Ceritasilat Novel Online

Asmara Berdarah 3


Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo Bagian 3



"Kau ikut saja denganku!"

   Dan pada saat itu, empat orang petugas sudah menubruk maju dengan senjata pedang mereka. Pemuda itu mengayun kakinya dan empat orang itu terpental dan roboh! Diam-diam Sui Cin terkejut. Hebat juga pemuda ini, pikirnya. Tenaga kakinya amat hebat dan cara melakukan tendangan yang membabat dari samping itu benar-benar gerakan kaki seorang ahli. Akan tetapi pada saat itu, si pemuda sudah merangkul pinggangnya dan mengempitnya lalu meloncat ke atas genteng! Beberapa batang anak panah melayang ke arahnya, akan tetapi dengan gerakan kaki, pemuda itu dapat meruntuhkan semua anak panah dan tak lama kemudian, dia sudah membawa Sui Cin berloncatan dari atas wuwungan rumah ke wuwungan yang lain.

   "Haiii..."

   Lepaskan aku..."

   Lepaskan..."

   Sui Cin berteriak-teriak, sengaja meninggikan suaranya agar para pengejar tahu ke mana pemuda itu pergi. Ia masih belum merasa puas dan ingin melihat pemuda itu dalam suatu perkelahian yang seru melawan pengeroyokan para penjaga keamanan. Akan tetapi, iapun dapat merasa betapa cepatnya pemuda itu berlari dan berloncatan di atas genteng dan bahwa takkan mungkin para petugas itu dapat menyusulnya. Maka Sui Cin lalu meronta-ronta dan berteriak-teriak.

   "Lepaskan aku..."

   Lepaskan aku..."

   Pemuda itu mengomel,

   "Aku ingin menolongmu, mengapa engkau bertingkah begini? Kalau aku melepaskanmu, bukankah engkau akan terjatuh dari atas wuwungan ini?"

   Akhirnya, setelah bebas dari pengejaran dan membawa gadis itu keluar kota, pemuda itu melepaskan kempitannya. Sui Cin membanting-banting kaki kirinya dengan penasaran, akan tetapi pemuda itu hanya berdiri memandang kepadanya dengan tenang saja.

   "Nona, aku tahu bahwa engkau adalah seorang gadis yang menyamar pria. Aku tahu bahwa engkau seorang yang baik hati dan pemberani, akan tetapi sunggguh aku tidak pernah menyangka bahwa engkau juga seorang yang tak mengenal budi."

   "Tidak mengenal budi? Apa maksudmu berkata demikian?"

   Sui Cin bertanya galak.

   "Engkau tahu bahwa aku hanya ingin menyelamatkanmu dari tangan mereka yang ganas dan kejam, ingin membebaskanmu dari tahanan. Aku tidak minta dibalas, tidak minta terima kasih, akan tetapi setidaknya engkau dapat bersikap baik, tidak meronta-ronta dan berteriak-teriak seolah-olah aku sedang menculikmu, bukan sedang menolongmu."

   Biarpun pemuda itu nampak marah, namun kata-katanya tetap halus dan sopan, tidak kasar. Akan tetapi Sui Cin adalah seorang anak yang manja dan bengal. Ia bertolak pinggang dan memandang dengan mata terbelalak melotot.

   "Siapa yang minta kau tolong? Apakah aku pernah minta engkau datang menolongku? Dan mengapa pula yang kau tolong hanya aku seorang? Kenapa yang lain-lain kau diamkan saja?"

   Pertanyaan-pertanyaannya itu diajukan seperti berondongan senapan menyerang si pemuda. Pemuda itu kelihatan kewalahan, akan tetapi dia menjawab juga,

   "Karena aku melihat bahwa engkau seorang wanita yang menyamar, aku khawatir kalau-kalau engkau akan celaka di tangan mereka."

   "Huh, begitu melihat aku perempuan, engkau lalu menolongku. Kalau aku laki-laki biasa, tentu engkau tidak akan perduli. Engkau hanya menjadi penolong perempuan saja? Hemm, di situ sudah terdapat pamrih yang kotor!"

   Pemuda itu menjadi marah, mengepal tinju akan tetapi dia tetap dapat menguasai dirinya dan diapun membalikkan tubuhnya dan berkata,

   "Sesukamulah. Aku sudah menyelamatkanmu dan aku tidak membutuhkan terima kasihmu. Selamat tinggal!"

   Pemuda itu meloncat dan lenyap di dalam kegelapan malam. Gadis itupun tertawa, dengan suara ketawa tinggi yang terus membayangi telinga pemuda itu. Muka pemuda itu menjadi marah dan di dalam hatinya dia merasa penasaran dan marah sekali, akan tetapi dia tidak mungkin dapat memperlithatkan kemarahannya dengan bersikap kasar terhadap seorang wanita, apalagi seorang gadis muda yang hidupnya demikian sengsara, sampai-sampai menyamar sebagai seorang pemuda untuk menghindarkan kesuiltan-kesulitan. Seorang gadis yang tidak mempunyai tempat tinggal, yatim piatu dan miskin. Dia percaya akan semua keterangan gadis itu ketika diperiksa oleh komandan gendut. Akan tetapi ada sesuatu yang membuat dia merasa tertarik dan kagum.

   Biarpun hanya seorang dara remaja yang miskin dan tidak berdaya, namun ada sesuatu pada diri dara remaja itu yang mengagumkan hatinya. Dara itu sedemikian beraninya! Sifat yang biasanya hanya dapat ditemukan pada diri seorang pendekar. Wanita muda itu sama sekali, tidak cengeng, dan sama sekali tidak kelihatan ketakutan walaupun terancam malapetaka hebat, walaupun bahkan sudah dijebloskan ke dalam sel tahanan! Bukan main! Pemuda itu lalu kembali ke kota Ceng-tao, kembali ke kamar rumah penginapan di mana dia tinggal. Sudah tiga hari dia tinggal di situ karena dia sedang menanti datangnya saat pertemuan antara para tokoh kang-ouw yang akan diadakan tiga hari lagi di Puncak Bukit Perahu. Dia datang sebagai wakil ayahnya, juga mewakili partai ayahnya yang berada jauh di utara, di luar Tembok Besar.

   Akan tetapi, biarpun dia mewakili ayahnya, dia hanya datang sebagai peninjau saja. Ayahnya melarangnya untuk melibatkan diri atau melibatkan nama ayahnya atau perkumpulan mereka ke dalam urusan pertikaian dan permusuhan. Pemuda ini bernama Cia Sun, putera tunggal dari pendekar sakti Cia Han Tiong dan isterinya, Ciu Lian Hong. Di dalam kisah Pendekar Sadis, telah diceritakan bahwa Cia Han Tiong putera dari Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong, telah menikah dengan Ciu Lian Hong dan tinggal di Lembah Naga yang berada di utara, di luar Tembok Besar. Mereka hidup rukun dan saling mencinta, dan dikaruniai seorang putera yang mereka beri nama Cia Sun. Tentu saja, sebagai seorang pendekar sakti, Cia Han Tiong mewariskan ilmu-ilmunya kepada puteranya itu sehingga setelah dia berusia dua puluh dua tahun sekarang ini,

   Cia Sun telah menguasai semua ilmu silat ayahnya seperti Thian-te Sin-ciang, Thai-kek Sin-kun, San-in Kun-hoat, ketiganya dari Cin-Ling-Pai, kemudian mahir pula ilmu Hokmo Cap-shaciang. Cia Sun berwatak pendiam dan serius, seperti ayahnya. Namun perasaannya halus seperti ibunya dan biarpun dia tidak dapat disebut tampan, namun harus diakui bahwa pemuda ini gagah dan mempunyai wibawa yang besar karena pendiam dan seriusnya. Seperti diketahui dalam kisah Pendekar Sadis, antara Cia Han Tiong dan Ceng Thian Sin Si Pendekar Sadis, terdapat hubungan yang amat erat. Mereka adalah saudara angkat, namun mereka mempunyai pertalian batin yang melebihi saudara kandung saja. Biarpun kini, karena terpisah jauh, yang seorang di Lembah Naga dan yang seorang lagi di Pulau Teratai Merah di selatan,

   Di antara keduanya tidak pernah sempat bertemu lagi, namun di dalam hati masing-masing masih ada perasaan kasih sayang antara saudara itu. Tentu saja Cia Sun sama sekali tidak pernah menyangka bahwa dara remaja yang dianggapnya yatim piatu dan miskin, yang menyamar sebagai pemuda pengemis itu, adalah puteri tunggal dari pamannya, Ceng Thian Sin. Dia belum pernah bertemu dengan pamannya itu dan keluarganya, akan tetapi dia sudah banyak mendengar tentang pamannya dari ayahnya. Menurut keterangan ayahnya, pamannya itu yang berjuluk Pendekar Sadis sesungguhnya adalah seorang pendekar sakti yang gagah perkasa dan budiman, dan memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat, bahkan melebihi ayahnya! Maka, biarpun belum pernah jumpa, di dalam hatinya, Cia Sun sudah merasa kagum dan hormat kepada pamannya itu.

