Ceritasilat Novel Online

Asmara Berdarah 31


Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo Bagian 31



"Tranggg..."

   Ujung tombak tertangkis tongkat baja dan keduanya merasa betapa masing-masing memiliki tenaga sinkang yang sama kuat. Akan tetapi Ci Kang tidak mau memberi hati dan diapun memutar tombaknya, mendesak dan ujung tombaknya melakukan serangan bertubi-tubi ke arah tubuh harimau! Maka repotlah penunggang harimau itu yang harus melindungi tubuh harimaunya dengan tangkisantangkisan, yang membuat tubuhya Kadang-kadang membungkuk ke sana-sini. Karena senjata di tangan Ci Kang jauh lebih panjang, maka mudah bagi pemuda itu untuk menghujankan serangan.

   Kalau dia menujukan serangannya kepada penunggang harimau itu, tentu lebih mudah bagi lawannya untuk melindungi dirinya dan harimau itu akan merupakan bahaya baginya. Akan tetapi karena dia menujukan serangan-serangannya kepada tubuh harimau, sebaliknya si penunggang harimau itu yang repot bukan main harus menyelamatkan binatang tunggangannya dari tusukan tombak. Wanita penunggang harimau itu tentu saja Sui Cin orangnya. Seperti kita ketahui, ia telah dipilih oleh Yelu Kim untuk menjadi murid dan pembantunya. Sui Cin merasa hutang budi kepada nenek itu yang telah menyembuhkannya, bukan saja dari pengaruh racun yang diberikan oleh Kiu-bwe Coali kepadanya, melainkan juga nenek Yelu Kim itu telah menyembuhkannya dari penyakit hilang ingatan. Dan kini, atas perintah Yelu Kim, ia maju menghadapi Ci Kang sambil menunggang harimau.

   Memang benar bahwa harimau itu telah merepotkan Ci Kang dan membuat pemuda itu terpaksa turun dari kudanya yang ketakutan. Akan tetapi setelah kini pemuda itu tidak lagi menunggang kuda dan menghadapinya di atas tanah dengan tombaknya, kini keadaannya menjadi terbalik. Sui Cin kini menjadi kerepotan sekali, harus melindungi harimaunya. Ia merasa penasaran dan marah, lalu tiba-tiba ia mengeluarkan suara melengking tinggi dan tubuhnya mencelat ke atas, berjungkir balik beberapa kali lalu meluncur turun menyerang Ci Kang dari udara. Tongkat baja di tangannya diputar dan menhantam ke arah kepala pemuda itu. Ci Kang terkejut dan cepat menangkis sambil mengerahkan tenaganya. Tongkat bertemu dengan tombak, nampak bunga api berpijar dan keduanya terdorong ke belakang. Sui Cin berjungkir balik lagi dan turun ke atas tanah.

   "Houwji, mundurlah!"

   Ia berkata kepada harimau itu yang mengeluarkan suara menggereng, meringis memperlihatkan taringnya, akan tetapi agaknya binatang ini sudah mengenal dan mentaati suara Sui Cin. Diapun mundur mendekat nenek Yelu Kim yang mengelus kepalanya. Kini Ci Kang berhadapan dengan Sui Cin, keduanya berdiri tegak tidak menunggang apa-apa lagi.

   "Hemm, kini engkau tidak dapat mengandalkan kegalakan macan itu!"

   Ci Kang mengejek, diam-diam merasa kagum dan menduga-duga siapa adanya wanita perkasa bangsa Han yang menjadi kaki tangan nenek Yelu Kim ini.

   "Lihat serangan!"

   Sui Cin membentak marah dan tidak melayani ejekan Ci Kang, tongkat di tangan menyambar ganas. Akan tetapi sambil tersenyum Ci Kang menggerakkan tombaknya menangkis dengan mudah, lalu balas menyerang, menyapukan tombaknya ke arah kaki lawannya. Akan tetapi sapuan tombak itupun dapat dielakkan dengan amat mudahnya oleh Sui Cin, dengan cara meloncat ke atas. Melihat gerakan loncatan ke atas lalu tongkat di tangan itu langsung menusuk dari atas, diam-diam Ci Kang merasa kagum juga. Bukan main wanita ini, pikirnya, memiliki ginkang yang amat hebat dan dia harus berhati-hati karena ginkang sehebat ini dapat mendatangkan kesukaran baginya.

   Maka diapun menggerakkan tombaknya melindungi dirinya dengan amat kuat, memutar tombak itu sehingga membentuk lingkaran dari gulungan sinar. Sui Cin yang mengenal Ci Kang dan mengetahui pula bahwa putera datuk sesat Si Iblis Buta ini memang lihai sekali, tidak merasa gentar dan diapun mengandalkan ginkangnya untuk mengimbangi kecepatan gerakan tombak. Terjadilah serang-menyerang dan pertandingan yang seru ini membuat semua penonton menjadi gembira. Bagaimanapun juga, jago yang diajukan oleh suku Khin itu adalah orang Han, dan merekapun tidak tahu siapa adanya jago Harimau Terbang yang diajukan oleh nenek Yelu Kim, maka merekapun sukar menentukan siapa yang mereka dukung. Akan tetapi melihat betapa kedua orang itu berkelahi dengan amat cepat, perkelahian dengan ilmu silat yang belum pernah mereka saksikan sebelumnya, membuat mereka kagum sekali, juga bergembira.

   Akan tetapi, setelah Ci Kang mengerahkan tenaga sinkangnya dan mengeluarkan semua ilmu silatnya, Sui Cin terkejut sekali. Tadinya ia merasa yakin akan mampu mengatasi pemuda itu mengingat bahwa selama tiga tahun ini ia digembleng oleh Wuyi Lojin. Akan tetapi siapa kira agaknya pemuda itupun selama ini telah memperoleh kemajuan pesat sekali sehingga kini ia sama sekali tidak mampu mendesaknya, apalagi mengatasinya. Bahkan ia mulai terdesak karena kalah kuat tenaganya walaupun dalam hal kecepatan ia masih lebih unggul. Akan tetapi keunggulan dalam ginkang inipun ditutup oleh Ci Kang dengan gerakan tombaknya yang luar biasa cepatnya. Tentu saja Sui Cin tidak tahu bahwa seperti juga ia sendiri, pemuda itu menerima gemblengan hebat selama tiga tahun oleh Cuisian Lokai!

   Nenek Yelu Kim juga melihat betapa murid atau pembantunya itu sama sekali tidak mampu mendesak pemuda baju kulit harimau yang amat lihai itu, walaupun muridnya tidak dapat dibilang kalah karena keduanya agaknya memiliki kepandaian yang seimbang. Akan tetapi ia merasa khawatir kalau-kalau Sui Cin kalah. Ia tidak boleh kalah. Kekalahan muridnya itu berarti akan menghancurkan nama besar Harimau Terbang dan akan meruntuhkan namanya pula sebagai orang yang paling disegani di antara suku-suku di utara. Terutama sekali, kekalahan Sui Cin berarti kegagalannya untuk memegang tampuk pimpinan di antara para suku yang hendak berjuang menegakkan kembali kekuasaan utara atas daerah selatan! Maka, diam-diam nenek ini duduk bersila dan mengerahkan semua tenaga batinnya, mulutnya kemakkemik dan ia mulai mengerahkan kekuatan sihirnya untuk membantu Sui Cin.

   Tiba-tiba terjadilah perubahan dalam perkelahian itu. Beberapa kali Ci Kang terhuyung dan kelihatan betapa dia keheranan dan kebingungan, Kadang-kadang menggunakan tombaknya untuk menangkis ke kanan, kiri atau belakang, padahal dari tiga jurusan itu tidak ada sesuatu yang menyerangnya. Memang dia merasa seperti ada angin-angin pukulan menyambar dari jurusan-jurusan ini sehingga dia cepat menangkis, akan tetapi selalu hanya menangkis angin kosong saja. Karena itu, tentu saja Sui Cin memperoleh kesempatan untuk mendesaknya. Gadis ini merasa seolah-olah lawannya menghadapi pengeroyokan. Sejenak ia sendiripun heran melihat perobahan pada lawannya. Akan tetapi iapun lalu teringat kepada nenek Yelu Kim yang pandai sihir dan dapat menduga bahwa tentu nenek itu yang membantunya dengan kekuatan sihir.

