Ceritasilat Novel Online

Pendekar Mata Keranjang 22


Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Bagian 22



"Kakek yang baik, lihat padaku! Aku bukan musuhmu, aku adalah sahabat baikmu! Lihatlah, kita adalah sahabat baik, bukan? Aku sahabatmu dan kita tidak seharusnya berkelahi atau bermusuhan!"

   Di dalam kata-katanya itu terkandung kekuatan sihir yang amat kuat. Kakek itu nampak tertegun, lalu mendengus seperti seekor lembu marah, dan membentak,

   "Aku tidak mempunyai sahabat macam engkau!"

   Hay Hay terkejut. Kekuatan sihir yang dipergunakannya tadi amat kuat karena dia mengerahkan tenaga batin. Andaikata kakek ini memiliki pertahanan batin yang bagaimana kuat pun, tentu akan dapat ditembus! Akan tetapi, kakek itu kelihatan tidak apa-apa dan enak saja membantah kata-katanya!

   "Locianpwe, lihat baik-baik, siapakah aku ini?"

   "Engkau seorang manusia yang kejam melebihi ular dan harimau!"

   "Engkau keliru, aku adalah cucumu sendiri!"

   "Bohong, aku tidak punya Cucu!"

   "Aku adalah puteramu!"

   "Omong kosong, aku tidak punya anak!"

   Celaka, pikir Hay Hay. Dia yakin bahwa siapa saja kalau dihadapinya dengan sihir ini, tentu takluk dan membenarkan semua kata-katanya. Akan tetapi kakek gila ini menyangkal semua ucapannya dan ini hanya berarti bahwa kakek itu sama sekali tidak terpengaruh oleh kekuatan sihirnya. Demikian kuatkah kakek ini, ataukah kekuatan sihirnya sendiri yang sudah melempem? Dia teringat bahwa kakek ini agaknya pembenci manusia dan pencinta binatang, maka kini dia menambah kekuatan pada pandang mata dan suaranya, lalu berseru dengan suara menggetar penuh kekuatan sihir.

   "Locianpwe, lihat baik-baik, aku adalah seekor kelinci!"

   Dia teringat betapa kakek itu melindungi kelinci-kelinci dan nampak amat sayang kepada binatang itu.

   "Ha-ha-ha, engkau yang buruk ini mana bisa dibandingkan dengan kelinci yang bersih, manis dan mungil? Jangan mengacau!"

   "Kakek aku adalah seekor harimau, lihat baik-baik!"

   "Ho-ho, tak perlu membadut. Engkau yang lemah ini mana patut menjadi harimau yang gagah perkasa?"

   Sialan, pikir Hay Hay. Kakek ini kebal terhadap serangan sihir, atau memang kekuatan sihirnya yang sudah melempem. Tidak ada jalan lain kecuali lari secepat mungkin meninggalkan kakek gila itu, atau kalau tidak agaknya dia harus berkelahi mati-matian melawan kakek yang benar sakti luar biasa ini. Dia memilih yang pertama dan cepat dia meloncat ke belakang, berjungkir balik sambil mengerahkan ilmu sihirnyanya.

   Dimata orang lain, tentu dia akan lenyap menjadi asap, dan dia pun tidak peduli lagi apa pengaruh sihirnya terhadap kakek gila, melainkan cepat mengerahkan tenaga saktinya dan mempergunakan ilmu berlari cepat untuk meninggalkan tempat itu. Pada waktu itu, Hay Hay telah memiliki ilmu berlari cepat yang amat hebat. Dia telah mewarisi ilmu-ilmu dari tiga orang sakti yang menggemblengnya penuh ketekunan disamping bakatnya sendiri memang besar sekali. Jarang ada orang akan mampu mengejarnya, maka setelah berlari cepat kurang lebih seperempat jam dia telah berada jauh sekali, mendaki bukit yang dipenuhi hutan. Karena sejak tadi mengerahkan tenaga, Hay Hay merasa lelah dan tubuhnya berkeringat, maka ketika melihat sebuah batu hitam menggeletak di bawah sebatang pohon besar yang rindang dan teduh, dia pun menghampiri batu itu dan duduk menjatuhkan diri.

   "Aaaahhhh..!"

   Dia menarik napas panjang dan lega. Enak sekali rasanya beristirahat di tempat teduh itu setelah berlari-lari seperti dikejar setan tadi. Akan tetapi, betapa kagetnya ketika tiba-tiba batu yang diduduki itu bergerak dan terdengar suara dari batu itu,

   "Hemm, engkau baru datang. Sampai mengantuk aku menunggu kedatanganmu. Mari kita lanjutkan perkelahian kita!"

   Hay Hay meloncat sampai lima meter jauhnya dari batu itu dan ketika dia memandang, ternyata batu itu bukan lain adalah kakek gila tadi yang duduk bersila di situ! Tengkuknya meremang! Sukar di percaya bahwa dia bertemu dengan seorang manusia begini sakti! Dia mengerti sekarang bahwa dalam hal ilmu sihir dan ilmu berlari cepat, dia kalah jauh. Bukan saja kakek itu telah dapat mendahuluinya, bahkan kakek itu dapat mengubah diri menjadi batu sehingga dia dapat dikelabuhi. Ini juga merupakan semacam sihir atau sulap yang aneh sekali sehingga orang seperti dia, yang telah mempelajari ilmu sihir dari Pek Mau San-jin dapat tertipu!

   "Locianpwe, maafkan aku. Aku tidak ingin berkelahi dengan Locianpwe,"

   Katanya merendah sambil menjura.

   "Heh-heh, aku tidak peduli engkau ingin atau tidak. akan tetapi engkau telah memperlihatkan kepandaian membunuh harimau yang tidak berdosa kepadaku, maka sebagai hukumannya, engkau harus melawanku, hendak kulihat sampai dimana hebatnya kepandaianmu. Nah, bersiaplah engkau!"

   Kembali kakek itu menerjang seperti tadi, dengan gerakan ngawur dan tidak menurut aturan ilmu silat ini maka amat sukar bagi Hay Hay untuk mengenal atau menduga gerkan-gerakannya. Kembali Hay Hay segera terdesak hebat dan diam-diam dia merasa penasaran sekali. Betapapun lihainya, kakek ini hanyalah seorang manusia biasa dan dia sendiri sudah memiliki ilmu silat tinggi. Maka dia harus membela diri dan membalas serangan kakek ini dengan ilmu-ilmu tinggi yang pernah dipelajarinya.

   "Baiklah, kalau engkau memaksa, aku harus membela diri!"

   Teriaknya dan dia pun segera membalas serangan kakek itu dengan serangan kilat, kakinya bergerak dengan Jiau-pou-poun-soan, ilmu langkah ajaib yang dipelajarinya dari See-thian Lama dan kedua tangannya mengirim serangan bertubi-tubi, tamparan yang amat dahsyat, totokan-totokan yang menggunakan satu jari, dua jari, bahkan tiga jari, mengancam jalah darah terpenting dari seluruh tubuh lawan! Hebat bukan main serangkaian serangannya itu sehingga berkali-kali kakek itu berloncatan mengelak sambil memuji-muji.

   "Wah, hebat kau! Heii, bukankah ini Jiau-poa-poan-soan? Wah, agaknya engkau mewarisi ilmu dari See-thian Lama, manusia dari Go-bi-san itu, ya? Ha-ha-ha, keluarkan semua!"

   Hay Hay makin heran dan terkejut, yakin bahwa tentu kakek ini seorang yang memiliki kedudukan tinggi walaupun nampaknya terlantar dan gila, buktinya mengenal ilmu dari suhunya yang kedudukannya sudah tinggi sebagai seorang di antara Delapan Dewa. Setelah lebih dari tiga puluh jurus semua serangannya gagal karena agaknya lawan mengenal ilmu silatnya, Hay Hay merobah gerakannya dan kini dia memainkan Ciu-sian Cap-pek-ciang yang amat dahsyat, ciptaan Ciu-sian Sin-kai yang khusus untuk dirinya. Begitu dia mainkan ilmu silat yang membuat daun-daun pohon disekeliling tempat itu banyak yang rontok oleh sambaran angin Pukulannya, kakek itu kembali berseru kaget berkali-kali sambil terus mengelak dan kadang-kadang menangkis.

