Asmara Berdarah 35
Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo Bagian 35
Dia hanya melihat bekas-bekas kejahatan pasukan pemberontak yang dipimpin Sim Thian Bu itu, yang telah membasmi puluhan orang anak buah suku Mancu Timur di bawah pimpinan Lamnong. Hatinya menjadi panas oleh kemarahan ketika dia mendengar dari penyelidikannya betapa sutenya itu telah sedemikian jahatnya membunuhi orang-orang yang tidak berdosa, bahkan menganiaya dan memperkosa wanita-wanitanya. Akan tetapi kedatangannya terlambat dan dia tidak sempat lagi mencegah perbuatan sutenya. Pula, Ci Kang tidaklah begitu bodoh untuk langsung menemui Thian Bu dan menegurnya. Bagaimanapun juga, jalan hidup antara mereka telah terpisah, mereka telah bersimpang jalan, bahkan saling menentang. Sutenya itu, setelah kini memimpin ratusan orang perajurit, mana mungkin mau mentaatinya? Tentu tidak takut kepadanya dan dia akan dianggap musuh dan dikeroyok.
Karena itulah, Ci Kang diam-diam lalu menculik seorang perajurit yang perawakannya seperti dia, membawa perajurit itu ke dalam sebuah hutan yang cukup jauh, mengikat kaki tangannya setelah melucuti pakalannya, dan dengan berpakaian perajurit dia kembali ke dalam dusun. Dengan mudah dia menyelinap di dntara perajurit yang seribu orang banyaknya itu dan dia berhasil masuk ke dalam pondok di mana Sim Thian Bu sedang mengunjungi Hui Song yang tertawan. Dengan muka geram dia mendengarkan semua percakapan itu dan tahulah dia bahwa pendekar putera ketua Cin-Ling-Pai itu sedang dibujuk oleh sutenya untuk membantu pemberontak. Sutenya, Sim Thian Bu, telah membantu Raja Iblis. Padahal, ayahnya, Siangkoan Lojin, guru sutenya itu tewas di tangan Raja Iblis. Sungguh seorang murid murtad. Dia sendiri memang tidak mendendam atas kematian ayahnya yang dianggapnya tewas karena ulah sendiri, akan tetapi dia tidak akan sudi diperalat oleh pemberontak.
Dan biarpun Hui Song pernah memperlihatkan sikap bermusuh dengannya, ketika dia muncul di bekas benteng Jeng-hwa-pang dan ketika dia berada dalam kamar bersama Sui Cin, namun dia tahu bahwa pemuda itu adalah seorang pendekar sejati. Diapun sudah mendengar tentang ketua Cin-Ling-Pai yang membantu gerakan para pemberontak, maka diam-diam dia merasa kasihan kepada Hui Song. Sedikit banyak ada persamaan antara dia dan pemuda ini. Biarpun ayah pemuda ini seorang pendekar besar, ketua Cin-Ling-Pai, akan tetapi sekarang menyeleweng dan membantu pemberontak, padahal puteranya mati-matian menentang pemberontak dan lebih memilih mati dari pada harus menjadi kaki tangan pemberontak seperti yang diperlihatkan ketika dibujuk oleh Sim Thian Bu itu. Dan agaknya Hui Song belum tahu akan penyelewengan ayahnya.
"Hui Song, engkau sungguh orang yang tidak tahu akan kebaikan orang!"
Akhirnya Sim Thian Bu menjadi marah dan tidak menyebutnya taihiap lagi.
"Melihat muka orang tuamu yang kini menjadi rekanku, aku bersikap baik kepadamu dan tidak membunuhmu walaupun engkau telah membantu suku bangsa liar. Bahkan aku telah menyuguhkan empat orang wanita tawanan untuk menghiburmu, akan tetapi engkau menolak. Baiklah, agaknya engkau baru akan mau percaya kalau sudah kubawa ke Cengtek dan bertemu dengan ayah ibumu."
Dia mendengus marah.
"Karena engkau masih tidak mau tunduk, terpaksa harus kubelenggu terus sampai ke Cengtek. Hari ini juga kita berangkat ke sana!"
Dengan uring-uringan Thian Bu meninggalkan Hui Song dalam kamar itu. Tadinya dia berniat untuk membujuk Hui Song agar dapat membantu dan ikut dengannya secara suka rela agar dia dapat berbangga memamerkan jasanya di Cengtek. Tak disangkanya Hui Song demikian keras hati sehingga terpaksa dia akan membawanya sebagai tawanan, hal yang amat tidak enak terhadap ketua Cin-Ling-Pai.
"Jaga dia, awasi terus jangan sampai dia dapat meloloskan diri!"
Perintah Sim Thian Bu kepada dua orang pengawal yang berada di luar pintu kamar.
Dua orang pengawal itu mengangguk dan masuk ke dalam kamar, berdiri dekat pembaringan dengan tombak di tangan. Akan tetapi, tidak lama kemudian setelah Sim Thian Bu meninggalkan kamar itu, sesosok bayangan berkelebat masuk ke dalam kamar itu. Hui Song yang masih rebah tak mampu berkutik itu melihat betapa dengan gerakan yang amat ringan, bayangan ini menyergap ke arah dua orang penjaga yang tidak sempat berteriak atau mempertahankan diri. Dua kali totokan membuat mereka itu roboh pingsan. Dengan cekatan Ci Kang, bayangan itu, menyambar dua batang tombak agar tidak mengeluarkan bunyi keras ketika terbanting ke atas lantai. Hui Song terbelalak ketika mengenal siapa adanya perajurit tinggi tegap yang merobohkan dua orang pengawal itu.
"Hemmm...kau...?"
Gumamnya, sama sekali tidak girang melihat kedatangan penolong ini, bahkan matanya mengandung sinar kemarahan. Andaikata dia tidak dalam keadaan terbelenggu, tentu dia sudah bergerak menerjang Ci Kang! Ci Kang dapat melihat kebencian terpancar dari mata putera ketua Cin-Ling-Pai itu dan diapun maklum.
"Sobat Cia Hui Song, sebaiknya engkau tahan kemarahanmu dan kita simpan dulu urusan pribadi. Yang jelas engkau tertawan..."
"Benar, dan yang menawan adalah murid ayahmu!"
Hui Song mengejek.
"Simpan ejekanmu itu, sobat! Biarpun dia suteku, akan tetapi jalan hidup kami tidak sejalur. Biarpun mendiang ayahku seorang datuk sesat, akan tetapi tak dapat kau samakan aku dengan mereka, seperti juga berbedanya jalur hidupmu dengan ayahmu yang kini mengabdi pemberontak..."
"Tutup mulut! Kalian pembohong..."
Hui Song membentak.
"Sstttt kita tunda dulu perselisihan ini. Yang penting kita harus dapat lari dari tempat ini,"
Berkata demikian Ci Kang cepat melepaskan ikatan kaki tangan Hui Song. Biarpun bekas ikatan pada kaki dan tangan itu masih membuat kaki tangannya terasa kesemutan dan setengah lumpuh, namun Hui Song memaksa diri meloncat turun dari pembaringan dan langsung dia menyerang Ci Kang!
"Jahanam busuk, aku harus membunuhmu untuk membalaskan penghinaanmu terhadap Sui Cin!"
Serangan Hui Song tentu saja hebat sekali dan Ci Kang yang sudah mengenal kelihalan lawan ini cepat mengelak.
"Sabar dulu, sobat. Masih banyak waktu dan kesempatan bagi kita untuk bertanding. Sekarang yang penting kita herus meloloskan diri dari dusun ini!"
Ci Kang berseru, akan tetapi semua seruannya percuma saja karena Hui Song yang sudah marah sekali teringat akan perbuatan pemuda ini memeluk dan mencium Sui Cin, sudah menerjang lagi kalang kabut. Tentu saja Ci Kang menjadi bingung sekali dan sikap Hui Song ini membuat dia naik darah juga, maka setelah mengelak dan menangkis, diapun mulai balas menyerang!
