Kumbang Penghisap Kembang 23
Si Kumbang Merah Penghisap Kembang Karya Kho Ping Hoo Bagian 23
Walaupun mukanya agak pucat, akan tetapi bukan pucat karena sakit. Dan riwayat wanita ini bahkan lebih hebat dari pada riwayat suaminya. Seperti juga suaminya, Toan Hui Cu juga keturunan datuk sesat. Bukan datuk biasa malah, melainkan rajanya datuk sesat! Biarpun ayah kandungnya masih keluarga kerajaan, berdarah bangsawan tinggi, namun ayahnya ketika masih hidup terkenal dengan julukan Raja Iblis, dan ibunya Ratu Iblis! Ayah dan ibunya memiliki kepandaian yang membuat mereka itu sakti dan mengenai kekejaman dan kejahatan, tidak ada datuk sesat yang lebih mengerikan dari pada mereka! Anehnya, Toan Hui Cu yang merupakan anak tunggal, seperti juga halnya Siangkoan Ci Kang, tidak mewarisi watak jahat ayah ibunya. Bahkan ia condong berwatak pendekar!
Dua orang dari keturunan tokoh sesat ini saling mencinta dan akhirnya, nasib membuat mereka berdua itu menjadi murid di kuil Siauw-lim-si, akan tetapi juga menjadi dua orang hukuman karena oleh ketua Siauw-lim-si dianggap melakukan dosa, melanggar kesusilaan karena mereka berdua telah menjadi suami isteri tanpa nikah! Selama dua puluh tahun mereka harus menjalani hukuman di kuil itu, bertapa, akan tetapi justeru dalam hukuman itulah mereka berdua menemukan kitab-kitab pelajaran ilmu silat tinggi peninggalan orang-orang sakti yang termasuk Delapan Dewa! Dan mereka, biarpun terhukum dalam ruangan berbeda, dengan ilmu mereka yang tinggi, dan keduanya mempelajari ilmu dari kitab-kitab itu sehingga keduanya menjadi semakin sakti! Dan dari hubungan mereka, terlahirlah seorang anak perempuan! Karena mereka dalam keadaan sebagai terhukum, maka terpaksa anak perempuan itu mereka titipkan didusun.
Nasib membuat anak itu terculik lenyap, dan setelah anak itu dewasa, barulah anak itu kembali kepada mereka. Orang ke tiga yang sedang berjalan-jalan di pagi hari itulah anak mereka, puteri mereka yang bernama Siangkoan Bi Lian! Seorang gadis berusia dua puluh satu tahun, bertubuh ramping dengan pinggang yang kecil sekali, dengan kulit yang putih mulus. Rambutnya panjang sampai ke pinggul, hitam mengkilap dan tebal, dan pagi hari ini rambut itu dikuncir menjadi dua, dibiarkan tergantung dan kedua ujungnya diikat pita sutera biru. Bi Lian memiliki mata ayahnya, mencorong tajam. Hidungnya kecil mancung seperti hidung ibunya, mulutnya berbentuk seperti mulut ibunya, hanya bedanya, kalau bibir ibunya selalu nampak agak pucat seperti wajahnya, bibir Bi Lian selalu nampak merah membasah.
Bentuk mukanya bulat telur dan sebutir tahi lalat di dagunya menjadi pemanis yang menarik. Biarpun ayah dan ibunya amat lihai, namun gadis ini yang sejak kecil terpisah dari mereka, menerima gemblengan ilmu-ilmu silat tinggi dua orang datuk iblis yang amat linai, yaitu mendiang Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi, dua orang di antara Empat Setan. Di bagian depan cerita ini telah diceritakan betapa Bi Lian berjumpa dengan murid ayah ibunya, yaitu Pek Han Siong yang juga oleh ayah ibunya telah diangkat menjadi tunangannya. Han Siong yang membuka rahasianya bahwa ia puteri Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu, dan Han Siong pula yang membawanya ke kuil Siauw-li-si, kemudian menyusul ke tempat tinggal suami isteri itu, yaitu Kim-ke-kok (Lembah Ayam Emas) di pegunungan Heng-tuan-san sebelah timur.
Setelah bertemu, pertemuan yang penuh keharuan dan kebahagiaan, ayah ibu gadis itu memberitahu tentang ikatan jodoh antara Bi Lian dan Han Siong. Gadis itu menolak! Ia menolak bukan karena ia membenci Han Siong. Sebaliknya malah ia amat mengagumi Han Siong, juga amat menyukainya, akan tetapi ia menganggap Han Siong sebagai suheng (kakak seperguruan) sehingga perubahan yang mendadak itu membuat Bi Lian merasa canggung dan salah tingkah. Maka ia menyatakan tidak setuju. Mendengar ini, Han Siong tersinggung dan diapun mohon kepada kedua orang gurunya untuk membatalkan ikatan jodoh itu, dan diapun mengembalikan pedang pusaka Kwan-im-kiam yang diterima dari kedua orang gurunya sebagai tanda perjodohan. Demikianlah, setelah Han Siong pergi, Bi Lian tinggal bersama ayah ibunya.
Dan dari kedua orang tuanya itu, iapun menerima gemblengan ilmu silat tinggi. Ia memilih jurus-jurus simpanan saja sehingga ia yang sudah lihai sebagai murid Pak-kwi-ong (Raja Iblis Utara) dal) Tung-hek-kwi (Iblis Hitam Timur) kini menjadi semakin lihai. Dan pada pagi hari itu, ayah ibu dan anak ini berjalan-jalan di puncak menikmati keindahan suasana pagi hari yang cerah itu. Sejenak mereka bertiga tenggelam ke dalam keheningan yang indah itu. Bukan hening yang berarti sepi. Puncak-puncak cemara bergoyang, bunyi daun gemersik ditimpa dendang air dan meriahnya suara burung, keharuman yang meriah. Sama sekai tidak sepi. Namun keheningan yang tercipta apa bila hati dan akal pikiran berhenti berceloteh. Sayang sekali, keheningan itu segera dikacaukan oleh pikiran. Melihat burung terbang berpasangan, Siangkoan Ci Kang menghela napas panjang dan melirik kepada puterinya.
Lenyaplah sudah keindahan itu, terganti oleh kegelisahan dan kedukaan karena kini batinnya terpenuhi permasalahan mengenai diri puterinya. Sudah hampir dua bulan puterinya tinggal bersama mereka di Kim-ke-kok, dan selama dua bulan itu, dia dan isterinya mengajarkan jurus-jurus rahasia simpanan mereka kepada Bi Lian. Akan tetapi, di waktu malam, kalau dia berada berdua saja dengan isterinya dalam kamar mereka, mereka tiada hentinya membicarakan puteri mereka dengan hati yang kecewa dan berduka. Puteri mereka telah menggagalkan dan bahkan membikin putus ikatan perjodohan antara puteri mereka dan murid mereka, Pek Han Siong. Mereka tidak melihat adanya pemuda lain yang lebih baik dari pada murid mereka itu. Inilah yang pada saat itu menyelinap dalam pikiran Siangkoan Ci Kang ketika dia melihat burung-burung beterbangan dengan berpasangan.
"Lian-ji (anak Lian), tahukah engkau, berapa usiamu sekarang?"
Bi Lian dan ibunya yang masih tenggelam dalam keheningan, seperti baru terbangun dan Bi Lian menoleh, memandang ayahnya dengan heran. Pertanyaan itu sungguh tak pernah diduganya akan diajukan ayahnya di pagi hari ini. Sejak mendaki puncak itu, mereka bertiga tidak pernah bicara dan mereka menikmati suasana yang amat indah itu. Dan tiba-tiba ayahnya bertanya tentang usianya!
"Mengapa, ayah? Katau tidak salah, sudah hampir dua puluh satu tahun."
Jawabnya sambil memandang wajah ayahnya dengan sinar mata bertanya. Ayahnya juga memandang kepadanya dan dua pasang mata yang sama mencorongnya saling pandang seperti hendak menembusi hati masing-masing.