   "Wah-wah, engkau Si Gembel Ciu-sian Sin-kai kalau begini! Bocah ini sungguh beruntung, mewarisi pula ilmu dari Si Gembel dari Delapan Dewa itu!"

   Akan tetapi, seperti tadi, dia dapat menghindarkan semua serangan Hay Hay. Diam-diam pemuda ini makin kagum dan terpaksa dia mencabut sulingnya, sebatang suling dari kayu seperti milik Ciu-sian Sin-kai. Suling ini hanya tiga kaki panjangnya, dapat dipakai sebagai alat musik dan dapat pula dimainkan seperti pedang. Dengan senjata ini, kembali dia menyerang sambil mengerahkan seluruh kepandaiannya. Kakek itu kembali menghadapi semua serangan Hay Hay dengan elakan-elakan dan tangkisan, sambil memuji-muji dan tiba-tiba membentak,

   "Cukup!"

   Tiba-tiba tubuh Hay Hay terpental seperti terbawa angin badai yang amat kuat dan biarpun dia telah mengerahkan tenaga untuk mempertahankan diri, tidak urung dia terhuyung, akan tetapi tidak sampai jatuh.

   "Bagus, engkau kuat pula menahan bentakan kilat itu!"

   Kakek itu memuji dan kini sikapnya tidaklah seperti tadi, bukan sikap orang yang gendeng melainkan penuh wibawa. Akan tetapi sikap seperti itu hanya sebentar saja karena begitu Hay Hay menjatuhkan diri berlutut di depannya, dia sudah tertawa-tawa lagi dengan suara ketawa menyeramkan tidak normal!

   "Heh-heh-ha-ha-ha, engkau orang muda kejam telah mempelajari banyak ilmu hebat, akan tetapi masih mentah! Dan orang mentah seperti engaku berani memamerkan kepandaian di depan Song Lojin (Kakek Song)? Ha-ha-ha!"

   Hay Hay mengingat-ingat, akan tetapi belum pernah dia mendengar akan nama Song Lojin di antara tokoh-tokoh persilatan, bahkan ketiga orang gurunya belum pernah ada yang bercerita tentang seorang tokoh tua bernama Kakek Song. Dia merasa yakin bahwa tingkat kakek ini tidak di sebelah bawah tingkat kedua orang gurunya yang merupakan dua orang tokoh Delapan Dewa, maka dia pun cepat memberi hormat sambil berlutut dan berkata,

   "Locianpwe, saya yang bodoh bernama Hay Hay mohon petunjuk dari Locianpwe yang mulia."

   "Siapa yang mulia? Ha-ha, perangkap kehormatan dan rayuan tidak akan menjebakku karena aku tidak pernah membutuhkannya."

   Dia terkekeh.

   "Akan tetapi aku suka melihat bakatmu, engkau berbakat dan semuda ini sudah memiliki ilmu silat dan sihir yang jarang dimiliki orang lain. Eh, namamu Hay Hay, siapa shemu?"

   "Maaf, Locianpwe, saya membenci ayah saya yang amat jahat, maka saya tidak mau mempergunakan nama keturunannya. Nama saya Hay Hay titik, tanpa she."

   "Wah-wah.... ha-ha-ha, engkau pun tidak mau terikat, akan tetapi itu timbul karena benci. Nah, Hay Hay, bagaimana kalau engkau mematangkan ilmu-ilmu yang kau miliki?"

   Tentu saja Hay Hay nerasa girang bukan main dan kembali dia memberi hormat sampai dahinya menyentuh tanah.

   "Kalau Suhu berkenan menurunkan ilmu, teecu akan berterima kasih dan selamanya takkan melupakan budi Suhu."

   "Wah-wah, aku tidak butuh diingat, tidak mau menghutangkan budi. Akan tetapi engkau harus mentaati semua perintahku. Berani?"

   "Teecu berani."

   "Selama berada di dekatku, engkau tidak boleh makan bangkai!"

   "Teecu selamanya tidak pernah makan bangkai!"

   Kata Hay Hay memprotes.

   "Huh, siapa bilang? Kalau engkau makan daging bukankah bangkai yang kau makan itu? Daging binatang yang sudah mati, apakah itu bukan bangkai?"

   Hay Hay tertegun dan tidak mau membantah.

   "Baik, teecu akan mentaati semua perintah itu."

   "Latihan-latihannya berat sekali, kalau engkau tidak kuat dapat menjadi gila atau bahkan mati, dan engkau harus mentaati perintahku menjalankan latihan apa saja tanpa membantah. Sekali engkau membangkang, terpaksa aku akan membunuhmu karena engkau akan menjadi mahluk berbahaya. Sanggup?"

   Hay Hay merasa ngeri. Jangan-jangan kakek ini menjadi gila karena latihan-latihan yang entah bagaimana. Akan tetapi dia adalah seorang laki-laki yang jantan dan gagah, tidak sudi menjilat ludah yang sudah dikeluarkan dari mulut.

   "Teecu sanggup."

   "Engkau tidak boleh meninggalkan sebelum kusuruh, dan kalau aku sudah menyuruh engkau pergi, engkau tidak boleh membantah, dimana saja dan kapan saja. Sanggup?"

   "Sanggup, Suhu."

   "Nah, sekarang engkau harus melakukan latihan pertama. Ingat baik-baik kalimat ini dan hafalkan: Ada datang dari Tiada, maka segala yang Ada akan kembali ke Tiada. Nah, coba hafalkan!"

   Hay Hay menahan ketawanya. Tentu saja baginya amat mudah menghafal kalimat itu, apalagi karena dari See-thian Lama dia sudah banyak diajar tentang Agama Budha, sedangkan dari Ciu-sian Sin-kai dia banyak mendengar tentang filsafat Agama To.

   "Baik, Suhu. Ada datang dari Tiada, maka segala yang Ada akan kembali ke Tiada."

   "Bagus, engkau pintar,"

   Kata kakek itu memuji karena memang Hay Hay membaca kalimat itu dengan suara indah setengah dinyanyikan, sudah banyak dia membaca sajak dan pandai berdeklamasi.

   "Sekarang berikan bungkusanmu kepadaku, juga tanggalkan semua pakaianmu dan mari ikut bersamaku."

   Hay Hay tertegun, memandang kepada gurunya dengan bengong. Dia disuruh telanjang dan pakaiannya dibawa oleh kakek ini? Akan tetapi teringat akan janjinya, dan mengingat bahwa di tempat itu sunyi dan tidak ada orang lain kecuali mereka berdua, Hay Hay tidak membantah. Ditinggalkannya semua pakaiannya, lalu pakaian itu dimasukkan dalam buntalan pakaiannya, diserahkan kepada kakek itu yang memandang sambil menyeringai.

   "Kau tidak khawatir kalu aku melarikan diri membawa semua pakaianmu?"

   Hay Hay menggeleng kepala.

   "Tidak mungkin, karena Suhu tidak suka berpakaian."

   "Nah, mari ikuti aku!"

   Kakek itu berlari cepat. Hay Hay mengikutinya dan pemuda ini harus mengerahkan Ilmu Yang-cu Coan-in (Burung Walet Membungkus Awan) untuk dapat mengimbangi cepatnya langkah kedua kaki kakek itu. Ternyata kakek ini membawanya kembali ke hutan pertama dimana dia untuk pertama kalinya bertemu kakek yang mengaku bernama Kakek Song ini. Setibanya di tepi sebuah anak sungai, diantara pohon-pohon yang besar, kakek itu berhenti.

   "Nah, sekarang engkau masuklah ke dalam air dan berendam sampai setinggi leher sambil duduk bersila. Apa pun yang terjadi, jangan engkau tinggalkan tempat ini sampai aku datang menyuruhmu keluar."

   Hay Hay bergidik ngeri. Berendam di dalam air anak sungai itu? Sampai kapan? Dan perutnya amat lapar, hawa amat dingin. Akan tetapi dia tidak berani membantah, hanya bertanya.

   "Bagaimana kalau perut saya lapar, Suhu?"