   Ketika isterinya melahirkan seorang anak laki-laki, Cia Han Tiong berunding dengan isterinya. Mereka hidup di tempat yang amat sepi, jauh di utara dan tetangga mereka hanyalah penduduk liar di dusun-dusun yang amat jauh. Ketika mereka hidup berdua, hal ini sama sekali tidak dianggap sebagai suatu kekurangan. Akan tetapi setelah Cia Sun terlahir, mereka membayangkan betapa akan sepinya kehidupan putera mereka kalau di tempat itu tidak ada manusia lain kecuali mereka bertiga saja. Maka Cia Han Tiong lalu mengumpulkan murid atau anak buah, dan membentuk sebuah partai persilatan yang diberi nama Pek-Liong-Pang (Partai Naga Putih). Dia mengumpulkan pemuda-pemuda dari berbagai tempat, dipilihnya pemuda-pemuda yang memiliki tulang yang baik dan berbakat, dan mereka itu diambilnya sebagai murid.

   Kini, setelah Cia Sun berusia dua puluh dua tahun, Pek-Liong-Pang juga sudah tumbuh menjadi sebuah perkumpulan dewasa yang memiliki murid-murid atau anggauta sebanyak lima puluh orang lebih. Belasan orang murid yang sudah dianggap lulus oleh ketuanya kini telah meninggalkan Lembah Naga dan hidup di selatan sebagai pendekar-pendekar budiman yang ikut menyemarakkan nama Pek-Liong-Pang sehingga nama perkumpulan ini mulai dikenal sebagai perkumpulan silat yang besar dan menjadi tempat penggemblengan calon-calon pendekar di utara. Demikianlah keadaan pemuda itu dan riwayat singkat orang tuanya. Biasanya, Cia Sun yang mentaati pesan ayahnya, tidak mudah melibatkan diri dengan urusan orang lain.

   Akan tetapi, melihat para pengemis di pasar ditangkapi pasukan dan dibawa ke markas, Dia merasa penasaran dan tertarik sekali. Diam-diam dia membayangi mereka dan dengan mempergunakan ilmu kepandaiannya yang tinggi, tidak sukar baginya untuk meloncati pagar tembok tinggi itu dan menyelinap ke dalam benteng lalu mengintai ke ruangan pemeriksaan. Ketika dia melihat Sui Cin diperiksa, mendapat kenyataan bahwa pengemis muda itu adalah seorang dara remaja yang bersikap demikian tabahnya, dia merasa tidak tega. Tadinya dia memang mendiamkan saja pemeriksaan itu karena dianggapnya sudah selayaknya kalau komandan itu melakukan penyelidikan karena diapun sudah mendengar betapa banyak perajurit keamanan tewas dalam keributan yang terjadi di kuil Dewi Laut. Akan tetapi, ketika melihat bahwa gembel muda itu adalah seorang dara, hatinya merasa tidak tega.

   Dia lalu turun tangan, meniupkan cuwilan genteng dari mulutnya yang tepat mengenai jalan derah di dekat pelipis komandan gendut itu sehingga mendatangkan rasa pening yang cukup hebat dan gadis itu lalu disuruh tahan dalam sel. Malamnya, dia mencari kesempatan untuk membebaskan Sui Cin. Sungguh di luar dugaannya bahwa selain tabah, gadis itu memang amat aneh. Ditolong tidak bersyukur, eh, malah marah-marah! Akan tetapi, sikap yang aneh ini bahkan semakin menarik
(Lanjut ke Jilid 03)
Asmara Berdarah (Seri ke 08 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 03
hatinya, membuat malam itu Cia Sun merebahkan diri dengan gelisah. Ada sesuatu yang aneh dan amat menarik hatinya pada diri dara miskin itu. Sesuatu yang tidak pernah dilihatnya pada diri orang lain, apalagi pada seorang wanita muda. Sesuatu yang membuatnya tertarik dan kagum. Wajah itu, wajah yang kelihatan marah dan mencemoohkannya, terbayang saja di depan matanya.

   "Ihh, mengapa aku ini?"

   Pikirnya dan teringatlah dia akan bujukan-bujukan ibunya bahwa dia sudah cukup dewasa untuk menikah. Dia selalu menolak karena memang hatinya belum ingin mengikatkan diri dengan sebuah pernikahan. Dia dapat memaklumi perasaan ibunya yang hanya berputera seorang dan ingin segera mempunyai cucu! Teringat akan hal itu, wajahnya menjadi merah. Mengapa tiba-tiba dia teringat akan urusan pernikahan yang selama ini tidak pernah memasuki otaknya, dan apa hubungannya gadis gembel itu dengan pernikahan? Wajahnya makin terasa panas dan jantungnya berdebar. Apa artinya ini? Inikah yang dinamakan jatuh cinta seperti yang seringkali dibacanya dari buku-buku akan tetapi yang belum pernah dirasakannya itu?

   Ketika dia termenung sampai sekian jauhnya, Cia Sun tersenyum seorang diri. Betapa akan janggal dan lucunya! Dia, putera ketua Pek-Liong-Pang, jatuh cinta kepada seorang gadis gembel! Baginya sendiri seorang pendekar muda yang sejak kecil digembleng dan dijejali rasa keadilan dan kegagahan tidak membeda-bedakan antara kaya miskin. Akan tetapi dia dapat melihat betapa nama besar Pek-Liong-Pang yang dijunjung tinggi oleh para pendekar murid Pek-Liong-Pang dan juga oleh orang-orang kang-ouw, dengan sendirinya telah mengangkat martabat mereka tinggi-tinggi membuat keluarga Cia terikat oleh belenggu "kehormatan! dan kemuliaan sehingga mereka tidak bebas lagi, tidak leluasa karena selalu ada bayangan rasa khawatir kalau-kalau perbuatan atau gerak-gerik mereka akan menurunkan martabat atau mencemarkan keharuman nama Pek-Liong-Pang itu!

   Pada waktu itu, yang menjadi kaisar dari Kerajaan Bengtiauw adalah Kaisar Ceng Tek (tahun 1505-1520). Ketika menggantikan kedudukan sebagai kaisar, Kaisar Ceng Tek ini baru berusia lima belas tahun. Maka berulanglah sejarah para kaisar lama di Tiongkok, yaitu bahwa tidak lama kemudian setelah dia menduduki singgasana sebagai kaisar, istana jatuh ke dalam cengkeraman kekuasaan para thaikam (pembeser kebiri). Kaisar Ceng Tek bukan hanya masih terlalu muda untuk dapat melihat kepalsuan-kepalsuan para thaikam ini, akan tetapi juga kaisar ini mempunyai jiwa petualang. Dia suka meninggalkan istana secara diam-diam dan melakukan perjalanan seorang diri, menyamar sebagai rakyat biasa dan barsenang-senang. Dia mengabaikan urusan kerajaan sehingga tentu saja kesempatan ini dipergunakan sebaik-baiknya oleh para thaikam yang pada waktu itu dikepalai oleh Liu Kim.