Terjadilah perkelahian yang amat hebat di dalam kamar itu dan tentu saja, hal ini menarik perhatian para pengawal yang cepat datang melihat. Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati mereka melihat tawanan itu telah bebas dan kini sedang berkelahi melawan seorang rekan perajurit sedangkan dua orang perajurit pengawal sudah roboh tak bergerak di atas lantai. Melihat ini, para perajurit itu yang mengira bahwa Ci Kang adalah seorang di antara kawan mereka cepat menerjang dan membantu Ci Kang sehingga Hui Song kini dikeroyok! Pemuda yang sudah mempunyai perasaan benci terhadap Ci Kang ini, rasa benci yang bukan hanya karena Ci Kang putera datuk sesat Iblis Buta, akan tetapi terutama sekali karena rasa cemburu yang hebat, kini menjadi semakin marah dan semakin yakin bahwa Ci Kang tentu bekerja sama dengan sutenya, Sim Thian Bu yang licik itu.
"Huh, Siangkoan Ci Kang, majulah bersama semua antekmu! Aku tidak takut!"
Dan diapun mengamuk merobohkan empat orang perajurit dengan sekali serang! Pada saat itu, Sim Thian Bu yang diberi tahu oleh anak buahnya datang dan diapun terkejut bukan main ketika mengenal perajurit tinggi tegap itu yang ternyata adalah Siangkoan Ci Kang! Sebaliknya, melihat Sim Thian Bu, Ci Kang juga marah sekali. Kalau tadi ketika dia mendengar Thian Bu membujuk Hui Song dia masih mempertahankan kemarahannya karena perlu membebaskan Hui Song lebih dulu, kini setelah ketahuan dan dikeroyok, kemarahannya terhadap sutenya itu makin berkobar.
"Sim Thian Bu, engkau semakin gila dan jahat saja!"
Bentaknya dan tiba-tiba saja dia menyerang Sim Thian Bu! Thian Bu maklum akan kelihaian putera suhunya ini. Maka cepat dia menangkis dengan lengan kanannya.
"Dukkk..."
Dan tubuh Thian Bu terlempar sampai bergulingan. Terkejutlah dia dan baru dia tahu bahwa suhengnya itu ternyata telah menjadi semakin lihai saja. Maka diapun berteriak kepada para perajuritnya.
"Dia perajurit palsu! Kepung dan bunuh dia juga!"
Tadi para perajurit bingung melihat pimpinan mereka berkelahi melawan perajurit itu, bahkan mereka kaget melihat betapa dalam segebrakan saja komandan mereka yang biasanya amat lihai itu terlempar sampai bergulingan. Akan tetapi begitu mendengar teriakan Thian Bu mengertilah mereka bahwa perajurit itu adalah seorang musuh yang menyamar, maka tentu saja segera mereka mengeroyok Ci Kang! Hui Song sendiri juga dihujani senjata dan kini melihat betapa Ci Kang dikeroyok, tadinya dia masih bingung dan ragu, mengira bahwa Ci Kang bersandiwara.
Akan tetapi melihat betapa Ci Kang mengamuk dan merobohkan banyak perajurit seperti juga dia, dan betapa para pengeroyoknya itu juga menyerang dengan sungguh-sungguh, baru dia percaya bahwa Ci Kang benar-benar dimusuhi oleh Sim Thian Bu dan pasukannya! Dia masih bingung, akan tetapi tidak mendapat kesempatan untuk berpikir lebih lama lagi. Para pengeroyok terlalu banyak dan melihat betapa Ci Kang mendesak para pengeroyok dan berhasil keluar dari dalam kamar yang sempit, diapun menerjang dan membuka jalan darah. Segera dua orang pemuda perkasa ini dikeroyok di luar pondok yang lebih luas dan terjadilah pertempuran yang amat seru. Akan tetapi, baik Ci Kang maupun Hui Song maklum bahwa mereka berdua saja tidak akan mungkin dapat menandingi pengeroyokan perajurit yang jumlahnya hampir seribu orang itu.
Mereka tentu akan kehabisan tenaga. Oleh karena itu, seperti telah berunding lebih dulu saja keduanya menyerang ke depan dan menyelinap lalu meloncat jauh dan melarikan diri. Beberapa orang perajurit yang berusaha mengejar, mereka robohkan dengan pukulan jarak jauh. Melihat ini, para perajurit lainnya menjadi gentar dan ragu-ragu untuk mengejar. Thian Bu yang marah sekali melihat dua orang itu lolos, cepat berteriak memerintahkan anak buahnya untuk mengejar. Karena mengandalkan jumlah banyak pasukan itu melakukan pengejaran, akan tetapi dua orang pemuda perkasa itu telah lari jauh dan tidak nampak lagi bayangannya sehingga terpaksa para perajurit mencari ke sana-sini di bawah pimpinan Sim Thian Bu yang menyumpahnyumpahi mereka karena pengejaran itu gagal sama sekali.
Sim Thian Bu cukup maklum bahwa perajurit-perajurit itu tidak dapat disalahkan karena memang kedua orang pemuda itu amat lihai, akan tetapi karena kegagalan ini amat menjengkelkan hatinya, maka untuk melampiaskan kemarahannya itu dia memaki-maki para perajuritnya. Biarpun tidak berjanji lebih dulu, akan tetapi kenyataannya Ci Kang dan Hui Song lari ke satu jurusan. Agaknya mereka itu keduanya tidak mau mengambil jalan lain atau memisahkan diri, khawatir kalau disangka takut atau sengaja melarikan diri menghindarkan perkelahian. Dan setelah mereka lari jauh dan pasukan pemberontak tidak mengejar lagi, di sebuah tanah datar di lereng sebuah bukit, keduanya berhenti tanpa kencan dan berdiri saling berhadapan.
"Cia Hui Song, masih tidak percayakah kau kepadaku? Aku juga menentang kaum pemberontak!"
"Boleh jadi engkau menentang pemberontak, akan tetapi aku tidak mungkin dapat mengampunimu atas kebiadabanmu menghina Sui Cin!"
Bentak Hui Song dan diapun sudah menyerang dengan dahsyatnya. Ci Kang merasa betapa pemuda ini keterlaluan sekali mendesaknya. Biarpun ada dorongan aneh dalam dirinya ketika dia menjadi terangsang dan timbul berahinya sehingga dia melakukan hal yang tidak patut terhadap Sui Cin, namun dia tidak mau mencari alasan untuk membela diri. Dia diam saja dan menangkis, bahkan lalu membalas sehingga dua orang muda itu terlibat dalam suatu perkelahian yang amat seru dan mati-matian, walaupun Hui Song lebih banyak menyerang karena Ci Kang masih merasa enggan untuk menyerang.
Dia tidak membenci Hui Song, tidak ada alasan baginya untuk membenci pemuda ini, maka diapun hanya membela diri dan menghadapi seorang lawan selihai Hui Song, kalau hanya membela diri dengan menangkis atau mengelak saja sungguh amat berbahaya dan tidak cukup aman. Serangan balasan yang dilakukannya, yang tidak kalah dahsyatnya, hanya dilakukan untuk membendung gelombang serangan yang dilakukan Hui Song terhadap dirinya. Dua orang ini memang sama mudanya, sama gemblengan orang-orang pandai, bahkan keduanya pada akhir-akhir ini selama tiga tahun telah digembleng oleh orang-orang sakti yang segolongan. Oleh karena itu, sukar dikatakan siapa yang lebih kuat di antara mereka.
Hui Song adalah putera tunggal ketua Cin-Ling-Pai yang tentu saja mewarisi ilmu-ilmu Cin-Ling-Pai yang tinggi, dan gemblengan selama tiga tahun yang diterimanya dari Siangkiang Lojin membuat ilmu-ilmunya menjadi matang. Akan tetapi di lain pihak, Ci Kang juga telah mewarisi ilmu-ilmu dari ayah kandungnya, Siangkoan Lojin atau Iblis Buta, dan gemblengan selama tiga tahun oleh Ciu-sian Lokai juga mematangkan ilmu-ilmunya. Maka pertandingan antara mereka ini sedemikian dahsyatnya bagaikan perkelahian dua ekor naga sakti yang tidak mau saling mengalah. Setelah perkelahian itu berlangsung seratus jurus tanpa ada yang terdesak, keduanya semakin maklum bahwa lawan masing-masing itu lebih sukar dikalahkan seperti yang mereka sangka semula, oleh karena itu kini bergerak dengan hati-hati sambil mengeluarkan seluruh ilmu silat mereka dan mengerahkan seluruh tenaga.