"Tidak mengapa, hanya... kukira usia sedemikian itu bagi seorang wanita sudah lebih dari cukup untuk menjadi seorang isteri yang baik."
"Bahkan sudah cukup untuk menjadi seorang ibu yang baik. Aih, betapa inginku menimang seorang bayi, seorang cucuku...!"
Kata pula Toan Hui Cu sambil menarik napas panjang karena ia sudah membayangkan kesenangan itu. Bi Lian mengerutkan alisnya, akan tetapi ia tidak marah. Ia cukup mengerti akan perasaan hati ayah ibunya yang ingin melihat ia menikah dan mempunyai anak!
"Aihhh, ayah dan ibu selama dua bulan ini hampir setiap hari bicara tentang pernikahan untukku!"
Ia hanya mengeluh, lalu berhenti melangkah. Ayah ibunya juga berhenti. Mereka berada di puncak dan di bawah kaki mereka, di sekeliling puncak itu, nampak hutan dan pohon-pohon kelihatan begitu kecil dan pendek.
"Terus terang saja, anakku, ayah dan ibumu hanya mempunyai satu keinginan, yaitu melihat engkau berumah tangga. Anak kami hanya engkau seorang dan kelirukah kalau ayah dan ibumu ingin melihat anaknya berumah tangga?"
Kata pula ibu Bi Lian. Bi Lian mendekati ibunya dan merangkul pinggang ibunya. Ibunya masih cantik sekali, bahkan patut kalau menjadi kakaknya.
"Ibu, aku tahu dan aku tidak menyalahkan kalian, hanya saja, urusan perjodohan bukanlah urusan yang sedemikian mudahnya. Tak mungkin kalau aku memungut begitu saja seorang calon suami dari pinggir jalan!"
"Ha-ha-ha!"
Siangkoan Ci Kang tertawa.
"Tentu saja tidak mungkin! Engkau harus memperoleh seorang suami yang terbaik, anakku! Dan menurut penglihatan kami, kiranya tjdak ada pemuda yang lebih bajk dari pada suhengmu sendiri. Pek Han Siong! Sayang sekali engkau membencinya, Lian-ji."
"Ayah, aku sama sekali tidak membencinya! Bahkan aku kagum dan suka padanya!"
Bi Lian membantah cepat.
"Hemm, kalau benar demikian, mengapa engkau begitu tega untuk menghancurkan hatinya, memutuskan ikatan perjodohan itu? Dari mana kita akan bisa mendapatkan seorang pemuda yang melebihi Han Siong, baik kepandaiannya maupun wataknya? Dia seorang pendekar sejati, anakku!"
Bi Lian menahan senyumnya dan entah bagaimana, pada saat itu terbayanglah wajah Hay Hay yang tersenyum-senyum nakal itu! Iapun menghela napas.
"Ayah dan ibu, aku tahu bahwa kalian masih menyesali kegagalan perjodohan antara aku dengan suheng itu. Maafkan aku. Terus terang saja, akupun kagum dan suka kepada suheng Pek Han Siong, akan tetapi rasa sukaku itu hanya perasaan terhadap seorang suheng. Aku tidak tahu apakah ada cinta dalam hatiku terhadap suheng. Akan tetapi itu tidak penting. Yang penting adalah bahwa aku tidak yakin akan cintanya kepadaku."
"Ehhh? Bukankah dia secara terus terang telah menyatakan cintanya kepadamu, di depan aku dan ibumu? Lian-ji, Han Siong mencintaimu, itu sudah jelas!"
Kata pula Siangkoan Ci Kang.
"Benar ayahmu, Bi Lian. Han Siong cinta padamu dan dia akan menjadi seorang suami yang amat baik, juga ayah yang baik untuk anak-anakmu."
Kata ibunya.
"Bagaimana ayah dan ibu dapat begitu yakin? Ingatlah, ketika suheng mengaku cinta, dia sudah terikat perjodohan dengan aku! Maka, tentu saja dia mengaku cinta, karena kalau tidak, berarti dia akan menghina ayah dan ibu dan juga aku! Dia telah terikat jodoh denganku sebelum dia melihat aku, ayah dan ibu. Hal ini harap dipertimbangkan. Andaikata saat dia mengaku cinta kepadaku itu dia belum terikat dengan perjodohan, mungkin sekali aku akan percaya, bahkan yakin. Akan tetapi keadaannya tidak demikian. Aku tidak puas, ayah dan ibu. Maafkan aku, akan tetapi aku hanya mau menikah dengan seorang pria yang aku yakin benar-benar mencintaku, dan tentu saja kalau aku mencintanya."
Suami isteri itu saling pandang. Alasan puteri mereka itu memang kuat dan tepat. Kinipun mereka dapat merasakan. Memang mereka percaya bahwa Han Siong benar-benar mencinta Bi Lian. Akan tetapi, andaikata tidak demikian halnya, beranikah Han Siong mengatakan bahwa dia tidak mencintai gadis itu? Gadis yang telah ditetapkan menjadi calon isterinya? Tentu tidak akan berani!
"Hemm, kalau begitu, Lian-ji. Andaikata engkau kelak yakin bahwa Han Siong benar-benar mencintamu, apakah masih ada harapan untuk... eh, menyambung kembali tali yang telah putus itu?"
Tanya Siangkoan Ci Kang. Bi Lian termenung. Bagaimanapun juga, hanya ada dua orang pria yang selama ini menarik hatinya dan dikaguminya. Yang pertama adalah Hay Hay, dan yang ke dua adalah Pek Han Siong! Tentu saja Hay Hay memiliki daya tarik yang lebih kuat bagi setiap orang wanita, karena pemuda itu pandai sekali mengambil hati secara wajar, bukan menjilat.
Hidup di samping Hay Hay tentu merupakan suatu keadaan yang selalu menggembirakan dan dunia akan selalu nampak cerah. Sebaliknya, Han Siong seorang pemuda yang jantan, pendiam dan halus tenang, mendatangkan suasana damai yang tenang. Keduanya memang tampan dan gagah, dengan ilmu kepandaian yang seimbang, bahkan keduanya menguasai ilmu sihir yang ampuh. Akan tetapi, ia merasa kecewa terhadap Han Siong karena pemuda itu menerima ikatan jodoh begitu saja, pada hal selama hidupnya belum pernah berjumpa dengannya! Hal inilah yang mengganjal di hatinya, seolah-olah ia merasa bahwa Han Siong ingin berjodoh kepadanya bukan karena dirinya, melainkan karena hendak mentaati ayah ibunya! Hal ini membuat ia merasa dirinya kurang penting dan kurang berharga!
"Tentu saja hal itu mungkin sekali, ayah. Kita lihat saja perkembangannya kelak. Kalau memang dia benar mencintaku dengan tulus dan kalau kemudian aku melihat kenyataan bahwa akupun mencintanya, maka tidak ada halangannya bagi kami untuk berjodoh. Bukankah jodoh itu di tangan Tuhan?"
Mendengar ucapan puteri mereka, suami isteri itu saling pandang dan ada sinar harapan baru terpencar dalam pandang mata mereka. Akan tetapi pada saat itu terdengar kokok ayam hutan jantan dan seketika berubah sikap Siangkoan Ci King dan isterinya. Mereka segera menyelinap ke balik semak-semak dan Siangkoan Ci Kang memberi isyarat kepada Bi Lian untuk bersembunyi pula. Bi Lian terkejut dan terheran, lalu cepat ia menyelinap ke dekat mereka.
"Ada apakah?"
Tanyanya dengan bisikan lirih.
"Ssttt... inilah yang kami nanti-nanti selama berbulan-bulan. Agaknya dia menghadapi lawan. Kita harus mendekat dengan hati-hati agar jangan mengejutkan mereka dan jangan mengganggu perkelahian mereka. Mari, ikuti aku dan hati-hati, jangan berisik!"