   Liu-thaikam ini berasal dari utara, dari keluarga petani miskin. Akan tetapi karena dia memiliki wajah tampan dan sikap yang halus, dia berhasil bekerja di istana semenjak remaja. Liu Kim pandai membawa diri sehingga disuka oleh dua kaisar terdahulu, yaitu Kaisar Ceng Hwa dan Kaisar Hung Chih. Bahkan dia memperlihatkan bakti dan kesetiaannya dengan rela menjadi thaikam, rela dikebiri untuk mempertahankan kedudukannya. Dia memperoleh kepercayaan para kaisar itu sehingga ketika Kaisar Ceng Tek diangkat menjadi kaisar, Liu-thaikam yang sudah berhasil menduduki jabatan pembesar istana bagian dalam, lalu diangkat menjadi kepala thaikam. Jabatan ini tentu saja tinggi sekali karena para thaikam merupakan orang-orang kepercayaan kaisar.

   Pria yang dikebiri itu tidak lagi dapat berhubungan dengan wanita, akan tetapi karena nafsunya masih ada, maka sebagian besar lalu mengalihkan nafsu-nafsu yang tak dapat tersalurkan itu kepada kepuasan-kepuasan lain, terutama sekali kepuasan karena kedudukan tinggi sehingga memiliki kekuasaan, dan kepuasan karena memiliki banyak harta benda. Inilah rupanya yang menjadi pendorong utama mengapa kaum thaikam di istana ini sejak dahulu selalu amat licin dan pandai menguasai kaisar sehingga mereka memperoleh kedudukan tinggi, berkuasa dan mempunyai banyak sekali kesempatan untuk berkorupsi dan memperkaya diri sendiri. Pada waktu itu, Kaisar Ceng Tek telah empat tahun menjadi kaisar dan sungguh luar biasa sekali hasil yang diperoleh Liu-thaikam selama empat tahun menjadi kepala thaikam.

   Kekuasaan mutlak mengenai urusan dalam istana berada di tangannya. Kaisar muda usia yang lebih suka berkelana dan bersenang-senang itu percaya penuh kepada Liu-thaikam yang biarpun sudah tua masih nampak tampan, halus dan pandai mengambil hati. Kalau ada para pembesar yang memperingatkannya tentang kecurangan Liu Kim, sang kaisar yang muda malah berbalik mendampratnya dan mengatakannya iri tanpa mau melakukan penyelidikan terhadap diri pejabat yang dilaporkan itu. Pemerintahan kaisar muda ini memang bukan merupakan pemerintahan yang baik dalam sejarah Kerajaan Beng. Kaisar muda amat lemah dan kurang memperhatikan kepentingan negara, walaupun dia bukanlah seorang kaisar lalim. Karena sikapnya yang kurang semangat, maka hal ini menular kepada para pejabat sehingga pada keseluruhannya,

   Pemerintah kelihatan kurang perduli dan lemah. Hal ini tentu saja dimanfaatkan oleh golongan hitam yang bangkit dan keluar dari tempat sembunyi mereka dan merajalela karena alat-alat negara tidak bersungguh-sungguh dalam menghadapi atau menentang mereka. Mulailah berjangkit gangguan-gangguan keamanan di mana-mana. Yang amat menggegerkan dunia kang-ouw adalah berita tentang bangkitnya Cap-sha-kui (Tiga Belas Iblis)! Cap-sha-kui merupakan kesatuan baru dari para tokoh hitam yang bergabung untuk memperkuat diri. Dengan bergabungnya mereka, maka mereka merasa kuat untuk menghadapi musuh besar mereka, yaitu para pendekar. Terhadap pemerintah yang lemah, mereka tidak takut sama sekali. Dan Cap-sha-kui ini bukan hanya merupakan tiga belas orang tokoh jahat,

   Melainkan berikut anak buah mereka yang hampir meliputi seluruh dunia kejahatan di timur dan utara, sampai wilayah kota raja. Keadaan inilah yang mendorong para pendekar untuk mengadakan pertemuan di Puncak Bukit Perahu yang terletak di lembah Sungai Huangho. Dan Cia Sun datang ke Ceng-tao juga untuk menghadiri pertemuan itu, sebagai wakil ayahnya yang menjadi ketua Pek-Liong-Pang. Memang sudah lama ayahnya, yaitu Cia Han Tiong atau Cia-pangcu (ketua Cia) tidak mencampuri urusan dunia kang-ouw. Akan tetapi setelah mendengar akan adanya pertemuan penting itu dan mengingat bahwa anak murid Pek-Liong-Pang tersebar sebagai pendekar-pendekar di sekitar kota raja, maka Cia-pangcu lalu mengutus puteranya sebagai wakil Pek-Liong-Pang, untuk melihat suasana dan mendengarkan hasil keputusan pertemuan para pendekar itu.

   "Kita tidak mengerti persoalannya secara mendalam,"

   Demikian Cia-pangcu memesan kepada puteranya.

   "Yang kita dengar hanya bahwa golongan hitam bangkit dan membuat kekacauan-kekacauan dan para pendekar berkumpul untuk merundingkan suasana keruh itu. Ada pula berita bahwa semua itu ada hubungannya dengan Pemerintahan Kaisar Ceng Tek. Oleh karena itu, Sun-ji (anak Sun), engkau jangan sembrono bertindak mencampuri. Dengarkan dan lihat saja bagaimana keadaan dan suasananya sebelum melibatkan diri."

   Demikianlah, ketika singgah di Ceng-tao, tanpa disengaja Cia Sun bertemu dengan Ceng Sui Cin tanpa dia mengetahui bahwa gadis gembel itu adalah puteri tunggal pamannya yang sudah lama dikaguminya, yaitu Pendekar Sadis. Setelah melewatkan malam di rumah penginapan dengan agak gelisah, tak dapat tidur nyenyak karena selalu membayangkan waiah si gadis gembel, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Cia Sun sudah berangkat menuju ke Puncak Bukit Perahu yang berada jauh di sebelah barat. Setelah keluar dari kota Ceng-tao dan berada di tempat sunyi, Cia Sun lalu mempergunakan ilmu berlari cepat sehingga tubuhnya meluncur ke depan seperti terbang saja. Pemuda ini memang hebat.

   Bentuk tubuhnya biasa saja, sedang dan tegap seperti tubuh pemuda yang sejak kecil berolah raga, Wajahnya juga sederhana seperti pakaiannya. Rambutnya digelung ke atas dan diikat sutera kuning. Pakaiannya yang sederhana itu terbuat dari kain putih dengan jubah kuning. Sepatunya hitam, demikian pula sabuknya yang terbuat dari sutera. Ketika wajahnya ditimpa sinar matahari pagi, kulit mukanya berkilat dan biarpun dia tidak memiliki wajah yang tampan, namun penuh kejantanan. Larinya cepat bukan main. Dia sama sekali tidak menyangka bahwa gadis gembel yang semalam membuatnya tak dapat tidur nyenyak, kini menunggang seekor kuda kecil cebol dan melarikan kudanya itu tak lama setelah dia, dengan jurusan yang sama pula. Gadis itu adalah Cui Sin dan iapun tidak tahu bahwa baru saja pemuda yang semalam menolongnya itu juga melalui jalan ini dengan berlari cepat menuju ke barat.

   Karena hari yang ditentukan untuk pertemuan para pendekar itu masih kurang dua hari lagi, maka jalan masih sunyi dan selama itu Cia Sun belum berjumpa dengan pendekar lain yang dikenalnya atau orang-orang yang patut diduga pendekar. Orang-orang yang ditemuinya di jalan sehari itu hanyalah orang-orang yang berlalu-lalang dari dan ke Ceng-tao. Ketika dia melihat sebuah hutan di depan, Cia Sun mempercepat langkahnya. Dia harus dapat menembus hutan itu sebelum gelap dan kini matahari telah condong ke barat. Dari jauh tadi, hutan yang berada di kaki bukit ini tidak begitu besar, akan tetapi setelah dimasukinya ternyata hutan itu penuh dengan pohon-pohon tua yang besar sehingga nampak menyeramkan dan liar. Bahkan jalan raya yang biasa dilalui orang mengambil jalan memutari hutan itu.

