Ceritasilat Novel Online

Asmara Berdarah 28


Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo Bagian 28



"Awas kalau engkau melahirkan anak perempuan,"

   Katanya mengancam.

   "akan kubunuh anak itu, atau kalau tidak, akan kuambil ia sebagai selirku!"

   Biarpun ia sendiri sudah biasa melakukan Hal-hal yang menyeramkan dan juga memiliki dasar watak yang liar dan jahat, akan tetapi hati wanita itu khawatir sekali mendengar ucapan suaminya. Dan ia tahu betul bahwa suaminya itu bukan hanya mengancam kosong belaka, akan tetapi tentu akan melaksanakan apa yang diancamkannya. Kalau ia gagal melahirkan seorang putera, kalau yang terlahir itu seorang anak perempuan, tentu akan dibunuh suaminya atau lebih menyakitkan hati lagi, kelak akan menjadi selir suaminya! Akan tetapi Ratu Iblis bukan seorang bodoh. Sebaliknya, ia cerdik sekali dan dalam keadaan terancam itu,

   Jauh hari sebelumnya ia sudah mengatur siasat dan merencanakan penyelamatan bayinya andaikata bayinya itu lahir perempuan. Ia telah memperoleh seorang pembantu yang akan melaksanakan segala rencananya itu andaikata bayinya terlahir perempuan. Saat yang dinanti-nantikan itupun tibalah. Dan untung bagi Ratu Iblis, kelahiran itu terjadi tengah malam sehingga amat memudahkan pelaksanaan siasatnya. Siasat yang amat keji karena pembantunya itu telah menyingkirkan bayinya yang ternyata terlahir perempuan dan menaruhkan seorang bayi lain, juga bayi perempuan yang diperolehnya dari dalam dusun yang berdekatan. Menculik bayi itu dan menukarnya dengan bayi yang baru dilahirkan oleh Ratu Iblis! Dan ketika pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Raja Iblis datang menjenguk, dia hanya mendapatkan seorang bayi perempuan yang sudah mati!

   "Ia lahir perempuan dan... mati?"

   Tanyanya.

   "Ya, aku membunuhnya. Lebih baik mati di tanganku dari pada di tanganmu,"

   Jawab Ratu Iblis sederhana.

   Beberapa hari kemudian, setelah Ratu Iblis pulih kembali kesehatannya, secara aneh pembantu itupun tewas pada suatu malam. Tentu saja yang membunuhnya adalah Ratu Iblis yang merasa khawatir kalau-kalau rahasianya terbongkar. Setelah ia menyelidiki di mana adanya anak yang ditukarkan itu, ia lalu membunuh si pembantu sehingga rahasia itu hanya diketahui oleh dirinya sendiri saja. Demikian besarlah "aku"Nya Ratu Iblis yang selalu mementingkan diri sendiri saja. Demi menyelamatkan nyawa bayinya, ia tidak segan-segan untuk membunuh lain bayi secara kejam sekali! Akan tetapi, penyakit seperti yang mencengkeram batin Ratu Iblis inipun agaknya diderita oleh kita semua pada umumnya. Akan tetapi, setelah isterinya melahirkan seorang anak perempuan yang dibunuhnya sendiri, Raja Iblis menjadi semakin menggila. Dia ingin sekali memperoleh keturunan terutama seorang putera.

   "Kalau kelak aku menjadi kaisar, lalu siapa yang akan menggantikan aku? Aku tidak rela kalau digantikan oleh orang lain!"

   Mulailah dia mengambil selir-selir, bahkan Siang Hwa yang menjadi muridnya juga tidak terlepas dari gangguannya, dengan harapan agar dia dapat memperoleh keturunan, terutama keturunan laki-laki dari para selirnya itu. Akan tetapi, Ratu Iblis yang merasa betapa kedudukannya sebagai "permaisuri"

   Akan terancam kalau ada selir yang melahirkan seorang anak laki-laki,

   Diam-diam mengancam mereka agar mereka itu suka makan ramuan obat yang dibuatnya khusus untuk mencegah kehamilan, dengan ancaman akan membunuh mereka kalau tidak menurut. Juga Siang Hwa diancam dan dipaksa minum obat itu. Sebagai balas jasa, juga sebagai penyimpan rahasia ini, Siang Hwa selalu dilindungi oleh Ratu Iblis, bahkan dilindungi dan diperbolehkan pula murid itu berbuat cabul dengan pria mana saja yang disukainya. Seperti telah kita ketahui, Siang Hwa gagal membujuk Lui Siong Tek, komandan kota Cengtek sehingga ia membunuh komandan itu dan melarikan dokumen penting mengenai keadaan benteng Cengtek. Ia melarikan diri menemui gurunya dan sementara itu pasukan Ji-ciangkun yang dibantu oleh para tokoh sesat telah berhasil menguasai benteng Sanhaikoan.

   Siang Hwa melaporkan peristiwa di Cengtek dan Raja Iblis girang mendengar bahwa komandan kota Cengtek yang setia terhadap pemerintah itu telah tewas. Siang Hwa lalu diberi tugas untuk melakukan penyelidikan tentang berita bahwa para pendekar hendak mengadakan pertemuan di bekas benteng Jeng-hwa-pang. Gadis yang cerdik ini lalu memasang banyak pembantunya untuk menjadi mata-mata, di antara mereka adalah enam orang yang membuka kedai arak itu. Dan ketika muncul Cia Sun dan Ci Kang yang lihai, hati Siang Hwa menjadi tertarik sekali. Dengan cepat gadis ini dapat menyelidiki siapa adanya dua orang muda yang tampan dan gagah perkasa itu. Terkejutlah ia mendengar bahwa mereka itu adalah putera penghuni Lembah Naga dan putera mendiang Iblis Buta.

   Timbul niatnya untuk menaklukkan dua orang pemuda itu agar suka menjadi pembantu-pembantu gurunya, dan terutama sekali tentu saja, menarik dua orang pemuda itu menjadi kekasihnya! Diaturlah siasat yang amat kejam, mengorbankan penghuni dusun yang dirampok dan dibunuh, hanya untuk membuat dua orang itu mudah percaya kepadanya. Dan akhirnya iapun berhasil menjebak Cia Sun dan Ci Kang sehingga dua orang muda itu terperangkap dan karena mereka berdua menolak bujuk rayu Siang Hwa, kini gadis itu mencari kesenangan dengan jalan menghukum dan menyiksa mereka berdua sampai mati. Ia merasa yakin bahwa kedua orang pemuda itu sudah pasti akan menemui kematian seperti dua ekor tikus yang tenggelam karena ia tahu bahwa tidak mudah membuka batu-batu penutup lubang yang digerakkan dengan alat rahasia,

   Tidak mungkin pula membobol dinding yang terbuat dari besi yang melapisi batu gunung! Dan, direbutnya Sanhaikoan juga mengharuskan Raja dan Ratu Iblis, bersama murid mereka itu untuk cepat-cepat memasuki Sanhaikoan dan menyusun kekuatan di benteng pertama yang berhasil direbut itu. Oleh karena itu, yakin bahwa dua orang muda itu tentu akan tewas tenggelam dalam lubang yang dialiri air, kakek dan nenek itu bersama Siang Hwa lalu bergegas pergi meninggalkan istana kuno itu yang hanya disuruh jaga beberapa orang anak buah. Mereka pergi menuju ke Sanhaikoan. Agaknya memang belum tiba saatnya bagi Cia Sun dan Ci Kang untuk mati sebagai dua ekor tikus yang tenggelam. Dua kali sudah Cia Sun yang masih terbelenggu itu minta kepada Ci Kang untuk melepaskan belenggunya.

   "Bantulah aku melepaskan diri, Ci Kang, agar aku depat membantumu membongkar penutup lubang itu!"

   Untuk ketiga kalinya Cia Sun berseru setelah air sudah mencapai dada.

   "Hemm, melepaskan diri dari belenggu sendiri saja tidak mampu, apa artinya bantuanmu mendorong batu ini?"