Kata Siangkoan Ci Kang. Isterinya mengikuti di belakangnya, dan Bi Lian yang masih terheran-heran mengikuti di belakang ibunya. Siapakah yang berkelahi, pikir Bi Lian. Tentu orang-orang yang sakti, kalau tidak begitu, tidak mungkin ayah ibunya yang memiliki ilmu kepandaian tinggi itu begitu berhati-hati menghampiri tempat perkelahian itu. Dan siapakah yang berkelahi dengan mengeluarkan kokok ayam hutan jantan itu? Sungguh aneh.
Mereka bertiga dengan cepat namun dengan pengerahan gin-kang agar gerakan mereka ringan tak bersuara, menyusup-nyusup menuruni puncak menuju ke hutan cemara di sebelah kiri. Akhirnya, Siangkoan Ci Kang berhenti dan bersembunyi di balik semak-semak, memberi isarat kepada isteri dan puterinya untuk bersembunyi di situ pula. Kemudian suami isteri itu mengintai dengan penuh perhatian, dengan wajah berseri. Bi Lian juga mengintai ke arah mereka memandang dan ia terbelalak karena yang diintai oleh ayah ibunya itu bukan dua orang jago silat sedang bertanding, melainkan dua ekor ayam jago hutan sedang bertanding! Seekor ayam jago yang bulunya seperti emas melawan seekor ayam jago yang bulunya kelabu.
Pantas saja mereka harus berindap-indap karena kalau mereka mengeluarkan suara berisik, tentu dua ekor ayam hutan itu akan terbang pergi. Ayam hutan merupakan binatang yang liar sekali, tidak dapat didekati manusia. Akan tetapi, mengapa ayah ibunya menonton ayam bertanding dengan perhatian seperti itu? Bi Lian juga memandang, dengan penuh perhatian. Akan tetapi baginya, dua ekor binatang itu hanyalah dua ekor ayam hutan yang tidak begitu besar, tidak sebesar ayam jago biasa, sedang bertanding. Akan tetapi setelah ia memperhatikan, ia melihat bahwa ayam berbulu emas itu memiliki ketangkasan luar biasa, sedangkan si bulu kelabu hanya galak dan menyerang secara ngawur saja. Semua serangan si kelabu itu tak pernah berhasil, patukannya luput, sabetan kakinya juga tak pernah mengenai sasaran. Sibulu emas jarang menyerang,
Akan tetapi setiap kali menyerang, pasti mengenai sasaran dengan tepatnya sehingga beberapa kali si kelabu tertendang dan terjengkang! Biarpun demikian, bagi Bi Lian semua itu tidak ada artinya. Akan tetapi kalau ia menoleh kepada ayah ibunya, mereka menonton tak pernah berkedip, seolah hendak menelan dengan pandang mata mereka setiap gerakan dua ekor ayam hutan itu, dan beberapa kali ia melihat ayahnya mengangguk-angguk dengan wajah gembira sekali. Perkelahian mati-matian itu tidak berlangsung lama. Ketika si kelabu yang sudah mulai lemah itu, dan yang mukanya sudah mulai membengkak dan berdarah, untuk ke sekian kalinya menerjang dengan tenaga terakhir, si bulu emas mengelak ke samping dan ketika tubuh lawan menubruk tempat kosong, dia membalik, menggunakan paruhnya mematuk leher si kelabu, kemudian kakinya menendang.
"Bressss...! Keok...!"
Si kelabu hanya berteriak satu kali dan dia berlompatan aneh, dari kepalanya bercucuran darah. Kiranya sabetan kaki yang berjalu runcing itu telah mengenai kepala dengan tepatnya, dekat telinga sehingga tempurung kepala itu retak dan darah keluar, membuat si kelabu berloncatan dalam sekarat! Dan si bulu emas, dengan lagak yang gagah sekali, mengembangkan sayapnya, menarik tubuh ke atas setinggi mungkin, dengan leher terjulur panjang dan keluarlah bunyi kokoknya penuh kebanggaan dan kemenangan! Biarpun pertandingan itu telah selesai, Siangkoan Ci Kang memberi isarat kepada isteri dan puterinya agar berdiam diri. Selagi Bi Lian merasa heran, tiba-tiba dari semak-semak di seberang, berloncatan keluar dua ekor binatang musang.
Tidak begitu besar, hanya sebesar anjing kecil, akan tetapi mereka itu melompat dengan cekatan sekali. Yang seekor telah menyambar ayam yang sekarat, menggigit lehernya dan menyeretnya pergi dari situ. Musang ke dua, yang lebih besar, menubruk ke ayam hutan berbulu emas yang tadi menang bertanding. Lompatannya amat cepat dan gesit, dan agaknya sukar bagi ayam itu untuk meloloskan diri. Akan tetapi pada detik terakhir, ayam berbulu emas itu dapat melempar tubuh ke belakang lalu membanting diri ke samping sehingga tubrukan itu luput. Kalau ayam itu mau, dengan mudah saja dapat terbang meloloskan diri dari Musang itu. Akan tetapi ternyata tidak! Ayam itu kini berdiri dengan kepala menunduk, sepasang mata melotot, bulu emas dilehernya mekar dan siap untuk bertarung!
"Tolol!"
Pikir Bi Lian dalam hatinya.
"Mana kamu akan mampu menandingi seekor musang?"
Ayam berbulu emas itu terlalu sombong, pikirnya, tidak memperhitungkan Siapa lawannya.
Mungkin karena kemenangannya terhadap ayam kelabu tadi, dia menjadi kepala besar ddn tidak takut melawan siapapun juga! Musang itu agaknya juga tercengang. Tubrukannya sudah luput dan menurut pengalamannya, tentu ayam hutan yang luput ditubruk itu sudah terbang pergi. Akan tetapi ayam hutan berbulu emas ini tidak terbang melarikan diri malah menantang untuk berkelahi! Kalau saja wataknya seperti manusia, tentu dia sudah tertawa mengejek ayam kecil itu! Akan tetapi dia tetap seekor musang, maka melihat calon mangsanya masih di situ, dia sudah menerkam lagi dengan ganasnya. Musangpun seekor binatang liar, hidupnya di hutan dan makanan utamanya memang binatang yang lebih kecil, maka gerakannya ganas dan beringas sekali, penuh kebuasan binatang liar di hutan.
"Wuuuttt... bresss...!"
Bi Lian hampir bersorak. Ketika musang itu menubruk, ayam itu meloncat ke samping atas dan sebelum musang yang luput menubruk itu sempat membalik, ayam itu menerjang dari atas mematuk dan menendang kepala musang.
Musang itu terkejut. Patukan dan tendangan kaki berjalu itu cukup mendatangkan nyeri walaupun tidak dapat melukai kulitnya yang terlindung bulu itu. Dia membalik dan kembali menerkam. Ayam itu mengelak lagi sambil terbang dan kembali sudah menerjang dari atas. Berkali-kali hal ini terjadi dan Bi Lian menonton dengan hati tegang. Biarpun sambarannya dapat mengenai kepala musang dengan tepat, namun tenaga ayam itu tidak cukup kuat untuk melukai kepala musang yang terlindung bulu, apa lagi merobohkannya. Sedangkan sebaliknya, sekali saja terkaman musang itu mengenai sasaran, tentu leher atau perut ayam itu kena digigit dan akan tamatlah riwayat ayam yang pemberani itu. Ketika ia menengok ke arah ayah ibunya, ia melihat kedua orang itu seperti tadi, tidak pernah berkedip mengikuti perkelahian itu dengan pandang mata mereka.
Dan kembali seperti tadi, beberapa kali ayahnya mengangguk-angguk gembira. Musang itu agaknya marah sekali. Kembali dia menubruk dan ketika ayam itu mengelak ke atas, musang itu tiba-tiba berdiri di atas kaki belakang dan kedua kaki depannya mencoba untuk menangkap ke atas. Akan tetapi, dengan sekali mengebutkan sayapnya yang dikembangkan, ayam itu kembali luput karena dia naik ke atas, kemudian secara tiba-tiba sekali dia membalas dengan patukan dan cakaran, tidak lagi menendang melainkan mencakar. Kedua kaki dengan kuku-kuku yang menjadi kuat dan tebal, runcing melengkung karena setiap hari dipergunakan untuk menggaruk-garuk tanah keras mencari cacing itu, mencakar ke arah moncong musang, sedangkan paruhnya yang juga runcing melengkung dan keras itu mematuk ke arah mata kiri.