   Agaknya para pejalan itu lebih suka mengambil jalan memutar dari pada harus memasuki hutan yang nampak liar itu. Akan tetapi, Cia Sun tentu saja memilih lorong kecil yang menerobos hutan karena dia tidak takut memasuki hutan yang baginya kecil saja itu. Di tempat tinggalnya, di Lembah Naga, terdapat hutanhutan yang lebih luas dan lebih liar lagi. Karena dia tahu bahwa jalan lorong yang melalui hutan ini lebih dekat, maka tanpa ragu-ragu lagi dia memasuki hutan dan melakukan perjalanan cepat. Akan tetapi, ketika dia tiba di tengah hutan di mana terdapat pohon-pohon raksasa, tiba-tiba dia mendengar gerakan dari atas pohon dan ada angin menyambar ke bawah. Sebagai seorang pendekar yang lihai, dengan kewaspadaan yang selalu membuat tubuhnya berada dalam keadaan siap siaga,

   Cia Cun melempar tubuhnya ke belakang dan berjungkir balik. Betapa kagetnya melihat bahwa yang menyambar dari atas tadi adalah kepala seekor ular besar. Badan ular itu melilit cabang pohon dan kepalanya terayun ke bawah. Ular itu panjangnya ada empat tombak dan perutnya sebesar paha! Ular besar ini tentu akan dapat menelan binatang-binatang seperti kijang, bahkan orangpun akan dapat dimasukkan ke dalam perutnya. Ular besar itu mengayun kepalanya dan mencoba untuk meraih Cia Sun. Akan tetapi sekali ini Cia Sun mengelak sambil menggerakkan tangan memukul ke arah tengkuk ular yang menyambar itu dengan tangan dimiringkan. Tangan pendekar muda ini kalau dipukulkan seperti itu hebatnya melebihi palu godam baja.

   "Krekkk!"

   Ular itu terkulai dan perlahan-lahan, libatan badannya pada cabang pohon terlepas dan akhirnya terjatuhlah badan itu ke atas tanah, menggeliat-geliat akan tetapi kepalanya tidak dapat digerakkan karena tengkuknya patah-patah. Dan pada saat itu terdengar desis yang banyak sekali. Cia Sun memandang ke kanan kiri depan dan belakang dengan mata terbelalak karena dia melihat betapa dirinya telah dikurung oleh ratusan ekor ular yang berdatangan dari empat penjuru! Ular-ular besar kecil dari berbagai jenis dan warna, ular-ular beracun yang amat jahat dan tempat itu segera dipenuhi bau amis yang memuakkan.

   "Heh-heh-heh! Tar-tar-tarrr... hi-hik!"

   Cia Sun cepat menengok dan alisnya berkerut, sepasang matanya mencorong penuh kewaspadaan. Seorang nenek tua renta keriputan yang punggungnya bongkok tahu-tahu sudah berada di situ, memegang sebatang cambuk yang ekornya sembilan. Nenek itu membunyikan cambuknya berkali-kali, sehingga terdengar suara meledak-ledak dan nampak semacam asap mengepul dari ujung cambuknya, diseling suara ketawa terkekeh menyeramkan. Dan Cia Sun melihat kenyataan bahwa ular-ular itu agaknya terkendali oleh suara ledakan cambuk. Hal ini hanya berarti bahwa nenek itulah yang menjadi pawang ular dan telah mengerahkan peliharaannya yang merupakan ternak mengerikan ini untuk mengepungnya.

   Cia Sun mengingat-ingat. Para suhengnya, murid-murid Pek-Liong-Pang yang sudah menjadi pendekar dan mempunyai banyak pengalaman di dunia kang-ouw, pernah menceritakan kepadanya tentang dunia kang-ouw, tentang tokoh-tokoh penting dari golongan putih maupun golongan hitam. Dia pernah mendengar akan Cap-sha-kui dan di antara tiga belas orang tokoh sesat itu kabarnya terdapat seorang nenek yang berjuluk Kiu-bwee Coa-li (Ular Betina Berekor Sembilan). Dia sudah mendengar betapa lihainya nenek ini, kalau benar Kiu-bwee Coa-li. Menurut yang didengarnya, di antara Tiga Belas Iblis, yang paling tinggi ilmunya adalah empat orang dan di antaranya adalah nenek ini, maka dia bersikap tenang dan waspada. Ular-ular itu tidak dikhawatirkannya, akan tetapi dia harus berhati-hati terhadap nenek yang menjadi pawang atau penggembala ular itu.

   "Hemm, apakah engkau Kiu-bwee Coa-li?"

   Tanyanya, suaranya tetap tenang.

   "Heh-heh-heh, engkau masih muda sudah mengenalku, dan sekali pukul dapat membunuh ular kembang. Engkau tentu seorang pendekar, ya? Seorang tokoh muda golongan putih? Hihik, aku paling suka darah pendekar dan ular-ularku ini paling suka daging pendekar, Heh-heh! Tar-tar-tar-tarrr..."

   Cambuk berekor sembilan itu bergerak dan meledak-ledak. Cia Sun mengelak dari sambaran empat ekor ujung cambuk itu, akan tetapi dia melihat bahwa nenek itu bukan hanya menyerangnya, melainkan juga memberi aba-aba kepada ular-ularnya karena kini, sambil mengeluarkan suara berdesis-desis, binatang-binatang mengerikan itu mulai menyerangnya dari segala penjuru!

   Cia Sun menggerakkan kaki tangannya. Kakinya terayun, menendangi ular-ular yang berani mendekatinya, sedangkan kedua tangannya bergerak mengirim pukulan jarak jauh dengan pengerahan Thian-te Sin-ciang. Angin yang kuat menyambar ke arah ular-ular itu dan belasan ekor ular berhamburan seperti daun kering dilanda angin. Melihat kehebatan pemuda ini, nenek itu meringkik, setengah terkekeh setengah menangis dan pecutnya meledak-ledak semakin gencar, bukan hanya menghujani tubuh Cia Sun dengan serangan cambuknya yang berujung sembilan, akan tetapi juga untuk memberi komando kepada ular-ularnya yang menjadi semakin nekat menyerbu ke arah Cia Sun. Bahkan di antara ular-ular itu terdepat ular-ular cobra yang berdiri dengan leher berkembang, ada pula ular yang seperti dapat terbang karena ular-ular ini kecil-kecil dan ada yang kemerahan, meloncat dan menerkam seperti terbang ke arah leher dan tubuh Cia Sun!

   "Hemmm!"

   Pemuda itu mendengus dan ketika tangannya dikibaskan, ular-ular yang berani terbang menyerangnya itu terbanting hancur.

   Terpaksa Cia Sun berloncatan menjauh. Berbahaya juga kalau dia harus menjaga semua serangan itu. Dari atas sembilan ujung cambuk si nenek iblis, dan dari bawah ular-ular yang mengurungnya. Pada saat dia merobohkan ular-ular terbang, kembali terdengar ledakan dan sebuah di antara ujung-ujung cambuk itu menyambar ke arah pelipisnya dengan tenaga totokan yang amat berbahaya! Tidak ada waktu lagi untuk mengelak, dan karena ujung cambuk itu dapat menjadi alat menotok jalan darah yang ampuh, maka menangkis dengan lenganpun membuka kesempatan bagi lawan untuk menotok ke arah jalan darah di bagian lengan dan hal itupun cukup berbabaya. Maka, satu-satunya jalan bagi Cia Sun hanyalah menggerakkan tangannya dan jari telunjuknya mencuat dan menyambut ujung cambuk lawan itu.

   "Tukk..."

