Ceritasilat Novel Online

Pendekar Sadis 7


Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo Bagian 7



"Akan tetapi mengapa? Mengapa dia dikeroyok oleh pasukan-pasukan itu?"

   Dia bertanya, suaranya mengandung penyesalan dan kedukaan.

   "Apakah kau lupa bahwa dia adalah seorang pemberontak?"

   Bi Cu memperingatkan. Memang di dalam hati nyonya ini terkandung rasa kebencian terhadap pangeran itu, dan hal itu tidaklah mengherankan apablia diingat betapa selama beberapa kali dia selalu hampir celaka di tangan pangeran itu kalau saja tidak tertolong oleh Sin Liong, suaminya sekarang (baca kisah Pendekar Lembah Naga).

   "Aku tahu, akan tetapi sampai belasan tahun, sampai dia mempunyai putera sebesar ini, tidak pernah ada penyerbuan? Mengapa setelah lewat bertahun-tahun, setelah kehidupannya mulai tenteram dan berbahagia, setelah dia sama sekali tidak lagi mengadakan gerakan pemberontakan, pasukan-pasukan malah menyerbunya?"

   Untuk ini Bi Cu tidak mampu menjawab. Nyonya inipun merasa kasihan kalau dia mengingat nasib Ciauw Si yang dia tahu adalah seorang pendekar wanita perkasa, berjiwa pendekar dan sangat baik, akan tetapi karena cintanya yang mendalam terhadap Pangeran Ceng Han Houw, maka wanita itu ikut pula menderita, bahkan ikut tewas dalam pengeroyokan itu.

   "Hemm, pinceng sendiripun tidak tahu mengapa demikian..."

   Kata Hong San Hwesio sambil menghela napas.

   "Aku... aku tahu..."

   Tiba-tiba Thian Sin berkata dan anak inipun lalu terdiam karena baru dia ingat bahwa dia telah kelepasan bicara di depan tamu-tamu agung! Sin Liong merangkul pundak anak itu.

   "Anak baik, ceritakanlah kalau memang engkau tahu akan hal itu."

   Thian Sin memandang kepada Hong San Hwesio dan hwesio ini menganggukkan kepala, tanda bahwa dia boleh bicara secara jujur.

   "Dulu ayah dan ibu pernah memberi tahu kepada saya bahwa mereka telah dilarang oleh seorang ahli obat dan peramal yang telah menyembuhkan ayah, bahwa ayah dan ibu tidak boleh mendekati keluarga karena hal itu akan mendatangkan bencana. Akan tetapi, dua tahun lebih yang lalu, ayah dan ibu mengajak saya pergi mengunjungi kerajaan kakek Raja Sabutai, bertemu dengan nenek, yaitu ibu dari ayah. Kami disambut dengan baik oleh Raja Agahai, yaitu paman dari ayah yang sekarang menjadi raja menggantikan kakek yang sudah meninggal. Akan tetapi, kiranya setelah tahun yang lalu, ketika pasukan kaisar menyerang ayah, menurut para wanita dan kakek di dusun yang masih hidup, ada pula pasukan dari utara, pasukan Raja Agahai. Jelaslah bahwa yang mencelakai ayah bunda adalah Raja Agahai, karena hanya dia yang mengetahui tempat tinggal ayah. Selama hidup saya tidak akan dapat lupa ketika orang-orang Jeng-hwa-pang datang menyerbu ayah dan ibu dan mereka mengatakan bahwa mereka diutus oleh Raja Agahai."

   Setelah bercerita sampai di sini, anak itu memejamkan kedua matanya dan ada air mata jatuh berderai. Digigitnya bibirnya dan dikepalnya tangan kanannya, kemudian sambil matanya masih terpejam dia berkata.

   "Aku takkan lupa kepada Raja Agahai, Jeng-hwa-pang dan orang-orang yang membunuh ayah ibu, kelak pasti dapat kucari satu demi satu!"

   "Omitohud..., Thian Sin, ingatlah...!"

   Hong San Hwesio berkata dengan suara memperigatkan. Mendengar suara ini, Thian Sin membuka kedua matanya, terbelalak lalu menjatuhkan diri berlutut di depan hwesio itu.

   "Ah... paman... ampunkan saya...!"

   Melihat ini, Sin Liong merasa terharu sekali dan dia merangkul Thian Sin, sedang Bi Cu juga memandang dengan hati terharu. Sungguh terlalu Pangeran Ceng Han Houw, pikirnya marah, kesesatannya telah menyeret Ciauw Si sampai celaka dan ikut binasa, dan kini bahkan menyeret puteranya sendiri yang disiksa sakit hati dan dendam.

   "Sudahlah, Thian Sin, tidak perlu diingat lagi hal-hal yang sudah lampau. Segala akibat tentu ada sebabnya, maka ingatlah, jangan engkau menciptakan sebab yang baru lagi. Lupakah kau akan nyanyianmu pagi tadi bahwa orang budiman tidak melawan dan menggunakan kekerasan? Anggaplah aku dan bibimu sebagai ayah bundamu sendiri, dan karena ayahmu dahulu adalah kakak angkatku, maka sebaiknya kalau engkau pun mengangkat saudara dengan Han Tiong!"

   "Omitohud... itu baik sekali...!"

   Kata Hong San Hwesio dengan hati girang bukan main. Dia memang menaruh belas kasihan yang mendalam kepada Thian Sin, anak yatim piatu ini, dan kalau Thian Sin dapat menjadi saudara angkat putera Pendekar Lembah Naga, maka berarti segala ganjalan lama antara pendekar itu dan Pangeran Ceng Han Houw telah lenyap dan anak itu akan mempunyai seorang pelindung dan pendidik yang amat baik! "Setiap niat yang tiba-tiba adalah murni dan digetarkan oleh Yang Maha Kuasa, maka, niat semulia itu harus segera dilaksanakan tanpa menanti waktu lagi. Mari, mari pinceng yang akan mengatur pelaksanaan pengangkatan saudara dan pinceng menjadi saksinya."

   Biarpun di dalam hatinya merasa kurang setuju, akan tetapi Bi Cu tidak berkata apa-apa karena dia pun merasa kasihan kepada Thian Sin.

   Dia hanya melihat saja ketika dua orang anak laki-laki itu berlutut di depan meja sembahyang dan mengucapkan sumpah seperti yang diajarkan oleh Hong San Hwesio bahwa sejak saat itu, mereka telah menjadi saudara angkat dan akan hidup bela-membela, saling melindungi dan saling mencinta seperti saudara sekandung. Pada waktu itu Cia Han Tiong berusia sebelas tahun dan Ceng Thian Sin berusia sepuluh tahun, maka Han Tiong menjadi kakak dan Thian Sin menjadi adik. Setelah mereka berdua selesai mengangkat sumpah sebagai saudara kakak beradik ini lalu berlutut memberi hormat kepada Sin Liong dan Bi Cu yang diterima oleh suami isteri ini dengan gembira, kemudian mereka berduapun berlutut di depan Hong San Hwesio yang cepat membangkitkan mereka dengan wajah berseri-seri, karena girang bahwa Thian Sin telah memperoleh "tempat"

   Yang baik sebagai anak angkat Sin Liong.

   "Twako, sebenarnya kedatangan kami ini mempunyai maksud untuk mohon pertolonganmu, dan pertemuan kami dengan Thian Sin yang berada di sini sebagai asuhanmu sungguh amat menggirangkan hati."

   "Ah, tentu saja pinceng selalu siap untuk menolongmu sedapat mungkin, adikku,"

   Jawab pendeta itu dengan gembira. Sin Liong lalu menyampaikan kehendak hati dia dan isterinya untuk membiarkan putera mereka mempelajari sastera dan kebatinan di bawah asuhan pendeta itu.

