Pendekar Mata Keranjang 39
Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Bagian 39
Hay Hay sedang melancarkan serangan dahsyat, dengan tangan kiri mencengkeram lambung dan tangan kanan menampar ke arah ubun-ubun kepala. Serangan ini dahsyat sekali, angin Pukulannya menyambar ganas. Hek-hiat-kwi sengaja memppelambat gerakannya mengelak dan menangkis dan dia merasa yakin bahwa serangan itu tentu akan mengenai dirinya terutama bagian ubun-ubunnya agar dia dapat tewas dengan cepat. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa heran rasa hatinya ketika pada saat yang tepat, sama sekali tidak kentara, pemuda itu menyelewengkan serangannya sehingga meleset dan tidak mengenai sasaran, seolah-olah terelak atau tertangkis! Dan pada saat dia membalas dengan tendangan yang ringan saja, tendangannya itu mengenai pangkal paha pemuda itu yang membuat Hay Hay terhuyung ke belakang! Hampir saja Hek-hiat-kwi berseru heran.
Ini tidak mungkin, pikirnya! Tadi dia mengeluarkan ilmu tendangan simpanannya yang amat dahsyat, dan semua tendangan dapat dihindarkan pemuda itu. Mana mungkin tendangan ringan saja dapat mengenai paha dan membuat pemuda itu terhuyung? Dan serangan pemuda tadi pun sengaja diselewengkan! Ini hanya berarti bahwa pemuda itu sengaja mengalah! Akan tetapi apa maksudnya? Ketika dia mengangkat muka memandang dengan tajam, dia melihat betapa pemuda itu berkedip kepadanya. Kiu-bwe Tok-li tidak melihat kedipan ini karena ia berada di punggung nona yang berdiri di belakang pemuda itu. Dan dia pun bukan orang bodoh. Pemuda ini sengaja mengalah tentu mempunyai maksud dan merupakan suatu siasat! Maka, biarpun dia belum dapat menduga dengan tepat apa maksudnya, dia mengambil keputusan untuk ikut bersandiwara!
"Engkau masih belum menyerah kalah?"
Bentaknya ketika melihat pemuda itu maju lagi menyerang. Kini dia bahkan mengeluarkan lagi ilmu-ilmunya yang paling dahsyat. Tadi, semua ilmu simpanannya dapat digagalkan oleh pemuda itu, akan tetapi sekarang, begitu dia membalas dan mendesak, pemuda itu segera kelihatan terdesak sekali dan beberapa kali terhuyung, dan main mundur saja! Kakek itu semakin yakin bahwa lawannya benar-benar bersandiwara, memainkan suatu siasat. Melihat betapa Hay Hay terdesak hebat, Kui Hong berseru.
"Nek, lihat! Hay Hay terdesak terus. Turunlah, biar aku yang membantunya menghadapi kakek itu!"
Mendengar teriakan gadis itu, mengertilah Hek-hiat-kwi apa maksud permainan sandiwara lawannya. Tentu untuk mengelabuhi Kiu-bwe Tok-li agar mau membebaskan gadis itu agar dapat membantu mengeroyoknya! Maka dia pun mendesak semakin hebat dan sebuah tamparan tangan kirinya diterima dengan sengaja namun tidak kentara oleh Hay Hay, membuat tubuh Hay Hay terpelanting, akan tetapi pemuda itu tidak sampai roboh. Dia menyusulkan tendangannya yang dapat dielakkan oleh Hay Hay.
"Tok-li, lihat, dia makin payah!"
Kata Kui Hong yang benar-benar merasa khawatir.
"Hemm, jangan ribut dan jangan bergerak! Dia belum kalah!"
Kata nenek itu, sepasang matanya dengan tajam dan cerdik mengamati gerakan kedua orang itu.
"Tapi, Nek. Kalau sampai dia benar-benar kalah dan tewas, tentu engkau dan aku akan tewas pula di tangan kakek itu!"
Kui Hong membantah.
"Desss..!"
Pada saat itu, Hay Hay terkena Pukulan pada pundaknya dan sekali ini tubuhnya terguling-guling dan terbanting keras sampai debu mengepul dan pemuda itu memuntahkan darah segar! Sejak tadi saja Hay Hay menaruh perhatian akan percakapan antara Kui Hong dan nenek itu. Melihat betapa nenek itu masih belum terpancing, dia sengaja menerima hantaman tadi dengan pundaknya dan dengan tingkat kepandaiannya yang tinggi, dia mampu berlagak seolah-olah dia terluka parah dan muntahkan darah segar. Sekali ini Kiu-bwe Tok-li terjebak. Melihat keadaan pemuda itu memang parah, ia lalu berkata,
"Kui Hong, majulah akan tetapi biar aku yang membantu Hay Hay!"
Dengan girang Kui Hong meloncat ke depan dan melihat gerakan yang amat ringan dari gadis itu, diam-diam Hek-hiat -kwi terkejut. Kiranya puteri Ketua Cin-ling-pai itu pun memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang hebat sekali! Dia merasa kagum.
Akan tetapi karena gadis itu telah berada di depannya dan isterinya telah menyerangnya dengan cambuk ekor sembilan yang amat berbahaya, dia pun meloncat ke belakang. Hay Hay bangkit dan mengerling ke arah nenek itu. Ternyata nenek itu tetap hanya mempergunakan tangan kanan untuk memainkan cambuknya, sedangkan tangan kiri masih mencengkeram tengkuk Kui Hong! Maka dia pun maju lagi dan membantu nenek itu mengeroyok Hek-hiat-kwi. Hek-hiat-kwi segera terdesak hebat. Dengan kagum dia melihat betapa isterinya, walaupun kedua kakinya lumpuh, telah memperoleh kemajuan pesat dengan gerakan cambuknya, dan juga tenaga sin-kang yang terkandung dalam gerakan cambuk itu kuat bukan main. Biarpun lumpuh, karena digendong seorang gadis yang memiliki gin-kang sedemikian hebat, gerakannya tentu saja menjadi semakin lincah.
Cambuk itu meledak-ledak dari sembilan penjuru karena cambuk sembilan ekor bergerak dengan aneh, masing-masing ekor seperti hidup tersendiri. Ada yang menotok, ada yang melecut, ada pula yang membabat, dan setiap ekor cambuk menyambar bagian tubuh yang berbahaya! Hay Hay yang beraksi telah menderita luka itu, membantu dengan kacau sehingga seringkali dia malah menghalangi sambaran cambuk! Beberapa kali nenek itu memaki dan membentaknya agar minggir. Hek-hiat-kwi kini melihat kesempatan bagaimana untuk menolong nona itu, tanpa mengorbankan nyawanya walaupun bukan tidak berbahaya. Dia harus dapat membuat nenek itu melepaskan cengkeramannya pada tengkuk gadis itu, dan satu-satunya jalan adalah membuat cambuk itu tak berdaya agar nenek itu terpaksa menggunakan tangan kirinya.
"Tar-tar-tarrr .!"
Kembali cambuk sembilan ekor itu meledak-ledak dan menari-nari. Hek-hiat-kwi sudah mengenal ilmu cambuk isterinya ini, maka begitu ujung-ujung cambuk menyambar, dia tidak mengelak, bahkan langsung menerjang ke depan. Hay Hay menyerang dari samping dengan kedua tangannya gencar memukul, akan tetapi Pukulan-Pukulan ini tidak mengenai tubuh lawan bahkan hawa Pukulannya menangkis sedikitnya enam batang ujung cambuk yang seperti ditiup ke samping! Dan Hek-hiat-kwi sudah dapat menangkap yang tiga ujung lainnya, kemudian dengan sebelah tangan berhasil pula menangkap enam ujung yang menyeleweng oleh hawa Pukulan Hay Hay tadi.
