Ceritasilat Novel Online

Asmara Berdarah 25


Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo Bagian 25



Terasa nyeri bukan main bertemu dengan kaki besar yang dilindungi baja ini. Ketika si baju hitam dapat bangkit berdiri, dia agak terpincang. Akan tetapi, dia masih belum mau menerima kalah dan sudah menyerang lagi dengan layangan kedua kaki meluncur ke depan. Agaknya dia hendak mengalahkan lawan dengan tendangan terbang seperti tadi. Si raksasa menyeringai. Dia kini berdiri dengan kedua kaki terkangkang lebar, tubuh direndahkan, dan kedua tangannya yang besar itu melindungi mukanya. Tubuhnya kokoh kuat seperti batu karang dan memang sekali ini dia sudah siap-siap menghadapi tendangan terbang yang lihai itu. Dia tidak memandang rendah lagi tendangan itu dan mengerahkan tenaga untuk memasang kuda-kuda yang kokoh kuat. Kedua kaki si baju hitam itu menyambar dengan tumbukan keras mengenai dada yang bidang dari Moghul.

   "Bresss..."

   Dan sekali ini tubuh Moghul hanya bergoyang-goyang saja, akan tetapi sebaliknya tubuh si baju hitam terlempar ke belakang dan terbanting keras. Dan sebelum si baju hitam sempat melompat bangun, tahu-tahu Moghul sudah melangkah lebar menghampirinya dan begitu tubuh si baju hitam bangkit, Moghul mengirim tendangan! Agaknya si raksasa ini masih marah karena tadi beberapa kali menjadi bulanbulan tendangan yang membuatnya roboh, maka kini dia hendak membalas dengan tendangan pula. Melihat tendangan yang menyambar ke arah perutnya, si baju hitam yang tak sempat mengelak itu terpaksa menggunakan lengan tangan menangkis keras.

   "Dukkk..."

   Dan si baju hitam mengeluh kesakitan dan terguling, tulang lengan yang menangkis itu patah bertemu dengan sepatu besar si raksasa. Hui Song yang mendengarkan dengan seksama ketika terjadi pertemuan antara lengan dan sepatu itu, mengerti bahwa juga sepatu itu dalamnya berlapis baja! Kini Moghul mendesak terus dengan tendangan-tendangannya. Si baju hitam yang sudah patah tulang lengannya, terhuyung-huyung dan sebuah tendangan yang keras mengenai lututnya, membuat dia terpelanting.

   Dan Moghul menghampirinya, lalu menggunakan kedua kakinya bergantian menginjak kedua kaki si baju hitam. Si baju hitam berteriak kesakitan dan ternyata kedua kakinya itu retak-retak tulangnya diinjak oleh Moghul. Sambil tertawa-tawa Moghul sekali lagi menendang dan tubuh yang sudah terkulai itu terlempar ke bawah panggung, menimpa para penonton yang kini terdiam dan terbelalak ngeri menyaksikan betapa Moghul menyiksa korbannya. Ada pula beberapa orang yang menang bertaruh bersorak girang memuji dan menyambut kemenangan raksasa Moghul. Memang di antara para penonton, banyak yang mengadakan taruhan dalam setiap pertandingan dan kini orang-orang yang bertaruh memegang Moghul berani melipatgandakan taruhannya dengan satu banding tiga!

   Agaknya mereka sudah merasa yakin benar bahwa tidak ada yang akan mampu lulus jika harus berhadapan dengan Moghul! Setelah si baju hitam itu kalah dan diusung pergi oleh pamannya, muncul pula beberapa orang pemuda berturut-turut, mencoba peruntungan mereka. Akan tetapi, mereka itu satu demi satu dirobohkan oleh Moghul dengan tulang kaki atau tangan patah-patah. Agaknya si raksasa itu semakin lama semakin kuat saja sehingga berturut-turut, bersama si baju hitam, sudah ada lima orang calon yang dirobohkan dan terpaksa digotong pergi dalam keadaan pingsan dan patah-patah tulangnya. Keadaan menjadi sunyi dan semua penonton mengerutkan alisnya, kecuali mereka yang menang bertaruh. Si tukang bicara sudah berteriak-teriak lagi melakukan tugasnya, menantang dan menganjurkan orang-orang gagah untuk maju.

   "Saudara-saudara yang gagah perkasa, silakan, siapa mau maju lagi? Benarkah tidak ada seorangpun yang mampu bertahan menandingi Moghul sampai habis terbakarnya sebatang hio saja? Apakah kalian tidak malu kalau dikatakan bahwa di Sanhaikoan tidak ada seorangpun yang dapat disebut gagah? Ingat, yang masuk menjadi perwira akan memperoleh pangkat tinggi dan gaji besar, juga mempunyai tugas amat mulia, membela negara dari gangguan para pemberontak!"

   Demikian si tukang bicara itu membujuk, menantang dan memanaskan hati para penonton.

   Akan tetapi agaknya, mereka yang merasa memiliki kepandaian silat, sudah menjadi gentar dan melihat betapa lima orang tadi, yang gagah-gagah, kalah dan menderita siksaan mengerikan, dan merasa bahwa mereka tidak akan mampu menandingi raksasa itu. Maka, para penonton hanya bisa saling pandang dengan perasaan mendongkol, penasaran, juga kecewa dan menyesal. Kini perasaan mereka semua hanya ingin melihat si raksasa Moghul itu dikalahkan. Sayembara memasuki ketentaraan itu kini berobah menjadi semacam pibu atau adu kepandaian untuk mengalahkan raksasa yang kini nampaknya semakin sombong itu. Moghul kini berdiri di tengah-tengah panggung, bertolak pinggang dan tubuhnya yang telanjang berkilauan karena keringat. Dia terbelalak memandang ke empat penjuru, mulutnya menyeringai lebar.

   "Ha ha ha, apakah tidak ada lagi yang maju? Aku belum lelah, belum keluar keringat!"

   Tentu saja ucapan ini hanya dipergunakan untuk menyombongkan diri saja. Dia lalu menggerak-gerakkan kaki tangannya dan terdengar suara berkerotokan dan nampak betapa otot-ototnya mengembang, membayangkan kekuatan yang dahsyat.

   Sejak tadi Hui Song hanya menonton saja dan pemuda ini merasa heran. Dia tahu bahwa raksasa itu memang hebat dan sukar dikalahkan. Mengapakah pembesar setempat mengadakan syarat yang demikian beratnya untuk menjadi calon perwira? Jelaslah bahwa di antara para ahli silat biasa saja, jarang ada yang dapat bertahan sampai habis terbakarnya sebatang hio kalau menandingi seorang jago gulat yang demikian kuatnya seperti Moghul, apalagi raksasa itu masih berlaku curang, menyembunyikan besi di dalam sepatu dan pembalut kakinya. Seolah-olah pembesar setempat itu bahkan hendak menghalangi masuknya orang-orang pandai ke dalam ketentaraan. Dan dia tadi melihat betapa setiap kali ada peserta yang unggul, biarpun Kok-taijin nampak gembira, si panglima itu nampak tidak senang dan bahkan khawatir.

   Mengapa begini? Bukankah si panglima itu justeru yang membutuhkan perwira-perwira baru untuk membantunya? Dan Moghul juga dia yang memilih sebagai penguji. Bukankah dengan demikian, Ji-ciangkun itu bahkan hendak mencegah masuknya orang-orang gagah menjadi perwira baru? Semua ini, ditambah pula oleh sikap Moghul yang sombong, dan melihat betapa para penonton menjadi penasaran, mendorong Hui Song untuk meloncat ke atas panggung. Dia harus menyelidiki semua ini. Pula, kalau dia sudah memperoleh kedudukan, biarpun hanya untuk sementara, dia akan lebih mudah menggunakan pasukan untuk mencari Sui Cin, selain itu, diapun dapat membantu dengan pasukannya kalau para pemberontak itu bergerak dari utara seperti yang disangkanya.