"Bresss...!"
Musang itu mengeluarkan suara seperti tikus terjepit dan dari hidung dan matanya mengucur darah! Mata kirinya pecah terpatuk dan hidungnya luka berdarah.
Diapun lari tunggang langgang dan menghilang ke dalam semak-semak jauh dari situ. Ayam hutan itupun terbang ke atas, hinggap di sebuah dahan pohon cemara dan diapun berkeruyuk dengan sombongnya, dengan dada mengembung dan leher memanjang! Bi Lian menjadi demikian gembiranya sehingga iapun melompat keluar dari tempat sembunyinya dan bertepuk tangan memuji. Mendengar tepuk tangan ini, ayam jantan yang pemberani itu terbang dan melarikan diri ketakutan sambil mengeluarkan teriakan berkokok panik! Akan tetapi, kembali Bi Lian menghentikan tepuk tangannya dan memandang terbelalak melihat betapa ayah dan ibunya kini bersilat saling serang! Ia melihat ibunya menyerang dengan jurus-jurus hebat dari Kwan Im Sin-kun yang sedang ia pelajari dari mereka, jurus-jurus pilihan paling hebat.
Dari kedua tangan ibunya itu menyambar-nyambar angin pukulan yang lembut namun ia tahu bahwa di balik kelembutan itu terkandung tenaga dahsyat. Itulah kehebatan ilmu silat Kwan Im itu. Sesuai dengan sifat Dewi Kwan Im sendiri, Dewi Welas Asih yang terkenal lembut dan murah hati, namun di balik kelembutan itu terkandung kesaktian yang tidak dapat dikalahkan oleh segala macam setan dan iblis! Melihat ibunya menyerang ayahnya dengan ilmu silat itu, ia tidak merasa heran. Tentu saja serangan-serangan ibunya hebat karena ibunya adalah ahli dalam ilmu silat itu yang tingkatnya sudah sejajar dengan ayahnya. Akan tetapi yang membuat ia bengong adalah ketika melihat ayahnya menghadapi serangan ibunya itu dengan gerakan-gerakan yang hampir saja memancing ketawanya. Gerakan ayahnya itu mirip gerakan ayam jantan hutan bulu emas tadi!
Betapa ayahnya menggerak-gerakkan kepala kedepan belakang, betapa kepala itu kadang-kadang mengelak ke bawah dan kebelakang dengan gerakan melengkung sambil menjulurkan leher, kemudian kedua kaki itu, berloncatan seperti lagak ayam jago berbulu kuning emas tadi. Ketika ibunya menyerang dengan dahsyat, tiba-tiba ayahnya mengelak dengan loncatan ke atas, lalu dari atas dia menerkam ke bawah, lengan baju kiri yang tidak berisi lengan itu meluncur ke arah mata sedangkan tangan kanan mencengkeram ke arah hidung mulut, dan kedua kaki masih menendang ke arah dada. Teringatlah Bi Lian akan "jurus"
Yang dipergunakan ayam jago bulu emas tadi terhadap lawannya yang jauh lebih kuat, yaitu musang. Jurus itulah yang tadi membuat si musang berdarah pada mata dan hidungnya, dan membuat musang itu lari ketakutan.
"Ihhh... bagus sekali...!"
Ibunya melempar tubuh ke belakang dan terhuyung. Ayahnya juga melompat turun dan keduanya tersenyum dengan wajah cerah. Bi Lian adalah seorang gadis yang cerdik. Biarpun tadi ia terheran-heran dan juga geli, kini setelah ia mengerti, ia memandang kagum kepada mereka.
"Aih, kiranya ayah dan ibu sudah lama mempelajari gerakan ayam hutan jantan berbulu kuning emas itu untuk menciptakan ilmu silat baru? Pantas tadi kita harus berhati-hati agar jangan mengejutkannya!"
Ayah dan ibunya mengangguk.
"Ayam hutan berbulu kuning emas itu memang hebat bukan main,"
Kata ibunya.
"Kami pernah melihat dia mengalahkan seekor ular, bahkan menghajar sampai mati seekor tikus hutan yang amat besar. Dan sekali ini, engkau melihat sendiri, bukan saja dia menghajar ayam hutan lain tadi, bahkan dia berhasil mengalahkan seekor musang!"
"Gerakannya memang cepat, gesit dan cerdik. Kami dapat meniru beberapa gerakannya yang memang hebat,"
Sambung ayahnya.
"Sudah beberapa tahun kami mengamati gerakannya dan baru pagi hari ini aku dapat menyempurnakan beberapa jurus gerakan yang sudah lama kupelajari."
"Hebat sekali!"
Seru Bi Lian.
"Lalu apa namanya ilmu silat yang ayah ibu cipatakan itu?"
"Kami beri nama Kim-ke Sin-kun (Silat Sakti Ayam Emas), selain memang berdasarkan banyak gerakan ayam hutan berbulu emas itu, juga disesuaikan dengan tempat ini yang disebut Kim-ke-kok (Lembah Ayam Emas). Tentu saja gerakan ayam hutan itu merupakan dasarnya, dan dicampur dengan ilmu silat kami. Kau yang telah mempelajari gerakan ilmu silat kami, akan mudah menguasai Kim-ke Sin-kun."
Mendengar ucapan ayahnya itu, Bi Lian girang sekali dan mulai hari itu juga, iapun mulai mempelajari ilmu silat yang baru diciptakan ayah ibunya itu. Seperti juga sifat seekor ayam jantan dari hutan yang masih liar, maka ilmu silat Kim-ke Sin-kun itu mengandung pula kecepatan, kegesitan, kewaspadaan alamiah dan kecerdikan yang disertai pula keliaran.
Disamping itu, karena ilmu itu dicampur dengan Kwan Im Sin-kun, maka mengandung pula kehalusan dan kelembutan, didorong oleh sin-kang (tenaga sakti) yang amat dahsyat. Selama tiga bulan Bi Lian mempelajari ilmu baru itu dengan tekun, juga memperdalam ilmu Kwan Im Sin-kun dan Kwan Im Kiamsut. Pada suatu pagi ketika ia sedang berlatih di puncak yang sunyi, di mana ia bersama ayah ibunya pernah melihat ayam hutan berbulu emas berkelahi, tiba-tiba ia menghentikan permainan pedangnya. Pagi hari itu ia sengaja meminjam pedang pusaka Kwan Im Po-kiam dari ayah ibunya dan menggunakan pedang itu untuk berlatih silat pedang Kwan Im Kiamsut. Sebelumnya ia berlatih silat tangan kosong Kim-ke Sin-kun yang merupakan ilmu silat baru ciptaan orang tuanya itu.
Bi Lian menghentikan permainan pedangnya dan cepat menyarungkan pedang dan pandang matanya ditujukan ke bawah. Ia melihat seorang penunggang kuda membalapkan kudanya mendaki bukit itu. Kuda itu besar dan kuat, dan agaknya penunggangnya juga pandai sekali. Akan tetapi, Bi Lian mengerutkan alisnya. Jalan menuju ke rumah ayah ibunya itu amat berbahaya kalau dicapai dengan menunggang kuda yang dilarikan demikian cepatnya. Ada bagian berbatu-batu kecil yang licin sekali pada jalan mendaki. Seekor kuda yang berlari cepat dapat jatuh kalau menginjak batu-batu kecil yang mudah runtuh ke bawah itu. Bi Lian khawatir dan juga tertarik. Cepat ia menuruni puncak untuk melihat apa yang akan terjadi dengan penunggang kuda itu kalau melewati jalan yang berbahaya itu.