   Ci Kang berkata dengan pandang mata merendahkan dan hatinya menjadi semakin penasaran. Dia belum dapat mengalahkan pemuda yang begini lemah, yang tidak mampu membikin putus belenggu macam itu saja! Cia Sun menjadi tidak sabar lagi. Pemuda itu sungguh terlalu memandang rendah dirinya.

   "Ci Kang, apakah kau sudah siap mati seperti tikus tenggelam?"

   Bentaknya.

   "kalau kau tidak mau melepaskan belengguku, tolong kau bebaskan totokanku. Jangan dikira aku tidak mampu membebaskan diri kalau pengaruh totokan sudah punah. Kau lebih banyak mempunyai waktu untuk membebaskan totokanmu dari pada aku, maka jangan kau takabur dan sombong!"

   Ci Kang menoleh dan baru dia teringat bahwa adanya Cia Sun tidak mampu melepaskan belenggu itu adalah karena jalan darahnya tertotok. Tanpa banyak cakap lagi dia lalu menghampiri Cia Sun dan menotok kedua pundak pemuda itu. Cia Sun memperoleh lagi tenaga sinkangnya setelah jalan darahnya lancar.

   "Mari kita cepat menyatukan tenaga!"

   Katanya karena air sudah mencapal leher. Sebentar lagi mereka akan mati tenggelam kalau tidak cepat memperoleh jalan keluar.

   "Mari!"

   Kata Ci Kang dan mereka berdua kini berdiri dengan kaki kokoh kuat di atas lantai dan dua lengan mereka menyangga batu penutup lubang, lalu mereka mengerahkan sinkang sekuat tenaga untuk mendorong batu ke atas. Hebat bukan main tenaga kedua orang pemuda itu. Batu itu bukan hanya amat berat, akan tetapi juga diikat rantai baja yang dihubungkan dengan alat rahasia yang menggerakkannya. Akan tetapi kekuatan kedua orang muda itu membuat batu itu mulai bergerak terangkat! Akan tetapi, ketika batu itu terangkat sedikit, air yang masuk dari celah-celah batu semakin banyak sehingga sebentar saja air sudah sampai ke mulut mereka! Mereka mengerahkan seluruh tenaga terakhir.

   "Brakkkk..."

   Bukan batu di atas itu yang terangkat, melainkan lantai yang menjadi landasan kaki mereka yang tentu tertekan dengan hebatnya ke bawah, kini jebol ke bawah!

   Dan kedua orang muda itu terjatuh ke dalam lubang baru yang timbul karena jebolnya lantai yang mereka injak, terbawa bersama air yang membanjir ke bawah. Cepat mereka mengerahkan ginkang dan menyalurkan tenaga ke kulit mereka melindungi diri. Mereka terjatuh dan terbanting ke atas batu lantai yang jebol tadi, dan kalau bukan mereka berdua yang memiliki kekebalan dan ilmu yang tinggi, tentu setidaknya akan menderita patah tulang atau babak belur. Mereka cepat berloncatan dan menjauhi air yang masih terjun ke bawah itu. Dengan tubuh basah kuyup keduanya kini berdiri di dalam ruangan yang amat luas itu, siap menghadapi segala kemungkinan. Mereka saling pandang dan tidaklah mengherankan kalau ada rasa haru di lubuk hati mereka. Terharu karena baru saja mereka terlepas dari cengkeraman maut. Air tadi sudah mencapai mulut dan terlambat satu menit lagi saja mereka akan tewas.

   "Siangkoan Ci Kang, kita masih hidup?"

   Seru Cia Sun. Ci Kang mengangguk. Kalau dia tadi tidak cepat-cepat membebaskan totokan pada tubuh Cia Sun, belum tentu sekarang mereka masih hidup.

   "Cia Sun, engkau hebat!"

   Dia memuji karena bagaimanapun juga, tanpa bantuan tenaga Cia Sun, tak mungkin lantai itu dapat jebol.

   "Sudahlah, tak perlu saling puji. Mari kita selidiki tempat ini!"

   Kata Cia Sun sambil memeras air dari rambut dan bajunya. Mereka lalu menjauhi tempat yang jebol bagian atasnya itu dan tempat itu merupakan ruangan batu yang luas sekali.

   "Ssttt... lihat..."

   Tiba-tiba Ci Kang berbisik. Cia Sun cepat membalikkan tubuhnya dan matanya terbelalak. Tak jauh dari situ dia melihat orang yang melihat pakaian dan tata rambutnya adalah seorang tosu, duduk bersila di atas sebuah batu datar tinggi yang mepet pada dinding batu. Dilihat dari tempat mereka, tosu yang nampak dari sisi itu berambut panjang, sudah putih semua, pakaiannya juga serba putih dan dia memegang sebuah kebutan berbulu putih pula.

   Tentu saja dua orang muda itu siap siaga karena di tempat seperti ini, mereka dapat menduga bahwa tentu tosu itupun merupakan sekutu dari Raja Iblis dan merupakan lawan yang amat berbahaya. Dengan hati-hati keduanya lalu melangkah menghampiri batu datar itu dan ketika mereka tiba di depan tosu itu, mereka memandang dengan mata terbelalak penuh keheranan. Kiranya tosu itu telah menjadi tulang-tulang manusia yang masih duduk bersila, masih berpakaian lengkap! Mukanya merupakan tengkorak yang menyeramkan, juga kedua tangan yang terjulur keluar dari lengan baju itu merupakan tulang-tulang rangka yang panjang-panjang dengan kuku panjang pula. Akan tetapi rambut putih panjang itu masih utuh, demikian pula pakaian putih dan kebutan berbulu putih! Menyeramkan sekali keadaan kerangka manusia berpakaian lengkap itu.

   "Ah, hanya kerangka..."

   Kata Cia Sun dan suaranya hanya bisikan yang agak gemetar karena dia masih dipengaruhi rasa kaget dan heran, juga serem.

   "Ssst, lihat..."

   Ci Kang berbisik dan suaranya juga gemetar. Keduanya terbelalak dengan muka berobah agak pucat ketika melihat betapa tiba-tiba saja kebutan berbulu putih itu bergerak-gerak ke atas! Ini tandanya bahwa kerangka itu masih hidup dan dapat menggerakkan kebutan! Bukan itu saja, bahkan tiba-tiba terdengar suara keluar dari dalam tengkorak itu, suara yang melengking tinggi dan terdengar menyeramkan penuh wibawa, bergema di seluruh ruangan luas itu.

   "Kalian ini orang-orang lancang dari mana berani mati memasuki dan mengotori tempat ini?"

   Cia Sun dan Ci Kang yang terkejut setengah mati itu sejenak saling pandang dengan muka masih pucat. Mereka sungguh hampir tidak dapat percaya kepada telinga sendiri. Jelaslah bahwa kerangka manusia itu bukan topeng, melainkan kerangka yang benar-benar terbungkus pakaian. Akan tetapi kenapa kerangka itu dapat menggerakkan kebutan dan dapat mengeluarkan suara seperti masih hidup? Karena suara ini jelas adalah suara wanita, mereka lalu menduga bahwa pendeta yang sudah menjadi kerangka ini dahulunya adalah seorang pendeta wanita. Maka Cia Sun segera menjura dengan sikap hormat.

   "Harap locianpwe sudi memaafkan karena tanpa sengaja kami berdua telah memasuki tempat ini..."

   "Tiada maaf! Cepat kalian pergi dari sini, kalau tidak akan kucabut nyawa kalian!"

   Kerangka itu memotong dan suaranya terdengar galak sekali.

   "Heeii!"

   Tiba-tiba Ci Kang berseru sambil menudingkan telunjuknya ke arah kerangka itu.

   "Lihat, mulutnya tidak bergerak dan kebutan itu gagangnya tidak dipegang oleh tangannya!"

   Setelah berkata demikian, dengan cekatan Ci Kang melompat naik melalui lantai tangga yang menuju ke atas batu datar tinggi di mana tengkorak berpakaian itu duduk. Kiranya selagi Cia Sun tadi bicara kepada kerangka itu, diam-diam Ci Kang memperhatikan dan pandang matanya yang tajam melihat kejanggalan-kejanggalan itu yang membuatnya berteriak dan cepat meloncat ke atas untuk mendekati kerangka itu.