   Bagaikan seekor ular hidup saja, begitu bertemu dengan telunjuk kiri Cia Sun, ujung cambuk itu membalik dan melingkar, dan nenek itu mengeluarkan seruan kaget karena melalui cambuknya ia dapat merasakan getaran yang amat kuat muncul dari sambutan tusukan jari itu. Ia tidak tahu bahwa itulah satu di antara ilmu-ilmu yang hebat dari pemuda itu, yang disebut It-sin-ci (Satu Jari Sakti), semacam ilmu menotok jalar darah yang lihai sekali karena ilmu ini khusus diciptakan untuk menghadapi ilmu-ilmu kebal,

   Juga untuk menghadapi ilmu sakti Thi-khi-I-Beng, yaitu tenaga sakti yang dapat menyedot hawa murni lawan. Nenek itu mundur dan merasa agak gentar, maklum betapa lihainya pemuda ini dan iapun bersikap hati-hati. Cambuknya meledak-ledak dan ular-ularnya menjadi semakin ganas menyerbu ke arah Cia Sun. Cia Sun merasa kewalahan kalau harus menghadapi demikian banyaknya ular, apalagi banyak di antara ular-ular itu berbisa dan semburan-semburan yang mengandung racun membuat dia merasa muak dan pening. Sementara itu, nenek pawang ular tadi mulai terkekeh melihat pemuda itu kewalahan dan ia tetap membunyikan cambuknya yang menjadi komando bagi ular-ular itu sambil mendekati sebuah gubuk reyot yang terdapat di dekat tempat itu.

   "Heh-heh-heh, anak-anakku, serang dia, robohkan dia dan gerogoti dagingnya. Ha-ha, daging pendekar memang liat akan tetapi sedap!"

   Tiba-tiba muncul seorang gadis yang menunggang seekor kuda cebol. Gadis itu menahan kudanya dan memandang ke depan, tersenyum melihat Cia Sun sibuk dikepung dan dikeroyok ular-ular itu.

   Akan tetapi ketika ia melihat Kiu-bwee Coa-li yang terkekeh sambil membunyikan cambuknya untuk memberi semangat dan komando kepada ular-ularnya, gadis itu menjadi marah. Gadis itu adalah Ceng Sui Cin yang telah dapat menyusul Cia Sun. Tadinya ia melihat Cia Sun di dalam hutan itu dikeroyok ular, ia merasa geli, akan tetapi begitu melihat si nenek yang menyeramkan, ia segera mengenalnya. Ayah ibunya sudah menceritakan kepadanya tentang nenek ini yang selain lihai juga amat kejam dan jahat. Sui Cin menggerakkan pinggulnya dan tubuhnya melayang ke atas, tangannya meraih ke arah ranting-ranting pohon, terdengar suara ranting patah dan ketika ia meloncat turun, tangannya sudah memegang sebatang ranting yang masih penuh dengan daun hijau.

   "Hei, Kiu-bwee Coa-li nenek iblis! Engkau lebih menjijikkan dari pada ular-ularmu!"

   Sui Cin berseru dan iapun sudah menerjang ke depan, menggerakkan senjatanya yang aneh, yaitu ranting penuh daun itu.

   Sebagai puteri suami isteri pendekar sakti yang sejak kecil sudah digembleng mempelajari ilmu-ilmu silat tinggi, Sui Cin tidak pernah membawa senjata. Memang, bagi orang yang sudah memiliki tingkat ilmu silat seperti gadis ini, senjata tidak begitu dibutuhkan lagi. Kedua kaki dan tangannya sudah merupakan senjata yang amat ampuh dan juga di mana saja, benda apa saja dapat dipergunakannya sebagai senjata kalau perlu. Kalau kini ia mempergunakan ranting itu sebagai senjata adalah karena ia melihat betapa nenek itu memegang cambuk ekor sembilan, senjata yang lemas dan panjang, maka amatlah berbahaya dilawan dengan tangan kosong dan senjata yang paling tepat untuk menghadapinya adalah sebatang ranting.

   "Syuuuuttt... wirrr..."

   Ranting yang mempunyai banyak anak ranting penuh daun itu menyambar dengan dahsyat. Kiu-bwee Coa-li tentu akan memandang rendah kepada gadis ini kalau saja ia tidak mendengar betapa gadis itu begitu saja mengejeknya dan menyebut namanya. Seorang gadis yang dapat mengenalnya begitu berjumpa, tentu bukan gadis biasa dan karena saat ini memang saatnya bagi para pendekar untuk berkumpul di tempat itu, maka dapat diduga bahwa seperti si pemuda lihai, gadis inipun tentu memiliki kepandaian tinggi. Maka, ketika ranting penuh daun itu menyambar iapun menggerakkan cambuknya sambil mengerahkan tenaganya.

   "Tarrr... pyuuurrr..."

   Nenek itu terkejut sekali. Bukan hanya dapat ia merasakan adanya tenaga kuat tidak lumrah bagi seorang gadis remaja di dalam ranting itu, juga tangkisannya membuat banyak daun di ranting itu rontok, aka tetapi hebatnya, rontoknya daun itu beterbangan seperti senjata rahasia piauw yang meluncur ke arah muka dan tubuhnya! Tentu saja ia menjadi repot mengelak ke sana-sini sambil menyumpah-nyumpah karena mendengar gadis itu mentertawakannya.

   "Hihik, julukanmu dirobah saja menjadi Kiu-bwee Hek-wan (Lutung Hitam Ekor Sembilan), nenek iblis. Kalau engkau menari-nari seperti itu, persis lutung deh!"

   Sui Cin yang maklum bahwa nenek itu lihai sekali, biarpun mentertawakan dan mengejek, namun ia sama sekali tidak berani main-main dan sambil tertawa iapun sudah menerjang lagi dan mengirim serangan bertubi-tubi dengan kedua tangannya karena ia sudah menyimpan rantingnya di bawah lengan. Dengan Ilmu Hok-mo Sin-kun yang dipelajarinya dari ibunya, dara ini melakukan penekanan. Kembali Kiu-bwee Coa-li terkejut mengenal ilmu silat yang amat aneh, indah dan juga ganas ini, mirip ilmu kaum sesat! Tentu saja ia tidak tahu bahwa ibu kandung gadis ini pernah menjadi datuk selatan kaum sesat yang berjuluk Lamsin (Malaikat Selatan) maka tentu saja ilmu silatnya ganas!

   Terjadilah perkelahian yang seru antara Siu Cin dan Kiu-bwee Coa-li dan setelah kini nenek itu mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya, perlahan-lahan Sui Cin mulai terdesak juga. Akan tetapi, gadis ini menggerakkan rantingnya melindungi tubuh dan membalas serangan lawan dengan pukulan-pukulan ampuh. Sementara itu, ketika Cia Sun sedang menghadapi pengeroyokan banyak ular, pemuda ini melihat munculnya Sui Cin. Dia terkejut dan merasa khawatir sekali ketika mengenal gadis yang pernah menyamar sebagai pemuda dan pernah ditolongnya lari dari tahanan itu. Dapat dibayangkan betapa kaget, khawatir dan juga heran rasa hatinya ketika dia melihat gadis itu menyerang Kiu-bwee Coa-li dengan beraninya,

   Juga semakin heran bagaimana gadis aneh itu mengenal pula si nenek iblis. Akan tetapi keheranannya memuncak ketika dia melihat betapa gadis itu ternyata lihai bukan main dan dapat mengimbangi kepandaian Kiu-bwee Coa-li! Kalau dia tidak melihat sendiri, hanya mendengar cerita orang saja, tentu dia tidak akan mau percaya. Gadis itu ketika ditangkap sebagai seorang gadis gembel yang menyamar pemuda, adalah seorang gadis yang lemah biarpun memiliki keberanian amat besar. Buktinya, ditangkap tidak dapat melawan dan ketika ditahanpun tidak mau membebaskan dirinya. Kalau bukan dia datang menolong, tentu gadis itu akan celaka. Akan tetapi bagaimana kini ia muncul dalam pakaian yang tidak karuan pula, penuh tambalan dan potongannya lucu, membayangkan kemiskinan,

   Akan tetapi memiliki kepandaian yang tinggi sehingga mampu menandingi seorang datuk sesat lihai seperti Kiu-bwee Coa-li? Dan tiba-tiba saja wajahnya berobah merah. Dialah yang tolol! Tentu gadis itu berpura-pura ketika menyamar sebagai pria. Pura-pura tolol, pura-pura bodoh tidak pandai silat. Akan tetapi benarkah demikian? Bagaimana kalau yang muncul ini seorang gadis lain yang memiliki wajah mirip dengan gadis yang pernah ditolongnya itu? Akan tetapi, suaranya sama benar dan bengalnya juga sama ketika gadis itu mengejek Kiu-bwee Coa-li. Bagaimanapun juga, kemunculan Sui Cin menggembirakan hatinya apalagi melihat gadis itu kini berkelahi menggunakan ranting. Baru dia seperti diberi ingat bahwa untuk menghadapi pengeroyokan ular-ular itu, senjata ranting seperti gadis itulah yang paling tepat.