   Begitu muncul pula seorang pemuda yang melihat tubuhnya hanya sedang-sedang saja dan tidak ada apa-apanya yang istimewa, Moghul tertawa girang dan matanya bersinar-sinar seperti seekor kucing melihat seekor tikus yang akan dapat dipermainkannya sepuas hatinya. Akan tetapi, para penonton sudah bersorak-sorai lagi menyambut kehadiran Hui Song, walaupun sorak-sorai itu hanya untuk melepaskan ganjalan hati yang menjadi penasaran karena si pembicara tadi mengatakan bahwa tidak ada orang gagah lagi di Sanhaikoan. Di lubuk hati mereka, timbul kekhawatiran baru akan melihat pemuda tampan ini nanti juga dilemparken ke bawah panggung dalam keadaan menyedihkan, luka-luka atau patah-patah tulang kaki tangannya. Hui Song menghampiri panggung di mana dua orang pembesar itu duduk, memberi hormat dan berkata dengan suara nyaring,

   "Saya Cia Hui Song mohon ijin memasuki sayembara."

   Kok-taijin mengangguk-angguk dan Ji-ciangkun melambaikan tangan berkata,

   "Baik, majulah dan lawanlah Moghul dengan sungguh-sungguh."

   Hui Song memberi hormat lagi, lalu dia bangkit dan menghampiri Moghul. Dia tadi sudah melihat betapa jago gulat ini mempergunakan keuntungan karena lawannya berpakaian. Raksasa ini sekali tangkap dan berhasil mencengkeram baju lawan, tentu akan celakalah lawan itu. Dengan gerakan-gerakan ilmu gulat, lawan yang sudah ditangkap bajunya akan dapat diangkat atau dibanting. Sedangkan tubuh si raksasa ini sendiri yang telanjang, berkeringat dan licin. Teringat akan ini, dia tidak mau dirugikan oleh pakaiannya. Setidaknya, karena Moghul mempergunakan ilmu gulat dan cengkeraman, dia khawatir kalau pakaiannya akan robek. Maka sambil tersenyum Hui Song berkata.

   "Moghul, tunggu dulu. Engkau telanjang badan, tidak adil kalau aku memakai baju ini. tunggu aku akan melepaskan pakaian ini dulu."

   Dan diapun menanggalkan jubah dan baju atasnya, kini hanya memakai sebuah celana saja. Dia melangkah ke tepi panggung dan menghadap penonton.

   "Di antara cuwi sekalian, apakah ada yang kebetulan membawa minyak? Atau gajih? Kalau ada, maukah membantuku dan memberi sedikit?"

   Tanya Hui Song kepada mereka.

   Para penonton menjadi heran, akan tetapi memang kebetulan ada yang membawa karena memang tadi dia berbelanja dan datang ke tempat itu mampir dari berbelanja. Dia menghampiri dekat panggung dan menyerahkan sebotol minyak. Hui Song mengambil sedikit di kedua telapak tangannya, dan dia lalu menggosok seluruh tubuh bagian atas yang telanjang itu dengan minyak. Tentu saja para penonton saling pandang dan menjadi terheran-heran, akan tetapi melihat ini, Moghul terkejut dan diam-diam dia memandang pemuda itu dengan penuh perhatian. Setelah menitipkan bajunya kepada seorang penonton terdekat, Hui Song lalu menghadapi Moghul dan sebatang hio dibakar oleh seorang petugas.

   "Apakah engkau seorang jago gulat?"

   Moghul bertanya kepada Hui Song setelah pemuda itu berdiri di depannya. Hui Song menggelengkan kepala.

   "Bukan, akan tetapi melihat tubuhmu berminyak, akupun melumuri tubuhku dengan minyak,"

   Katanya dengan sikap tolol.

   "Orang muda, engkau menanggalkan baju dan melumuri tubuhmu dengan minyak, apakah kau akan menghadapi aku bertanding gulat? Ataukah dengan ilmu silat?"

   "Dengan apa saja asal aku dapat mengalahkanmu dan dapat diterima menjadi perwira,"

   Jawab Hui Song seenaknya.

   "Kau pandai gulat?"

   Tanya Moghul. Hui Song menggeleng kepala.

   "Pandai silat?"

   Kembali Hui Song menggeleng kepala. Mendengar percakapan ini, semua penonton terbelalak. Sudah gilakah pemuda ini? Tidak bisa gulat atau silat, akan tetapi berani naik ke panggung melawan Moghul! Apakah pemuda ini mencari mati? Moghul sendiri tertawa bergelak, kepalanya ditarik ke belakang, wajahnya bordongak dan perutnya sampai bergelombang ketika dia tertawa.

   "Ha ha ha, bocah nakal, lebih baik pulanglah saja dan minum susu ibumu sebelum terlambat, ha-ha!"

   Para penonton juga merasa ngeri membayangkan pemuda yang lemah ini akan disiksa habis-habisan, maka di antara mereka ada yang berteriak-teriak minta agar Hui Song turun saja dari atas panggung. Akan tetapi Hui Song bersikap tenang. Dia bahkan menghampiri tempat hio yang sudah ditancapi sebatang hio bernyala, lalu dia menggunakan jari menjepit ujung hio itu sehingga apinya padam.

   "Hei, apa yang kau lakukan itu?"

   Si petugas yang tadi membakar hio menegur.

   "Terlalu cepat kalau dibiarkan terbakar. Kalau begini kan bisa lama bermain-main dengan gajah bengkak itu? Biarlah kami berdua main-main sampai seorang di antara kami roboh tak mampu melawan lagi!"

   Jawab Hui Song dengan sikap yang masih tenang. Mendengar ini, semua orang menjadi terkejut dan semakin terheran. Pemuda ini benar-benar sudah gila! Kalau tidak, mana mungkin berani bersikap seperti itu, menantang si raksasa untuk bertanding sampai seorang di antara mereka menggeletak tak mampu melawan lagi? Seolah-olah dia akan mampu bertahan sekian lamanya! Akan tetapi, sikap Hui Song ini membuat Moghul menjadi marah. Dia merasa ditantang dan bahkan dipandang rendah oleh pemuda hijau itu.

   "Majulah dan aku akan mematahkan seluruh tulang-tulang tubuhmu!"

   Bentaknya sambil melangkah lebar menghampiri Hui Song yang sudsh kembali ke tengah panggung.

   "Engkau ini tikus kecil berani banyak lagak!"

   Hui Song tersenyum jenaka.

   "Dan engkau ini babi kebiri terlalu banyak kaok-kaok, cobalah tangkap aku kalau bisa!"

   Para penonton mulai tertawa melihat betapa pemuda ingusan itu berani mempermainkah si raksasa dan memakinya babi kebiri. Moghul memandang marah, matanya menjadi semakin lebar dan alisnya bangkit berdiri, kemudian tanpa banyak cakap lagi dia menubruk ke depan, kedua tangannya mencengkeram hendak menangkap tubuh Hui Song, seperti seekor kucing menubruk tikus. Akan tetapi, dengan gaya yang lucu namun cepat, Hui Song sudah menyelinap dan menyuruk ke bawah lengan si raksasa sambil berseru.

   "Sayang luput!"

   "Plak! Plak! Pungg..."

   Akan tetapi tamparan-tamparan tangannya itu membalik dan perut yang ditamparnya mengeluarkan suara seperti sebuah tambur besar dipukul.

   "Wah, gentong ini kosong!"

   Hui Song masih mengeluarkan suara ejekan keras sehingga para penonton semakin geli tertawa. Akan tetapi, suara ketawa mereka terhenti seketika karena pada saat itu, Moghul telah berhasil menangkap lengan kiri Hui Song dengan tangan kanannya. Dengan gerakan seekor jago gulat yang mahir, tangan kirinya menyusul dan sudah menangkap pundak pemuda itu. Kemudian, secepat kilat tahu-tahu tubuh Hui Song sudah diangkat ke atas kepala. Semua orang memandang pucat dan Moghul menyeringai, mengeluarkan suara ha ha huh huh seperti orang terengah-engah saking girangnya.

