnyalah bahwa mereka berdua itu adalah suami isteri yang amat jahat dan menyeleweng dalam kehidupan mereka! Aku melihat nona bukanlah orang seperti mereka itu, akan tetapi nona berkeras hendak membalas dendam kematian mereka. Nah, aku menyerahkan nyawaku kepadamu agar dendam ini dapat dihabiskan sampai di sini saja."
Melihat kakek yang penuh wibawa itu memasang dada dan siap menerima kematian, dara itu melangkah mundur dan mukanya berubah agak pucat. Dia memandang ragu-ragu dan melihat keadaan suami isteri tua yang gagah perkasa, apalagi tiga orang pemuda yang jelas merupakan pendekar-pendekar perkasa dan amat mengagumkan itu, dia sudah mulai dapat melihat bahwa agaknya tidak salah lagi bahwa permusuhan antara kakek dan nenek angkatnya bersama suami isteri pendekar ini tentu terjadi karena kesalahan kakek dan nenek angkatnya. Apalagi kalau mendengar penuturan Yap Kun Liong bahwa kematian itu terjadi dalam perang. Akhirnya dia membalikkan tubuhnya dan berkata kepada tiga orang kakek yang sudah terluka tadi.
"Sudahlah, mari kita pergi dari sini!"
"Tetapi... tetapi... dendam kita..."
Kakek yang buntung telinga kirinya membantah.
"Sudah, tidak ada urusan dendam lagi bagiku. Aku tidak mau lagi mendengar bujukan kalian!"
Kata So Cian Ling dan dia lalu menengok, memandang kepada Thian Sin lalu bibirnya membentuk senyum yang mewakili hatinya, dan sekali meloncat dia lenyap dari situ. Tiga orang kakek itu tentu saja sudah kehilangan nyalinya melihat dara itu tidak mau membantu mereka, dan tanpa pamit mereka itupun berlari pergi. Baru sekarang, setelah semua pengacau pergi, kakek dan nenek itu merasa gembira sekali. Yap Kun Liong lalu memandang Han Tiong dan berkata,
"Bocah nakal, mengapa kau datang tanpa memberi tahu? Mengagetkan saja! Dan kau sudah begini besar, dan gagah perkasa seperti ayahmu. Hebat sekali gerakan-gerakanmu tadi."
"Ah, saya masih banyak mengharapkan petunjuk dari locianpwe,"
Kata Han Tiong dengan sikap merendah, lalu memandang kepada Kong Liang sambil berkata.
"Paman Kong Liang, ilmu pedangmu tadi sungguh membuat aku kagum bukan main!"
Kong Liang tersenyum, diam-diam merasa bangga. Akan tetapi dia memandang kepada Thian Sin dan bertanya kepada Han Tiong.
"Siapakah temanmu ini, Han Tiong?"
"Ya, siapakah dia ini?"
Cia Giok Keng menyambung dan sejak tadi dia menatap wajah pemuda yang tampan itu. Ditanya begini, sebelum Han Tiong menjawab, Thian Sin sudah menjatuhkan diri di depan Cia Giok Keng sambil berkata.
"Nenek, cucumu yang bodoh mohon ampun bahwa baru sekarang dapat datang menghadap."
Tentu saja Cia Giok Keng menjadi kaget dan bingung, akan tetapi pada saat itu Han Tiong berkata dengan hati terharu,
"Dia ini adalah Ceng Thian Sin yang menjadi adik angkat saya dan menjadi murid ayah, dia adalah putera dari Paman Ceng Han Houw dan Bibi Lie Ciauw Si."
"Ehh...?"
Cia Giok Keng menjerit dan mengangkat bangkit pemuda itu, menatap wajahnya dan kemudian merangkulnya.
"Cucuku...! Ah, cucuku, tak kusangka bahwa aku akan dapat berjumpa dengan anak Ciauw Si..."
Suaranya mengandung isak.