   "Twako tentu mengerti akan maksud kami. Ilmu silat tinggi amatlah berbahaya dimiliki seseorang yang tidak memiliki kekuatan batin yang besar. Oleh karena itu, sebelum kami melanjutkan dengan ilmu-ilmu silat tinggi kepada anak kami, kami ingin agar dia menerima gemblengan di sini selama beberapa tahun. Dan melihat bahwa Thian Sin juga sudah belajar di sini, maka hal itu amatlah baiknya. Harap twako tidak menolak permintaan tolong kami ini."

   "Omitohud... bagaimana kau dapat berkata demikian? Tentu saja pinceng sama sekali tidak menolak, bahkan merasa terhormat dan girang sekali!"

   Sin Liong dan Bi Cu merasa kerasan sekali tinggal di kuil itu. Tempat itu selain berhawa sejuk dan nyaman, juga tempatnya amat sunyi sehingga di situ mereka dapat menikmati keheningan seperti kalau mereka berada di Istana Lembah Naga saja. Biarpun segala-galanya serba sederhana, hidup bersahaja, namun bersih dan amat menenangkan hati. Oleh karena itu, sampai satu bulan Sin Liong dan isterinya tinggal di situ dan mengambil keputusan untuk membiarkan Han Tiong dan Thian Sin mempertebal dasar kebatinan mereka di bawah bimbingan Hong San Hwesio selama tiga tahun.

   "Kalian belajarlah baik-baik di sini dan taati semua pesan dan ajaran taopek kalian. Nanti, tiga tahun kemudian baru kami akan datang menjemput kalian."

   Demikian pesan Sin Liong kepada dua orang anak laki-laki itu ketika dia dan isterinya akan meninggalkan tempat itu.

   Dua orang anak laki-laki itu mengantar suami isteri itu sampai keluar pekarangan kuil, bersama dengan Hong San Hwesio dan mereka berdua itu kelihatan tenang-tenang sampai bayangan dua orang itu lenyap, Han Tiong masih berdiri tegak. Adik angkatnya mengerling ke arahnya, menduga bahwa tentu Han Tiong akan nampak bersedih atau menangis ditinggal ayah bundanya, akan tetapi ternyata sama sekali tidak, Han Tiong nampak tenang-tenang saja, wajahnya yang membayangkan kejujuran itu nampak tersenyum. Maka kagumlah rasa hati Thian Sin. Dia melihat sesuatu yang amat kuat memancar dari wajah dan diri kakak angkatnya ini, yang membuat dia tunduk dan merasa suka sekali.

   Semenjak hari itu, mulailah dua orang anak laki-laki itu menerima gemblengan Hong San Hwesio. Segera ia melihat bahwa Han Tiong memiliki dasar yang jauh lebih kuat daripada Thian Sin dalam hal kebatinan, karena Han Tiong memang memiliki dasar watak yang tenang dan kuat, bersih dan jujur bersahaja. Sebaliknya Thian Sin lebih penuh gairah, pikirannya selalu bekerja, dan perasaannya terlalu halus sehingga mudah sekali menerima guncangan-guncangan, apalagi di dasar batin Thian Sin telah tergores secara mendalam tentang kematian ayah bundanya, yang merupakan dendam yang amat mendalam. Oleh karena itu, biarpun Thian Sin sudah lebih dulu menerima bimbingannya selama setengah tahun, namun segera dia tahu bahwa Han Tiong jauh lebih kuat.

   "Kalian harus belajar samadhi yang baik, bukan hanya untuk menghimpun tenaga sakti guna memperkuat tubuh dan memudahkan serta menguatkan dasar-dasar untuk ilmu silat tinggi, akan tetapi terutama sekali untuk menenangkan dan membersihkan batin."

   Dia lalu mengajarkan kepada mereka cara bersamadhi yang baik, duduk bersila dan bersamadhi setiap pagi di dalam cahaya matahari pagi menghadap ke timur di waktu matahari terbit, dan menghadap ke barat, di dalam cahaya matahari senja di waktu matahari sedang tenggelam.

   Di dalam kamar samadhinya yang tenang Hong San Hwesio mulai melatih dua orang keponakannya itu duduk bersamadhi, bersila dalam kedudukan Bunga Teratai. Asap hio harum menambah sejuk dan tenang suasana dalam kamar itu. Dua orang anak laki-laki itu duduk bersila, dengan kedua kaki terlentang di atas kedua paha, kedua lengan terlentang di atas paha dekat lutut, dengan kedua jari telunjuk melingkar dan menyentuh pertengahan ibu jari dan ketiga jari yang lain terbuka. Duduk dengan tenang, sedikitpun tidak bergerak, kedua mata terpejam dan bola matanya tidak bergerak, seluruh urat syaraf dalam tubuh seolah-olah mengendur semua, pernapasan halus panjang-panjang dan hanya dada dan perut mereka sajalah yang nampak bergerak, naik turun sesuai dengan keluar masuknya pernapasan yang halus panjang.

   Selain pelajaran bersamadhi, beberapa hari sekali pendeta itu mengaiarkan ujar-ujar dari kitab-kitab suci, memberi wejangan tentang kehidupan, tentang kebatinan dan kebajikan dalam hidup menurut ajaran Agama Buddha. Juga kedua orang anak laki-laki itu disuruh membaca kitab-kitab kuno, tentang filsafat hidup dan kesusasteraan. Hanya di waktu terluang saja Hong San Hwesio menyuruh mereka melatih ilmu silat yang pernah mereka pelajari orang tua masing-masing, dan pendeta itu hanya memberi petunjuk saja untuk menyempurnakan gerakan-gerakan mereka, tidak mengajarkan ilmu silat karena apa artinya dia mengajarkan ilmu silat kepada putera kandung dan putera angkat Pendekar Lembah Naga? Karena terbawa oleh Thian Sin yang gembira, Han Tiong juga ikut-ikut mempelajari membuat sajak dan meniup suling, akan tetapi dalam dua hal ini, Han Tiong kalah jauh dibandingkan dengan Thian Sin yang memiliki bakat seni yang besar.

   Kakak beradik angkat ini ternyata dapat hidup dengan amat rukun dan saling sayang. Thian Sin memang memiliki watak yang riang gembira dan lincah jenaka, sungguhpun gerak-geriknya halus, sehingga wataknya ini kadang-kadang membuat Han Tiong yang anteng dan pendiam itu tersenyum gembira. Pandai sekali Thian Sin menyenangkan hati kakak angkatnya dan semakin lama, Han Tiong semakin suka dan sayang kepada adik angkatnya ini. Demikian pula Thian Sin, karena sikap Han Tiong selalu lemah lembut dan halus, sabar dan jujur, terbuka, maka Thian Sin merasa betapa ada suatu kekuatan yang hebat terkandung dalam sinar mata kakaknya itu sehingga mau tidak mau, membuat dia tunduk dan penurut. Di samping kakaknya, dia merasa terlindung dan memperoleh segala-galanya, sekaligus memperoleh pengganti kasih sayang orang tua, juga kasih sayang seorang sahabat dan seorang saudara yang boleh dipercaya sepenuhnya.

   Diam-diam Hong San Hwesio amat memperhatikan pertumbuhan batin kedua orang anak itu dan diapun merasa amal lega dan juga amat girang bahwa Thian Sin mendapatkan seorang kakak angkat seperti Han Tiong. Dia melihat bahwa biarpun Thian Sin amat taat kepadanya dan mempelajari soal-soal keagamaan dan kebatinan serta kesusasteraan dengan amat tekun, namun di dasar hati anak ini terdapat kekerasan yang mengerikan hatinya kadang-kadang. Kalau sampai kelak dendam di dalam hati anak ini bangkit kembali, dia tidak berani membayangkan apa yang akan terjadi. Sebagai seorang yang memperhalus kepekaan batinnya, pendeta ini dapat melihat dasar watak yang amat keras dari pemuda cilik ini, akan tetapi diapun melihat betapa Thian Sin amat sayang dan amat segan dan tunduk kepada Han Tiong. Kelak, andaikata terjadi bahwa kuda liar yang tersembunyi di balik ketenangan Thian Sin itu bangkit dan menjadi buas, kiranya hanya Han Tiong inilah yang akan dapat menundukkannya dan menuntunnya ke dalam jalan yang benar.