   Dan dia memancing.

   "Bolehkah saya menangkap ikan yang berenang dekat dan memakannya kalau perut saya sudah lapar sekali?"

   Pancingannya berhasil. Kakek itu mencak-mencak dan matanya melotot, bahkan menjadi kemerahan.

   "Apa kau bilang? Mau menangkap ikan yang tak berdosa dan makan bangkai ikan? Akan kubenamkan kepalamu ke dalam air sampai putus napasmu kalau begitu!"

   "Habis, bagaimana kalau saya lapar?"

   "Apakah engkau akan mampus kelaparan kalau tidak makan bangkai? Lihat di sekelilingmu, begitu banyak makanan lezat dan segar, lihat ke atasmu. Akan tetapi awas, sebelum engkau kusuruh keluar, engkau tidak boleh meninggalkan tempat latihan itu, dan seluruh perhatianmu harus kau curahkan kepada kalimat yang kau hafal tadi. Mengerti?"

   "Mengerti, Suhu."

   "Kalau begitu, lekas kau laukan!"

   Hay Hay tidak mengerti apa manfaat latihan gila ini, akan tetapi karena sudah berjanji dan karena dia yakin akan kesaktian kakek itu, dia pun menurut saja, memasuki air yang amat dingin, lalu memilih tempat di tengah, di mana dia dapat duduk di atas batu yang bundar dan rata ketika dia duduk bersila, ternyata air sampai di atas dadanya dekat leher.

   "Bagus, dan ingat, jangan mengira setelah aku pergi, engkau dapat meninggalkan tempat bertapa itu tanpa kuketahui. Kalau engkau melanggar, berarti pelajaran gagal dan engkau boleh pergi sebelum aku datang membunuhmu!"

   Setelah berkata demikian, kakek itu berkelebat dan lenyap bersama buntalan pakaian Hay Hay. Pemuda itu celingukan memandang ke kanan kiri, merasa seperti telah menjadi seekor kura-kura di tengah sungai, kesepian dan ditinggalkan, merasa seperti menjadi bulan-bulan permainan dan olok-olok. Mengapa dia menurut saja? Apa yang dilakukan dengan bertelanjang bulat di tengah sungai seperti ini? Tidak boleh meninggalkan tempat itu, padahal perutnya lapar? Dia memandang ke atas dan mengertilah dia akan maksud gurunya yang baru itu.

   Kiranya tempat itu penuh dengan pohon-pohon yang mengandung buah-buah yang lezat dan segar. Bahkan di kanan kiri anak sungai itu nampak bergantung buah apel merah dan besar-besar! Akan tetapi bagaimana dia dapat mengambilnya? Dia tidak boleh meninggalkan tempat itu! Perut yang lapar membuat dia memutar otak mencari akal. Lalu diambilnya batu-batu kecil dari dasar sungai. Disambitnya apel yang bergantung di depannya. Dua buah butir apel runtuh ke atas air dan terbawa arus sungai itu menghampirinya karena dia diharuskan duduk melawan atau menghadapi arus air. Dengan gembira dimakannya buah itu dan ternyata rasanya manis dan segar bukan main. Setelah menghabiskan tujuh butir apel besar, perutnya menjadi tenang dan mulailah dia memperhatikan latihan yang diberikan oleh gurunya yang aneh itu.

   Dia duduk dengan tenang, dan karena dia bersamadhi, mudah saja baginya untuk mengheningkan cipta, dan yang teringat hanyalah kalimat itu saja yang dibacanya berulang-ulang di dalam hatinya. Kadang-kadang bibirnya ikut bergerak dan seluruh perhatiannya dicurahkan kepada kalimat itu. Kesadarannya bekerja bersama pengamatannya karena dia mengamati isi atau arti dari kalimat itu. Agama To pernah mengajarkan bahwa sebelum ada sesuatu, yang ada hanyalah Kosong, ada kosong sama dengan Tiada. Disebut Tiada atau Kosong karena keadaan itu tidak dapat diselami oleh pikiran manusia yang berisi, isi yang terbentuk dari ingatan-ingatan tentang pengalaman masa lalu, yang hanya dapat dicatat oleh pikiran berupa ingatan. Akan tetapi, jauh sebelum itu, otak tak mampu mencatatnya.

   Segala sesuatu yang ada, segala sesuatu yang terjadi, sudah pasti mempunyai sebab. Segala sesuatu hanya merupakan akibat belaka dari sebab-sebab tertentu. Dan selama ingatan masih mampu mencatat, selama pikiran masih mampu meraba, orang dapat mnelihat sebab-sebabnya. Akan tetapi sebab dan akibat itu berkait-kaitan, tiada putusnya dan ingatan tidak mungkin dapat menelusuri sampai pada bagian yang tanpa batas. Dan kalau sudah begini, maka manusia tidak tahu lagi dan tidak dapat melihat sebab-sebab yang tidak dilihatnya, tidak dimengertinya. Karena itulah, otak yang kehilangan akal dan kehilangan ukuran lalu melahirkan kata Nasib, menyerahkan Kehendak Tuhan, atau bahkan tidak mau tahu karena tidak melihat sebabnya, hanya mementingkan akibatnya dan mencari kesalahan kepada siapa saja secara membabi-buta!

   Ketika malam tiba, hawanya dingin bukan main, rasanya sampai menusuk tulang. Terpaksa Hay Hay harus mengerahkan tenaga sinkangnya untuk melawan hawa dingin ini. Semalam suntuk dia berjuang seperti melawan musuh yang tidak nampak, musuh yang berupa hawa dingin dan yang lebih daripada itu, perasaan ngeri. Gerakan air yang menggoyang tubuhnya, suara air, penglihatan remang-remang, mendatangkan bayang-bayang yang mengerikan dan menyeramkan, mengingatkan dia akan segala macam dongeng tentang setan dan iblis. Juga dia harus berjuag melawan rasa kantuk. Tidak mungkin membiarkan diri terseret hanyut oleh tidur dalam keadaan bersila di dalam air yang tingginya hanya dibawah dagu itu!

   Semalam suntuk Hay Hay merasa tersiksa, namun dengan gagah dia melawan semua itu sampai matahari pagi menimbulkan kabut dipermukaan air anak sungai itu, dan burung-burung berkicau menyambut sinar pertama matahari pagi. Akan tetapi, sampai matahari naik tinggi, kakek itu belum juga muncul! Padahal Hay Hay mengharapkan pagi ini kakek itu akan menghentikan siksaan atas dirinya. Makin siang, makin kecewa hatinya dan diam-diam ketika dia merenung kembali kalimat yang harus selalu diingatnya itu, dia memperoleh kenyataan baru dalam hidup, sehubungan dengan kesibukan pikirannya. Dia mendapat kenyataan bahwa kekecewaan timbul karena adanya harapan. Mengharapkan untuk memperoleh sesuatu menjadi biang kekecewaan, yaitu kalau harapan itu tidak terpenuhi seperti yang dilakukannya sejak semalam.

   Dia mengharapkan kakek itu akan mengakhiri penderitannya pada keesokan harinya, dan kini dia merasa kecewa bukan main karena kenyataannya kakek itu tidak muncul! Andaikata dia tidak mengharapkan, agaknya tidak akan muncul rasa kecewa itu. Ketika perasaan kecewa itu hampir membuat dia tidak kuat menahan lagi, mendorongnya untuk meloncat kedarat, dia cepat memejamkan kedua matanya dan seluruh perhatiannya dicurahkan kepada kalimat itu, bahkan bibirnya ikut bergerak seperti membaca mantera.

   "Ada datang dari Tiada, maka segala yang Ada akan kembali ke dalam Tiada."

   Demikian berkali-kali dia membaca kalimat itu. Memang segalanya akan kembali ke Tiada. Juga dirinya. Setelah matahari condong ke barat, perutnya menagih lagi.