   Hal ini malah membuat ia merasa jengkel dan marah. Ia belum kalah dan tidak akan kalah, dan sungguh memalukan kalau harus menghadapi Ci Kang dengan pengeroyokan. Kemarahan ini yang membuat Sui Cin bertindak sambrono. Karena marah, ia menumpahkan kemarahannya kepada lawan di depannya. Tiba-tiba ia mengeluarkan suara melengking keras dan tangan kirinya bergerak ke depan. Nampak sinar merah disusul teriakan Ci Kang yang kaget dan kesakitan dan tubuh pemuda itupun terjengkang keras, roboh dan tidak bergerak lagi karena dia telah pingsan! Kiranya dalam kemarahannya, Sui Cin telah mempergunakan senjata rahasianya yang ampuh, yang diajarkan ibunya kepadanya. Senjata rahasia itu berupa Jarum-jarum halus berwarna merah harum dan beracun!

   Inilah senjata rahasia yang biasa dipergunakan oleh golongan hitam dan hal ini tidak mengherankan mengingat bahwa ibu gadis itu, Toan Kim Hong, dahulunya pernah bertahun-tahun terkenal sebagai
(Lanjut ke Jilid 29)
Asmara Berdarah (Seri ke 08 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 29
Lamsin, seorang datuk sesat dari selatan! Baru setelah melihat lawannya menggeletak dengan muka pucat dan pingsan, Sui Cin memandang dengan mata terbelalak, merasa menyesal mengapa ia mempergunakan senjata rahasia yang bahkan oleh ibunya sendiri ia sudah dilarang untuk sembarangan mempergunakannya. Dan dalam penyesalannya, Sui Cin sampai berdiri terbelalak dan seperti orang kehilangan akal, diam saja ketika melihat beberapa orang Khin cepat maju dan menggotong tubuh Ci Kang yang masih pingsan. Sorak-sorai gegap gempita menyambut kemenangan Sui Cin dan kini terdengar suara nenek Yelu Kim yang melengking tinggi mengatasi semua suara sehingga orang orang menjadi tenang mendengarkan.

   "Saudara-saudara sekalian yang tercinta. Para dewata telah menunjuk kami sebagai pemenang dan pimpinan. Para jagoan tadi merupakan tenaga-tenaga yang amat baik untuk membantu perjuangan kita, juga pemuda baju kulit harimau itu agar dirawat sebaiknya. Sekarang kita beristirahat dan mempersiapkan diri untuk malam nanti mengadakan pertemuan rapat besar. Jagoku telah menang, berarti kami berhak menjadi pimpinan kalian yang akan membimbing kalian melakukan perjuangan dengan berhasil. Apakah ada yang tidak setuju dan ada yang masih hendak mengajukan jago baru?"

   Semua orang menyatakan setuju. Kalau masih ada yang merasa penasaran, merekapun tidak berani bicara terus terang, karena mereka semum merasa segan dan takut kepada nenek Yelu Kim. Apalagi kini nenek itu mempunyai seorang jago yang sedemikian lihainya, sehingga melawanpun tidak akan menang. Akan tetapi, di antara para kepala suku, ada pula beberapa yang diam-diam merasa tidak setuju kalau perjuangan mereka itu dipimpin oleh seorang wanita, sudah nenek-nenek pula.

   Sejak dahulu, perjuangan bangsa mereka itu dipimpin oleh orang laki-laki yang gagah perkasa, bukan oleh seorang nenek tua renta. Hal ini sungguh menyinggung rasa harga diri dan kejantanan mereka. Akan tetapi, sedikit kepala suku itu, termasuk Lamnong kepala suku Mancu Timur, tidak berani berterus terang, hanya mereka sudah kehilangan gairah untuk melanjutkan perjuangan menyerbu ke selatan kalau dipimpin oleh seorang nenek tua. Dan diam-diam kelompok-kelompok yang tidak setuju inipun meninggalkan tempat itu, tidak ingin menghadiri rapat yang dipimpin nenek itu. Juga Lamnong mengajak rombongannya untuk kembali ke timur dan tidak mencampuri pemberontakan. Sui Cin baru sadar ketika lengannya dipegang nenek Yelu Kim yang mengajaknya mengundurkan diri. Melihat wajah muridnya yang nampak agak pucat dan penuh penyesalan, nenek itu berbisik,

   "Engkau kenapakah, Sui Cin? Engkau telah menang, dan aku amat berterima kasih kepadamu. Lawanmu itu sungguh lihai sekali. Akan tetapi kenapa engkau tidak kelihatan senang, sebaliknya kelihatan muram? Apakah kemenanganmu itu tidak menggembirakan hatimu?"

   Sui Cin menggeleng kepala.

   "Tidak, sama sekali tidak menggembirakan hatiku."

   Mendengar ini, nenek Yelu Kim terkejut dan iapun menggandeng tangan muridnya dan diajaknya muridnya itu memasuki tendanya yang sunyi menyendiri dan di sini ia bicara dengan wajah serius dengan gadis itu.

   "Nah, anak yang baik, sekarang ceritakan mengapa engkau begini muram dan mengapa kemenangan itu tidak menggembirakan hatimu."

   "Subo, aku telah kesalahan tangan kepada Siangkoan Ci Kang..."

   "Siangkoan Ci Kang? Siapakah itu?"

   "Jagoan suku Khin tadi."

   "Ah, jadi engkau sudah mengenalnya? Dia... sahabatmu?"

   Sui Cin menggeleng kepala.

   "Bukan, bahkan dapat dibilang musuh karena dia pernah menjadi tokoh golongan hitam. Akan tetapi, subo, dia pernah menolongku, aku berhutang budi kepadanya dan tadi, karena aku merasa penasaran, aku... aku telah merobohkannya dengan jarum merah beracun yang amat berbahaya..."

   Nenek itu mengangguk-angguk dan matanya yang mencorong itu menatap wajah muridnya penuh selidik, dan tiba-tiba ia memegang lengan gadis itu.

   "Sui Cin, apakah engkau... cinta padanya?"

   Tiba-tiba saja wajah gadis itu berobah merah sekali dan ia memandang nenek itu dengan mata terbelalak.

   "Tidak, subo, kenapa subo bertanya dan menduga demikian?"

   Nenek itu menarik napas panjang dan diapun menundukkan mukanya.

   "Karena orang hidup harus ada cinta di hatinya, anak baik. Tiadanya cinta dalam hati berarti orang hidup dalam neraka, dalam kesengsaraan, dalam kesepian, seperti aku ini..."

   Sui Cin semakin heran dan kini ia bengong memandang nenek itu yang tiba-tiba saja menangis! Tangisnya sungguh menyedihkan, kedua pundaknya terguncang-guncang, mukanya disembunyikan di balik jari-jari tangan itu, dan suara tangisnya sampai sesenggukan. Sui Cin hampir tidak percaya melihat semua ini. Nenek Yelu Kim yang biasanya demikian penuh wibawa dan semangat, yang biasanya demikian tabah dan tegas, kini menangis seperti anak kecil! Sebagai seorang wanita yang biasanya amat peka menghadapi kesedihan dan tangis wanita lain, Sui Cin menahan air matanya dari kedua mata yang sudah terasa panas itu dan iapun memegang kedua lengan nenek itu.

   "Subo, ada apakah? Kenapa subo menangis?"

   Sampai lama nenek itu tidak dapat menjawab, hanya terisakisak dan Kadang-kadang mengusap air mata yang bercucuran. Akhirnya dapat juga ia menguasai dirinya dan tangisnya terhenti, hanya tinggal isak yang Kadang-kadang saja. Ia mengeringkan semua bekas air mata dengan sehelai saputangan, lalu memandang wajah gadis itu dengan mata yang merah bekas tangis.

   "Maafkan aku, Sui Cin, baru sekarang aku memperoleh kesempatan menumpahkan semua rasa duka di hatiku di depan seseorang. Ini merupakan yang pertama dan terakhir, walaupun kalau sedang sendirian, terutama sekali sebelum tidur, aku lebih sering menangis dari pada tidak."