Sebaiknya kalau ia dapat datang lebih dulu dan memperingatkan penunggang kuda itu. Maka, Bi Lian lalu mempergunakan kepandaiannya, berlari menuruni puncak seperti terbang untuk mendahului kuda itu. Akan tetapi, kuda itu berlari cepat dan Bi Lian masih berada agak jauh di atas ketika kuda itu sudah memasuki jalan yang berbahaya itu. Akan percuma saja kalau ia bertriak memperingatkan juga, karena selain jaraknya masih jauh sehingga ucapannya tentu tidak dapat ditangkap jelas, juga penunggang kuda yang belum dikenalnya itu belum tentu akan mau memperhatikan teriakan dan isaratnya. Maka, iapun hanya memandang saja dengan hati khawatir. Kalau hanya bahaya kuda itu tergelincir dan jatuh saja, masih tidak mengkhawatirkan. Paling hebat penunggangnya akan terlempar dan lecet-lecet atau patah tulang saja.
Akan tetapi, di sebelah kiri jalan mendaki itu terdapat jurang yang menganga lebar dan amat dalam. Kalau sampai penunggang kuda itu terlempar ke dalam jurang, akan habislah riwayatnya! Inilah yang mengkhawatirkan hatinya. Penunggang kuda itu kini nampak jelas oleh Bi Lian. Seorang pria muda yang bertubuh tinggi besar sehingga serasi dengan kudanya yang juga besar dan kuat. Cara dia duduk di atas pelana kuda saja menunjukkan bahwa dia seorang penunggang kuda yang mahir. Duduknya tegak, lentur dan seolah-olah tubuhnya menjadi satu dengan kuda, gerakan tubuhnya sesuai dengan gerakan kuda. Kini kuda memasuki jalan yang berbatu kerikil itu. Bi Lian memandang dengan penuh perhatian dan tepat seperti yang dikhawatirkannya, ketika empat kaki kuda itu menginjak batu-batu kecil, kuda itu tergelincir!
Agaknya kuda itu telah melakukan perjalanan jauh dan dalam keadaan yang kelelahan pula. Peluh membasahi seluruh tubuhnya dan ketika binatang itu tergelincir, dia mencoba untuk mempertahankan tubuh dengan empat kakinya. Akan tetapi, setiap kali menginjak tanah dengan kuat, kaki nya menginjak batu kerikil dan tergelincir pula sehingga akhirnya, kuda itu terjatuh, terpelanting dan keempat kakinya seperti ditarik dalam waktu yang bersamaan. Bi Lian melihat kuda itu terjatuh, dan pada saat itu, iapun terbelalak kagum melihat penunggang kuda itu tiba-tiba saja tubuhnya melayang ke atas, berjungkir balik membuat salto sampai lima kali sebelum dia turun ke atas tanah dengan tegak. Dan baru nampak bahwa tubuh pemuda itu tinggi tegap, tubuh seorang pria yang jantan dan gagah Sekali.
Pemuda itu dengan sikap amat tenang menghampiri kudanya yang tidak mampu bangkit kembali. Kuda itu tadi terjatuh lalu tubuhnya meluncur kembali ke bawah karena jalan itu mendaki, dan baru tubuhnya berhenti terseret ketika menumbuk batu besar yang berada di tepi jalan. Untung ada batu besar itu, kalau tidak tentu tubuhnya akah terjerumus ke dalam jurang di balik batu itu. Ketika pemuda itu berjongkok memeriksa kudanya, binatang itu hanya mampu menggerak-gerakkan sedikit kaki dan kepalanya, akan tetapi tidak mampu bangkit. Agaknya dua kaki depannya patah tulang, juga kepalanya terluka dan berdarah. Pemuda itu memeriksa dengan teliti, kemudian mengambil buntalan pakaiannya dari atas punggung kuda. Diikatnya buntalan itu di punggungnya dan pemuda itu memandang ke sekeliling. Sunyi tidak nampak orang lain. Lalu dia menjenguk ke dalam jurang di balik batu.
"Kuda yang baik, engkau telah banyak berjasa kepadaku. Terpaksa aku akan mengakhiri penderitaanmu. Selamat berpisah!"
Tiba-tiba, tangan kanannya bergerak ke arah kepala kuda itu.
"Prakkk! Kuda itu terkulai, tidak lagi nampak kakinya bergerak-gerak. Kemudian, pemuda itu menarik kaki kuda, dan dengan pengerahan tenaga, dia melemparkan bangkai kuda itu ke dalam jurang! Bi Lian terbelalak, wajahnya berubah merah karena marah dan diapun melompat keluar dari tempat pengintaiannya.
"Engkau manusia berhati iblis!"
Bentaknya marah sekali. Pemuda itu terkejut ketika tiba-tiba saja ada seorang gadis cantik jelita muncul di depannya, tangan kanan bertolak pinggang, tangan kiri menudingkan telunjuk kecil ke arah mukanya, sepasang mata itu mencorong penuh kemarahan dan seketika itu juga hati pemuda itu meloncat-loncat di dalam rongga dadanya, berjungkir balik dan dia jatuh hati!
"Apa...? Mengapa...? Aih, nona, kenapa nona marah dan memaki aku? Siapakah nona dan apa kesalahanku maka nona memaki aku berhati iblis?"
Tanyanya dengan gugup karena kecantikan Bi Lian benar-benar membuat dia terpesona, salah tingkah dan hampir dia tidak percaya bahwa gadis itu seorang manusia, bukan seorang dewi dari langit!
"Manusia busuk! Kau kira tidak ada yang melihat perbuatanmu? Kau kira aku tidak tahu apa yang kau lakukan tadi? Engkau ini manusia berhati kejam. Kau tadi mengaku sendiri bahwa kuda itu telah banyak berjasa kepadamu. Akan tetapi, engkau bahkan membunuhnya dan melempar bangkainya ke dalam jurang! Selain kejam, juga engkau telah merusak tempat ini dan aku tak dapat membiarkan saja!"
"Ah, itukah gerangan yang membuat engkau menjadi marah, nona?"
Pemuda itu baru mengerti sekarang dan dia tersenyum. Harus diakui oleh Bi Lian bahwa pemuda itu memang gagah. Selain tubuhnya tinggi tegap dan kokoh, juga ketika tersenyum wajah itu memiliki daya tarik yang amat kuat. Akan tetapi, mengingat akan perbuatannya tadi, hatinya tetap merasa penasaran dan marah sekali.
"Akan tetapi, nona. Aku tidak merugikan siapapun, juga tidak merugikanmu. Kuda itu adalah kudaku sendiri, dan kubuang bangkainya di dalam jurang yang dalam sehingga tidak akan mengganggu orang lain. Kenapa engkau marah-marah, nona?"
"Masih bertanya kenapa aku marah? Pertama, melihat kekejamanmu itu, engkau patut dihukum! Ke dua, tempat ini adalah tempat tinggal kami, dan engkau mengotori jurang itu dengan bangkai kuda yang nanti tentu akan mengeluarkan bau busuk. Dan engkau masih bertanya kenapa aku marah?"
Pemuda itu tidak tersenyum lagi, nampak terkejut dan heran mendengar ucapan itu.
"Ah, jadi bukit ini adalah tempat tinggalmu, nona? Kalau begitu, maafkanlah aku, nona. Karena aku tidak mengerti dan..."
"Sudahlah! Engkau seorang kejam dan melihat bahwa engkau tadi telah mengeluarkan kepandaianmu, aku tahu bahwa engkau pandai silat. Agaknya kepandaian itu yang membuat engkau berhati kejam. Nah, majulah dan terimalah hukumanmu!"
Ditantang begitu, pemuda itu kelihatan gembira. Dia percaya akan kepandaiannya sendiri, dan tentu saja dia memandang rendah kepada seorang gadis yang kelihatan begitu cantik jelita dan lemah, walaupun gadis aneh itu mengaku pemilik bukit itu!
"Nona, aku tidak ingin berkelahi denganmu, bahkan kalau engkau suka, aku ingin berkenalan denganmu. Namaku Tan Hok Seng dan aku..."
"Aku tidak ingin berkenalan denganmu, melainkan ingin menghukummu atas kekejamanmu tadi. Majulah!"
Bi Lian sudah siap. Pemuda yang mengaku bernama Tan Hok Seng itu kini tersenyum.