   Kembali dia meruntuhkan buah-buahan yang berada di depannya, dan buah-buahan itu terbawa hanyut oleh air menghampirinya. Dia makan buah-buahan itu sampai kenyang, lalu duduk tepekur pula. Hatinya tenang setelah dia mengulang kalimat itu dan setelah perutnya kenyang sehingga dia tidak lagi memikirkan hal yang bukan-bukan, tidak lagi ada rasa kecewa setelahnya hening dan kosong. Dia kini tenggelam ke dalam keheningan dan terus memasuki keheningan itu dalam keadaan sadar sepenuhnya, namun tidak merasakan apa-apa lagi, tidak mendengarkan apa-apa lagi, tidak melihat apa-apa lagi. Yang hidup hanyalah kesadarannya yang masuk kedalam dirinya sendiri, tidak terpengaruh oleh keadaan di luar dirinya. Dan rasanya seperti melayang-layang kedalam dunia yang amat luas, dengan beraneka macam warna,

   Beraneka macam suara dan penglihatan yang tembus pandang namun tidak dapat diingat lagi bagaimana bentuk yang sesungguhnya. Sudah matikah dia? Tidak, dia masih hidup, hal ini diketahuinya benar melalui kesadarannya. Namun, dia merasa seperti berada di dunia lain! Tiba-tiba terdengar suara menggelegar yang amat keras dibarengi cahaya yang menyilaukan mata. Hay Hay terseret ke dalam alam kenyataan dan dia pun membuka mata, terbelalak heran karena ternyata telah turun hujan dan suara menggelegar dibarengi cahaya tadi adalah suara kilat menyambar. Hujan sudah turun agak lama kiranya melihat dari rambut kepalanya yang sudah basah kuyup. Dan cuaca remang-remang, agaknya sudah senja atau karena sinar matahari terhalang mendung dan hujan.

   Tak disangkanya akan turun hujan karena seingatnya sebelum dia tenggelam ke dalam alam samadhi tadi, hari amat ceah. Dia lalu merenungkan kembali kalimat yang harus diingatnya selalu, matanya memandang permukaan air sungai yang selama ini tak pernah berhenti bergerak, dan kini ditambah pula rintik air hujan yang menetes-netes tiada hentinya, membuat permukaan air seperti tertimpa ribuan batu-batu kecil. Hidup seperti air sungai mengalir, renungnya. Dan setiap gerakan air, setiap tetes air bergerak karena ada sebabnya, ada pendorong dibelakangnya. Juga air hujan yang berjatuhan dari angkasa itu pun ada penyebabnya. Juga guntur dan kilat itu. Hidup bagaikan air sungai mengalir, tak pernah berhenti dan tidak pernah sama, selalu berubah. Biarpun nampaknya sama, namun setiap detik ada perubahan pada permukaan air sungai,

   Tak pernah sama keadaannya karena bukan benda mati. Karena itu, mempelajari hidup harus membiarkan diri hanyut oleh hidup itu sendiri, detik demi detik. Tak mungkin mempelajari hidup sambil tiduran, karena kehidupan akan lewat dan jauh meninggalkan si pelajar. Malam pun tiba dan malam itu gelap sekali. Hujan sudah berhenti, dan air naik tinggi. Hay Hay terus mengambil batu lagi untuk mengganjal pantatnya, sehingga dia dapat duduk lebih tinggi dan tidak sampai tenggelam. Timbul kekhawatiran di dalam hatinya. Bagaimana kalau muncul ular air, atau buaya atau binatang lain? Akan tetapi dia dapat melenyapkan rasa takut. Dia sudah pasrah dan bertekad untuk terus melakukan tapa itu sampai Kakek Song datang menyuruhnya keluar. Apapun yang akan terjadi akan dihadapinya dengan tabah.

   Hay Hay pernah mempelajari tentang perbintangan dan setelah menjelang tengah malam, angkasa penuh dengan bintang sejuta. Indah bukan main. Kalimat yang harus diingatnya itu membuatnya sadar bahwa segala bintang diangkasa itu pun terjadi dan tercipta bukan tanpa sebab. Alangkah banyaknya rahasia di alam mayapada ini, dan betapa besar kekuasaan Sang Pencipta. Penuh rahasia gaib yang tak mungkin di buka oleh pikiran manusia yang sesungguhnya amatlah dangkal, rapuh, dan penuh sesak sehingga membuatnya menjadi kotor. Ketika dia melihat jutaan bintang itu, nampak olehnya keindahan yang selama ini belum pernah dilihatnya, merasakan kebahagiaan yang belum pernah menyentuh batinnya. Betapa indahnya malam ini, dan betapa bahagianya manusia dapat melihat, mendengar, mencium, meraba dan merasakan semua keindahan yang seolah-olah dilimpahkan untuk manusia.

   Keindahan tinggal membuka mata memandang, menikmati keharuman tinggal membuka hidung mencium, menikmati kemerduan tinggal membuka telinga mendengar. Betapa bahagianya hidup ini. Hidup ini adalah kebahagiaan itu sendiri karena hidup adalah anugerah, hidup adalah cinta kasih. Namun, mengapa kita tidak dapat melihatnya? Mengapa kita tidak mau menikmatinya? Mengapa pikiran kita sibuk terus dan demikian ruwet, penuh sesak dan tiada hentinya dikuasai keinginan mengejar kesenangan-kesenangan yang sesungguhnya hanya merupakan gelembung-gelembung kosong yang mudah pecah belaka? Jutaan bintang mendatangkan cahaya remang-remang, namun cukup terang bagi mata Hay Hay yang terlatih. Tiba-tiba dia terkejut. Ada benda hitam besar
(Lanjut ke Jilid 21)
Pendekar Mata Keranjang (Seri ke 09 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 21
bergerak-gerak di depan, hanya kurang lebih sepuluh meter di depan sana.

   Dan benda hitam panjang itu bergerak menuju ke arahnya. Berenang menghampirinya, meluncur dengan berat dan perlahan-lahan, lambat namun tentu menuju ke arah dirinya. Buaya! Apalagi kalau bukan buaya? Dan memang nampak sekarang garis bentuh tubuh buaya itu, dari moncong yang panjang sampai ekor yang kokoh kuat bergigi-gigi itu. Celaka, pikirnya. Kalau dia berada di darat, dia tidak perlu takut menghadapi buaya, selain mudah menghindar, juga dia dapat menyerang dan mungkin membunuh binatang air yang buas itu. Akan tetapi dia berada di tengah sungai! Dan dia tidak sehebat kalau berada di atas tanah, walaupun selama berada di Pulau Hiu, ikut gurunya yang kedua, Ciu-sian Sin-kai, dia sudah biasa dengan air laut dan pandai pula berenang. Akan tetapi berkelahi melawan buaya di air? Wah, dia tidak berani!

   Dengan jantung berdebar saking tegang dan takut, Hay Hay memandang benda hitam yang bergerak mendekatinya itu. Teringatlah dia bahwa apapun yang terjadi, dia harus tenang dan sama sekali tidak boleh meninggalkan tempat itu. Kini ada dua pilihan. Mampus dimakan buaya akan tetapi mentaati perintah kakek gila itu, atau meloncat kedarat dan menyelamatkan diri akan tetapi melanggar janjinya dan dia harus melarikan diri dalam keadaan telanjang bulat kalau tidak mau dibunuh kakek itu! Dan dia memilih yang pertama. Kalau memang buaya itu akan menyerangku, sampai bagaimanapun juga akan kulawan, akan tetapi aku tidak akan melanggar janji, tidak akan meninggalkan tempat ini, demikian tekadnya dan kembali dia membaca kalimat yang harus diingatnya selalu.

   "Ada datang dari Tiada, maka segala yang Ada akan kembali ke dalam Tiada. Ada datang dari Tiada!"

   Dia mengulangnya terus sambil memandang kepada benda hitam itu penuh kewaspadaan. Ada datang dari Tiada! Dan..... setelah benda itu berada dekat, hanya dalam jarak satu meter sehingga dia dapat memandang lebih jelas, hampir dia tertawa bergelak mentertawakan diri sendiri. Jantungnya masih berdebar dan keringat masih membasahi dahinya, padahal hawanya sangat dingin. Kiranya benda yang disangkanya buaya tadi memang berbentuk buaya dan berenang menghampirinya, ternyata kini bahwa benda itu hanyalah sepotong kayu hitam panjang! Potongan batang pohon yang hanyut disungai itu!