   Memang rukun sekali dua orang anak itu. Apapun yang dilakukan oleh Han Tiong selalu diturut oleh Thian Sin. Juga dalam hal pelajaran ilmu silat, sudah nampak jelas bahwa Thian Sin memiliki dasar kecerdikan sehingga dalam gerakannya terdapat banyak perkembangan yang dicarinya sendiri. Sebaliknya Han Tiong hanya berpegang kepada dasarnya, dengan mempelajarinya secara tekun dan sungguh-sungguh, maka gerakan ilmu silatnyapun tenang dan tegap, matang dan biarpun tidak memungkinkan perkembangan-perkembangan, namun dasarnya kokoh kuat seperti batu karang. Jelaslah bahwa kelak kalau sudah sama jadinya, Thian Sin akan memiliki gerakan ilmu silat yang lebih kaya dan memungkinkan dia memperkembangkan gerakan-gerakan itu, sedangkan Han Tiong akan memiliki gerakan yang aseli dan kokoh kuat.

   Kalau dilihat dari belakang, orang-orang akan merasa kagum dan suka kepada dua orang anak laki-laki yang dalam usia belasan tahun itu sudah membayangkan tubuh yang sehat kuat, tubuh yang punggungnya tegak lurus, kepala tegak dan kedua kaki kokoh kuat, bayangan tubuh calon-calon pendekar. Akan tetapi kalau orang melihat dari depan, baru nampak banyak perbedaan. Thian Sin memiliki wajah yang amat tampan dan halus, garis-garis mukanya halus seperti muka wanita, alisnya, matanya, bahkan telinganya berhentuk indah, sehingga dia tampan sekali, terlalu tampan sehingga akan menarik perhatian setiap orang yang berjumpa dengannya. Sedangkan Han Tiong merupakan seorang anak laki-laki biasa saja, tidak terlalu tampan walaupun tak dapat disebut buruk, hanya sinar matanya amat dalam dan tenang, seperti lautan, dan sikapnya serta gerak-geriknya juga amat tenang dan membayangkan kekuatan luar biasa. Akhirnya, lewat waktu tiga tahun itu. Waktu memang berlalu dengan amat cepatnya dan tidak terasa kalau tidak diperhatikan.

   Tiga tahun seolah-olah terasa baru tiga hari saja, tanpa dirasakan, tahu-tahu kini Han Tiong telah menjadi seorang pemuda tanggung berusia empat belas tahun! Dan selama tiga tahun itu, mereka telah digembleng siang malam oleh Hong San Hwesio sehingga mereka telah mampu membaca kitab-kitab kesusasteraan dan filsafat kuno, baik kitab-kitab Agama Buddha maupun Agama To atau kitab-kitab Su-si Ngo-keng! Dan berkat latihan-latihan ilmu silat yang mereka terus latih dengan tekun, juga karena mereka telah memiliki dasar ilmu silat tingkat tinggi, maka dalam usia tiga belas dan empat belas tahun, mereka sudah nampak seperti seorang pemuda dewasa! Ketika Sin Liong dan Bi Cu datang menjemput, suami isteri ini memandang dengan wajah berseri-seri kepada putera mereka yang ternyata telah menjadi seorang pemuda yang gagah perkasa dan halus gerak-geriknya, dengan wajah yang menyinarkan kelembutan hati dan kebijaksanaan yang menyambut kedatangan mereka dengan sikap hormat dan gembira namun tidak berlebihan.

   Betapa besar perbedaannya antara Han Tiong kini dan tiga tahun yang lalu. Kini nampak begitu masak, seolah-olah telah menjadi seorang pemuda dewasa! Dan diam-diam timbul rasa iri di dasar hati Bi Cu ketika dia melihat betapa pemuda yang berdiri di samping puteranya itu, Ceng Thian Sin, ternyata telah menjadi seorang pemuda yang luar biasa tampannya! Akan tetapi rasa iri ini segera ditutupnya dengan sedikit kebanggaan ketika mengingat bahwa pemuda tanggung yang amat tampan dan ganteng itu adalah anak angkatnya! Sin Liong menghaturkan terima kasih kepada Hong San Hwesio atas bimbingannya kepada dua orang anak itu selama tiga tahun, dan dalam kesempatan ini, Hong San Hwesio mengajak Sin Liong masuk untuk bicara empat mata saja. Setelah mereka duduk berhadapan, Hong San Hwesio menghela napas dan berkata,

   "Adikku Sin Liong, sebelum engkau menurunkan ilmu-ilmu silat tinggi kepada kedua orang puteramu, sebaiknya kalau pinceng memberitahukan hal-hal penting yang pinceng lihat dalam diri mereka."

   Sin Liong merasa girang sekali.

   "Tentu saja, twako. Memang selama ini tentu twako yang lebih mengetahui perkembangan batin
(Lanjut ke Jilid 07)
Pendekar Sadis (Seri ke 05 "

   Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 07
mereka, dan adalah penting untuk mengetahui perkembangan itu dan dasar-dasar watak mereka."

   "Tentang Han Tiong, tidak ada yang perlu diragukan. Dia boleh dipercaya sepenuhnya dan dia merupakan calon pendekar yang sempurna. Hal ini bukan merupakan pujian kosong di depan ayahnya belaka, akan tetapi sesungguhnya puteramu Han Tiong itu memiliki dasar watak dan batin yang amat kuat dan murni."

   "Dan bagaimana dengan Thian Sin?"

   Tanya Sin Liong khawatir karena dia dapat menduga bahwa dengan mengemukakan kebaikan Han Tiong, berarti ada sesuatu yang tidak beres pada diri Thian Sin.

   "Itulah..., dia seorang anak yang baik sekali, penurut, rajin dan patuh. Juga dia amat peka, mudah sekali mempelajari hal-hal yang baik, bahkan amat cerdas, bahkan lebih cerdas dibandingkan dengan Han Tiong. Justeru kepekaannya inilah yang mengkhawatirkan, membuat dia mudah sekali dipengaruhi perasaan dan membuat dia mudah berobah. Pinceng sudah mencoba untuk menanamkan dasar-dasar watak pendekar utama pada batinnya, akan tetapi tetap saja pinceng khawatir kalau-kalau kelak ada sesuatu yang akan membongkar semua itu dan perasaan hatinya yang akan menang. Dan kecerdikannya itu kadang-kadang terlalu luas sehingga sukarlah menyelami hatinya. Dia pandai menyelimuti perasaannya, pandai menyimpan segala sesuatu, di waktu murung bisa saja dia berseri-seri dan tersenyum-senyum, dan demikian sebaliknya sehingga kadang-kadang pinceng merasa terkejut juga. Nah, engkau sudah mengenal kelebihan dan kekurangannya, maka harap kau waspada dan didiklah dia sebaik-baiknya."

   Sin Liong tersenyum. Gejala-gejala seperti itu bagi seorang pemuda tanggung adalah hal wajar saja. Dia tidak tahu bahwa pendeta itu telah memiliki kemampuan untuk memandang dengan lebih mendalam lagi!

   "Baiklah, twako. Akan kuperhatikan dia."

   "Dan selain itu... pinceng tidak pernah mencoba untuk mengetahui rahasianya, akan tetapi kalau tidak salah dia menyimpan suatu rahasia, mungkin berupa kitab-kitab peninggalan ayahnya, entah kitab apa yang disimpannya baik-baik dan tak pernah diperlihatkan kepada siapapun juga termasuk pinceng itu. Harap kau amati hal itu."

   Sin Liong mengangguk-angguk dan di dalam hatinya dia dapat menduga bahwa agaknya Ceng Han Houw telah meninggalkan ilmu-ilmu mujijatnya yang dipelajarinya dari kitab-kitab Bu Beng Hud-couw itu kepada putera kandungnya itu. Ketika dua orang pemuda tanggung itu hendak berangkat untuk ikut bersama pendekar itu dan isterinya ke Lembah Naga, mereka menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Hong San Hwesio sambil menghaturkan terima kasih atas segala bimbingan dan kebaikan hwesio itu. Hong San Hwesio menyentuh kepala mereka dan berdoa untuk mereka, kemudian memberi wejangan-wejangan terakhir.

