Ceritasilat Novel Online

Asmara Berdarah 37


Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo Bagian 37



"Kalau begitu mari kita keluar dan mengamuk dan membasmi para pemberontak keparat yang ditunggangi golongan hitam itu!"

   Hui Song mengangkat tangan kanan dengan tinju terkepal, disambut sorak sorai para saudara seperguruannya.

   "Tahan dulu..."

   Tiba-tiba Sui Cin berseru.

   "Kurasa tidak benar kalau kita terjun ke dalam pertempuran..."

   "Kami hendak berjuang dan untuk itu kami tidak takut kehilangan nyawa, kenapa kau katakan tidak benar?"

   Tiba-tiba Siang Wi berkata dengan alis berkerut. Ia tahu bahwa ada hubungan kasih antara suhengnya dan Sui Cin, dan bagaimanapun juga hal ini menimbulkan rasa tidak suka dalam hatinya terhadap gadis yang dianggapnya telah merebut hati pria yang sejak kecil dicintanya itu.

   "Cin-moi, apa maksudmu menyalahkan maksud kami menyerbu keluar?"

   Hui Song juga bertanya dan memandang heran.

   "Song-ko, menyerbu keluar dan ikut bertempur sama saja dengan bunuh diri..."

   "Kami tidak takut mati!"

   Siang Wi membentak. Gadis ini sudah mencabut sepasang pedangnya sejak tadi dan mukanya masih basah air mata ketika ia menangisi kematian subonya tadi. Sui Cin tersenyum melihat sikap Siang Wi itu, dan ia mengalihkan pandang matanya kepada Hui Song.

   "Song-ko, engkau tahu bahwa semua orang gagah tidak takut mati. Akan tetapi menceburkan diri dalam pertempuran adalah perbuatan nekat atau membunuh diri. Harus diingat bahwa yang menyerbu Cengtek ini adalah barisan suku bangsa utara dan mereka sudah mendengar bahwa Cin-Ling-Pai membantu pemberontak. Mereka itu tidak akan percaya semua alasan kita dan mereka tentu akan menganggap Cin-Ling-Pai sebagai musuh pula. Dan kita berada di dalam kota benteng seperti sekumpulan burung dalam sangkar perangkap. Kalau kita sekarang menyerbu keluar dan ikut bertempur di dalam kota, akhirnya kita semua akan tewas..."

   "Itulah resiko perjuangan! Kalau kau takut, tak perlu ikut dengan kami!"

   Siang Wi berseru.

   "Sumoi, diamlah!"

   Hui Song mencela sumoinya.

   "Cin-moi, lanjutkan bicaramu."

   Dia mulai tertarik. Dia sudah mengenal siapa Sui Cin, gadis perkasa yang suka bertualang dan memiliki keberanian yang amat besar, dan tidak mungkin gadis seperti Sui Cin takut bertempur. Sui Cin tetap tersenyum, tidak marah melihat sikap Siang Wi.

   "Sumoimu memang penuh semangat, Song-ko. Sudah kukatakan tadi bahwa kalau kita menceburkan diri dalam pertempuran, berarti kita nekat dan membunuh diri. Dan perjuangan bukanlah usaha nekat dan bunuh diri! Mati konyol karena kenekatan itu malah merugikan perjuangan dan tiada gunanya sama sekali. Lebih berguna kalau kita berlaku cerdik. Kenekatan bukah perbuatan gagah perkasa, bukan suatu keberanian melainkan kebodohan orang yang sudah putus asa dan kehilangan akal. Kalau masih bisa dicari jalan yang lebih baik, kenapa mesti nekat dan mati konyol?"

   "Lalu menurut pendapatmu, apa yang harus kita lakukan, Cin-moi?"

   "Kita menyerbu keluar, akan tetapi bukan untuk menceburkan diri dalam pertempuran melawan pemberontak dan membantu suku bangsa utara, melainkan untuk membuka jalan darah dan meloloskan diri keluar dari kota benteng ini."

   "Apa? Melarikan diri? Aku tidak mau menjadi pengecut!"

   Siang Wi kembali berteriak. Hui Song memandang sumoinya dengan alis berkerut dan memberi isyarat kepadanya agar tidak banyak bicara.

   "Melarikan diri bukan karena takut, melainkan dengan perhitungan. Kalau kita sudah lolos dari kota benteng ini, kita dapat menyusun kekuatan dan siasat baru untuk bertindak selanjutnya menghadapi perkembangan dan dapat menarik keuntungan sebesarnya bagi perjuangan kita. Apakah itu pengecut namanya? Dalam urusan besar, tidak boleh hanya mengandalkan perasaan dan nafsu dendam belaka, melainkan harus mempergunakan kecerdikan dan ketenangan."

   Hui Song mengangguk-angguk.

   "Benar sekali apa yang diucapkan Cin-moi. Kita semua tidak boleh membuang nyawa sia-sia belaka. Kita keluar dari kota ini. Aku harus mencari ayah di Sanhaikoan dan kalau dapat berjumpa dengan ayah, baru kita tentukan langkah selanjutnya. Mari kita keluar, berpencar dan mencari jalan keluar, lalu berkumpul di sebelah selatan kota raja, di dalam hutan cemara itu!"

   Siang Wi terpaksa tidak membantah perintah suhengnya dan merekapun lalu keluar dan menyerbu sambil berpencar, mencari jalan keluar dan merobohkan setiap orang perajurit pemberontak yang berani menghalang di depan mereka. Sementara itu, pertempuran masih berlangsung dengan amat serunya antara pasukan para suku bangsa utara dan pasukan pemberontak.

   Penyerbu sudah berhasil membobolkan pintu benteng dan kini pertempuran terjadi di mana-mana, di seluruh kota walaupun yang paling ramai terjadi di pintu-pintu gerbang yang kini semua telah dibuka secara paksa oleh pihak penyerbu. Karena ada Sui Cin di samping mereka, orang-orang Cin-Ling-Pai hanya dihalangi oleh para perajurit pemberontak saja. Perajurit-perajurit suku bangsa utara semua mengenal Sui Cin sehingga gadis ini dapat mencegah para penyerbu itu menyerang orang-orang Cin-Ling-Pai. Dengan demikian, akhirnya mereka dapat lolos keluar dari kota benteng Cengtek walaupun jumlah mereka sudah berkurang pula. Setibanya di dalam hutan cemara, Hui Song lalu mengajak Siang Wi dan para saudara lainnya untuk pergi ke Sanhaikoan mencari ayahnya. Sui Cin tidak mau ikut.

   "Song-ko, aku harus tinggal di sini membantu subo Yelu Kim menghancurkan pemberontak."

   Hui Song terbelalak.

   "Apa? Dan engkau sudah tahu bahwa nenek itu mempunyai niat untuk menyerbu ke selatan! Apakah engkau akan membantu pemberontaken baru yang direncanakan oleh suku bangsa liar itu?"

   Sui Cin tersenyum dan menggeleng kepala.

   "Song-ko, engkau tentu tahu bahwa aku hanya mau membantu mereka menentang dan menyerbu para pemberontak yang dipimpin Raja Iblis. Kalau tiba saatnya mereka akan menentang pemerintah kita, tentu aku tidak akan membantu mereka, bahkan menentang mereka. Siapa tahu dengan halus aku dapat membujuk subo Yelu Kim untuk tidak melanjutkan rencananya yang gila itu. Nah, bukankah perjuangan dapat dilakukan dengan bermacam cara, pokoknya membela nusa dan bangsa?"

   Hui Song merasa kecewa sekali harus berpisah lagi dari gadis yang dicintanya itu, akan tetapi dia maklum bahwa dalam keadaan seperti itu dia harus mengeraskan hatinya dan mengesampingkan semua urusan dan perasaan pribadi.