"Nona, sudah kukatakan bahwa aku tidak ingin berkelahi denganmu. Akan tetapi, mengapa engkau mendesak dan menantangku? Ketahuilah, nona, aku sama sekali tidak kejam terhadap kuda itu. Aku seorang penyayang kuda, dan kuda itu selama ini menjadi sahabat baikku. Akan tetapi setelah tadi dia terjatuh dan kuperiksa, kedua kaki depan patah tulang, kepalanya juga retak. Dia tidak ada harapan hidup lagi. Bagaimana aku dapat membiarkan dia menderita terlalu lama? Lebih baik dibunuh untuk mengakhiri penderitaannya."
Bi Lian bukan seorang gadis bodoh atau seorang yang masih belum matang. Sebaliknya, ia seorang gadis dewasa gemblengan yang sudah banyak pengalaman, seorang pendekar wanita yang tentu saja berpikir panjang dan berpemandangan luas.
Mendengar alasan yang dikemukakan pemuda tinggi tegap, tampan dan gagah itu, ia dapat menerimanya dan ia sudah tidak lagi menyalahkan pemuda itu. Mungkin agak terlalu keras, namun apa yang dilakukan oleh pemuda itu terhadap kudanya memang merupakan satu-satunya jalan untuk mengakhiri penderitaan binatang yang di sayangnya itu. Ia dapat menerima alasan itu dan ia tidak marah. Akan tetapi diam-diam timbul keinginannya untuk menguji sampai dimana kehebatan pemuda gagah perkasa ini. Kalau saja ia tadi tidak melihat pemuda itu menghindarkan diri terbawa jatuh bersama kudanya dengan membuat pok-sai (salto) sedemikian indahnya, kemudian melihat betapa sekali pukul saja pemuda itu dapat membunuh kudanya, tentu tidak timbul keinginan hatinya untuk menguji kepandaian pemuda itu.
"Sudahlah, cukup! Aku tidak ingin berpanjang cerita. Engkau sudah mengotori tempat tinggal kami dengan bangkai kuda di dalam jurang. Sekarang hanya ada dua pilihan. Engkau ambil bangkai kuda itu dan kau kuburkan baik-baik agar tidak menimbulkan bau busuk atau engkau harus menghadapi seranganku!"
Pemuda yang bernama Tan Hok Seng itu mengerutkan alisnya yang hitam dan berbentuk golok, akan tetapi mulutnya masih tersenyum. Dia menjenguk ke bawah jurang, lalu menarik napas panjang.
"Nona, bagaimana mungkin menuruni jurang ini untuk mengambil bangkai kuda itu?"
Katanya. Tentu saja Bi Lian maklum akan ketidakmungkinan ini, maka ia justeru mengajukan pilihan itu sehingga takkan ada piihan lain bagi pemuda itu kecuali menandinginya!
"Hemmm, kalau engkau tidak dapat mengambilnya dan menguburnya, engkau harus menandingiku!"
Lalu ia menambahkan.
"Tentu saja kalau engkau bukan seorang pengecut yang takut menerima tantanganku!"
Biarpun pada dasarnya Bi Lian mempunyai jiwa pendekar, namun ia menerima gemblengan dua orang datuk sesat, yaitu Pak Kwi Ong dan Tung Hek Kwi, maka sedikit banyak watak ugal-ugalan menular kepadanya dan ia dapat bersikap keras mau menang sendiri!
Tan Hok Seng menarik napas panjang, akan tetapi matanya yang agak lebar itu bersinar dan wajahnya berseri. Dia kagum bukan main dan harus diakuinya di dalam hati bahwa gadis yang berdiri di depannya itu bukan main cantiknya. Tubuhnya padat ramping dengan lekuk lengkung yang menunjukkan bahwa gadis itu sudah matang dan dewasa, kulitnya putih mulus dan kulit muka dan lehernya demikian halus, tangannya demikian kecil lembut sehingga sukar dipercaya bahwa tangan selembut itu dapat bermain silat dan memukul orang. Rambutnya panjang di kuncir dan melilit leher sampai pinggang. Sepasang mata yang demikian jeli dan tajam sinarnya, hidung kecil mancung, mulut yang menggairahkan dengan bibir yang basah kemerahan, ditambah manisnya dengan tahi lalat kecil di dagu. Bukan main!
"Nona, sungguh aku tidak ingin bermusuhan denganmu, apa lagi berkelahi. Akan tetapi bukan berarti aku pengecut atau takut kepadamu. Tapi..."
"Sudahlah, sambut seranganku ini!"
Bentak Bi Lian yang ingin berkelahi bukan karena marah, melainkan karena ingin tahu sampai di mana kepandaian pemuda yang gagah dan tampan ini. Hok Seng cepat mengelak karena dari sambaran tangan yang lembut itu datang angin pukulan yang amat kuat. Dia terkejut dan sambil mengelak, diapun membalas dengan tamparan ke arah pundak. Dia masih sungkan melihat kecantikan gadis itu, maka yang diserang hanyalah pundak lawan. Bi Lian melihat betapa gerakan pemuda itu cukup tangkas, dengan jurus silat yang baik, kalau ia tidak salah menilai, dari aliran silat Bu-tong-pai, maka iapun cepat menangkis untuk mengukur sampai di mana besarnya tenaga pemuda itu.
"Dukkk!"
Lengan Hok Seng terpental dan dia meringis kesakitan. Tak disangkanya bahwa lengan yang kecil gadis itu mengandung tenaga yang demikin kuatnya sehingga dia merasa lengannya bertemu dengan sepotong baja, bukan lengan gadis yang halus.
"Huh, jangan pandang rendah kepadaku! Kerahkan semua tenagamu dan keluarkan semua kepandaian silatmu!"
Bi Lian mengejek, tahu bahwa pemuda itu tadi tidak mengerahkan semua tenaganya. Hok Seng terkejut ketika kembali Bi Lian menyerang dengan kecepatan luar biasa. Tubuh gadis itu bergerak seperti bayangan saja, dan memang Bi Lian mengerahkan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang ia warisi dari mendiang Pak Kwi Ong si ahli gin-kang. Dan iapun mempergunakan ilmu silat yang diwarisinya dari Tung Hek Kwi, mengandalkan sin-kang dan dengan ilmu silat ini ia dapat membuat lengannya mulur hampir setengah lengan panjangnya!
Hok Seng berusaha melawan dengan gerakan cepat dan mencoba untuk membalas. Namun, sebentar saja dia menjadi pening karena harus memutar-mutar tubuh mengikuti gerakan Bi Lian yang menyambar-nyambar bagaikan burung walet. Ternyata pemuda itu, biarpun cukup gesit dan bertenaga besar, namun dalam hal ilmu silat, dia masih kalah jauh dibandingkan Bi Lian. Padahal, Bi Lian belum memainkan ilmu silat yang baru saja ia pelajari dari ayah ibunya! Bi Lian pun maklum akan hal ini, maka iapun tidak menjatuhkan tangan maut kepada Hok Seng, hanya menyerang bertubi-tubi untuk mengacaukan perlawanannya saja. Kalau ia menghendaki, tentu pemuda itu tidak akan mampu bertahan lebih dari dua puluh jurus! Tiba-tiba nampak dua sosok bayangan orang berkelebat di tempat itu dan terdengar seruan nyaring berwibawa,
"Hentikan perkelahian!"
Mendengar suara ayahnya, Bi Lian meloncat ke belakang, mendekati ayah ibunya yang memandang ke arah Hok Seng. Mereka tadi melihat betapa puteri mereka menyerang seorang pemuda yang mencoba untuk membela diri mati-matian, akan tetapi hati mereka lega karena melihat bahwa Bi Lian sama sekali tidak bermaksud mencelakai orang itu yang kalah jauh dibandingkan puteri mereka.
"Ayah dan ibu, orang ini telah membunuh kudanya yang jatuh terluka dan membuang bangkainya ke dalam jurang."
Si Kumbang Merah Penghisap Kembang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bi Lian melapor karena tidak ingin dipersalahkan.