   "Akan tetapi, kenapa subo? Subo adalah seorang yang sakti, yang berwibawa dan berpengaruh, bahkan kini berhasil menjadi pimpinan para suku untuk melakukan gerakan perjuangan, akan tetapi kenapa subo berduka?"

   "Karena aku takut!"

   Jawaban ini makin mengherankan hati Sui Cin.

   "Takut? Subo...? Ah, bagaimana mungkin subo mengenal takut? Takut apakah?"

   "Aku takut, Sui Cin. Sungguh, aku menggigil dan jantungku berdebar hampir copot kalau aku membayangkan. Aku takut... takut akan kematian..."

   "Eh? Takut akan kematian?"

   "Aku takut, Sui Cin. Bagaimana nanti kalau aku sudah mati? Usiaku sudah amat tua dan hari kematianku tentu tidak lama lagi. Aku tahu bahwa kematian tidak dapat dihindarkan, bahwa semua manusia hidup pada suatu ketika pasti mati. Akan tetapi aku takut, karena bagaimana mungkin aku tidak hidup lagi? Lalu bagaimana dengan aku? Bagaimana dengan kedudukanku? Ah, kalau saja aku dapat melihat apa yang terjadi setelah mati! Sudah banyak ilmu kupelajari, banyak tempat kujelajahi, namun aku belum berhasil memperoleh ilmu untuk menjenguk keadaan sesudah mati. Aku takut, Sui Cin... aku takut..."

   Sui Cin duduk diam termenung, alisnya berkerut. Ia sendiri belum pernah berpikir tentang kematian, bahkan sampai saat inipun ia tidak pernah perduli akan hal itu.

   Akan tetapi ia tidak pernah merasa takut walaupun ia sendiripun tidak tahu apa yang akan terjadi dengan dirinya sesudah mati. Akan tetapi ia tidak takut! Rasa takut akan kematian ini bukan hanya dirasakan oleh nenek Yelu Kim, melainkan oleh kebanyakan dari kita, tidak perduli tua ataupun muda, kaya ataupun miskin, tinggi ataupun rendahnya kedudukan. Bahkan rasa takut ini lebih banyak hinggap dalam batin mereka yang berkedudukan tinggi, yang kaya raya, yang terkenal dan dipuja. Sesungguhnya, mengapa timbul rasa takut akan kematian ini? Benarkah seperti yang dikatakan oleh Yelu Kim bahwa rasa takut ini akan hilang kalau kita dapat menjenguk keadaan sesudah mati? Sui Cin memandang wajah nenek itu yang kini menjadi agak pucat dan wajah itu membayangkan kedukaan.

   "Subo, aku sendiri tidak takut terhadap kematian. Aku tidak mengerti tentang kematian, perlu apa takut? Biarlah kuserahkan hidup dan matiku kepada Thian yang Maha Kuasa."

   Nenek itu kini dapat tersenyum dan mengangguk.

   "Akupun sudah berusaha berbuat demikian, akan tetapi hatiku selalu masih meragu, Sui Cin. Sudahlah, hatiku sudah mulai tenang, dan aku teringat kepada pemuda perkasa itu. Sui Cin, apakah engkau merasa menyesal setelah melukainya dan apa yang akan kau lakukan sekarang?"

   "Aku bingung, subo. Jarum-jarum merah itu beracun dan berbahaya sekali, padahal, aku telah kehilangan bekal obat penawarnya. Kalau dia tidak cepat mendapatkan obat yang tepat, dan sampai tewas oleh Jarum-jarumku, sungguh aku merasa menyesal bukan main. Di antara kami tidak ada permusuhan, bahkan aku berhutang nyawa kepadanya..."

   Sui Cin tidak mau menceritakan bahwa pemuda itu menolongnya dari ancaman bahaya yang lebih hebat dari pada nyawa, yaitu ketika ia hampir diperkosa oleh Sim Thian Bu, jai-hwa-cat yang menjadi saudara seperguruan sendiri dari Ci Kang. Nenek itu tersenyum.

   "Jangan khawatir, muridku. Tidak percuma engkau menjadi murid Yelu Kim! Coba keluarkan jarum merahmu, setelah mengenal macam racunnya, kiranya aku akan dapat memberikan obat penawarnya."

   Giranglah hati Sui Cin dan ia cepat mengeluarkan beberapa batang jarum merah halus kepada nenek itu. Yelu Kini menerima Jarum-jarum itu dan membawanya masuk ke dalam kamarnya untuk mempelajari racunnya tanpa gangguan. Tak lama kemudian, nenek itu sudah keluar membawa obat penawarnya!

   "Campur bubukan ini dengan secawan arak, minumkan padanya dan dia pasti akan sembuh. Kalau dia masih lemah, masak akar ini dengan nasi lalu beri dia makan, tentu kesehatannya akan pulih sama sekali."

   Dengan hati kagum terhadap kelihaian nenek itu dan juga dengan girang Sui Cin menerima bungkusan dua macam obat itu. Akan tetapi ia mengerutkan alisnya dan bertanya,

   "Subo, bagaimana aku dapat memberikan obat-obat ini kepadanya?"

   Yelu Kim tersenyum lebar.

   "Anak bodoh, apa sukarnya itu? Ingat, aku ini menjadi pemimpin mereka. Apa sukarnya bagimu untuk mengunjungi pemuda itu di perkemahan orang-orang Khin? Nah, kau bawa ini dan perlihatkan kalau ada yang menghalangi kunjunganmu,. Katakan bahwa aku yang mengutusmu untuk mengobati pemuda itu."

   Sui Cin menerima sebuah lambang berupa seekor harimau terbang dari nenek itu. Ia memandang kagum. Ia sudah tahu bahwa gurunya adalah pemimpin Perkumpulan Heriman Terbang yang ditakuti oleh para suku utara, akan tetapi baru sekarang ia melihat lambang perkumpulan itu. Ia mengantongi obat-obat dan lambang itu, lalu memberi hormat kepada Yelu Kim.

   "Terima kasih atas bantuan subo sehingga aku mendapatkan kesempatan untuk membalas budi Siangkoan Ci Kang dan menebus kesalahanku telah melukainya."

   "Berangkatlah sekarang. Perkemahan orang-orang Khin berada di ujung barat dan malam ini semua kepala suku berkumpul untuk mengadakan rapat seperti yang kuperintahkan tadi. Engkau mempunyai banyak waktu dan kesempatan untuk mengobati dan merawatnya tanpa banyak gangguan."

   Tepat seperti yang dikatakan nenek itu, ketika Sui Cin berkunjung ke perkemahan suku Khin, begitu ia dikenal sebagai murid nenek Yelu Kim yang dapat menunjukkan lambang Harimau Terbang, ia di diterima dengan gembira dan penuh hormat. Apalagi ketika ia menyatakan maksud kunjungannya adalah untuk mengobati Siangkoan Ci Kang, Moghu Khali sendiri menyambutnya dan mengantarkannya ke dalam kamar Ci Kang. Keadaan Ci Kang amat menyedihkan. Pemuda itu rebah terlentang di atas sebuah pembaringan, hanya memakai sepatu dan celananya saja. Tubuh atasnya telanjang, tertutup selimut sampai ke dada dan wajahnya agak pucat, kedua matanya terpejam dan dia masih pingsan.

   "Kami telah mencabuti beberapa batang jarum halus merah dari dadanya, akan tetapi ahli pengobatan kami tidak sanggup menyadarkannya. Agaknya Jarum-jarum itu mengandung racun yang jahat. Bagaimana nona akan dapat menyembuhkannya?"

   Tanya kepala suku itu dengan khawatir. Sui Cin tersenyum.

   "Jangan khawatir, aku mempunyai obat penawarnya."

   Kepala Suku Khin itu memandang tajam, kemudian dia bertanya dengan ragu-ragu.

   "Jadi... nona ini... adalah penunggang harimau yang telah mengalahkannya tadi?"

   Sui Cin mengangguk, hanya tersenyum dan mengangguk.

   "Ahhh..."