   Dia hendak membanting lawannya ke atas lantai panggung dan sudah mengerahkan tenaga agar bantingannya dapat dilakukan sekuatnya. Akan tetapi, tiba-tiba dia memekik kesakitan dan kedua lengannya menjadi lemas. Kiranya Hui Song menggunakan jari-jari tangannya, biarpun pergelangan tangan sudah ditangkap, untuk mencengkeram dan mencabuti bulu-bulu panjang di dada dan lengan raksasa itu, berbareng dengan itu, ujung sepatunya telah menotok jalan darah di dekat punggung lawan, membuat Moghul kehilangan tenaga untuk beberapa detik lamanya. Ini sudah cukup bagi Hui Song untuk meronta dan melepaskan diri dari pegangan kedua tangan lawannya. Dia menggeliatkan tubuhnya yang sudah dilumuri minyak tadi dan terlepas lalu meloncat ke belakang sambil berkata,

   "Heh heh , tubuhku licin, berkat minyak!"

   Kembali penonton tertawa dengan hati lega. Biarpun sampai kini pemuda itu belum juga memperlihatkan ilmu silat atau ilmu gulat, namun semua gerakannya yang kelihatannya ngawur itu ternyata telah membuat si raksasa tidak berdaya! Lumpuhnya kedua tangan Moghul tidak lama dan tentu saja raksasa ini menjadi semakin penasaran dan marah. Apalagi melihat betapa pemuda itu kini berdiri sambil bertolak pinggang dengan kedua kaki terpentang lebar, berkata kepadanya,

   "Hei, babi bengkak, coba sekarang engkau mengangkat dan membantingku kalau mampu!"

   Tantangan ini mendatangkan rasa heran dan khawatir kepada para penonton, kecuali beberapa orang di antara mereka yang bermata tajam dan sudah dapat menduga bahwa pemuda itu tentulah seorang pendekar yang lihai dan tinggi ilmu kepandaiannya. Akan tetepi yang merasa girang adalah Moghul.

   Tadi dia penasaran dan kecewa karena sungguh tidak disangkanya, pemuda yang sudah berada dalam cengkeramannya dan tinggal banting saja itu dapat lolos. Kini dia ditantang, tentu saja dia merasa girang. Sekali ini, kalau aku dapat menangkapnya, tak mungkin dia akan dapat lolos, pikirnya. Dengan langkah lebar dia lalu menghampiri dan tadinya mengira bahwa pemuda itu tentu hanya mempermainkannya dan akan mengelak kalau ditangkap. Akan tetapi ternyata tidak! Ketika kedua tangannya yang besar itu menangkap pinggang Hui Song dan dia mengerahkan tenaga untuk mengangkatnya, ternyata tubuh kecil itu tidak bergeming dan tidak dapat diangkatnya! Tubuh yang kecil itu, yang agaknya akan dapat diangkat walaupun hanya dengan satu tangan saja oleh Moghul, kini terasa berat sekali,

   Atau seolah-olah kedua kaki pemuda itu sudah berakar pada lantai panggung. Moghul tidak percaya dan semakin penasaran. Dikerahkannya kekuatannya sehingga urat dan otot di kedua lengan dan dadanya menggembung dan dicobanya lagi untuk mengangkat tubuh Hui Song. Namun tetap tak terangkat olehnya. Kedua tangannya pindah ke pundak, lalu ke pinggang lagi, tetap saja tidak terangkat. Tiba-tiba Hui Song merendahkan tubuhnya, menggunakan kedua tangannya untuk menyangga paha dan perut si raksasa, mengerahkan sinkangnya dan sambil mengeluarkan lengking suara yang nyaring, dia meluruskan tubuh dan Moghul sudah terangkat ke atas olehnya! Tentu saja perbuatannya ini disambut sorak-sorai gemuruh, bahkan Ji-ciangkun terbelalak dan mukanya berobah agak pucat sementara itu Kok-taijin bertepuk tangan saking gembiranya.

   "Brukkkk..."

   Tubuh tinggi besar itu dilempar oleh Hui Song, bukan dibanting, melainkan hanya dilempar, akan tetapi akibatnya, bagian papan lantai panggung di ujung depan yang tertimpa tubuh raksasa itu ambrol! Di bawah suara ketawa dan sorak-sorai para penonton. Moghul merangkak ke luar lagi dari lantai papan panggupg. yang ambrol dan kini mukanya menjadi hitam, matanya merah sekali dan ada hawa pembunuhan membayangi wajahnya ketika dia melangkah maju lagi menghampiri Hui Song. Karena kini tidak ada lagi hio yang terbakar, maka orang tidak tahu lagi berapa lama batas pertandingan itu dan agaknya Moghul juga belum mau menerima kalah.

   "Eh-eh, engkau masih juga belum mau mengaku kalah?"

   Hui Song bertanya mengejek.

   Raksasa itu tidak menjawab, melainkan menubruk dengan dahsyat, penuh kemarahan. Akan tetapi tiba-tiba dia terbelalak karena tubuh pemuda di depannya itu lenyap. Semua penonton dapat melihat betapa pemuda itu mengelak tubrukan lawan sambil meloncat ke atas, tinggi sekali melampaui kepala Moghul dan ketika tubuhnya berjungkir balik dengan indahnya seperti seekor burung walet di udara, tubuh itu menukik turun dan tahu-tahu Hui Song telah hinggap di atas kedua pundak raksasa itu sambil tertawa-tawa! Sejenak Moghul kebingungan, akan tetapi melihat kedua batang kaki Hui Song bergantung di depan dadanya, dia cepat menangkap kedua kaki itu. Akan tetapi tiba-tiba kedua kaki itu membalik dan menjepit lehernya dan kini tubuh atas Hui Song bergantung di belakang punggungnya dalam keadaan menelungkup.

   "Wah, wah, celaka, kain cawatmu bau sekali, babi bengkak!"

   Hui Song berseru dan dengan kedua kaki masih menjepit leher, dia menggunakan kedua tangannya untuk menangkap ujung kain cawat di belakang pinggul Moghul dan membukanya. Tentu saja nampak kedua bukit pinggul raksasa itu yang berkulit halus dan lebih putih dari pada bagian tubuh lainnya. Semua penonton tertawa bergelak melihat ini karena dengan ditariknya cawat itu, nampaklah semua tubuh bagian bawah raksasa itu dari belakang! Kini Moghul sama sekali tidak ingat untuk melakukan serangan lagi karena kedua kaki yang menjepit lehernya itu membuat dia merasa sukar bernapas. Kedua kaki itu sedemikian kuatnya seperti jepitan baja dikalungkan di lchernya saja. Dengan susah payah dia mencoba untuk melepaskan jepitan kedua kaki itu,

   Namun sia-sia dan tiba-tiba Hui Song yang bergantungan di belakang tubuhnya itu menggunakan kedua tangannya untuk menotok belakang lutut Moghul. Raksasa itu mengeluh keras dan kedua kakinya tertekuk. Hui Song melepaskan jepitan kakinya dan meloncat turun kemudian dia berdiri mengejek di depan Moghul. Raksasa ini merasa betapa kedua kakinya nyeri sekali akibat totokan di belakang lutut tadi, akan tetapi kemarahan membuat dia mata gelap. Dia bangkit berdiri dan kini menyerang dengan pukulan tangannya yang dikepalkan, tidak menggunakan ilmu gulat lagi. Hui Song agaknya sudah merasa cukup mempermainkannya, maka diapun menyambut pukulan lengan kanan ini dengan tangkisan tangan kirinya, dengan jari-jari terbuka dan tangan dimiringkan seperti golok membacok ke arah lengan kanan lawan.

   "Krekkk..."