   Pada saat itu, dari belakang kerangka itu berkelebatan bayangan putih yang melesat dengan cepatnya sehingga sukar bagi pandang mata untuk mengikutinya. Akan tetapi Cia Sun dan Ci Kang adalah dua orang muda yang terlatih sejak kecil, dengan pandang mata mereka yang terlatih, mereka dapat melihat bahwa yang berkelebat dari belakang kerangka itu adalah seorang gadis muda yang gerakannya lincah bukan main. Mereka teringat akan Siang Hwa yang telah memperdayakan mereka, maka dengan marah mereka lalu mengejar dengan gerakan yang tidak kalah cepatnya. Gadis yang berpakaian serba putih itu menyelinap ke sudut ruangan yang luas itu, bersembunyi di balik batu yang menonjol. Ketika dia melihat betapa dua orang pemuda itu melakukan pengejaran dengan gerakan yang cepat, ia lalu mengeluarkan teriakan nyaring.

   "Laki-laki kurang ajar dan tidak sopan, jangan dekati aku!"

   Tentu saja Cia Sun dan Ci Kang tidak takut oleh gertakan ini. Mereka menduga bahwa wanita itu Siang Hwa, maka dengan marah mereka mengejar terus hendak menghadapi wanita jahat yang mencelakakan mereka itu. Akan tetapi, begitu mereka tiba di situ, gadis itu meloncat keluar dari balik batu menonjol dan sinar putih yang amat cepat menyambar ke arah leher Cia Sun dan Ci Kang.

   Dua orang pemuda itu terkejut bukan main. Serangan ini sungguh amat cepat dan tidak terduga sehingga nyaris leher mereka kena totokan ujung kebutan putih yang bertubi-tubi menyerang ke arah leher mereka bergantian. Untung keduanya cepat melempar tubuh ke belakang, berjungkir balik dan ketika mereka turun lagi ke atas lantai, mereka berhadapan dengan seorang gadis yang sama sekali bukan Siang Hwa! Dara itu bertubuh kecil ramping, wajahnya agak pucat seperti wajah orang yang kurang memperoleh sinar matahari, akan tetapi sepasang mata itu amat tajam mencorong seperti mata seekor harimau, agaknya mata yang terlatih dalam gelap. Rambutnya hitam panjang digelung sederhana, wajahnya manis sekali, terutama mulutnya yang kecil dengan bibir yang kelihatan amat merah dengan latar belakang kulit mukanya yang putih agak pucat.

   Pakaiannya putih bersih namun potongannya sederhana, seperti pakaian pertapa saja, juga bulu kebutan yang dipegangnya putih bersih, seperti kebutan yang berada di pangkuan kerangka berpakaian itu. Melihat wajah yang manis itu, agaknya dara ini paling banyak delapan belas tahun usianya, masih amat muda dan bahkan sikapnya masih kekanak-kanakan ketika ia berdiri menghadapi dua orang pemuda itu dengan mata terbelalak, marah dan juga takut atau ngeri melihat tubuh Ci Kang yang telanjang dada itu, suatu penglihatan yang belum pernah dialaminya sebelumnya. Ia tidak berani memandang dada itu lama-lama dan menundukkan muka, akan tetapi sepasang matanya mengerling penuh kewaspadaan, memperhatikan gerak-gerik dua orang pemuda itu.

   Ci Kang dan Cia Sun berdiri memandang, sejenak seperti kehilangan akal karena mereka sungguh tidak mengira bahwa wanita itu bukan Siang Hwa, melainkan seorang gadis muda yang sama sekali tidak mereka kenal. Akan tetapi, karena gadis ini berada di tempat yang mereka anggap sebagai sarang dari Raja Iblis, tentu saja merekapun menaruh curiga kepada gadis ini. Apalagi setelah mereka mengalami malapetaka dan nyaris tewas akibat seorang gadis cantik pula. Dan gadis inipun tadi menyerang mereka dengan amat hebatnya, serangan maut yang kalau tidak cepat mereka elakkan, mungkin dapat membunuh mereka. Betapapun juga, karena yang mereka hadapi hanya seorang gadis remaja yang kini nampak bingung dan ketakutan seperti seekor harimau yang terkurung, dua orang pemuda itu sendiripun tidak tahu harus berbuat apa. Tentu saja mereka tidak sudi menyerang gadis yang tidak mereka kenal ini.

   "Nona, kenapa engkau menakut-nakuti kami kemudian menyerang kami dengan kebutanmu itu?"

   Tanya Cia Sun.

   "Karena demikian pesan ibuku..."

   Jawab gadis itu, suaranya mardu akan tetapi agak kaku seperti orang yang jarang sekali bicara.

   "Pesan ibumu? Untuk membunuh kami?"

   "Ya, kalian atau siapa saja yang berani masuk ke sini, terutama laki-laki. Aku... aku tadi tidak tega untuk menyerang kalian, maka hendak mengusir kalian dengan menakut-nakuti, akan tetapi kalian tidak takut..."

   Cia Sun dan Ci Kang saling pandang. Mereka mengerutkan alis. Gadis ini masih seperti anak-anak saja. Akan tetapi bagaimanapun juga, ketika mengatakan bahwa ia tidak tega menyerang mereka, menunjukkan bahwa gadis ini tidaklah sejahat Siang Hwa.

   "Siapakah ibumu, nona?"

   "Ibuku... ya, ibuku, satu-satunya orang yang baik kepadaku, yang Kadang-kadang mengunjungi dan yang melatih ilmu silat, mengajarku membaca dan menulis. Sayang, ibu kini hanya jarang saja dapat mengunjungiku..."

   "Akan tetapi, kenapa engkau berada di tempat ini? Dan bagaimana dapat keluar dari sini?"

   Cia Sun mendesak.

   "Aku berada di sini sejak kecil, aku sudah lupa lagi berapa lamanya... sejak kecil, dan yang menemani aku hanya kerangka itu... dan ibu yang Kadang-kadang datang menjengukku."

   "Engkau tidak pernah keluar dari sini?"

   Tanya Ci Kang yang juga terheran-heran. Gadis itu menggeleng kepala.

   "Tidak diperkenankan ibu. Katanya, kalau aku keluar, aku tentu akan dibunuh orang. Aku hanya dapat mandi cahaya matahari selama beberapa jam saja setiap hari ketika sinar matahari memasuki ruangan belakang melalui sebuah lubang."

   "Bagaimana engkau makan? Minum? Dan mandi atau mencuci pakaian?"

   Cia Sun bertanya, merasa heran dan kasihan.

   "Aku masak sendiri, bahan makanan diberi ibu, banyak sekali."

   Gadis itu lalu berjalan perlahan, diikuti dua orang pemuda itu. Ia memperlihatkan tumpukan bahan makanan di sebuah ruangan lain dan juga adanya sebuah sumber air. Ada beras, ada daging kering dan bumbu-bumbunya. Cukup untuk makan berbulan-bulan.

   "Akan tetapi, kenapa engkau dikurung di sini? Siapa yang akan membunuhmu kalau kau keluar?"

   "Entahlah, ibu hanya bilang bahwa aku tidak boleh bertemu dengan laki-laki. Kalau ada laki-laki masuk ke sini, aku harus membunuhnya. Akan tetapi aku tidak suka membunuh, dan aku sekarang merasa girang sekali dapat bertemu dan bercakap-cakap denganmu..."

   Gadis itu memandang wajah Cia Sun dengan mata bersinar-sinar.

   "Aku girang tadi tidak sampai membunuhmu!"

   "Hemm, jangan dikira mudah membunuh dia atau aku, nona,"

   Kata Ci Kang.

   "Aku tentu dapat kalau aku mau!"

   Gadis itu berkata.

   "Kebutanku ini lihai sekali, bahkan ibu sendiri bilang kebutanku akan sukar dilawan olehnya. Lihat..."

   Gadis itu menggerakkan kebutannya.

   "Tar-tar..."

   Ujung batu di langit-langit ruangan itu terkena sambaran ujung kebutan dan hancur menjadi debu! Diam-diam dua orang pemuda itu kaget dan kagum. Gadis ini tidak main-main dan ilmu mempergunakan kebutan itu lihai dan berbahaya sekali.

