Ceritasilat Novel Online

Pendekar Sadis 30


Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo Bagian 30



Akan tetapi sambil tertawa, Thian Sin meloncat lurus ke atas untuk membebaskan diri dari kepungan tongkat-tongkat itu. Sepuluh orang itu bergerak dengan cepat, tahu-tahu tubuh Thian Sin di udara telah tertahan dan terjepit oleh tongkat-tongkat itu! Keadaan Thian Sin seolah-olah sudah tidak berdaya lagi karena tubuhnya tertahan di udara oleh tongkat-tongkat itu yang malang-melintang dan menghimpitnya. Terdengar Hek-bin Mo-kai tertawa senang menyaksikan hal ini. Akan tetapi tiba-tiba saja terdengar suara melengking tinggi dan tubuh Thian Sin meronta, kedua kakinya bergerak-gerak dan terpelantinglah sepuluh orang itu, tongkat mereka beterbangan jauh ke kanan kiri menimpa dinding-dinding ruangan yang luas itu,

   Sedangkan sepuluh orang yang terpelanting itupun mengaduh-aduh karena beberapa di antara mereka terkena tendangan kaki Thian Sin yang kini sudah turun kembali sambil tersenyum-senyum. Hek-bin Mo-kai maklum akan kelihaian pemuda itu, maka diapun mengeluarkan seruan nyaring, memerintahkan tiga orang murid kelas dua untuk mengeroyok. Tiga orang pengemis tua ini adalah murid-murid kepala yang telah memiliki tingkat kepandaian tinggi. Mereka lalu menerjang maju sambil menggerakkan tongkat mereka. Melihat gerakan ini dan mendengar suara angin pukulan tongkat mereka, Thian Sin maklum bahwa tiga orang ini telah memiliki kepandaian tinggi, apalagi di situ terdapat dua orang ketua Hwa-i Kai-pang yang sudah mulai memutar tongkat masing-masing pula.

   Sambil tertawa Thian Sin lalu menggerakkan kedua tangannya dan putuslah tali pengikat pergelangan tangannya tadi. Sekali dia menggerakkan kedua tangan yang memegang tali, maka tali itu seperti seekor ular saja menyambar ke depan. Terdengar pekik mengerikan ketika tiga orang pengemis, termasuk Si Hidung Pesek, terjengkang roboh dengan kepala pecah terkena tali yang disambitkan Thian Sin itu. Tentu saja semua orang terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa pemuda itu sedemikian lihainya sehingga sambitan tali bekas belenggu tangannya saja sudah berhasil membunuh tiga orang anggauta Ngo-lian-tin yang lihai! Dan mulailah Thian Sin mengamuk! Dia dikeroyok lima, yaitu oleh dua orang ketua Hwa-i Kai-pang yang dibantu oleh tiga orang murid utama mereka.

   Lo-thian Sin-kai adalah seorang tokoh Hwa-i Kai-pang yang paling lihai karena dia telah mewarisi ilmu-ilmu dari Hwa-i Sin-kai pendiri dari Hwa-i Kai-pang. Dia memiliki semua ilmu silat kai-pang itu, pandai sekali memainkan tongkat, baik dengan Ilmu Ngo-lian Pang-hoat mampun Ta-houw Sin-pang, dan selain itu, juga dia memiliki tenaga yang kuat sekali. Sutenya, Hek-bin Mo-kai, juga amat lihai dan hanya kalah sedikit saja dibandingkan dengan suhengnya itu. Maka, dibantu oleh tiga orang murid utama mereka, tentu saja lima orang ini merupakan lawan yang amat tangguh dan amat berbahaya. Mereka itu merupakan inti kekuatan yang paling tinggi sebagai pucuk pimpinan Hwa-i Kai-pang. Akan tetapi sekali ini mereka bertemu dengan Thian Sin sehingga ketangguhan mereka itu sama sekali tidak ada gunanya.

   "Hemm, sejak dahulu sampai kini kalian adalah pengecut-pengecut hina yang hanya berani kalau mengandalkan pengeroyokan,"

   Thian Sin berkata sambil menghadapi terjangan mereka yang bertubi-tubi itu dengan tangan kosong saja. Dia tidak begitu mempedulikan tiga orang murid utama itu, karena yang diincarnya adalah dua orang ketua Hwa-i Kai-pang yang pernah mengeroyok dan ikut membunuh ayah bundanya.

   "Wuuuttt...!"

   Sinar tongkat menyambar dari kanan dengan amat hebatnya karena tongkat ini ditusukkan dengan pengerahan tenaga oleh Hek-bin Mo-kai yang maklum bahwa dia dan suhengnya dibantu murid-muridnya harus dapat membunuh pemuda putera mendiang Pangeran Ceng Han Houw ini kalau tidak mereka sendiri yang akan tewas. Maka serangannyapun selalu dilakukan dengan pengerahan tenaga sepenuhnya.

   "Plakk!"

   Thian Sin menangkap tongkat itu, tidak mempedulikan pukulan tiga batang tongkat dari arah belakangnya yang dilakukan oleh tiga orang murid utama Hwa-i Kai-pang itu. Dia hanya mengerahkan sin-kangnya untuk melindungi tubuh belakangnya. Terdengar suara keras ketika tiga batang tongkat itu mengenai punggung, pinggul dan leher belakang atau tengkuknya, dan tiga batang tongkat itu membalik, membuat tiga orang penyerangnya berteriak kaget dan kesakitan karena telapak tangan mereka terobek dan berdarah!

   Sementara itu, Thian Sin yang sudah berhasil menangkap tongkat Hek-bin Mo-kai itu lalu melangkah maju dengan cepat sekali, tangan kanan menangkap tongkat, tangan kiri menyambar ke depan untuk mencengkeram dada lawan yang dibencinya ini. Hek-bin Mo-kai tadi telah berusaha menarik kembali tongkatnya, namun sia-sia belaka dan melihat serangan pemuda itu, dia cepat melangkah mundur dan terpaksa dia melepaskan tongkatnya. Pada saat itu, Lo-thian Sin-kai telah menyerang pula dengan tongkatnya yang menghantam ke arah kepala Thian Sin. Melihat serangan yang amat hebat ini, Thian Sin yang telah merampas tongkat Hek-bin Mo-kai, menggunakan tongkat itu untuk menangkis sambil mengerahkan tenaga sekuatnya.

   "Krakkk!"

   Tongkat di tangannya patah menjadi dua, demikian pula tongkat di tangan Lo-thian Sin-kai! Ketua pertama dari Hwa-i Kai-pang ini terkejut bukan main, apalagi pada saat itu, Thian Sin berseru keras dan potongan tongkatnya tadi telah dilontarkan ke depan. Hek-bin Mo-kai sedang lari untuk mengambil senjata baru dari rak, dan Thian Sin yang mengira bahwa kakek muka hitam itu hendak melarikan diri, telah mempergunakan kepandaiannya menyambitkan potongan tongkat di tangannya.

   "Aughhh...!"

   Hek-bin Mo-kai berteriak dan roboh, paha kirinya tertusuk potongan tongkat sampai tembus! Melihat ini, Lo-thian Sin-kai terkejut dan marah, lalu menubruk ke depan pada saat Thian Sin menyambitkan tongkatnya tadi dan menggunakan kedua tangannya sambil mengerahkan sin-kang yang amat kuat untuk menghantam ke arah dada dan lambung pemuda itu. Inilah jurus yang paling hebat dari Ta-houw Sin-ciang-hoat. Jangankan manusia, bahkan harimau yang kuat sekalipun akan tewas seketika terkena hantaman yang dapat menghancurkan isi dada dan perut ini. Thian Sin yang sedang menyambitkan potongan tongkat itu, melihat hantaman ini, akan tetapi dia tidak peduli dan membiarkan dada dan lambungnya dipukul!

   "Plak! Plak! Krekkk...!"

   Tubuh Lo-thian Sin-kai terpelanting dengan tulang pundak kanan kiri remuk, sedangkan tubuh Thian Sin hanya terguncang sedikit saja.