"Cucuku, di manakah mereka? Mengapa ibumu tidak ikut datang bersamamu menengokku...?"
Ditanya tentang ibunya, tentu saja Thian Sin merasa seperti ditusuk jantungnya. Dia menunduk, menahan air matanya agar tidak keluar dari matanya yang terasa panas itu, kemudian dapat juga dia berkata lirih.
"Maafkan nek... mereka... ayah dan ibu telah tiada..."
Sepasang mata tua itu terbelalak, muka yang memang sudah agak pucat itu menjadi semakin pucat.
"Apa...? Bagaimana...?"
Dan nenek itu tentu sudah roboh kalau tidak dipeluk cucunya. Yap Kun Liong cepat menghampiri dan memondong tubuh isterinya yang pingsan, lalu berkata kepada tiga orang muda itu.
"Mari kita bicara di dalam..."
Keadaan menjadi menyedihkan ketika tiga orang pemuda itu mengikuti kakek yang memondong tubuh nenek yang pingsan itu memasuki pondok, setelah merebahkan Cia Giok Keng di atas dipan dan mengurut beberapa jalan darahnya, akhirnya nenek itu mengeluh dan membuka matanya. Akan tetapi begitu dia melihat Thian Sin duduk di dekat situ, diapun menangis dan teringat lagi.
"Ah, Ciauw Si... Ciauw Si anakku... mengapa engkau yang masih muda telah mati lebih dulu? Betapa buruk nasibmu, anakku..."
Thian Sin menggigit bibirnya dan menahan agar jangan ikut menangis mendengar neneknya itu menangis sambil meratap. Yap Kun Liong menghibur isterinya.
"Sudahlah, kematian akan datang kepada siapapun juga, muda maupun tua. Menyedihi si mati hanya melemahkan batin dan badan saja, dan tidak ada manfaatnya. Lebih baik kita mendengarkan Thian Sin menceritakan kematian ayah bundanya."
Cia Giok Keng menyusut air matanya lalu memandang kepada cucunya, menarik napas panjang untuk menenangkan hatinya yang tertekan,
"Cucuku, ceritakanlah bagaimana ibumu sampai tewas?"
Dengan lirih dan hati-hati Thian Sin lalu bercerita tentang pengeroyokan pasukan, baik pasukan dari Kerajaan Beng yang dibantu oleh pasukan dari Raja Agahai di utara, dan betapa dia sendiri oleh ibu dan ayahnya diungsikan sebelum malapetaka itu datang, mengungsi ke kuil pamannya, yaitu Hong San Hwesio Lie Seng dan belajar di bawah asuhan pamannya itu bersama Han Tiong, dan betapa kemudian dia ikut bersama kakak angkatnya itu dan mempelajari ilmu silat di Lembah Naga. Mendengar penuturan itu, Yap Kun Liong berkata,
"Hemm, segala macam perbuatan manusia tiada bedanya dengan menanam benih yang tentu akan menumbuhkan pohon yang berkembang dan berbuah. Bunga dan buahnya tidak akan lepas daripada sifat benih yang ditanam itu sendiri. Oleh karena itu, segala akibat takkan lepas daripada sebabnya dan kita tidak perlu menyesal. Ciauw Si terbawa oleh akibat daripada perbuatan suaminya, maka hal itupun tidak perlu disesalkan."
"Tapi, anakku adalah seorang wanita gagah. Tidak semestinya terbunuh demikian menyedihkan. Kematiannya tidak mungkin dapat didiamkan saja! Para pembunuhnya tidak dapat membedakan siapa salah siapa benar, dan para pembunuhnya itu harus dibalas!"
Yap Kun Liong memegang lengan isterinya.
"Tenang dan sabarlah. Apakah engkau akan mengulang apa yang telah dilakukan oleh cucu dari para penghuni Padang Bangkai tadi, yaitu hidup diracuni dendam?"