   "Siapa yang mengajarmu mainkan kebutan selihai itu?"

   Cia Sun bertanya. Kalau sampai ibu gadis itu sendiri yang katanya mengajarnya silat menyatakan tidak sanggup menandingi kebutan itu, berarti tentu bukan ibu gadis itu yang membimbingnya dalam ilmu menggunakan kebutan itu.

   "Guruku dalam ilmu kebutan adalah dia!"

   Gadis itu menuding ke arah kerangka manusia berpakaian tosu itu. Dua orang pemuda itu terkejut dan kini mereka semua kembali, menghampiri kerangka yang masih duduk bersila. Kini mereka berdua dapat membayangkan betapa lihainya orang ini dahulu ketika masih hidup. Jelas bahwa orang itu mati dalam keadaan bersamadhi. Dan hebatnya, biarpun seluruh kulit dan dagingnya telah habis dimakan waktu dan hanya tinggal kerangkanya saja, akan ketapi kerangka itu tetap dalam keadaan duduk bersila dan tidak runtuh.

   "Siapakah locianpwe ini...?"

   Tanya Ci Kang dengan hati kagum.

   "Dia adalah kakek guruku, dia adalah guru terakhir dari ibu dan ayahku."

   Gadis itu menjawab tanpa ragu-ragu dan dengan suara mengandung kebanggaan. Agaknya dara itu merasa bangga sekali kepada kerangka itu yang selain menjadi kakek gurunya, juga menjadi temannya hidup di dalam gua bawah tanah ini.

   "Akan tetapi dia... mana bisa mengajarmu? Dia sudah mati lama sekali,"

   Kata Cia Sun. Gadis itu tertawa dan wajahnya yang agak pucat itu nampak manis bukan main. Sepasang matanya memandang wajah Cia Sun dan berseri-seri. Agaknya ia dapat mendengar atau merasakan betapa di dalam suara pemuda itu terkandung perasaan iba dan kagum dan hal ini amat manyenangkan hatinya.

   "Tentu saja tidak secara langsung. Dia sudah menjadi kerangka ketika aku dibawa ke sini untuk pertama kalinya. Akan tetapi atas petunjuk ibuku, aku mempelajari catatan-catatan dan gambar-gambar yang terukir di atas batu yang berada di belakangnya. Ilmu itu, kata ibu merupakan ilmu rahasia yang tidak pernah diajarkan kepada siapapun, juga tidak kepada ibu, sehingga kini menjadi milikku sendiri."

   Dua orang pemuda itu kint dapat menduga bahwa gadis ini bukan orang jahat, dan agaknya tidak ada hubungannya dengan Raja Iblis, Ratu Iblis, maupun Siang Hwa. Akan tetapi Ci Kang masih belum puas.

   "Apakah engkau mengenal seorang gadis bernama Siang Hwa?"

   Tanyanya sambil memandang wajah dara remaja itu. Yang ditanya mengerutkan alisnya seperti orang mengingat-ingat, lalu menggeleng kepala.

   "Tentu engkau mengenal Raja Iblis atau Ratu Iblis!"

   Ci Kang menyambung tiba-tiba dan pandang matanya penuh selidik mengamati wajah cantik manis itu. Akan tetapi gadis itu kelihatan geli dan menggeleng kepalanya lagi.

   "Kau kira aku ini siapakah mengenal segala iblis? Aku hanya mengenal iblis dan setan dalam dongeng-dongeng ibuku atau cerita-cerita dalam buku-buku yang ditinggalkan ibu untukku."

   Cia Sun dan Ci Kang saling pandang, kini yakin bahwa gadis ini memang tidak ada sangkut-pautnya dengan keluarga iblis itu.

   "Siapakah nama ibumu dan ayahmu, nona?"

   Cia Sun bertanya, sikapnya halus dan sopan walaupun dia dapat menduga bahwa gadis ini sejak kecil tidak pernah bergaul dengan manusia lain. Gadis itu memandang Cia Sun dan seperti tadi, wajahnya berseri dan jelas nampak dari pandang matanya bahwa ia suka dan kagum kepada pemuda itu. Lalu ia menggeleng kepala.

   "Aku tidak tahu, aku tidak pernah jumpa dengan ayah, dan ibuku tidak pernah memberitahukan nama. Tapi aku... aku benci ayah!"

   Cia Sun mengerutkan alisnya. Seorang gadis yang begini manis dan yang keadaannya amat aneh, menarik perhatian dan rasa ibanya, tidak layak kalau mengeluarkan kata-kata keji seperti itu, kata-kata yang hanya patut keluar dari mulut seorang anak durhaka.

   "Nona, tidak baik membenci ayah sendiri."

   Dia menegur. Mendengar nada suara teguran ini, dan melihat betapa pandang mata Cia Sun sedemikian marah dan tidak senang, tiba-tiba saja gadis itu menutupi muka dengan kedua tangan dan menangis! Tentu saja Cia Sun dan Ci Kang menjadi heran dan tidak tahu harus berbuat apa. Cia Sun yang merasa bersalah telah menegur orang padahal urusan pribadi nona itu sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan dia, segera maju dan berkata dengan suara menyesal,

   "Maafkan aku, nona. Bukan maksudku untuk menegurmu dan menyinggung hatimu, akan tetapi aku tadi hanya merasa heran bagaimana seorang gadis seperti engkau ini dapat membenci ayah sendiri. Kenapa engkau membencinya? Kalau sampai engkau membencinya, tentu dia seorang ayah yang tidak baik!"

   Gadis itu menurunkan kedua tangannya dan sejenak Cia Sun terpesona. Setelah menangis, ada warna merah pada kedua pipi gadis itu dan kini ia nampak cantik manis sekali, amat menarik hati! Gadis itu mengusap air mata dari kedua pipinya dengan ujung lengan baju, kemudian memandang Cia Sun.

   "Dia... dia mau membunuhku!"

   "Apa...?"

   Cia Sun benar-benar terkejut mendengar ini.

   "Kenapa?"

   "Aku tidak tahu. Aku tidak pernah berjumpa dengan dia, akan tetapi ibu menekankan kepadaku bahwa aku tidak boleh bertemu dengan orang lain, terutama dengan laki-laki dan lebih-lebih lagi dengan ayahku karena ayahku pasti akan membunuhku kalau bertemu denganku. Karena itulah maka aku dikurung di sini."

   Hati Cia Sun tertarik sekali. Ayah dan ibu gadis ini sungguh merupakan manusia-manusia aneh. Ibu gadis ini barangkali gila, ataukah ayahnya yang gila? Ataukah gadis ini sendiri yang miring otaknya?

   "Engkau tidak tahu siapa nama ayahmu atau ibumu?"

   Gadis itu menggeleng kepalanya.

   "Dan namamu sendiri? Siapakah namamu?"

   
Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Ibu memanggil aku Hui Cu."

   "She mu...?"

   "Apa itu she?"

   "Nama keluargamu? Siapakah nama keluarga ayahmu?"

   "Aku tidak tahu, tahuku hanya bahwa ibu memanggil aku Hui Cu dan kata ibu usiaku sekarang sudah hampir delapan belas tahun."

   Sementara itu, Ci Kang kelihatan tidak sabar melihat betapa Cia Sun asyik bicara dengan gadis ini. Dia tahu bahwa Cia Sun hanya tertarik oleh riwayat gadis yang amat aneh itu, akan tetapi baginya, hal itu tidak ada sangkut-pautnya sama sekali.

   "Sudahlah, mari kita cepat keluar dari sini. Nona, tunjukkanlah jalan keluar dari tempat ini untuk kami,"

   Katanya. Baru teringat Cia Sun bahwa mereka terkurung di dalam gua bawah tanah. Diapun mengangguk kepada gadis bernama Hui Cu itu sambil berkata,

   "Benar, kami perlu cepat keluar dari sini, adik Hui Cu. Tolonglah kami keluar dari sini!"