Nenek itu terkejut. Tak disangkanya bahwa bekas suaminya kini sedemikian lihainya sehingga cambuknya yang sembilan ekor itu telah dapat ditangkap oleh kedua tangan sehingga cambuk itu tidak berdaya lagi. Ia melihat betapa kepala bekas suaminya itu demikian dekat, tak terlindung karena kedua tangan suaminya mencengkeram sembilan ujung cambuk. Melihat ini, sejenak ia lupa diri, lupa bahwa ia harus selalu mengancam Kui Hong dengan cengkeraman tangan kiri pada tengkuk. Tangan kirinya melepaskan tengkuk Kui Hong dan menyambar ke arah kepala bekas suaminya! Sejak tengkuknya dicengkeram nenek itu, tak pernah sedetik pun Kui Hong lengah. Ia selalu menanti datangnya kesempatan untuk membebaskan dirinya.
Oleh karena itu, begitu merasa bahwa cengkeraman tangan nenek itu meninggalkan tengkuknya, ia mengeluarkan lengkingan panjang dan sambil mengerahkan tenaganya, tubuhnya diguncang dan ia pun meloncat ke samping. Tentu saja tubuh nenek yang hanya nongkrong di atas punggungnya tanpa daya, tanpa adanya kekuatan untuk melekat, dengan mudah terlepas. Pada saat yang sama, Hay Hay sudah membuat gerakan membalik dan melihat tangan kiri nenek itu menghantam ke arah kepala Hek-hiat-kwi, dia pun cepat menangkis dan tangan yang lain menotok. Maka robohlah tubuh nenek itu dengan mengeluarkan jeritan marah. Tubuh itu kini terpelanting dan tak mampu bergerak lagi, di atas tanah. Hanya sepasang matanya yang tajam itu saja yang masih melotot dengan penuh kebencian.
"Hay Hay, mari kita hajar suaminya yang tadi hampir mencelakaimu!"
Kata Kui Hong! siap untuk menyerang Hek-hiat-kwi Lauw Kin.
"Tahan dulu, Kui Hong!"
Kata Hay Hay.
"Dia tidak pernah mau mencelakaiku. Tadi kami hanya bermain sandiwara untuk mengelabuhi nenek ini. Aku pura-pura terdesalk agar Kiu-bwe Tok-li maju, dan siasat kami berhasil baik."
"Ohhh.?"
Kui Hong terkejut dan merasa malu sendiri.
"Kalau begitu, biar kubunuh saja nenek iblis ini!"
"Nona. jangan..!"
Hek-hiat-kwi Lauw Kin berseru sambil meloncat ke depan, melindungi tubuh isterinya.
"Kalau ia sudah melakukan kesalahan terhadap Nona, biarlah aku sebagai suaminya yang mintakan ampun."
Berkata demikian, kakek itu tanpa segan-segan lalu menjura berkali-kali kepada Kui Hong sebagai penghormatan sehingga gadis itu menjadi kikuk dan menyingkir.
"Kui Hong tidak sepatutnya kita membunuhnya. Biarpun ia telah berbuat jahat terhadap kita, menyanderamu dan memaksa kita membantunya, akan tetapi bagaimanapun juga, ia telah menyelamatkan kita dari pohon itu."
Hay Hay lalu menceritakan apa yang mereka alami sampai dapat bertemu dengan nenek Kiu-bwe Tok-li di guha tebing yang amat curam itu. Mendengar kisah yang diceritakan Hay Hay, kakek itu merasa kagum bukan main.
"Ji-wi (kalian berdua) masih muda, akan tetapi telah memiliki kepandaian yang tinggi sekali. Ingin aku bicara lebih banyak, mengenai riwayat Ji-wi dan bicara tentang para pendekar, akan tetapi lebih dulu aku harus mencoba untuk mengobati kedua kaki isteriku ini dan juga berusaha mengobati batinnya yang rusak oleh dendam dan derita. Akan tetapi sedikitnya ingin aku mengetahui siapa guru Ji-wi. Nona ini puteri Ketua Cin-ling-pai, kiranya mudah diduga bahwa ilmu silatnya tentulah dari Cin-ling-pai yang sudah terkenal. Akan tetapi kalau boleh aku bertanya., siapakah guru Taihiap (Pendekar Besar) yang perkasa?"
Sebetulnya jarang sekali Hay Hay menyebut nama guru-gurunya, maka menghadapi pertanyaan ini, dia menjadi ragu-ragu. Melihat keraguan pemuda itu, Hek-hiat-kwi cepat berkata,
"Biarlah kita bicara kelak saja, akan tetapi aku mohon sukalah Ji-wi menjadi tamuku dan makan bersamaku, agar aku mendapat kesempatan mengenal Ji-wi lebih baik dan untuk menunjukkan hormat dan terima kasihku."
"Terima kasih? Untuk apa Locianpwe harus berterima kasih kepada kami?"
Tanya Kui Hong yang telah mendapatkan kembali kelincahannya. Semenjak ia dan Hay Hay terjatuh ke dalam jurang, gadis ini mengalami peristiwa yang menegangkan, selalu terancam maut dan baru sekarang ia merasa memperoleh kernbali kebebasannya.
"Benar, Locianpwe tidak berhutang budi apa pun kepada kami, sebaliknya Lociapwe telah membantu sehingga Kui Hong dapat terlepas dari cengkeraman Kiu-bwe Tok-li. Kami yang sepatutnya berterima kasih."
Sambung Hay Hay. Akan tetapi kakek itu menggeleng kepala dengan pasti.
"Kalian orang-orang muda yang gagah perkasa telah menolong isteriku keluar dari tempat terasing dan telah berhasil mempertemukan kami suami isteri, dan tanpa bantuan Ji-wi kiranya tidak mudah bagiku untuk menundukkannya. Mari, sobat-sobat muda yang baik, silakan masuk ke dalam guha dan aku mempunyai semua bahan masakan untuk dapat kita masak dan makan bersama."
Kakek itu lalu memondong tubuh isterinya yang masih lemas oleh totokan Hay Hay, dan setelah saling pandang, dua orang muda itu mengikutinya dari belakang. Tanpa mengeluarkan kata, dalam batin Hay Hay dan Kui Hong terdapat keinginan yang sama, tertarik oleh penawaran kakek itu, ialah ingin mengisi perut mereka yang kini terasa lapar bukan main! Guha itu lebar dan dalam, juga bersih. Seperti ruangan dalam rumah saja, ada kamarnya.
"Sobat-sobat muda, di sudut sana terdapat sayur-sayur, daging kering, beras, buah-buahan boleh kalian pilih untuk dimasak. Aku harus lebih dulu memberi pengobatan pertama kepada isteriku. Nah, silakan dan harap jangan sungkan. Nanti setelah aku mengobati isteriku, kita makan sambil bicara dengan leluasa."
Hek-hiat-kwi membawa isterinya ke dalam kamarnya di bagian paling dalam dari guha itu.
Setelah kakek itu membawa isterinya ke dalam kamar guha, Kui Hong dan Hay Hay saling pandang dan Hay Hay tersenyum nakal sambil menuding ke arah sudut dan menepuk perutnya. Melihat sikap ini, Kui Hong menjadi geli dan tersenyum pula, bahkan menutup mulut agar suara tawanya jangan sampai terlepas. Keduanya lalu berindap ke sudut tadi dan dapat dibayangkan betapa girang hati mereka menemukan barang-barang yang amat dibutuhkan mereka saat itu. Daging dendeng ker ing asin dan manis, terbuat dari daging yang segar. Sayur-sayuran yang juga masih segar, bermacam-macam, ada pula lobak dan sawi kegemaran Kui Hong, juga terdapat buah-buahan yang manis segar itu. Di situ terdapat pula gandum, beras dan bumbu-bumbu masak yang serba lengkap!
"Heh-heh, makan besar kita sekali ini!"
Hay Hay berbisik.
"Kita masak di luar guha saja, kita harus masak yang cukup banyak untuk kakek itu dan isterinya."
Bisik pula Kui Hong. Hay Hay merasa setuju dan mereka lalu mengangkut bahan-bahan masakan ke luar guha di mana terdapat batu-batu yang telah dlsusun sedemikian rupa untuk menjadi tempat perapian. Agaknya Hek-hiat-kwi juga kadang-kadang masak di luar guha. Hay Hay lalu mencari kayu bakar, Kui Hong memotong daging dan sayur, menanak nasi dan mulutnya tiada hentinya mengunyah buah segar. Banyak buah apel di situ, juga jeruk yang manis.