"Dukkk..."
Kembali terjadi adu tenaga yang amat dahsyat yang mengakibatkan kedua orang muda itu terhuyung ke belakang dan keduanya harus mengatur pernapasan beberapa detik lamanya untuk menghimpun hawa murni melindungi tubuh bagian dalam agar jangan sampai terluka akibat guncangan pertemuan tenaga dahsyat itu. Dan pada saat itu, selagi keduanya siap untuk saling terjang lagi, nampak dua bayangan orang berkelebat. Seorang gadis cantik menghadang di depan Hui Song, dan seorang pemuda perkasa menghadang di depan Ci Kang.
"Suheng, harap jangan berkelahi..."
Gadis itu berteriak.
"Ci Kang, tahan dulu..."
Pemuda itu berseru pula.
Melihat gadis itu yang menghadangnya, Hui Song terpaksa menghentikan serangannya, juga Ci Kang segera menghentikan gerakannya ketika dia mengenal siapa yang menghadang di depannya. Gadis dan pemuda itu adalah Tan Siang Wi dan Cia Sun! Bagaimanakah dua orang muda ini dapat saling berkenalan dan dapat datang bersama di tempat itu? Seperti kita ketahui, Cia Sun hadir pula dalam pertemuan para pendekar di bekas benteng Jeng-hwa-pang dan seperti juga yang lain, dia terpaksa melawan sambil berpencar dan akhirnya menyelamatkan diri karena jumlah lawan yang terlampau banyak. Ketika dia sedang melarikan diri tiba-tiba dia melihat seorang gadis yang dikepung dan dikeroyok oleh banyak sekali perajurit yang agaknya hendak menangkap gadis cantik itu hidup-hidup.
Akan tetapi, gadis cantik itu memainkan sepasang pedang secara hebat sehingga dua puluh lebih orang perajurit itu sukar dapat menangkapnya, dan hanya mengepung dan menyerang dari jauh dengan tombak mereka untuk menghabiskan tenaga gadis itu agar akhirnya dapat disergap. Gadis itu adalah Tan Siang Wi. Sejak muda, Tan Siang Wi telah biasa hidup dalam kekerasan sebagai seorang gadis kang-ouw yang disegani. Ia murid Bin Biauw, isteri ketua Cin-Ling-Pai, bahkan menerima petunjuk pula dari ketua Cin-Ling-Pai sehingga tentu saja ia amat lihai, terutama sekali Ilmu Silat Siangmo Kiamsut (Ilmu Pedang Sepasang Iblis) yang hebat itu. Karena sifatnya yang keras dan berani, juga karena ia tidak pernah memberi ampun kepada para penjahat, maka di dunia kang-ouw ia dijuluki Toatbeng Sianli (Dewi Pencabut Nyawa)!
Maka, biarpun kini dikepung dan dikeroyok dua puluh orang lebih, ia mengamuk dan sedikitpun tidak menjadi gentar. Gadis ini mendengar tentang adanya pertemuan di antara para pendekar di Jeng-hwa-pang. Selama tiga tahun ini ia merantau dengan hati penuh duka, mencaricart Hui Song, pemuda yang menjadi pujaan hatinya. Dan seperti telah kita ketahui, ia melihat betapa suheng yang dicintanya itu dirayu dalam kamar oleh Siang Hwa, membuat ia cemburu dan marah sekali. Akan tetapi akhirnya ia tertawan dan yang amat menyedihkan hatinya, suhengnya bersekutu dengan wanita iblis itu dan ia disuruh pergi! Sakit sekali rasa hatinya walaupun ia tahu bahwa Hui Song melakukan hal itu untuk menyelamatkan nyawanya dari ancaman Gui Siang Hwa.
Akan tetapi, baginya, rasanya lebih suka mati di tangan wanita itu dari pada melihat suhengnya berkawan dengan iblis betina itu dan ia disuruh pergi. Akan tetapi, suhengnya yang menyuruhnya dan ia tidak dapat membantah. Dengan hati dirundung duka, gadis yang usianya sudah dua puluh dua tahun ini lalu pergi ke utara, hendak menghadiri pertemuan antara pendekar di benteng Jeng-hwa-pang. Hal ini dilakukannya bukan hanya untuk memperluas pengalaman, akan tetapi terutama sekali karena ia mengharapkan akan bertemu dengan suhengnya. Ia percaya bahwa seorang pendekar besar seperti suhengnya itu pasti akan hadir pula di sana. Demikianlah, ia tiba di antara para pendekar di bekas benteng Jeng-hwa-pang, menyelinap di antara mereka, tidak berani muncul berterang karena ia tidak mewakili siapa-siapa dan iapun tidak datang atas nama perguruan Cin-Ling-Pai.
Hatinya merasa girang sekali ketika ia melihat Hui Song berada di situ pula, bahkan membuat pelaporan. Ia merasa ikut bangga akan tetapi ia tetap bersembunyi dengan keputusan akan menemui suhengnya itu setelah pertemuan selesai. Hatinya lega karena ia tidak melihat adanya iblis betina yang merayu suhengnya dahulu. Akan tetapi, ada perasaan kecut dan cemburu di dalam hatinya kalau mengingat akan sikap suhengnya yang dingin terhadap dirinya, sikap yang tidak membalas cintanya, teringat pula betapa manis sikap suhengnya terhadap Ceng Sui Cin, kemudian terhadap wanita iblis itu. Dan ketika pasukan pemberontak yang sangat besar jumlahnya datang menyergap, Siang Wi ikut pula bertempur dan membela diri sambil mencari jalan keluar.
Akan tetapi, belum jauh ia lari meninggalkan bekas benteng itu, ia dikepung oleh dua puluh orang lebih perajurit pemberontak dan kembali ia mengamuk membela diri dan sama sekali tidak merasa gentar walaupun pihak lawan terlampau banyak baginya. Dalam keadaan terancam inilah muncul Cia Sun yang segera turun tangan membantu. Walaupun dia belum mengenal gadis itu, akan tetapi dia dapat menduga bahwa gadis yang dikeroyok para perajurit pemberontak itu tentulah seorang di antara para pendekar yang tadi hadir dalam pertemuan di bekas benteng Jeng-hwa-pang. Serbuan Cia Sun mengubah keadaan dan dengan kerja sama mereka, dua puluh orang perajurit pemberontak itu kocar kacir dan banyak di antara mereka yang roboh tak dapat bangkit kembali. Selebihnya, hanya beberapa orang saja, melarikan diri.
"Saudara yang gagah, terima kasih atas bantuanmu,"
Kata Siang Wi sambil menjura setelah semua pengeroyok roboh dan pergi.
"Lebih baik kita pergi secepatnya sebelum pasukan lain datang!"
Jawab Cia Sun tidak memperdulikan ucapan terima kasih orang dan diapun lari dengan cepat, diikuti oleh Siang Wi. Gadis ini tadi merasa kagum sekali melihat kelihaian Cia Sun ketika membantunya, dan kini menjadi semakin kagum karena pemuda itu memiliki ilmu berlari cepat yang hebat, sehingga ia tidak akan mampu menyusulnya kalau saja pemuda itu tidak memperlambat larinya. Demikianlah, setelah berhasil menyelamatkan diri, mereka saling berkenalan. Keduanya terkejut dan girang setelah mendengar tentang diri masing-masing. Sudah lama Siang Wi mendengar tentang keluarga Cia yang gagah perkasa di Lembah Naga, maka cepat ia memberi hormat ketika mendengar bahwa ia berhadapan dengan Cia Sun, putera Lembah Naga.
"Sungguh beruntung aku dapat bertemu dengan pendekar gagah perkasa dari Lembah Naga! Pantas tadi aku seperti mengenal gerakan silatmu. Bukankah menurut keterangan suhu, ilmu silat keluarga Cia di Lembah Naga masih dekat sekali kaitannya dengan ilmu dari Cin-Ling-Pai?"