   Dia harus mencari ayahnya, dan apa yang dikatakan Sui Cin tadi memang tepat. Gadis ini bukan orang sembarangan dan selalu memakai perhitungan yang matang. Mungkin apa yang mampu dilakukan Sui Cin pada waktu itu akan jauh lebih besar gunanya dari pada apa yang mampu dilakukan oleh para pendekar lain. Maka diapun berpamit dan bersama rombongannya pemuda ini lalu meninggalkan Sui Cin. Gadis inipun segera kembali ke induk pasukan dan bertemu dengan Yelu Kim membuat laporan. Nenek itu merasa girang sekali dan memuji-muji muridnya. Pertempuran masih terus berlangsung. Biarpun pihak penyerbu berhasil membobolkan pintu gerbang, namun kekuatan pasukan pemberontak juga cukup besar sehingga pertempuran itu berlangsung sampai semalam suntuk.

   Dan pada keesokan harinya, setelah bertempur mati-matian, akhirnya pasukan Yelu Kim mulai mendesak pasukan pemberontak yang mempertahankan kota Cengtek, dan pasukan pemberontak mulai melarikan diri keluar kota. Selagi pasukan Yelu Kim mengobrak-abrik kota dan siap mendudukinya, tiba-tiba datang pasukan bala-bantuan dari Sanhaikoan dan kembali terjadi pertempuran yang hebat lagi. Sekali ini, pasukan Yelu Kim yang sudah menduduki benteng itu menjadi pihak yang bertahan, mempertahankan benteng itu, sedangkan barisan pemberontak yang datang dari Sanhaikoan itu menjadi pihak penyerbu! Perhitungan Panglima Yang Ting Houw memang tepat sekali. Dia tidak tergesa-gesa mengerahkan pasukan pemerintah untuk menggempur pasukan pemberontak yang telah menduduki Sanhaikoan dan Cengtek,

   Melainkan memimpin bala-tentara ke utara secara diam-diam dan membiarkan pihak pemberontak bertempur melawan pasukan suku bangsa liar di utara. Peristiwa penyerbuan Cengtek oleh pasukan suku bangsa di utara itu diikuti dengan gembira oleh Panglima Yang Ting Houw dan para perwira pembantunya, juga mereka melihat betapa Sanhaikoan dikerahkan untuk menolong Cengtek. Inilah saat yang ditunggu-tunggu oleh Panglima Yang itu. Pasukannya sudah berkumpul dan kini pasukan yang besar jumlahnya itu dia bagi dua, yang sebagian menyerbu Sanhaikoan dan sebagian lagi menyerang pasukan pemberontak yang sedang berusaha merebut kembali Cengtek itu dari belakang, setelah membiarkan pasukan pemberontak itu mati-matian bertempur melawan pasukan utara yang telah menduduki Cengtek.

   Dan dalam penyerbuan ke Sanhaikoan ini, pasukan pemerintah dibantu oleh orang-orang gagah yang datang menawarkan tenaganya dan yang diterima dengan gembira oleh Panglima Yang Ting Houw. Sebelum pasukan pemerintah melakukan penyerbuan ke Sanhaikoan, dua orang pendekar telah lebih dahulu memasuki kota benteng itu. Mereka adalah Cia Sun dan Siangkoan Ci Kang. Seperti kita ketahui, dua orang pendekar muda ini pergi ke Sanhaikoan untuk mencari jejak Toan Hui Cu yang dilarikan ayah kandungnya sendiri, yaitu Pangeran Toan Jit Ong atau Si Raja Iblis. Dengan ilmu kepandaian mereka yang tinggi, dua orang muda ini berhasil menyelundup memasuki kota benteng Sanhaikoan dan mereka lalu berpencar, mencari jalan sendiri-sendiri setelah mereka berjanji bahwa sebuah kelenteng tua di sudut barat kota itu menjadi tempat pertemuan mereka.

   "Jika menemukan sesuatu yang penting, kita harus saling berhubungan,"

   Kata Cia Sun sebelum mereka berpisah.

   "Dan di belakang kuil ini, tepat jam dua belas malam, kita dapat mengadakan pertemuan."

   Mereka lalu berpisah dan menyelinap dengan cepat, menghilang ke dalam kegelapan malam.

   Ci Kang merasa bingung, bagaimana dia akan dapat bersembunyi di waktu siang, akan tetapi dia tidak kekurangan akal. Ketika dia melihat banyaknya orang berpakaian tentara yang ketika saling berpapasan di jalan tidak saling menegur seperti tidak saling mengenal, dia memperoleh akal. Dia dapat menduga bahwa saking banyaknya jumlah perajurit, apalagi mengingat bahwa banyak pula orang-orang kaum sesat yang membantu pasukan pemberontak, tentu di antara mereka banyak yang tidak saling mengenal. Dia mencari kesempatan baik dan ketika melihat seorang perajurit yang tubuhnya sebesar dia berjalan seorang diri di tempat yang agak sunyi, dia telah menotoknya dan perajurit itupun roboh pingsan tanpa sempat melihat siapa yang merobohkannya. Tentu saja kalau dia menghendaki, sekali pukul saja dia mampu membunuh perajurit itu.

   Akan tetapi, semenjak berguru kepada Ciu-sian Lokai, hatinya semakin mantap untuk tidak sembarangan melakukan kekerasan-kekerasan terutama sekali membunuh, seperti yang dilakukan oleh mendiang ayahnya dan para kaum sesat pada umumnya. Diapun tidak membunuh perajurit itu, melainkan hanya melucuti pakaiannya dan melemparkan tubuh yang pingsan itu ke balik semak-semak. Setelah perajurit itu siuman kembali, tentu saja dia merasa heran dan ketakutan setengah mati. Dia tidak melihat siapa penyerangnya, tahu-tahu pingsan dan telanjang, hanya memakai pakaian dalam, terbaring di semak-semak. Maka diapun diam saja, merasa malu untuk bercerita kepada orang lain bahwa dia telah dibawa "siluman"

   Dan hal ini menguntungkan Ci Kang yang tidak menarik perhatian atas kecurigaan orang lain.

   Mudah bagi Ci Kang untuk berkeliaran di kota benteng itu, bahkan di siang haripun dia berani jalan-jalan. Kalau berpapasan dengan rombongan perajurit yang tidak mengenalnya, rombongan itu tidak menjadi curiga karena memang banyak perajurit yang tidak saling mengenal di tempat itu. Demikianlah, ketika ketua Cin-Ling-Pai, Cia Kong Liang, dikepung dan dikeroyok oleh para perajurit, dengan mudah tanpa dicurigai siapapun juga, Ci Kang dapat menyelundup dan ikut pula mengeroyok. Dia mengikuti semua percakapan antara ketua Cin-Ling-Pai itu dengan Ji-ciangkun dan Raja Iblis, dan dia merasa bingung sekali. Kalau dia turun tangan menolong dengan kekerasan, walaupun ketua Cin-Ling-Pai itu lihai, namun dia tahu bahwa mercka berdua tidak akan mampu menghadapi pengeroyokan banyak perajurit.

   Maka diapun cepat mempergunakan ilmu mengirim suara dari jauh untuk membisiki Cia Kong Liang agar menyerah saja karena dia maklum bahwa Raja Iblis tidak menghendaki ketua Cin-Ling-Pai itu dibunuh, melainkan hendak ditawan saja dan dijadikan sandera. Dan ketua Cin-Ling-Pai itupun menurut sehingga ditangkap dan dimasukkan dalam tahanan dan dijaga dengan ketat. Karena Ci Kang dapat pula menyelundup ke dalam tempat penjagaan penjara, maka diapun pada malam hari itu berhasil menyelundupkan sehelai surat yang dilipat-lipat kecil dan dilemparkannya mengenai tangan ketua Cin-Ling-Pai yang kedua lengannya diborgol di depan. Kong Liang memandang ke arah perajurit tinggi tegap itu dan tahulah dia bahwa perajurit itu pula yang berbisik kepadanya agar dia menyerah. Dia mengangguk perlahan sambil mengepal lipatan surat itu.