   Bukan hanya "buaya! itu yang nampak malam itu oleh Hay Hay. Berturut-turut muncullah ular-ular, ikan-ikan aneh dan lintah-lintah besar yang merubung dan mengancamnya, akan tetapi semua itu ternyata hanyalah daun-daun dan ranting-ranting. Tahulah dia bahwa semua itu timbul dari khayalannya sendiri yang dihantui rasa khawatir dan takut. Senja tadi dia membayangkan semua binatang itu sehingga kini bermunculan menggodanya! Menjelang pagi, tiba-tiba nampak bayangan orang dan tahu-tahu seorang kakek telah berdiri di atas batu tak jauh dari tempat dia berendam diri.

   Batu itu menonjol ke atas permukaan air dan kakek itu sudah berada disitu, mengulurkan tangan kepadanya, seperti hendak menolongnya keluar dari sungai itu, Hay Hay menggeleng kepalanya dengan keras dan ketika dia berkedip, bayangan kakek itu pun lenyap. Anehnya, kini dia tidak merasa dingin lagi. Agaknya tubuhnya sudah dapat menyesuaikan diri dengan hawa dingin di dalam air itu, bahkan dia merasa betapa hawa yang hangat menjalari seluruh tubuh. Diapun menampung hawa ini di pusarnya dan setelah berkumpul, dia membiarkan hawa panas itu berputar-putar di seluruh tubuhnya, mendatangkan rasa nyaman sekali dan hampir saja membuat dia pulas! Untung dia masih sadar dan kesadaran ini, disertai kewaspadaan pencurahan perhatian pada kalimat yang harus dihafalnya, membuat kantuk pun lenyap. Pada keesokan harinya, muncullah Kakek Song.

   "Bagus, engkau dapat menyelesaikan dengan baik. Sekarang meningkat pada latihan selanjutnya. Keluarlah dari situ dan kenakan pakaianmu."

   Bukan main lega rasa hati Hay Hay. Selama berguru kepada tiga orang sakti, yaitu See-thian Lama, Ciu-sian Sin-kai dan Pek Mau San-jin, belum pernah dia memperoleh latihan seaneh ini. Akan tetapi latihan pertama yang berlangsung dua malam itu telah mendatangkan pengalaman yang takkan terlupakan olehnya. Mengerikan, menakutkan juga menegangkan, dimana orang harus berjuang melawan perasaan, khayal dan penderitaan yang dibuat oleh pikirannya sendiri, juga siksaan karena adanya kemungkinan ancaman bahaya-bahaya.

   "Terima kasih, Suhu!"

   Katanya dan ketika dia menggerakkan tubuhnya meloncat, diam-diam dia merasa heran mengapa tubuhnya tidak merasa kaku setelah selama dua malam bersila di atas batu dalam air itu, bahkan terasa segar dan ringan sekali walaupun perutnya kembali terasa lapar. Dengan cepat Hay Hay lalu mengenakan pakaian dari buntalan yang sudah dibawa ke situ oleh Kakek Song.

   "Nah, sekarang engkau boleh makan sampai kenyang, akan tetapi ingat, jangan makan bangkai! Mulai sore nanti, engkau harus melakukan latihan kedua tang lebih berat. Datang saja ke dalam guha di mana aku tinggal, di tengah hutan ini, tak jauh dari rawa yang kemarin dulu itu. Nah, sampai sore nanti!"

   Kembali kakek itu berkelebat dan lenyap. Hay Hay tidak mau mengejar walaupun dia ingin sekali bertanya-tanya. Dia maklum akan keanehan watak kakek itu dan mengejar pun percuma saja.

   Maka dia pun lalu memilih buah-buah yang paling enak, makan sampai kenyang, lalu beristirahat dan tertidur di atas pohon besar. Dia tidak berani tidur di bawah, karena tahu bahwa dalam keadaan kurang tidur, dia akan nyenyak sekali dan ada bahaya diserang binatang buas. Sebelum tidur, dia menanam dalam ingatannya bahwa sebelum matahari terbenam, dia harus sudah bangun. Hay Hay tidur pulas sekali. Terbayarlah sudah semua hutang kepada matanya. Dan menjelang senja, dia pun terbangun. Cepat digendongnya buntalan pakaiannya yang tadi dipakai sebagai bantal, dan dia meloncat turun lalu mencari guha itu, di dinding bukit tak jauh dari rawa di mana kemarin dulu dia bertemu suhunya. Kakek itu nampak duduk bersila di mulut guha. Guha itu sendiri bermulut kecil, hanya satu meter, akan tetapi di dalamnya cukup luas.

   "Engkau sudah siap? Tinggalkan buntalan pakaianmu dalam guha dan seperti kemarin dulu, tanggalkan semua pakaianmu dan ikuti aku!"

   Hay Hay mengerutkan alisnya. Celaka, agaknya kakek gila ini memang suka mempermainkan orang. Kalau kemarin dulu dia disuruh bertapa dalam air, maka bertelanjang pun tidak mengherankan. Akan tetapi sekarang? Apakah dia disuruh berendam di dalam air lagi? Dia tidak berani membantah dan sambil menarik napas panjang, dia menanggalkan semua pakaiannya dan dalam keadaan telanjang bulat dia mengikuti kakek itu yang juga hampir telanjang karena pakaiannya hanyalah sebuah cawat kecil! Karena ini, Hay Hay tak merasa canggung. Kakek ini membawanya ke lereng bukit yang gundul penuh dengan pasir dan batu-batu. Bagian itu tandus sekali, tidak ditumbuhi pohon.

   "Nah, sekarang engkau harus menghafalkan kalimat lain. Dengarkan baik-baik: Yang merasa dirinya pintar adalah tolol, dan yang merasa dirinya bodoh adalah waspada. Tirukan!"

   Kembali Hay Hay merasakan keanehan kalimat ini. Mudah dimengerti dan amat sederhana, apalagi kalimat sependek itu, tentu saja sekali dengar dia sudah hafal, mengapa harus diuji dulu? Akan tetapi dia tidak membantah dan mengulang dengan lantang,

   "Yang merasa dirinya pintar adalah tolol, dan yang merasa dirinya bodoh adalah waspada!"

   "Bagus, sekarang kau galilah lubang di dalam pasir kemudian duduk bersila di dalam lubang dan kubur tubuhmu dengan pasir sampai sebatas leher. Ingat, yang nampak hanya kepalanya saja, dan sekali ini engkau tidak boleh makan minum, bertapa dan berpuasa sampai aku datang menyuruhmu keluar!"

   Tanpa memberi kesempatan pemuda itu bicara, kakek itu sudah berkelebat dan lenyap pula. Hay Hay berdiri tertegun, memandang ke sekeliling yang gundul dan sunyi, lalu menarik napas panjang. Kenapa dia harus mentaati saja semua perintah gila dan aneh ini?

   Apa manfaatnya mengubur diri dalam pasir? Apakah dia sudah menjadi gila? Biarpun pikirannya kacau, tetap saja dia menggali lubang menggunakan jari-jari tangannya, kemudian masuk ke dalam lubang, bersila dan menguruk tubuhnya dengan pasir sampai tubuhnya yang bersila itu terpendam pasir sebatas leher. Mula-mula terasa hangat dan nyaman sehingga dia mampu berkonsentrasi mengulang kalimat itu sambil mengheningkan cipta dengan tenang dan anteng. Akan tetapi, tak lama kemudian mulailah dia merasa gatal-gatal ketika pasir bergerak, bahkan menjadi geli seperti digelitik. Dia mengerahkan sinkang mengusir perasaan tidak enak itu dan berhasil. Makin lama, setelah mengulang kalimat itu ratusan kali, timbul pendalaman mengenai kalimat itu dan dia pun mulai menyelidiki dengan mengamati diri sendiri.

   "Yang merasa dirinya pintar adalah tolol!"