"Benar, nona. Ilmu-ilmu silat keluarga kami memang satu sumber dengan ilmu-ilmu Cin-Ling-Pai. Dan akupun girang bahwa engkau adalah murid dari ketua Cin-Ling-Pai. Apakah nona hadir di pertemuan itu bersama dengan putera ketua Cin-Ling-Pai yang kulihat tadi hadir pula? Ataukah sebagai wakil Cin-Ling-Pai?"
"Cia-toako, pertama-tama kuharap engkau tidak memanggil nona padaku. Bukankah kalau diselidiki benar, di antara kita ini masih ada ikatan saudara dalam perguruan? Aku tidak datang bersama suheng, juga bukan utusan suhu. Aku datang untuk... mencari suheng yang sudah lama pergi dan untuk meluaskan pengalaman. Toako, apakah engkau melihat ke mana larinya suheng tadi?"
"Maksudmu Cia Hui Song? Entahlah, nona... eh, Wi-moi. Akupun tidak melihatnya. Mana mungkin bisa melihatnya di antara serbuan ribuan orang pasukan pemberontak itu?"
Siang Wi mengepal tinju.
"Aku benci pemberontak-pemberontak itu! Apalagi iblis betina yang memimpinnya itu! Sekali waktu aku harus membunuhnya!"
Diam-diam Cia Sun tersenyum. Tidak begitu mudah, nona cilik, betapapun lihaimu. Murid Raja Iblis itu terlalu lihai bagimu, demikian pikirnya.
"Siauw-moi, apakah engkau mengenal wanita iblis itu?"
"Tentu saja! Ia adalah Gui Siang Hwa, murid Raja Iblis! Dan ialah wanita cabul yang pernah merayu... suhengku. Aku benci padanya! Dan sekarang, ia mengerahkan pasukan pemberontak untuk menyerang dan banyak kawan kita yang tewas. Dan aku terpisah lagi dari suheng yang kucari-cari, tidak tahu ke mana harus mencarinya sekarang?"
Cia Sun memandang wajah gadis itu. Malam telah terganti pagi dan sinar matahari pagi yang keemasan menyiram wajah yang cantik itu. Wajah yang manis sekali dan sepasang mata yang jeli dan penuh sinar berapi, penuh semangat hidup dan keberanian.
"Wi-moi, benarkah engkau membenci para pemberontak dan engkau hendak menentang mereka?"
"Eh, eh, kenapa engkau masih bertanya? Bukankah aku hampir celaka oleh mereka dan mungkin sekarang aku sudah tewas kalau tidak ada engkau yang menolongku, toako?"
"Begini, Wi-moi. Adanya aku bertanya kepadamu adalah... eh, apakah engkau belum mendengar atau mengerti bahwa suhu dan subomu juga berada di utara sini?"
Siang Wi kaget akan tetapi juga girang.
"Aih! Benarkah itu? Di mana mereka sekarang? Apakah toako sudah berjumpa dengan suhu dan subo? Kenapa mereka tidak nampak hadir dalam pertemuan antara pendekar?"
Cia Sun menggeleng kepala dan memandang tajam penuh selidik.
"Siauw-moi, agaknya engkau belum tahu atau mendengar tentang suhu dan subomu. Tahukah engkau kenapa mereka berada di daerah ini dan sekarang berada di Cengtek?"
Siang Wi memandang bingung.
"Aku tidak tahu, toako. Mereka di Cengtek? Apa yang terjadi dengan mereka?"
"Mereka... membantu para pemberontak menyerbu Cengtek dan kini menjadi tokoh pemberontak di Cengtek..."
"Ahh... Tidak mungkin!"
Seru gadis itu.
"Aku sendiri ketika mendengar berita itu untuk pertama kalinya, tidak percaya dan merasa penasaran sekali. Aku memang mendengar bahwa gurumu, paman Cia Kong Liang adalah seorang yang keras hati, akan tetapi menurut penuturan ayah, paman Cia Kong Liang selalu menjunjung tinggi kegagahan dan agaknya tidak mungkin kalau sampai beliau begitu rendah menjadi kaki tangan pemberontak. Akan tetapi berita itu sudah kuselidiki kebenarannya dan ternyata memang paman Cia Kong Liang bersama isterinya dan ayah mertuanya kini membantu Raja Iblis dan Panglima Ji Sun Ki yang memberontak. Aku tidak dapat menyelidiki mengapa terjadi hal yang mustahil itu."
Siang Wi termenung dengan wajah pucat. Ia dapat menduga. Tentu ini Gara-gara kakek Jepang yang menjadi
(Lanjut ke Jilid 33)
Asmara Berdarah (Seri ke 08 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 33
mertua suhunya itu. Bagaimana juga, ia sebagai murid subonya tahu bahwa kakek itu dahulu pernah menjadi datuk sesat di timur. Bukan tidak mungkin kakek itu mempunyai hubungan dengan Raja Iblis dan para datuk sesat yang kini memberontak, dan berhasil membujuk suhunya untuk membantu pemberontak!
"Aku harus mencari mereka... harus menyadarkan mereka..."
Ia berkata berkali-kali seperti kepada dirinya sendiri. Cia Sun merasa kasihan, juga kagum akan kegagahan gadis ini. Biarpun mendengar betapa suhu dan subonya membantu pemberontak, gadis ini tetap dengan pendiriannya berpihak kepada para pendekar yang menentang pemberontak, bahkan ia hendak menyadarkan suhu dan subonya dari kesesatan itu.
"Wi-moi, telah menjadi keputusan rapat bahwa kita terpaksa harus bertindak sendiri-sendiri, dengan cara sendiri menentang para kaum sesat yang temyata kini bersekutu dengan pasukan pemberontak. Dan kita tidak akan berhasil menghadapi mereka kalau tidak bergabung dengan pasukan pula. Oleh karena itu, mari kita melakukan penyelidikan ke Cengtek, dan kita bantu gerakan pasukan pemerintah, sekalian menyelidiki paman Cia Kong Liang dan kalau sampai berhasil menyadarkan mereka sehingga mereka membantu kita dari dalam untuk menghancurkan pemberontak, alangkah baiknya."
Siang Wi yang kini merasa suka dan kagum kepada pendekar muda Lembah Naga ini, merasa setuju dan berangkatlah mereka bersama. Dan secara kebetulan sekali mereka tiba di tempat sunyi di lereng bukit di mana Ci Kang sedang berkelahi mati-matian melawan Cia Hui Song. Melihat ini, tentu saja mereka menjadi terkejut sekali.
"Suhengku melawan putera Iblis Buta, aku harus membantunya!"
Kata Siang Wi, dan ia sudah siap menerjang. Akan tetapi lengannya disentuh Cia Sun.
"Jangan tergesa-gesa! Putera Iblis Buta itu seorang yang gagah perkasa yang juga menentang kaum sesat. Kita hentikan perkelahian itu dan bicara dengan baik!"
Setelah berkata demikian, mereka lalu meloncat ke dalam gelanggang perkelahian.
Siang Wi menghentikan suhengnya dan Cia Sun menahan Ci Kang. Baik Ci Kang maupun Hui Song terpaksa menghentikan gerakan perkelahian mereka ketika Siang Wi dan Cia Sun melerai, walaupun hati Hui Song masih merasa penasaran sekali. Cia Sun segera memberi hormat kepada Hui Song. Walaupun usia mereka sebaya, dia hanya satu tahun lebih tua dari Hui Song, akan tetapi menurut "abu"
Dia jauh lebih muda dan Hui Song masih terhitung pamannya. Kalau pendekar sakti Cia Bun Houw adalah kakek Hui Song, maka baginya kakek sakti itu adalah kakek buyutnya. Kakek Cia Bun Houw adalah ayah kandung Cia Kong Liang dari ibu Yap In Hong, sedangkan kakeknya sendiri, Cia Sin Liong adalah anak kandung Cia Bun Houw dari ibu Liong Si Kwi. Kakeknya itu dengan Cia Kong Liang adalah saudara seayah berlainan ibu.