   Diapun berloncatan, dikejar oleh ular-ular itu dan setelah tiba di bawah pohon, dia meloncat dan mematahkan sebatang ranting panjang. Kemudian mengamuklah Cia Sun! Dengan rantingnya, dia menghajar ular-ular itu dan setiap kali rantingnya menyambar tubuh ular, ular yang kena disabet tentu melingkar-lingkar kesakitan karena sambungan tulangnya patah-patah dan hal ini membuat binatang itu tidak mampu merayap lagi. Amukan Cia Sun membuat ular-ular itu menjadi gentar, apalagi karena kini tidak ada komando dari suara cambuk Kiu-bwee Coa-li yang sedang mengerahkan seluruh tenaga dan mencurahkan seluruh perhatian untuk menghadapi gadis yang lihai itu. Maka ular-ular itu menjadi panik dan akhirnya ketakutan, lari meninggalkan bangkai teman-teman mereka dan teman-teman yang melingkarlingkar terluka tak mampu melarikan diri lagi itu.

   Setelah ular-ular itu pergi menjauh, Cia Sun membalikkan tubuhnya dan menonton perkelahian antara gadis gembel dan nenek iblis. Dan dia tertegun, terbelalak malah ketika melihat ilmu silat yang dimainkan oleh gadis itu. Tentu saja dia mengenal Thai-kek Sin-kun! Itulah ilmu dasar yang diberikan ayahnya kepadanya dan ilmu ini memang tepat sekali dipergunakan untuk mempertahankan diri terhadap tekanan lawan yang lebih lihai! Dan gadis itu memainkannya sedemikian indahnya. Begitu aseli dan itulah Thai-kek Sin-kun yang tulen. Siapakah gadis yang pandai memainkan Thai-kek Sin-kun seindah itu? Akan tetapi Cia Sun tidak mau memusingkan hal ini pada saat itu. Bagaimanapun juga, dia merasa yakin bahwa tentu ada hubungan dekat antara gadis itu dengan keluarganya, atau setidaknya dengan Cin-Ling-Pai,

   Maka tanpa banyak bicara lagi diapun sudah langsung menyerbu dengan senjata rantingnya. Kini dua batang ranting yang digerakkan dengan cepat dan kuat mengeroyok Kiu-bwee Coa-li yang segera terdesak hebat. Baru menghadapi dara remaja itu saja dia sudah merasa penasaran dan pusing karena sedemikian lamanya belum mampu merobohkannya, hanya mampu mendesak saja. Apalagi kalau pemuda yang lihai ini maju pula. Bisa berbahaya bagi dirinya. Bagi seorang tokoh sesat, tidak ada rasa malu bagi Kiu-bwee Coa-li. Yang penting dalam perkelahian, ia harus menang dan kalau berbahaya, ia tentu akan lari. Maka iapun mengeluarkan teriakan-teriakan panjang dan dari ujung cambuk itu meluncurlah Jarum-jarum halus beracun. Sembilan batang jarum halus menyambar ke arah Cia Sun dan Sui Cin.

   "Awas senjata rahasia beracun!"

   Seru Cia Sun memperingatkan gadis itu. Akan tetapi, tidak perlu Sui Cin diperingatkan.

   Seorang gadis yang sudah memiliki tingkat kepandaian seperti Sui Cin akan selalu waspada dan serangan tiba-tiba itu tentu saja dapat dihindarkannya dengan baik. Rantingnya membentuk gulungan sinar hijau dan Jarum-jarum yang menyambar ke arahnya tertangkis, bukan runtuh begitu saja melainkan langsung membalik dan meluncur, mengejar pemiliknya, yaitu Kiu-bwee Coa-li yang melarikan diri. Nenek itu dapat menghindar dengan lompatan dan terus melarikan diri. Sedangkan Cia Sun sudah meloncat ke samping menghindarkan diri dari Jarum-jarum yang menyambar ke arahnya. Ketika mereka memandang ke depan, nenek itu telah lenyap, telah lari jauh sekali maka mereka berduapun tidak mengejar. Kini mereka berdiri berhadapan dan saling pandang. Sui Cin tersenyum dan berkata,

   "Kita sudah lunas, ya? Engkau pernah menolongku satu kali dan kini akupun sudah membantumu satu kali. Jadi satu-satu, lunas, bukan?"

   Cia Sun semakin tertarik. Jantungnya seperti disedot rasanya dan dia memandang wajah yang lucu itu dengan senyum kagum. Biasanya Cia Sun berwatak pendiam, serius, tidak suka berkelakar, dan sedikit bicara. Akan tetapi, berhadapan dengan gadis ini, dia merasa gembira sekali dan diapun menanggapi.

   "Nona, ketika aku menolongmu, ternyata engkau hanya pura-pura saja bodoh sehingga hal itu bukan merupakan pertolongan. Akan tetapi sekarang, kalau engkau tidak muncul dan membantuku menghadapi nenek iblis itu, tentu akan terancam bahaya besar diriku. Maka, sudah sepatutnya kalau aku menghaturkan terima kasih atas budi pertolonganmu tadi."

   "Hemm... siapa bicara tentang budi pertolongan? Engkau kebetulan melihat aku dalam kesukaran dan menolong tanpa sengaja, sekarang akupun tanpa disengaja melihat engkau dikeroyok ular lalu turun tangan membantu. Tidak ada budi. Aku tidak pernah hutang budi atau melepas budi."

   Ucapan seorang pendekar sejati, pikir Cia Sun yang menjadi semakin kagum. Begitu kagum hatinya sampai dia tidak lagi mampu bicara, hanya memandang kepada wajah dara itu seperti orang terpesona. Melihat betapa pemuda itu memandangnya dengan bengong seperti orang bingung, Sui Cin tersenyum geli.

   "He, apa yang kau pandang?"

   Tanyanya tiba-tiba sehingga mengejutkan Cia Sun.

   "Eh, tidak apa-apa... aku... hanya heran..."

   "Mengapa heran? Apa rupaku tidak lumrah manusia?"

   "Bukan begitu, tapi aku melihat nona mainkan Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun! Bagaimana nona dapat mempelajari ilmu itu?"

   "Hemm, dan engkau, bagaimana engkau dapat mengenal Ilmu Thai-kek Sin-kun yang kumainkan?"

   Suara itu lebih heran dan lebih curiga.

   "Karena aku heran sekali... ilmu itu adalah milik keturunan Cin-Ling-Pai..."

   "Kalau begitu..."

   "Siapakah nona yang pandai ilmu silat keluarga kami?"

   "Dan siapa pula engkau ini yang mengaku-aku keluarga kami?"

   "Ehh... jadi nona memang ada hubungan dengan Cin-Ling-Pai...? Siapakah namamu, nona?"

   "Namamu dulu."

   "Baiklah, namaku Sun, aku she Cia..."

   "Haiii... Engkau Cia Sun dari Lembah Naga? Wah, wah... Aku... aku she Ceng..."

   "Astaga... kau... kau ini Sui Cin anak yang bengal dulu itu?"

   Sui Cin cemberut dan menghardik,

   "Siapa yang bengal?"

   Cia Sun tersenyum lebar dan menjura.

   "Maaf, maaf... membayangkan engkau ketika masih kecil, sukarlah dipercaya engkau sekarang sudah menjadi begini... besar dan lihai!"

   "Memangnya aku disuruh menjadi anak kecil selamanya? Dan jangan katakan aku bengal!"