"Ah, tapi mereka itu lain lagi! Kakek dan nenek mereka adalah orang-orang jahat yang sudah sepatutnya dibunuh! Akan tetapi Ciauw Si anakku! Apa salahnya? Salahnya dia hanya jatuh cinta kepada seorang yang..."
"Sudahlah, perlu apa menggali hal-hal yang sudah lalu? Mereka telah tiada, akan tetapi mereka meninggalkan seorang putera dan dia telah menjadi seorang pemuda yang begini gagah,"
Kata Yap Kun Liong yang cepat mencegah isterinya melanjutkan kata-katanya mencela mendiang Ceng Han Houw di depan puteranya sendiri.
"Cucuku...!"
Cia Giok Keng lalu merangkul Thian Sin dan menangis. Betapapun juga, kunjungan tiga orang pemuda itu, terutama sekali hadirnya Thian Sin di situ, mendatangkan kegembiraan dalam hati nenek itu dan membuatnya sehat kembali. Tiga orang pemuda itu tinggal di puncak Bwee-hoa-san, melayani kakek dan nenek itu sehingga mereka merasa berbahagia sekali. Giok Keng merasa amat gembira dan amat mencinta cucunya. Saking girang dan senangnya terhadap cucunya, dia menyerahkan pedang pusakanya, yaitu Gin-hwa-kiam kepada Thian Sin, bahkan mengajarkan ilmu silat memainkan sabuk sebagai senjata yang ampuh.
Memang nenek ini amat ahli mempergunakan sabuk panjang sebagai senjata dan sabuk ini memang lihai bukan main, dapat mempergunakan untuk menghadapi senjata tajam lawan dan melilit serta merampasnya. Juga Yap Kun Liong tidak tinggal diam. Dia merasa gembira dekat dengan tiga orang pemuda yang berbakat dan gagah perkasa itu, dan dia tahu bahwa inilah kesempatan terakhir baginya. Dia sudah tua, tidak mempunyai anak kecuali Yap Mei Lan yang telah pergi keluar negeri bersama suaminya, Souw Kui Beng (baca cerita Pendekar Lembah Naga). Maka kalau dia tidak meninggalkan ilmu-ilmunya tentu tak lama lagi akan terbawa mati. Dan siapa lagi yang lebih pantas menerima ilmu-ilmunya itu kecuali tiga orang pemuda ini? Yap Kun Liong merasa kagum bukan main melihat watak Cia Han Tiong.
Dia tahu bahwa pemuda ini memiliki kebijaksanaan yang luar biasa, yang amat menonjol dan jauh melampaui dua orang pemuda lainnya. Dan diapun diam-diam merasa prihatin dan khawatir melihat sifat-sifat ganas yang dimiliki Thian Sin. Dalam percakapan berdua dengan Thian Sin, Yap Kun Liong banyak memberi nasihat-nasihat dan menanamkan jiwa kependekaran kepada pemuda ini, dan diapun mengajarkan Ilmu Pat-hong Sin-kun dan Pek-in-ciang yang amat lihai kepada Thian Sin. Kepada Cia Kong Liang dia mengajarkan Siang-liong-pang dan Im-yang Sin-kun. Dan kepada Cia Han Tiong dia telah memberikan kitab yang selama ini merupakan pusakanya yang amat disayangnya, yaitu kitab Keng-lun Tai-pun ciptaan Bun Ong yang mengandung pelajaran yang amat halus dan hanya dapat dimengerti oleh orang yang benar-benar berbakat!
Demikianlah, tiga orang pemuda itu tinggal di situ sampai hampir satu bulan lamanya, dan mereka bertiga merasa gembira bukan main memperoleh ilmu-ilmu dari kakek dan nenek itu. Kemudian karena waktunya bagi Cia Kong Liang telah tiba untuk mewakili orang tuanya menghadiri undangan dari Tung-hai-sian di Ceng-tao Propinsi Shan-tung yang merayakan ulang tahun, mereka bertiga meninggalkan puncak Bwee-hoa-san, diantar oleh pandang mata kesepian oleh kakek dan nenek itu! Han Tiong dan Thian Sin diajak Kong Liang untuk ikut ke Ceng-tao, menemaninya mengunjungi pesta ulang tahun itu. Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng juga menganjurkan kepada dua orang pemuda itu untuk ikut.