"Harap paman Cia Hui Song suka bersabar dan maafkan saya yang berani melerai dan menghentikan perkelahian ini,"
Katanya. Hui Song sudah tahu bahwa pemuda perkasa ini adalah Cia Sun, keturunan Lembah Naga yang masih keluarga Cia juga. Dan biarpun dia terhitung paman paman dari pemuda itu, karena mereka sebaya, diapun cepat membalas penghormatan itu.
"Engkau tentu Cia Sun, bukan? Sebetulnya senang sekali dapat berkenalan dengan anggota keluarga sendiri, dan aku sudah melihatmu di bekas benteng Jeng-hwa-pang. Akan tetapi Cia Sun, apakah engkau tidak tahu siapakah jahanam ini?"
Dia menuding ke arah Ci Kang.
"Kalau engkau sudah tahu dia siapa tentu engkau tidak akan melerai melainkan membantuku membunuhnya. Dan kau juga sumoi, apakah engkau sudah lupa siapa adanya penjahat ini?"
"Aku tidak lupa, suheng, dan tadipun aku sudah hendak membantumu. Akan tetapi Sun-toako mencegah."
"Paman Hui Song, akupun tahu siapa adanya Siangkoan Ci Kang. Aku tahu benar bahwa dia adalah putera mendiang Siangkoan Lojin..."
"Putera Si Iblis Buta, datuk sesat yang amat jahat itu!"
Hui Song menambahkan.
"Benar, akan tetapi dia tidak boleh disamakan dengan mendiang ayahnya. Saudara Ci Kang ini kukenal benar karena kami sudah sama-sama menentang Raja Iblis dan kami berdua bahkan hampir tewas oleh Raja Iblis dan muridnya yang jahat, Gui Siang Hwa. Saudara Ci Kang ini adalah murid locianpwe Ciu-sian Lokai dan dia selalu menentang kejahatan sampai dimusuhi oleh ayahnya sendiri dan oleh para tokoh sesat. Dia adalah seorang gagah dan berjiwa pendekar..."
"Hemm, engkau kena ditipunya, Cia Sun! Engkau tidak tahu siapa dia sebenarnya. Karena dia berkedok domba, engkau tidak tahu bahwa di balik kedok itu adalah seekor harimau yang liar dan buas! Aku dapat membuktikannya sendiri kejahatannya! Ketahullah bahwa kalau tidak ada aku yang mencegahnya, mungkin dia sudah... memperkosa Sui Cin!"
"Ahhh..."
Cia Sun terbelalak dan memandang wajah Ci Kang dengan penuh selidik. Dia sudah tahu sendiri betapa pemuda itu tidak mau menyerah memilih mati ketika dirayu Siang Hwa. Pemuda ini bukan orang yang lemah terhadap nafsu berahi dan agaknya tidak mungkin akan melakukan hal terkutuk itu terhadap Sui Cin! "Ci Kang, benarkah itu...?"
Tanyanya, masih terkejut dan tidak percaya. Ci Kang menghela napas panjang.
"Pendekar Cia Hui Song terlalu membenciku, terlalu bernafsu memusuhiku sehingga tidak memberi kesempatan kepadaku untuk membela diri. Cia Sun, engkau telah mengenalku, kita sama-sama telah menghadapi ancaman-ancaman maut dan sudah saling mengenal watak masing-masing. Tidak kusangkal bahwa memang aku pernah bersikap kurang ajar terhadap nona Ceng Sui Cin, akan tetapi apa yang kulakukan itu terjadi di luar kehendakku, di luar kekuasaanku untuk menahan. Pada waktu itu aku dikuasai nafsu dan gairah yang tidak wajar, dan aku yakin bahwa aku telah keracunan sehingga melakukan Hal-hal di luar kesadaranku. Ketika itu aku terluka dan menerima obat dari nona Ceng Sui Cin. Aku diobati dan dirawat, mana mungkin aku melakukan hal keji? Akan tetapi hal itu terjadi dan aku yakin bahwa racun itu terdapat justeru dalam obat itu!"
"Alasan yang dicari-cari!"
Hui Song membentak marah.
"Terserah, akan tetapi kenyataannya demikianlah. Bukan aku mencari alasan untuk membela diri. Tidak, aku cukup tersiksa dan merasa menyesal dan kalau nona Ceng Sui Cin sendiri yang menghukumku, aku akan menyerahkan diri tanpa melawan. Akan tetapi, jangan orang lain yang hendak menghukumku!"
Kata Ci Kang dengan sikap dingin. Mendengar ini, Hui Song merasa betapa mukanya panas kemerahan. Dia seperti diingatkan bahwa dia tidak berhak marah-marah dan hendak membunuh Ci Kang. Bagaimanapun juga, walau dia amat mencinta Sui Cin, akan tetapi secara resmi gadis itu bukan apa-apanya, bahkan kekasihnyapun bukan karena gadis itu belum pernah menyatakan membalas cintanya! Kalau Sui Cin yang dihina itu tidak apa-apa, mengapa dia ribut-ribut?
"Hemm, sekarang memang tidak dapat kubuktikan bahwa nona Ceng marah dan mendendam, akan tetapi kalau kelak ia mencarimu untuk membuat perhitungan, aku akan membantunya dan kami akan membunuhmu!"
Katanya menahan kemarahan.
"Sudahlah, paman Hui Song. Kita semua sedang menghadapi keadaan yang amat gawat. Para pemberontak telah merebut Cengtek dan semakin merajalela saja. Kalau di antara kita ribut sendiri, bagaimana kita dapat menentang mereka? Seperti telah diputuskan di dalam pertemuan itu, kita harus bergerak sendiri-sendiri untuk membantu pasukan pemerintah yang tentu akan segera menyerbu mereka dari selatan. Kita harus bersiap-siap dan kalau mungkin, sebelumnya kita melakukan gangguan-gangguan untuk melemahkan mereka, atau setidaknya menyelidiki kekuatan mereka, memata-matai mereka agar kita dapat memberi pelaporan kepada pasukan pemerintah kelak."
"Benar, suheng,"
Siang Wi menyambung.
"Urusan pribadi lebih baik dikesampingkan saja dulu, lebih baik kita cepat-cepat pergi ke Cengtek."
"Ke Cengtek? Ada apa? Bukankah kota itu sudah diduduki musuh?"
Tanya Hui Song.
"Kita harus cepat pergi ke sana, suheng, karena..."
Tiba-tiba Siang Wi menghentikan kata-katanya dan melirik ke arah Ci Kang. Melihat ini, Cia Sun menoleh kepada Ci Kang,
"Ci Kang, mari kita pergi."
Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ci Kang mengangguk.
"Memang aku sedang mencari nona Hui Cu..."
"Hui Cu? Ada apa dengannya?"
"Ia telah tertawan oleh Raja Iblis..."
"Ahhh..."
Cia Sun merasa terkejut bukan main.
"Cia Sun, kita sudah berhutang budi kepadanya, mari kau bantu aku mencarinya dan menyelamatkannya."
Cia Sun mengangguk dan mereka lalu berpamit kepada Siang Wi dan Hui Song. Setelah dua orang muda itu pergi, Siang Wi berkata,
"Suheng, apakah engkau tidak tahu? Suhu dan subo kini berada di Cengtek, juga semua saudara anggota Cin-Ling-Pai."
Sepasang mata Hui Song terbelalak. Dia teringat akan kata-kata Sim Thian Bu tentang orang tuanya.
"Ada... ada apakah mereka berada di Cengtek?"
Tanyanya gagap dan gelisah. Siang Wi dapat menduga bahwa suhengnya belum mendengar tentang hal yang amat mengejutkan mengenai gurunya itu.
"Suheng, suhu, subo, dan sukong bersama para murid Cin-Ling-Pai telah berada di Cengtek karena mereka semua membantu pemberontak..."
"Tak mungkin!"
Hui Song berteriak.
"Sumoi, dari siapa engkau mendengar berita bohong itu?"