   "Semoga dalam mempelajari ilmu silat di Lembah Naga, kalian akan selalu ingat bahwa semua ilmu ini kita pelajari demi untuk membantu alam, demi untuk kesejahteraan seluruh manusia di dunia ini, bukan hanya untuk alat mengejar kesenangan diri sendiri belaka."

   Berangkatlah Cia Sin Liong, isteri dan dua orang puteranya itu meninggalkan Kuil Thian-to-tang, meninggalkan Hong San Hwesio yang berdiri di depan kuil memandang ke arah mereka dan merasakan betapa hatinya seperti terbawa keluar dari tubuhnya mengikuti bayangan dua orang muda yang disayangnya itu.

   Di sepanjang perjalanan, suami isteri itu dengan girang mendapat kenyataan betapa akrabnya hubungan antara dua orang muda itu, dan diam-diam mereka berdua merasa girang bahwa jelas sekali betapa Thian Sin selain amat sayang kepada kakak angkatnya, juga amat penurut. Diam-diam Sin Liong membandingkan keadaan dirinya dengan Ceng Han Houw di masa lalu. Dia pun amat menyayang Ceng Han Houw, akan tetapi dia tidak bisa dibilang penurut. Dan hal itu terjadi karena kesalahan Han Houw sendiri yang amat mementingkan diri sendiri sehingga untuk mengejar cita-cita itu dia tidak segan-segan melakukan hal-hal yang tidak patut. Tentu saja dia tidak mungkin mau menuruti permintaan orang yang menyeleweng daripada kebenaran itu.

   Diam-diam dia berdoa semoga puteranya, Han Tiong, tidak akan menyeleweng sehingga dapat menuntun adik angkatnya yang amat sayang dan taat kepadanya itu. Thian Sin membuka mata lebar-lebar ketika dia bersama Han Tiong dan ayah ibu mereka memasuki daerah Lembah Naga. Jadi inikah yang dinamakan Lembah Naga, pikirnya. Ada suatu keanehan di dalam hatinya. Mengapa dia merasa seolah-olah dia tidak asing berada di tempat ini? Mengapa dia merasa seolah-olah dia sudah pernah, bahkan sering, melihat tempat-tempat ini? Akan tetapi dia menyimpan saja keanehan ini dalam hatinya dan dia mendengarkan dengan penuh perhatian ketika Han Tiong menceritakan kepadanya tentang keadaan di daerah itu.

   "Daerah ini dahulu dinamakan Rawa Bangkai, menurut cerita ayah dahulu di sini banyak sekali terdapat rawa-rawa yang berbahaya, berisi lumpur-lumpur yang dapat membunuh siapa saja yang terperosok ke dalamnya karena mempunyai daya sedot dan amat dalam. Akan tetapi semenjak di sini merupakan daerah terbuka bagi rakyat dari seluruh penjuru, tempat ini sekarang berubah menjadi pedusunan. Lihat, mereka itu adalah penghuni dusun pertama yang sudah melihat kedatangan kami. Ayah dan ibu amat dihormat di sini, karena kami membiarkan mereka tinggal di daerah Lembah Naga tanpa dipungut pajak apa pun."

   Dan memang sebenarnyalah. Dari dalam sebuah dusun pertama, berduyun-duyun keluar orang-orang, laki-laki dan perempuan, tua muda dengan wajah riang gembira menyambut kedatangan rombongan itu. Thian Sin melihat bahwa mereka adalah petani-petani yang bertubuh sehat dan berwajah gembira, bahkan agaknya berpakaian cukup rapi sungguhpun sederhana dan bentuk tubuh serta wajah mereka cukup tampan dan manis, menandakan bahwa kehidupan mereka tenteram dan mereka tidak kekurangan makan di tempat itu. Nampak olehnya beberapa orang anak-anak, yang laki-laki juga kelihatan periang dan kuat sedangkan anak-anak wanitanya juga manis-manis dan lucu-lucu.

   "Selamat datang, Cia-kongcu!"

   Demikian semua orang menyambut Han Tiong. Mereka masih mengenal pemuda yang telah pergi selama tiga tahun itu dan beberapa orang anak laki-laki sebaya Han Tiong sudah datang mendekat dan tersenyum-senyum agak malu-malu. Han Tiong mengangkat tangan dan berseru ke kanan kiri.

   "Apa kabar? Mudah-mudahan kalian baik-baik saja semua!"

   Demikianlah, mereka melalui beberapa buah pedusunan yang hanya ditinggali oleh puluhan orang, dan semua penghuni pedusunan itu menyambut dengan gembira, sampai akhirnya mereka tiba di sebuah istana tua, Istana Lembah Naga dan jantung Thian Sin berdebar keras! Dia berdiri di depan istana kuno itu dan merasa seperti mimpi. Istana ini tidak asing baginya! Sering dia bertemu dengan bangunan ini, dalam mimpi! Mimpikah dia ketika bertemu dengan bangunan ini, ataukah sekarang ini dia sedang mimpi? Digosok-gosoknya matanya dan dia merasa terheran-heran!

   "Ada apakah dengan matamu, Sin-te (adik Sin)?"

   Tanya Han Tiong sambil menyentuh pundaknya. Thian Sin menoleh dan tersenyum, menghentikan menggosok-gosok mata akan tetapi masih mengerling ke arah bangunan itu dengan penuh keheranan.

   "Ah, tidak apa-apa, Tiong-ko, aku hanya kagum melihat bangunan ini begini kokoh kuat dan... menyeramkan!"

   "Thian Sin, bangunan ini pernah menjadi tempat tinggal Raja Sabutai, juga pernah menjadi tempat tinggal mendiang ayahmu, sebelum engkau terlahir..."

   Mendengar ucapan Sin Liong yang kelihatan terharu itu, Thian Sin mengangguk-angguk dan mengertilah dia sekarang mengapa ada suatu pertalian batin antara dia dengan tempat ini. Kiranya tempat ini pernah menjadi tempat tinggal ayahnya. Dia sama sekali tidak tahu bahwa tempat ini pun merupakan tempat di mana ayahnya jatuh, di mana ayahnya melihat hancurnya semua cita-citanya, bahkan di mana ayahnya mengalami kekalahan mutlak, yaitu dari Pendekar Lembah Naga yang sekarang menjadi ayah angkatnya itu! Demikianlah, mulai hari itu Thian Sin tinggal di Istana Lembah Naga, dan dengan tekun dia bersama Han Tiong mulai berlatih ilmu silat tinggi di bawah bimmbingan Cia Sin Liong. Sin Liong menurunkan semua kepandaiannya dengan sungguh hati, mengajarkan ilmu-ilmu silat yang dimilikinya, tentu saja disesuaikan dengan bakat kedua anak itu.

   Setelah mulai mengajarkan ilmu silat tinggi kepada dua orang pemuda itu, Sin Liong dapat melihat bahwa bakat pada Thian Sin sungguh amat menonjol! Dia terkejut dan kagum dan harus diakuinya bahwa Thian Sin ternyata lebih menonjol dibandingkan dengan puteranya sendiri, sungguhpun puteranya juga seorang yang berbakat amat baik. Hal ini karena Thian Sin memiliki kecerdikan yang luar biasa sehingga anak ini mampu merangkai sendiri gerakan-gerakan ilmu silat dan menambahkan kembangan-kembangan yang baik sekali. Akan tetapi diapun melihat bahwa Han Tiong memiliki ketenangan dan kewaspadaan sehingga anak ini lebih matang dalam melatih ilmu, tidak seperti Thian Sin yang ingin segera memperoleh kemajuan dan ingin segera mempelajari ilmu lain.