Tak lama kemudian, setelah kedua orang muda itu sibuk memasak beberapa macam masakan dan siap untuk mempersilakan tuan dan nyonya rumah untuk makan, tiba-tiba mereka mendengar jerit melengking dari dalam guha. Dua orang muda itu terkejut bukan main dan bagaikan terbang saja keduanya lari ke dalam guha dan langsung menghampiri kamar guha yang daun pintunya tertutup. Tanpa ragu lagi Hay Hay mendorong daun pintu itu sehingga terbuka dan penglihatan di dalam kamar membuat mereka berdua terbelalak. Kakek Hek-hiat-kwi duduk bersila, seperti tidak percaya menunduk dan memandang ke arah dadanya yang terluka parah. Bajunya robek dan darah merah membasahi seluruh dada, bahkan bercucuran keluar. Adapun nenek itu, dalam keadaan telanjang bulat dan rebah miring, mukanya menyeringai seperti iblis dan kini nenek itu tertawa, seperti suara tawa yang muncul dari balik kubur.
"Hi-hi-hi-heh-heh! Jahanam Lauw Kin, mampuslah engkau sekarang, mampuslah di tanganku. ha-ha, kita berjumpa lagi dengan dia di neraka.. aughhhhh.!"
Dan tubuh itu terkulait tewas!
"Kim Siu...!"
Kakek itu mengeluh, seperti orang meratap.
"Locianpwe, apa yang telah terjadi?"
Hay Hay berseru dan menghampiri, diikuti Kui Hong. Mereka bersiap siaga.
"Kim Siu... ah, tak kusangka... ketika aku sedang mengobatinya dengan pengerahan sin-kang mencoba mengusir hawa dari Pukulan beracun yang melumpuhkan kakinya, ia siuman dan tiba-tiba saja ia menyerangku dengan Pukulan tangannya. Tangannya seperti sebatang golok menusuk dadaku... akan tetapi... sin-kang dari kedua tanganku tanpa terkendali lagi juga menyusup liar ke tubuhnya dan ia... ia terluka parah dan tewas dan... dan."
"Tenanglah, Locianpwe, biar kuperiksa lukamu."
Kata Hay Hay yang cepat menghampiri kakek itu dan merobek bajunya. Kui Hong memandang ngeri. Dada itu seperti dibacok golok, robek dan parah.
"Lihat..."
Kakek itu terengah.
"Lihat, darahku merah! Tidak hitam lagi... tanda bahwa aku... aku telah bersih..."
Kakek itu tertawa bergelak, kemudian terkulai dan ketika Hay Hay memeriksanya, dia pun sudah tewas seperti isterinya! Hay Hay menarik napas panjang. Memang luka di dada oleh Pukulan Kiu-bwe Tok-li itu hebat, lebih parah daripada kalau nenek itu mempergunakan sebatang golok besar.
"Gila. sungguh gila."
Hay Hay memandang gadis itu, akan tetapi dia diam saja walaupun dia merasa heran mengapa Kui Hong berkata demikian.
"Mari kita keluar dari sini."
Ajaknya. Kui Hong dan Hay Hay keluar dari dalam kamar maut itu, dan Hay Hay mengangkat daun pintu yang tadi roboh oleh dorongannya,memasangnya kembali.
"Aku akan mengganjalnya dengah batu besar agar tidak mudah dibuka orang."
"Hemm, mengapa kau lakukan itu?"
Tanya Kui Hong.
"Kita biarkan saja mereka di dalam kamar guha, karena tempat itu merupakan kuburan yang cukup baik. Mereka takkan diganggu binatang buas."
Kui Hong membantu Hay Hay mendorong masuk guha itu sebuah batu besar dan batu itu mereka dorong sampai menutupi pintu kamar dengan rapat. Tak seekor pun binatang buas akan dapat memasuki kamar itu dan mengganggu dua sosok mayat di dalamnya. Kemudian mereka keluar.
"Mari kita makan dulu sebelum pergi."
Kata pula Hay Hay.
Peristiwa yang terjadi dalam kamar guha itu amat mengerikan dan mengesankan sehingga dua orang muda yang biasanya berwatak gembira itu kini seperti kehilangan kegembiraan mereka. Bahkan Kui Hong kehilangan nafsu makannya. Tadinya ia tidak mau makan karena biarpun perutnya amat lapar namun lenyap sama sekali nafsu makannya, akan tetapi Hay Hay membujuknya dan akhirnya mau juga dara itu makan sedikit nasi dengan sayur. Ia lebih banyak makan buah untuk mengisi perut yang kosong. Setelah makan Hay Hay dan Kui Hong mengembalikan semua alat masak ke dalam guha dan membersihkan tempat itu, kemudian sebelum pergi, Hay Hay mengajak gadis itu berdiri di depan pintu kamar guha yang sudah tertutup batu besar.
"Locianpwe Lauw Kin, kami berterima kasih atas semua kebaikanmu. Kami hendak pergi dari sini dan semoga Locianpwe memperoleh kedamaian dan ketenteraman bersama isteri Locianpwe."
Kui Hong diam saja, hanya mendengarkan ucapan Hay Hay yang seperti berdoa itu.
Mereka lalu keluar dari dalam guha, menuruni bukit itu tanpa banyak bicara, namun terasa kelegaan menyusup ke dalam hati setelah mereka meninggalkan tempat yang mengerikan itu. Setelah mereka tiba di kaki bukit, tiba-tiba Kui Hong menghentikan langkahnya dan menjatuhkan diri di atas rumput dan.. menangis! Tentu saja Hay Hay terkejut bukan main. Sejenak dia hanya, dapat memandang dengan mata dilebarkan. Dia kaget dan heran. Semenjak bertemu dengan Kui Hong, berebutan bangkai kijang, sampai sama-sama menghadapi cengkeraman maut, dia mengenal Kui Hong sebagai seorang gadis yang tinggi ilmunya, gagah berani, tabah, dan galak di samping riang jenaka dan terbuka. Maka, melihat betapa gadis itu kini tiba-tlba saja menangis sambil menutupi mukanya, tentu saja dia merasa heran sekali.
"Kui Hong mengapa engkau menangis?"
Akhirnya Hay Hay bertanya lembut setelah dia pun duduk di depan gadis itu. Tempat itu sunyi dan angin senja semilir dari barat. Dia baru berani bertanya setelah tangis Kui Hong mereda. Dia tidak tahu bahwa tangis gadis itu merupakan pelampiasan dari semua ketegangan yang menumpuk di dalam batin Kui Hong semenjak mereka terjatuh ke dalam jurang.
Gadis ini seorang pendekar wanita yang tabah, namun selama hidupnya belum pernah mengalami hal-hal hebat secara beruntun seperti yang dialaminya bersama Hay Hay itu. Kengerian, ketakutan yang ditekan, kemarahan dan kebencian yang ditahan ketika ia merasa amat terhina oleh nenek iblis dan ketidak-berdayaan ketika disandera, semua itu kini terurai dan mengalir melalui air matanya. Mendengar pertanyaan Hay Hay, Kui Hong mengusap sisa air matanya. Kemudian ia menurunkan kedua tangannya, mengangkat muka memandang kepada Hay Hay dan pemuda itu hampir terlonjak kaget. Sepasang mata itu, walau masih kemerahan dan agak membengkak oleh tangis, memandang dengan sinar yang bening mengandung kegembiraan, bibirnya tersenyum dan wajah itu berseri! Saking herannya, pemuda ini hanya memandang dengan mulut ternganga dan mata terbelalak, tak pernah berkedip menatap wajah gadis yang tersenyum manis itu.
"Ihh, Hay Hay! Kenapa engkau menjadi bengong seperti arca seorang yang tolol!"
Dan Kui Hong tertawa, ketawanya lepas bebas dan tidak malu-malu seperti para gadis pada umumnya.
"Lho! Bagaimana pula ini?"
Kata Hay Hay yang sudah dapat menguasai diri yang tadi dicekam keheranan.
"Sekarang engkau tertawa gembira dengan mata yang masih merah oleh bekas tangis. Engkau tadi menangis tanpa sebab lalu kini tertawa geli. Siapa orangnya yang tidak menjadi bengong keheranan melihat ulahmu, Kui Hong?"