   Moghul memekik dan lengan kanannya menjadi lumpuh karena tulang lengan itu sudah patah! Dasar manusia yang keras kepala. Dia masih menyerang terus dengan tangan kirinya. Kembali Hui Song menangkis dan kini lengan kiri itupun patah lengannya. Pemuda itu teringat betapa raksasa ini sudah menyiksa banyak orang dengan mematahkan tulang kaki tangan mereka, maka diapun cepat melakukan tendangan susulan dua kali yang mematahkan tulang kedua kaki raksasa itu.

   Moghul roboh dan tak dapat bangkit kembali karena kedua kaki dan tangannya sudah tidak dapat digerakkan, sudah patah-patah tulangnya. Hui Song kini membungkuk, menyambar sebuah lengan dan kaki, lalu mengangkat tubuh raksasa itu ke atas, memutar-mutarnya cepat lalu melemparkannya ke bawah panggung. Tubuh itu melayang dan jatuh terbanting ke atas tanah, di luar kepungan para penonton! Sorak-sorai bagaikan meledak dan seperti akan meruntuhkan panggung itu sendiri. Semua penonton mengangkat kedua tangan dan ada yang berjingkrak-jingkrak menari kegirangan. Akan tetapi, semua penonton kini berdiam dan memandang dengan mata terbelalak penuh keheranan dan kekhawatiran ketika melihat betapa Ji-ciangkun bersama belasan orang pengawalnya telah berdiri di atas panggung dan mengurung pemuda yang baru saja memperoleh kemenangan secara mutlak itu.

   "Tangkap keparat ini!"

   Bentak Ji-ciangkun kepada para perajuritnya yang nampak ragu-ragu. Tentu saja Hui Song juga berdiri dengan mata terbelalak heran dan diapun merasa penasaran sekali.

   "Ciangkun, apa sebabnya aku akan ditangkap?"

   Bantahnya.

   "Orang muda, engkau masih belum mengakui kesalahan-kesalahanmu? Pertama, engkau telah memadamkan hio yang terbakar, dan kedua, engkau telah melukai penguji yang menjadi jagoan kami. Berarti engkau menyalahi peraturan dan tidak memandang kepada kami, berani mempermainkan dan melukai orang kami, dan itu berarti bahwa engkau telah memberontak, berani melawan pejabat tinggi!"

   Akan tetapi pada waktu itu, Kok-taijin muncul pula dan terdengar pembesar sipil ini berkata,

   "Tidak, dia jangan ditangkap, ciangkun. Biarlah kuampunkan kesalahan-kesalahannya dan aku akan mengambil dia menjadi seorang pengawal pribadiku. Orang she Cia, maukah engkau menjadi seorang pengawal pribadiku?"

   Hui Song merasa semakin heran. Agaknya ada pertentangan secara rahasia antara kedua pejabat itu dan diapun menjura kepada gubemur itu,

   "Saya bersedia, taijin."

   Ji-ciangkun nampak marah, akan tetapi karena Kok-taijin merupakan wakil dari kerajaan yang merupakan penguasa tertinggi di daerah itu, maka diapun tidak berani menentang secara terang-terangan dan diapun memberi isyarat kepada para perajuritnya untuk mundur dan meninggalkan panggung. Kok-taijin mengajak Hui Song mengikutinya pulang ke dalam gedungnya dan pemilihan calon perwira itupun dibubarkan. Setelah tiba di dalam gedungnya, Kok-taijin mengajak Hui Song memasuki sebuah kamar untuk bicara empat mata. Pembesar yang berwibawa itu menyuruh Hui Song duduk di atas kursi, berhadapan dengan dia terhalang sebuah meja kecil dan setelah dia menyuruh seorang pelayan menghidangkan minuman dan menyuruh pelayan lain mempersiapkan sebuah kamar untuk pengawal pribadi baru ini, dia lalu mengajak Hui Song bercakap-cakap.

   "Cia-sicu, aku sudah terlalu banyak mengenal para pendekar gagah maka begitu engkau muncul, walaupun engkau bersikap ketolol-tololan, aku sudah dapat menduga bahwa engkau tentu seorang pendekar yang berkepandaian tinggi. Dan timbul keheranan dalam hatiku, karena janggal dan anehlah kalau seorang pendekar berilmu seperti engkau ini hendak masuk menjadi seorang perwira. Sebetulnya, apakah yang mendorongmu naik ke panggung dan melawan Moghul?"

   Diam-diam Hui Song memuji kecerdikan pembesar ini yang ternyata mempunyai pandangan tajam sekali. Dan diapun tidak perlu lagi bersembunyi karena dia tahu bahwa pembesar ini boleh dipercaya, tidak seperti Ji-ciangkun yang sikapnya mencurigakan itu.

   "Harap taijin suka memaafkan saya. Sesungguhnya ada dua hal yang mendorong saya memasuki sayembara itu. Pertama karena saya merasa jengkel melihat kekejaman Moghul yang menyiksa para pengikut sayembara yang kalah dan saya ingin membalaskan mereka itu dan menghukumnya. Kedua, saya merasa heran sekali mengapa kalau pemerintah membutuhkan perwira-perwira baru, dengan mengajukan Moghul sebagai penguji maka seolah-olah pemerintah daerah bahkan menghalangi adanya perwira-perwira baru. Sukarlah dicari orang yang akan mampu mengalahkan raksasa itu. Maka, saya ingin sekali menyelidiki kejanggalan ini."

   Pembesar ini mengangguk-angguk.

   "Tepat seperti yang sudah kuduga, Cia-sicu. Oleh karena itulah maka aku turun tangan dan mengangkatmu menjadi pengawal pribadi. Sesungguhnya, sudah lama aku merasa curiga akan gerak-gerik Ji-ciangkun yang berobah semenjak beberapa bulan yang lalu ini. Dahulu diapun merupakan seorang panglima yang setia kepada pemerintah, akan tetapi entah mengapa, semenjak beberapa bulan ini terjadi perobahan pada sikapnya dan Moghul itupun pilihan dia. Dialah yang tadinya tidak setuju ketika aku mengusulkan untuk menerima perajurit dan perwira baru karena adanya desas-desus pemberontakan. Cia-sicu, tentu engkau pun sudah mendengar tentang desas-desus itu, bukan?"

   Hui Song mengangguk.

   "Bukan berita bohong, taijin. Memang ada datuk-datuk kaum sesat yang sedang menghimpun tenaga untuk mengadakan pemberontakan, dan terus terang saja, saya sampai ke daerah inipun adalah untuk menyelidiki tentang hal itu."

   "Bagus kalau begitu, sicu. Bagaimana kalau engkau tinggal di sini, pura-pura saja menjadi pengawal pribadiku, kemudian tugas yang sesungguhnya bagimu adalah menyelidiki Ji-ciangkun? Siapa tahu dia mempunyai hubungan dengan para tokoh yang hendak memberontak itu."

   "Baik, taijin. Saya dapat menggunakan waktu kira-kira sebulan untuk melakukan penyelidikan di sini."

   Demikianlah, mulai hari itu, Hui Song berpakaian pengawal dan menjadi pengawal pribadi Kok-taijin. Tentu saja hal ini hanya untuk menyembunyikan tugasnya yang sebenarnya, yaitu menyelidiki Ji-ciangkun. Hanya dia sendiri dan Gubernur Kok yang tahu, bahkan keluarga gubernur itu sendiripun tidak mengetahuinya.

   Gubernur Kok tinggal dengan seorang isterinya, beberapa orang selir dan hanya mempunyai seorang anak, yaitu seorang anak perempuan yang ketika itu baru berusia sepuluh tahun. Sebagai seorang pengawal pribadi, Hui Song mengenal baik semua keluarga Kok-taijin dan dengan pakaian pengawal, tidak begitu sukar baginya untuk melakukan penyelidikan, karena tidak dicurigai. Pada suatu malam, beberapa hari kemudian, dua bayangan yang amat gesit gerakannya, berlompatan memasuki benteng dengan melewati tembok benteng yang tinggi. Anehnya, ketika para penjaga melihat dua orang ini, mereka diam saja, bahkan ada perwira yang memberi hormat kepada mereka, lalu perwira ini melapor kepada Ji-ciangkun yang berada di sebelah dalam gedungnya.