   "Ha-ha, siauw-moi, lupakah engkau ke pada dahiku yang dahulu membenjol sebesar telur ayam karena kau sambit dengan batu?"

   Sui Cin tertawa dan menutupi mulutnya walaupun suara ketawanya lepas bebas. Lalu disambungnya dengan kata-kata,

   "Wah, tentu saja aku ingat. Ayah ibuku memarahiku dan hampir aku kena digebuk ayah! Gara-gara engkau. Kenapa dahimu membenjol, baru kena batu begitu saja. Dan sekarang, Sun-ko, jangan kau melapor lagi kepada ayah ibu kalau bertemu dengan mereka, ya?"

   "Melapor bahwa engkau menyamar sebagai gembel, bahkan sebagai pemuda gembel yang mencuri bakpao dan membiarkan dirimu ditangkap dan ditahan? Ah, tidak, Cin-moi. Kita bukan anak-anak lagi sekarang. Engkau sungguh telah menjadi seorang gadis yang..."

   "... bengal...?"

   "Tidak! Tidak... Engkau sudah besar dan sungguh hebat kepandaianmu, bahkan Kiu-bwee Coa-li kewalahan menandingimu. Thai-kek Sin-kun tadi kaumainkan amat indah dan hebat."

   "Sudah, jangan terlalu memuji. Bisa membengkak dan pecah kepala ini nanti. Kalau tidak kau bantu, apa kau kira aku dapat menang menghadapi nenek ular itu? Sungguh mengherankan sekali, apakah benar-benar Cap-sha-kui telah keluar dari sarangnya dan mengapa mereka bahkan datang ke tempat ini di mana para pendekar akan mengadakan pertemuan?"

   "Bukankah baru seorang saja Kiu-bwee Coa-li tadi yang muncul?"

   "Sudah tiga bersama nenek itu! Sebelumnya aku sudah bertemu dengan dua orang lain di antara mereka, di kuil Dewi Laut, yaitu Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kuibo."

   Cia Sun mengangguk-angguk.

   "Ah, kalau begitu agaknya benar mereka itu telah keluar dari sarang. Bahkan baik untuk memperingatkan para sahabat dalam pertemuan nanti."

   "Kalau begitu engkau hendak pergi menghadiri pertemuan para pendekar itu, Sun-ko?"

   
Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sikap dan suara Sui Cin demikian akrab, seolah-olah selama ini Cia Sun selalu bergaul dengannya. Padahal, selama hidupnya, baru satu kali ia berjumpa dengan Cia Sun, yaitu ketika ia diajak ayah bundanya mengunjungi Lembah Naga, kira-kira sembilan tahun yang lalu. Ketika itu ia baru berusia enam tahun dan Cia Sun berusia tiga belas tahun. Ia bersama orang tuanya tinggal setengah bulan di Lembah Naga dan setelah mereka pulang, ia tidak pernah lagi berjumpa dengan Cia Sun. Akan tetapi, karena memang gadis ini memiliki pembawaan riang dan ramah jenaka, maka ia mudah akrab dengan siapa saja. Cia Sun sendiri yang biasanya pendiam dan serius, juga agak malu kalau berdekatan dengan wanita, sekali ini kehilangan rasa canggungnya berkat sikap Sui Cin yang ramah itu.

   "Benar, dan engkau sendiri, Cin-moi?"

   "Akupun hendak berkunjung ke sana."

   "Mewakili orang tuamu?"

   "Tidak. Sudah setengah tahun aku meninggalkan Pulau Teratai Merah. Hanya kebetulan dalam perjalanan aku mendengar tentang rencana pertemuan itu maka aku sengaja hendak menonton. Dan engkau?"

   "Aku mewakili Pek-Liong-Pang, mewakili ayah."

   "Kalau begitu, mari kita lanjutkan perjalanan. Tidak enak kalau kemalaman dalam hutan. Apalagi bau bangkai ular-ular itu amat busuk."

   "Baiklah, Cin-moi. Kau naiki saja kudamu, biar aku jalan kaki. Kita dapat bercakap-cakap di perjalanan."

   Mereka melanjutkan perjalanan sambil bercakap-cakap. Sui Cin menunggang kudanya dan Cia Sun berjalan di sebelahnya. Malam telah tiba dan cuaca mulai gelap ketika mereka keluar dari dalam hutan. Karena tidak nampak dusun di dekat situ, keduanya terpaksa melewatkan malam di tepi hutan. Mereka membuat api unggun dan Sui Cin mengeluarkan bekal roti dan daging keringnya, sedangkan Cia Sun mengeluarkan bekal araknya yang masih seguci penuh. Setelah makan sekedarnya untuk menghilangkan rasa lapar dan haus, keduanya duduk menghadapi api unggun dan melanjutkan percakapan mereka.

   "Sun-ko, sudah banyak sekah aku mendengar tentang orang tuamu, terutama sekali tentang ayahmu. Ayahku tiada bosannya mengatakan bahwa ayahmu adalah pendekar terbesar di dunia ini dan ayahmulah satu-satunya orang yang amat dihormati ayahku."

   Cia Sun menghela napas.

   "Di antara ayah kita berdua memang terjalin pertalian persaudaraan yang amat kuat, melebihi saudara sekandung. Ayahku juga tiada bosannya membicarakan ayahmu dan seringkali dia mengatakan bahwa ayahmu adalah pendekar yang paling lihai dan satu-satunya orang yang amat disayang oleh ayahku."

   "Kalau begitu, orang tua kita memiliki pertalian persaudaraan yang amat erat, dengan sendirinya kitapun dapat dibilang masih keluarga sendiri, bukan?"

   "Begitulah, siauw-moi."

   "Ih, jangan sebuat aku siauw-moi (adik kecil), aku tidak kecil lagi, Sun-ko. Usiaku sudah lima belas tahun!"

   "Lima belas tahun masih kecil namanya."

   "Siapa bilang? Bagi seorang wanita, usia itu sudah berarti dewasa."

   "Baiklah, maafkan aku. Aku akan menyebutmu Cin-moi saja."

   "Maaf-maafan segala, engkau terlalu sungkan, Sun-ko. Kalau aku tidak salah ingat, engkau lebih tua lima tahun dari pada aku."

   "Tujuh tahun. Usiaku sekarang sudah dua puluh dua tahun."

   "Engkau tentu sudah menikah..."

   Perkataan ini membuat Cia Sun terkejut dan tertegun sejenak tak dapat menjawab karena bagi seorang pendiam dan sopan serta serius seperti dia, tak pernah terbayangkan akan menerima pertanyaan seperti itu dari seorang gadis yang pernah membuat dia tidak mampu tidur nyenyak semalam suntuk. Akan tetapi ketika dia memandang dan mereka bertemu pandang, dia tidak melihat sesuatu dalam sinar mata gadis itu melainkan kejujuran dan pertanyaan yang terbuka tanpa perasaan lain yang tersembunyi di balik kata-kata itu. Maka diapun menggeleng.

   "Kenapa engkau menyangka demikian?"

   "Karena usiamu sudah dua puluh dua tahun."

   "Siapa yang mau menjadi isteri orang seperti aku ini, Cin-moi?"

   Sui Cin terbelalak memandang wajah pemuda itu, melihat betapa wajah itu tiba-tiba dibayangi kemurungan. Wajah yang gagah, walaupun tidak terlalu tampan, akan tetapi wajah yang berwibawa, gagah dan membayangkan kejujuran. Wajah seorang pendekar yang perkasa. Akan tetapi pada saat itu, kegagahannya tertutup awan mendung sehingga menggelikan hatinya dan tiba-tiba Sui Cin tertawa, sekali ini lupa menutupi mulutnya sehingga nampaklah deretan gigi putih dan rongga mulut yang merah sekali seperti dibakar warna api unggun, dan ujung lidahnya nampak sebentar. Mulut itu tertutup kembali dan Sui Cin memandang kepada api unggun. Cia Sun kebingungan, merasa ditertawakan, mencari-cari kesalahan apa yang terkandung dalam ucapannya, kelucuan apa sehingga dara itu tertawa. Karena tidak dapat menemukan, diapun bertanya,

   "Cin-moi, kenapa engkau tertawa?"