   Kiranya ketika menerima pukulan pada dada dan lambungnya itu, Thian Sin menerima pukulan lawan sambil balas menghantam dengan ketukan jari-jari tangannya ke arah kedua pundak lawan yang membuat tulang-tulang kedua pundak itu patah. Sengaja Thian Sin tidak membunuhnya, melainkan merobohkan kedua orang kakek itu lebih dulu. Tentu saja robohnya dua orang ketua ini membuat tiga orang murid utamanya terkejut dan gentar bukan main. Namun mereka tidak diberi kesempatan lagi. Thian Sin bergerak cepat sekali dan dengan beberapa kali serangan saja, tiga orang itu telah roboh dan tewas! Tujuh orang murid tingkat tiga yang tadinya sudah mengepung, kini maju mengeroyok, ditambah lagi dengan para anggauta pengemis yang datang mendengar keributan di ruangan itu.

   Terjadilah pengeroyokan, namun Thian Sin mengamuk dan dalam waktu singkat telah merobohkan dan menewaskan beberapa orang murid-murid rendahan sehingga tubuh-tubuh yang telah menjadi mayat itu malang melintang di ruangan itu. Melihat ini, kedua orang ketua Hwa-i Kai-pang terkejut dan ketakutan, akan tetapi mereka itu tidak mampu meninggalkan lantai di mana mereka roboh tadi. Lo-thian Sin-kai telah remuk kedua pundaknya sehingga untuk bangun saja dia tidak mampu, sedangkan Hek-bin Mo-kai yang pahanya tertusuk tongkat itupun tidak mampu bangkit. Mereka berteriak-teriak beberapa kali untuk minta tolong kepada anak buah mereka agar mereka dibawa melarikan diri, namun setiap orang pengemis yang mencoba mendekatinya tentu dirobohkan oleh Thian Sin. Akhirnya, para pengemis itu maklum bahwa melawan pemuda ini sama dengan membunuh diri,

   Maka sisanya, kurang dari setengahnya, lari ketakutan meninggalkan sarang mereka dan ada yang cepat melapor kepada komandan pasukan penjaga keamanan kota raja di benteng. Melihat sisa para pengeroyoknya melarikan diri, Thian Sin tidak mau mengejar. Yang dicarinya adalah dua orang ketua itu dan kini mereka telah roboh tak mampu bergerak lagi. Sambil tersenyum dia menghampiri mereka setelah dia menendang tubuh Hek-bin Mo-kai sehingga tubuh orang ini terlempar di dekat suhengnya. Mereka berdua hanya dapat memandang kepada pemuda itu dengan sinar mata mengandung kebencian dan juga rasa serem. Belum pernah mereka bertemu dengan seorang pemuda yang selihai ini, yang mengingatkan mereka akan kelihaian mendiang Pangeran Ceng Han Houw.

   "Hemm, kiranya engkaulah yang disebut Pendekar Sadis!"

   Akhirnya Lo-thian Sin-kai berkata. Dia tidak mengharapkan depat hidup lagi, akan tetapi diapun tidak takut mati. Betapapun juga Sin-kai yang gagah perkasa dan lihai, dan ketika mereka itu ikut mengeroyok dan membunuh Pangeran Ceng Han Houw, merasa berada di fihak benar karena pangeran itu dianggap seorang pemberontak dan seorang yang amat jahat, dan sudah pernah mengacau dunia kang-ouw pula. Thian Sin tersenyum.

   "Salah kalian sendiri, sudah mendengar aku datang mencari kalian, kalian tidak mau bersembunyi. Ha-ha, sekarang bagaimama? Coba ceritakan begaimana kalian dahulu ikut mengeroyok dan membunuh ayah bundaku."

   "Ayahmu seorang penjahat, seorang pemberontak yang kejam!"

   Bentak Lo-thian Sin-kai.

   "Dan engkau tidak kalah jahatnya dengan ayahmu!"

   Hek-bin Mo-kai juga memaki. Thian Sin hanya tersenyum.

   "Apakah kalian tidak jahat? Apakah anak buah kalian yang melakukan pemerasan di kota raja tidak busuk? Memang, melihat kebusukan orang lain, betapapun kecilnya, amatlah mudah, sebaliknya, kebusukan sendiri segede gajah takkan pernah kalian lihat!"

   "Tidak perlu banyak cakap lagi, kami sudah kalah, mau bunuh kami, bunuhlah!"

   Bentak Lo-thian Sin-kai.

   "Kami adalah laki-laki sejati yang tak takut mati!"

   Hek-bin Mo-kai juga berkata, sambil menyeringai menahan sakit.

   "Bagus! Gagah perkasa tak takut mati, akan tetapi pengecut hina, beraninya hanya mengandalkan pengeroyokan banyak orang, dahulu terhadap ayah bundaku dan sekarang terhadap diriku."

   "Bocah setan yang sombong tak perlu banyak mulut lagi!"

   Hek-bin Mo-kai membentak. Thian Sin tersenyum lebar dan tangannya bergerak ke bawah, dua kali jari tangannya menotok ke arah dada dan leher Hek-bin Mo-kai. Dan kembali dia bergerak melakukan penotokan yang sama terhadap tubuh Lo-thian Sin-kai.

   Mula-mula kedua orang kakek itu tidak merasakan sesuatu, hanya ada hawa dingin menyelinap ke dalam bagian tubuh yang tertotok jari tangan pemuda itu. Akan tetapi, mulailah terasa gatal-gatal dan dingin, lalu rasa gatal itu semakin menghebat disertai rasa perih seperti ditusuk-tusuk jarum! Kedua orang kakek itu berusaha mempertahankan diri, akan tetapi rasa nyeri yang tidak begitu hebat namun makin lama makin terasa itu mulai menggerogoti perasaan mereka. Rasa gatal sukar dapat dipertahankan orang, apalagi rasa perih yang sedikit demi sedikit menusuk-nusuk perasaan itu. Rasa nyeri yang hebat sekali dapat mematikan rasa, atau dapat membuat orang pingsan karenanya.

   Akan tetapi rasa gatal-gatal disertai perih sedikit demi sedikit itu menyerap makin hebat dan keduanya tidak dapat mengerahkan sin-kang karena tenaga mereka telah punah oleh totokan itu. Mereka berusaha mempertahankan diri tanpa mengeluh, dan keduanya sampai menggigit bibir mereka. Akan tetapi rasa nyeri makin hebat dan bibir mereka pecah-pecah oleh gigitan sendiri. Darah mengalir membasahi mulut mereka. Sungguh keadaan mereka amat mengerikan. Muka mereka penuh dengan keringat dan tubuh mereka menggeliat-geliat, dan akhirnya keduanya tidak dapat bertahan lagi dan mulailah mereka mengeluh. Mula-mula hanya rintihan-rintihan saja, masih mereka tahan, akan tetapi tak lama kemudian mereka sudah menangis dan meraung-raung minta mati!

   Dan Thian Sin berdiri sambil bertolak pinggang, tersenyum menyaksikan dua orang lawan yang disiksanya sedemikian hebat itu. Dia tadi telah menotok mereka dengan pengerahan tenaga sin-kang yang dipelalarinya dari kitab ayahnya, dan dia telah membuat mereka itu keracunan sedikit demi sedikit. Raungan-raungan kedua orang kakek itu masih terdengar, sungguhpun semakin lama semakin lemah dan pada saat itu, terdengar suara hiruk pikuk di luar, lalu tak lama kemudian banyak perajurit penjaga keamanan kota raja yang mengurung tempat itu menyerbu ke dalam! Melihat betapa dua orang kakek yang menjadi musuhnya itu telah mulai sekarat dan nyawa mereka tak mungkin dapat tertolong lagi, Thian Sin tertawa bergelak dan tubuhnya meloncat ke atas, menerobos genteng.