   Hui Cu kelihatan girang sekali dipanggil adik oleh Cia Sun. Ia tersenyum dan nampaklah giginya berderet putih. Agaknya, ibu gadis ini tidak lupa untuk memberi pelajaran cara merawat dan membersihkan diri kepada gadis yang hidupnya terkurung dalam gua bawah tanah ini.

   "Kau... siapakah namamu?"

   Tiba-tiba ia bertanya kepada Cia Sun.

   "Namaku Cia Sun dan dia bernama Siangkoan Ci Kang. Nah, adik Hui Cu, tunjukkanlah jalan keluar itu."

   "Cia Sun... Cia Sun... kakak Sun, kenapa engkau mau keluar? Kenapa tidak tinggal saja di sini menemani aku?"

   Keharuan menyelinap dalam hati Cia Sun. Sungguh patut dikasihani anak ini, pikirnya.

   "Tidak mungkin, siauw-moi (adik kecil), tidak mungkin aku tinggal di sini. Aku harus keluar dari sini. Banyak urusan yang harus kuselesaikan. Nah, tunjukkanlah jalan keluar bagi kami."

   Gadis itu menggigit bibir, agaknya terjadi pertentangan dalam hatinya, akan tetapi ia mengangguk lalu melangkah menuju ke lorong samping, diikuti oleh Cia Sun dan Ci Kang dari belakang. Akhirnya gadis itu berhenti di depan sebuah pintu yang terbuat dari besi dan dicat hitam.

   "Hanya dari sinilah jalan keluar, dan ini merupakan rahasia. Kalau bukan untukmu, Sun-ko, aku tidak akan suka membuka rahasia ini. Kalau diketahui ibu, tentu aku akan mendapat kemarahan besar sekali."

   Berkata demikian, gadis itu meraba dinding batu dekat pintu dan terdengar suara berderit ketika pintu besi itu bergerak masuk ke dalam dinding. Seketika Cia Sun dan Ci Kang memicingkan mata dan melindungi mata dengan tangan karena mereka menjadi silau ketika tiba-tiba berbareng dengan terbukanya daun pintu itu, nampak sinar matahari yang amat terang di balik pintu. Mereka melewati ambang pintu dan berdiri di dalam cahaya matahari.

   "Di sinilah aku setiap pagi berjemur diri seperti yang diajarkan ibu. Kalau pintu ini terbuka, maka penutup sumur ini di bagian atas terbuka pula. Kalau pintu tertutup, penutup di atas itupun ikut tertutup sehingga tempat ini tidak pernah dapat diketahui orang dari atas,"

   Kata Hui Cu. Dua orang pemuda itu memandang ke atas. Tempat itu merupakan dasar sebuah sumur yang dalam, agaknya tidak kurang dari seratus kaki dalamnya!

   "Adik Hui Cu,"

   Kata Cia Sun memancing.

   "Apakah engkau pernah keluar dari lubang ini?"

   Gadis itu mengangguk.

   "Beberapa kali aku keluar, biasanya di waktu malam saja kalau suasana sepi karena aku takut... kalau sampai ketahuan orang yang akan membunuhku. Dan juga pernah beberapa kali keluar siang bersama ibu, akan tetapi tidak lama dan sebelum bertemu orang lain aku sudah harus masuk lagi."

   "Dan bagaimana caranya engkau keluar dari sini?"

   Hui Cu memandang ke atas, lalu nampak kaget.

   "Aih, kenapa aku tidak ingat? Aku dapat naik dengan mudah, akan tetapi engkau, Sun-ko, kalian... mana bisa memanjat naik?"

   "Kenapa tidak bisa?"

   Ci Kang berkata dan pemuda ini sudah cepat mengerahkan sinkang dan menggunakan kedua tangan dan kakinya untuk memanjat naik. Dengan menggunakan kedua tangan mencengkeram dinding sumur itu, dia dapat terus merayap naik seperti seekor cecak. Hui Cu memandang dengan mata terbelalak.

   "Wah, dia lebih pandai dari pada aku!"

   Lalu ia membalikkan tubuhnya menghadapi Cia Sun.

   "Sun-ko, jangan kau pergi..."

   "Mana bisa? Tak mungkin aku tinggal terus di sini, adik Hui Cu."

   "Sun-ko, jangan tinggalkan aku, Sun-ko. Maukah engkau menemani aku barang beberapa hari saja? Aku amat kesepian, Sun-ko, hampir tak tertahankan lagi... dan begitu bertemu denganmu, aku ingin lebih lama berkenalan denganmu, bercakap-cakap denganmu..."

   Cia Sun memandang dengan hati terharu. Gadis ini masih seperti kanak-kanak saja, polos dan bersih, dan menderita.

   "Adik Hui Cu, tidak mungkin aku tinggal di sini. Engkau saja agar minta kepada ibumu, kalau benar ia mencintamu, supaya engkau dibawa keluar dari tempat ini. Kulihat kepandaianmu hebat, kiranya engkau akan dapat pergi jauh dari orang yang hendak membunuhmu dan andaikata bertemu dengan aku, aku tentu akan siap melindungimu dari ancaman orang yang hendak membunuhmu."

   Tiba-tiba Hui Cu memegang kedua tangan pemuda itu. Dengan kedua mata basah ia memandang wajah Cia Sun.

   "Benarkah, koko? Benarkah bahwa engkau akan suka melindungi aku? Menurut ibu, ayahku itu memiliki kepandaian tinggi, sukar dikalahkan siapapun juga..."

   "Tentu, siauw-moi, tentu aku akan melindungimu. Nah, sekarang selamat tinggal. Lihat, kawanku sudah hampir sampai di atas!"

   Akan tatapi, tiba-tiba saja terdengar Ci Kang mengeluarkan seruan kaget dan tubuhnya melayang turun ke bawah! Cia Sun terkejut bukan main dan cepat dis menyambut tubuh kawannya itu dengan kedua lengannya. Untung Ci Kang masih sempat mengerahkan ginkangnya sehingga dibantu oleh Cia Sun, dia dapat tiba di dasar sumur itu dengan selamat.

   "Ibu..."

   Tiba-tiba Hui Cu berseru nyaring dan tubuhnya melesat ke atas. Cia Sun kagum melihat kehebatan ginkang gadis itu. Sebentar saja tubuhnya sudah merayap naik dengan cepat sekali. Dari bawah, dia melihat bayangan orang di atas dan maklumlah dia bahwa yang berada di atas itu adalah ibu Hui Cu!

   "Ia menyerangku dengan angin pukulan dahsyat!"

   Kata Ci Kang dengan marah.

   "Mari kita susul Hui Cu!"

   Cia Sun berkata. Dengan cerdik dia hendak mempergunakan Hui Cu sebagai pelindung atau perisai. Kalau mereka merayap di bawah Hui Cu, tentu ibu gadis itu tidak dapat menyerang mereka dan ibu itu kiranya tidak akan mau mencelakai anak sendiri. Ci Kang mengerti apa maksud kawannya, maka diapun cepat merayap kembali bersama Cia Sun mengejar Hui Cu yang sudah merayap lebih dulu. Benar saja, nenek yang berada di luar sumur itu menjenguk ke bawah dan mengeluarkan teriakan-teriakan yang tidak jelas, agaknya menyuruh puterinya itu turun kembali. Akan tetapi Hui Cu tidak perduli dan terus merayap naik. Ketika gadis itu akhirnya meloncat keluar sumur, ibunya hendak menyerang Cia Sun dan Ci Kang yang masih belum tiba di atas.

   "Ibu, jangan..."

   Hui Cu berseru dan menubruk ibunya, memeluk pinggang ibunya untuk menahan ibunya yang hendak mendekati sumur.

   "Lepaskan aku, biar kubunuh mereka..."

   Nenek itu berseru dan meronta-ronta. Akan tetapi Hui Cu tetap tidak mau melepaskan rangkulannya dari pinggang ibunya dan kedua orang ini bersitegang. Keributan itu memberi cukup waktu bagi Cia Sun dan Ci Kang untuk berloncatan keluar dari sumur dan kini mereka berdiri terbelalak. Kiranya nenek yang kini berusaha melepaskan rangkulan Hui Cu adalah seorang nenek berambut dan berpakaian putih, dan mereka berdua segera mengenalnya sebagai Ratu Iblis! Nenek itu kinipun mengenal Ci Kang dan Cia Sun.