"Tung-hai-sian adalah datuk kang-ouw yang amat disegani di dunia timur, oleh karena itu dalam pesta perayaan itu tentu hadir banyak sekali orang-orang kang-ouw dan tokoh-tokoh besar. Pertemuan dengan mereka itu amat penting bagi kalian orang-orang muda,"
Demikian Yap Kun Liong berkata. Han Tiong dan Thian Sin memang juga ingin meluaskan pengalaman, maka tentu saja ajakan itu mereka terima dengan hati gembira. Mereka melakukan perjalanan ke timur dengan cepat dan di sepanjang perjalanan mereka bertiga itu bergembira. Maklumlah, biarpun Kong Liang disebut paman oleh mereka, namun usia mereka sebaya. Kong Liang berusia dua puluh dua tahun, Han Tiong sembilan belas tahun dan Thian Sin delapan belas tahun.
"Ingat, kita bertiga mewakili Cin-ling-pai dan karena Cin-ling-pai sudah dikenal di seluruh dunia, maka kita harus menjaga gerak-gerik kita yang tentu akan diperhatikan orang. Dan karena aku yang bertanggung jawab atas nama Cin-ling-pai, maka kuminta agar kalian tidak sembarangan melakukan sesuatu sebelum ada ketentuan dariku. Di sana berkumpul banyak sekali orang kang-ouw, maka kalau kalian salah bertindak sedikit saja dapat menimbulkan kegemparan dan kalau sampai nama Cin-ling-pai terbawa, tentu ayah akan marah kepadaku."
"Baiklah, paman. Kami hanya ikut saja dan nonton, tentu saja kami tidak akan berani membuat ribut. Bukankah begitu, Sin-te?"
Thian Sin hanya mengangguk, akan tetapi karena dia memang kadang-kadang mendongkol melihat sikap Kong Liang yang seolah-olah menganggap mereka berdua masih "hijau"
Dan bersikap kepada mereka seolah-olah mereka itu masih kanak-kanak, lalu berkata.
"Kami mengerti, Paman Kong Liang. Pendeknya, biarlah engkau yang menjadi pemimpinnya, dan kami hanya mentaati saja."
Ucapan ini sewajarnya saja bagi Kong Liang yang mengangguk senang, akan tetapi Han Tiong yang telah mengenal watak adik angkatnya ini, benar-benar tahu bahwa adiknya itu merasa mendongkol dan dalam kata-katanya tadi terkandung ejekan.
Siapakah adanya Tung-hai-sian (Dewa Laut Timur) ini? Mari kita berkenalan dengan tokoh yang terkenal sebagai datuk kaum persilatan di wilayah timur dan bahkan di sepanjang pantai timur. Sebetulnya, Dewa Laut Timur ini adalah bekas seorang bajak laut yang pernah menggemparkan seluruh permukaan laut yang amat luas dan namanya dikenal oleh semua pelaut baik pelaut Tiongkok, Jepang, maupun Korea. Dia adalah seorang "samurai"
Jepang, seorang pendekar Jepang yang pernah menjadi pengacau atau pemberontak yang amat terkenal di Jepang. Sebetulnya dia bukanlah seorang samurai biasa saja. Kakeknya adalah seorang panglima besar yang bernama Minamoto, seorang pengikut Daig II yang dijatuhkan dari kedudukannya oleh Ashikaga Takauji.