   Setelah dia dibiarkan sendiri dan memperoleh kesempatan, dia membuka lipatan surat itu yang hanya terisi beberapa huruf yang isinya memperkenalkan perajurit muda itu bernama Siangkoan Ci Kang murid Ciu-sian Lokai yang menentang Raja Iblis. Dan surat itu mengatakan pula bahwa untuk sementara, penjara itu merupakan tempat yang aman bagi Cia Kong Liang dan ketua itu diminta untuk bersabar karena kalau sudah tiba saatnya yang baik, tentu Ci Kang akan membebaskannya. Membaca surat ini, Kong Liang merasa girang dan berterima kasih sekali, juga kagum akan kecerdikan pemuda itu. Dia merasa setuju bahwa untuk sementara penjara ini memang merupakan tempat aman baginya. Andaikata dia melepaskan belenggu kaki tangannya sekalipun, agaknya akan sukarlah baginya untuk dapat lolos dari Sanhaikoan yang terjaga kuat itu, apalagi di situ terdapat banyak sekali orang yang amat lihai.

   Dia lalu menggunakan tenaga sinkangnya untuk meremas sampai hancur kertas surat itu dan bersila dengan tenang, walaupun sukar baginya menekan kegelisahannya memikirkan keadaan isteri, ayah mertua, dan murid-muridnya yang masih berada di Cengtek. Bagaimana dengan pengalaman Cia Sun? Pemuda ini seperti juga Ci Kang, mendapatkan akal untuk dapat melakukan penyelidikan dengan baik, yaitu menyamar sebagai seorang perajurit. Akan tetapi berbeda dengan Ci Kang, sesuai dengan gemblengan Gobi Sanjin, dia bertindak keras dan tanpa ampun kepada perajurit yang ditangkapnya untuk diambil pakaiannya. Dia membunuh perajurit pemberontak itu dan mengenakan pakaiannya sendiri kepada mayat perajurit itu yang tewas tanpa terluka karena pukulan ampuhnya membuatnya tewas seketika tanpa luka.

   Orang yang menemukan perajurit itu tentu akan mengira bahwa perajurit yang berpakaian preman itu mati karena penyakit mendadak! Pada suatu malam, ketika Cia Sun sedang berjalan-jalan dengan aman dalam pakaian perajurit pengawal, dia melihat Raja Iblis berjalan diikuti oleh empat orang bertubuh tegap dan berpakaian seragam, akan tetapi bukan seragam perajurit. Cia Sun yang maklum akan lihainya Raja Iblis, tidak berani sembarangan bergerak, bahkan membayanginya dengan hati-hati, dan berjalan sebagai seorang perajurit yang sedang bertugas ronda. Untung baginya bahwa Raja Iblis dan empat orang pengikutnya itu tidak begitu memperhatikannya, atau mungkin juga melihatnya dan tidak curiga karena memang banyak perajurit berkeliaran di dekat bangunan besar itu.

   Ketika Raja Iblis dan empat orang itu memasuki sebuah pintu tembusan kecil di samping bangunan, terpaksa Cia Sun tidak berani mengikutinya lagi, apa pula di depan pintu kecil itu terdapat dua orang penjaga yang memegang tombak. Sebuah pintu tembusan saja dijaga, tentu tempat itu merupakan gedung yang penting pula. Akan tetapi dia merasa penasaran. Dia harus dapat menyelidiki apa yang dilakukan oleh Raja Iblis di dalam gedung itu. Siapa tahu Hui Cu yang dilarikan bekas pangeran itupun kini berada di situ. Cia Sun lalu mengambil keputusan nekat. Dengan gerakan yang amat cepat, dia menerjang dua orang penjaga itu secepat kilat dari tempat gelap dan dua kali tangannya bergerak, dua orang penjaga pintu kecil itu roboh dan tewas tanpa dapat mengeluarkan suara sedikitpun juga.

   Cia Sun lalu memanggul tubuh dua orang penjaga yang sudah tidak bernyawa itu berikut tombak mereka, dan di belakang sebuah rumah yang sunyi, dia melemparkan mereka ke atas tanah, lalu mengatur mereka sedemikian rupa sehingga mereka itu seolah-olah tewas karena saling tusuk dengan tombak yang masih dipegang di tangan. Kalau ada yang menemukan dua orang penjaga ini, tentu mereka akan mengira bahwa dua orang perajurit ini telah berkelahi dan mati sampyuh terkena tombak masing-masing. Setelah itu, dengan berani Cia Sun menyelinap masuk ke dalam pintu kecil yang ternyata membawa dia ke dalam sebuah taman yang luas. Untung bahwa taman itu penuh dengan pohon-pohon bunga yang rimbun sehingga dia dapat menyelinap di antara pohon-pohon dan semak-semak mendekati sebuah bangunan besar yang gelap.

   Giranglah hatinya ketika tiba-tiba dia melihat Raja Iblis dan empat orang pengikutnya tadi keluar dari dalam bangunan besar dan kini dengan langkah lebar menuju ke sebuah bangunan kecil di belakang taman. Raja Iblis membuka daun pintu, diikuti oleh empat orang tadi dan mereka berlima masuk ke dalam. Cia Sun cepat mengintai dari balik sebuah jendela samping. Karena tidak terdapat lubang di jendela itu, terpaksa dia hanya mampu mendengarkan, akan tetapi tidak dapat melihat apa yang terjadi di sebelah dalam. Akan tetapi, apa yang didengarnya sudah cukup baginya, membuat jantungnya berdebar keras karena dia mengenal suara seorang gadis, suara Hui Cu yang menyambut kedatangan ayah kandungnya itu dengan kata-kata yang ketus.

   "Iblis tua, mau apalagi engkau datang ke sini?"

   Terdengar suara Hui Cu menyambut Raja Iblis dengan kata-kata pedas. Kini terdengar suara Raja Iblis yang suaranya aneh seperti datang dari tempat jauh, akan tetapi suara itu menggetar penuh wibawa dan menembus dinding bangunan kecil itu.

   "Hui Cu, aku datang untuk memperingatkanmu yang penghabisan kalinya. Tinggal kau pilih, mau menjadi isteriku atau menjadi anakku. Kalau menjadi isteriku, engkau akan hidup senang di sampingku, apalagi kalau dapat menurunkan anak laki-laki untukku. Kalau menjadi anakku, aku akan membunuhmu dengan tanganku sendiri. Dan besok malam engkau harus sudah dapat memberi kepastian, mau hidup senang sebagai isteriku atau mati!"

   "Iblis tua tak tahu malu! Aku tidak sudi menjadi isterimu, juga tidak sudi menjadi anakmu! Mau bunuh, bunuhlah."

   Diam-diam Cia Sun kagum kepada Hui Cu. Biarpun Hui Cu puteri tunggal pasangan suami isteri iblis seperti Raja dan Ratu Iblis, akan tetapi ternyata Hui Cu memiliki semangat dan watak yang gagah perkasa, bahkan berani menantang ayahnya, walaupun ia tahu bahwa ayahnya itu adalah manusia berwatak iblis. Di samping kekagumannya, juga Cia Sun merasa khawatir sekali. Kalau Raja Iblis turun tangan sekarang juga membunuh puterinya, dia sendiri jelas tidak mungkin akan dapat menolong Hui Cu. Akan tetapi hatinya merasa lega karena tidak terjadi gerakan sesuatu di dalam pondok itu, bahkan kini nampak Raja Iblis keluar dari situ bersama empat orang pengikutnya dan bekas pangeran itu berkata,

   "Sukwi, kalian harus menjaganya mulai sekarang sampai besok malam. Jangan sampai ia lolos dan andaikata ibunya sendiri yang datang untuk membebaskannya, kalian harus melarangnya. Hanya kalian berempat yang akan mampu menandingi ibunya. Awas, kalau sampai ia lolos dari sini, kepala kalian menjadi gantinya."

   Empat orang itu bersikap siap dan mengangguk, kemudian mereka tinggal di ruang depan bangunan kecil itu ketika Raja Iblis pergi dengan langkah lebar dan cepat. Sejenak Cia Sun termangu-mangu. Menurutkan dorongan hatinya, ingin dia menerjang ke dalam pondok itu untuk membebaskan Hui Cu. Akan tetapi, dia ragu-ragu. Baru saja dia mendengar sendiri ucapan Raja Iblis bahwa hanya empat orang itu saja yang akan mampu menandingi Ratu Iblis! Padahal Ratu Iblis memiliki kepandaian yang amat tinggi.