   Seru Moghu Khali dengan takjub. Dia seorang yang amat menghargai kegagahan dan sama sekali ia tidak mengira bahwa penunggang harimau yang telah mengalahkan jagoannya itu adalah gadis cantik jelita yang kelihatan lemah ini.

   "Sungguh beruntung aku dapat berhadapan dengan seorang yang berkepandaian tinggi seperti nona,"

   Katanya sambil memberi hormat. Sui Cin merasa suka kepada kepala suku yang tinggi besar dan nampak kuat sekali akan tetapi yang bersikap jujur dan ramah ini.

   "Sekarang harap aku diberi kebebasan untuk mengobatinya."

   "Baiklah, silakan nona,"

   Moghu Khali lalu memanggil seorang pelayan wanita untuk membantu Sui Cin. Kemudian dia meninggalkan kamar itu. Kepada pelayan yang biarpun tidak lancar dapat pula berbahasa Han itu Sui Cin minta disediakan arak yang baik, juga minta disediakan alat memasak obat di dalam kamar itu. Setelah semua ini tersedia, iapun menyuruh pelayan wanita meninggalkannya dengan Ci Kang berdua saja. Ia lalu menutupkan daun pintu kamar, dan membuka jendela kamar lebar-lebar agar hawa di dalam kamaar menjadi segar.

   Ia memeriksa luka-luka kecil di dada Ci Kang. Jantungnya berdebar dan mukanya menjadi merah tanpa disadarinya ia melihat dan meraba dada yang bidang dan kokoh kuat itu. Belum pernah ia berada sedekat ini dengan pria, apalagi meraba dada yang tak berbaju. Ia melihat bekas-bekas tusukan jarumnya, kemerahan dan agak menghitam. Dikeluarkannya obat bubuk pemberian nenek Yelu Kim, dicampurnya obat itu dengan secawan arak. Dengan hati-hati ia lalu menggunakan tangan kanan untuk membuka rahang pemuda itu dan setelah mulut terbuka, ia menuangkan arak obat itu perlahan-lahan, ke dalam mulut. Untung baginya bahwa pemuda itu agaknya hanya setengah pingsan saja, karena buktinya dia dapat menelan arak yang memasuki kerongkongannya.

   Setelah semua arak obat dalam cawan pindah ke dalam perut Ci Kang, Sui Cin lalu menyingkap selimut yang menutupi dada, dan menempelkan kedua telapak tangannya ke atas luka-luka kecil merah itu dan mengerahkan sinkang untuk menyedot racun. Lambat laun ia merasa betapa kulit dada itu panas sekali, makin lama semakin panas sehingga ia hampir tidak tahan. Akan tetapi Sui Cin bertahan terus mengerahkan sinkangya sampai akhirnya ia merasa betapa telapak tangannya yang menempel pada dada Ci Kang itu menjadi basah dan ketika ia melihatnya, ternyata telapak tangannya berdarah. Kiranya darah telah dapat disedot dari luka-luka kecil itu dan ia tahu bahwa ini bukan hanya karena tenaga sinkangnya, melainkan terutama sekali karena manjurnya obat penawar racun yang mulai bekerja dengan cepatnya.

   "Uhhh..."

   Ci Kang mengeluh dan menggerakkan bibirnya. Bulu matanya bergerak gerak dan dia mulai sadar. Sui Cin hanya memandang tanpa melepaskan kedua telapak tangannya dari dada pemuda itu. Sepasang mata itu kini perlahan-lahan terbuka dan Ci Kang memandang nanar ke atas.

   Akan tetapi kesadarannya pulih kembali dan ketika pandang matanya bertemu dengan wajah cantik yang berada tidak jauh dari mukanya, dia terbelalak, mengejap-mengejapkan matanya seperti ingin memastikan apakah dia tidak sedang bermimpi. Apalagi ketika dia teringat akan wajah cantik itu. Inilah puteri Pendekar Sadis itu, yang pernah ditolongnya, juga pernah menolongnya, dan pernah pula mereka berdua saling bertanding karena memang keduanya berdiri di dua pihak yang saling bertentangan. Gadis gagah perkasa yang amat menarik hatinya itu! Dan kini gadis itu meletakkan kedua tangan ke atas dadanya, dan dari getaran yang keluar dari telapak tangan itu diapun maklum bahwa gadis ini sedang berusaha untuk menyembuhkannya! Dan diapun teringat bahwa dia roboh karena menjadi korban serangan jarum halus yang harum dan merah.

   "Kau... kau nona Ceng... kau... mengobati aku...?"

   Tanyanya dengan suara berbisik dan dia merasa betapa tubuhnya lemah sekali.

   "Diamlah, jangan bergerak dulu. Lihat, racun itu sudah tersedot keluar dari tubuhmu!"

   Sui Cin melepaskan kedua tangannya dan Ci Kang melihat betapa ada darah merah kehitaman pada kedua tepalak tangan yang tadi menempel di tubuhnya, yang dia rasakan amat halus dan hangat. Sui Cin mencuci kedua tangannya. Obat dari nenek itu telah bekerja dan ia maklum bahwa obat itu memang mujarab sekali.

   "Tapi... mengapa... bagaimana engkau dapat berada di sini, nona? Dan mengapa engkau bersusah payah mengobati orang macam aku?"

   Ada rasa haru menyelinap di dalam hati Ci Kang. Sama sekali ia tidak pernah dia mimpi bahwa seorang nona seperti Ceng Sui Cin ini mau mengobatinya seperti itu.

   "Ci Kang, apa salahnya kalau aku mengobatimu? Bukankah engkau pernah pula menolongku dahulu? Sudah sewajarnya kalau sekarang aku mencoba untuk menyembuhkan dan aku gembira sekali telah berhasil. Racun jarum itu berbahaya sekali dan tanpa obat penawar yang tepat, bisa berbahaya bagi keselamatan nyawamu."

   "Engkau sungguh lihai, nona, di samping ilmu silat yang tinggi, juga masih memiliki keahlian mengobati luka beracun."

   "Ah, tak perlu memuji,"

   Kata Sui Cin sambil duduk kembali di tepi pembaringan dan menggunakan kain bersih untuk membersihkan darah dari dada Ci Kang.

   "Aku dapat mengobati karena tentu saja aku mengenal bekerjanya Jarum-jarumku sendiri."

   Pemuda itu terkejut.

   "Kau...? Jadi engkau kah penunggang harimau itu, nona? Ahh, sungguh tak kusangka. Akan tetapi, bagaimana engkau dapat berada di sini, bahkan menjadi jagoan nenek Yelu Kim? Sungguh membingungkan!"

   "Aku sendiripun bingung melihat engkau menjadi jagoan suku Khin. Aku pernah diselamatkan nenek Yelu Kim dan aku membalas budinya dengan membantunya di dalam perebutan kedudukan pimpinan itu. Ketika melihat engkau juga menjadi jagoan, aku terheran-heran. Kemudian engkau keluar sebagai pemenang seperti yang sudah kuduga dan aku terpaksa mentaati permintaan nenek Yelu Kim untuk maju dan menghadapimu."

   "Dan aku roboh. Engkau sungguh lihai sekali, nona."

   "Sudahlah, pujianmu membuat aku malu. Kalau tidak mengandalkan Jarum-jarum itu sebagai senjata yang curang, tentu aku sudah kalah. Engkau lah yang lihai sekali, Ci Kang. Akan tetapi bagaimana engkau tiba-tiba saja menjadi jagoan yang diajukan oleh orang-orang Khin? Amat lucu dan aneh keadaan kita berdua ini, tiba-tiba saja berada di antara suku-suku bangsa liar di utara dan menjadi jagoan-jagoan mereka."

   Ci Kang menarik napas panjang, agaknya tidak merasa lucu seperti Sui Cin melainkan merasa berduka.

   "Ah, semua ini adalah Gara-gara ayahku. Kalau tidak karena ayahku, tidak mungkin aku sampai terlibat dalam urusan para suku utara ini, bahkan tidak mungkin aku bisa berkeliaran sampai ke utara ini."

   Suara Ci Kang mengandung penuh penyesalan.

   "Ah, kenapa engkau menyalahkan ayahmu?"