"Aku melihatnya sebagai hal yang kejam, dan dia mencemarkan udara ini dengan bangkai kuda yang tentu akan membusuk di dalam jurang dan baunya akan mengotorkan udara di sini. Maka kutantang dia!"
"Aih, engkau ini mencari gara-gara saja, Bi Lian."
Tegur ibunya. Melihat gadis itu ditegur ibunya, Hok Seng cepat memberi hormat kepada suami isteri itu, merangkap kedua tangan dan membungkuk dengan sikap sopan sekali.
"Mohon maaf kepada paman dan bibi yang terhormat bahwa saya telah lancang melanggar wilayah tempat tinggal ji-wi (kalian berdua). Sesungguhnya nona ini tidak bersalah dan sayalah yang bersalah. Kuda saya itu kelelahan, terpeleset dan jatuh di sini. Kedua kaki depannya patah dan kepalanya retak. Untuk mengakhiri penderitaannya, maka terpaksa saya membunuhnya dan membuang bangkainya ke dalam jurang dengan maksud agar tidak mengganggu orang yang lewat di sini. Akan tetapi saya telah melakukan kesalahan karena tanpa saya sadari saya telah membuangnya ke jurang sehingga mengotorkan udara di sini..."
Suami isteri itu memandang dengan senyum. Hati mereka tertarik dan merasa suka sekali kepada pemuda gagah tampan yang pandai membawa diri itu.
"Orang muda, kami yang minta maaf kepadamu untuk anak kami. Biarpun kami tinggal di daerah ini, akan tetapi tentu saja kami tidak menguasai seluruh bukit dan lembah. Dan engkau tidak dapat dipersalahkan kalau membuang bangkai kudamu itu ke dalam jurang. Anak kami telah bersikap tidak sepatutnya, harap engkau suka menyudahi saja urusan ini."
"Dengan segala senang hati, paman. Pula, apa daya saya seorang yang bodoh dan lelah ini terhadap nona yang demikian tinggi ilmunya? Tadinyapun saya sudah segan melawannya, akan tetapi karena nona mendesak terpaksa saya..."
"Sudahlah!"
Kata Bi Lian.
"Bukankah ayahku sudah mengatakan agar urusan ini disudahi saja? Ataukah engkau masih merasa penasaran?"
Karena tidak ingin terus dipersalahkan, gadis itu membentak.
"Bi Lian! Tidak pantas bersikap kasar kepada seorang tamu!"
Kata ibunya.
"Orang muda, apa yang diucapkan isteriku itu benar. Engkau adalah seorang tamu, maka kami persilakan untuk berkunjung ke rumah kami di sana!"
Dengan tangan kanannya Siangkoan Ci Kang menunjuk ke belakang. Tan Hok Seng memang sudah kagum bukan main kepada Bi Lian. Pertama kali bertemu tadi sudah menjadi tergila-gila oleh kecantikan gadis itu, kemudian setelah bertanding, dia kagum bukan main melihat bahwa gadis itu selain cantik jelita juga memiliki Jimu silat yang amat tinggi sehingga dia yang biasanya membanggakan kepandaiannya, sekali ini sama sekali tidak berdaya! Maka, ketika ayah ibu gadis itu muncul, dia yang sudah kagum sekali kepada keluarga ini mempunyai niat untuk dapat menjadi murid suami isteri yang tentu saja amat sakti itu. Mendengar undangan itu, tentu saja Hok Seng menjadi girang bukan main, akan tetapi dengan rendah hati dia menjawab.
"Ah, saya hanya akan mengganggu dan membikin repot saja kepada paman dan bibi yang terhormat..."
"Ah, jangan sungkan, orang muda. Terimalah undangan kami kalau engkau memang mau memaafkan anak kami."
Kata Siangkoan Ci Kang dan isterinya juga mengangguk ramah. Apa yang ditemukan di Kim-ke-kok ini ternyata jauh melebihi apa yang telah didengarnya. Ketika tiba di kaki pegunungan Heng-tuan-san, dia sudah mendengar dari para penduduk dusun di sekitar daerah itu bahwa di Kim-ke-kok tinggal sepasang suami isteri yang dikenal oleh para penduduk sebagai sepasang pendekar yang sakti dan yang suka menolong para penduduk.
Tertariklah hatinya, apa lagi ketika mendengar bahwa selama beberapa bulan ini, sepasang pendekar itu kedatangan seorang gadis cantik jelita yang kabarnya adalah puteri mereka. Kini, begitu melihat gadis itu, dia sudah kagum bukan main. Apa lagi ketika ayah ibunya muncul. Seorang pria berusia empat puluh tahun lebih yang tinggi tegap, lengan kirinya buntung akan tetapi sikapnya demikian gagah dan berwibawa. Adapun isterinya juga merupakan tokoh yang tidak kalah menariknya. Seorang wanita berusia empat puluh tahun lebih sedikit, wajahnya agak kepucatan namun cantik dan dengan raut wajah yang agung, juga bentuk tubuhnya masih padat dan indah seperti seorang gadis saja. Kiranya mereka inilah sepasang suami isteri pendekar yang dipuji-puji oleh para penduduk dusun itu.
Dan biarpun dia belum pernah melihat mereka menggunakan kepandaian, baru melihat kelihaian puteri mereka saja, dia sudah dapat membayangkan betapa saktinya suami isteri itu. Dengan sikap hormat Tan Hok Seng lalu mengikuti suami isteri itu bersama puteri mereka ke sebuah rumah yang berdiri di lembah, di bagian yang datar dan subur. Rumah itu nampak mungil terpelihara rapi, dengan taman bunga yang penuh dengan bunga beraneka warna. Biarpun di dalam hatinya Bi Lian kagum juga kepada pemuda yang tampan gagah dan bersikap lembut itu, namun di sudut hatinya masih terdapat kekecewaan bahwa ilmu silat pemuda itu masih amat rendah dibandingkan ia sendiri. Maka, begitu pemuda itu diterima ayah ibunya duduk di ruangan tamu, ia lalu mengundurkan diri dengan dalih membantu pelayan di belakang.
"Orang muda, siapakah engkau, datang dari mana dan ada keperluan apa engkau berkunjung ke lembah ini?"
Siangkoan Ci Kang bertanya, akan tetapi suaranya yang lembut tidak menimbulkan kesan bahwa dia menyelidiki keadaan pemuda itu. Pemuda itu nampak berduka sekali ketika mendengar pernyataan ini. Bukan kedukaan buatan, melainkan benar-benar dia merasa berduka dan merasa betapa nasibnya amat buruk.
"Paman, saya adalah seorang yang hidup sebatang kara dan yang tertimpa malapetaka dan penasaran besar,"
Dia mulai menceritakan keadaan dirinya. Karena dia sudah mengambil keputusan untuk kalau mungkin berguru kepada suami isteri pendekar ini, maka dia tidak ragu-ragu lagi untuk menceritakan riwayatnya.
"Saya seorang yatim piatu dan dengan susah payah melalui kerja keras akhirnya saya berhasil menjadi seorang perwira. Akan tetapi, sungguh malang nasib saya, saya difitnah orang yang menginginkan kedudukan saya sehingga saya dijatuhi hukuman buang oleh pemerintah! Untung bahwa di dalam perjalanan, saya ditolong seorang pendekar yang tidak memperkenalkan dirinya sehingga saya dapat bebas, lalu saya melarikan diri. Dalam perjalanan melarikan diri dari kemungkinan pengejaran petugas keamanan kota raja maka hari ini saya sampai ke tempat ini."
"Hemm, begitukah?"
Siangkoan Ci Kang memandang tajam untuk menyelidiki apakah cerita itu dapat dipercaya. Pemuda itu membalas tatapan matanya dengan penuh keberanian dan keterbukaan, dan ini saja sudah membuktikan bahwa ceritanya memang benar.
"Siapakah namamu, orang muda?"
"Nama saya Tan Hok Seng, paman. Dan melihat kehebatan ilmu silat puteri paman dan bibi tadi, timbul keinginan hati saya, apabila kiranya paman dan bibi sudi menerimanya, saya ingin sekali berguru kepada paman dan bibi di sini. Biarlah saya bekerja apa saja di sini, sebagai pelayan, tukang kebun atau pesuruh. Apa saja asal paman dan bibi sudi menerima saya sebagai murid."