   Beberapa orang anggauta kai-pang dan perajurit yang beriaga di atas genteng, terkejut melihat munculnya pemuda itu yang menerobos genteng. Mereka mencoba untuk menyerang, dan akibatnya mereka sendiri yang terlempar dan jatuh tunggang-langgang di atas genteng, ada pula yang terus menggelinding ke bawah dan tentu saja mengalami kematian terbanting dari atas genteng, ternyata pemuda itu telah lenyap tanpa meninggalkan bekas. Bekas amukannya yang ada, yaitu kematian banyak sekali anggauta kai-pang dan beberapa orang perajurit, dan yang amat mengerikan adalah kematian dua orang ketua kai-pang itu. Wajah mereka masih menyiringai, mata mereka terbelalak dan wajah itu masih membayangkan rasa nyeri yang luar biasa, akan tetapi nyawa mereka telah melayang.

   Gegerlah ibu kota atau kota raja dengan terjadinya peristiwa yang mengerikan ini, dan semakin terkenallah nama Pendekar Sadis karena kini semua orang sudah dapat menduga, melihat dari cara-cara kematian yang disebabkannya, bahwa yang mengamuk itu tentu bukan lain Pendekar Sadis yang banyak disohorkan orang akhir-akhir ini. Bukan hanya sampai di situ saja sepak terjang Thian Sin di kota raja. Dia memang sudah berhasil membunuh Lo-thian Sin-kai dan Hek-bin Mo-kai, dua orang di antara para pengeroyok dan pembunuh ayah bundanya. Akan tetapi dia belum puas karena dia belum berhasil menemukan orang yang lebih dibencinya dari pada yang lain, yaitu Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam. Seperti diketahui, Tok-ciang Sian-jin ini adalah seorang tokoh Jeng-hwa-pang yang juga ikut pengeroyok dan membunuh ayah bundanya.

   Dan bahkan lebih dari itu, orang ini adalah yang terpandai di antara mereka yang mengeroyok ayah bundanya. Dan sampai kini dia belum juga berhasil membalas, bahkan belum tahu di mana adanya Tok-ciang Sian-jin yang dicari-carinya itu. Maka, Thian Sin lalu mendatangi para tokoh kang-ouw, terutama sekali para penjahat di sekitar kota raja. Maksudnya untuk mencari keterangan dan menyelidiki di mana adanya Tok-ciang Sian-jin, akan tetapi caranya menimbulkan kegemparan hebat di kota raja. Terhadap para tokoh dunia hitam ini, Thian Sin bersikap luar biasa kejamnya. Dia menangkap, menyiksa, membunuh, memaksa kepada mereka itu untuk membuka rahasia di mana adanya Tok-ciang Sian-jin.

   Dan untuk itu dia tidak segan-segan melakukan kekejaman yang mendirikan bulu roma terhadap para penjahat itu. Makin terkenallah nama Pendekar Sadis dan ditakuti oleh kaum penjahat melebihi iblis sendiri. Belum pernah ada tokoh atau datuk sesat sekalipun lebih mengerikan dan lebih ditakuti oleh kaum sesat seperti Pendekar Sadis ini. Thian Sin amat membenci kepada penjahat karena dianggapnya bahwa penjahat-penjahat itulah yang telah merusak hidupnya, telah mencelakakan orang-orang yang dicintanya dan karena itu, dia telah mengambil keputusan untuk memusuhi semua penjahat di dunia ini! Ada kalanya dia memasang mata di pasar dan tempat-tempat ramai dan kalau dia melihat ada penjahat yang melakukan pencopetan saja,

   Dia tidak segan-segan untuk turun tangan dan mematahkan tulang lengan pencopet itu. Bahkan di waktu malam dia sering keluar dan sekali dilihatnya ada pencuri, tentu pencuri itu akan dibuntungi tangannya! Pemerkosa jangan harap dapat hidup kalau bertemu dengannya, karena Thian Sin segera akan menghukumnya secara mengerikan, yaitu membuntungi alat kelaminnya! Belum ada sebulan dia datang ke kota raja, keadaan kota raja menjadi gempar. Bukan hanya para penjahat yang ketakutan setengah mati, bahkan penduduk kota raja juga merasa gelisah dan ngeri. Siapapun adanya dia, setiap orang sudah tentu tidak akan luput daripada kesalahan, dan dia tentu merasa ngeri untuk dilihat dan dihukum oleh seorang seperti Pendekar Sadis ini.

   Pada suatu senja, Thian Sin kembali ke dalam kuil tua di mana dia menyembunyikan diri karena dia tahu bahwa pasukan kota raja selalu mencarinya. Sudah beberapa kali dia bertemu dengan penyelidik-penyelidik dari kota raja itu, akan tetapi selalu dia dapat membuat mereka tidak berdaya. Untuk dapat beristirahat dengan tanpa banyak gangguan, dia lalu mencari penginapan di luar kota raja dan akhirnya dia menemukan sebuah kuil tua yang dikabarkan orang sebagai kuil tua kosong yang banyak hantunya. Sungguh kebetulan, pikirnya. Kalau kuil itu berhantu, tentu tidak ada orang yang akan berani mendekatinya. Dari penduduk di kampung-kampung sekitar kuil yang berada di tempat sunyi di lereng pegunungan sebelah utara kota raja ini, dia mendengar bahwa siapapun yang
(Lanjut ke Jilid 29)
Pendekar Sadis (Seri ke 05 "

   Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 29
berani datang ke kuil ini, apalagi di malam hari, tentu akan bertemu dengan hantu dan kabarnya sudah ada beberapa orang yang mati dengan mengerikan di tempat itu.

   Mati menggantung diri, atau digantung hantu, tak ada yang dapat tahu dengan pasti. Pendeknya, di sebelah belakang kuil itu terdapat sebuah tengkorak manusia yang masih tergantung di batang pohon. Hanya tinggal kepala dan leher saja yang tergantung, sedangkan tulang-tulang bagian lainnya telah runtuh dan bertumpuk di bawah pohon itu tanpa ada yang berani mengganggunya. Kepercayaan akan tahyul membuat orang yang memiliki kepandaian tinggi sekalipun menjadi penakut. Orang yang lihai boleh jadi tidak takut menghadapi pengeroyokan banyak lawan tangguh dan bahkan tidak gentar menghadapi kematian. Akan tetapi, karena kepercayaan tahyul yang telah berakar di dalam hati mereka, ditanamkan sejak kecil, membuat mereka atau orang yang tinggi ilmu silatnya sekalipun dapat lari tunggang langgang. Mereka itu merasa serem. Akan tetapi Thian Sin sama sekali tidak merasa takut.

   Dia telah sering menghadapi hal-hal menyeramkan, yaitu ketika dia bertapa di dalam gua dan mempelajari ilmu sihir dari kakek pertapa di Pegunungan Himalaya. Kalau memang ada hantunya, biarlah aku berkenalan dengan hantu itu, pikirnya, siapa tahu dia akan dapat mempelajari ilmu yang lebih hebat lagi dari hantu itu! Maka, beberapa malam yang lalu, ketika dia untuk pertama kali mendatangi tempat itu, dia melakukan pengintaian. Tidak ada apa-apa di situ, sunyi saja. Akan tetapi ketika dia sedang duduk beristirahat di dalam kuil itu, tiba-tiba dia mendengar suara melengking yang aneh. Seketika bulu tengkuknya nwremang, akan tetapi dia melawannya dan dengan mengusap tengkuknya, rasa meremangpun lenyaplah. Dia lalu berindap-indap menuju ke arah suara yang datangnya dari belakang kuil di mana terdapat pohon yang ada tengkoraknya tergantung itu.