   Sui Cin bertanya heran. Kembali pemuda itu menarik napas panjang, diam-diam merasa heran mengapa tubuhnya menjadi semakin lemas saja.

   "Ayahku dikenal sebagai Siangkoan Lojin, lebih celaka lagi dikenal sebagai Iblis Buta. Ayahku dikenal pula sebagai seorang datuk sesat. Sejak dahulu aku tidak setuju dengan cara hidup ayah dan selalu menentangnya. Akan tetapi hal itu malah membuat ayah marah dan menyebabkan aku terpaksa melarikan diri dari ayah. Aku mencoba untuk mencuci nama ayahku dengan bergabung kepada para pendekar, menentang kejahatan. Akan tetapi, karena nama ayah sudah begitu tersohor busuk, aku malah dimusuhi ketika tiba di bekas benteng Jeng-hwa-pang untuk menghadiri pertemuan para pendekar. Dengan rasa malu dan duka, aku berkeliaran sampai di sini dan bersahabat dengan kepala suku Khin sehingga akhirnya aku menjadi jagoannya. Bukankah menyedihkan sekali keadaanku? Sayang Jarum-jarummu masih terhalang oleh baju kulit harimauku sehingga tidak masuk lebih dalam. Kalau kuingat keadaanku, lebih baik kalau Jarum-jarum itu menewaskanku saja. Mati di tanganmu adalah mati terhormat karena engkau adalah seorang pendekar wanita gagah perkasa, puteri Pendekar Sadis..."

   "Sudahlah, Ci Kang. Tak perlu menyesali diri dan tidak ada baiknya pula mencela ayah kandung sendiri yang sudah tidak ada, apalagi bagaimanapun juga ayahmu meninggal dengan gagah perkasa, berani menentang Raja dan Ratu Iblis. Sayang bahwa dia meninggal karena kecurangan Raja Iblis..."

   "Apa...?"

   Sepasang mata Ci Kang terbelalak.

   "Kematian ayah karena kecurangan Raja Iblis? Apa maksudmu?"

   Baru Sui Cin mengerti bahwa pemuda ini belum tahu bagaimana ayahnya meninggal. Ia memandang dengan hati kasihan. Walaupun pemuda ini putera datuk sesat, akan tetapi telah meninggalkan kesan baik dalam hatinya dalam pertemuan yang pertama, ketika pemuda ini menyelamatkannya dari bencana perkosaan. Dan apa yang diceritakan Ci Kang tadi bahwa dia selalu menentang ayahnya sampai dimusuhi, membuat hatinya merasa semakin kasihan dan suka.

   "Aku melihat sendiri peristiwa itu, Ci Kang. Dalam pertemuan para datuk sesat itu, Raja dan Ratu Iblis hendak menguasai mereka, menjadi pimpinan dan hendak mengajak para datuk untuk memberontak. Akan tetapi ayahmu menentang dan dia lalu diserang oleh Ratu Iblis. Mereka berkelahi dengan hebat dan nyaris Ratu Iblis tidak mampu menandingi ayahmu, akan tetapi diam-diam ia dibantu Raja Iblis yang curang dan ayahmu tewas."

   "Ayah!"

   Ci Kang bangkit duduk, wajahnya berseri, tangannya dikepal.

   "Akhirnya! Akhirnya engkau juga menentang mereka dan bahkan mengorbankan nyawa dalam menentang mereka. Aku bangga, ayah, aku bangga..."

   Pemuda itu tiba-tiba memejamkan kedua matanya dan terjengkang ke belakang, terjatuh rebah lagi dan mukanya kini menjadi pucat sekali, kedua tangannya menekan-nekan pelipis kepala.

   "Eh, Ci Kang, engkau kenapakah...?"

   Sui Cin bertanya kaget setelah tadi terheran-heran melihat sikap Ci Kang bergembira mendengar ayahnya tewas oleh kecurangan Raja Iblis. Ia memegang tangan pemuda itu dengan khawatir karena wajah pemuda yang tadinya sudah nampak segar itu kini menjadi layu kembali.

   "Tidak tahu... tubuhku lemas sekali... tenagaku hilang dan kepalaku... pusing..."

   Tiba-tiba Sui Cin teringat akan pesan nenek Yelu Kim yang sudah memberinya obat berupa akar-akaran yang harus dimasak dengan nasi untuk menyembuhkan Ci Kang kalau tubuhnya terasa lemah dan lemas. Tentu akibatnya atau pengaruh obat penawar tadi, pikirnya.

   "Jangan khawatir, Ci Kang. Kau rebah saja yang enak, aku akan membuatkan obat untuk menyembuhkanmu dan memulihkan tenagamu."

   Ia memasang bantal di punggung dan kepala Ci Kang sehingga pemuda itu dapat duduk setengah rebahan dengan enak. Lalu sibuklah gadis itu memasak akar dicampur nasi dan masakan yang sudah disediakan oleh pelayan tadi. Sebentar saja selesailah pekerjaannya dan ia membawa mangkok nasi berikut akar dan sayuran itu ke pembaringan. Dengan sepasang sumpit, diaduknya nasi itu agar agak dingin. Ci Kang masih rebah dengan kedua mata terpejam itu.

   "Ci Kang, obatnya sudah masak. Mari kau makan ini, tentu engkau akan sembuh sama sekali."

   Katanya. Ci Kang membuka mata, nampak lemas sekali dan ketika dia mengulur tangan menerima mangkok itu, hampir saja mangkok itu terlepas dan tumpah karena tangannya juga gemetar. Melihat ini, Sui Cin cepat mengambil kembali mangkok itu.

   
Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Ah, engkau benar-benar kehilangan tenagamu. Biarlah kubantu kau, Ci Kang."

   Sui Cin lalu menggunakan sumpit untuk menyuapkan makanan ke mulut pemuda itu.

   "Sungguh engkau membuat aku merasa malu, nona. Perawatanmu seperti ini... aku... aku berterima kasih sekali..."

   Kata Ci Kang yang merasa sungkan.

   "Aihhh, engkau sedang sakit, sudahlah jangan banyak memikirkan Hal-hal yang tidak perlu. Makanlah ini."

   Kata Sui Cin dan mulai menyuapkan nasi berikut obat dan sayurmayur itu ke mulut Ci Kang yang menerimanya dengan hati penuh rasa terima kasih. Ci Kang sedang menderita sakit sedangkan Sui Cin sedang mencurahkan seluruh perhatiannya kepada pemuda itu, maka mereka berdua yang berilmu tinggi dan biasanya amat waspada itu tidak mendengar sama sekali bahwa di luar jendela terdapat sesosok bayangan orang yang baru tiba dan kini bayangan itu mengintai dari balik jendela. Bayangan orang itu adalah Cia Hui Song dan setelah melihat keadaan di dalam kamar itu, Hui Song mengerutkan alisnya dan matanya mengeluarkan sinar marah!

   Hati siapa yang tidak akan marah melihat gadis yang sudah lama menjatuhkan hatinya itu, gadis pujaan hati yang diam-diam amat dicintanya, kini duduk di tepi pembaringan dan menyuapkan makanan kepada Ci Kang! Begitu mesra nampaknya. Hui Song bukan seorang pemuda yang sembrono dan singkat pandangan. Dia tahu bahwa Ci Kang tadi roboh terluka dan agaknya pemuda itu kini menderita sakit cukup berat, maka kalau dia disuapi makanan, hal itu tidak membuatnya heran atau ribut-ribut. Akan tetapi, justeru yang menyuapkan makanan adalah Sui Cin! Apa artinya ini! Bukankah tadi yang merobohkan Ci Kang adalah wanita penunggang harimau yang dia yakin adalah Sui Cin juga. Mending kalau Sui Cin merawat orang lain, akan tetapi yang dirawat ini adalah Ci Kang, tokoh sesat muda yang lihai dan berbahaya lagi jahat itu! Hati siapa tidak akan panas?