   Dan empat orang ini disebut Sukwi (Empat Setan) oleh Raja Ibils, maka teringatlah Cia Sun akan keterangan gurunya, Gobi Sanjin bahwa di antara Cap-sha-kui (Tiga Belas Setan) terdapat empat orang yang lihai sekali berjuluk Hui-thian Sukwi (Empat Setan Terbang ke Langit)! Agaknya empat orang Inilah mereka. Maka dia ragu-ragu apakah dia akan mampu mengalahkan empat orang ini. Andaikata mampu sekalipun, tentu akan memakan waktu dan keributan itu tentu akan diketahui oleh pengawal-pengawal lain dan kalau sudah begitu, dia akan celaka sebelum mampu membebaskan Hui Cu. Maka diapun diam-diam meninggalkan pondok itu. Raja Iblis memberi waktu cukup panjang kepada Hui Cu. Sampai besok malam. Berarti malam ini ia tidak akan diganggu. Dan kalau dia maju bersama Ci Kang, agaknya tidak akan sukar menolong Hui Cu. Menjelang tengah malam, dua orang pemuda yang gagah perkasa itu saling bertemu di kuil sunyi.

   Mereka berbisik-bisik saling menceritakan pengalaman mereka masing-masing. Mendengar betapa ketua Cin-Ling-Pai yang masih terhitung paman dari ayahnya itu ternyata kini berbalik menjadi musuh Raja Iblis dan menjadi tawanan, hati Cia Sun merasa lega. Tadinya diapun ikut prihatin mendengar betapa paman ayahnya itu bersekutu dengan kaum sesat. Apalagi mendengar dari Ci Kang bahwa ketua Cin-Ling-Pai itu tertipu dan kini untuk sementara aman di dalam kamar tahanan karena Raja Iblis tidak berniat membunuhnya sekarang. Dia lalu menceritakan kepada Ci Kang tentang Hui Cu yang ditahan di dalam sebuah bangunan kecil, dan percakapan antara ayah dan anak itu seperti yang telah didengarnya. Mendengar betapa Raja Iblis hendak memaksa Hui Cu menjadi isterinya, dan betapa Hui Cu lebih memilih mati, Ci Kang mengepalkan tinjunya.

   "Manusia itu sungguh lebih keji dari pada iblis! Anak kandungnya sendiri akan diperisteri!"

   "Akan tetapi sikap Hui Cu sungguh mengagumkan. Di depan iblis itu sendiri ia berani mengatakan bahwa ia tidak sudi menjadi anaknya atau isterinya, menantang mati!"

   Kata Cia Sun.

   "Gadis itu memang hebat, Cia Sun, dan ia mencintamu!"

   Wajah Cia Sun berobah merah.

   "Hemm, dalam keadaan seperti sekarang ini, jangan kau berkelakar, Ci Kang!"

   "Tidak, Cia Sun, aku mengatakan sejujurnya. Gadis itu tergila-gila kepadamu dan jatuh cinta kepadamu."

   Cia Sun mengerutkan alisnya dan menarik napas panjang sampai tiga kali. Dia percaya kepada Ci Kang dan pemuda perkasa di depannya ini tidak akan mau membohonginya. Maka diapun merasa kasihan sekali kepada Hui Cu.

   "Kasihan Hui Cu..."

   Katanya, kata-kata yang tanpa disadarinya keluar dari mulut, langsung dari dalam hatinya. Ci Kang menatap tajam, berusaha menembus kegelapan malam untuk menjenguk isi hati sahabat yang dikaguminya ini.

   "Cia Sun, apakah kata-katamu itu berarti bahwa engkau tidak membalas cintanya?"

   Cia Sun menggeleng kepalanya.

   "Ahh, kalau begitu kasihan sekali Hui Cu..."

   Kata Ci Kang yang mengerutkan alisnya mengenang nasib gadis yang patut dikasihani itu.

   "Memang kasihan sekali Hui Cu. Akan tetapi aku harus berterus terang, aku mencinta seorang gadis lain, jadi tak mungkin aku mencintanya."

   Ci Kang memandang tajam sesaat lamanya, lalu berkata,

   "Sudahlah, mari kita menolongnya sebelum terlambat."

   Dua orang pemuda perkasa yang sama-sama berpakaian sebagai perajurit pemberontak itu lalu berangkat menuju ke bangunan yang dimaksudkan Cia Sun. Dia menjadi penunjuk jalan dan Ci Kang mengikutinya di belakangnya. Mereka bergerak cepat menyusup-nyusup, dan Kadang-kadang kalau ada perajurit-perajurit lain mereka bersikap wajar,

   Bergandengan dan sempoyongan seperti dua orang perajurit setengah mabok, pemandangan yang biasa saja. Setelah tiba di dekat pondok di mana Hui Cu ditahan, dua orang pemuda itu bergerak perlahan sesuai rencana yang telah mereka atur ketika mereka menuju ke tempat itu. Ci Kang dan Cia Sun kini berpencar. Ci Kang menghampiri empat orang penjaga yang duduk sambil bercakap-cakap itu dari depan, sedangkan Cia Sun menyelinap dari samping pondok di mana terdapat jendela yang dipergunakan untuk mendengarkan percakapan tadi. Sesuai yang telah direncanakan, Ci Kang berpura-pura mabok, berjalan terhuyung-huyung ke arah empat orang Hui-thian Sukwi yang sedang duduk di atas bangku di depan pondok. Melihat seorang perajurit mabok menghampiri mereka, Sukwi menjadi marah.

   "Hei, perajurit tolol! Pergi dari sini dan jangan ganggu kami!"

   Bentak seorang dari mereka yang bermuka pucat.

   "Heh-heh-hoh-hoh..."

   Ci Kang tertawa seperti orang mabok.

   "Sobat, mari kau temani aku minum arak. Kau perlu minum banyak arak agar mukamu tidak pucat seperti mayat, Heh-heh-heh!"

   Dia menunjuk ke arah muka yang menegurnya tadi. Si muka pucat itu menjadi marah dan bangkit berdiri.

   "Manusia goblok! Berani kau mengeluarkan kata-kata sembarangan terhadap kami? Kami adalah Hui-thian Sukwi, pengawal pribadi Toan Ongya!"

   "Hah hah, agaknya majikanmu kurang memberi upah kepadamu sehingga badanmu kurus mukamu pucat kurang makan..."

   "Eh, keparat mulut lancang! Kuhancurkan mulutmu..."

   Si muka pucat menjadi marah sekali dan sekali menggerakkan tubuhnya, tubuh itu sudah mencelat ke depan Ci Kang dan tangannya menampar ke arah mulut Ci Kang dengan keras sekali karena si muka pucat itu agaknya hendak benar-benar menghancurkan mulut perajurit yang berani menghinanya itu. Diam-diam Ci Kang terkejut menyaksikan gerakan ginkang yang demikian ringan dan cepatnya dan tahulah dia mengapa mereka ini dijuluki Hui-thian (Terbang ke Langit). Kiranya mereka adalah ahli-ahli ginkang yang cukup tinggi tingkat kepandaiannya. Akan tetapi tamparan tangan itu menunjukkan tenaga yang tidak perlu dikhawatirkan. Maka dia hanya mundur sedikit sambil miringkan mukanya sehingga bukan mulutnya yang kena tampar, melainkan pipinya.

   "Plakkk..."

   Ci Kang sempoyongan dan hampir roboh, ditertawai oleh empat orang itu. Ci Kang bangkit dan mengusap pipinya yang menjadi merah, matanya melotot dan diapun maju sambil menudingkan telunjuknya ke arah hidung orang yang tadi menamparnya.

   "Kau monyet tak tahu malu, manusia tidak mengenal budi. Diajak minum arak malah memukul. Aku harus membalas pukulanmu!"