Karena junjungannya kalah dan jatuh, Panglima Besar Minamoto ini melarikan diri dan bersembunyi di pulau kosong bersama keluarganya. Di tempat ini mereka hidup sebagai nelayan biasa, akan tetapi bekas panglima itu tidak pernah padam cita-citanya, yaitu untuk sekali waktu keturunannya kembali ke Jepang untuk membalas dendam terhadap kaisar baru! Dia menurunkan ilmu-ilmunya kepada seorang cucunya yang berbakat, dan cucunya inilah yang sekarang menjadi Dewa Laut Timur! Tung-hai-sian ini dikenal di Tiongkok sepanjang pantai timur dengan nama Bin Mo To, yaitu sebutan dalam bahasa Tionghoa untuk nama Minimoto, karena dia memakai nama besar kakeknya. Setelah dia dewasa dan memiliki ilmu kepandaian tinggi, Minimoto muda ini meninggalkan pulau kosong untuk memenuhi cita-cita kakeknya.
Di Jepang dia mengalahkan banyak jagoan samurai, menjadi pemimpin pemberontak dan berusaha memberontak terhadap istana yang pada waktu itu diperintah oleh Kaisar Muromaci. Akan tetapi usahanya gagal oleh karena usahanya ini ditentang oleh para pengikut aliran Zen Buddhis yang amat kuat. Dia gagal, pasukannya dihancurkan dan diapun dikejar-kejar. Maka larilah Minimoto dan menjadi buronan. Mulai saat itulah dia memasuki dunia penjahat, menjadi bajak laut dan karena dia terlahir di pulau kosong dan digembleng oleh segala macam ilmu oleh kakeknya, maka diapun memiliki keahlian ilmu dalam air laut yang amat hebat. Maka ketika dia menjadi bajak laut, sebentar saja namanya ditakuti semua orang. Pekerjaannya membajak kapal-kapal ini membuat dia berhasil mengumpulkan banyak harta.
Pada usia empat puluh tahun, dia menghentikan pekerjaannya membajak dan bertempat tinggal di Korea, di mana dia hidup menjadi semacam "datuk"
Yang menerima "bagi hasil"
Dari para penjahat yang takut dan segan kepadanya. Namun, setelah tinggal di Korea selama lebih dari sepuluh tahun, kembali dia harus angkat kaki karena dimusuhi oleh Kerajaan Korea. Itulah sebabnya, dalam usia kurang lima puluh tahun, Minimoto atau Bin Mo To yang berjuluk Tung-hai-sian, julukan yang diperolehnya setelah dia tinggal di Ceng-tao, pindah ke kota itu dan di situ dia tidak lagi berani menjadi datuk secara terang-terangan. Tung-hai-sian Bin Mo To berusaha untuk membersihkan namanya dan mendirikan perkumpulan yang dinamai Mo-kiam-pang (perkumpulan Pedang Iblis), sebuah perkumpulan silat. Perkumpulan ini tidak secara terang-terangan melakukan kejahatan,
Akan tetapi seluruh penjahat di wilayah itu semua tunduk terhadap perkumpulan ini karena setiap penjahat yang tidak tunduk tentu akan berhadapan dengan pedang iblis yang amat ganas. Maka diam-diam Tung-hai-sian diangkatlah oleh dunia hitam sebagai datuk yang mereka takuti. Tung-hai-sian yang kaya raya dan lihai ini amat berpengaruh, dapat menguasai para pembesar setempat dengan sogokan-sogokan yang berani. Sebagian besar perusahaan pengawal, yaitu piauwkiok, seolah-olah menjadi anak buahnya dan semua membayar semacam "pajak"
Kepadanya kalau menghendaki pekerjaan mereka tidak terganggu. Perusahaan pengawal yang memakai bendera kuning kecil bergambarkan pedang bersilang dan tengkorak, yaitu tanda dari Mo-kiam-pang, dapat terlindung karena tak seorangpun penjahat berani mengganggunya.
Dewi Maut Eps 39 Pendekar Lembah Naga Eps 1 Pendekar Lembah Naga Eps 35