   "Ciangkun, dua orang tamu yang ditunggu sudah datang,"

   Perwira itu melaporkan.

   "Baik. Persilakan mereka menanti ke dalam kamar tunggu dan suruh para pengawal menjaga di luar, jangan menerima tamu dari luar pada malam hari ini, aku tidak mau diganggu."

   Perwira itu memberi hormat dan keluar, menanti di pekarangan gedung atasannya itu. Tak lama kemudian, dua sosok bayangan berlompatan turun dan mereka itu ternyata adalah seorang tosu tinggi kurus dan seorang hwesio gendut yang bukan lain adalah Huito Cinjin dan Kangthouw Lomo, dua orang tokoh dari Cap-sha-kui yang pernah bersama-sama Siangto Sianli Gui Siang Hwa murid Raja Iblis memikat Hui Song ke Gua Iblis Neraka tempo hari! Sang perwira menyambut mereka dengan hormat, lalu mempersilakan mereka menanti Ji-ciangkun di dalam ruangan tamu yang luas. Tiga orang ini memasuki pintu ruangan tamu, sama sekali tidak tahu bahwa seorang perajurit pengawal yang berdiri di situ dengan tombak di tangan sama sekali bukanlah perajurit benteng itu, melainkan Hui Song yang telah menyamar!

   Dengan bantuan Kok-taijin, tidak sukar bagi Hui Song untuk menyamar dengan pakaian perajurit benteng dan menyelundup masuk untuk melakukan penyelidikan. Malam itu, tanpa disangka-sangkanya dia melihat dua orang tamu dari Ji-ciangkun, yang bukan lain adalah kenalan lamanya, yaitu Huito Cinjin dan Kangthouw Lomo yang pernah nyaris menewaskannya di Gua Iblis Neraka. Terkejut, heran dan juga giranglah hati Hui Song bahwa kecurigaannya terhadap Ji-ciangkun ternyata kini terbukti kebenarannya. Jelaslah bahwa Ji-ciangkun tentu bersekongkol dengan kaum sesat yang hendak memberontak, karena dua orang kakek iblis itu adalah para pembantu Raja dan Ratu Iblis dan tentu kini menjadi semacam utusan dari Raja Iblis untuk bersekongkol dengan Ji-ciangkun.

   Maka, setelah keadaan sunyi dan dia memperoleh kesempatan, Hui Song lalu melakukan pengintaian ke dalam ruangan tamu. Tidak salah penglihatannya tadi, yang duduk di dalam ruangan itu adalah Huito Cinjin, Kangthouw Lomo, bersama Ji-ciangkun dan Moghul! Agaknya orang Mongol jago gulat itu memang kuat sekali. Biarpun tulang kedua kaki tangannya patah, akan tetapi kini, dengan bantuan kursi roda, dia mampu menghadiri pertemuan itu dengan kaki tangan dibalut kuat. Tentu dia menggunakan obat yang amat manjur, pikir Hui Song kagum juga. Dia sudah mendengar betapa Bangsa Mongol mempunyai obat-obat yang amat mujarab untuk luka-luka atau patah tulang. Dan kini makin mengertilah dia.

   Kiranya Moghul yang dijadikan jagoan penguji itupun merupakan seorang di antara tokoh persekutuan pemberontak itu! Dari percakapan di antara empat orang itu, tahulah dia bahwa Moghul bukanlah orang biasa. Dia mengaku sebagai keturunan para Raja Mongol yang pernah memerintah di Tiongkok dan kini dia berusaha untuk membangun kembali kekuasaan bangsanya yang sudah jatuh. Jadi terdapat persekutuan antara tiga unsur di sini. Yang pertama adalah seorang panglima pemerintah sendiri yang berambisi untuk memberontak, yaitu Panglima Ji Sun Ki. Kedua adalah Moghul yang mewakili orang-orang Mongol yang menjadi anak buahnya. Dan ketiga adalah rombongan kaum sesat yang diketuai Raja Iblis! Suatu persekutuan yang amat berbahaya, pikir Hui Song yang mengintai dan mendengarkan dengan hati-hati.

   "Pemuda itu...?"

   Kata Kangthouw Lomo sambil menenggak araknya ketika dia mendengar Ji-ciangkun bercerita tentang pemuda yang mengalahkan Moghul dalam sayembara pemilihan perwira baru.

   "Ah, dialah orang she Cia, putera ketua Cin-Ling-Pai itu! Pantas saja kalau saudara Moghul kalah karena dia memang lihai bukan main."

   "Dan sekarang telah menjadi pengawal pribadi Kok-taijin?"

   Huito Cinjin menyambung.

   "Wah, berbahaya sekali itu. Dia harus disingkirkan lebih dahulu!"

   Ji-ciangkun mengerutkan alisnya. Dia terkejut bukan main mendengar bahwa pemuda yang sikapnya ketolol-tololan itu, yang telah mengalahkan Moghul, ternyata bukan orang sembarangan, melainkan seorang pendekar!

   "Tidak mudah begitu saja menyingkirkannya, bukan hanya karena dia lihai, akan tetapi karena dia sudah menjadi pengawal pribadi Kok-taijin. Kita harus bertindak hati-hati dan jangan sampai menimbulkan kecurigaan di hati Kok-taijin sebelum gerakan kita itu dilakukan. Jelaslah bahwa Kok-taijin tidak dapat dibujuk dan dia akan menjadi penghalang terbesar. Maka, biarlah aku mengerahkan orang-orangku untuk mengamati orang she Cia itu. Sama sekali aku tidak mengira bahwa dia adalah seorang pendekar, maka aku tidak menaruh curiga."

   Mendengar ini, Hui Song sudah merasa cukup. Kalau kini Ji-ciangkun sudah mengerti siapa dirinya, tentu dia akan selalu diawasi dan hal itu membuat dia tidak akan leluasa bergerak. Maka dia lalu secara hati-hati meninggalkan tempat itu dan malam itu juga dia menghadap Kok-taijin yang menjadi terkejut karena pembesar ini tadinya sudah mengaso dan bahkan hampir tidur pulas ketika dibangunkan.

   "Cia-sicu, ada apakah...?"

   Tanyanya kaget.

   "Taijin, mari kita bicara di dalam. Ada hal penting sekali,"

   Jawab Hui Song. Mereka lalu memasuki ruangan dalam dan di situ Hui Song menceritakan apa yang baru saja dilihat dan didengarnya. Diceritakannya kepada pembesar itu bahwa Ji-ciangkun benar-benar bersekongkol dengan orang-orang yang hendak memberontak, betapa Moghul sebenarnya menurut pengakuannya adalah keturunan Jenghis Khan dari Raja-raja Mongol yang hendak membangkitkan kembali kekuasaan bangsanya, kemudian diceritakannya tentang dua orang tokoh Cap-sha-kui yang menjadi para pgmbantu Raja Iblis yang memimpin para datuk sesat yang hendak memberontak. Mendengar penuturan itu, Kok-taijin terkejut bukan main. Pembesar ini mengerutkan alisnya.

   "Ah, tak kusangka sudah sejauh itu! Dan biarpun di Sanhaikoan ini aku menjadi penguasa tertinggi, akan tetapi untuk menangkap Ji-ciangkun, aku kekurangan kekuatan. Di sini aku hanya mempunyai pasukan pengawal dan penjaga keamanan yang jumlahnya tidak ada seribu orang sedangkan Ji-ciangkun menguasai pasukan yang beribu-ribu banyaknya. Kita harus bertindak hati-hati dan tidak ada jalan bagiku kecuali melaporkan ke kota raja. Akan tetapi hal itu membutuhkan waktu lama dan melaporkan kepada kaisar harus disertai bukti-bukti sedangkan bukti itu belum ada. Maka, sicu, aku minta bantuanmu. Sampaikan suratku kepada komandan benteng Cengtek. Komandan itu adalah seorang panglima yang setia dan kalau dia menerima suratku, tentu dia akan percaya dan dia akan mengirimkan pasukan yang besar ke sini untuk membantuku. Tidak ada orang lain yang dapat kupercaya untuk melakukan tugas ini, sicu. Berangkatlah malam ini juga."