   Dan dengan gerakan sembarangan saja diapun menerjang maju hendak memukul kepala si muka pucat. Melihat gerakan Ci Kang, si muka pucat tentu saja memandang rendah dan dia sudah menggerakkan tangannya hendak menangkis dan menangkap lengan lawan untuk dipuntir dan ditelikung. Akan tetapi, tangan yang memukul kepalanya itu berkelebat aneh dan tahu-tahu pipinya telah kena ditampar.

   "Plakkk..."

   Keras sekali tamparan itu, membuat kepala si muka pucat terasa nanar dan tentu saja ia menjadi marah bukan main. Kemarahan membuat dia lengah dan dia masih tetap memandang rendah kepada perajurit mabok ini ketika dia membalas pula dengan tendangan tenaga yang cukup kuat. Akan tetapi, Ci Kang dengan mudah mengelak dengan lagak sempoyongan dan pada saat kaki lawan masih terangkat, ujung sepatunya menotok ke arah lutut kaki lawan yang masih berpijak di atas tanah dan tanpa dapat dicegah lagi tubuh si muka pucat itupun terpelanting!

   "Ha ha!"

   Ci Kang tertawa-tawa seperti orang mabok dan bertepuk-tepuk tangan kegirangan sambil memandang orang yang terpelanting itu. Kini tiga orang lainnya juga bangkit berdiri. Orang yang mampu menampar teman mereka, bahkan mampu merobohkan dalam segebrakan saja, pasti bukan perajurit biasa!

   "Siapa engkau?"

   Bentak mereka dan kini mereka sudah mengurung bersama si muka pucat yang sudah bangkit kembali. Akan tetapi Ci Kang bersikap pura-pura takut dikurung empat orang itu dan tiba-tiba diapun melompat ke belakang menjauhi empat orang itu yang kini menjadi semakin terkejut karena mereka yang mengurung itu ternyata tidak mampu menahan perajurit yang melompat jauh ke belakang itu. Dan cara melompat Ci Kang juga mengejutkan mereka. Ci Kang melayang ke arah belakang begitu saja dan berjungkir balik sampai lima kali!

   Mereka dapat menduga bahwa orang yang berpakaian perajurit dan bersikap mabok-mabokan itu tentulah orang lihai yang mungkin adalah mata-mata musuh! Maka, kini empat orang Hui-thian Sukwi itu lalu mencabut pedang mereka dan melakukan pengejaran. Ci Kang sengaja memancing mereka agar menjauhi pondok dan pada saat itu, Cia Sun sudah cepat menyelinap masuk melalui jendela yang dibongkarnya dari luar. Dan benar saja, tepat seperti yang diduganya, di dalam pondok itu terdapat Hui Cu yang dibelenggu kaki tangannya dan rebah di atas sebuah pembaringan! Cia Sun tidak banyak bicara, cepat dia menghampiri dan menggunakan sinkangnya mematahkan belenggu yang mengikat kaki dan tangan Hui Cu. Gadis itu terbelalak dan wajahnya berseri-seri ketika mengenal siapa pemuda yang menolongnya.

   "Cia-toako..."

   Keluhnya setelah kaki tangannya bebas dan ia hendak berlari menghampiri, akan tetapi karena terlalu lama kakinya dibelenggu, aliran darahnya terganggu dan iapun terhuyung dan tentu terbanting kalau saja Cia Sun tidak cepat menyambarnya dan merangkulnya. Hui Cu menjadi
(Lanjut ke Jilid 35)
Asmara Berdarah (Seri ke 08 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 35
merah mukanya akan tetapi ia tersenyum dan balas merangkul leher Cia Sun dengan mesra dan penuh penyerahan. Ketika pemuda itu merasa betapa rangkulan Hui Cu tidak sewajarnya, melainkan rangkulan yang penuh arti, dia terkejut dan teringat akan ucapan Ci Kang bahwa gadis itu jatuh hati kepadanya, maka diapun cepat melepaskan rangkulannya dan membiarkan gadis itu berdiri.

   "Aku harus membantu Ci Kang yang sedang bertempur melawan Hui-thian Sukwi,"

   Katanya melihat betapa gadis itu memandang kecewa karena merasa betapa Cia Sun melepaskan rangkulan tadi dengan tiba-tiba dan agak kasar.

   "Ahhh..."

   Hui Cu seperti baru sadar.

   "Mereka itu lihai sekali. Akan tetapi jangan tinggalkan aku, lebih dulu bawa aku ke tempat rahasia yang hanya diketahui oleh ibu dan aku. Mari..."

   Ia menggandeng tangan Cia Sun dan diajaknya pcmuda itu melarikan diri melalui pintu belakang. Gadis itu terus membawanya ke dalam taman dan membuka sebuah semak-semak yang cukup tebal. Ternyata di bawah semak-semak ini terdapat sebuah bundaran besi yang segera digesernya dan nampaklah lubang. Hui Cu mengajak Cia Sun memasuki lubang itu dan ternyata di bawahnya terdapat tangga batu.

   Hui Cu menutupkan kembali bundaran besi dan segera otomatis semak-semak itupun ikut bergerak menutupi tempat rahasia itu. Hui Cu terus berjalan turun sambil menggandeng tangan Cia Sun. Tempat itu tidak begitu gelap dan sinar remang-remang keluar dari depan. Dan ternyata lorong yang menyambung tangga itu membawa mereka ke sebuah ruangan segi empat. Sebuah ruangan bawah tanah pula! Matahari dapat memasukkan sinarnya dari lubang-lubang yang terdapat pada retakan-retakan batu-batu yang berada di atas gua bawah tanah ini. Dan ternyata di ruangan itu terdapat sebuah lilin besar yang bernyala di atas meja. Nyala itu kecil saja karena sumbunya kecil, akan tetapi lilinnya besar sekali, sehingga kalau dibiarkan bernyala, mungkin dalam waktu sebulan belum habis! Dari nyala lilin inilah datangnya sinar remang-remang sampai ke lorong tadi.

   "Tempat ini aman, toako. Hanya diketahui oleh ibu saja. Ibu yang memberitahukan kepadaku agar kalau sewaktu-waktu aku dapat lolos dari tangan iblis tua itu, aku dapat bersembunyi dengan aman di sini. Ibu sengaja menyuruh seorang ahli bersama rombongannya membuat tempat ini dalam waktu dua hari setelah aku ditangkap iblis itu."

   Cia Sun mengerutkan alisnya.

   "Hemm, kalau begitu selain engkau dan ibumu, masih ada beberapa orang lain yang mengetahui rahasia tempat ini, yaitu para pembuatnya,"

   "Tidak, mereka itu berjumlah sembilan orang dan begitu tempat ini selesai, ibu telah membunuh mereka semua dan ibu bahkan menanam mayat mereka di dalam tanah di belakang ruangan ini!"

   Diam-diam Cia Sun bergidik mendengar kekejaman luar biasa itu. Ayah kandung gadis ini sudah jahat sekali, ternyata ibunya juga tidak kalah jahatnya. Yang amat mengherankan adalah gadis ini yang ternyata memiliki perangai yang jauh bedanya dengan ayah bundanya, seperti bumi langit!

   "Hui Cu, aku sekarang harus keluar membantu Ci Kang."

   Akan tetapi Hui Cu menghampirinya dan merangkulnya.

   "Jangan, toako... jangan tinggalkan aku lagi. Aku takut kalau engkau celaka... lalu... bagaimana dengan aku? Kalau engkau mati, akupun tidak mau hidup lagi, toako. Aku... cinta padamu..."

   Gadis itu mempererat pelukannya. Cia Sun menjadi bingung akan tetapi dia adalah seorang gagah yang harus berani bertindak tegas dan tepat. Dengan halus dia memegang kedua pundak Hui Cu dan mendorongnya ke belakang dan kini mereka saling pandang. Dengan sinar mata penuh iba Cia Sun menatap wajah cantik yang agak pucat itu.

   "Hui Cu, dengarlah baik-baik. Aku suka padamu, aku sayang padamu dan aku suka menjadi kakakmu. Akan tetapi sebelum aku bertemu denganmu, aku... aku sudah jatuh cinta kepada seorang gadis lain..."

   "Ahhh... Kalau begitu engkau tentu akan meninggalkan aku, toako..."