Gadis itu tersenyum geli, lalu menggeleng kepala.
"Entah, Hay Hay, aku sendiri pun tidak mengerti. Ketika tadi aku teringat akan semua peristiwa yang terjadi semenjak kita terjatuh ke dalam jurang itu, mendadak saja aku ingin menangis sepuas hatiku. Kemudian setelah tangisku berhenti, aku merasa demikian lega dan ringan hatiku sehingga aku ingin tertawa, bernyanyi dan bersorak!"
Kini mengertilah Hay Hay dan dia pun mengangguk-angguk.
"Ah, engkau seorang yang beruntung, Kui Hong."
"Beruntung? Apa maksudmu?"
"Orang yang dapat melepaskan semua perasaan dalam batinnya melalui tawa dan tangis secara langsung seperti engkau, adalah orang yang beruntung. Tidak seperti mereka yang menyimpan semua perasaan dalam batin, tidak mampu melampiaskannya keluar sehingga tumpukan perasaan itu akan mendatangkan bermacam penyakit dan melemahkan badan. Semua pengalaman yang bertumpuk di dalam hatimu sejak kita terjatuh ke dalam jurang, tadi dapat mengalir keluar melalui tangismu karena engkau sudah terbebas dari semua itu, kemudian setelah semua himpitan perasaan itu mengalir keluar, tentu saja perasaanmu menjadi lega dan gembira sehingga engkau memperoleh kembali watakmu yang aseli, yaitu gembira dan lincah jenaka, juga galak."
Sepasang mata itu melotot dan sepasang alis yang kecil hitam dengan bentuk indah melengkung itu berkerut.
"Aku? Kau berani mengatakan aku galak?"
Hay Hay tertawa.
"Nah. nah. baru dikatakan galak saja sudah marah. Apalagi sikap itu kalau bukan galak? Sudahlah, aku hanya main-main, kau maafkan aku, Nona manis."
Akan tetapi Kui Hong sudah melupakan lagi hal itu dan kemarahannya sudah lenyap. Ia nampak termenung karena ia teringat akan peristiwa mengerikan yang terjadi di dalam kamar guha itu dan seperti orang mimpi saja mulutnya berkata lirih,
"Gila, sungguh gila..!"
Hay Hay teringat dan dia menatap wajah gadis itu.
"Ah, sudah dua kali engkau mengatakan itu, Kui Hong!"
"Dua kali?"
Gadis ini pun bertanya heran.
"Iya, ketika kita hendak meninggalkan guha, di depan kamar guha itu engkau pun mengatakan demikian, dan sekarang engkau mengulanginya. Apa dan siapa yang kau katakan gila itu?"
"Mereka, kakek dan nenek itu. Mereka menjadi gila karena cinta."
Kata Kui Hong, termenung dan memandang ke angkasa yang merah oleh sinar matahari senja. Hay Hay tersenyum memandang wajah yang manis itu. Manis sekali puteri Ketua Cin-ling-pai ini, pikirnya, mengamati dan memperhatikan bagian muka itu satu demi satu. Mulut itu manis sekali biarpun ada tarikan keras pada kedua ujungnya. Dan hidung itu. Lucu sekali. Kecil mancung dan ujungnya seperti dapat bergerak-gerak, kelucuan yang menghapus kekerasan pada ujung kedua bibirnya.
"Gila karena cinta? Wah, agaknya engkau ahli dalam soal cinta sehingga tahu bahwa mereka nenjadi gila karena cinta."
Pancing Hay Hay. Mata itu, biar agak kemerahan oleh bekas tangis dan agak membengkak, harus diakui amat indah, bening kalau mengerling tajam seperti gunting. Juga dengan bulu mata yang melengkung dan lentik panjang, dengan hiasan sepasang alis yang kecil hitam dengan bentuk indah pula. Seraut wajah yang amat manis, dengan dagu meruncing dan muka yang bulat telur. Daun telinganya pun menarik, sedang dan di depannya terhias rambut halus melingkar, juga di dahinya terhias sinom atau anak rambut yang halus dan kacau namun menarik sekali.
"Biarpun bukan ahli dalam soal cinta, mudah diketahui bahwa mereka itu menjadi gila karena cinta. Kakek itu menjadi gila karena cintanya kepada nenek iblis itu. Sudah tahu bahwa nenek itu demikian jahatnya, namun karena cinta, dia masih bersusah payah mau mengobati nenek itu, sehingga akibatnya dia terbunuh oleh nenek yang jahat itu. Bukankah itu suatu kegilaan namanya? Kegilaan yang membuat dia kehilangan kewaspadaan, padahal kakek itu berilmu tinggi, tidak semestinya dia demikian mudah diperdaya oleh Kiu-bwe Tok-li."
Hay Hay mendengarkan tanpa menanggalkan senyum dari bibirnya, matanya mengamati wajah itu dengan penuh perhatian dan kekaguman.
"Menurut pendapatku, cinta kasih kakek itu terhadap isterinya amat murni dan suci. Biarpun isterinya telah melakukan penyelewengan dengan laki-lakl lain, bahkan isterinya itu bersama kekasihnya berusaha membunuhnya kemudian meninggalkannya sampai puluhan tahun, kemudian isterinya muncul lagi dan hendak membunuhnya, tetap saja dia tidak membenci isterinya. Bahkan dia berusaha mengobati isterinya dan mencegah ketika engkau hendak membunuh nenek itu. Nah, itulah cinta kasih yang suci murni dan kiranya di dunia ini sukar dicari seorang pria yang dapat mencinta seperti itu terhadap seorang wanita."
"Itu sebabnya kukatakan gila. Dia menjadi gila oleh cintanya! Cinta semacam itu tidak umum, tidak lumrah, tidak wajar. Cinta seperti itu hanya patut dimiliki seorang ibu atau ayah terhadap anak mereka, bukan seorang suami terhadap isterinya! Dan nenek itu pun sudah gila karena cintanya kepada kekasihnya. Kekasihnya itu telah dibelanya, bahkan diajak membunuh suaminya, akan tetapi kekasihnya kalah oleh Hek-hiat-kwi dan terluka. Nenek itu membelanya dan membawanya pergi ke guha, merawatnya. Akan tetapi kekasihnya itu memukul dan melumpuhkan kedua kakinya karena tidak ingin di tinggalkan. Dan nenek itu masih tetap saja mencintanya, bahkan ingin membalaskan kematiannya kepada Hek-hiat-kwi. Apalagi namanya itu kalau tidak gila?"
"Wah, kalau menurut aku, cinta nenek itu terhadap kekasihnya adalah cinta berahi, cinta nafsu belaka! Mungkin pria yang menjadi kekasihnya itu amat tampan, amat menyenangkan hatinya sehingga ketika ia kehilangan kekasihya itu, ia merasa kecewa dan berduka, dan dendam kepada suaminya yang membuat kekasihnya itu tewas."
"Itulah, bukankah gila keduanya itu? Cinta antara suami isteri, antara pria dan wanita, tidak semestinya begitu!"
Kata pula Kui Hong penuh semangat dan dengan mata berapi-api karena ia teringat akan hubungan antara ayah dan ibunya sendiri. Senyum di mulut Hay Hay melebar. Bukan main, pikirnya. Kalau yang bicara tentang cinta itu seorang wanita seperti Ji Sun Bi misalnya, hamba nafsu berahi yang sudah penuh dengan pengalaman, atau setidaknya Kok Hui Lian, yang sudah dua kali menikah dan gagal, tidak akan aneh terdengarnya. Akan tetapi keluar dari mulut gadis ini, yang agaknya baru saja melewati masa remaja, paling banyak delapan belas tahun usianya, sungguh terdengar lucu dan ganjil.
"Kui Hong, engkau hebat! Kalau menurut pendapatmu, semestinya bagaimanakah cinta antara pria dan wanita itu?"