   Setiap satu jurus gerakan silat tinggi tentu akan dilatih oleh Han Tiong secara tekun dan anak ini belum merasa puas kalau belum mampu mainkan jurus itu dengan sempurna, tanpa mau menengok kepada jurus baru yang lain. Sebaliknya, Thian Sin ingin cepat menguasai jurus ini untuk segera dapat mempelajari jurus lain. Dia seolah-olah seorang yang rakus dan kelaparan, ingin mempelajari sebanyak-banyaknya. Sifat anak ini kadang-kadang membuat Sin Liong termenung dan teringat betapa besar persamaan antara sifat anak ini dengan sifat mendiang ayahnya, Pangeran Ceng Han Houw. Akan tetapi, agaknya, bekas gemblengan Hong San Hwesio masih nampak, anak itu kelihatan alim dan halus budi, bahkan suka sekali membaca kitab, suka sekali bersajak sehingga dia amat sayang kepada Thian Sin.

   Bi Cu sendiripun yang tadinya masih selalu membenci mendiang ayah anak itu, setelah melihat sikap Thian Sin, tak lama kemudianpun merasa suka sekali dan menganggap Thian Sin sebagai anak sendiri. Memang Thian Sin mempunyai pembawaan yang memikat dan dapat dengan mudah menundukkan hati orang. Apalagi semakin dia besar, ketampanannya semakin menonjol. Semua penghuni dusun-dusun sekeliling Lembah Naga amat suka kepadanya karena dia ramah sekali, berbeda dengan Han Tiong yang pendiam. Thian Sin selalu menegur dan menyapa orang-orang dusun yang dijumpainya, mengajak mereka beramah-tamah dan suka bersendau-gurau, jenaka dan pandai menyenangkan hati orang dengan kata-katanya. Dia lemah lembut dan memiliki daya tarik yang luar biasa.

   Apalagi terhadap wanita! Semua wanita di dusun-dusun sekitar Lembah Naga mengenalnya dan sering membicarakannya dengan hati penuh kagum. Apalagi para gadisnya. Boleh dibilang semua gadis di dusun-dusun sekitarnya tergila-gila belaka kepada pemuda tanggung ini! Dan karena Thian Sin belum dewasa benar, para gadis itupun tidak malu-malu untuk menegurnya dan mengajaknya bicara setiap kali bertemu dan ada kesempatan. Dan sikap para gadis ini pun tidak menyembunyikan rasa suka mereka kepada Thian Sin sehingga terasa benar oleh pemuda tanggung ini. Akan tetapi Thian Sin masih hijau, maka diapun menanggapi semua sikap memikat para wanita itu dengan halus, bahkan agak malu -malu dan manja sehingga membuat para wanita itu semakin tergila-gila! Terhadap Thian Sin, para wanita ini berani menggoda, mengajak bercanda.

   Sebaliknya menghadapi Cia-kongcu, yaitu Cia Han Tiong yang pendiam dan serius, yang halus dan jujur, para gadis itu amat segan dan takut, tidak berani main-main. Bahkan sikap terbuka dari mereka yang mengajak Thian Sin bercanda itupun lenyap apabila di situ ada Han Tiong. Han Tiong mempunyai wibawa yang amat terasa oleh siapapun juga. Thian Sin sendiri merasakan wibawa ini dan terhadap kakak angkatnya ini, Thian Sin merasa amat tunduk di samping rasa sayang dan kagum yang besar. Juga dengan pemuda-pemuda tanggung dari dusun sekitarnya, baik Thian Sin maupun Han Tiong tidaklah asing. Hanya bedanya, kalau pemuda-pemuda itu bersama dengan Han Tiong, pemuda pendiam ini bersikap membimbing dan menuntun mereka untuk membebaskan mereka dari cara berpikir yang terlalu sederhana dan bodoh dari seorang anak desa,

   memberi penerangan-penerangan sehingga dia dianggap sebagai seorang yang besar dan semua pemuda dusun memandangnya seperti pemimpin yang patut dihormati dan disegani. Sebaliknya Thian Sin bergaul dengan mereka seperti sahabat, bercanda dengan mereka, bermain-main dengan mereka. Sungguh pemuda tanggung ini amat pandai bergaul dan dapat menarik hati siapapun juga! Dan agaknya, berkat bimbingan selama tiga tahun dari Hong San Hwesio agaknya, pemuda tanggung ini telah dapat melenyapkan atau menekan dendam sakit hatinya atas kematian kedua orang tuanya. Demikianlah nampaknya secara lahiriah. Akan tetapi sesungguhnyakah dendam sudah lenyap dari dalam hati pemuda tampan ini?

   Dapatkah dendam, sakit hati, perasaan marah, kebencian, iri hati, keserakahan, rasa takut, dan sebagainya dapat lenyap dari batin, dengan jalan melarikan diri dari semua itu atau dengan jalan menekannya? Hal ini penting sekali bagi kita untuk menyelidikinya dan mempelajarinya karena dalam kehidupan kita setiap hari tentu ada saja satu di antara nafsu-nafsu itu muncul di dalam hati kita. Mungkinkah kita terbebas dari semua nafsu itu dengan daya upaya kita? Dari mana timbulnya nafsu-nafsu seperti dendam, kebencian, marah, iri, serakah, takut dan sebagainya itu? Semua itu timbul dari adanya pikiran yang membentuk si aku dengan keinginannya untuk mengejar kesenangan dan menjauhi kesusahan. Karena si aku ini merasa diganggu, dirugikan baik lahir maupun batin,

   maka timbullah kemarahan, kebencian dan sebagainya. Karena si aku ini ingin mengejar kesenangan, maka lahirlah keserakahan, iri hati dan sebagainya. Setelah muncul kemarahan, dari pengalaman atau dari penuturan orang lain, si aku melihat bahwa kemarahan itu tidak akan menguntungkan. Maka timbullah keinginan lain lagi, yaitu keinginan untuk melenyapkan kemarahan! Jelas bahwa yang marah dan yang ingin bebas dari kemarahan itu masih yang itu-itu juga, masih si aku yang ingin senang karena ingin bebas dari kemarahan itupun pada hakekatnya hanya si aku ingin senang, menganggap bahwa bebas marah itu senang atau menyenangkan! Jadi, si marah adalah aku sendiri, dia yang ingin bebas marahpun aku sendiri. Bermacam daya upaya dilakukannya oleh kita untuk bebas dari kemarahan atau kebencian dan sebagainya.

   Ada yang melarikan diri dari kenyataan itu dengan cara menghibur diri, minum arak sampai mabuk, bersenang-senang sampai mabuk atau mengasingkan diri di tempat sunyi. Ada pula yang mempergunakan kekuatan kemauan untuk menghimpit dan menekan kemarahan yang timbul itu, pendeknya, segala macam daya upaya dilakukan orang untuk membebaskan diri daripada kenyataan, yaitu amarah itu. Bagaimana haslinya? Memang nampaknya berhasil, nampak dari luar memang berhasil. Yang marah itu tidak marah lagi oleh penekanan kemauan atau oleh hiburan. Akan tetapi, tak mungkin melenyapkan penyakit dengan hanya menggosok-gosok agar nyerinya berkurang atau lenyap. Karena penyakitnya masih ada, maka rasa nyeri itupun tentu akan timbul kembali! Demikian pula dengan kemarahan, kebencian dan sebagainya.

   Memang dengan penekanan atau hiburan, kemarahan itu seolah-olah pada lahirnya sudah lenyap, api kemarahan itu seolah-olah sudah padam. Akan tetapi sesungguhnya tidaklah demikian! Api itu masih membara, seperti api dalam sekam, di luarnya tidak nampak bernyala namun di sebelah dalamnya membara masih ada dan sewaktu-waktu akan berkobar lagi. Karena itulah, tercipta lingkaran setan pada diri kita. Marah, disabarkan atau ditekan lagi, marah lagi, ditekan lagi dan seterusnya selama kita hidup! Mengapa kita tidak hadapi secara langsung segala yang timbul itu? Di waktu timbul marah, timbul benci, timbul iri, timbul takut dan sebagainya. Mengapa, kita lari? Mengapa kita tidak menanggulanginya secara langsung, mengamatinya, menyelidiki dan mempelajarinya secara langsung? Mengapa kita tidak membuka mata dan waspada, penuh kesadaran akan semua itu?