   Hati Sui Cin merasa lega dan girang ketika melihat perubahan pada wajah Ci Kang. Kini warna pucat itu berangsur-angsur hilang dari wajah yang ganteng itu, terganti warna kemerahan. Akan tetapi, makin banyak pemuda itu menelan nasi dan obat, mukanya menjadi semakin merah dan pandang matanya yang juga kemerahan itu kini menatap wajah Sui Cin dengan aneh sekali, seolah-olah baru sekarang dia mengenal gadis itu! Sui Cin masih terus menyuapkan makanan, diam-diam merasa heran dan juga agak khawatir. Agaknya kesehatan pemuda ini mulai pulih, pikirnya, akan tetapi kenapa mukanya menjadi begitu merah, bahkan kedua matanya juga agak kemerahan dan kini napas pemuda itu mulai terengah-engah?

   Dan yang amat menggelisahkan hatinya adalah pandang mata Ci Kang itu. Pandang mata itu seperti merayap-rayap dan seolah-olah terasa olehnya betapa pandang mata itu menyentuh dan meraba-raba di seluruh mukanya, matanya, telinganya, pipinya, bibirnya bahkan lehernya. Diam-diam ia bergidik dan jantungnya berdebar keras dan tegang. Hui Song yang mengintai dari luar jendela harus menekan perasaannya agar kemarahannya tidak sampai membuat dia berbuat sesuatu. Dia tiba di tempat ini bukan hanya kebetulan saja. Rombongan suku bangsa Mancu Timur yang dipimpin oleh Lamnong telah diam-diam pergi meninggalkan para suku lain, bersama suku-suku lain yang juga tidak setuju kalau pimpinan dipegang oleh Yelu Kim akan tetapi tidak berani menentang dengan terang-terangan.

   Lamnong mengajak Hui Song pergi, akan tetapi Hui Song tidak mau dan mereka saling berpisah pada hari itu juga. Hui Song masih mempunyai tugas lain, yaitu pertama menyelidiki Yelu Kim sehubungan dengan Perkumpulan Harimau Terbang yang diduganya telah mencuri dan melarikan harta pusaka di Gua Iblis Neraka. Di samping tugas ini, juga dia ingin berjumpa dengan Sui Cin. Dia harus bersikap hati-hati dan sebelum dia bertindak terhadap nenek Yelu Kim, dia harus lebih dahulu menemui Sui Cin dan mendapatkan keterangan mengapa gadis itu membantu nenek Yelu Kim. Akan tetapi, dia tidak berhasil menemukan Sui Cin ketika pada malam hari itu dia melakukan penyelidikan. Akhirnya dia melakukan penyelidikan di perkemahan suku bangsa Khin untuk mencari keterangan tentang Siangkoan Ci Kang dan bagaimana putera datuk sesat ini dapat menjadi jagoan orang-orang Khin.

   Hal ini sehubungan dengan tugas yang diberikan oleh gurunya kepadanya, yaitu menyelidiki keadaan para suku bangsa yang agaknya hendak bergerak pula melakukan pemberontakan ke selatan. Dan tanpa disengaja dia menjenguk ke dalam kamar itu dan melihat Sui Cin sedang merawat Ci Kang yang sakit, sedang menyuapkan makanan kepada putera Iblis Buta itu dengan sikap demikian mesra yang membuat perutnya terasa panas. Sementara itu, keadaan Ci Kang semakin aneh. Pemuda ini merasa gelisah bukan main dan napasnya semakin memburu, matanya melotot menatap wajah Sui Cin tanpa berkedip. Melihat ini, Sui Cin menjadi gelisah sekali. Nasi itu sudah hampir habis dan ia meletakkan mangkok di atas pembaringan. Lalu dirabanya dahi Ci Kang dengan telapak tangan kirinya. Terkejutlah ia merasa betapa dahi itu panas sekali dan kulit tubuh pemuda itu dari kepala sampai ke dada nampak merah!

   Ci Kang sendiri sejak tadi gelisah bukan main. Setelah perutnya terisi nasi dan obat, tenaganya pulih kembali dengan cepat, akan tetapi bersama kembalinya tenaganya, datang pula suatu perasaan yang amat aneh. Tubuhnya terasa panas dan jantungnya berdegup seperti akan pecah, dan timbul gairah rangsangan yang amat kuat, makin lama makin kuat, yang membuat Sui Cin nampak semakin jelita menggairahkan, yang mendatangkan dorongan hasrat dalam hatinya untuk merangkul dan bemesraan dengan Sui Cin. Namun, dengan kekuatan batinnya Ci Kang mempertahankan diri, tidak mau tunduk terhadap rangsangan gairah yang mendorongnya itu, rangsangan berahi yang tiba-tiba saja menyerangnya secara hebat. Ketika Sui Cin meraba dahinya, gadis itu seolah-olah merupakan minyak bakar disiramkan kepada nafsu berahi yang sedang bernyala sehingga menjadi semakin berkobar. Dan Ci Kang yang sejak tadi mempertahankan diri, kini tidak kuat lagi.

   "Nona..."

   Serunya dan tiba-tiba saja kedua lengannya bergerak merangkul, gadis itu sudah dipeluknya dengan ketat dan dia sudah menciumi muka Sui Cin dengan penuh nafsu berahi. Karena dirinya dipengaruhi nafsu maka belaian dan ciuman Ci Kang kasar sekali. Sejenak Sui Cin terbelalak dan tak mampu bergerak saking kagetnya, akan tetapi ciuman-ciuman yang panas pada pipinya, bibirnya, lehernya, membuat ia tiba-tiba menjerit dan meronta untuk melepaskan dirinya. Akan tetapi pelukan Ci Kang itu kuat sekali dan terjadilah pergulatan. Karena keduanya menggunakan tenaga terdengar suara.

   "Brettt..."

   Dan kain baju bagian leher dan sebagian dada yang menutupi tubuh Sui Cin terobek! Melihat kulit leher dan dada bagian atas ini, Ci Kang seperti menjadi buas dan dia menciumi bagian itu seperti orang gila.

   "Lepaskan... Ah, lepaskan..."

   Sui Cin meronta sekuat tenaga dan pada saat itu terdengar suara keras disusul jebolnya tirai dan papan di atas jendela ketika Hui Song menerjang masuk. Sui Cin telah berhasil melepaskan dirinya dari pelukan Ci Kang dan ia meloncat turun dari pembaringan dan menjauhi pemuda itu. Ci Kang sendiri terkejut mendengar suara gaduh itu dan diapun meloncat turun dan berdiri dalam keadaan siap siaga. Pada saat itu, Hui Song meloncat dan menyerbu ke arah Ci Kang, menggerakkan sebatang tongkat kayu yang disambarnya dari luar tadi, menyerang Ci Kang. Tongkat kayu itu menghantam ke arah kepala Ci Kang dan terdengar suara Hui Song memaki.

   "Jahanam busuk, kuhancurkan kepalamu!"

   Melihat datangnya serangan potongan kayu sebesar lengan yang menyambar kepalanya dengan dahsyat itu, Ci Kang cepat melemparkan selimut yang masih menempel di tubuhnya, kemudian dia mengelak sambil melompat ke belakang.

   Hui Song yang sudah marah sekali terus menerjang lagi dengan hebatnya. Ketika dia melihat Sui Cin merawat Ci Kang yang sakit, biarpun hatinya terasa panas, namun dia masih mampu mengendalikan dirinya. Ketika dia melihat Ci Kang tiba-tiba bangkit duduk dan merangkul Sui Cin, menciumi gadis itu dan melihat Sui Cin meronta-ronta, darah dalam tubuh Hui Song mendidih. Dia menyambar sepotong kayu dari dekatnya dan menerjang ke dalam kamar, langsung saja menyerang Ci Kang tanpa bertanya-tanya lagi. Apalagi yang perlu ditanyakan kalau sudah jelas betapa Ci Kang berbuata kurang ajar terhadap Sui Cin dan gadis itu meronta dan menolak? Agaknya Ci Kang hendak memperkosa Sui Cin dan untuk perbuatan itu, Ci Kang harus dibunuhnya!

   "Hyaattt..."