Hay Hay menyembunyikan senyumnya karena dia khawatir kalau gadis itu menjadi marah. Pandang mata Kui Hong menyambar dan sejenak gadis itu mengamatinya penuh selidik. Kemudian, dengan lagak seorang guru besar memberi kuliah kepada para mahasiswanya, ia berkata,
"Cinta kasih antara pria dan wanita adalah cinta kasih yang khas, tentu saja mengandung berahi karena mereka menjadi dekat oleh nafsu yang amat diperlukan untuk perkembangbiakan manusia. Bayangkan saja kalau cinta antara suami isteri itu seperti cinta antara sahabat atau saudara atau orang tua kepada anaknya, tanpa berahi! Tentu takkan terbentuk keluarga dan keturunan! Setelah mengandung nafsu berahi, juga mengandung rasa persahabatan, saling menerima dan memberi, saling terikat dan saling memiliki maka terdapat pula cemburu, terdapat pula pengorbanan. Akan tetapi semua itu dalam batas tertentu sehingga ada keseimbangan antara semua perasaan itu. Jadi bukan sekedar berahi semata, atau persahabatan semata, atau pengorbanan semata, melainkan persatuan yang seimbang dari kesemuanya itu. Nah, barulah kehidupan suami isteri dapat berjalan dengan lancar dan kesetiaan pun dapat mereka pertahankan."
Hay Hay terbelalak. Bagaimana mungkin gadis yang kelihatan masih "hijau"
Ini dapat bicara demikian panjang lebar dan pasti tentang cinta antara suami isteri? Dia bertepuk tangan memuji.
"Hebat, engkau hebat, Nona! Engkau ternyata seorang guru besar soal cinta mencinta. Tentu sudah banyak pengalaman dalam bidang itu!"
Tiba-tiba Kui Hong meloncat berdiri dan bertolak pinggang.
"Keparat, hayo bangkit dan kita selesaikan penghinaan ini dengan perkelahian!"
Tentu saja Hay Hay terkejut dan tidak mau bangkit berdiri.
Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aduh tobat! Ada apa lagi, Nona manis? Apa kesalahan hamba sekali ini?"
"Masih bertanya lagi dan pura-pura tidak tahu ya? Jelas engkau menghinaku, mengatakan bahwa aku sudah banyak pengalaman dalam bidang cinta! Apa Kau kira aku ini petualang cinta?"
"Aduh, ampunkan hamba ini, yang mulia!"
Hay Hay masih berkelakar, akan tetapi benar-benar dia bersoja (menghormat dengan kedua tangan dikepal depan dada) sambil membungkuk berkali-kali.
"Aku tidak bermaksud menghina, hanya saja, bagaimana engkau tidak banyak pengalaman kalau pandai menguraikan soal cinta demikian jelas dan terperinci? Dari mana engkau memperoleh pengetahuan yang demikian luas tentang cinta?"
"Huh, orang bisa saja memperoleh pengetahuan dengan belajar!"
"Akan tetapi, bagaimana mungkin mengetahui tentang cinta hanya dengan belajar, tanpa mengalaminya sendiri?"
"Hay Hay, engkau ini memang tolol ataukah pura-pura tolol untuk mempermainkan aku?"
Bentak Kui Hong.
"Tentu saja orang dapat memperoleh pengetahuan apa saja dengan belajar, tanpa harus mengalaminya sendiri. Kalau engkau mempelajari kehidupan seekor monyet, anjing atau babi, apakah engkau juga harus lebih dulu mengalami menjadi monyet, anjing atau babi?"
Hay Hay tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, Kui Hong. Kalau engkau ingin memaki aku, makilah secara langsung saja, mengapa pula harus pakai berputar-putar segala?"
"Memang aku ingin memakimu. Engkau memualkan perutku!"
"Sudah dua kali engkau mengatakan kalimat itu. Mengapa, Kui Hong. Mengapa perutmu menjadi mual karena aku?"
"Habis engkau ini suka main-main, berpura-pura tolol. Pura-pura tidak tahu tentang cinta, padahal engkau ini seorang laki-laki perayu besar, dan aku yakin engkau tentu laki-laki hidung belang, mata keranjang dan kurang ajar! Dan Ibuku selalu memperingatkan aku agar berhati-hati terhadap laki-laki perayu!"
"Wah-wah, banyaknya tuduhan itu! Kau bilang aku hidung belang."
Dia mengelus hidungnya. yang mancung dan sama sekali tidak belang.
"akan tetapi aku yakin hidungku tidak pernah belang, dan mata keranjang? Mataku pun tidak sekeranjang, juga tidak selalu ditujukan ke ranjang saja. Tentang kurang ajar, mungkin aku kurang ajar karena sejakkecil tidak mengenal Ayah Ibu. Dan perayu? Wah, kapan aku pernah merayumu, Kui Hong?"
Kui Hong membanting kaki kanannya, lalu duduk lagi di atas rumput dan mengomel karena merasa kewalahan berdebat.
"Huh, dasar pokrol bambu! Engkau berkali-kali memujiku, yang cantiklah, yang manislah, yang apalah... apakah itu bukan merayu namanya?"
"Tidak, aku tidak pernah merayu! Aku hanya jujur dan apa salahnya orang bicara jujur dan apa adanya? Apakah aku harus menipu dan berbohong mengatakan bahwa wajahmu yang amat manis itu menjadi amat buruk? Coba lihat saja sendiri. Matamu itu! Begitu indah bentuknya, jeli dan tajam, dengan bulu mata lentik dan alis melengkung indah, kerling matamu demikian tajam menyayat!"
Wajah Kui Hong perlahan-lahan berubah kemerahan karena canggung dan malu, akan tetapi ia diam saja, hanya menundukkan mukanya, tidak berani menentang pandang mata pemuda itu.
"Dan hidungmu itu! Sungguh mati, belum pernah selama hidupku aku melihat hidung seindah itu. Kecil mancung dan ujungnya dapat bergerak-gerak lucu dan menarik sekali. Daun telingamu seperti gading terukir ahli yang amat pandai, kulit mukamu begitu halus sampai ke leher, putih mulus tanpa cacat "Kui Hong memejamkan matanya dan merasa betapa hatinya seperti dielus-elus, terasa nikmat dan bahagia sekali.
"Orang tuamu sungguh pandai memilih nama dengan memasukkan Hong karena matamu seperti mata burung Hong. Dan mulutmu! Ah, tidak mudah melukiskan keindahan mulutmu, Kui Hong. Heran aku, bagaimana ada sepasang bibir seperti bibirmu, dalam keadaan bagaimana pun tetap indah menarik. Kalau diam begitu anggun dan manis, kalau tersenyum seperti bunga mawar mekar merekah, kalau tertawa seperti sinar matahari siang yang panas, kalau cemberut juga bertambah manis, seperti bulan redup. Dan rambutmu kacau tak tersisir akan tetapi di dalam kekacauan itu terdapat sesuatu yang amat indah dan sempurna, seolah-olah kalau dibereskan malah berkurang keindahannya. Anak rambut di dahimu itu, di pelipismu, di lehermu, aduhai.!"
Kui Hong menggigit bibirnya. Belum pernah selama hidupnya ia merasakan kenikmatan dan kebahagiaan batin seperti itu. Pujian-pujian seperti itu berbeda sama sekali dengan pujian kurang ajar dari beberapa orang pria yang pernah dihajarnya hanya karena mereka memujinya dengan maksud kurang ajar. Akan tetapi pujian Hay Hay demikian jujur, demikian indah didengar, demikian mengelus hatinya, membuat ia seperti merasa mengantuk dan nyaman sekali. Ia menggigit bibir dan dengan mengeraskan hati ia berseru.
"Cukup..!"
Bentakannya itu membuyarkan ayunan yang nikmat tadi dan ia menatap wajah Hay Hay dengan sepasang mata bersinar, penuh selidik. Akan tetapi ia tidak menemukan kekurangajaran di dalam pandang mata pemuda itu.
"Nah, Kui Hong. Demikianlah kira-kira keadaan wajahmu, yang kugambarkan secara canggung sekali karena bagaimana mungkin menggambarkan keindahan seperti itu. Aku bukan seorang seniman yang pandai. Kalau saja aku pandai melukis! Apakah itu namanya rayuan? Aku hanya menggambarkan dengan jujur, bukan sembarang memuji, bukan merayu dengan pamrih. Kalau engkau cantik, mana mungkin aku mengatakan buruk? Laki-laki yang menyembunyikan kecantikan wanita, tidak jujur dan menyimpan saja dalam hati agar dianggap sopan, maka dia adalah seorang munafik!"