   Dia melangkah maju menghampiri karena malam itu gelap, cuaca hanya diterangi oleh sinar bulan yang sepotong. Ketika dia sudah dekat untuk dapat melihat tengkorak itu, dia mendapat kenyataan bahwa suara itu memang datang dari arah tengkorak itu dan kembali bulu tengkuknya meremang ketika dia melihat tengkorak itu bergoyang-goyang! Padahal pada saat itu tidak ada angin sama sekali! Kalau bukan Thian Sin yang menghadapi penglihatan dan pendengaran seperti itu, agaknya tentu sudah melarikan diri karena sepandai-pandainya manusia, kalau harus menghadapi sesuatu yang tidak dimengertinya dan yang berada di luar kemampuannya sebagai manusia, apalagi setelah segala yang didengarnya sejak kecil tentang ketahyulan yang menyeramkan,

   Tentu dia sudah ketakutan. Akan tetapi, biarpun bulu tengkuknya terasa dingin, kepalanya terasa berat dan seperti membengkak besar, Thian Sin kembali mengusap tengkuknya dan dia malah maju menghampiri! Agaknya "hantu"

   Itu menjadi penasaran melihat pemuda ini tidak ketakutan seperti orang-orang lain yang pernah melihat dan mendengarnya, maka suara melengking itu menjadi semakin nyaring menyeramkan, dan tengkorak yang bergantungan pada pohon itu juga bergoyang-goyang lebih keras lagi, seolah-olah hendak terbang dan menubruknya. Thian Sin tidak berhenti dan terus menghampiri, dan pada saat itu, terdengar teriakan parau menyeramkan dari atas pohon dan dari atas itu melayanglah sesosok tubuh tinggi besar hitam seolah-olah bayangan itu hendak menyerbu Thian Sin.

   Pemuda ini menghentikan langkahnya dan siap sedia menyambut terkaman bayangan tubuh tinggi besar yang tidak kelihatan jelas dalam keremangan cuaca itu, akan tetapi... tubuh itu berhenti di tengah udara dan tergantung-gantung. Kiranya bayangan tubuh manusia yang bergantung diri atau digantung orang! Thian Sin meloncat dan tangannya menyambar, maksudnya untuk menolong orang yang tergantung itu dan sekali tangannya bergerak, tali yang menggantung orang itu putus dan diapun sudah memondong tubuh itu ke bawah. Akan tetapi ternyata tubuh itu hanyalah sepotong kayu besar yang diberi pakaian! Mengertilah dia bahwa ada yang mempermainkannya dan kalau ada yang main hantu-hantuan maka tentu yang main-main itu adalah manusia! Karena suara itu datang dari atas pohon, maka Thian Sin lalu meloncat lagi, kini menerjang ke tengah daun-daun pohon yang rindang itu.

   Ada pedang menyambutnya, akan tetapi dengan gerakan tangannya, Thian Sin dapat membuat pedang itu terpukul ke samping dan orang yang memegang pedang itu tidak kuat menyambut terjangan Thian Sin. Sambil mengeluarkan teriakan orang itu terjatuh dari atas pohon! Suara berdebuk keras membuktikan bahwa orang itu tidak mempunyai ilmu gin-kang yang baik dan tubuhnya telah terbanting keras ke atas tanah. Thian Sin mengikutinya dan melompat turun, lalu menghampiri tubuh yang menggereng kesakitan itu. Kirinya dia seorang laki-laki setengah tua yang mengerang kesakitan dan napasnya empas-empis karena tadi dia telah terkena pukulan tangan sakti Thian Sin yang mengenai dadanya ditambah lagi dia terbanting roboh ke atas tanah yang mematahkan beberapa tulang iganya.

   "Hemm, mengapa kau menakut-nakuti orang?"

   Thian Sin membentak. Orang itu sukar sekali menjawab karena dia menderita sakit bukan main dan napasnya tinggal satu-satu,

   "...Agar... tempat ini menjadi tempatku... tanpa diganggu orang... dan... dan... orang-orang yang ketakutan... meninggalkan barang-barangnya..."

   Orang itu tidak dapat bicara terus karena kepalanya terkulai dan tewas. Pukulan Thian Sin tadi memang hebat sekali, dilakukan karena menduga bahwa ada lawan tangguh bersembunyi di dalam pohon. Thian Sin menarik napas panjang dan sejenak dia berdiri termenung. Orang ini mati karena kesalahan sendiri, dan pula, memang orang itu bukan orang baik-baik, agaknya menakut-nakuti orang selain untuk membuat orang takut datang ke tempat itu, juga agaknya untuk memperoleh barang-barang orang yang lari ketakutan. Betapapun juga, orang ini telah berjasa baginya, telah memberikan sebuah tempat persembunyian yang baik sekali. Maka malam itu juga Thian Sin menggali lubang dan mengubur jenazahnya.

   Rasa takut memang selalu mempengaruhi kehidupan manusia. Hampir seluruh manusia di dunia ini hidup dalam cengkeraman rasa takut yang dapat juga dinamakan kekhawatiran, kegelisahan, dan sebagainya. Pendeknya, rasa takut akan sesuatu. Tentu saja perasaan ini mempengaruhi kehidupannya, karena setiap tindakan yang didasari oleh rasa takut tentu merupakan suatu tindakan yang tidak wajar dan palsu. Dapatkah kita hidup bebas dari rasa takut? Apakah sesungguhnya perasaan takut akan sesuatu ini? Kalau kita mau mengamatinya dengan waspada, maka kita akan dapat melihatnya bahwa rasa takut timbul dari permainan pikiran kita sendiri yang membayangkan sesuatu yang tidak ada, sesuatu yang belum tiba, sesuatu yang dibayangkan akan ada dan akan menyusahkan diri kita. Kalau tidak ada pikiran yang membayang-bayangkan keadaan yang belum ada ini, maka rasa takutpun tidak akan ada.

   Orang yang takut akan penyakit menular yang sedang mengamuk tentu belum terkena penyakit itu, orang yang takut akan kehilangan pekerjaan tentu belum kehilangan pekerjaan, orang yang takut akan kematian tentu belum mati. Demikian pula, orang yang takut akan setan tentu belum bertemu dengan yang ditakutinya itu. Maka dari itu, apabila menghadapi setiap persoalan, setiap peristiwa, kita membuka mata dengan waspada tanpa membayangkan hal-hal yang belum terjadi, tindakan kita tentu akan lebih tepat. Seperti halnya Thian Sin, ketika menghadapi segala penglihatan dan pendengaran itu, dia tidak membayangkan hal-hal yang mengerikan, melainkan dengan waspada dia mengamati, maka dia terbebas dari rasa takut dan dapat menanggulangi keadaan yang bagaimanapun juga.

   Ada yang mengatakan bahwa kita takut setan karena kita tidak mengertinya, karena kita tidak mengenalnya. Benarkah itu? Kalau kita mau menyelidiki, maka rasa takut akan setan itu sama sekali bukan timbul karena kita tidak mengenalnya. Orang yang tidak pernah mengenal setan, yang tidak pernah mendengar cerita tentang setan, anak-anak yang belum pernah mendengar sama sekali tentang setan, tidak mungkin akan takut! Sebaliknya, yang kita takuti adalah karena kita sudah tahu tentang setan, sudah mendengar tentang setan, bahwa setan itu menakutkan, mengerikan, menyeramkan dan sebagainya. Maka, takutlah kita, karena pikiran kita membayangkan hal-hal yang menakutkan itu! Sederhana sekali, bukan? Maka sekali lagi, dapatkah kita hidup bebas dari rasa takut?

   Senja itu Thian Sin kembali ke tempat persembunyiannya yang sunyi itu. Seperti biasa kalau dia hendak beristirahat di tempat ini, dia tidak langsung memasuki kuil. Dia tahu bahwa pada waktu itu, dia telah menanam banyak sekali bibit permusuhan dan pasti banyak orang pandai yang akan mencarinya dan mencelakainya. Oleh karena itu, dia selalu hati-hati dan ketika dia tiba di tempat sunyi itu, diapun tidak langsung memasuki kuil tua. Dia mengambil jalan memutar, lebih dulu mengelilingi kuil itu untuk melihat kalau-kalau ada orang bersembunyi. Ketika dia mulai memutari kuil, tiba-tiba dia mendengar suara isak tangis perlahan yang datangnya dari arah belakang kuil di mana terdapat pohon besar yang menakutkan itu.