   Kalau marah timbul dan kita membuka mata penuh kewaspdaan, mengamatinya tanpa ada akal bulus si aku yang ingin merubah, ingin sabar dan sebagainya seperti itu, kalau yang ada hanya kewaspdaan saja, pengamatan saja, maka apakah akan terjadi dengan kemarahan yang timbul itu? Cobalah! Segala pengertian itu tanpa guna kalau tidak disertai penghayatan! Pengertian berarti penghayatan! Tanpa penghayatan maka pengertian itu hanya menjadi pengetahuan kosong belaka, hanya akan menjadi teori-teori usang yang pantasnya hanya disimpan di lemari lapuk untuk hiasan belaka, tidak ada manfaatnya bagi kehidupan. Nah, kalau ada timbul marah, benci, takut dan sebagainya, kita hadapi dan kita buka mata mengamatinya dengan penuh perhatian, penuh kewaspadaan dan kesadaran.

   Kemarahan dan dendam timbul karena adanya sang pikiran, si aku yang tersinggung atau dirugikan. Kalau tidak ada si aku yang merasa dirugikan, apakah ada kemarahan itu? Hanya pengamatan dengan penuh kewaspadaan yang akan mendatangkan pengertian yang berarti penghayatan pula, melahirkan tanggapan-tanggapan spontan seketika. Dan pengertian dari pengamatan ini yang akan meniadakan marah atau dendam. Dan tidak adanya marah atau dendam mendekatkan kita kepada kebebasan dan cinta kasih. Dan kalau sudah begitu tidak perlu lagi belajar sabar! Dalam pergaulan mereka dengan para muda di dusun-dusun, terutama dengan para gadisnya, Han Tiong bersikap wajar, sopan dan tertib. Akan tetapi Thian Sin, pada usia yang lebih lima belas tahun, mulai merasa betapa mudahnya dia tertarik oleh kemanisan seorang wanita.

   Namun, diapun maklum bahwa dia harus dapat mengekang nafsu seperti yang telah diajarkan oleh Hong San Hwesio kepadanya. Memang pengekangan nafsu, pengendalian diri, tekanan, tekanan dan sekali lagi tekanan demikianlah yang selama ini diajarkan dan ditekankan kepada kita! Justeru pelajaran inilah yang menimbulkan konflik-konflik dalam batin kita, antara kenyataan dan angan-angan seperti yang kita kehendaki. Kenyataannya kita serakah, akan tetapi angan-angannya, yang dijejalkan kepada kita adalah agar kita tidak serakah, dan demikian seterusnya. Jadi sumber penyakitnya tidak diobati dan dilenyapkan, hanya rasa nyeri yang timbul dari penyakit itu saja yang kita usahakan untuk diringankan atau dilenyapkan. Maka tentu saja akan selalu timbul pula. Dan sumber penyakitnya itu berada pada si aku yang selalu ingin senang dan ingin menjauhi susah.

   Dua tahun sudah mereka digembleng ilmu silat oleh Cia Sin Liong. Keduanya tekun sekali berlatih sehingga mereka memperoleh kemajuan yang amat cepat, apalagi pengajarnya adalah pendekar yang memiliki kepandaian tinggi itu. Sebagai dasar, Sin Liong mengajarkan Thai-kek Sin-kun kepada mereka dan memang ilmu silat ini dapat menjadi dasar yang amat baik untuk kemudian mempelajari ilmu-ilmu lain yang tinggi dan aneh. Di samping ilmu silat, juga dua orang pemuda itu melanjutkan latihan mereka bersamadhi dengan duduk bersila seperti yang diajarkan oleh Hong San Hwesio, akan tetapi sekarang mereka bersamadhi bukan hanya untuk menenteramkan batin, melainkan untuk melatih pernapasen dan untuk menghimpun tenaga sakti. Dan dianjurkan untuk berlatih di tempat-tempat terbuka, di bawah cahaya matahari, terutama matahari pagi dan matahari senja.

   "Pada saat-taat matahari mulai timbul dan matahari mulai tenggelam, matahari menyinarkan daya-daya kekuatan yang mujijat dan kalian akan dapat menyerap tenaga-tenaga sakti dari sinarnya kalau melakukan samadhi di saat-saat seperti itu,"

   Demikian antara lain Sin Liong berkata.

   Oleh karena itu, tidak jarang dua orang pemuda itu melakukan siulian di tempat-tempat terbuka, di waktu mereka melakukan pekerjaan di sawah ladang dan selagi istirahat dari pekerjaan itu tentu mereka pergunakan untuk melakukan siulian (samadhi). Ketika mereka dididik oleh Hong San Hwesio mereka secara terpaksa hanya makan sayur-sayuran saja seperti juga para hwesio, akan tetapi sekarang, di Istana Lembah Naga, mereka makan seperti orang biasa, juga makan daging. Dan dalam makanan ini pun terdapat perbedaan antara keduanya. Thian Sin suka sekali makan daging, sebaliknya Han Tiong lebih suka makan sayur dan buah-buahan, Sungguhpun dia tidak berpantang daging. Juga kalau Thian Sin suka pula minum arak,

   Sungguhpun bukan pemabuk, maka Han Tiong tidak begitu suka dan hanya minum arak untuk menghangatkan tubuh saja. Memang sudah nampak perbedaan besar antara dua orang muda ini. Thian Sin lebih peka terhadap kesenangan dan kenikmatan, sedangkan Han Tiong lebih sederhana dan lebih bijaksana untuk tidak terialu menyerah kepada kehendak bersenang diri melainkan lebih memperhatikan tentang menjaga kesehatan dirinya. Usia Han Tiong kini telah enam belas tahun dan Thian Sin berusia lima belas tahun. Usia menjelang dewasa bagi para muda, dan bagi pria khususnya perubahan peralihan dari masa kanak-kanak menuju ke dewasa ini ditandai oleh perubahan dalam suara mereka.

   Dalam usia seperti ini pada umumnya berahi mulai mengusik batin seorang muda. Hal ini adalah wajar, terdorong oleh pertumbuhan badan dan mulailah terdapat daya tarik yang memikat hati kalau melihat lawan kelaminnya. Mulailah Thian Sin memandang ke arah gadis-gadis dusun dengan sinat mata lain, dengan denyut jantung berbeda daripada biasanya. Sinar matanya penuh dengan keinginan tahu, mulai dapat melihat bahwa pada diri gadis-gadis itu terdapat rahasia-rahasia yang amat menarik keinginan tahunya. Perkembangan atau pertumbuhan naluri sex para muda adalah sesuatu yang amat wajar. Pertumbuhan jasmani dengan sendirinya membentuk pula dorongan-dorongan ke arah gairah berahi sebagai suatu kewajaran karena segala sesuatu yang ada, termasuk manusia, sudah memiliki kecondongan ke arah pertemuan lawan kelamin.