   Hui Song tidak dapat menolak karena dia sendiripun maklum akan gawatnya keadaan. Agaknya pihak pemberontak itu akan menduduki Sanhaikoan lebih dulu untuk menjadi markas dan basis pemberontakan mereka. Maka, malam itu juga, dia diberi seekor kuda yang paling baik, membawa surat dari Kok-taijin dan berangkatlah dia meninggalkan Sanhaikoan. Dugaan Hui Song memang tidak banyak selisihnya dengan kenyataan sebenarnya. Kedatangan Huito Cinjin dan Kangthouw Lomo ke markas Sanhaikoan itu selain untuk berunding di mana dua orang kakek itu membongkar keadaan diri Cia Hui Song, juga dua orang kakek itu diutus oleh Raja Iblis untuk mengundang Ji-ciangkun agar pada malam itu juga datang menemui Raja Iblis di suatu tempat tersembunyi tidak jauh dari Sanhaikoan!

   Setelah dia memanggil para perwira pembantu dan kepercayaannya, memberi tahu kepada mereka agar mulai saat itu juga mereka semua mengamat-amati semua gerakan gubernur itu, Ji-ciangkun lalu berangkat naik kuda bersama dua orang tamunya. Dia tidak membawa pengawal karena memang tidak boleh sembarang orang datang menghadap Raja Iblis. tadinya Moghul juga diundang, akan tetapi mengingat bahwa orang Mongol itu berada dalam keadaan terluka dan tidak dapat berjalan, yang berangkat hanyalah Ji-ciangkun saja bersama dua orang tokoh Cap-sha-kui itu. Malam itu terang bulan dan tiga orang yang menunggang kuda itu berhenti di sebuah lereng bukit. Dua orang kakek itu memberi isyarat kepada Ji-ciangkun untuk menghentikan kuda masing-masing dan menambatkan kuda mereka itu pada batang pohon.

   "Dari sini kita harus berjalan kaki dan jangan sekali-kali mengeluarkan suara,"

   Kata Huito Cinjin berbisik.

   "Lihat saja isyarat tangan kami. Kalau bicara sebelum ditanya, dapat mengakibatkan bencana,"

   Kata pula Kangthouw Lomo.
(Lanjut ke Jilid 24)
Asmara Berdarah (Seri ke 08 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 24
Mendengar ucapan dua orang kakek itu dan melihat sikap mereka seperti orang yang amat takut, diam-diam Ji-ciangkun bergidik. Dia sendiri belum pernah bertemu dengan Raja dan Ratu Iblis, dan dia hanya mendengar bahwa Raja Iblis adalah seorang pangeran yang bernama Toan Jitong dan bahwa tokoh ini memiliki ilmu kepandaian yang tidak lumrah manusia dan mempunyai watak yang amat aneh dengan wibawa melebihi kaisar sendiri! Setelah mereka berjalan kira-kira setengah jam lamanya, menyusupnyusup melalui semak-semak belukar, akhirnya mereka tiba di sebuah lereng terbuka dan dari jauh, di bawah sinar bulan purnama, nampaklah tembok-tembok nisan kuburan berjajarjajar. Dua orang kakek itu berhenti memandang ke arah tanah kuburan itu dan ketika Ji-ciangkun memandang kepada mereka, dua orang itu tanpa bicara menuding ke arah tanah kuburan itu.

   "Di sanakah...?"

   Ji-ciangkun berbisik.

   "Sssstt!"

   Huito Cinjin menegur dan menaruh telunjuk ke depan mulut, lalu mengangguk membenarkan.

   Mereka lalu maju lagi perlahan-lahan menghampiri tanah kuburan yang sudah nampak dari jauh itu. Ketika mereka tiba di luar tanah pekuburan, tiba-tiba dua orang kakek itu memegang lengan Ji-ciangkun dan memberi isyarat agar diam dan tidak mengeluarkan suara, mereka hanya memandang ke depan. Panglima itu ikut memandang dan matanya terbelalak, wajahnya berobah pucat. Memang amat mengerikan apa yang terlihat olehnya di tengah kuburan itu. Biarpun sinar bulan redup, namun lambat laun matanya sudah terbiasa dan dia dapat melihat dengan jelas apa yang terjadi di tengah kuburan itu. Di antara kuburan-kuburan yang nampak sudah kuno dan tidak terawat, nampak dua orang yang sedang berlatih ilmu kesaktian yang amat luar biasa. Seorang di antara mereka, adalah seorang pria yang rambutnya sudah putih semua, awut-awutan dan riap-riapan,

   
Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Jenggot dan kumisnya pendek, tubuhnya jangkung dan wajah yang tertimpa sinar bulan itu nampak seperti topeng saja, agak kehijauan dan dingin seperti muka mayat, sepasang matanya yang kehijauan mencorong seperti mata harimau, pakaiannya yang berwarna putih dan kuning itu longgar dan kedodoran, usianya sukar ditaksir berapa karena biarpun rambutnya sudah putih semua, akan tetapi wajah seperti topeng itu sukar ditaksir usianya, mungkin saja empat puluh atau mungkin juga enam puluh tahun lebih. Dan orang ini sedang duduk di atas tumpukan tengkorak-tengkorak manusia! Sedikitnya ada lima puluh buah tengkorak yang ditumpuk berbentuk kerucut itu dan dia kini duduk bersila di atas tumpukan tengkorak itu. Baru duduk di atas tumpukan tengkorak saja sudah merupakan hal yang sukar dilakukan,

   Karena tengkorak yang hanya bertumpuk-tumpuk itu tentu akan runtuh kalau di puncaknya diduduki orang. Akan tetapi kakek itu dapat duduk dengan tegak, bersila dan matanya memandang tajam ke depan. Di depannya, terpisah kurang lebih tiga tombak, ada tumpukan tengkorak lain seperti yang didudukinya. Dan di atas tumpukan tengkorak kedua berdiri seorang wanita, akan tetapi berdiri dengan kepala di bawah dan kedua kaki lurus ke atas! Wanita inipun rambutnya putih riap-riapan, pakaian dan wajahnya sama dengan yang pria, mukanya yang ada garis-garis cantik itu nampak dingin dan kaku, dan pakaiannya juga longgar dan kedodoran sehingga karena ia berdiri jungkir balik di atas tumpukan tengkorak, jubahnya tersingkap ke bawah dan nampak celananya yang berwarna putih.

   "Sudah siap?"

   Terdengar suara yang halus akan tetapi mengandung getaran kuat dari pria yang duduk bersila itu.

   "Siap,"

   Jawab wanita itu dengan tubuh yang jungkir balik itu sama sekali tidak bergoyang.

   "Mulai..."

   Kata pula yang pria. Kedua orang itu kini meggerakkan sepasang tangan ke depan, dengan gerakan mendorong, dengan jari-jari tangan terbuka dan telapak tangan menghadap ke depan.

   "Tarrrr..."

   Terdengar ledakan di tengah udara antara keduanya seolah-olah ada suatu tenaga tak nampak yang saling bertemu dan beradu di udara! Dan mereka berdua melakukan adu tenaga ini berulang kali. Setiap kali tentu terdengar suara ledakan itu, akan tetapi, kini setiap ledakan makin mendekati si wanita, seolah-olah tenaga yang bertemu itu kini tidak seimbang lagi dan tenaga si wanita terpukul mundur.

   "Jagalah ini..."

   Tiba-tiba si pria berseru dan kembali mereka saling dorong.

   "Tarr... brukkkkk..."

   Tubuh wanita itu jungkir balik meloncat ke atas dan tumpukan tengkorak yang tadi terinjak kepalanya itu berantakan, dan ada beberapa buah tengkorak yang pecah berhamburan seperti diterjang tenaga dahsyat!