   Tentu saja, karena perasaan demikian itu sesungguhnya hanya merupakan suatu kecongkakan belaka, merajalelanya si aku yang ingin mengangkat diri setinggi-tingginya, sebesar-besarnya, yang paling besar, yang tak dapat lenyap, yang abadi dan banyak macam "yang ter"

   Lagi. Perasaan ini hanya timbul dari pikiran yang bukan lain adalah si aku sendiri. Orang yang merasa dirinya pintar adalah orang-orang bodoh yang mudah bersikap sombong, congkak, tinggi hati, merasa benar sendiri, menang sendiri, meremehkan orang lain. Tentu saja orang macam itu adalah tolol sekali. Kemudian kalimat lanjutannya yang menjadi kebalikan.

   
Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"yang merasa dirinya bodoh adalah waspada."

   Bukan pintar, melainkan waspada. Memang sesungguhnya, kalau orang mengamati diri sendiri dan merasa betapa dirinya,

   Seperti semua manusia lain, sebenarnya hanyalah mahluk-mahluk yang banyak sekali kekurangan dan kelemahannya, maka dia adalah seorang waspada. Kewaspadaan itu sendiri yang akan mengadakan perobahan pada dirinya, menghilangkan segala macam kebodohan dalam bentuk keangkuhan, ketinggian hati dan sebagainya dan kewaspadaan ini yang melenyapkan kebodohannya. Bukan berarti lalu menjadi pintar, karena kalau dia merasa pintar, berarti dia terjeblos kedalam kebodohan yang akan membuatnya tolol! "Merasa"

   Dalam hal ini berbeda dengan "mengaku". Mengaku diri bodoh saja tidak ada artinya. Pengakuan itu bahkan berselubung untuk menyembunyikan pamrih yang sesungguhnya, yaitu agar dianggap orang yang "waspada", agar dianggap orang yang tahu akan kebodohannya dan karena itu waspada dan berisi.

   Bukan pengakuan yang ditujukan kepada orang lain, melainkan perasaan yang merupakan pengakuan terhadap diri sendiri, bukan sekedar mengaku, melainkan yakin karena melihat sendiri kebodohannya. Itu adalah batiniahnya, sedangkan secara lahiriah, orang yang merasa pintar tentu akan mengabaikan segala macam pendapat dan pengertian orang lain, sehingga orang seperti ini tidak akan mampu menambah pengertiannya sehingga seperti katak dalam tempurung dan tenggelam ke dalam kebodohannya. Sebaliknya, orang yang merasa dirinya bodoh, tentu akan selalu haus akan pelajaran, selalu ingin tahu dan ingin menambah pengetahuannya, mendengarkan pendapat dan buah pikiran orang lain sehingga muncul kewaspadaannya dan tentu dia tidak bodoh kalau sudah mau belajar setiap saat! Hay Hay menyelami isi kalimat itu dan tahu-tahu malam telah larut.

   Tiba-tiba dia mendengar sesuatu, gerakan yang ringan dan halus. Karena telinganya berada dekat dengan permukaan pasir, maka dia menjadi lebih peka lagi. Dicobanya untuk menembus kegelapan dengan pandang matanya, akan tetapi tidak berhasil. Gelap pekat malam itu. Bintang-bintang tertutup mendung. Kemudian, suara itu semakin jelas dan tiba-tiba dia melihat ada tiga ekor tikus besar berada di dekat kepalanya! Celaka! Kedua tangannya berada di bawah pasir. Hanya kepalanya saja yang tersembul keluar dan bagaimana kalau tikus-tikus ini menggigitnya? Kalau hidungnya atau daun telinganya digigit, tentu dia tidak akan mampu melindungi anggauta badan itu! Tikus-tikus itu mendekat dan mulai mencium-cium mukanya. Terasa geli sekali dan bau apak menyerang hidungnya. Kumis-kumis panjang tiga ekor tikus itu menyapu-nyapu, geli dan jijik rasanya

   "Phuhhhhh..!"

   Hay Hay menggunakan sinkangnya dan meniup ke arah tiga ekor tikus itu. Tiupannya kuat sekali, pasir-pasir berhamburan menyerang tiga ekor tikus itu yang segera lari mencicit ketakutan.

   "Amaaaann..!"

   Hay Hay bernapas lega. Tidak ada lagi tikus yang datang, akan tetapi tiba-tiba dia merasa ada benda bergerak yang rnenyentuh-nyentuh tubuhnya yang telanjang. Celaka! Tikus-tikus itu, atau binatang-binatang kecil lain, mungkin cacing atau serangga bawah tanah yang mulai mengganggunya dari bawah! Dan dia tidak mampu bergerak untuk mengusir binatang-binatang itu. Bagaimana kalau anggauta tubuhnya yang terpendam digerogoti? Ihh, dia merasa ngeri dan kalau menurutkan perasaan takut dan ngeri, mau rasanya sekali melompat keluar dari pendaman pasir itu. Akan tetapi tidak, dia harus dapat mempertahankan diri. Memang ini merupakan ujian, pikirnya.

   Kini dia tahu bahwa selain dilatih untuk siulian (samadhi) dan mengamati diri sendiri, juga kakek aneh itu memang sengaja menguji dirinya, batinnya, badannya, merupakan suatu gemblengan lahir batin yang semakin berat! Dan dia harus mampu mempertahankan diri dan mengatasi semua godaan itu, betapa pun berat derita dan siksa yang dirasakannya. Maka, dia lalu mengerahkan sinkangnya dan setiap kali ada gelitik atau gigitan kecil pada tubuhnya, dia mengerahkan sinkang dan membuat tubuhnya menjadi panas. Ini menolong. Biarpun masih ada gigitan-gigitan, karena tubuhnya sudah dilindungi sinkang panas dan kekebalan, yang terluka hanyalah kulitnya saja yang menimbulkan rasa perih. Akan tetapi karena tubuh itu berada di dalam pasir yang panas, maka perasaan nyeri itu tidaklah terasa benar.

   Menjelang pagi, terdengar lolong anjing. Hay Hay terbelalak. Celaka, kalau yang datang itu anjing liar atau srigala! Dan cuaca yang remang-remang membuat dia dapat melihat bayangan lima ekor anjing yang besar-besar! Benar saja, lima ekor anjing liar datang ke tempat itu! Jantungnya berdebar tegang. Tak mungkin dia mempergunakan tiupannya untuk mengusir anjing-anjing itu seperti yang dilakukannya terhadap gangguan tiga ekor tikus semalam. Kalau lima ekor anjing liar itu menggigitnya, dia tidak akan mampu mengelak atau menangkis. Sungguh mengerikan! Lima ekor anjing itu berhenti, mengepungnya sambil menyalak-nyalak, memperlihatkan gigi mereka yang besar dan runcing. Hay Hay menenangkan hatinya. Dalam keadaan panik, dia bisa benar-benar celaka, pikirnya.

   Dia memang tidak boleh mengeluarkan tangan dan yang nampak hanyalah kepalanya. Akan tetapi, mengapa dia tidak mau mempergunakan akal? Sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi bukan hanya kaki dan tangannya saja yang terlatih, akan tetapi kepalanya juga. Bahkan bagian kepalanya yang di depan, belakang, kanan dan kiri merupakan bagian-bagian yang keras dan kuat. Kalau terpaksa, dia akan mampu membela diri dengan kepalanya! Lima ekor anjing itu agaknya merasa ragu-ragu dan agak takut melihat sebuah kepala manusia hidup tersembul di atas pasir. Setelah menggonggong dan menyalak cukup lama tanpa ada reaksi dari kepala itu, mereka mulai mendekat dan mencium-cium dengan alat penciuman mereka yang amat peka. Makin dekat mereka mencium, makin kuat saja bau mereka menusuk hidung Hay Hay.

   Bau apak, amis dan busuk. Namun dia tidak memperhatikan itu semua karena seluruh perhatiannya dicurahkan mengikuti gerak-gerik mereka, siap untuk melawan apabila anjing-anjing itu menyerang. Dan lima ekor anjing itu amat cerdik karena tiba-tiba saja seekor di antara mereka menyerang lebih dulu, menubruk dari belakang dengan moncong lebar menggigit ke arah tengkuk Hay Hay! Empat ekor yang lain menyalak-nyalak di dekat muka Hay Hay, agaknya untuk membikin panik korban mereka itu. Biarpun kepalanya tidak mampu menengok dan di belakang kepala itu tidak ada matanya, namun Hay Hay dapat mendengar gerakan serangan anjing pertama yang menerkam dan menggigit dari belakangnya itu. Sambil mengerahkan tenaga sinkang, Hay Hay menyambut terkaman itu dengan gerakan kepala yang memukul ke belakang.