   Sejenak matanya yang kehijauan itu terbelalak, seolah-olah tidak percaya pandang matanya sendiri dan ia nampak kaget seperti melihat orang-orang yang sudah mati hidup kembali! Akan tetapi otaknya yang amat cerdik segera dapat membuat perhitungan dan ia menjadi kagum bukan main. Ia dapat menduga bahwa tentu dua orang muda itu berhasil menjebol lantai kamar jebakan yang dialiri air dari atas itu! Dua orang pemuda ini, yang menjadi musuh besar keluarganya, telah mengetahui rahasianya, rahasia puterinya! Gadis itu, Toan Hui Cu, adalah puteri Ratu Iblis yang ketika lahir dahulu ditukar dengan bayi seorang penghuni dusun. Puteri inilah yang diselamatkan itu dengan mengorbankan nyawa bayi puteri penghuni dusun yang sama sekali tidak berdosa. Ratu Iblis membunuh seorang bayi untuk menyelamatkan puterinya dari ancaman suaminya.

   Kemudian, setelah anak itu berusia lima enam tahun, dia menculiknya dari suami isteri penghuni dusun itu dan mengurung anak yang diberi nama Hui Cu, Toan Hui Cu itu, ke dalam gua bawah tanah yang merupakan tempat rahasia yang hanya diketahuinya sendiri. Raja Iblis tentu saja tahu akan tempat ini, akan tetapi tempat ini merupakan kuburan atau tempat terakhir dari seorang gurunya dan menjadi tempat keramat, maka dia sendiripun tidak pernah dan tidak mau menjenguk tempat itu. Sama sekali dia tidak mengira bahwa isterinya mempunyai rahasia, bahwa tempat itu menjadi tempat persembunyian puterinya sendiri! Ratu iblis merahasiakan segalanya dan bersikap hati-hati sekali. Bahkan ia tidak pernah memperkenalkan namanya sendiri atau nama suaminya kepada Hui Cu, dan menakut-nakuti gadis itu agar membunuh setiap orang yang berani masuk,

   Juga memberi tahu bahwa ayah gadis itu tentu akan membunuhnya kalau sampai melihatnya. Hal ini membuat Hui Cu ketakutan dan ia mentaati pesan ibunya, sampai belasan tahun lamanya ia menjadi penghuni gua bawah tanah itu sampai akhirnya, tanpa tersangka-sangka, nasib mempertemukan ia dengan Cia Sun dan Ci Kang! Ketika Ratu Iblis mengenal dua orang pemuda itu, selain terkejut dan heran, ia juga marah dan khawatir sekali. Dua orang muda ini harus dibunuhnya, kalau tidak, rahasianya tidak akan dapat dipertahankannya lagi dan suaminya tentu akan marah kalau tahu bahwa ia mempunyai seorang puteri, yang disembunyikan sampai belasan tahun lamanya. Entah apa yang akan diperbuat suaminya terhadap dirinya dan terhadap Hui Cu, ia tidak sanggup membayangkan.

   "Lepaskan, aku harus bunuh mereka!"

   Tiba-tiba ia menggerakkan tubuhnya dengan kuat dan Hui Cu terpelanting jauh. Melihat puterinya terpelanting jatuh, Ratu Iblis tidak jadi menyerang dua orang muda itu melainkan mendekati puterinya, merangkulnya dan bertanya dengan suara penuh kasih sayang.

   "Anakku, engkau tidak terluka...?"

   Diam-diam dua orang pemuda yang memperhatikan gerak-gerik Ratu Iblis merasa heran. Lenyaplah sifat liar dan ganas dari nenek itu, terganti sifat yang menimbulkan rasa haru, karena sikapnya ketika merangkul dan mengelus rambut Hui Cu, dan juga suaranya menggetarkan kasih sayang seorang ibu kepada anaknya!

   "Ibu, jangan bunuh mereka... jangan serang Sun-koko..."

   Nenek itu melepaskan rangkulannya dan mengerutkan alianya.

   "Sun-koko...? Siapa itu?"

   "Seorang dari mereka... mereka tidak sengaja memasuki gua bawah tanah, ibu, jangan serang mereka, mereka itu orang-orang yang amat baik..."

   "Setan! Mereka adalah musuh-musuh kita, kalau tidak dibunuh hanya akan mendatangkan bencana di kemudian hari!"

   Dan tiba-tiba saja sikap nenek itu berobah lagi dan tubuhnya melesat ke depan, kedua tangannya sudah mendorong ke arah Cia Sun dan Ci Kang.

   Akan tetapi kini dua orang pemuda itu sudah siap menghadapi serangan lawan. Mereka berdua tahu bahwa nenek itu lihai bukan main. Serangannya tadi saja mengeluarkan hawa yang amat kuat dan panas dan sebelum tangan itu menyentuh mereka, telah ada angin pukulan dahsyat yang menyerang. Mereka cepat mengelak dan balas menyerang sambil mengerahkan tenaga mereka. Ratu Iblis menggereng marah melihat betapa tamparan-tamparannya dapat dielakkan oleh dua orang lawan itu, bahkan kini mereka membalas dengan pukulan-pukulan yang keras. Ia masih memandang rendah mereka dan menggunakan kedua lengannya untuk menangkis, dengan maksud tangkisan itu akan dilanjutkan dengan cengkeraman untuk menangkap lengan mereka.

   "Dukk! Dukk..."

   Nenek itu kembali mengeluarkan suara geraman aneh ketika ia merasa betapa benturan lengan itu membuat tubuhnya tergetar hebat, jangankan merobah tangkisan menjadi cengkeraman, bahkan ia terhuyung ke belakang oleh benturan-benturan itu. Sedangkan Cia Sun dan Ci Kang juga terhuyung ke belakang karena nenek itu memang memiliki tenaga kuat yang aneh sekali. Mulailah nenek itu memandang mereka dengan mata lain, tidak lagi berani memandang rendah. Dan iapun mulai mengerti bahwa dua orang pemuda itu memang memiliki ilmu kepandaian hebat. Tadinya memang Siang Hwa melaporkan bahwa mereka itu lihai, akan tetapi ia masih belum percaya. Sekarang baru ia tahu bahwa memang tingkat kepandaian mereka ini lebih lihai dari pada tingkat Siang Hwa.

   Pantas saja muridnya itu terpaksa mempergunakan siasat untuk menjebak mereka. Karena tidak memandang rendah lagi, nenek itu menggerakkan tangan kanannya dan nampaklah sinar berkilat ketika ia tahu-tahu sudah mencabut pedangnya. Dicabutnya pedang ini membuktikan bahwa Ratu Iblis benar-benar tidak memandang rendah lawan. Jarang ia mempergunakan pedangnya kalau bertanding karena jarang pula ada orang mampu menandinginya walaupun ia tidak mencabut pedang. Ci Kang maklum akan kelihaian lawan, maka diapun cepat mematahkan sebuah cabang pohon yang sebesar lengannya dan panjangnya satu tombak. Menghadapi pedang seorang datuk sesat seperti nenek itu dia harus berhati-hati. Cia Sun juga berhati-hati dan untung bahwa suling yang terselip di pinggangnya, di balik bajunya, masih ada, maka iapun mencabut sulingnya itu.

   Benda ini telah menjadi senjata yang ampuh semenjak dia di digembleng oleh Gobi Sanjin. Bukan hanya suling ini, bahkan kini dia pandai mempergunakan ujung lengan baju atau benda apa saja sebagai senjata. Dengan cerdiknya, kedua orang muda itu lalu berpencar, menghadapi nenek itu dari kanan kiri. Mereka bersikap hati-hati dan hanya menanti dengan waspada, tidak mau menyerang lebih dulu. Sejenak tiga orang itu berdiri tegak seperti patung, hanya mata nenek itu yang melirik ke kanan kiri untuk mengikuti gerakan dua orang lawannya. Pedang di tangan kanannya itu diangkat tinggi-tinggi dan melintang di atas kepala, sedangkan tangan kiri dengan jari-jari terbuka, diletakkan di depan dada, rambutnya yang putih panjang itu tergantung di depan.