   
Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Tidak, biarpun aku tidak dapat berjodoh denganmu, aku akan selalu memperhatikan keadaanmu dan kalau perlu melindungimu. Aku sudah berhutang budi dan nyawa kepadamu, engkau seorang gadis baik... ah, aku harus membantu Ci Kang sekarang!"

   "Toako..."

   Hui Cu menahan tangisnya, akan tetapi kedua matanya basah.

   "Aku ikut keluar lagi membantu kalian..."

   "Jangan! Aku dan Ci Kang sudah susah-susah berusaha membebaskanmu, sekarang sudah bebas engkau hendak terjun kembali ke tempat berbahaya. Biarlah aku membantunya dulu, baru kami berdua masuk ke sini dan kita bicara."

   Gadis itu mengangguk.

   "Baiklah, toako. Aku percaya padamu, dan kalau engkau tidak kembali ke sini, sampai matipun aku tidak akan mau keluar dari tempat ini!"

   Cia Sun merasa terharu sekali.

   Dia mendekat, dipegangnya kedua pundak gadis itu dan dengan penuh rasa terharu dan sayang dia mencium kepala gadis itu, lalu berkelebat keluar dari ruangan melalui lorong dan naik kembali ke atas taman dengan membuka penutup besi dan menyingkap semak-semak. Ketika dia berlari ke depan pondok, ternyata Ci Kang dikurung oleh empat orang itu dan betapapun lihainya Ci Kang, dia terdesak juga oleh gerakan empat orang yang mengeroyoknya. Gerakan Hui-thian Sukwi itu memang benar-benar cepat dan ringan, dapat berloncatan seperti kijang saja. Melihat kawannya terdesak, Cia Sun cepat meloncat dan begitu dia menyerang kepungan terhadap Ci Kang itu pecah dan kini empat orang itu terkejut bukan main. Seorang perajurit lain datang dan ternyata perajurit yang baru datang ini kepandaiannya tidak kalah lihainya dari perajurit pertama! Setelah Cia Sun membantu, keadaan menjadi berobah.

   Sebentar saja kedua orang pendekar muda ini dapat mendesak empat orang lawan itu, bahkan mereka berdua mampu merampas pedang dan membuat dua orang lawan terpelanting. Hui-thian Sukwi menjadi gentar juga dan tiba-tiba mereka teringat kepada tawanan mereka. Tanpa mereka sadari, mereka telah terpancing menjauhi pondok dan perkelahian itupun terjadi jauh dari pondok. Teringat akan hal ini, juga gentar terhadap dua orang perajurit muda yang amat lihai itu, mereka lalu berloncatan meninggalkan gelanggang perkelahian dan kembali ke dalam pondok untuk menjaga agar tawanan mereka jangan sampai lolos. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati mereka ketika mereka memasuki pondok, ternyata tawanan itu telah lenyap, hanya tinggal borgol kosong berserakan di atas pembaringan!

   "Celaka..."

   Teriak si muka pucat dan merekapun keluar dari pondok dan berteriak-teriak minta tolong. Mendengar teriakan-teriakan ini, berbondong-bondong berdatanganlah perajurit-perajurit penjaga dan keadaan menjadi kalut. Ketika Hui-thian Sukwi mencari-cari, dua orang pemuda yang berpakaian perajurit itu telah lenyap pula dari situ! Mereka mengatur pasukan penjaga dan mencari-cari tanpa hasil.

   Tentu saja mereka tidak berhasil menemukan Ci Kang dan Cia Sun karena dua orang pemuda ini sudah aman berada di dalam gua bawah tanah bersama Hui Cu! Ketika melihat Hui-thian Sukwi tadi lari ke pondok, Cia Sun lalu menarik tangan Ci Kang dan mengajaknya menyusul Hui Cu di tempat persembunyiannya. Hui Cu merasa girang sekali melihat mereka masuk ke dalam gua bawah tanah, akan tetapi kegirangan itu hanya sebentar saja karena dara ini lalu duduk termenung dengan wajah murung, teringat bahwa cintanya terhadap Cia Sun tidak mendapatkan sambutan. Ci Kang tidak tahu mengapa gadis itu nampak murung, maka untuk memecahkan kesunyian yang mencekam di antara mereka, sambil duduk di atas lantai bersandar dinding batu, dia berkata.

   "Sungguh aneh nasib kita bertiga ini. Untuk kedua kalinya kita bertiga berkumpul menjadi satu di tempat persembunyian yang hampir serupa, di dalam gua bawah tanah. Inilah yang dinamakan jodoh barangkali!"

   Ucapan ini tidak disengaja menyindir sesuatu, akan tetapi Cia Sun dan Hui Cu yang baru saja bicara tentang cinta itu merasa tersindir dan wajah Cia Sun menjadi merah, sebaliknya wajah Hui Cu menjadi semakin muram. Gadis itu dari tempat duduknya, sebuah bangku satu yang berada di situ, memandang kepada Cia Sun yang juga duduk di atas lantai bersandar dinding batu untuk memulihkan tenaga dan tiba-tiba gadis itu bertanya, suaranya lirih dan polos.

   "Cia-toako, siapakah gadis yang kau cinta itu?"

   Pertanyaan yang tiba-tiba dan tidak terduga-duga ini bukan hanya mengejutkan Cia Sun, akan tetapi juga Ci Kang. Barulah Ci Kang mengerti bahwa agaknya Cia Sun sudah memberi tahu kepada Hui Cu bahwa dia tidak dapat menerima cintanya karena telah mencinta gadis lain! Pantas saja wajah gadis yang cantik itu nampak muram saja sejak tadi. Dia merasa kasihan sekali dan tidak berani memandang wajah cantik itu lama-lama karena makin dipandang makin menimbulkan rasa iba.

   "Hui Cu, tak perlu aku mengatakan siapa gadis itu. Engkau pun tidak akan mengenalnya."

   Suasana menjadi sunyi sekali karena ucapan itu keluar dari mulut Cia Sun dengan suara tergetar. Mereka bertiga termenung dalam lamunan masing-masing. Ci Kang dan Hui Cu tidak tahu bahwa keadaan Cia Sun tiada bedanya dengan mereka. Hui Cu mencinta Cia Sun akan tetapi tidak terbalas.

   Cia Sun mencinta Sui Cin namun gadis itupun agaknya tidak dapat membalas cintanya. Apalagi Ci Kang yang mencinta Sui Cin akan tetapi malah melakukan suatu hal yang amat buruk terhadap gadis itu sehingga tidak mungkin gadis itu akan membalas cintanya. Tiga orang muda ini tenggelam dalam kesedihan masing-masing karena cinta yang bertepuk scbelah tangan, cinta gagal! Tiba-tiba Cia Sun dan Ci Kang meloncat berdiri dan dengan mata tajam memandang ke arah lorong dan siap siaga. Mereka mendengar gerakan orang dan tak lama kemudian berkelebat bayangan orang dan disusul munculnya Ratu Iblis di ruang itu. Wajah nenek yang biasanya pucat kehijauan itu kini nampak makin menyeramkan dengan sepasang mata yang mencorong dan liar memandang kepada dua orang pemuda itu.

   "Kalian lagi!"

   Terdengar Ratu Iblis membentak marah.

   "Sekali ini kalian harus mati untuk menyimpan rahasia tempat ini!"

   Dan cepat iapun sudah menyerang ke depan, pedangnya menyambar dalam bentuk sinar berkilat ke arah dada Ci Kang sedang rambutnya yang panjang menyambar dalam bentuk sinar putih ke arah leher Cia Sun. Nenek ini sudah mempergunakan dua senjatanya yang ampuh untuk merobohkan dua orang muda itu dan jangan dikira bahwa serangan rambutnya itu tidak berbahaya. Bahkan dibandingkan dengan serangan pedangnya, mungkin lebih berbahaya. Akan tetapi dua orang muda perkasa itu sudah siap dan karena mereka maklum akan kelihaian nenek itu, merekapun cepat meloncat ke belakang sehingga serangan pedang dan rambut itu tidak mengenai sasaran.