   Hemm, apakah ada orang gila lain lagi yang hendak menakut-nakutinya, pikirnya. Ataukah ada orang pandai yang datang untuk membalas segala perbuatannya terhadap orang-orang jahat selama beberapa pekan di kota raja ini? Dengan hati-hati Thian Sin lalu pergi ke belakang kuil, dan diapun terheran-heran melihat ada sesosok tubuh wanita berlutut di bawah pohon besar itu, tak jauh dari tengkorak yang masih tergantung, dan menangis terisak-isak! Hemm, apakah ini? Perangkap? Thian Sin bersikap hati-hati sekali dan dengan kepandaiannya, dia berloncatan jauh dan mengelilingi pohon itu dari jauh untuk melihat kalau-kalau kehadiran wanita itu merupakan perangkap untuknya. Akan tetapi sunyi saja. Tidak ada orang lain kecuali wanita itu sendiri yang masih menangis. Maka diapun tidak curiga lagi dan cepat menghampiri, lalu setelah berdiri dekat diapun menegur halus.

   "Siapakah engkau? Mengapa kau menangis di sini?"

   Wanita itu nampak terkejut dan mengangkat muka memandang. Thian Sin melihat sebuah wajah yang cukup manis, dengan usia kurang dari tiga puluh tahun dan wanita itu segera bangkit berdiri dan menghadapi Thian Sin dengan sikap marah.

   "Kenapa engkau menggangguku? Pergilah! Urusanku tidak ada sangkut-pautnya denganmu. Pergi!"

   Akan tetapi tentu saja Thian Sin tidak mau pergi, bahkan dia mengerutkan alisnya dan berkata,

   "Hemm, engkaulah yang menggangguku, engkaulah yang harus pergi dari sini. Tempat ini adalah tempatku. kau siapa dan apa maksudmu..."

   "Persetan denganmu!"

   Bentak wanita itu, yang segera menerjang dan memukulnya! Thian Sin melihat gerakan orang yang paham ilmu silat, bahkan pukulannya cukup cepat dan keras. Dia menangkap lengan yang memukulnya itu dan sekali memutarnya, tubuh wanita itu terpelanting jatuh. Akan tetapi, dengan nekat wanita itu bangkit lagi dan menyerang lagi, kini menendang dengan tendangan cepat dan kuat ke arah pusar. Thian juga menangkap kaki itu dan mendorongnya sehingga wanita itu jatuh terbanting lebih keras lagi! Wanita itu menangis lagi.

   "Hu-huuuh... kau ... kamu manusia kejam... !"

   Dan iapun menghampiri pohon di mana sudah terpasang selendangnya, sehelai selendang yang diikatkan ujungnya di cabang, dekat tempat tengkorak bergantung, kemudian wanita itu meloncat, memegang selendang yang tergantung itu dan memasang ujungnya pada lehernya, kemudian melepaskan kedua tangannya sehingga lehernya tergantung! Thian Sin terkejut sekali, akan tetapi dia berdiri dan tetap tersenyum. Ah, wanita itu tentu hanya hendak menggertak saja, pikirnya.

   Wanita seperti itu tentu bisa saja mempergunakan akal, pura-pura gantung diri untuk menarik perhatiannya, atau mungkin juga ada udang di balik batu. Siapa tahu wanita itu hendak menjebaknya. Maka diapun diam saja, bahkan bersedakap dan berdiri memandang sejenak, kemudian membalikkan tubuhnya dan memasuki kuil! Wanita itu sejak menggantung diri tadi memandang kepada Thian Sin dengan sinar mata tajam dan kini tubuhnya berkelojotan, lidahnya terjulur keluar, matanya melotot, akan tetapi ia tetap tidak mau mempergunakan kedua tangannya untuk menahan selendang. Kalau dikehendakinya, tentu saja ia dapat mempergunakan tangannya untuk menahan selendang dan melepaskan lehernya dari gantongan itu. Akan tetapi agaknya keputusannya sudah bulat dan ia memilih mati di tempat gantungan itu,

   Berdekatan dengan tengkorak orang yang dahulu telah menggantung diri sampai mati di situ dan yang arwahnya kabarnya menjadi setan di tempat itu. Setelah tubuh itu tidak berkejojotan lagi, barulah Thian Sin berloncatan keluar dari kuil menuju ke pohon itu. Dengan mudah saja dia menurunkan wanita itu dari tempat gantungan, memondongnya memasuki kuil di mana telah dinyalakan sebatang lilin. Dia biasa tidur di lantai yang ditilami jerami kering dan seilmut. Direbahkannya tubuh itu ke atas selimut dan dia memeriksanya. Memang wanita itu telah pingsan. Cepat dia mengurut leher itu, menotok beberapa jalan darah dan memaksa bibir itu terbuka dan dituanginya beberapa teguk air dari guci airnya. Tak lama kemudian wanita itu membuka mata, mengeluh dan nampak bingung.

   "Su... sudah matikah...?"

   Akan tetapi ia melihat wajah Thian Sin dan cepat ia memukul sambil meloncat bangun. Thian Sin menangkap tangan itu.

   "Tenanglah. Aku menyelamatkanmu dari kematian dan engkau malah hendak memukulku?"

   "Kenapa kau menurunkan aku? Kenapa tidak membiarkan aku mati. Ah, aku ingin mati saja! Aku ingin mati... huh-huuuhh..."

   Dan wanita itupun menangis lagi, mengguguk. Thian Sin merasa kasihan. Tadinya dia merasa curiga, akan tetapi setelah melihat betapa wanita itu sungguh-sungguh hendak membunuh diri, dia merasa kasihan dan timbul keinginannya untuk menolong wanita yang merasa berduka dan lebih baik memilih mati itu.

   "Katakanlah kepadaku, mengapa engkau ingin mati? Kalau ada rasa penasaran, beritahukan padaku dan aku akan menolongmu."

   Wanita itu menghentikan tangisnya dan memandang kepada wajah Thian Sin, lalu menangis lagi.

   "Tak mungkin..."

   Isaknya.

   "Biarpun engkau dapat mengalahkan aku, akan tetapi seorang pemuda pelajar macam engkau ini mana mungkin dapat menandingi Toan-ong-ya?"

   Diapun menangis lagi. Diam-diam Thian Sin tertarik. Dia sudah pernah mendengar nama ini. Toan-ong-ya adalah seorang pangeran tua yang kabarnya tidak aktip lagi dalam pemerintahan, akan tetapi orang itu terkenal sebagai seorang pangeran yang kaya raya, memiliki ilmu silat cukup tinggi, dan terutama sekali, amat dermawan dan dikenal baik oleh para tokoh persilatan. Pangeran tua yang dikabarkan kaya raya dan gagah itu bagaimana kini dapat membuat seorang wanita muda yang manis ini menderita dan ingin membunuh diri?

   "Ceritakanlah, jangankan Toan-ong-ya, biarpun raja neraka sekali, kalau kuanggap cukup memenuhi syarat untuk dibasmi, akan kubunuh dia!"

   Katanya dengan nada suara yang serius dan halus, namun mengandung ancaman yang mendirikan bulu roma. Wanita itu masih menangis, membuat Thian Sin menjadi jengkel juga.

   "Ceritakanlah dan aku akan membantumu. Kalau engkau tidak mau, nah, pergi dari sini dan kalau kau mau bunuh diri, silakan, akan tetapi jangan di tempatku sini!"

   Wanita itu menghentikan tangisnya, kemudian menjatuhkan diri berlutut di depan Thian Sin.

   "Benarkah Taihiap sudi menolongku, membalaskan dendam sakit hatiku yang sedalam lautan?"

   "Ceritakanlah apa yang terjadi,"

   Potong Thian Sin.

   "Pangeran terkutuk itu telah membunuh ayahku, suamiku, lalu memperkosaku dan memaksaku menjadi selirnya. Aku tak tahan lagi dan hendak membunuhnya untuk membalas kematian ayahku dan suamiku, akan tetapi dia terlalu kuat bagiku dan aku malah dihinanya... sampai aku melarikan diri dan pergi ke tempat yang terkenal ada hantunya ini untuk membunuh diri..."

   Thian Sin mengerutkan alisnya. Tentu saja dia tidak mau menelan dan menerima saja cerita sepihak macam ini.

   "Mengapa ayahmu dan suamimu dibunuh oleh pangeran itu?"