   Kembali tongkat itu meluncur dan menyambar ke arah kepala Ci Kang yang masih berdiri kaget dan bingung. Pemuda ini masih bingung karena semua peristiwa yang terjadi ini sungguh berada di luar kemampuannya untuk menguasainya. Tadipun ketika dia merangkul dan menciumi Sui Cin, hal itu dilakukan dalam keadaan perang di dalam batinnya, sepihak didorong oleh nafsu berahi yang berkobar, di pihak lain batinnya menentang keras. Ketika Hui Song muncul, dia merasa terkejut, malu dan bingung, tidak tahu harus berkata atau berbuat apa. Betapapun juga, tenaganya sudah pulih kembali dan melihat sambaran tongkat, maklumlah dia bahwa Hui Song yang marah itu menyerangnya dengan sungguh-sungguh, dengan pengerahan tenaga sinkang dan dia tahu betapa bahayanya kalau sampai kepalanya terkena hantaman kayu yang menpndung tenaga sinkang amat kuatnya itu.

   "Ihhh..."

   Ci Kang terpaksa menggerakkan lengan kanannya untuk menangkis, karena mengelak dari sambaran tongkat seperti itu di ruangan yang sempit ini sungguh berbahaya sekali.

   "Dukkk..."

   Keras sekali pertemuan antara tongkat dan lengan tangan itu. Ci Kang merasa betapa lengannya tergetar hebat, akan tetapi tongkat kayu itupun pecah berantakan! Hui Song membuang sisa tongkat itu yang tadi hanya dipergunakan karena dia sudah hampir lupa diri saking marahnya. Padahal, menggunakan kedua tangannya bahkan lebih dahsyat dan lebih berbahaya dari pada tongkat yang mati itu.

   Ci Kang yang merasa bahwa telah melakukan hal yang amat memalukan, merasa bahwa dia bersalah, tidak berniat melawan, dan dia bahkan merasa malu sekali kepada Sui Cin. Dilihatnya Sui Cin berdiri di sudut kamar itu dengan mata dan muka pucat, kedua tangan berusaha menyatukan lagi baju yang terobek. Ci Kang merasa jantung seperti ditusuk melihat baju yang robek itu, suatu bukti bahwa hal tadi memang telah terjadi, bahwa dia tadi telah melakukan sesuatu yang amat memalukan. Bahkan sekarangpun, darahnya tersirap dan mukanya terasa panas melihat kecantikan Sui Cin. Dia tahu bahwa tidak ada gunanya menerangkan segalanya, tidak ada gunanya membela diri.

   "Nona, maafkan aku..."

   Katanya dengan suara gemetar dan tubuhnya melayang keluar dari dalam kamar itu.

   "Jahanam busuk, hendak lari ke mana kau? Dosamu harus kau tebus dengan nyawa!"

   Hui Song membentak dan melakukan pengejaran dengan loncatan jauh keluar dari dalam kamar itu. Sui Cin yang sejak tadi tercengang dan masih terpengaruh oleh peristiwa yang amat mengejutkan dan membingungkan hatinya itu, kini baru tersadar dan iapun turut pula meloncat dan melakukan pengejaran, tangan kirinya memegang dan merapatkan bagian baju yang terobek tadi. Akan tetapi ternyata oleh mereka ketika mereka tiba di luar, Ci Kang sudah tidak lagi nampak bayangannya. Pemuda itu masih dalam keadaan bingung dan menyadari kesalahannya itu, agaknya tidak mau melayani mereka, bahkan merasa malu untuk bertemu muka dengan Sui Cin, maka dengan cepat sekali dia telah melarikan diri menghilang ke dalam kegelapan malam yang mulai menyelimut tempat itu.

   "Jahanam, jangan lari kau!"

   Hui Song membentak dan mencari-cari, akan tetapi dia tidak tahu ke jurusan mana Ci Kang melarikan diri dan pada saat itu, terdengar suara ribut-ribut karena suara gaduh mereka tadi telah menarik perhatian para penjaga dan kini banyak pengawal Bangsa Khin mulai berdatangan.

   "Song-ko, mari kita pergi dari sini!"

   Sui Cin berkata. Ia telah mengikat baju yang robek dengan saputangan.

   "Tak perlu dicari lagi!"

   Suara Sui Cin ini membuat jantung Hui Song berdebar keras saking girangnya. Sui Cin telah mengenalnya! Ini berarti bahwa gadis itu telah memperoleh kembali ingatannya! Akan tetapi di samping rasa girangnya, dia masih merasa terbakar oleh kemarahan.

   "Tidak, aku harus mencarinya sampai dapat dan membunuhnya!"

   Bentaknya marah.

   Sui Cin mengerutkan alisnya. Dia sendiri tidak marah kepada Ci Kang, hanya merasa heran. Tidak biasanya Ci Kang bersikap seperti tadi. Dia tidak memperlihatkan sikap kurang ajar, apalagi berani melakukan hal seperti tadi. Bukankah dahulu Ci Kang bahkan telah menentang Sim Thian Bu mati-matian ketika saudara seperguruannya itu hendak memperkosanya? Akan tetapi, kenapa secara tiba-tiba Ci Kang melakukan hal itu? Dan sikap itu timbul setelah pemuda itu makan nasi dengan akar obat, mula-mula mukanya menjadi merah, juga matanya, dan tubuhnya panas sekali. Apakah tidak ada apa-apa di balik itu? Kini, melihat Hui Song marah-marah dan hendak membunuh Ci Kang tanpa dipertimbangkan lebih dahulu persoalannya, ia merasa tidak senang.

   "Kalau begitu carilah sendiri!"

   Dan Sui Cin lalu membalikkan tubuhnya dan melompat pergi.

   "Cin-moi..."

   Hui Song gelagapan melihat gadis itu melarikan diri dan dia cepat mengejar, takut kehilangan bayangan Sui Cin dalam kegelapan malam itu. Sui Cin tidak menjawab dan terus melarikan diri. Mereka berkejaran dan meninggalkan perkemahan itu, melalui padang pasir yang halus dan sunyi. Bintang-bintang bertaburan di langit, mcrupakan kumpulan titik-titik terang yang membuat cuaca remang-remang, sejuk dan indah. Akhirnya, di sebuah lapangan yang penuh batu-batu gunung, Sui Cin berhenti dan duduk. Hui Song menyusulnya dan pemuda ini berdiri di depan gadis itu. Mereka saling berpandangan sampai lama tanpa berkata-kata, masing-masing mengatur pernapasan yang agak memburu karena berlari cepat tadi.

   "Cin-moi... ah, engkau telah sembuh dan mendapatkan ingatanmu kembali? Girang sekali hatiku. Dan jahanam itu! Siangkoan Ci Kang, sekali waktu aku akan membunuhnya! Akan tetapi mengapa engkau merawatnya, padahal, bukankah siang tadi engkau pula yang merobohkannya? Engkau maju sebagai penunggang harimau itu, bukan? Cin-moi, mengapa engkau berada di daerah ini, bahkan lebih aneh lagi, mengapa engkau menjadi jagoan yang membantu nenek iblis itu?"

   Dihujani pertanyaan bertubi-tubi itu, Sui Cin diam saja. Setelah Hui Song selesai dengan pertanyaan-pertanyaannya, barulah ia menjawab,

   "Song-ko, ceritaku panjang sekali. Kuharap engkau yang lebih dulu bercerita kepadaku sejak kita berpisah dan mengapa pula engkau dapat berkeliaran di tempat ini?"

   Sui Cin masih terguncang batinnya oleh peristiwa dengan Ci Kang tadi, maka ia belum sempat memperoleh kembali kegembiraannya dan bersikap serius. Hal inipun dipengaruhi oleh sikap Hui Song yang agaknya amat membenci Ci Kang, padahal ia sendiri, walaupun sikap Ci Kang tadi amat mengejutkan dan membuatnya amat marah, masih belum merasa bahwa ia membenci pemuda putera datuk sesat itu. Melihat sikap serius gadis itu, Hui Song juga bersikap tenang dan diapun mencari tempat duduk di depan Sui Cin. Sejenak mereka saling berpandangan kembali dan keduanya merasa seolah-olah mereka tidak pernah berpisah, apalagi saling berpisah sampai tiga tahun lebih.

   "Aaihh, betapa cepatnya waktu berkelebat,"

   Akhirnya Hui Song berkata.

   "Ingatkah kau bahwa kita telah saling berpisah selama tiga tahun lebih? Akan tetapi, berhadapan denganmu seperti sekarang ini, aku merasa seolah-olah kita tidak pernah saling berpisah, atau baru kemarin saja."