   Dan loncatan itu membuat Cia Sun dan Ci Kang berjauhan sehingga tak mungkin bagi nenek itu untuk melakukan serangan ganda kepada mereka. Terpaksa ia menyerang orang terdekat, yaitu Ci Kang, dengan sambaran pedangnya. Serangan itu hebat sekali, membuat Ci Kang terdesak dan berloncatan ke belakang menghindarkan pedang yang menyambar-nyambar susul-menyusul itu. Melihat ini, Cia Sun menerjang maju mengirim totokan ke arah punggung nenek itu untuk menolong sahabatnya. Ratu Iblis mendengar desir angin dari belakang, membalikkan kepala dan rambutnya menyambut tangan Cia Sun yang menotok, bermaksud menangkap pergelangan tangan itu dengan rambutnya. Namun Cia Sun yang menyerang hanya untuk membantu sahabatnya dan mengurangi penekanan terhadap Ci Kang, mengelak dengan cara menarik kembali tangannya.

   "Ibu, jangan..."

   Hui Cu berseru dan ia sudah meloncat ke depan, menghadang di depan ibunya. Sejenak ibu dan anak saling berpandangan. Nenek itu masih memegang pedangnya dan ia menggerakkan kepala sehingga rambutnya yang riap-riapan panjang itu kini dari depan pindah ke belakang.

   "Hui Cu, dahulu engkau membela dua orang ini dan sekarang masih kau ulangi lagi sikapmu itu. Akan tetapi tidak, sekali ini mereka harus mampus! Tempat ini merupakan rahasia kita sendiri, tidak boleh ada yang tahu. Yang tahu harus kubunuh!"

   Ia sudah hendak menyerang lagi, akan tetapi dengan berani Hui Cu memegang lengan ibunya.

   "Tidak boleh, ibu! Ketahuilah, mereka ini yang telah membebaskan aku dari kurungan, dari belenggu dan ancaman iblis tua itu! Kalau tidak ada mereka, tentu aku telah celaka. Mereka telah melepas budi kebaikan kepadaku, maka harus kubela mereka."

   "Budi tahi kucing!"

   Nenek itu membentak marah.

   "Bicara tentang budi adalah kebohongan besar. Tidak ada budi di dunia ini. Semua orang yang melakukan sesuatu untuk membantu orang lain tentu mengandung pamrih!"

   "Ibu jangan mengukur orang lain seperti teman-teman ibu sendiri! Teman-teman ibu memang orang-orang yang tak mengenal budi dan semua perbuatannya mengandung pamrih kotor. Akan tetapi, dua orang pendekar ini menolong tanpa pamrih dan akupun tidak mau menjadi orang yang tidak mengenal budi. Mereka sengaja kuajak ke sini untuk bersembunyi dan siapapun yang akan mengganggu mereka, akan kulawan. Juga ibu!"

   Sejenak nenek itu ragu-ragu, akan tetapi ia lalu menarik napas panjang dan menyarungkan lagi pedangnya. Ia terlalu mencinta puterinya dan demi cintanya kepada puterinya ia bahkan berani menentang suaminya, walaupun secara diam-diam.

   "Baiklah, aku ampunkan mereka ini. Akan tetapi kalian harus berjanji untuk merahasiakan tempat ini!"

   "Baik, kami berjanji,"

   Kata Ci Kang yang tidak ingin ribut-ribut di tempat itu karena biarpun dia tidak takut menghadapi nenek ini, akan tetapi dia merasa tidak enak terhadap Hui Cu kalau harus menentang ibu kandung gadis itu di depannya.

   "Dan kalian harus berjanji pula untuk melindungi anakku!"

   Kata pula nenek itu. Diam-diam dua orang pendekar muda itu mendongkol. Nenek ini memang keterlaluan, bersikap seolah-olah sebagai seorang pemenang yang memberi ampun dan mengajukan syarat-syarat dan tuntutan-tuntutan. Padahal, mereka berdua tidak pernah kalah dan juga tidak takut menghadapi nenek ini. Akan tetapi, karena memang di dalam hatinya Cia Sun merasa suka kepada Hui Cu, tanpa ragu-ragu diapun berkata dengan suara sungguh-sungguh.

   "Baik, kami berjanji!"

   Setelah dua orang pemuda itu berjanji untuk merahasiakan tempat itu dan melindungi puterinya, barulah nenek itu merasa puas.

   "Hui Cu, jangan tinggalkan tempat ini sebelum aku datang menjemputmu,"

   Pesannya kepada puterinya dan nenek inipun lalu berkelebat pergi, keluar dari tempat rahasia itu. Setelah ibunya pergi, Hui Cu menghadapi dua orang pendekar itu,

   "Harap kalian suka maafkan ibuku tadi."

   Cia Sun tersenyum.

   "Hui Cu, sungguh aku merasa heran sekali melihat betapa suami isteri seperti Raja dan Ratu Iblis dapat mempunyai seorang puteri seperti engkau. Sungguh seperti bumi dan langit bedanya!"

   Gadis itu menjadi agak cerah wajahnya mendengar pujian Cia Sun ini walaupun pandang matanya masih suram dan iapun lalu mempersiapkan bahan-bahan masakan yang terdapat banyak di tempat itu untuk membuatkan makanan. Ada mi kering, daging kering dan gandum, juga beras sehingga sebentar saja, mereka bertiga sudah makan bersama untuk mengisi perut mereka yang sudah amat lapar. Pada malam harinya, Ci Kang dan Cia Sun meninggalkan Hui Cu yang tidak dapat menahan mereka.

   "Engkau tinggallah di sini, Hui Cu. Kami berdua harus menolong ketua Cin-Ling-Pai yang juga menjadi tawanan di sini. Mungkin kalau kami berhasil, kami akan membawanya ke sini juga untuk bersembunyi. Andaikata kami gagal, kami tentu akan kembali ke sini malam ini juga."

   Terpaksa Hui Cu membiarkan mereka pergi dan dua orang pemuda itu lalu menyusup-nyusup lagi dalam penyamaran mereka sebagai dua orang perajurit.

   Mereka bersikap hati-hati sekali karena mereka tahu bahwa setelah Hui-thian Sukwi menceritakan pengalamannya tentu kini para pemberontak sudah tahu bahwa ada dua orang musuh yang menyamar sebagai perajurit pasukan mereka. Untung bagi mereka bahwa keadaan di kota Sanhaikoan malam itu tidak seperti hari-hari yang lalu. Nampak para perajurit hilir mudik dalam keadaan panik dan sebentar saja mereka berdua mendengar bahwa kota ini telah dikepung oleh pasukan pemerintah yang besar jumlahnya. Inilah sebabnya maka para perajurit di dalam kota benteng itu menjadi gelisah dan mereka sudah membuat persiapan pertempuran sehingga tidak begitu memperhatikan berita tentang dua orang mata-mata musuh yang menyelundup itu. Dan dengan sendirinya, mudah saja bagi Cia Sun dan Ci Kang untuk menyusup di antara banyak perajurit yang berseliweran itu.

   Mendengar bahwa benteng itu telah dikepung pasukan pemerintah, Cia Sun dan Ci Kang merasa girang, akan tetapi mereka juga tahu bahwa mereka harus cepat-cepat membebaskan Cia Kong Liang sebelum terlambat. Kalau Raja Iblis menganggap bahwa ketua Cin-Ling-Pai itu tidak ada gunanya lagi sebagai tawanan, tentu akan dibunuhnya. Dan mengingat bahwa pasukan pemerintah sudah bergerak mengurung kota Sanhaikoan, bukan tidak mungkin ketua Cin-Ling-Pai itu kini terancam bahaya besar. Kesibukan-kesibukan luar biasa terjadi di mana-mana, juga di penjara. Pasukan-pasukan hilir-mudik dan nampak gelisah dan tegang. Kesempatan ini dipergunakan oleh Cia Sun dan Ci Kang untuk menyusup memasuki penjara. Tiba-tiba, sampai di pintu gerbang sebelah dalam, seorang perwira penjaga melintangkan pedangnya di depan mereka dan memandang tajam.