   Wanita itu lalu bercerita yang kadang-kadang diselingi isak. Ia bernama Louw Kim Lan, sudah beberapa tahun lamanya menjadi isteri dari seorang pemburu she Gak yang pekerjaannya memburu binatang buas berdua dengan ayahnya. Mereka berburu di hutan-hutan sebelah utara kota raja dan mereka telah mendapatkan seorang langganan yang baik, yaitu keluarga Pangeran Toan itulah. Pada suatu hari, ketika Kim Lan membawa kulit binatang hutan untuk dikirimkan ke rumah Toan-ong-ya, kebetulan sekali pangeran tua itu sendiri yang menerimanya dan agaknya pangeran yang terkenal kaya raya dan dermawan akan tetapi juga terkenal suka bermain-main dengan wanita-wanita cantik itu agaknya tertarik kepada Kim Lan yang manis.

   Kim Lan dibujuk dan diancam, bahkan Sang Pangeran itu mempergunakan kekerasan untuk menahannya di dalam istananya dan akhimya Kim Lan tak dapat melawan dan terpaksa harus menyerahkan diri kepada pangeran tua yang juga adalah seorang ahli silat tinggi yang amat lihai itu. Suaminya dan ayahnya yang sudah lama menjadi teman berburu suaminya, jauh sebelum ia menikah dengan pemburu itu, malam-malam datang menyelidiki dan dalam pertempuran melawan Toan-ong-ya, keduanya roboh tewas. Selanjutnya, Kim Lan diambil sebagai selir oleh pangeran itu. Ketika malam tadi Kim Lan mencari kesempatan untuk membunuh pangeran itu dengan racun ia ketahuan dan biarpun ia diampuni, namun ia diusir pergi dari istana.

   "Demikianlah, Taihiap. Apa dayaku sebagai seorang wanita lemah? Biarpun aku mengerti sedikit ilmu silat, akan tetapi mana mungkin aku menandingi Toan-ong-ya? Baru melawan para pengawalnya saja aku tidak akan mampu. Karena putus harapan dan penasaran, aku mengambil keputusan untuk mati dan menyusul ayah dan suamiku saja!"

   Kim Lan mengakhiri penuturannya dan menangis lagi. Thian Sin sudah mengerutkan alisnya dan mengepal tinju tangannya.

   "Baik, malam ini juga Toan-ong-ya akan kubunuh, akan tetapi engkau harus ikut untuk membuktikan kebenaran ceritamu!"

   Katanya. Wanita itu terkejut dan menggeleng kepala.

   "Tidak... tidak... mana aku berani ke sana?"

   "Jangan takut, ada aku yang akan melindungimu. Aku berjanji, takkan ada orang yang dapat mengganggumu seujung rambutmupun. Mari!"

   Dengan terpaksa, akan tetapi juga penuh harapan, wanita yang bernama Kim Lan itu lalu berlari menuju ke dalam kota raja. Ketika mereka tiba di pintu gerbang kota raja, Thian Sin memondongnya dan membawanya melompati tembok kota raja yang tinggi itu, membuat Kim Lan menahan napas dan juga kagum bukan main. Setelah mereka turun di sebelah dalam tembok itu, Kim Lan berkata.

   "Ah, sekarang aku percaya bahwa Taihiap tentu akan dapat membantuku menghadapi pangeran terkutuk itu!"

   Thian Sin tidak menjawab, melainkan menurunkan Kim Lan dan mereka melanjutkan perjalanan menuju ke istana pangeran itu. Suasana sudah sunyi karena waktu telah mulai menjelang tengah malam.

   Dengan mudahnya mereka tiba di sebelah belakang tembok yang mengurung istana Pangeran Toan itu. Di sini, kembali Thian Sin memondong tubuh Kim Lan dan meloncat ke atas pagar tembok, lalu mereka, atas petunjuk Kim Lan, turun ke dalam taman di belakang istana. Dari sini, Kim Lan menjadi penunjuk jalan. Dengan berindap-indap mereka memasuki bangunan yang besar dan megah itu, melalui pintu-pintu rahasia kecil yang dikenal baik oleh Kim Lan. Setelah memeriksa dengan berindap-indap, akhirnya mereka tiba di luar sebuah ruangan tamu di belakang, di mana pangeran itu suka menerima tamu-tamunya yang penting atau sahabat-sahabat baiknya. Dan ruangan itu masih terang, berarti bahwa Sang Pangeran masih berada di situ, dan terdengarlah lapat-lapat suara orang bicara di balik pintu ruangan itu.

   "Dia berada di dalam ruangan menjamu tamunya..."

   Kim Lan berbisik di dekat telinga Thian Sin. Thian Sin mengangguk dan balas berbisik,

   "Aku akan naik dan mengintai dari atas, engkau harus dapat membuktikan ceritamu kepadaku tadi, baru aku akan turun tangan."

   Setelah berkata demikian, sekali berkelebat Thian Sin telah lenyap dari depan wanita itu. Ditinggal seperti ini, Kim Lan terkejut dan gelisah. Akan tetapi ia percaya bahwa pemuda itu pasti mengintai dari atas dan ia harus dapat meyakinkan hati pemuda itu akan kebenaran ceritanya tadi, dan kalau pemuda itu turun tangan,

   Ia yakin bahwa musuh besarnya pasti akan dapat terbunuh dan dendamnya akan terbalas secara memuaskan sekali! Ia memberi kesempatan beberapa waktu agar pemuda itu dapat menemukan tempat pengintaian yang baik. Setelah lewat beberapa waktu, barulah ia mendorong pintu ruangan itu dan masuk ke dalam ruangan. Perbuatannya ini mengejutkan tiga orang laki-laki yang sedang duduk menghadapi meja dan bercakap-cakap di dalam ruangan itu. Mereka menghadapi cawan dan guci arak dan beberapa macam makanan kering. Tadinya pangeran tua itu mengira bahwa ada pelayan lancang yang memasuki ruangan, akan tetapi ketika dia melihat siapa yang masuk, alisnya berkerut dan dia bangkit berdiri dengan muka merah karena marah.

   "Hemm, perempuan rendah budi! Engkau berani datang lagi ke sini?"

   Bentaknya. Dari atas atap yang sudah dia lubangi, Thian Sin mengintai. Dia melihat bahwa yang berdiri dan membentak itu adalah seorang laki-laki yang usianya sudah lima puluh tahun lebih, bertubuh tinggi dan masih gagah, nampak berwibawa namun sikapnya halus sebagai tanda bahwa kakek ini adalah seorang terpelajar tinggi. Mudah baginya untuk menduga bahwa orang inilah yang dimaksudkan oleh Kim Lan, yaitu Toan-ong-ya, Pangeran Toan yang terkenal itu. Dari teguran itu maklumlah dia bahwa memang benar pangeran itu mengenal baik kepada Kim Lan. Dia melihat Kim Lan menjatuhkan diri berlutut.

   "Ong-ya... saya tidak percaya paduka begini kejam! Sesudah membunuh ayahku, suamiku, dan setelah sekian lama saya melayani paduka, kini paduka hendak mengusirku begitu saja!"

   "Hemm, engkau tak mungkin lupa akan perbuatanmu yang hina! Engkau hampir berhasil membunuhku dengan meracuni minumanku, dan engkau mengatakan aku yang kejam? Hayo pergi dari sini, jangan engkau injak lagi tempat ini!"

   "Tapi... tapi saya mencoba meracuni paduka karena paduka telah membunuh ayahku dan suamiku..."

   "Ayahmu dan suamimu mencari mampus sendiri! Sudahlah, pergi kataku!"

   Dari atas, Thian Sin mendengar ini semua dan percayalah dia akan kebenaran cerita Kim Lan. Pangeran itu tidak menyangkal telah membunuh ayah dan suami wanita itu, dan Kim Lan juga sudah mengaku telah mencoba meracuni Sang Pangeran, persis seperti yang diceritakan oleh wanita itu kepadanya tadi. Marahlah Thian Sin.