   Sui Cin mengangguk karena memang demikian pula perasaan hatinya.

   "Song-ko, ceritakanlah segala pengalamanmu. Aku ingin sekali tahu mengapa engkau dapat bekerja sama dengan murid Raja Iblis di Gua Iblis Neraka itu, dan bagaimana pula sekarang engkau tiba-tiba berada di daerah ini."

   "Ceritaku juga panjang, akan tetapi baiklah akan kusingkat saja. Tiga tahun lebih yang lalu, kita saling berpisah. Engkau diajak pergi oleh locianpwe Wuyi Lojin, sedengkan aku pergi mengikuti Siangkiang Lojin untuk mempelajari ilmu. Nah, selama tiga tahun aku belajar ilmu dari suhu Siangkiang Lojin. Setelah tiga tahun, suhu menyuruh aku untuk menghadiri pertemuan para pendekar di bekas benteng Jeng-hwa-pang sehubungan dengan tekad para pendekar untuk menentang gerakan yang dipimpin oleh Raja Iblis. Dalam perjalanan itu aku bertemu dengan iblis betina itu. Ia menipuku, mengaku sebagai pejuang yang menentang Raja Iblis, karena itu aku membantunya mencari harta karun yang tersembunyi di dalam Gua Iblis Neraka itu. Akan tetapi, harta itu telah diambil orang lain lebih dulu yang meninggalkan lencana Harimau Terbang di daerah utara. Dan aku terjebak, tentu telah tewas kalau tidak ada engkau muncul menolongku. Akan tetapi, engkau sendiri malah tertimpa bencana ketika menolongku, terluka kepalamu oleh pukulan batu musuh sehingga engkau kehilangan ingatan, dan bahkan menyerangku. Nah, pertemuan yang hanya sebentar itu berakhir dan kita saling berpisah lagi. Aku lalu menyelidiki ke utara dan aku sempat terlibat dalam pemberontakan yang terjadi di Sanhaikoan."

   Hui Song lalu menceritakan pengalamannya di kota benteng itu.

   "Nah, karena tidak mungkin lagi menyelamatkan Sanhaikoan, aku pergi ke bekas benteng Jeng-hwa-pang, bertemu dengan suhu yang menyuruhku melakukan penyelidikan kepada para suku bangsa di sini. Aku bertemu dan berkenalan dengan Lamnong, kepala suku Mancu Timur dan ikut dengan rombongannya ke tempat pertemuan para suku untuk memilih pimpinan. Aku ingin menyelidiki Yelu Kim yang kabarnya adalah ketua Harimau Terbang, menyelidiki tentang harta karun dan juga tentang pergerakan para suku di sini dan aku melihat engkau! Melihat pula Ci Kang, jahanam busuk itu..."

   "Sekarang dengarkan pengalamanku."

   Sui Cin memotong cepat ketika mendengar Hui Song mulai hendak memaki-maki Ci Kang lagi.

   "Seperti juga engkau, aku mengikuti suhu Wuyi Lojin selama tiga tahun untuk menerima gemblengan ilmu. Dan akupun disuruh oleh suhu untuk pergi ke bekas benteng Jeng-hwa-pang. Di tengah jalan aku melihat kuil tempat tinggal murid Raja Iblis itu dan kaki tangannya. Aku merasa curiga dan menyelidiki mereka. Aku mendengar percakapan mereka tentang harta pusaka di Gua Iblis Neraka, maka aku melakukan penyelidikan ke sana. Aku lalu melihat engkau bersama iblis-iblis itu dan selanjutnya engkau tahu. Aku terluka, kehilangan ingatan. Dalam keadaan seperti itu, aku hampir celaka oleh Kiu-bwe Coali. Untung ada saudara Cia Sun yang menolongku. Akan tetapi, pada saat itu juga muncul nenek Yelu Kim yang mengobati aku sampai sembuh sama sekali dari racun yang diberikan oleh Kiu-bwe Coali, juga sembuh sama sekali dari kehilangan ingatan. Karena budinya ini, aku lalu diangkat menjadi muridnya dan menjadi pembantunya. Aku berjanji membantunya memperoleh kedudukan pimpinan dalam pemilihan jago dan aku berhasil."

   "Akan tetapi, kenapa setelah engkau merobohkan Ci Kang, engkau lalu..."

   Sui Cin menggerakkan tangan dengan kesal.

   "Dengarkanlah dulu! Engkau tahu bahwa Ci Kang pernah menyelamatkan aku dan pertandingan antara kami itu bukan urusan pribadi. Dan aku telah merobohkannya dengan menggunakan jarum merah beracun. Aku merasa menyesal karena kalau tidak kuobati, dia mungkin akan celaka. Aku akan merasa menyesal bukan main kalau sampai dia mati dalam pertandingan yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan pribadi kami itu. Maka, aku lalu mengobatinya. Sungguh tidak kusangka sama sekali dia... dia akan melakukan hal itu..."

   "Dasar orang jahat, anak seorang datuk sesat seperti Iblis Buta, mana bisa baik?"

   "Aku tidak yakin, Song-ko, perbuatannya itu seperti tidak sewajarnya..."

   "Ah, dia itu putera datuk sesat, tentu seorang yang jiwanya sudah kotor. Kalau dahulu dia menolongmu, bukan karena kebaikan hatinya, melainkan karena dia tidak ingin engkau diganggu orang lain itulah!"

   "Sudahlah, Song-ko, aku tidak mau bicara lagi soal itu. Anehnya, aku sendiri tidak mendendam atas peristiwa itu dan masih ragu-ragu, akan tetapi kenapa engkau malah ribut-ribut?"

   "Kenapa tidak, Cin-moi? Melihat engkau hendak dipaksa, hatiku sudah terbakar dan aku tentu sudah menghancurkan kepalanya kalau saja dia tidak lari. Siapa tidak cemburu melihat itu...?"

   "Cemburu...?"

   "Cin-moi, masih haruskah kujelaskan lagi? Perlukah kuulangi lagi? Sui Cin, sejak dahulu sampai sekarang aku tetap mencintamu dan sampai saat inipun engkau belum pernah memberi jawaban yang pasti. Sui Cin, aku cinta padamu dengan sepenuh jiwa ragaku dan aku hampir merasa yakin bahwa cintaku tidak bertepuk tangan sebelah, bahwa engkau pun cinta padaku. Cin-moi, jawablah..."

   Kini sikap Hui Song yang biasanya gembira jenaka itupun berobah menjadi serius, bahkan di dalam suaranya terdengar nada memelas dan memohon. Sampai lama Sui Cin menatap wajah pemuda itu. Hatinya diliputi kebimbangan yang membuatnya bingung dan sejenak tidak mampu menjawab. Harus diakuinya bahwa ia merasa amat suka, mungkin mencinta kepada pemuda ini. Hui Song adalah seorang pemuda yang gagah perkasa, budiman, dan berwatak cocok dengannya, riang jenaka dan gembira. Akan tetapi, iapun tahu bahwa ayah ibunya tidak suka kepada orang tua pemuda ini, dan iapun belum tahu apakah orang tua pemuda ini, ketua Cin-Ling-Pai, suka pula kepada ayah bundanya. Dan baik ia sendiri maupun Hui Song adalah anak-anak tunggal!

   "Cin-moi..."

   "Song-ko, maafkan aku. Bagaimana mungkin kita bicara tentang hal itu kalau kita berdua masih sibuk dengan urusan perjuangan yang amat penting? Raja Iblis dan sekutunya telah menduduki kota Sanhaikoan, dan kekuatan mereka semakin membahayakan keselamatan negara. Lebih baik kita selesaikan tugas kita lebih dahulu. Setelah urusan ini selesai, barulah kita sempat berpikir tentang urusan pribadi. Kalau saatnya tiba, sudah sepatutnya kalau orang-orang tua kita yang saling berunding tentang hal itu, bukan kita sendiri. Bukankah begitu, Song-ko?"

   

Pendekar Sadis Eps 41 Pendekar Lembah Naga Eps 54 Pendekar Sadis Eps 25

Cari Blog Ini