"Suheng, ketika pertama kali mendengarnya, akupun terkejut dan tidak percaya, bahkan ingin marah. Akan tetapi... yang memberi tahu kepadaku adalah toako Cia Sun sendiri."
"Ahh..."
Jantung Hui Song berdebar keras. Jadi, benarkah apa yang didengarnya dari Sim Thian Bu? "Bagaimana mungkin itu? Tidak kelirukah Cia Sun ketika bercerita kepadamu?"
"Suheng, kalau saja yang bercerita itu orang lain, tentu sudah kuserang dia! Akan tetapi Cia-toako, kiranya tidak mungkin dia berbohong dan aku khawatir sekali suheng. Aku ingin cepat-cepat bertemu dengan subo dan untuk membuktikan kebenaran berita itu."
"Mari kita ke Cengtek. Berita itu harus kita selidiki dan kalau memang benar terjadi hal yang luar biasa itu, aku harus menegur dan mengingatkan ayah dan ibu!"
Dengan hati gundah dan gelisah Hui Song dan Siang Wi meninggalkan tempat itu menuju ke Cengtek. Mereka berdua mengambil keputusan bahwa kalau memang benar ketua Cin-Ling-Pai dan para anggotanya membantu pemberontak, mereka akan menegur dan menyadarkan sedapat mungkin.
"Suhu, teecu merasa sangsi apakah tindakan kita membantu para pemberontak ini sudah tepat,"
Seorang di antara lima pria gagah itu berkata kepada Cia Kong Liang yang duduk bersanding dengan isterinya. Semenjak pasukan pemberontak, dengan bantuan orang-orang Cin-Ling-Pai yang lebih dulu menyelundup ke dalam, berhasil menduduki Cengtek, ketua Cin-Ling-Pai itu diangkat oleh Panglima Ji Sun Ki menjadi komandan pasukan penjaga keamanan kota benteng itu.
Dia sekeluarga berikut puluhan orang murid Cin-Ling-Pai mendapat pelayanan yang mewah dan hormat oleh pasukan pemberontak dan dianggap berjasa besar. Pagi hari itu, ketua Cin-Ling-Pai duduk dalam ruangan belakang bersama isterinya, di dalam gedungnya yang megah, menerima lima orang murid kepala Cin-Ling-Pai yang menghadap sebagai wakil semua murid. Mendengar ucapan seorang di antara murid kepala itu, Cia Kong Liang memandang tajam. Dia sendiri pada hari-hari terakhir ini merasa tidak tenang dalam keraguan karena dia melihat betapa pasukan Ji-ciangkun dibantu oleh serombongan orang-orang aneh yang dari sikap mereka menunjukkan kekerasan dan kekejaman golongan hitam. Maka, mendengar ucapan muridnya yang biasanya tentu akan membuatnya marah itu, dia merasa tertarik sekali.
"Kenapa tidak tepat? Kita bukan sekedar memberontak memperebutkan kedudukan! Kita berjuang menentang pemerintah yang lalim. Ini tugas para pendekar dan patriot, menyelamatkan rakyat dari penindasan pemerintah lalim,"
Katanya memancing pendapat.
"Akan tetapi, suhu,"
Kata murid kedua.
"Pasukan pemberontak ini dibantu oleh kaum sesat! Teecu melihat sendiri betapa mereka melakukan pembunuhan-pembunuhan kejam terhadap penduduk dusun yang diserbu, menculik dan memperkosa wanita-wanita, merampok harta benda bahkan hasil sawah ladang dan binatang ternak petani! Apakah benar kalau kita membantu orang-orang seperti itu, suhu?"
Cia Kong Liang meraba jenggotnya dan mengerutkan alisnya.
"Hemm, benarkah semua itu? Apalagi yang kalian dengar atau lihat?"
"Teecu tidak berbohong, suhu!"
Kata orang ketiga.
"Selama dalam perantauan teecu dalam dunia kang-ouw, teecu sudah beberapa kali bertemu dengan tokoh-tokoh sesat yang kini nampak berada dalam rombongan mereka yang membantu pasukan dan yang kini berdiam di Sanhaikoan. Akan tetapi Kadang-kadang ada utusan mereka datang ke Cengtek ini dan kalau bertemu dengan teecu, mereka pura-pura tidak mengenal teecu. Teecu yakin, mereka itu adalah dari golongan hitam, kaum penjahat yang kejam!"
"Bukan itu saja, suhu,"
Kata orang keempat.
"teecu dahulu pernah bertemu dengan Hwa Hwa Kuibo, nenek iblis yang menjadi seorang tokoh dari Cap-sha-kui, dan teecu melihat pula nenek iblis itu dalam rombongan mereka! Teecu dapat menduga bahwa rombongan itu tentu dipimpin oleh iblis-iblis dari Cap-sha-kui!"
Mendengar ini, Cia Kong Liang menjadi terkejut sekali.
"Cap-sha-kui...?"
Pernah dia mendengar nama Tiga Belas Iblis ini walaupun dia belum pernah bertemu dengan mereka. Dia mendengar bahwa Cap-sha-kui pernah merajalela di dunia kang-ouw, dikepalai oleh Si Iblis Buta. Dan kalau benar Cap-sha-kui sekarang membantu pasukan pemberontak, ini merupakan hal yang amat mencurigakan!
"Apalagi yang kalian ketahui?"
Tanyanya.
"Satu hal lagi yang amat mengejutkan, suhu,"
Kata seorang murid lain.
"Teecu... teceu takut mengatakan..."
Murid ini memandang ke kanan kiri dengan muka pucat dan mata membayangkan ketakutan.
"Takut apa? Tak usah takut, siapa yang akan mendengar keteranganmu kecuali kita sendiri, dan andaikata ada orang lain mendengar, takut apa? Aku berada di sini!"
Mendengar ucapan guru atau ketuanya itu, murid Cin-Ling-Pai ini menjadi besar hati dan biarpun demikian, suaranya masih lirih ketika dia melanjutkan keterangannya,
"Suhu, teecu mendengar bahwa Pangeran Toan itu, yang memimpin pemberontakan bersama Ji-ciangkun, adalah rajanya kaum sesat yang berjuluk Raja Iblis dan isterinya adalah Ratu Iblis..."
"Ahhh..."
Untuk kesekian kalinya Cia Kong Liang terkejut akan tetapi yang terakhir lebih hebat lagi sehingga matanya terbelalak dan mukanya pucat.
"Benarkah itu? Tidak kelirukah penyelidikanmu?"
"Hati-hatilah kau, jangan sembarangan karena keteranganmu itu kalau tidak benar, amat berbahaya dan engkau telah menjatuhkan fitnah!"
Kata Bin Biauw yang juga terkejut bukan main mendengar berita yang sama sekali tidak disangkanya ini. Wanita ini maklum bahwa ayahnya membujuk suaminya membantu pemberontak agar suaminya kelak bisa memperoleh kedudukan tinggi, akan tetapi dasar pemberontakan itu adalah perjuangan menentang pemerintahan kaisar sekarang yang dianggap lalim. Akan tetapi sedikitpun ia tidak pernah menduga bahwa pemberontakan itu dipimpin oleh raja kaum sesat! Seperti juga suaminya, biarpun tidak jelas benar, pernah ia mendengar tentang Cap-sha-kui dan Raja Iblis. Nyonya ketua Cin-Ling-Pai ini, biarpun puteri bekas datuk sesat, sejak muda tidak suka akan kejahatan dan apalagi setelah ia menjadi isteri ketua Cin-Ling-Pai, jiwa kependekarannya semakin menebal.
"Suhu dan subo, teecu mana berani menyampaikan berita ini kepada suhu berdua kalau teecu tidak lebih dahulu melakukan penyelidikan dengan seksama? Teecu telah bicara dengan beberapa orang anggauta pasukan pemberotak yang sedang mabok dan mereka itu agaknya tidak mampu menyimpan rahasia lagi. Hal itu mungkin karena mereka menganggap teecu sebagai teman atau rekan sepasukan. Bahkan menurut mereka, ada pasukan inti yang biasanya menyerbu ke dusun-dusun, dipimpin oleh seorang tokoh hitam bernama Sim Thian Bu, murid mendiang Iblis Buta. Juga Gui Siang Hwa, wanita cantik yang suka berkeliaran dan memimpin pasukan pengawal itu adalah murid Raja dan Ratu Iblis."