   "Ibu, jangan serang mereka..."

   "Sun-ko, jangan berkelahi dengan ibuku..."

   Kan tetapi nenek itu tentu saja tidak memperdulikan teriakan puterinya, bahkan membentak marah,

   "Diam kau..."

   "Siauw-moi, aku hanya membela diri..."

   Cia Sun menjawab. Akan tetapi begitu dia bicara, nenek itu sudah menggerakkan pedangnya menyerang dengan amat hebatnya. Pedang itu menyambar dari atas seperti halilintar dan mengeluarkan hawa dingin. Cia Sun cepat mengelak. Pedang menyambar lewat akan tetapi cepat membalik dan meluncur turun, kalau tadi membacok kini berbalik menusuk! Demikian cepatnya datangnya serangan lanjutan itu sehingga Cia Sun terpaksa harus mengangkat sulingnya menangkis.

   "Trakkk..."

   Kembali keduanya mendapat kenyataan bahwa lawan memang memiliki tenaga sinkang yang sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Pada saat itu, Ci Kang sudah menyerang dengan tongkatnya yang dibuat secara darurat, yaitu kayu cabang pohon tadi. Serangannya hebat sekali, sampai mengeluarkan angin dan suara bersuitan. Tongkat itu menyambar ke arah kepala nenek itu yang sedang menyerang Cia Sun. Ratu Iblis itu sungguh lihai bukan main. Menghadapi serangan tongkat yang datang dari samping agak belakang ini, ia bersikap tenang saja. kepalanya digerakkan mengelak dan tiba-tiba saja gumpalan rambut putihnya menyambar dan menangkis batang kayu itu. Hebatnya, kini gumpalan rambut itu tiba-tiba saja berobah menjadi kaku dan keras seperti besi.

   "Takkk..."

   Tongkat di tangan Ci Kang tertangkis dan mendadak tangan kiri nenek itu mendorong ke depan dan serangkum hawa panas yang amat hebat menyambar dada Ci Kang sebagai balasan serangannya.

   "Ehhh..."

   Ci Kang berseru kaget dan terpaksa dia meloncat jauh ke belakang karena serangan itu sungguh amat berbahaya. Dua orang muda itu kini bersikap hati-hati sekali.

   Mereka semakin tahu betapa hebatnya lawan mereka yang memiliki tiga macam senjata ampuh itu, yakni pedangnya, rambutnya, dan tangan kirinya. Belum lagi diperhitungkan kedua kakinya kalau mengirim tendangan karena mereka melihat betapa sepatu nenek itu berlapis baja! Nenek itu sendiri juga menjadi terkejut. Belum pernah ia menghadapi lawan yang begini tangguhnya. Andaikata dua orang pemuda itu maju satu demi satu saja, agaknya ia masih akan dapat mengatasi mereka, bahkan mengungguli mereka. Akan tetapi pemuda itu maju bersama dan setelah kini mereka bersikap hati-hati, gerakan mereka amat kuat dan terpusatkan sehingga ia segera terdesak hebat! Juga pertemuanpertemuan tenaga antara ia dan dua orang muda itu membuat ia lelah karena ia harus mengerahkan seluruh tenaganya kalau tidak mau celaka dilanda gelombang tenaga yang dahsyat dari mereka.

   "Anakku, cepat maju dan gunakan kebutanmu! Bantulah aku!"

   Akhirnya setelah terdesak hebat, nenek itu berseru minta bantuan puterinya yang sejak tadi hanya nonton saja dengan mata terbelalak penuh kegelisahan. Kini, mendengar seruan ibunya, ia menjadi semakin bingung.

   "Tidak, ibu! Kata ibu semua orang terutama laki-laki jahat, akan tetapi mereka ini tidak jahat, aku tidak bisa menyerang mereka. Ibu jangan memusuhi mereka!"

   Gadis itu menjawab dengan suara yang tegas.

   "Desss..."

   Tubuh nenek itu terhuyung akan tetapi ia dapat menguasai dirinya dan tidak sampai roboh walaupun tongkat cabang pohon di tangan Ci Kang yang menyerempet pinggangnya tadi kuat bukan main. Karena puterinya tidak mau membantunya dan maklum bahwa dua orang lawannya sungguh merupakan lawan tangguh yang dapat membahayakan keselamatannya, Ratu Iblis mengeluarkan pekik melengking yang sejenak membuat kedua orang pemuda itu tercengang dan mereka harus mengerahkan sinkang untuk melawan pengaruh suara itu dan kesempatan itu dipergunakan oleh nenek itu untuk meloncat ke arah puterinya, memegang lengan puterinya dan melarikan diri sambil menarik Hui Cu bersamanya.

   "Kurasa tidak perlu dikejar, terlalu berbahaya..."

   Cia Sun berkata ketika melihat temannya hendak mengejar. Mendengar suara Cia Sun, Ci Kang menahan kakinya dan melangkah kembali menghampiri temannya yang sedang memeriksa tangan kirinya yang ternyata kulitnya berwarna hitam kehijauan dari jari-jari tangan sampai ke pergelangan.

   "Cia Sun, engkau keracunan!"

   Kata Ci Kang mendekat.

   "Nenek itu memiliki banyak pukulan beracun yang jahat. Sungguh berbahaya sekali!"

   Keta Cia Sun.

   "Karena itu aku mencegahmu melakukan pengejaran. Aku tidak dapat membantumu dan kalau sampai ia dibantu kawan-kawannya, tentu engkau terancam bahaya. Aku harus menggunakan waktu beberapa hari untuk membersihkan racun ini."

   "Tidak perlu begitu lama, Cia Sun. Aku telah mempelajari ilmu membersihkan hawa beracun itu dan dengan bantuanku, tanganmu akan sembuh dengan cepat."

   Tak lama kemudian Ci Kang sudah mengobati tangan kiri temannya itu. Cia Sun duduk bersila, mengerahkan sinkang dan dengan hawa murni dia mendorongkan tenaga ke arah tangan kirinya. Kalau dia melakukan pengobatan ini sendiri saja, tentu akan memakan waktu sedikitnya sepekan baru hawa beracun dalam tangan kirinya itu dapat terusir bersih. Akan tetapi, kini Ci Kang menempelkan kedua telapak tangannya di siku dan pundak kirinya dan teman ini membantunya dengan mengerahkan sinkang. Hawa panas memasuki lengan kirinya itu dan dengan kekuatan disatukan, dengan mudah mereka depat mengusir racun dari tangan kiri. Tak lama kemudian, kulit tangan itu berobah warnanya. Warna hitam kehijauan itu perlahan-lahan surut dan akhirnya lenyap melalui kuku-kuku jari tangan.

   "Terima kasih, Ci Kang, engkau telah menolongku,"

   Kata Cia Sun dengan girang dan kagum. Ci Kang menggeleng kepala.

   "Tidak ada terima kasih, Cia Sun. Ketika aku terjatuh kembali ke dalam sumur tadi, engkau pun telah menolongku. Sikapmu yang baik terhadap diriku saja sudah membuat aku bersyukur sekali."

   "Ci Kang, sampai kini aku masih merasa heran mengingat bahwa engkau, seperti pengakuanmu, adalah putera Siangkoan Lojin! Dan engkau memusuhi datuk-datuk sesat! Sebetulnya, kalau aku boleh bertanya mengingat bahwa nasib telah mempertemukan kita yang menjadi sahabat senasib sependeritaan, apakah yang kau cari di sini?"

   "Sama dengan engkau, Cia Sun. Bukankah engkau datang ini untuk menghadiri pertemuan para pendekar yang hendak bangkit menentang Raja dan Ratu Iblis yang kabarnya dibantu oleh para datuk sesat termasuk Cap-sha-kui?"

   Cia Sun mengangguk lalu bertanya,

   "Apa maksudmu ingin menghadiri pertemuan itu?"

   Ci Kang tersenyum pahit.

   "Aku yang tolol ini hendak menipu diri sendiri. Ayahku seorang datuk sesat, begaimana mungkin aku diterima di antara para pendekar? Tadinya kusangka."