   "Cukkk!"

   Belakang kepala Hay Hay bertemu dengan moncong binatang itu dengan keras sekali. Annjing itu menguik keras dan terpelanting, lalu berteriak kesakitan. Ujung hidungnya pecah berdarah. Pada saat itu, anjing ke dua menerkam dari depan, disambut oleh dahi Hay Hay dengan cepat dan kuatnya.

   "Desss..!"

   Anjing ini pun menguik keras dan terpelanting dengan hidung dan ujung moncong berdarah dan pada saat itu, Hay Hay sudah menggerakkan kepalanya ke kanan kiri untuk menyambut terkaman dua anjing lainnya. Dua ekor anjing ini pun melolong kesakitan, diikuti anjing terakhir yang kembali bertemu dengan bagian belakang kepala Hay Hay yang keras. Lima ekor anjing yang kesakitan itu menjadi ketakutan dan mereka pun lari tunggang-langgang sambil menguik-nguik, diikuti pandang mata Hay Hay yang berseri penuh kelegaan dan juga kegelian hatinya. Pengalaman ini sungguh menegangkan dan lebih berbahaya daripada latihan pertama di dalam air itu.

   Pada keesokan harinya, tidak terdapat gangguan binatang, akan tetapi rasa panas seperti membakar dirinya. Matahari membakar pasir dan dari bawah juga membubung hawa panas yang membuat kepala yang tersembul di atas pasir itu basah oleh keringat. Namun, Hay Hay mampu bertahan dan dia bahkan tak pernah lagi menghentikan renungannya atas kalimat yang harus dlhafalnya. Malam itu pun hanya ada seekor harimau yang menghampirinya dan mencium-ciumnya, membuat Hay Hay hampir kehabisan nyali. Akan tetapi sungguh aneh, harimau itu tidak mengganggunya dan pergi lagi tanpa menyerangnya! Dan pada keesokan harinya, setelah dua malam dia bertapa di dalam pasir, Kakek Song muncul di depannya.

   "Bagus, engkau berhasil. Keluarlah untuk mengikuti latihan-latihan selanjutnya."

   Dengan semangat lebih besar dari kemarin dulu walaupun dengan perut lebih lapar lagi, Hay Hay keluar dari dalam pendaman pasir itu dan kembali dia terkejut dan girang. Begitu suhunya memanggil dan dia mempunyai niat untuk keluar dari situ, tiba-tiba timbul tenaga yang amat besar dan tubuhnya seperti dijebol dari dalam. Sekali bergerak saja dia sudah keluar dari pendaman itu dengan tubuh terasa segar dan semangat berkobar! Dia pun cepat menjatuhkan diri berlutut dalam keadaan telanjang bulat itu di depan suhunya.

   "Bagus, engkau berhasil. Sudah, tak perlu segala upacara ini. Hayo bangun dan ikuti aku, taati semua petunjukku."

   Dengan penuh semangat Hay Hay mengikuti gurunya ke guha dan mengenakan pakaiannya, kemudian mencari buah-buah untuk dia dan gurunya. Dia masih harus mengikuti cara berlatih yang aneh-aneh, berpuasa dan bertapa dengan cara yang sesungguhnya amat berat dan berbahaya. Namun semua dia taati dan dia lakukan penuh semangat dan pantang mundur. Tiga hari tiga malam tanpa makan dia harus bertapa dengan cara bergantung di cabang pohon yang tinggi, dengan kedua kaki terikat dan bergantung dan kepala di bawah! Latihan ini berat bukan main, dan hanya orang yang sudah memiliki sinkang yang amat kuat saja dapat bertahan. Karena peredaran darah tidak seperti biasanya, banyak darah mengalir dalam kepala, maka pada hari pertama terasa amat berat dan mendatangkan pemandangan-pemandangan khayal yang menakutkan.

   Namun Hay Hay amat teguh dan berhasil melewati waktu tiga hari dengan baik sambil menghafal kalimat yang diberikan kakek itu, begini bunyinya : "Langit di bawah kaki, Bumi di atas kepala, atas bawah baik buruk hanya pendapat, bukan kebenaran nyata!"

   Ada pula latihan berpuasa tujuh hari tujuh malam sambil bersamadhi di dalam kegelapan. Di dalam guha terdapat terowongan yang pada ujungnya terdapat sebuah ruangan di bawah tanah yang amat gelap. Tidak ada sedikit pun cahaya masuk, siang malam sama saja gelap pekat hitam legam. Di tempat inilah Hay Hay harus duduk bersamadhi dan bertapa dalam keadaan telanjang bulat, dengan kalimat yang harus diingatnya, kalimat yang paling aneh di antara kalimat yang pernah diajarkan kepadanya.

   "Tiada cahaya, tiada bentuk tiada warna tidak ada apa-apa, kosong hampa hening.!"

   Dan ternyata latihan ini terasa paling berat bagi Hay Hay. Dia tidak lagi mengenal waktu, tidak lagi melihat apa-apa, tidak mendengar apa-apa, tidak mencium apa-apa, tidak meraba apa-apa. Seluruh anggauta tubuhnya seperti mati, tidak melakukan kegiatan apa pun. Namun anehnya, pikirannya menjadi makin liar dalam keadaan tanpa gerak itu, bagaikan seekor naga yang terikat dan meronta, meliar, memberontak hendak keluar. Ketika dia dapat menenangkannya, muncul bermacam-macam gambaran yang membuat dia merasa seperti telah menjadi gila! Segala ingatan datang pergi dengan cepatnya, teringat dia akan pengalamannya di waktu kanak-kanak, dan bahkan terbayang olehnya seorang laki-laki menyerupai dirinya, Si Tawon Merah yang menjadi ayah kandungnya. Terasa olehnya seolah-olah laki-laki yang menjadi ayah kandungnya itu menyusup ke dalam dirinya, dan membawa pula rangsangan-rangsangan berahi ke dalam tubuhnya,

   Membuat dia gelisah dan hampir tidak kuat bertahan. Terbayang segala yang indah dan cantik menarik dari para wanita, membuat nafsu berahi dalam dirinya berkobar dan menyesakkan napas, menuntut pelepasan. Kemudian, yang paling hebat dan berat dari segala godaan, di dalam kehitaman itu tiba-tiba muncul seorang wanita yang luar biasa cantiknya. Segala kecantikan wanita yang dapat digambarkan otaknya dimiliki wanita ini! Dengan suara merayu-rayu, membawa keharuman khas wanita. Ia menghampiri Hay Hay, membelai dan merayunya, merangkul dan menciuminya, dan hampir saja Hay Hay tidak kuat lagi bertahan. Napasnya telah terengah memburu, seluruh tubuhnya sudah menggigil dan di dalam hatinya terjadi perang yang amat seru antara keinginan untuk merangkul mendekap wanita itu dan menahan diri.

   "Kosong hampa hening... kosong hampa hening..!"

   Hanya tiga kata ini yang dapat teringat olehnya, akan tetapi diucapkannya tiga kata yang teringat itu keras-keras, dengan seluruh kekuatan batinnya dengan seluruh perhatiannya dan tiba-tiba lenyaplah wanita yang membelai seluruh tubuhnya itu. Hay Hay merasa betapa seluruh tubuhnya basah oleh keringatnya sendiri dan betapa napasnya terengah-engah, tubuhnya lemas seolah-olah baru saja dia mempergunakan tenaga yang amat besar. Dia bergidik kalau teringat betapa hampir saja dia kalah oleh godaan yang timbul dari pikirannya sendiri,

   Karena sekali dia terpeleset dan jatuh, kalah oleh godaan itu, mungkin latihannya akan berakhir dengan munculnya seorang laki-laki yang gila. Dia tentu akan menjadi gila kalau tadi dia kalah. Cepat dia berkemak-kemik membaca kalimat yang diajarkan suhunya.

   "Tiada cahaya, tiada bentuk tiada warna tidak ada apa-apa, kosong hampa hening..!"