   Ini adalah hal yang wajar, digerakkan oleh kekuasaan yang mengatur seluruh alam mayapada dengan segala isinya agar tidak sampai habis binasa, agar ada perkembangbiakan di setiap jenis mahluk, termasuk manusia. Pertumbuhan ke arah kedewasaan mulai menumbuhkan pula tuntutan jasmani ke arah pendekatan dengan lawan kelamin ini. Thian Sin memiliki kepekaan dan juga memiliki gairah yang amat besar, oleh karena itu dialah yang lebih dulu terlanda gairah berahi ini. Bermula dengan perasan senang untuk memandang wanita, terutama yang sebaya dengannya. Dan keadaan sekelilingnyalah yang mengajarkan tentang hubungan kelamin kepadanya. Kini dia memandang dengan sinar mata berbeda kalau dia melihat sepasang ayam melakukan hubungan kelamin,

   Atau kalau dia, yang suka bermain-main adu jengkerik dengan teman-temannya, yaitu anak-anak dusun sekitarnya, melihat jengkerik jantan dan jangkerik betina melakukan hubungan kelamin. Kalau di waktu kecil, penglihatan ini tidak mendatangkan sesuatu dalam perasaannya, hanya nampak sebagai suatu peristiwa wajar dalam mata kanak-kanak dan kemudian lewat begitu saja dalam ingatannya tanpa membekas, setelah dia mulai dewasa kini penglihatan itu berubah menjadi sesuatu yang aneh, yang mendatangkan perasaan mesra dan ingin tahu dalam hatinya, kemudian berhenti dalam ingatannya untuk dibayang-bayangkan kembali dalam renungan! Akan tetapi, teringat akan wejangan-wejangan Hong San Hwesio tentang berahi, Thian Sin lalu menahan dan menekan dorongan-dorongan berahi ini.

   "Berahi merupakan satu di antara kekuatan-kekuatan yang mengandung tenaga sakti dalam tubuh,"

   Demikian antara lain Hong San Hwesio memberi wejangan.

   "Kalau engkau dapat mengekangnya, maka hal itu akan menjadi tenaga sakti dalam tubuhmu. Akan tetapi kalau dituruti, hal itu akan menghancurkan tenaga sakti. Berahi itu adalah hawa sakti yang ingin keluar, oleh karena itu kendalikanlah, pertahankanlah sedapat mungkin."

   Wejangan seperti itu memang dianggap wajar dan benar karena sudah menjadi tradisi dan kepercayaan umum bagi agamanya. Dan memang dapat dinyatakan bahwa dalam wejangan itu terdapat suatu kebenaran bahwa dorongan berahi itu, yang wajar, yang bukan buatan pikiran yang membayang-bayangkan kenikmatan, adalah merupakan suatu dorongan hawa sakti, bahkan pelepasannya tidak luput dari pengaruh kekuatan yang amat mujijat sehingga pelepasannya merupakan sarana bagi perkembangbiakan semua mahluk hidup di dunia ini! Sungguh terdapat kemujijatan yang amat ajaib dalam semua ini, terdapat sesuatu yang amat suci dan gaib dalam hubungan kelamin.

   Betapa kekuasaan yang tak terbataslah mengatur semua itu dengan tertib dan indah. Hubungan itu adalah syarat mutlak untuk perkembangbiakan manusia dan untuk menuntun manusia ke arah itu setelah mulai dewasa, maka terdapat gairah-gairah berahi dan di dalam pelaksanaannya itu sendiri terkandung kenikmatan. Semua ini mendorong manusia untuk condong melakukan hubungan kelamin dan dengan demikian terjaminlah berlangsungnya perkembangbiakan manusia. Betapa mujijatnya! Kurang sedikit saja dalam ketertiban yang sudah diatur sempurna itu, timbul bahaya kehancuran dan lenyaplah kemanusiaan! Andaikata tidak terdapat kenikmatan, maka manusia tentu tidak akan terdorong melakukannya dan kelanjutan manusia tentu akan terancam karenanya.

   Dorongan itu bahkan sudah ada dalam diri setiap orang, gairah berahi adalah pembawaan lahir, alamiah. Manusia sendirilah yang merusak semua keindahan dan kesempurnaan ini, dengan jalan memelihara kesenangan dan kenikmatannya sehingga hal yang suci itu, karena sesungguhnya hubungan kelamin merupakan hal yang suci, berubah menjadi kesenangan yang dikejar-kejar dan dicari-cari hanya untuk diraih sebagai pelepas nafsu dan untuk mencapai kepuasan belaka! Maka muncullah hal-hal yang hanya akan mendatangkan sengsara! Kita memang selalu merusak keindahan dan ketertiban yang alamiah dan wajar. Setiap manusia sejak lahir sudah mempunyai selera dan gairah untuk makan. Kekuasaan yang maha sempurna telah mengaturnya sehingga kalau tubuh membutuhkan makan, timbul selera dan gairah dan perut sendiri memberontak minta diisi.

   Dengan demikian, proses makan maupun kebutuhan lain dari tubuh seperti pernapasan dan sebagainya, merupakan hal wajar dan untuk memberi dorongan kepada manusia untuk memenuhi tuntutan jasmani melalui perut ini, manusia telah diberi rasa enak di waktu mengisi perut. Bukankah hal ini, seperti juga tuntutan berahi yang menjadi sarana pembiakan, merupakan suatu kewajaran? Bukankah rasa enak dalam makan, rasa nikmat dalam hubungan kelamin, merupgkan mujijat dan anugerah yang berlimpah? Namun sayang seperti juga dalam gairah berahi, dalam gairah makanpun juga kita tidak lagi mementingkan kebutuhan jasmani atau kebutuhan perut, melainkan mementingkan rasa enak itulah! Kita melupakan artinya yang hakiki, kita melupakan kepentingannya dan hanya mengejar rasa enak dalam makan, dan mengejar rasa nikmat dalam hubungan sex.

   Dan seperti juga dalam hubungan kelamin yang terjadi karena pengejaran kenikmatan belaka, maka dalam makan yang terjadi karena pengejaran keenakan belaka, bermunculanlah akibat-akibat yang menyengsarakan! Harus kita akui bahwa dalam pelaksanaan gairah itu memang terdapat rasa enak, terdapat rasa nikmat dan perasaan nikmat itu adalah anugerah yang terbawa lahir oleh kita semua. Jadi, bukan berarti bahwa kita harus MENOLAK makan enak atau menolak kenikmatan sex, sama sekali bukan. Keenakan, kelezatan atau kenikmatannya itu adalah anugerah, kita berhak menikmatinya, dan sama sekali tidak berbahaya. Yang berbahaya adalah kalau sudah timbul PENGEJARAN. Pengejaran kesenangan, pengejaran kenikmatan inilah yang menjadi sumber segala derita, segala konflik dan kesengsaraan.

   Thian Sin yang mulai merasakan dorongan-dordngan gairah nafsu berahi itu teringat akan wejangan Hong San Hwesio, maka diapun cepat-cepat bersamadhi untuk menghalaunya, untuk menekannya di waktu gairah itu timbul. Namun, begitu dia melakukan penekanan-penekanan itu, gairah berahi itu timbul semakin sering! Timbul lagi, ditekan lagi, timbul lagi, ditekan lagi dan terjadilah lingkaran setan yang membuat pemuda itu gelisah. Dan pada suatu malam, dalam mimpi, gairah berahi ini mendesak sedemikian kuatnya sehingga dia terbangun dengan kaget dan dia menjadi semakin gelisah ketika melihat betapa celananya menjadi basah! Teringatlah dia akan semua wejangan Hong San Hwesio tentang tenaga sakti dalam tubuh! Hong San Hwesio sudah memperingatkan bahwa setelah menjelang dewasa,

   Ada dorongan yang sukar dilawan untuk menyalurkan gairah itu dan dia menasihati dua orang murid atau juga keponakan itu untuk mempertahankan sekuat tenaga agar jangan sampai mani keluar dari badan, apalagi sengaja mengeluarkannya melalui permainan sendiri! Semua itu telah diungkapkan oleh Hong San Hwesio dan memang ada baiknya bagi orang muda untuk mengetahui seluk-beluk tentang sex ini. Banyak pemuda yang didorong oleh gairah seksuilnya, ditambah khayalan-khayalan tentang hubungan sex yang dapat dilihatnya pada binatang-binatang yang melakukan hubungan sex atau didengarnya dari teman-teman, atau dibacanya melalui buku-buku, maka banyak sekali yang melakukan permainan dengan dirinya sendiri, baik mempermainkan batin dengan bayangan-bayangan dan khayalan-khayalan tentang hubungan sex, maupun mempermainkan alat kelamin dengan tangan sendiri dan lain-lain yang disebut onani.