Sejenak keduanya diam dan Kui Hong merasa senang sekali walaupun ia merasa malu dan canggung, Akhirnya ia mengangkat muka dan kedua orang itu beradu pandang.
"Hay Hay, benar-benarkah engkau menganggap aku cantik?"
"Tentu saja. Kalau engkau buruk lalu kukatakan cantik, itu baru merayu namanya. Engkau seorang dara yang gagah perkasa, lihai, cantik dan lincah gembira, Kui Hong."
Kui Hong tidak cemberut kali ini, bahkan tersenyum manis, yakin akan kejujuran pemuda yang dianggapnya istimewa ini. Ia sudah banyak bertemu pria, akan tetapi belum pernah ada yang seperti Hay Hay, demikian pandai memuji dan menyenangkan hati dengan kata-kata yang indah seperti merayu, namun tidak memiliki pandang mata kurang ajar atau tidak sopan seperti pandang mata pria lain. Hatinya senang sekali.
"Dan engkau pun seorang pemuda yang tampan, sederhana namun memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, Hay Hay."
Hay Hay tertawa girang. Dia bangkit berdiri dan menjura dengan tubuh membungkuk sampai dalam.
"Terima kasih, Nona manis, terima kasih atas pujianmu. Ternyata engkau mudah sekali belajar menjadi manusia yang jujur!"
Dia lalu memandang ke sekeliling.
"Akan tetapi senja telah larut dan malam hampir tiba. Tidakkah sebaiknya kita melanjutkan perjalanan mencari dusun agar kita mendapatkan rumah untuk melewatkan malam?"
Kui Hong menggeleng kepalanya.
"Tidak, malam ini bulan muncul dan tempat ini pun cukup menyenangkan. Aku masih lelah dan biar kita melewatkan malam di sini saja. Akan tetapi, kalau engkau ingin mencari rumah penginapan di dusun, silakan pergi dan biarlah aku tinggal di sini sediri!"
Kalimat terakhir mengandung kekerasan.
"Ha-ha-ha, engkau sungguh seperti sebutir batu mulia, Kui Hong!"
"Hemm? Apa artinya engkau menyamakan aku dengan batu?"
"Batu bukan sembarang batu, Nona, melainkan batu mulia seperti intan dan kemala, indah, bernilai tinggi, akan tetapi keras seperti baja. Baiklah, kalau engkau menghendaki bermalam di sini, aku pun suka sekali. Kita dapat bercakap-cakap agar perkenalan antara kita lebih akrab. Yang kuketahui darimu hanyalah bahwa engkau bernama Cia Kui Hong, puteri Ketua Cin-ling-pai. Tentu saja aku ingin mengetahui lebih banyak."
"Engkau harus bercerita lebih dulu."
Kata Kui Hong sambil menjulurkan kedua kakinya dan duduk bersandar batang pohon yang tumbuh di situ. Tempat itu memang enak sekali, rumputnya tebal dan bersih, ada pohon yang melindungi mereka dan agaknya tak jauh dari situ terdapat anak sungai karena terdengar suara gemericik air.
(Lanjut ke Jilid 37)
Pendekar Mata Keranjang (Seri ke 09 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 37
"Baiklah, akan tetapi karena memang tidak ada apa-apanya yang menarik tentang diriku, kau boleh bertanya apa saja dan aku akan menjawab."
"Hay Hay, tadi ketika engkau bertanding melawan Hek-hiat-kwi, engkau terdesak dan kemudian ternyata engkau bersiasat dan mengalah untuk menjebak nenek iblis. Andaikata engkau tidak mengalah, apakah engkau akan dapat mengalahkan Hek-hiat-kwi?"
"Locianpwe itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, ilmu silatnya aneh dan matang, tenaga saktinya juga amat kuat. Akan tetapi, aku yakin akan mampu mengatasinya kalau kami bertanding dengan sungguh-sungguh."
Jawab Hay Hay sejujurnya. Gadis itu mengangguk-angguk tanpa melepaskan tatapan matanya kepada wajah pemuda itu dengan sinar mata kagum.
"Aku pun menduga demikian Hay Hay, engkau begini lihai ilmu silatmu, jauh lebih tinggi daripada kepandaianku, bahkan engkau pandai ilmu sihir, dan engkau mengaku masih sute dari Toako (Kakak Besar) Cia Sun."
"Eh? Engkau menyebut Toako kepada Suheng Cia Sun? Apa hubunganmu.."
"Nanti dulu. Ingat, kini giliran cerita tentang dirimu! Nah, siapakah gurumu yang membuat engkau demikian lihai?"
"Wah, Kui Hong, terus terang saja, selama ini aku tidak pernah menceritakan kepada siapa pun tentang guru-guruku. Akan tetapi karena aku sudah berjanji untuk menjawab, biarlah aku memberi pengecualian kepadamu. Engkau seorang gadis yang hebat, pantas mendapatkan keistimewaan itu. Nah, guru-guruku banyak. Yang mengajar ilmu silat adalah dua orang dari Delapan Dewa, yaitu. Ciu-sian Sin-kai, majikan Pulau Hiu di Pohai, dan See-thian Lama atau Go-bi Sian-jin, yaitu guru suheng Cia Sun. Yang mematangkan ilmu-ilmuku adalah suhu Song Lojin (Kakek Song) dan Guruku dalam ilmu sihir adalah mendiang Pek Mau san-jin."
Kui Hong memandang penuh kagum.
"Pantas engkau hebat. Kiranya yang menjadi guru-gurumu dalam ilmu silat adalah dua di antara Delapan Dewa. Aku pernah mendengar dari Kong-kong (Kakek) tentang kehebatan Delapan Dewa. Sekarang aku ingin tahu tentang keluargamu. Engkau tentu sudah beristeri."
"Ah, jangan mengejek, Kui Hong! Siapa sudi kepada orang macam aku? Aku belum menikah, bertunangan pun belum, pacar pun tidak punya!"
"Hemm, benarkah? Engkau sudah begitu berpengalaman dan pandai menyenangkan hati wanita, dan usiamu juga tidak muda lagi."
"Aku baru berusia dua puluh satu, masih terlalu muda untuk memikirkan soal jodoh."
"Begitu pendapatmu? Dan siapa nama Ayah Ibumu? Di mana mereka tinggal?"
Sekali ini, lenyaplah seri wajah Hay Hay. Untung bahwa malam mulai tiba, sinar senja mulai terganti keremangan menjelang malam sehingga gadis itu tidak melihat perubahan mukanya yang diliputi mendung.
"Ayahku she Tang, aku tidak tahu siapa namanya. Aku tidak tahu siapa nama Ibuku. Aku pun tidak pernah melihat Ayah Ibuku. Ibu meninggal dunia ketika aku masih kecil, dan Ayahku, aku tidak tahu dia berada di mana."
"Ohhhh.!"
Seruan Kui Hong mengandung kekagetan dan juga iba.
"Kasihan engkau, Hay Hay."
Keriangan watak Hay Hay pulih kembali.
"Tidak usah kasihan, Kui Hong, aku sendiri pun tidak kasihan kepada diriku sendiri. Kenapa mesti kasihan kalau memang sudah semestinya begitu keadaan hidupku?"
"Tapi... tapi, bagaimana sampai engkau tidak tahu dan tidak mengenal Ayah Ibumu? Apa yang telah terjadi dengan mereka?"
Hay Hay merasa canggung sekali, akan tetapi karena sudah berjanji, dia terpaksa menceritakan sebagian dari riwayatnya tanpa harus menceritakan keadaan ayah kandungnya seperti yang didengarnya dari keluarga Pek.
"Aku sendiri tidak tahu apa yang terjadi. Ketika aku masih kecil sekali, agaknya Ibu mengajak aku bepergian dengan perahu. Perahu itu terguling, Ibu dan aku hanyut. Ibu tewas dan aku tertolong orang. Kemudian aku bertemu dengan kedua orang guruku dan menjadi murid mereka. Hanya begitulah. Nah, tidak ada yang menarik tentang diriku, bukan? Sekarang giliranmu, Kui Hong."