   "Tenagaku masih kurang kuat..."

   Wanita itu menarik napas ketika ia sudah turun dan berdiri tak jauh dari pria yang masih duduk bersila itu.

   "Siapa bilang? Engkau sudah kuat sekali dan hampir aku tidak tahan. Lihat ini!"

   Diapun melayang turun dari atas tumpukan tengkorak dan begitu menendang, tumpukan tengkorak itu berantakan dan ada empat buah tengkorak yang berada paling atas, remuk menjadi debu! Melihat pertunjukan yang seperti sulap atau sihir itu, diam-diam Ji-ciangkun menjadi terkejut ngeri dan juga gentar hatinya. Apalagi ketika tiba-tiba dua orang berambut putih itu menoleh ke arah mereka.

   "Majulah kalian!"

   Wanita itu berseru sambil menggapai dengan jari-jari tangannya yang berkuku runcing. Huito Cinjin dan Kangthouw Lomo segera maju, sedangkan Ji-ciangkun mengikuti dari belakang. Dua orang kakek itu menjatuhkan diri berlutut di depan Raja Iblis, dan panglima itu yang merasa bahwa dia hanyalah sekutu, bukan anak buah iblis-iblis itu, hanya menjura dengan hormat.

   "Inikah Ji-ciangkun dari Sanhaikoan?"

   Tanya wanita itu yang bukan lain adalah Ratu Iblis. Seperti biasa, ialah yang menjadi juru bicara suaminya, sedangkan Raja Iblis hanya berdiri memandang dengan sepasang matanya yang mencorong kehijauan.

   "Benar, toanio, saya adalah Ji Sun Ki, panglima di Sanhaikoan. Saya datang memenuhi undangan Ongya melalui Cinjin dan Lomo."

   Raja Iblis memberi isyarat kepada mereka untuk duduk di atas tanah, sedangkan dia sendiri duduk di atas tumpukan kecil tengkorak. Isterinya duduk pula di atas tumpukan kecil tengkorak, sedangkan dua orang kakek pembantu mereka itupun masing-masing mengambil sebuah tengkorak untuk dijadikan tempat duduk. Ji-ciangkun sendiri merasa ngeri kalau duduk di atas tengkorak manusia itu, maka dia hanya menduduki sebuah batu nisan.

   "Ji-ciangkun,"

   Terdengar suara Raja Iblis. Jarang dia bicara, akan tetapi agaknya kini dia merasa betapa pentingnya merangkul panglima ini untuk mulai menyalakan api pemberontakan.

   "Apakah sewaktu-waktu benteng itu dapat kita kuasai?"

   Agak lega rasa hati Ji-ciangkun mendengar suara Raja Iblis. Ternyata suaranya halus dan bahasanya rapi seperti biasa dipergunakan para bangsawan atau orang terpelajar.

   "Semua sudah saya persiapkan, Ongya. Sepuluh ribu perajurit yang tergabung dalam pasukan di benteng Sanhaikoan, sebagian besar dikuasai oleh perwira-perwira pembantu saya. Yang mungkin akan menentang tidak lebih dari dua tiga ribu perajurit saya yang akan mudah diatasi. Akan tetapi, Kok-taijin sukar diajak berdamai dan tidak mungkin bekerja sama. Dari dialah mungkin datangnya tentangan dan halangan."

   "Kekuatannya?"

   Tanya Raja Iblis itu tenang.

   "Lumayan. Ada seribu orang pasukan pengawal yang akan selalu membelanya. Apalagi baru-baru ini dia memperoleh seorang pengawal pribadi yang lihai..."

   Ji-ciangkun berhenti karena pada saat itu Huito Cinjin yang melihat keraguannya menyambung.

   "Ongya, orang yang menjadi pengawal pribadi Kok-taijin itu telah mengalahkan Moghul dan dia bukan lain adalah putera ketua Cin-Ling-Pai!"

   Raja Iblis mengerutkan alisnya dan mengelus jenggotnya yang pendek.

   "Hemm, bukankah Bin Mo To dari Ceng-tao itu sudah memberikan janjinya akan membantu, dan juga mantunya, ketua Cin-Ling-Pai akan membantu pula kalau sudah tiba waktunya? Apakah keluarga itu akan melanggar janji?"

   "Hamba tidak tahu, Ongya. Akan tetapi kita memang tidak boleh terlalu percaya kepada orang-orang seperti ketua Cin-Ling-Pai itu. Apalagi Bin Mo To yang sudah lama mencuci tangan, tidak seperti dahulu ketika dia masih berjuluk Tung-hai-sian."

   "Pemuda itu harus dibunuh, juga kalau mungkin, secepatnya Kok-taijin yang menjadi penghalang itu harus dibunuh!"

   Kata Raja Iblis kepada Ji-ciangkun. Ji-ciangkun mengerutkan alisnya.

   "Maaf, Ongya. Saya sudah menyuruh anak buah mengawasi pemuda she Cia itu. Dan kalau perlu, kiranya tidak begitu sukar membunuhnya dengan pengeroyokan. Akan tetapi membunuh Kok-taijin saya kira tidak bijaksana, bahkan akibatnya bisa amat merugikan."

   "Mengapa?"

   "Seperti telah saya katakan tadi, Kok-taijin mempunyai pasukan pengawal yang setia kepadanya, kurang lebih seribu orang. Kalau saya menyerangnya secara berterang, tentu seribu orang pengawal itu akan memberontak dan melawan, dan kalau terjadi demikian, tentu dua tiga ribu orang pasukan yang belum dapat saya tundukkan itu akan bergabung. Hal ini akan menimbulkan perang sendiri dalam benteng dan biarpun kita dapat menang, namun tentu akan mengalami kerugian banyak pasukan. Lebih baik kalau dapat kita pergunakan akal agar benteng jatuh ke tangan kita tanpa banyak korban, dan lebih baik lagi kalau kita dapat memaksa Kok-taijin menakluk kepada kita."

   "Caranya? Dengan menawannya dan memaksanya?"

   Raja Iblis bertanya. Ji-ciangkun menggeleng kepala.

   "Biarpun dia seorang sipil, namun Kok-taijin memiliki hati yang keras. Andaikata dia ditangkap dan disiksa sekalipun, jangan harap dia akan mau menakluk. Akan tetapi, dia hanya mempunyai seorangi anak, yaitu anak perempuan yang baru berusia sepuluh tahun. Kalau kita menculik anak itu, besar kemungkinan dia mau tunduk dan menurut, demi keselamatan anaknya yang amat disayangnya.

   "Bagus! Lakukanlah itu, Ji-ciangkun. Ingat kami tidak akan mau bergabung denganmu sebelum kau berhasil menguasai benteng Sanhaikoan. Setelah berhasil, barulah engkau akan resmi menjadi panglima besar semua pasukan kita dan kelak engkau tentu akan tetap menjadi panglima kerajaan baru kita."

   Wajah Ji-ciangkun berseri gembira membayangkan kedudukan yang akan diperolehnya kalau gerakan mereka berhasil. Dan dia yakin akan berhasil setelah dia bertemu dengan bekas pangeran yang sakti luar biasa ini. Setelah mengadakan perundingan dengan matang dan Raja Iblis menyatakan siap membantu kalau terdapat kesukaran dalam pengambilalihan kekuasaan di Sanhaikoan itu, Ji-ciangkun lalu kembali ke Sanhaikoan, dikawal oleh dua orang kakek iblis.