   Membunuh ayah dan suami orang, memperkosa isteri orang, dan hal ini dia tidak sangsi lagi melihat bahwa Kim Lan begitu berbakti dan mencinta suaminya sehingga mau meracuni pangeran itu, dan sekarang hendak mengusir wanita itu begitu saja. Jelas bahwa pangeran itu bukan seorang baik-baik! Dia melihat bahwa dua orang tamu pangeran itu ternyata adalah dua orang laki-laki yang nampak gagah perkasa, yang seorang bertubuh tinggi besar berpakaian seperti petani, sikapnya polos dan gagah, sedangkan yang kedua adalah seorang berjubah hwesio berkepala gundul, berusia sebaya dengan petani itu, yaitu kira-kira empat puluh tahun. Namun dia tidak peduli. Kalau mereka akan mengeroyoknya, terserah, pikirnya. Maka diapun segera menerobos atap dan melayang turun ke dalam ruangan itu.

   "Yang berkedudukan mempergunakan kekuasaannya untuk menindas orang, yang kaya-raya mempergunakan hartanya untuk memperbudak orang, yang kuat mempergunakan kepandaiannya untuk bersikap sewenang-wenang, seorang pangeran membunuh dan memperkosa orang seenak perutnya sendiri. Ahah, sungguh dunia sudah penuh dengan manusia-manusia jahat yang harus dibasmi!"

   Sementara itu, melihat munculnya seorang pemuda yang menerobos masuk dari atas, maklumlah Pangeran Toan bahwa orang ini tentulah sekutu dari Kim Lan, maka dia sudah mencabut pedangnya dan menudingkan pedang itu ke arah muka Thian Sin sambil membentak,

   "Siapakah engkau yang berani memasuki rumah orang tanpa ijin?"

   Thian Sin tersenyum.

   "Hemm, biarpun engkau seorang pangeran yang kaya raya, apa kau kira boleh membunuh orang tanpa ijin?"

   
Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Lalu sambil melangkah maju dia menyambung.

   "Kenalilah, aku adalah wakil orang-orang yang kau bunuh."

   Tangannya sudah bergerak menampar ke depan dengan cepat dan kuat.

   Melihat ini, sang pangeran cepat menggerakkan pedangnya membacok ke arah tangan yang menampar itu. Akan tetapi tamparan itu memang hanya serangan pancingan saja dari Thian Sin. Ketika pedang membacok, dia membuka tangannya dan menerima pedang itu dengan tangan terbuka! Melihat kenekatan lawan ini, Sang Pangeran sendiri sampai terkejut karena tangan itu akan buntung bertemu dengan pedangnya. Akan tetapi dia kecelik, karena pedang itu terhenti dan sudah digenggam oleh tangan Thian Sin dan begitu pemuda ini menarik dan mengirim tendangan ke arah lengan yang memegang pedang, Sang Pangeran tidak mampu mempertahankannya lagi dan pedang itu telah dapat dirampas oleh lawan! Selagi pangeran itu terkejut dan terheran, menjadi bengong karena selama hidupnya belum pernah dia menghadapi kelihaian seperti itu, Thian Sin sudah berseru,

   "Sekarang terimalah hukumanmu!"

   Pedangnya menyambar seperti kilat.

   "Tranggg...!"

   Pedangnya bertemu dengan tongkat yang dipegangnya oleh hwesio itu. Kiranya hwesio itu telah menangkis pedang dengan tongkatnya dan dari getaran pedangnya, Thian Sin tahu bahwa hwesio ini tidak boleh dipandang ringan.

   "Omitohud... harap jangan terlalu ganas, orang muda!"

   Kata hwesio itu.

   "Persetan dengan kamu! Aku tidak ada urusan denganmu!"

   Bentak Thian Sin sambil terus menerjang Sang Pangeran yang sudah melangkah mundur. Hwesio itu menerjang dengan tongkatnya untuk melindungi,

   Akan tetapi tiba-tiba pedang itu membalik dan berkelebat menyambar ke arah leher hwesio itu, lalu bertubi-tubi menyerangnya. Hwesio itu terkejut sekali dan sambil memutar tongkatnya diapun meloncat ke belakang. Kesempatan ini dipergunakan oleh Thian Sin untuk menubruk ke depan dan sebelum Sang Pangeran dapat mengelak, pedang itu telah menyambar seperti kilat. Sang Pangeran mengeluarkan jeritan mengerikan dan nampak darah muncrat dari bawah perutnya karena pedang itu telah menyambar ke arah alat kelaminnya! Pangeran itu terhuyung lalu roboh dan berkelojotan, kedua tangannya mendekap ke arah bagian yang terbabat pedang tadi. Peristiwa ini sedemikian cepatnya sehingga hwesio dan petani itu sejenak memandang bengong dan dengan muka pucat. Kemudian mereka berdua marah bukan main.

   "Penjahat kejam, apa yang kau lakukan?"

   Bentak mereka dan keduanya lalu menyerang Thian Sin dengan gerakan yang amat kuat dan cepat. Hwesio itu menyerang dengan tongkatnya, sedangkan orang yang berpakaian petani itu telah menyerangnya dengan sebatang golok. Gerakan Si Petani ini tidak kalah tangkas dan kuatnya dibandingkan dengan hwesio itu.

   Melihat gerakan mereka, Thian Sin terkejut juga karena dia mengenal gerakan dari ilmu silat partai Siauw-lim-pai. Dia mengelak ke kanan kiri dan tongkat bersama golok itu telah menjadi gulungan sinar yang terus mengejarnya. Thian Sin tahu bahwa lawannya tangguh dan bahwa dia harus bertindak cepat kalau tidak mau keburu datang pasukan pengawal. Dari luar sudah terdengar ribut-ribut. Maka diapun cepat mainkan Thai-kek Sin-kun, kedua kakinya bergerak dengan langkah-langkah yang hebat dan tahu-tahu tangannya sudah berhasil mendorong kedua orang lawan itu sampai mereka terhuyung ke belakang. Dua orang itu terkejut bukan main karena mereka juga mengenal Thai-kek Sin-kun, akan tetapi mereka tidak mengenal tenaga serangan yang amat dahsyat tadi.

   "Kau... kau Pendekar Sadis!"

   Teriak orang yang berpakaian petani.

   "Omitohud... yang ini tidak patut dinamakan pendekar, melainkan Penjahat Sadis!"

   Kata Si Pendeta.

   "Aku tidak mempunyai urusan dengan kalian!"

   Kata Thian Sin dan cepat dia menyambar tubuh Kim Lan yang berdiri di sudut dengan wajah khawatir, lalu hendak berlari keluar.

   "Penjahat kejam jangan lari!"

   Bentak Si Petani dan diapun sudah meloncat dengan cepatnya menerjang Thian Sin sambil menggerakkan goloknya.

   "Plakk! Tranggg...!"

   Golok itu terlempar dan Si Petani itu jatuh terpelanting ketika Thian Sin menyambutnya dengan pukulan Pek-in-ciang. Melihat pukulan yang mengeluarkan uap putih itu Si Hwesio yang tadinya juga mengejar, terkejut dan cepat dia menolong temannya yang roboh pingsan, memeriksanya dan baru merasa lega ketika melihat bahwa temannya itu tidak tewas,

   Melainkan terguncang hebat oleh pukulan itu sehingga menjadi pingsan. Hwesio ini juga mengenal pukulan Pek-in-ciang, semacam pukulan sakti yang kabarnya hanya dimiliki oleh pendekar Yap Kun Liong, seorang locianpwe yang bertapa di Bwee-hoa-san dan yang kabarnya sudah tidak mencampuri lagi urusan dunia. Para pengawal berserabutan masuk, akan tetapi Thian Sin dan Kim Lan sudah tidak nampak lagi bayangannya. Mereka lalu menolong pangeran itu, akan tetapi terlambat karena pangeran itu telah tewas dengan anggauta kelaminnya terbabat buntung! Dengan hati penuh duka hwesio dan petani itu membantu keluarga pangeran itu untuk berkabung dan kematian Pangeran Toan ini benar-benar mengejutkan semua orang dan bahkan sempat menggegerkan dunia kang-ouw,