"Nanti dulu."
Bantah Kui Hong.
"Engkau memiliki ilmu sihir, bahkan aku sendiri pun pernah kau permainkan dengan sihirmu ketika kita memperebutkan kijang itu. Akan tetapi kenapa nenek itu tidak dapat kau pengaruhi dengan ilmu sihirmu?"
"Ah, hal itu hanya menunjukkan bahwa nenek itu pernah mempelajari sihir atau memiliki kekuatan batin yang amat kuat untuk melindungi dirinya. Sekarang aku ingin tahu tentang dirimu, Kui Hong. Biarpun aku sudah tahu bahwa Ayahmu adalah Ketua Cin-ling-pai yang terkenal, akan tetapi aku belum tahu siapa nama kedua orang tuamu."
"Ayah bernama Cia Hui Song, keturunan dari para Ketua Cin-ling-pai, adapun Ibuku bernama Ceng Sui Cin, puteri Pendekar Sadis."
"Ahh! Pendekar sadis yang amat terkenal itu adalah Kong-kongmu?"
Kata Hay Hay penuh kagum.
"Dan semua ilmu silatmu tentu kau dapat dari orang tuamu."
"Benar, akan tetapi selama tiga tahun terakhir ini aku tinggal di Pulau Teratai Merah dan menerima petunjuk dari Kakek dan Nenekku."
"Pantas! Ilmu silatmu demikian lihai, Kui Hong. Apalagi dalam hal gin-kang (ilmu meringankan tubuh), sungguh aku kagum dan taluk."
"Sudahlah, jangan terlalu banyak memuji. Buktinya aku tidaklah selihai engkau."
Kata Kui Hong yang tidak ingin bicara lebih banyak tentang orang tuanya karena tidak mungkin baginya untuk menceritakan tentang keretakan rumah tangga orang tuanya.
"Sekarang engkau sedang hendak pergi ke manakah?"
Hay Hay lalu menceritakan tentang pertemuannya dengan Menteri Yang Ting Hoo yang bijaksana di rumah Jaksa Kwan, dan tentang permintaan tolong Menteri Yang Ting Hoo kepadanya agar suka melakukan penyelidikan terhadap persekutuan di Lembah Yangce.
"Menurut keterangan kedua orang pejabat tinggi yang bijaksana dan setia itu, gerakan para pemberontak itu dipimpin oleh para datuk sesat, kabarnya diketuai oleh Lam-hai Giam-lo, bahkan Pek-lian-kauw juga bergabung dengan persekutuan itu. Nah, sekarang aku sedang menuju ke sana ketika perutku terasa lapar dan aku berburu kijang itu dan bertemu denganmu."
Hay Hay tersenyum ketika teringat akan peristiwa itu.
"Dan engkau sendiri, hendak pergi ke manakah?"
"Aku? Aku hanya ingin merantau, meluaskan pengalaman, juga mencari seorang pengkhianat keji, seorang murid murtad yang sudah sepatutnya dihancurkan karena dia dapat menjadi seorang yang amat berbahaya."
Kui Hong mengepal tinju dan nampak marah sekali. Hay Hay terkejut dan mengerutkan alisya. Tak nyaman rasa hatinya melihat gadis itu dicengkeram dendam yang demikian penuh kebencian terhadap seseorang.
"Hemm, siapakah orang itu? Seorang murid Cin-ling-pai?"
"Kalau hanya murid Cin-ling-pai, kiranya tidaklah demikian membahayakan, tidak perlu aku bersusah payah mencarinya sendiri. Akan tetapi dia jauh lebih lihai dari hanya seorang murid Cin-ling-pai, karena dia adalah murid gemblengan dari Kakek dan Nenek di Pulau Teratai Merah."
"Ahhh... Maksudmu, dia itu murid dari kakekmu Pendekar Sadis?"
"Benar. Namanya Ciang Ki Liong. Seperti juga engkau, dia seorang korban kecelakaan di laut yang sejak kecil ditolong oleh Kakek dan Nenekku, diambil murid dan digembleng. Aku sendiri ketika tiga tahun yang lalu berkunjung ke pulau itu, sama sekali tidak mampu menandinginya. Tiga tahun yang lalu, dia minggat dari pulau membawa banyak pusaka Pulau Teratai Merah, dan karena itulah Kakek dan Nenek lalu mengajarkan ilmu-ilmu kepadaku agar aku dapat menandinginya."
"Tapi... tapi sebagai murid Pendekar Sadis, tentu dia mempunyai ahlak yang baik. Mengapa dia sampai pergi meninggalkan pulau itu dan membawa banyak pusaka milik Kakekmu?"
"Menurut Kakek dan Nenek, sejak kecil dia memang kelihatan berwatak baik sekali, akan tetapi ketika aku berkunjung ke pulau itu, malam itu dia... dia mempunyai niat kotor dan kurang ajar terhadap diriku. Aku menolak dan menyerangnya, kami berkelahi dan begitulah, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia minggat membawa barang-barang pusaka, termasuk pedang Kakek yang bernama Gin-hwa-kiam (Pedang Bunga Perak)."
"Aih, kiranya begitu?"
Hay Hay mengangguk-angguk.
"Terbuktilah sekarang bahwa aku tidak membohong ketika aku memuji-muii kecantikanmu, Kui Hong. Pantas saja Ciang Ki Liong itu tergila-gila kepadamu karena engkau memang cantik menggairahkan, hanya dia tidak mampu melawan nafsu berahinya sendiri sehingga melakukan hal yang buruk. Kecantikan, seperti semua keindahan, menjadi berbahaya sekali kalau ingin dimiliki dan dinikmati sebagai kesenangan."
"Hemm, engkau sendiri seorang laki-laki mata keranjang yang suka akan kecantikan wanita. Tentu engkau pun sering kali tertarik oleh kecantikan wanita, bukan?"
"Tidak kusangkal, Kui Hong. Aku suka sekali dan tertarik akan kecantikan wanita seperti aku suka dan tertarik akan kecantikan bunga-bunga yang beraneka warna dan bentuk. Semuanya indah mengagumkan. Akan tetapi, aku tidak membiarkan diriku dikuasai nafsu untuk memetik bunga-bunga itu, karena hal itu berarti merusak dan merusak adalah perbuatan jahat. Aku hanya menikmati kecantikan wanita melalui pandang mataku, tanpa dipengaruhi berahi yang akan mendorongku ke arah perbuatan yang melanggar susila."
Hening sejenak dan malam pun tiba. Tanpa bicara keduanya lalu mengumpulkan kayu kering dan membuat api unggun untuk mengusir nyamuk dan hawa dingin. Api bernyala dengan indahnya karena kayu yang dimakannya sudah kering betul dan malam itu tidak ada angin. Kehangatan dan penerangan diciptakan api yang bernyala itu. Mereka duduk berhadapan, terhalang api unggun. Hay Hay mengagumi wajah yang tertimpa sinar api itu, mewarnai wajah cantik itu dengan warna kemerahan. Ketika gadis itu mengangkat muka dan menatapnya, dia tidak melepaskan pandang matanya, sehingga sejenak sinar mata mereka bertemu dan bertaut.
"Hay Hay, pernahkah engkau jatuh cinta?"
Hay Hay terkejut. Pertanyaan itu begitu tiba-tiba dan tak tersangka, seperti sebuah jurus serangan yang aneh dan berbahaya. Dia melihat betapa sepasang mata jeli dan tajam itu memandang kepadanya penuh selidik. Hay Hay tersenyum dan menggeleng kepalanya.
"Aku bersukur bahwa aku belum pernah jatuh cinta, Kui Hong."
"Bersukur? Kenapa mesti bersukur?"
"Karena, seperti katamu tadi, cinta merupakan ikatan, seperti burung dalam sangkar. Aku tidak ingin terkurung dalam sangkar atau terikat kakiku, lebih suka terbang bebas di angkasa seperti seekor burung garuda! Bagaimana dengan engkau sendiri, Kui Hong? Seorang gadis selihai dan secantik engkau tentu banyak pengagumnya dan tentu engkau pernah jatuh cinta."