   Sementara itu, Hui Song yang keluar dari Sanhaikoan dengan berkuda, baru kira-kira meninggalkan benteng itu sejauh sepuluh li, dia mendengar suara derap kaki kuda dari belakang. Pemuda ini dapat menduga bahwa derap kaki banyak kuda itu tentulah pasukan dan ke mana lagi malam-malam begitu ada pasukan membalapkan kuda mereka kalau bukan untuk mengejar dirinya? Dia sama sekali tidak merasa takut, akan tetapi karena dia sedang membawa tugas yang amat penting, dia tidak mau menunda perjalanan itu dengan perkelahian melawan pasukan yang mengejarnya. Maka diapun lalu berhenti, mengumpulkan bekalnya dan diikatnya buntalan itu di punggungnya, kemudian dia mencambuk kuda itu, diusir dan dikejarnya agar kuda itu lari ke lain jurusan, bukan ke jurusan Cengtek, melainkan ke timur. Kuda itu ketakutan dan lari cepat, dia masih mengejarnya dengen lemparan-lemparan batu sehingga kuda itu lari tunggang-langgang.

   Setelah itu, Hui Song meloncat naik ke atas dahan pohon dan bersembunyi di balik daun-daun lebat. Tak lama kemudian, muncullah serombongan pasukan itu dan ternyata jumlah mereka ada seratus orang! Akan sukar juga kalau dia harus melawan orang sedemikian banyaknya, dan juga akan membuang-buang waktu saja. Pasukan itu berhenti, memeriksa tanah dengan obor-obor dan akhirnya mereka membelok ke kiri, mengejar kuda yang meninggalkan jejak di atas tanah itu. Setelah pasukan itu membalapkan kuda ke timur, barulah Hui Song meloncat turun dari atas pohon, lalu mempergunakan ilmu lari cepat, lari ke selatan lalu ke barat, menuju ke Cengtek. Jarak yang ditempuhnya akan makan waktu sehari semalam, dan pada besok malam baru dia akan tiba di Cengtek.

   Kota Cengtek merupakan kota yang cukup besar dan ramai. Kota ini merupakan semacam benteng pertahanan pula atau merupakan pintu menuju ke kota raja Peking, karena itu di kota ini terdapat benteng yang cukup besar dan kuat. Yang menjadi komandan pasukan di Cengtek adalah seorang jenderal bernama Lui Siong Tek, seorang laki-laki tinggi besar dan gagah perkasa, berusia empat puluh lima tahun. Dia menguasai selaksa pasukan tetap dan dengan mudah dia akan memperlipat gandakan pasukannya itu dengan pasukan-pasukan lain yang berada di sekeliling daerah itu, yang merupakan mata rantai pertahanan di utara di sebelah dalam Tembok Besar untuk melindungi kota raja dari serbuan-serbuan yang mungkin datang dari bangsabangsa liar di utara.

   Sudah menjadi kebiasaan bahwa seorang pembesar yang mempunyai kekuasaan penuh di suatu daerah, akan merasa yang paling berkuasa, seolah-olah menjadi raja kecil di wilayah kekuasaannya. Pembesar itu akan lupa bahwa dia hanyalah seorang petugas yang bekerja untuk atasan di kota raja. Dan seorang pembesar militer seperti Lui-goanswe ini, di waktu negara sedang aman dan tidak ada perang, akan menjadi malas dan lengah, membiarkan diri tenggelam dalam kesenangan-kesenaangan yang mudah saja didapat karena kekuasaan dan kekayaannya. Demikian pula dengan Lui Siong Tek, karena wilayahnya dalam keadaan aman dan tenteram, diapun membiarkan dirinya hanyut dalam kesenangannya yang telah memperbudaknya sejak dia masih amat muda, yaitu bersenang-senang dengan wanita cantik.

   Ketika Hui Song tiba di Cengtek, sebelum dia mengunjungi pembesar itu, dia lebih dahulu menyelidiki dan mencari keterangan perihal komandan yang menjadi panglima di benteng kota itu. Dan dia mendengar bahwa komandan itu adalah seorang yang gagah perkasa, yang pandai mengatur pasukan dan sudah amat terkenal, akan tetapi juga memiliki kelemahan, yaitu suka mengumpulkan wanita-wanita cantik dan mempunyai banyak selir yang tak terhitung banyaknya. Bahkan ada kabar angin bahwa pembesar itu kini mempunyai seorang selir baru dan setiap hari bersenang-senang dengan selir barunya itu. Setelah mendapat keterangan di mana adanya pembesar itu, malam itu juga Hui Song lalu memasuki benteng melalui tembok benteng yang tidak terjaga ketat.

   Kalau pemimpinnya malas, anak buahnyapun tentu saja malas, dan kalau pemimpinnya lengah, anak buahnyapun lengah, maka penjagaan di sekitar benteng itupun tidak ketat. Para penjaga hanya bergerombol di pintu gerbang, mengobrol atau bermain kartu sehingga dengan mudah Hui Song dapat melompati tembok dan meloncat ke sebelah dalam, menyelinap di antara bangunan-bangunan besar di dalam benteng itu dan dengan mudah saja dia dapat memasuki sebuah gedung terbesar di tengah benteng. Itulah gedung tempat tinggal Lui-goanswe yang nampak sunyi saja, tanpa ada penjagaan di sekitar gedung, dan agaknya semua penghuninya telah tidur. Hui Song menyelinap masuk ke dalam gedung itu dan tak lama kemudlan dia sudah mengintai ke dalam sebuah ruangan yang terang dan di mana dia mendengar suara orang bercakap-cakap.

   Ketika dia mengintai ke dalam, dia melihat seorang laki-laki tinggi besar dan berwajah gagah, mukanya dihias jenggot dan kumis lebat, berusia empat puluh tahun lebih, sedang makan minum dilayani oleh dua orang pelayan wanita muda dan di depannya duduk pula seorang wanita cantik. Melihat wanita itu, jantung Hui Song berdebar keras dan dia kaget sekali karena dia mengenal baik wanita cantik ini yang bukan lain adalah Gui Siang Hwa, wanita yang pernah memperdayainya dan nyaris membunuhnya, murid dari Raja Iblis itu! Dan ternyata bahwa pada saat dia mengintai, mereka sudah selesai makan. Tiba-tiba wanita cantik itu bangkit berdiri dan berkata kepada dua orang pelayan wanita,

   "Bersihkan meja!"

   Lalu ia menggandeng tangan pria itu dan dengan sikap manja menariknya bangkit dari kursinya. Pria itu hanya tersenyum dan Hui Song melihat bahwa keduanya hanya memakai pakaian tidur yang tipis dan longgar saja. Karena dia tahu betapa lihainya Gui Siang Hwa, Hui Song merasa terheran-heran melihat hadirnya gadis iblis itu di tempat itu, cepat dia meloncat dan menyelinap ke dalam sebuah kamar yang berdekatan dengan ruangan itu karena dia melihat kamar itu terbuka daun pintunya dan kosong. Tempat itulah yang paling baik untuk bersembunyi. Sebelum dia menghadap Lui-goanswe, dia harus lebih dahulu menyelidiki apa artinya murid Raja Iblis itu berada di tempat ini.

   Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika dia mendengar suara langkah kaki dan percakapan dua orang itu menuju ke kamar di mana dia telah bersembunyi. Celaka, pikirnya. Agaknya dia telah salah masuk dan yang dimasukinya agaknya malah kamar tidur mereka! Tidak ada waktu lagi untuk keluar dari situ, maka jalan satu-satunya bagi Hui Song hanyalah bersembunyi dan cepat dia menyusup ke bawah tempat tidur. Dan tepat seperti yang diduganya, langkah kaki itu menuju ke kamar dan dari bawah tempat tidur, di bawah kain tilam tempat tidur itu, dia dapat melihat dua pasang kaki memasuki kamar itu, lalu daun pintu ditutup dan sambil tertawa-tawa mereka berdua langsung saja menuju ke tempat tidur! Tempat tidur berderit ketika tertimpa pinggul wanita itu yang sudah merangkul sang pria yang ditariknya duduk di sampingnya.

   "Aih, manis, kenapa engkau begini tergesa-gesa? Baru saja kita habis makan..."

   

Pendekar Sadis Eps 17 Pendekar Sadis Eps 33 Pendekar Sadis Eps 38

Cari Blog Ini