"Sssttt..."
Tiba-tiba Cia Kong Liang memberi isyarat kepada muridnya supaya jangan melanjutkan kata-katanya karena dia mendengar sesuatu di luar. Cepat tubuhnya berkelebat dan ketua Cin-Ling-Pai ini sudah meloncat keluar, kemudian terus meloncat naik ke atas genteng. Akan tetapi tidak terdapat seorangpun di situ. Betapapun juga, dia yakin bahwa tadi ada seorang yang mengintai atau mendengarkan percakapan mereka. Setelah merasa yakin bahwa tidak ada orang di situ, ketua Cin-Ling-Pai segera meloncat turun lagi dan memasuki ruangan, disambut oleh isterinya dan lima orang muridnya yang sudah berdiri dan memandang dengan wajah tegeng. Cia Kong Liang menggeleng kepala sebagai jawaban pertanyaan yang terbayang dalam pandang mata mereka, lalu berkata lirih.
"Mulai sekarang, kalian harus berhati-hati dan melakukan penyelidikan lebih teliti lagi. Kawan-kawanmu semua agar dibisiki agar siap siaga dan menanti perintahku selanjutnya. Nah, masih ada lagi yang hendak kalian laporkan?"
"Ada satu lagi, suhu,"
Kata murid pembicara pertama.
"teecu mendengar bahwa serombongan pendekar yang sedang mengadakan pertemuan di bekas benteng Jeng-hwa-pang, telah disergap oleh pasukan pemberontak dan banyak di antara mereka yang tewas."
Suami isteri itu saling pandang dengan muka pucat dan tahulah mereka bahwa pada saat itu keduanya mengkhawatirkan hal yang sama, yaitu bahwa mungkin sekali putera mereka berada di antara para pendekar yang disergap itu! Cia Kong Liang mengangguk lalu memberi isyarat kepada lima orang murid itu agar mengundurkan diri. Setelah lima orang murid itu meninggalkan mereka berdua di dalam ruangan itu, Cia Kong Liang berkata kepada isterinya.
"Sungguh mengejutkan dan menggelisahkan apa yang kita dengar dari para murid tadi. Kalau benar demikian, mengapa gakhu (ayah mertua) diam saja dan tidak memberi tahu kepadaku? Apakah engkau tidak diberi tahu oleh ayahmu?"
Isterinya menggeleng.
"Aku juga hanya mengenal pangeran dan isterinya itu sebagai Pangeran Toan Jit Ong dan isterinya yang hendak menolong negaranya dengan menggulingkan kaisar yang sekarang dianggap lalim. Dan aku tidak pernah bertemu lagi dengan mereka sesudah kita bicara dengan Ji-ciangkun tempo hari. Mereka berada di Sanhaikoan dan kita berada di sini, mana aku tahu?"
"Sebaiknya ayahmu harus diberi tahu dan diajak bicara. Panggil dia ke sini, sebaiknya sekarang juga kita bicarakan hal yang amat penting ini. Hatiku merasa khawatir sekali kalau-kalau kita telah keliru membantu kaum sesat yang hendak memberontak bukan untuk mengenyahkan kaisar lalim, melainkan untuk merebut kedudukan."
"Baik, akan kucari dia dalam kamarnya,"
Kata isterinya. Ketika tiba di luar kamar, Bin Biauw melihat berkelebatnya orang di atas genteng.
Sebagai seorang isteri ketua Cin-Ling-Pai yang juga memiliki ilmu silat tinggi, nyonya ini cepat melakukan pengejaran, meloncat ke atas genteng. Akan tetapi setibanya di atas genteng, ia tidak melihat seorangpun dan ia terkejut. Orang tadi benar-benar memiliki ginkang yang amat hebat, jauh lebih tinggi dari pada ginkangnya sendiri. Maka setelah celingukan dan tidak melihat lagi bayangan itu, iapun turun kembali dan tak lama kemudian ia mengetuk daun pintu ayahnya. Ayahnya belum tidur dan sedang membaca buku. Ketika daun pintu dibuka, puterinya segera memberi tahu bahwa putera mantunya minta agar dia suka memasuki ruangan belakang untuk diajak merundingkan sesuatu yang amat penting. Bin Mo To cepat berpakaian yang pantas dan bersama puterinya pergi ke dalam ruangan.
"Ada keperluan apa sih malam-malam begini suamimu memanggilku?"
Tanya ayah itu dengan sikap heran.
"Ada urusan penting sekali, ayah. Kita bicarakan saja di dalam nanti,"
Jawab puterinya dan melihat sikap puterinya yang serius itu kakek itupun tidak bertanya-tanya lagi. Begitu berhadapan dan dipersilakan duduk, kakek itu lalu bertanya.
"Ada urusan penting apakah...?"
Akan tetapi kata-katanya terhenti karena Bin Biauw yang merasa tegang itu memotongnya dengan menceritakan kepada suaminya bahwa ketika keluar dari kamar tadi ia melihat bayangan orang.
"Tidak kau kejar?"
Tanya suaminya.
"Sudah, akan tetapi orang itu memiliki ginkang yang amat hebat. Begitu berkelebat ke atas genteng dan kukejar, dia lenyap dan tidak nampak lagi bayangannya."
"Hemm, makin mencurigakan lagi..."
Gumam Cia Kong Liang.
"Aih, apakah artinya semua ini? Apa yang telah terjadi?"
Kakek Bin Mo To bertanya. Cia Kong Liang memandang wajah ayah mertuanya dengan tajam penuh selidik dan diapun berkata,
"Maafkan kami, ayah, kalau kami mengganggu dan mengejutkan ayah dari istirahat. Saya ingin bertanya, apakah ayah mengenal baik Pangeran Toan Jit Ong?"
Ditanya demikian dan dipandang dengan penuh selidik, kakek Bin Mo To maklum bahwa mantunya ini agaknya mulai tahu akan kenyataan sebenarnya, akan tetapi dia masih berpura-pura tidak mengerti.
"Tentu saja aku mengenal baik Pangeran Toan Jit Ong. Ada apakah?"
"Maksud saya, apakah sebelum kita datang ke sini ayah sudah mengenalnya?"
Terpaksa kakek itu membohong dan dia menggeleng kepala.
"Tidak, aku hanya tahu bahwa komandan pasukan yang memberontak terhadap kekuasaan kaisar lalim adalah Panglima Ji Sun Ki dan setelah tiba di sini kita mendengar bahwa pangeran itu adalah pemimpin kedua setelah dia atau sekutunya."
"Bukan itu, ayah. Akan tetapi pernahkah ayah mendengar bahwa Pangeran Toan itu adalah raja golongan hitam yang berjuluk Raja Iblis dan isterinya adalah Ratu Iblis?"
Kini yakinlah hati kakek itu bahwa mantunya sudah tahu akan rahasia itu. Dengan wajah polos dia berkata,
"Benarkah itu? Aku tidak tahu..."
Bin Biauw yang sudah mengenal watak ayahnya itu, yang demikian pandai menguasai dirinya, sehingga apa yang berada dalam hatinya tidak pernah terbayang pada wajahnya, segera berkata,
"Harap ayah tidak berpura-pura lagi karena kita bicara antar keluarga. Ayah, aku tidak dapat percaya kalau ayah tidak mengetahui semua ini. Bagaimanapun juga, belasan tahun yang lalu ayah pernah menjadi seorang datuk di timur. Tentu ayah mengenal semua tokoh dalam dunia hitam. Kalau sekarang tokoh-tokoh besar seperti Cap-sha-kui membantu Raja dan Ratu Iblis memimpin pemberontakan ini, mustahil kalau ayah tidak tahu sama sekali!"
Kakek itu menarik napas panjang, merasa tiada gunanya lagi mengelak karena anak dan mantunya ini agaknya telah mengetahui segalanya.
"Baiklah, memang aku mengetahui bahwa mereka membantu pemberontak..."