   Melihat Ci Kang tidak melanjutkan kata-katanya dan wajahnya menjadi muram, Cia Sun memegang lengan yang kokoh kuat itu.

   "Sahabatku, jangan kau persalahkan sikap para pendekar. Andaikata aku sendiri belum mengalami bahaya-bahaya itu bersamamu dan telah mengenalmu benar bahwa engkau adalah seorang gagah yang menentang para datuk sesat, mungkin akupun akan curiga kepadamu. Bayangkan saja. Engkau, putera Siangkoan Lojin, berkeliaran di sini, padahal para pendekar hendak mengadakan pertemuan untuk menentang golongan sesat! Tentu saja orang yang tidak mengenal keadaan dirimu akan menyangka engkau memata-matai pertemuan para pendekar itu. Akan tetapi jangan takut. Ada aku di sini yang akan menjelaskan segalanya kepada para pendekar. Tapi katakan dulu, apa sesungguhnya niat hatimu datang ke sini?"

   "Aku hendak menyumbangkan tenaga menentang para datuk yang hendak melakukan pemberontakan."

   "Bagus! Kalau begitu kita sehaluan. Mari kita pergi ke bekas benteng Jeng-hwa-pang untuk menemui para pendekar, Ci Kang."

   Akan tetapi pemuda yang tinggi besar itu menggeleng kepala.

   "Cia Sun, sejak kecil aku selalu ingin berusaha sendiri. Usaha apapun yang kuhadapi, kalau berhasil hanya karena bantuan orang lain, tidak akan memuaskan hatiku. Biarlah, aku akan hadapi sendiri para pendekar, apapun akibatnya. Aku girang sekali telah dapat bertemu dan berkenalan denganmu, Cia Sun. Selamat berpisah!"

   Setelah berkata demikian, Ci Kang lalu meloncat lari meninggalkan Cia Sun yang berdiri termenung, hatinya kagum melihat pemuda perkasa yang memiliki ilmu kepandaian yang dapat menandinginya. Diapun lalu meninggalkan tempat berbahaya itu.

   Semenjak Bangsa Mongol yang pernah menjajah dan menguasai Tiongkok terusir dan terbasmi sehingga sisa-sisa bangsa itu kembali ke utara, maka Bangsa Mongol menjadi bangsa yang lemah.
(Lanjut ke Jilid 27)
Asmara Berdarah (Seri ke 08 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 27
Lenyaplah kebesarannya seperti ketika mereka masih menguasai Kerajaan Goan yang menjajah seluruh Tiongkok itu. Kini sisa bangsa itu terpecah-pecah, bercampur baur dengan Bangsa Mancu dan Bangsa Khin. Jumlah suku bangsa mereka amat banyak, terpecah-pecah oleh berbagai aliran, tradisi, dan agama. Mereka tinggal berkelompok-kelompok di luar Tembok Besar, dan hidup kembali sebagai suku-suku Nomad yang berpindahpindah sesuai dengan situasi dan kondisi iklim dan tanah. Karena terpecah-pecah menjadi kelompok itulah maka Bangsa Mongol, Mancu dan Khin ini menjadi lemah. Di antara mereka sendiri terjadilah persaingan, bahkan Kadang-kadang persaingan itu menjadi permusuhan dan pertempuran karena memperebutkan tanah, air dan sebagainya.

   Mereka adalah bangsa yang sudah terbiasa dengan kekerasan, karena sifat hidup mereka memang keras, selalu berhadapan dengan kesukaran yang ditimbulkan oleh keadaan alam di daerah itu yang tidak menguntungkan manusia. Masing-masing suku atau kelompok memiliki kepala sendiri, dan seperti biasa terjadi di seluruh dunia ini di antara manusia, kepala-kepala inilah yang menimbulkan permusuhan dan pertentangan karena ambisi masing-masing yang menyeret kelompok atau pengikut mereka ke dalam permusuhan. Tidak pernah lagi lahir seorang Jenghis Khan baru yang memiliki kekuatan sedemikian hebatnya untuk menundukkan semua kepala suku itu sehingga terdapat persatuan seperti di jaman Jenghis Khan dahulu yang akan membuat Bangsa Mongol menjadi bangsa yang kuat.

   Nenek Yelu Kim yang sudah tua itu memang cukup berpengaruh di antara suku bangsa utara ini. Akan tetapi peranan nenek Yelu Kim bukanlah sebagai pemimpin dan pembangkit semangat mereka, melainkan sebagai penengah. Nenek ini ditakuti karena memang memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi tidak pernah nenek Yelu Kim bangkit untuk memimpin mereka, hanya turun tangan kalau terjadi pertempuranpertempuran antara kelompok atau suku. Dan setiap kali, nenek ini harus memperlihatkan kepandaiannya untuk dapat melerai dan memadamkan api permusuhan di antara mereka.

   Akan tetapi pergolakan di utara yang dipimpin oleh pemberontakan para datuk sesat yang bersekongkol dengan Panglima Ji Sun Ki di Sanhaikoan, menimbulkan guncangan hebat di kalangan para suku Nomad di utara itu, membangkitkan sesuatu di dalam hati mereka yang selama ini tidak pernah lagi memikirkan kekuasaan yang sudah hilang di selatan. Juga Yelu Kim seperti baru terbangun dari tidurnya. Mengapa tidak, demikian pikirnya. Kalau para datuk sesat saja berani mengadakan pemberontakan, mengapa ia tidak bisa memimpin suku-suku bangsa yang kuat dan terkenal sebagai ahli-ahli perang itu untuk mencoba membangkitkan kembali kekuasaan Bangsa Mongol dan sekutunya, meraih kembali mahkota yang pernah dikuasai oleh Bangsa Mongol? Akan tetapi, api semangat yang mulai membakar dada orang-orang yang menjadi kepala kelompok atau suku itu kembali menimbulkan pertentangan di antara mereka sendiri.

   Masing-masing ingin menjadi pemimpin kalau sampai mereka bersatu dan melakukan penyerbuan ke selatan selagi keadaan kacau oleh adanya pemberontakan. Masing-masing ingin menjadi pemimpin, tentu saja dengan ambisi bahwa kalau gerakan mereka kelak berhasil, sang pemimpin itulah yang akan menjadi kaisar sampai ke anak cucu keturunannya! Hal inilah yang membuat prihatin dan menyesal di hati nenek Yelu Kim sampai ia bertemu dengan Sui Cin. Dalam diri gadis ini ia melihat bakat dan kepandaian yang depat ia pergunakan untuk mencapai hasil baik dalam rencananya menghadapi pertikaian baru di antara para kepala suku itu. Nenek itu berhasil membawa pergi Sui Cin dengan bantuan harimau peliharaannya, dan mengobati Sui Cin yang tertipu oleh Kiu-bwe Coali dan minum racun pembius.

   Akan tetapi selain keracunan, nenek itu mendapat kenyatan bahwa gadis itupun kehilangan ingatannya, maka iapun berusaha dengan sepenuh perhatian dan kepandaiannya untuk mengobati Sui Cin sehingga gadis itu akan sembuh sama sekali, juga dari penyakit kehilangan ingatan itu. Nenek Yelu Kim memang ahli dalam hal pengobatan dan akhirnya ia berhasil mengobati Sui Cin sehingga gadis itu memperoleh kembali ingatannya! Ingatan itu kembali kepadanya ketika pada suatu pagi ia terbangun dan melihat nenek itu telah duduk di dekat pembaringannya. Nenek itu memegang sebatang jarum emas dan agaknya nenek itu tadi telah mengerjakan jarumnya ketika ia sedang tidur dan berhasil "membuka"

   Kembali ingatannya.

   "Aihhh..."

   Sui Cin meloncat dan bangkit duduk, memandang nenek itu dengan mata terbelalak.

   Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Aihh, semuanya terjadi seperti dalam mimpi saja... Tapi aku tidak bermimpi!"

   

Siluman Gua Tengkorak Eps 3 Harta Karun Jenghis Khan Eps 1 Pendekar Sadis Eps 13

Cari Blog Ini