   Thian Sin sudah mendengar tentang itu dan karena Hong San Hwesio memperingatkan dia tentang bahayanya hal itu, tentang kerugiannya, bahkan samar-samar hwesio itu mengatakan bahwa perbuatan itu jahat, maka begitu dia terbangun dari mimpi dan melihat celananya basah, tahulah dia bahwa dia telah mengeluarkan mani dalam tidurnya, melalui mimpinya! Bukan main gelisah hati Thian Sin. Setelah membersihkan diri dengan air dan berganti pakaian, dia cepat-cepat duduk melakukan siulian untuk memulihkan tenaga sakti yang terbuang melalui pemancaran mani itu. Pada keesokan harinya, Han Tiong dapat melihat perubahan muka pada adik angkatnya. Wajah Thian Sin nampak lesu dan dibayangi kegelisahan.

   "Sin-te, apakah yang terjadi padamu? Engkau nampak begitu lesu dan muram?"

   Tegurnya dengan halus dan penuh perhatian. Melihat wajah kakak angkatnya, mendengar teguran yang halus itu, seketika terhiburlah hati Thian Sin karena dia seperti melihat uluran tangan yang hendak menolongnya.

   "Tiong-ko, celaka sekali. Malam tadi... aku bermimpi dan... dan aku telah... celanaku basah..."

   Dia menerangkan dengan gagap, sungguhpun biasanya dia tidak pernah ragu-ragu untuk menceritakan segalanya kepada kakak angkatnya yang amat disuka dan dihormatinya itu. Berkerut alis Han Tiong yang tebal hitam itu, sepasang matanya membayangkan kekhawatiran. Betapapun juga, sama dengan Thian, dia amat memperhatikan semua nasihat dan wejangan Hong San Hwesio maka mendengar bahwa adik angkatnya telah mimpi sehingga mengeluarkan mani yang dianggap sebagai tenaga sakti dalam tubuh, dia merasa gelisah juga.

   "Aih, Sin-te... bagaimana dapat terjadi itu? Apakah engkau terlalu memikir-mikirkan hal itu?"

   Thian Sin mengangguk.

   "Kemarin aku bicara dengan beberapa orang teman di dusun. Seorang di antara mereka menceritakan betapa dia pernah melihat kakaknya dan kakak isterinya melakukan hubungan kelamin. Dari cerita itulah datangnya khayalan dan kenangan yang terbawa dalam mimpi, Tiong-ko. Bagaimana baiknya, Tiong-ko, aku gelisah sekali. Semalam aku sudah melakukan samadhi, sampai pagi, akan tetapi aku tetap saja merasa gelisah..."

   Han Tiong sendiri tidak pernah mengalami hal itu, maka diapun bingung.

   "Jangan gelisah, adikku. Mari kita minta nasihat ayah."

   "Ah, aku... aku takut, Tiong-ko..."

   "Kenapa takut? Engkau tidak melakukan sesuatu yang salah, hal itu terjadi di luar kesadaranmu, dalam mimpi. Orang yang melakukan sesuatu tanpa disengaja, tidak berbuat salah, jangan takut, biar aku yang bercerita kepada ayah."

   "Tapi aku... aku malu..."

   "Mengapa harus malu? Hal itu telah terjadi, Sin-te, dan kalau hanya karena malu lalu diam-diam saja dalam kegelisahan, hal itu lebih tidak baik lagi. Kalau kita bercerita kepada ayah dengan sejujurnya, tentu ayah akan dapat menasihatkan bagaimana baiknya menghadapi hal seperti ini."

   Setelah ditenangkan oleh Han Tiong, akhirnya maulah Thian Sin pergi menghadap ayah angkatnya dan Han Tiong yang menceritakan kepada ayahnya tentang pengalaman Thian Sin semalam. Thian Sin duduk sambil menundukkan muka, tidak berani menentang pandang mata ayah angkatnya itu, dan dia merasa malu sekali. Mendengar penurutan Han Tiong, Cia Sin Liong tersenyum maklum dan pendekar ini mengangguk-anggukkan kepalanya.

   "Baik sekali bahwa engkau tidak menyembunyikan hal itu, Thian Sin. Akan tetapi, mengapa harus kakakmu yang menceritakannya kepadaku, bukan engkau sendiri?"

   Thian Sin mengangkat muka memandang wajah ayah angkatnya dan dengan lirih dia menjawab,

   "Aku... aku merasa takut dan malu, Gi-hu (ayah angkat)."

   Cia Sin Liong mengerutkan alisnya dan sikapnya sungguh-sungguh.

   "Justeru hal inilah yang berbahaya, yaitu merasa dirimu bersalah sehingga engkau menjadi ketakutan dan malu. Mengapa engkau harus takut dan malu, Thian Sin?"

   
Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Pertanyaan itu tentu saja mencengangkan hati kedua orang muda itu.

   "Tapi... Gi-hu, menurut wejangan paman Hong San Hwesio, hal itu amat berbahaya bagi kami. Paman Hong San Hwesio telah memesan dengan sungguh-sungguh agar kami jangan bermain-main dengan diri sendiri sehingga mengeluarkan mani, bahkan menjaga agar jangan sampai mengeluarkan mani sama sekali karena hal itu akan menghilangkan tenaga sakti dalam tubuh."

   Cia Sin Liong mengangguk-angguk.

   "Memang tidak terlalu keliru pernyataan bahwa hal itu akan melemahkan, akan tetapi bukan untuk seterusnya. Tenaga sakti yang keluar itu akan dapat pulih kembali. Memang hal itu tidak baik, akan tetapi yang lebih tidak baik lagi, yang lebih berbahaya lagi adalah perasaan takut dan malu itulah. Hal itu akan membuat engkau menjadi rendah diri, merasa berdosa dan selalu merasa malu menentang pandang mata orang lain karena merasa seolah-olah orang-orang lain tahu belaka akan keadaan dirimu. Tidak, Thian Sin, jangan engkau merasa takut dan malu! Hal yang seperti kau alami itu adalah hal yang lumrah dan banyak dialami oleh para muda, oleh karena itu tenangkan hatimu. Itu tidak merupakan hal yang terlalu hebat. Tentu saja akan lebih baik kalau sampai tidak terjadi dan kalau engkau lebih mencurahkan perhatian kepada pelajaran-pelajaranmu, baik pelajaran silat atau pelajaran sastera, mengisi waktu dengan hal-hal yang berharga dan tidak terlalu membayang-bayangkan hal-hal yang dapat menimbulkan nafsu berahi, maka hal inipun takkan terjadi, atau tidak sering mengganggumu."

   Bukan main lega rasa hati Thian Sin mendengar keterangan ayah angkatnya itu, akan tetapi dia pun merasa malu karena pendekar itu menyambung.

   "Betapapun juga, kalau hal itu terlalu sering terjadi, amat tidak baik bagi kemajuan latihan silatmu, dan juga hal itu menandakan suatu batin yang lemah."

   Memang harus diakui, hal seperti yang dialami oleh Thian Sin itu, yaitu bermimpi dan menumpahkan mani di waktu tidur, banyak dialami oleh pemuda-pemuda yang menanjak dewasa. Bahkan perbuatan onanipun banyak dilakukan oleh pemuda-pemuda untuk memperoleh kepuasan seksuil tanpa harus berhubungan dengan wanita karena untuk hal itu mereka belum berani melakukannya dan tidak mempunyai kesempatan untuk melakukannya. Dan betapa banyaknya pemuda yang merasa tersiksa, diam-diam merasa seolah-olah dia telah melakukan sesuatu yang amat buruk dan berdosa, namun hal itu telah menjadi, kebiasaan yang mencandu, yang sukar dilepaskannya, dia telah terikat oleh rangsangan kenikmatan yang menuntut pengulang-ulangan, dan setiap kali habis melakukan hal itu timbul rasa menyesal yang membuat dia akan merasa semakin rendah diri.

   

Pendekar Lembah Naga Eps 38 Pendekar Lembah Naga Eps 31 Dewi Maut Eps 45

Cari Blog Ini