Setelah berkata demikian, langsung saja Hok Seng menjatuhkan diri berlutut di depan suami isteri itu. Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu saling pandang. Suami isteri yang sudah dapat mengetahui isi hati masing-masing hanya dengan melalui pandang mata saja itu saling kedip dan dengan lembut Toan Hui Cu mengangguk. Suami isteri ini sebetulnya sama sekali tidak mempunyai keinginan untuk mengambil murid baru. Bagi mereka, seorang murid seperti Pek Han Siong sudah cukup, apa lagi masih ada puteri mereka yang mewarisi ilmu-ilmu mereka. Akan tetapi, apa yang mereka harapkan, yaitu agar Han Siong menjadi menantu mereka telah gagal dan mereka merasa kecewa bukan main.
Baru saja mereka membicarakan urusan perjodohan puteri mereka. Mereka sudah ingin sekali mempunyai mantu dan mempunyai cucu. Maka, kemunculan seorang pemuda seperti Tan Hok Seng itu mempunyai arti besar bagi mereka, menumbuhkan suatu harapan baru. Biarpun baru saja berjumpa, namun banyak hal pada diri pemuda ini yang menarik perhatian mereka. Pertama, Tan Hok Seng adalah seorang pemuda yang cukup dewasa, berusia dua puluh lima tahun lebih, dan yatim piatu pula. Dia cukup tampan dan gagah, juga sikapnya amat sopan, baik dan nampaknya terpelajar. Sungguh merupakan gambaran seorang calon mantu yang baik. Mengenai ilmu silat, kepandaiannya juga tidak terlalu rendah, dan dengan gemblengan yang keras, dalam waktu tidak terlalu lama dia tentu akan memperoleh kemajuan pesat.
"Tan Hok Seng, bangkit dan duduklah. Permintaan itu akan kami pertimbangkan setelah engkau tinggal beberapa hari di sini. Karena kami belum mengenal benar siapa engkau, maka tentu kamipun tidak dapat tergesa-gesa menerimamu sebagai murid."
Kata Siangkoan Ci Kang dan isterinya segera menyambung dengan pertanyaan.
"Orang muda, apakah selain yatim piatu, engkau tidak mempunyai seorangpun anggauta keluarga? Kakak atau adik, paman atau bibi, mungkin isteri atau tunangan."
Pertanyaan ini sambil lalu dan tidak kentara, namun Tan Hok Seng bukanlah seorang pemuda hijau. Dia dapat menangkap apa yang tersembunyi di balik pertanyaan itu dan diam-diam diapun merasa girang bukan main. Kalau saja selain menjadi murid suami isteri yang sakti ini juga dapat menjadi mantu mereka! Gadis tadi sungguh cantik manis menggairahkan!
"Saya hidup sebatang kara, bibi, tidak ada sanak tidak ada kadang, apa lagi keluarga."
Mendengar ini, kembali suami isteri itu saling pandang dan mereka sungguh mengharapkan sekali ini puteri mereka akan menemukan jodohnya. Atas pertanyaan kedua orang itu, Tan Hok Seng lalu menceritakan pengalamannya, sampai dia difitnah dan selain kehilangan kedudukan dan pekerjaannya, dia bahkan dihukum buang oleh pemerintah.
"Sejak kecil saya kehilangan orang tua yang meninggal dunia karena sakit. Saya hidup terlunta-lunta, mengembara dan menyadari bahwa saya akan hidup sengsara kalau tidak memiliki kepandaian, saya sejak kecil bekerja sambil belajar. Banyak yang saya pelajari dengan biaya hasil pekerjaan saya memburuh. Mempelajari ilmu baca tulis sampai sastera, dan terutama sekali mempelajari ilmu-ilmu silat dari manapun. Setelah dewasa, dengan bekal ilmu-ilmu yang saya pelajari, saya mendapatkan pekerjaan di kota raja sebagai seorang prajurit pengawal istana. Karena ketekunan dan kerajinan saya, maka dalam waktu beberapa tahun saja saya menerima kenaikan pangkat sampai akhirnya menjadi seorang perwira pengawal."
Suami isteri itu mendengarkan dengan hati senang. Pemuda ini mengagumkan. Sejak kecil yatim piatu dan hidup sebatang kara, namun mampu memperoleh kemajuan yang hebat sampai menjadi seorang perwira pasukan pengawal istana! Dari kemajuan ini saja dapat dijadikan ukuran bahwa Tan Hok Seng ini memang seorang pemuda yang penuh semangat.
"Kemudian, bagaiaman tentang fitnah itu?"
Tanya Siangkoan Ci Kang dengan hati tertarik. Hok Seng menghela napas panjang.
"Itulah, Suhu..."
Pemuda itu tergagap karena keliru menyebut Suhu (guru).
"maafkan teecu (murid)..."
Siangkoan Ci Kang tersenyum dan mengangguk,
"Tidak mengapa, boleh engkau menyebut guru kepadaku."
Mendengar ini, Hok Seng menjadi gembira bukan main dan dia segera menjatuhkan dirinya lagi berlutut dan memberi hormat kepada suami isteri itu dengan menyebut "Suhu"
Dan "Subo". Suami isteri itu saling pandang dan tersenyum. Memang mereka tidak ragu lagi, dan tidak perlu menanti sampai beberapa hari. Mereka percaya kepada pemuda ini dan suka menerima sebagai murid, bahkan dengan harapan untuk mengambil pemuda ini sebagai calon mantu, pengganti Pek Han Siong yang ditolak oleh puteri mereka.
"Bangkit dan duduklah, Hok Seng, dan lanjutkan ceritamu kepada kami,"
Kata Siangkoan Ci Kang.
"Suhu, agaknya kemajuan dan keberuntungan teecu di kota raja itu menimbulkan iri hati kepada teman-teman dan rekan-rekan karena ada di antara mereka yang sudah bertahun-tahun menjadi perajurit pengawal tidak pernah mendapatkan kenaikan. Sedangkan teecu dalam beberapa tahun saja mendapatkan beberapa kali kenaikan pangkat. Nah, pada suatu hari, istana ribut-ribut karena kehilangan peti kecil terisi perhiasan seorang puteri istana, dan aneh sekali, peti itu kemudian ditemukan dalam kamar teecu!"
"Hemm, dan engkau tidak mencuri peti perhiasan itu, Hok Seng?"
Tanya Toan Hui Cu sambil memandang tajam.
"Subo, bagaimana mungkin teecu mencuri? Selamanya teecu tidak pernah mencuri. Pula, bagaimana mungkin teecu dapat mencuri peti perhiasan yang berada di dalam istana bagian puteri? Hanya para thai-kam (kebiri) sajalah yang dijinkan memasuki bagian puteri Itu jelas fitnah."
"Hemm, kalau fitnah, bagaimana peti perhiasan itu dapat ditemukan di dalam kamarmu?"
Siangkoan Ci Kang bertanya.
"Itulah yang mencelakakan teecu, Suhu. Teecu tidak tahu bagaimana peti itu dapat berada di dalam kamar teecu, tersembunyi di bawah pembaringan. Jelas bahwa ini perbuatan seorang yang sengaja melempar fitnah kepada teecu. Akan tetapi karena bukti ditemukan di kamar teecu, teecu tidak dapat banyak membela diri. Teecu dijatuhi hukuman buang, karena Sri Baginda Kaisar mengingat akan jasa-jasa teecu sehingga teecu tidak dihukum mati. Akan tetapi dalam perjalanan melaksanakan hukuman buang itu, di tengah perjalanan muncul seorang pendekar berkedok yang membebaskan teecu bahkan memberi bekal uang emas kepada teecu tanpa memberi kesempatan kepada teecu untuk mengenal mukanya atau namanya."
Asmara Berdarah Eps 33 Pendekar Mata Keranjang Eps 10 Pendekar Mata Keranjang Eps 8