"Huh, engkau yang sudah berusia dua puluh satu tahun saja belum pernah jatuh cinta, apalagi aku yang baru berusia delapan belas tahun. Sudahlah, tak perlu kita bicara tentang cinta. Aku tertarik mendengar ceritamu tadi tentang para datuk yang bersekutu untuk memberontak itu. Siapa pula nama pemimpin mereka tadi, dan di mana mereka bersarang?"
"Menurut keterangan Menteri Yang, pemimpin mereka adalah Lam-hai Giam-lo seorang datuk sesat yang amat sakti, dan banyak tokoh sesat yang lihai bergabung dalam persekutuan itu, juga Pek-lian-kauw yang memiliki banyak tokoh lihai. Mereka sedang menyusun kekuatan di sepanjang Lembah Yangce, di Pegunungan Yunan."
"Hemm, aku tertarik sekali. Sebagai puteri Ketua Cin-ling-pai, sudah selayaknya kalau aku turun tangan menentang mereka. Dan siapa tahu, di sana aku akan dapat bertemu dengan murid murtad itu. Aku pun akan pergi ke sana, Hay Hay."
"Bagus! Kalau begitu kita melakukan perjalanan bersama, Kui Hong. Betapa senangnya melakukan perjalanan bersamamu!"
"Kenapa senang?"
Kui Hong bertanya sambil mengerling, disertai senyum. Bagaimanapun juga, hati gadis ini senang mendengar pujian-pujian pemuda itu dan menginginkan lebih banyak mendengarnya.
"Kenapa? Tentu saja amat menyenangkan melakukan perjalanan bersama seorang gadis yang cantik manis, lincah jenaka dan lihai pula ilmu silatnya. Biar bertemu setan dan iblis di jalan, aku tidak akan takut kalau melakukan perjalanan bersamamu, Kui Hong."
"Hushh, di malam gelap dan sunyi seperti ini, jangan bicara tentang setan dan iblis, Hay Hay!"
"Ah, sebentar lagi bulan akan muncul. Lihat di timur itu, sudah ada cahaya merah di langit timur, berarti bulan akan segera muncul."
"Apalagi waktu terang bulan, katanya setan dan iblis suka berkeliaran. Hihh, mengerikan!"
Dan Kui Hong benar-benar agak menggigil mengenang tentang setan dan iblis.
"Ha-ha-ha, seorang gadis selihai engkau ini ngeri dan takut soal setan dan iblis? Sesungguhnya, merekalah yang harus merasa ngeri dan takut berhadapan denganmu, Kui Hong, bukan engkau yang takut!"
Hay Hay berkelakar.
"Kalau setan dan iblis yang hanya dipakai penjahat untuk julukan mereka, tentu saja aku tidak takut sama sekali. Akan tetapi kalau setan dan iblis sungguh-sungguh, mahluk-mahluk halus, hiiihh, siapa yang tidak merasa ngeri?"
Kui Hong memandang ke kanan kiri, lalu menoleh ke belakang. Ketika melakukan perjalanan seorang diri, gadis ini tidak takut menghadapi siapa pun, dan karena tidak pernah bicara atau berpikir tentang setan, maka ia pun tidak pernah takut. Kini, sekali Hay Hay menyebut tentang setan dan iblis yang suka mengganggu manusia, teringat ia akan dongeng-dongeng mengerikan tentang setan dan iblis yang suka mengganggu manusia.
"Kui Hong, apakah engkau pernah melihat sendiri setan itu?"
Kui Hong menggeleng kepala menyangkal.
"Kalau belum pernah melihat sendiri, bagaimana engkau bisa percaya adanya setan."
Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hay Hay, banyak hal-hal yang gaib di dunia ini, yang tak dapat dilihat, namun toh ada dan harus dipercaya keadaannya. Siapa dapat melihat adanya angin? Siapa dapat melihat adanya nyawa? Siapa dapat melihat adanya Tuhan? Namun, kita toh percaya. Aku percaya akan adanya setan dan iblis seperti yang didongengkan orang."
Hay Hay mengangguk.
"Memang, di dalam ilmu sihir, ada ilmu yang disebut ilmu hitam, yang kekuatannya berpangkal kepada kepercayaan dan pemujaan setan dan iblis. Seperti juga kepercayaan terhadap Tuhan, walaupun tak dapat dilihat, namun kekuasaan Tuhan dapat kita lihat di mana-mana, bahkan di dalam detak jantung kita sendiri, dalam pertumbuhan kuku dan rambut dan dalam seluruh kehidupan diri kita. Kalau Tuhan itu sumber segala kebenaran dan kebaikan, maka sebaliknya, setan itu sumber segala kejahatan. Aku sendiri ingin sekali melihat setan dengan mata kepala, namun tak pernah berhasil.."
"Ihhh... sudahlah, Hay Hay, jangan bicara tentang setan dan iblis di waktu seperti ini. Lihat bulan mulai muncul dan bayangan-bayangan pohon itu sungguh menyeramkan!"
Kembali Kui Hong nampak ketakutan dan diam-diam gadis ini merasa beruntung sekali malam itu ada Hay Hay yang menemaninya. Ia menambahkan kayu pada api unggun sehingga api membesar.
"Aku mau tidur, tubuhku masih terasa lelah bukan main."
Katanya dan ia pun merebahkan diri miring di bawah pohon itu berbantal tangan.
"Tidulah, biar aku yang berjaga. Tidurlah dengan tenang dan nyenyak dan jangan takut akan diganggu setan.."
Tiba-tiba Kui Hong menahan jeritnya dan meloncat duduk dengan mata terbelalak memandang ke sebelah kirinya.
"Kui Hong! Ada apakah?"
Tanya Hay Hay dan dia pun menoleh.
Dia pun terbelalak karena melihat asap hitam mengepul dan di tengah asap itu muncullah bentuk yang amat menyeramkan, seorang manusia seperti raksasa, tinggi besar, mukanya hitam arang, matanya lebar melotot hidungnya besar dan mulutnya bertaring! Pendeknya, bukan bentuk manusia umum yang muncul dari dalam asap hitam itu, melainkan ujud yang biasanya dimiliki setan datam dongeng! Kui Hong yang tadinya terkejut sekali, kini tiba-tiba meloncat ke arah bayangan raksasa itu dan ia menyerang dengan Pukulan dahsyat. Akan tetapi, gadis itu menahan pekiknya ketika tangannya tembus saja seolah-olah ia memukul bayangan! Dan "raksasa"
Itu tertawa bergelak, giginya yang besar-besar nampak dan lidahnya terjulur panjang! Kui Hong menjadi pucat dan kini ia tidak meragukan lagi bahwa yang diserangnya itu sudah pasti setan! Bukan manusia biasa.
"Kui Hong, mundurlah dan biarkan aku menghadapinya."
Terdengar suara Hay Hay di belakangnya dan Kui Hong cepat melompat ke arah Hay Hay dan dengan tubuh gemetar ia ikut duduk di atas rumput dekat Hay Hay karena pemuda itu pun masih duduk seperti tadi. Saking ngeri dan takutnya, tanpa disadarinya Kui Hong duduk merapat dan merangkul leher pemuda itu, minta perlindungan.
"Aku... aku takut."
Bisiknya dan suaranya juga gemetar. Api unggun kini padam karena tidak ditambah kayu, akan tetapi bulan sudah muncul sehingga cuaca cukup terang, akan tetapi penerangan redup yang menambah keseraman suasana. Kini suara ketawa terdengar semakin ramai dan dengan muka pucat dan mata terbelalak Kui Hong melihat bahwa kini, bersama dengan mengepulnya asap hitam, muncul pula empat sosok bayangan lain yang kesemuanya merupakan mahluk-mahluk mengerikan yang mengepung mereka dengan setengah lingkaran dari depan. Kui Hong merasa semakin takut dan di luar kesadarannya, kedua lengannya merangkul pundak dan leher Hay Hay, seperti seorang anak kecil yang ketakutan dan minta perlindungan dalam dekapan ibunya.
Pendekar Sadis Eps 39 Asmara Berdarah Eps 11 Asmara Berdarah Eps 19