   Memang, kini dapat dirasakannya sendiri, bahwa segala sesuatu adalah hasil darl pada pendapat pikiran sendiri, disesuaikan dengan pengalaman, dengan keadaan diri sendiri, dengan kebutuhan badan dan keinginan batin untuk menyenangkan diri sendiri. Sesungguhnya tidak ada apa-apa, kalaupun ada maka kita sendirilah yang mengadakan. Susah, senang, buruk, baik, duka, suka, dan semua keadaan dengan kebalikan-kebalikannya itu hanya ada karena kita adakan oleh pikiran,

   Kalau pikiran kosong, hampa dan hening, maka sesungguhnya tidak ada apa-apa. Semua itu hanyalah permainan pikiran yang merasakan adanya suatu keadaan. Kalau pikiran tidak mengada-ada, maka yang ada hanyalah kosong, hampa dan hening seperti keadaan seseorang yang tidur pulas tanpa mimpi! Sampai kurang lebih satu bulan Hay Hay melaksanakan perintah Kakek Song dan melakukan bermacam latihan dan tapa yang aneh-aneh dan macam-macam. Namun semua itu, bahkan yang terberat sekalipun, yaitu bertapa di tempat gelap selama tujuh hari tujuh malam, dapat dilewatinya dengan baik. Setelah bertapa di tempat gelap, dia pun dipanggil oleh Kakek Song. Dia keluar dari terowongan, mengenakan pakaian dan menjatuhkan diri berlutut didepan kaki orang itu. Tidak seperti biasanya, kini kakek itu hanya memandang Hay Hay dan mengangguk-angguk.

   "Bagaimana, Hay Hay? Apakah kini engkau masih memandang aku sebagai seorang yang gila?"

   Akhirnya dia bertanya dengan suaranya yang aneh, karena suara itu kadang-kadang parau, kadang-kadang halus lembut penuh wibawa. Hay Hay mengangkat mukanya memandang kakek itu. Dia terkejut karena tak pernah mengira bahwa kakek ini tahu bahwa dia pernah memandangnya sebagai seorang yang berotak miring. Kini, sejak beberapa hari yang lalu, dia sudah tidak lagi beranggapan demikian. Sebaliknya malah dia tahu bahwa kakek ini adalah seorang yang amat tinggi ilmunya, amat bijaksana dan waspada, seorang manusia yang sudah bersatu dengan alam tidak lagi menghiraukan segala kesibukan lahiriah dan bersikap wajar. Justru kewajarannya itu bagi manusia pada umumnya akan nampak aneh dan gila.

   "Teecu telah menerima petunjuk-petunjuk dari Suhu, teecu merasa gembira dan beruntung sekali. Teecu hanya menanti apa petunjuk Suhu selanjutnya agar teecu dapat mentaatinya dengan baik untuk menambah pengertian teecu tentang hidup dan diri sendiri."

   "Heh-heh-heh, latihan-latihan selama sebulan ini merupakan gemblengan yang jauh lebih berhasil daripada gemblengan bertahun-tahun dari gurumu."

   "Teecu menyadari hal itu, Suhu, dan mengharapkan petunjuk selanjutnya."

   "Ha-ha-ha, tiada sesuatu tanpa akhir di dunia ini kecuali cinta kasih, Hay Hay. Hubungan lahiriah lebih rapuh lagi, dan kita harus berpisah hari ini. Lanjutkan perjalananmu dan jangan kau ingat lagi kepadaku."

   "Betapa mungkin teecu dapat melupakan Suhu yang telah melimpahkan kasih sayang kepada teecu?"

   "Ha-ha-ha, aku tidak memberi sesuatu dan engkau pun hanya menerima hasil dari pada jerih payahmu sendiri. Boleh engkau ingat kepada manusia lain bernama Kakek Song, aku tidak peduli, akan tetapi aku tidak akan ingat lagi kepadamu. Aku hanya akan ingat kepada seorang pemuda nakal bernama Hay Hay yang tekun dan tahan uji. Nah, selanjutnya, tentukanlah langkahmu sendiri. Hanya ada satu pesanku kepadamu. Kalau engkau mendaki gunung yang kelihatan biru di sana itu, engkau akan mendapatkan sebuah air terjun yang besar. Di balik air terjun itu terdapat sebuah guha. Belasan tahun aku pernah bertapa di sana. Kalau engkau mau bertapa di bawah air terjun, membiarkan air terjun menyiram kepala dan tubuhmu selama tiga hari tiga malam, engkau akan memperoleh kematangan yang amat menguntungkan badanmu. Nah, aku pergi sekarang, Hay Hay!"

   Seperti biasa, kakek itu tanpa ragu lagi berkelebat dan lenyap. Hay Hay maklum akan keanehan gurunya, tidak berani mengejar, hanya tetap berlutut memberi hormat ke bekas tempat duduk suhunya.

   Tak lama kemudian dia pun bangkit dan meninggalkan bukit itu, menuju ke gunung yang nampak biru, di sebelah selatan bukit itu. Ada sesuatu di dalam langkahnya yang membedakan Hay Hay dari keadaannya sebulan yang lalu. Langkah satu-satu yang membawa dirinya maju itu demikian mantap, tanpa ragu-ragu, dan senyum di mulutnya itu kini nampak penuh pengertian, sepasang mata yang mencorong mengandung kelembutan. Benarkah bahwa gemblengan yang satu bulan itu lebih berhasil daripada gemblengan bertahun-tahun yang pernah didapatkannya. Dia tidak diberi pelajaran ilmu silat atau ilmu apapun juga oleh Kakek Song, namun gemblengan sebulan lamanya itu membuat ilmu-ilmu yang pernah dipelajarinya menjadi lebih matang dan sempurna.

   Sebelum kita mengikuti perjalanan Hay Hay, marilah kita menengok ke belakang beberapa tahun yang lalu untuk mengikuti perjalanan Kok Hui Lian dan Ciang Su Kiat. Seperti pernah diceritakan di bagian depan kisah ini, Ciang Su Kiat adalah bekas murid Cin-ling-pai yang buntung lengan kirinya sebatas siku, bertubuh tinggi besar dan berwatak jujur dan keras. Telah diceritakan betapa dia menyelamatkan seorang anak perempuan bernama Kok Hui Lian yang kemudian menjadi murid, bahkan dianggap sebagai anak sendiri olehnya. Kok Hui Lian adalah puteri mendiang Kok-taijin, seorang gubernur dari San-hai-koan. Kemudian, di dalam perjalanan mereka, ketika Ciang Su Kiat berusia tiga puluh empat tahun dan Hui Lian berusia belasan tahun, mereka bertemu dengan Lam-hai Giam-lo yang amat jahat. Lam-hai Giam-lo menangkap Hui Lian dengan niat keji, akan tetapi Ciang Su Kiat menyerangnya sehingga terjadi perkelahian yang mengakibatkan Ciang Su Kiat terjatuh ke dalam jurang dan Hui Lian ikut meloncat ke dalam jurang yang amat curam itu.

   Akan tetapi, keduanya tidak binasa, bahkan menemukan kitab-kitab rahasia peninggalan dua orang sakti dari Delapan Dewa, yaitu mendiang In Liong Nio-nio dan mendiang Sian-eng-cu The Kok. Dua orang itu dapat hidup di tebing jurang, di dalam sebuah guha dan mereka mempelajari ilmu kesaktian dari dua kitab ilmu peninggalan dua orang sakti itu. Juga mereka terpaksa hanya makan daging burung, telur, dan jamur-jamur kecil, akan tetapi makanan ini bahkan membuat mereka menjadi kuat, bahkan karena makanan aneh selama sepuluh tahun ini, tubuh Hui Lian mengeluarkan bau yang harum seperti bunga! Setelah memperoleh ilmu yang amat tinggi, ditambah makanan aneh selama sepuluh tahun, Su Kiat dan Hui Lian berhasil keluar dari tempat terasing itu, mendaki tebing jurang yang amat curam.

   

Asmara Berdarah Eps 17 Asmara Berdarah Eps 30 Asmara Berdarah Eps 10

Cari Blog Ini