   "Mau apa kalian? Kalian bukan anggota pasukan penjaga di tempat ini!"

   Bentaknya dengan sikap curiga.

   "Ciangkun, apa kau mencurigai kami? Jangan mengira kami adalah dua orang mata-mata yang membikin kacau itu. Ketahuilah, kami diutus oleh Toan Ongya sendiri!"

   Kata Ci Kang. Perwira itu terkejut dan sikapnya berubah. Kalau benar dua orang ini utusan Toan Ongya, sungguh dia tidak boleh bersikap lancang atau kurang hormat karena hal itu bisa berarti hukuman berat baginya! Akan tetapi dia masih ragu-ragu.

   "Kalau benar kalian utusan Toan Ongya, mana surat perintahnya atau tanda pengenalnya?"

   Ci Kang mengerutkan alisnya, bersikap pura-pura marah.

   "Apa? Kau tidak mempercaya kami sebagai utusan Toan Ongya? Apakah kami tidak boleh melaksanakan perintah itu? Baik, kami akan kembali dan melaporkan kepada Toan Ongya bahwa seorang perwira berani melarang kami dan membangkang terhadap perintah Toan Ongya!"

   Wajah perwira itu menjadi pucat.

   "Ah, bukan begitu maksudku! Saudara berdua harus tahu bahwa kita harus bersikap waspada dan aku bersikap begini karena berhati-hati. Baiklah, secara persahabatan saja, benarkah kalian ini utusan Toan Ongya? Dan bagaimana aku dapat yakin akan kebenaran pengakuan kalian itu?"

   "Ciangkun, dalam keadaan benteng dikepung musuh dan terancam bahaya ini, mana Toan Ongya sempat memberi tanda pengenal segala macam? Kami adalah kepercayaan beliau dan kami diutus untuk menemui Cia Kong Liang..."

   "Ketua Cin-Ling-Pai? Wah, ini gawat! Kami diperintahken untuk menjaganya baik-baik agar dia jangan sampai lolos dan perintah itu kami terima sendiri dari Toang Ongya."

   "Jadi kau tetap tidak percaya kepada kami?"

   Ci Kang bertanya dengan suara menantang. Sikap ini kembali membuat perwira itu ketakutan.

   "Tidak, tidak demikian. Akan tetapi aku harus berhati-hati karena akupun mempunyai tanggung jawab. Kalau kalian hanya mengunjungi saja tidak mengapa, akan tetapi kalau hendak membawa pergi ketua Cin-Ling-Pai itu terpaksa kami menentang. Aku sendiri menerima perintah dari Toan Ongya dengan pesan bahwa kecuali Toan Ongya sendiri, siapapun tidak boleh membawa tawanan itu!"

   Ci Kang bertukar pandang dengan Cia Sun dan tiba-tiba Cia Sun yang berkata, suaranya halus membujuk.

   "Ciangkun, harap tidak usah khawatir. Kami diutus Toan Ongya untuk membunuh ketua Cin-Ling-Pai itu, dengan tangan kami sendiri!"

   Diam-diam Ci Kang terkejut akan tetapi dia dapat menekan perasaannya sehingga wajahnya biasa saja walaupun sinar matanya memandang Cia Sun penuh selidik. Perwira itu sendiri nampak lega.

   "Ah, kalau untuk membunuhnya tentu saja aku setuju sekali. Lebih cepat dibunuh lebih baik agar tidak menjadi beban penjagaan saja. Mari kuantar sendiri kalian ke sana!"

   Diam-diam Cia Sun memberi isyarat dengan pandang mata kepada Ci Kang sehingga pemuda ini yakin bahwa Cia Sun mempergunakan siasat ketika mengatakan hendak membunuh ketua Cin-Ling-Pai, maka diapun diam saja. Tak lama kemudian mereka dapat dengan mudah tiba di depan kamar tahanan berkat pengawalan perwira itu dan dari jeruji jendela kamar tahanan mereka melihat ketua Cin-Ling-Pai dengan kaki tangan diborgol masih duduk bersila seperti arca.

   "Nah, itu dia,"

   Kata sang perwira. Belasan orang penjaga yang mendengar bahwa dua orang perajurit muda yang datang itu adalah utusan Toan Ongya, untuk membunuh ketua Cin-Ling-Pai, merasa tertarik dan merekapun datang bergerombol untuk menonton, berdiri di depan kamar tahanan. Melihat ini, Cia Sun lalu berkata kepada sang perwira.

   "Ciangkun, karena kami tidak membawa pedang, tolong pinjamkan pedangmu itu untuk kupakai memenggal lehernya!"

   Wajah perwira itu berseri dan dia segera mencabut pedangnya dan menyerahkannya kepada Cia Sun.

   "Ah, sungguh pedangku memperoleh kehormatan besar untuk memenggal leher ketua Cin-Ling-Pai, ha-ha-ha! Kelak akan menjadi kebanggaanku!"

   Sementara itu, Cia Kong Liang membuka matanya dan mendengar semua percakapan itu. Diam-diam dia terkejut mendengar ucapan Cia Sun, akan tetapi ketika dia melihat Ci Kang, dia mengenalnya dan hatinya menjadi tenang, apalagi dia menangkap isyarat mata Ci Kang kepadanya. Perwira itu dengan gembira membuka pintu penjara dan semua perajurit penjaga penjara itu berdatangan untuk menonton pelaksanaan hukuman mati dari ketua Cin-Ling-Pai itu. Tanpa ragu-ragu lagi Cia Sun berkata,

   "Ciangkun, seret dia keluar dari dalam kamar tahanan. Aku akan melakukan hukuman mati itu di lapangan penjara agar semua perajurit dapat melihatnya."

   Ucapan ini merupakan siasat Cia Sun yang ingin mengetahui kekuatan penjagaan di situ, dan kalau semua berkumpul, agaknya akan lebih mudah baginya dan Ci Kang untuk membawa ketua Cin-Ling-Pai melarikan diri. Perwira itu menjadi semakin girang dan bangga.

   "Hayo bangun dan ikut kami!"

   Bentaknya sembil memegang lengan Cia Kong Liang dan dengan kasar menariknya bangkit berdiri. Cia Kong Liang bersikap tenang, bangkit berdiri dan dengan kaki tangan terbelenggu diapun diseret keluar dari dalam kamar tahanan. Pengikat kaki tangan ketua Cin-Ling-Pai ini tidak terbuat dari besi. Raja Iblis maklum bahwa ketua ini memiliki tenaga sinkang yang besar sehingga belenggu besi akan dapat dipatahkannya. Maka untuk membuatnya tidak berdaya, kaki tangannya diikat pada pergelangannya dengan tali sutera yang amat ulet dan lentur sehingga tenaga sinkang tidak akan mampu membikin putus karena tali itu kalau direntangkan dapat mulur akan tetapi tidak dapat putus saking uletnya. Inilah sebabnya mengapa Cia Sun minta pinjam pedang.

   Kalau belenggu itu dari besi, tangannya akan mampu mematahkannya. Akan tetapi, tali sutera seperti itu hanya akan dapat dibikin putus dengan menggunakan senjata tajam. Pula, ketua Cin-Ling-Pai itu mungkin membutuhkannya, tidak seperti dia dan Ci Kang yang cukup bertangan kosong saja. Dia minta agar tawanan dibawa ke lapangan karena di tempat ini mereka akan lebih leluasa bergerek kalau dikeroyok, tidak seperti di dalam kamar tahanan yang sempit. Kini Ci Kang dapat menebak apa yang direncanakan oleh sahabatnya yang cerdik itu maka diapun sudah bersiap-siap. Kini Cia Kong Liang sudah berada di tengah-tengah lapangan, dikelilingi para perajurit penjaga yang hendak nonton pelaksanaan hukuman mati itu. Ketua Cin-Ling-Pai itu tetap berdiri dengan sikap gagah. Cia Sun menghampirinya dengan pedang di tangan dan hati para penonton menjadi tegang.

   

Pendekar Lembah Naga Eps 55 Pendekar Sadis Eps 38 Pendekar Sadis Eps 39

Cari Blog Ini