   Terutama para tokoh persilatan di sekitar kota raja. Pangeran ini dikenal sebagai seorang yang amat akrab dengan tokoh-tokoh kang-ouw, terkenal sebagai seorang budiman dan dermawan. Memang dia terkenal pula sebagai seorang pria yang suka dengan wanita-wanita muda sehingga di samping isterinya, juga di istananya terdapat belasan orang selir yang muda-muda dan cantik-cantik. Namun hal ini bukan merupakan kejahatan apalagi di masa itu di mana seorang bangsawan atau hartawan sudah biasa mempunyai banyak selir muda yang cantik. Pula, tidak pernah terdengar pangeran ini menggunakan kekuasaannya untuk memaksa isteri atau anak orang untuk menjadi selirnya. Oleh karena itu, pembunuhan terhadap dirinya sungguh mengejutkan dan menggegerkan,

   Apalagi ketika para tokoh itu mendengar bahwa pembunuhnya adalah Pendekar Sadis yang terkenal sebagai pembasmi yang kejam terhadap orang-orang jahat, dan bahwa pembunuhan itu dilakukan karena Sang Pendekar yang kejam itu menuduhnya berbuat kejahatan. Para tokoh besar dunia kang-ouw yang sudah mendengar akan sepak terjang Pendekar Sadis, yang sudah merasa marah dan menentang, tidak setuju akan kekejaman-kekejaman itu walaupun dilakukan terhadap penjahat-penjahat, kini menjadi marah dan menganggap bahwa Pendekar Sadis itu kini telah menyeleweng dan menjadi Penjahat Sadis! Ramailah dipersoalkan orang siapa adanya pemuda yang disebut Pendekar Sadis itu. Pendekar Sadis tidak pernah mengakui namanya dan julukannya itupun adalah pemberian orang kepadanya karena sepak terjangnya yang mengerikan.

   Datangnya seperti setan, tersenyum-senyum, tampan, ganteng, halus sikapnya, suka bersajak dan membaca ayat-ayat suci dari kitab-kitab suci, suka menyuling dan bernyanyi dengan suara merdu, akan tetapi sekali tangannya bergerak, maka lawan akan terjatuh dan tewas dalam keadaan tersiksa dan amat mengerikan! Belum pernah para tokoh kang-ouw melihat kekejaman yang sehebat itu dan merekapun merasa muak dan menentang keras. Perbuatan seperti yang dilakukan oleh Pendekar Sadis itu sungguh kejam dan tidak patut dilakukan oleh orang yang mengaku Pendekar. Hal ini bisa menodai dan mengotorkan nama pendekar-pendekar di dunia! Pendekar bukanlah orang yang kejam, walaupun pendekar selalu menentang kejahatan. Bahkan seorang pendekar harus menentang kekejaman, bersikap adil tanpa kejam, mengabdi kebenaran dan keadilan, membela yang lemah tertindas menentang yang kuat sewenang-wenang.

   Bahkan dua orang murid Siauw-lim-pai itu, yang malam itu menjadi tamu Pangeran Toan dan bahkan menjadi saksi kekejaman Pendekar Sadis, cepat-cepat pulang ke Siauw-lim-si untuk melaporkan sepak terjang Pendekar Sadis kepada para pemimpin Siauw-lim-pai. Sementara itu, Thian Sin juga merasa menyesal bahwa dia harus bentrok dengan dua orang yang melihat gerakannya dapat diduga tentu tokoh-tokoh Siauw-lim-pai itu. Akan tetapi dia tidak peduli. Kalau mereka itu membela Toan-ong-ya, berarti mereka membela fihak yang salah, pikirnya. Dengan cepat dia membawa lari Kim Lan dari istana pangeran itu. Dia tidak mau meninggalkan wanita itu di sana, karena hal itu sama saja dengan mencelakakannya. Dengan cepat sekali dia telah keluar dari kota raja dan menuju ke kuil yang gelap dan sunyi itu. Setibanya di luar kuil, dia menurunkan tubuh Kim Lan dan berkata,

   "Nah, sudah terbalas dendammu, sekarang pergilah kau ."

   Tiba-tiba wanita itu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Thian Sin.

   "Taihiap... aku merasa berterima kasih sekali kepadamu... dan biarlah aku menyerahkan diriku kepada Taihiap untuk membalas budi Taihiap..."

   "Hemm, pergilah dan jangan kau ganggu aku lagi!"

   Kata Thian Sin.

   "Tapi... tapi, Taihiap, ke manakah aku dapat pergi? Kalau bertemu dengan kaki tangan dan teman-temannya Pangeran Toan, tentu aku akan ditangkap dan dibunuhnya. Taihiap, mengapa Taihiap menolong aku setengah-setengah?"

   Thian Sin mengerutkan alisnya, maklum bahwa apa yang dikatakan oleh wanita itu memang ada benarnya.

   "Habis, apa maumu?"

   Tanyanya, agak bingung juga.

   "Taihiap, biarlah selama Taihiap berada di sini aku menemani Taihiap, aku akan melayani Taihiap... dan apapun yang Taihiap kehendaki dariku, akan kulakukan dengan senang hati."

   Thian Sin tidak menjawab. Dia sendiri bingung apa yang harus dilakukannya terhadap wanita ini.

   Untuk mengusirnya begitu saja terang tidak mungkin karena tentu wanita ini akan tertimpa malapetaka kalau bertemu dengan orang-orang yang mencarinya. Kematian Toan-ong-ya tentu akan menggemparkan kota raja dan para penjaga keamanan tentu akan mencari wanita ini. Maka diapun lalu masuk ke dalam kuil, menyalakan lilin. Ketika dia hendak membuat api unggun, dia telah didahului oleh Kim Lan yang tanpa banyak cakap, telah membuat api unggun, kemudian wanita itu duduk di sudut tanpa banyak bergerak, hanya sepasang matanya yang bening itu menatap ke arah pemuda itu. Thian Sin melirik. Wanita itu memang manis, dengan bentuk tubuh yang padat, kulit leher dan tangan cukup bersih dan halus. Sudah beberapa lamanya dia tidak berdekatan dengan wanita dan wanita ini memang manis, masih muda pula.

   "Tidak mungkin aku dapat melindungimu terus, besok aku akan pergi dari sini,"

   Tiba-tiba pemuda itu berkata sambil merebahkan dirinya di alas jerami kering. Kim Lan memandang dengan mata terbelalak, lalu bangkit dan menghampiri duduk di atas jerami dekat dengan Thian Sin.

   "Engkau hendak pergi, Taihiap? Ke mana? Lalu aku... aku bagaimana...?"

   Sambil rebah itu Thian Sin memandang. Apa gunanya wanita ini? Dan tiba-tiba dia bertanya,

   "Kim Lan, apakah yang harus kulakukan denganmu? Aku mempunyai banyak urusan penting dan aku tidak mungkin dapat melindungimu terus. Aku telah membalaskan sakit hatimu. Besok aku harus pergi untuk mencari seorang musuh besarku yang sampai kini belum juga kutemukan. Aku terpaksa akan meninggalkanmu di sini."

   "Mencari musuhmu, Taihiap? Siapakah yang kau cari? Siapa tahu aku dapat membantumu menemukannya."

   Ucapan ini mendatangkan harapan pada Thian Sin.

   "Benarkah? Yang kucari itu adalah seorang yang bernama Tok-ciang Sian-jin Ciu Hek Lam, seorang tokoh Jeng-hwa-pang yang kabarnya melarikan diri di kota raja, akan tetapi sampai kini belum juga dapat kutemukan."

   Wanita itu nampak termenung dan bibirnya membisikkan nama itu berkali-kali.

   "Tok-ciang Sian-jin...? Tok-ciang... ah, pernah aku mendengar nama itu, Taihiap!"

   Dan iapun mendekat dan jari-jari tangannya memegang lengan Thian Sin karena merasa tegang dan girang. Pemuda itu merasa jari-jari tangan yang halus itu mencengkeram lengannya, akan tetapi hal ini tidak begitu diperhatikan karena dia sudah bangkit duduk dan memandang dengan sinar mata penuh selidik.

   

Pendekar Lembah Naga Eps 36 Dewi Maut Eps 42 Pendekar Lembah Naga Eps 28

Cari Blog Ini