"Kalau ayah tahu mengapa menyeret kami ke sini?"
Puterinya berseru kaget dan marah.
"Ayah, mengapa ayah mengajak kami membantu pemberontakan yang dipimpin oleh para datuk kaum sesat? Ini adalah penyelewengan besar sekali bagi seorang pendekar!"
Kata pula Cia Kong Liang, terkejut bahwa ayah mertuanya sejak belasan tahun telah mencuci tangan tidak lagi mau berkecimpung di dalam dunia kaum sesat, akan tetapi mengapa kini kakek itu malah menyeret keluarganya membantu pemberontakan yang dipimpin para datuk sesat? Kembali kakek itu menghela napas, lalu memandang mantu dan anaknya dengan sinar mata tajam.
"Apakah artinya para datuk sesat itu tanpa adanya pasukan besar? Mereka itupun hanya menjadi pembantu-pembantu pasukan yang dipimpin Ji-ciangkun. Berarti kita membantu Ji-ciangkun dan bukan membantu mereka."
"Akan tetapi hal itu hanya sedikit bedanya. Bagaimanapun juga, berarti kita bekerja sama atau bersekutu dengan para datuk sesat,"
Bantah Cia Kong Liang.
"Apa salahnya?"
Mertuanya menjawab.
"Bekerja sama untuk menentang kaisar lalim. Kalau kelak perjuangan berhasil dan kita memperoleh kedudukan tinggi, apa sukarnya untuk berbalik menentang mereka kalau mereka itu melakukan kejahatan?"
"Tidak! Tidak mungkin!"
Cia Kong Liang bangkit berdiri.
"Aku telah melakukan penyelewengan, bersekutu dengan kaum sesat. Ah, perbuatanku ini menyeret nama baik keluargaku, menyeret nama Cin-Ling-Pai ke lembah kehinaan. Aku harus cepat bertindak!"
Berkata demikian, pendekar ini melangkah maju ke pintu.
"Apa yang akan kau lakukan? Ke mana engkau hendak pergi?"
Isterinya tiba-tiba memegang lengannya dan memandang dengan wajah khawatir. Cia Kong Liang berhenti dan menepuk-nepuk pundak isterinya.
"Aku harus melakukan penyelidikan sendiri ke Sanhaikoan dan menemui Ji-ciangkun. Ini merupakan urusan besar yang menyangkut nama baik keluarga kita, lebih penting dari pada sekedar keselamatan nyawa."
"Aku ikut!"
Kata isterinya sambil memegang lengan suaminya kuat-kuat. Suaminya menggeleng kepala.
"Kita harus membagi tugas, isteriku. Semua anggota Cin-Ling-Pai berada di sini. Aku menyelidiki ke Sanhaikoan dan engkau mengumpulkan semua murid dan mengajak mereka diam-diam melarikan diri keluar dari Cengtek. Kita kembali ke Cin-ling-san! Akan tetapi aku harus yakin dulu dan aku akan menemui Ji-ciangkun!"
Isterinya mengenal kekerasan hati suaminya dan membantahpun tidak ada gunanya. Apalagi karena memang apa yang dikatakan suaminya itu tepat. Kalau mereka berdua pergi, lalu siapa yang akan memimpin para murid yang berkumpul di Cengtek. Iapun mengangguk lemah menyembunyikan kekhawatirannya terhadap keselamatan suaminya. Setelah sekali lagi menepuk pundak isterinya dengan perasaan kasih sayang besar, Cia Kong Liang lalu meloncat keluar dan sebentar saja sudah lenyap dalam kegelapan malam.
"Ayah, semua ini adalah kesalahan ayah!"
Bin Biauw kini menghadapi ayahnya dan menegur marah. Kakek itu menggeleng-geleng kepalanya.
"Anakku, jangan kau marah-marah dulu. Semua ini kulakukan demi kebahagianmu!"
"Demi kebahagiaanku, ayah? Engkau menyeret aku dan suamiku ke dalam persekutuan kotor ini yang mengancam kebersihan nama baik suamiku dan keluarganya, dan kau mengatakan bahwa engkau melakukannya demi kebahagiaanku? Apa kau kira kebahagiaanku terletak dalam kehancuran nama dan kehormatan suamiku?"
"Tenanglah, dan dengarkan kata-kataku dengan baik. Aku melakukan ini bukan lain hanya dengan maksud untuk memberi kesempatan kepada suamimu agar suamimu mendapatkan sebuah kedudukan yang tinggi kelak. Kalau pemberontakan ini berhasil, tentu suamimu akan memperoleh kedudukan. Sekarangpun sudah nampak hasilnya. Suamimu diangkat menjadi komandan pasukan keamanan di Cengtek. Ini baru permulaan. Kelak, kalau gerakan ini berhasil, tentu sedikitnya suamimu akan menjadi seorang panglima besar, berkedudukan tinggi dan mulia, dihormati semua orang dan bukankah dengan demikian nama dan kehormatannya akan terangkat tinggi? Nah, siapa bilang aku hendak menghancurkan nama dan kehormatan mantuku sendiri?"
"Akan tetapi, ayah telah menggunakan cara yang amat kotor, bersekutu dengan orang-orang jahat dari dunia hitam!"
Bantah puterinya. Kakek itu tertawa.
"Apa artinya cara? Yang penting dan menentukan adalah tujuannya! Tujuanku baik, yaitu mengangkat derajat mantuku sendiri, dengan cara apapun asal untuk tujuan baik, apa salahnya?"
Mendengar bantahan ayahnya, Bin Biauw termenung dan bimbang. Benarkah pendapat ayahnya itu? Selama ini ayahnya sudah mencuci tangan, tidak pernah berkecimpung dalam dunia kejahatan, dan ayahnya selalu kelihatan bangga sekali terhadap mantunya, dan ia tahu bahwa ayahnya amat suka kepada suaminya. Mungkinkah ayahnya mencelakakan keluarga mereka? Agaknya tidak mungkin dan kalau yang dilakukan ayahnya itu demi kebahagiaan keluarganya, bukankah itu benar? Wanita ini menjadi bimbang dan hanya duduk dengan alis berkerut, hatinya gelisah.
Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Percayalah, anakku. Ayahmu ini sudah tua, tidak ingin apa-apa lagi. Segala yang ayah lakukan hanya demi kebahagiaanmu dan suamimu. Kalau suamimu kelak berkedudukan tinggi, bukankah kalian berdua menjadi bahagia? Menjadi orang-orang terhormat, mulia dan kaya raya?"
Bin Biauw semakin bingung. Hampir semua orang tua, baik disadari maupun tidak, melakukan hal yang sama seperti dilakukan Bin Mo To itu. Orang-orang tua selalu ingin mengatur anak-anaknya, mengambil keputusan mengenai anak-anaknya dalam hal apa saja, dari pendidikan sampai kepada perjodohan dan pekerjaan. Mereka, orang-orang tua yang berbuat di luar kesadarannya ini, menganggap bahwa apa yang baik baginya tentulah baik bagi anaknya pula.
Apa yang dianggapnya menyenangkan baginya tentu menyenangkan anaknya pula. Karena inilah banyak sekali terjadi orang tua memilihkan pendidikan sekolah, agama, bahkan calon jodoh untuk anaknya, bukan hanya memilihkan makanan dan pakaian, bahkan kalau perlu orang-orang tua ini mempergunakan kekuasaannya sebagai orang tua, dengan memaksa anak-anak mereka mentaati kehendak mereka. Tentu saja dengan anggapan bahwa pemilihan mereka itu sudah baik dan benar! Bin Mo To, mungkin tanpa disadarinya lagi sebetulnya mementingkan diri sendiri ketika dia menyeret anak dan mantunya untuk bersekutu dengan gerombolan Raja Iblis. Dan hal ini dilakukan dengan keyakinan bahwa tujuannya adalah baik, yaitu mengangkat derajat mantunya sehingga kelak dia boleh membonceng kemuliaan dan kehormatan.
Pendekar Sadis Eps 7 Pendekar Sadis Eps 8 Siluman Gua Tengkorak Eps 7