   Sui Cin masih nampak termenung sambil menatap api unggun, kemudian bicara, seperti bicara kepada api unggun, suaranya lirih, satu-satu dan jelas,

   "Dia seorang pendekar perkasa berkepandaian tinggi, putera ketua Pek-Liong-Pang penghuni Lembah Naga yang amat terkenal, disegani kawan ditakuti lawan dan dia bertanya siapa yang mau menjadi isteri seorang seperti dia! Padahal, gadis-gadis dari semua penjuru akan berbondong-bondong datang berlomba untuk dapat menjadi jodohnya."

   Wajah pendekar itu berobah merah.

   "Ah, Cin-moi, harap jangan memperolok..."

   "Siapa berolok-olok? Sun-ko, engkau seorang pendekar yang gagah perkasa, hanya ada yang tidak menyenangkan hatiku... yaitu... hemmm... engkau terlalu canggung, engkau terlalu sopan, terlalu halus dan lemah, hemm... sudahlah, aku mau tidur."

   Berkata demikian, dara itu lalu merebahkan diri di tempat yang sudah dipersiapkan sebelumnya, yaitu di bawah pohon bertilamkan rumput kering. Dia rebah miring dan tidak bergerak lagi dan tak lama kemudian pernapasannya menunjukkan bahwa ia memang sudah pulas.

   Malam itu kembali Cia Sun tidak dapat tidur. Kata-kata dan sikap Sui Cin yang membuat dia duduk bengong menghadapi api unggun dengan alis berkerut, juga dia harus berjaga. Siapa tahu nenek pawang ular itu muncul lagi dan setelah dia melakukan perjalanan bersama Sui Cin, dia merasa bertanggung jawab menjaga keselamatan dara ini. Dia sungguh bingung menghadapi sikap Sui Cin. Mengapa hatinya tidak senang karena dia... hemm, dianggap canggung, sopan, halus dan lemah? Apa maksudnya? Dia tidak marah disebut demikian, hanya dia ingin tahu sekali mengapa hati gadis itu menjadi tidak senang. Akan tetapi dia tidak berani bertanya, takut kalau-kalau pertanyaannya atau desakannya akan membuat Sui Cin menjadi makin marah.

   Padahal dia sama sekali tidak menghendaki gadis itu marah-marah. Sama sekali tidak, bahkan dia ingin sekali membuat gadis itu bergembira. Akan tetapi bagaimana? Ada sesuatu pada diri gadis ini yang membuatnya tertarik, untuk menyelidikinya, untuk mengenalnya lebih baik. Dan setelah ternyata bahwa gadis yang tadinya disangka gadis gembel aneh itu adalah puteri Pendekar Sadis, pamannya sendiri, kesan dalam batinnya menjadi semakin mendalam! Ketika pada keesokan paginya mereka melanjutkan perjalanan, di sepanjang perjalanan Cia Sun dengan hati-hati menjaga diri agar jangan sampai membuat adik sepupu itu menjadi tidak senang hatinya. Hubungan antara dia dan Sui Cin memang dekat sekali.

   Dilihat dari sumber perguruan silat, mereka masih terhitung saudara seperguruan. Diingat akan hubungan antara ayah mereka yang mengangkat saudara, mereka masih terhitung saudara sepupu angkat. Akan tetapi Cia Sun menemui kesulitan untuk depat menyesuaikan diri dengan gadis itu, atau mengikuti gerak-geriknya. Bagaikan seekor burung, Sui Cin adalah seekor burung walet yang amat gesit dan tidak pernah mau diam. Bagaikan bunga, ia mirip bunga hutan yang liar dan kuat, tidak takut akan badai dan panas, Wataknya lincah gembira, Kadang-kadang seperti kanak-kanak, kadang-kadang sudah matang dewasa, ada kalanya bengal suka menggoda orang, pendeknya, amat berlawanan dengan watak Cia Sun yang pendiam, serius, dan tidak banyak cakap.

   Namun, suatu keanehan terjadi dalam batin pemuda itu. Walaupun watak mereka bertolak belakang, dia merasa amat tertarik, dan kalau biasanya dia tidak suka melihat seseorang dengan sikap seperti Sui Cin, namun pada diri gadis itu, baginya nampak demikian memikat dan menyenangkan! Asmara memang merupakan suatu kekuasaan yang amat jahil dan suka menggoda hati manusia! Demikian kuatnya asmara sehingga tidak ada seorangpun manusia yang kebal atau dapat melawan kekuasaannya. Tanpa pandang bulu, kaya atau miskin, pintar atau bodoh, dari segala lapisan, setelah melampaui masa remaja, asmara mulai mengintai dan mencari korban di antara manusia.

   Dan sekali orang terkena panah asmara, dia akan menjadi seperti linglung dan terjadilah perobahan besar-besaran dalam dirinya. Hebatnya, asmara dapat mendatangkan sorga pada seseorang sehingga batinnya merasa bergembira, segalanya nampak indah, hidup penuh arti yang menyenangkan. Di lain saat, asmara dapat meruntuhkan kesemuanya itu dan menyulap sorga berobah menjadi neraka, penuh derita batin, penuh kekecewaan, penuh sengsara. Lebih mengherankan lagi, manusia amat jinak dan suka sekali menjadi korban asmara yang jahil! Dan Cia Sun, untuk yang pertama kali selama hidupnya, terkena panah asmara tanpa dia sendiri menyadarinya! Dia jatuh hati kepada Sui Cin. Namun, karena pemuda ini semenjak kecil digembleng oleh orang tuanya menjadi seorang pendekar yang budiman,

   Sopan dan memegang teguh peraturan, sesuai dengan sifat seorang kuncu (budiman) seperti yang disebutkan oleh para guru besar dan para cerdik pandai, maka diapun diam saja dan hanya menyimpan peraman itu di lubuk hatinya. Pada suatu siang tibalah mereka di kaki bukit itu. Puncak Bukit Perahu telah nampak dari situ. Bukit itu memang berbentuk sebuah perahu yang terbalik, tertelungkup. Karena bentuknya itulah maka dinamakan Puncak Bukit Perahu. Puncaknya tidak runcing, melainkan seperti dasar perahu yang terbalik. Dari jauh nampak hutan-hutan yang amat subur karena bukit itu terletak di daerah lembah Sungai Huangho yang terkenal subur. Selagi keduanya melanjutkan perjalanan, Sui Cin di atas punggung kudanya dan Cia Sun berjalan di sebelah kirinya, tiba-tiba gadis itu menunjuk ke depan.

   "Eh, siapa itu tidur di tepi jalan?"

   Mereka berdua mempercepat jalan ke depan dan Sui Cin yang melihat bahwa yang menggeletak di tepi jalan itu adalah seorang wanita, cepat meloncat turun dan sebentar Saja ia sudah berlutut di dekat mayat itu. Mayat seorang gadis yang usianya sebaya dengannya, mayat yang setengah telanjang, mayat yang diperkosa dan dibunuh secara kejam.

   Kejam karena tubuh itu tidak terluka, akan tetapi setelah diperiksa, di pelipisnya ada tanda jari hitam. Tahulah Sui Cin bahwa gadis ini dibunuh oleh orang yang memiliki ilmu pukulan ganas dan kejam sekali, yang memiliki jari tangan yang mampu membunuh orang hanya dengan satu kali tusukan atau bahkan pijatan saja seperti yang dialami oleh gadis yang sudah mati itu. Dengan muka merah karena marah sekali Sui Cin menoleh ke arah Cia Sun dan melihat betapa pemuda itu sudah berdiri dekat akan tetapi pemuda itu membuang muka. Tentu saja karena melihat mayat setengah telanjang itu. Sui Cin lalu menutupi bagian-bagian yang biasanya tertutup dengan sisa pakaian yang masih ada sambil menarik napas panjang untuk menekan perasaannya yang dibakar api kemarahan.

   

Pendekar Sadis Eps 16 Pendekar Sadis Eps 38 Harta Karun Jenghis Khan Eps 1

Cari Blog Ini