Kumbang Penghisap Kembang 18
Si Kumbang Merah Penghisap Kembang Karya Kho Ping Hoo Bagian 18
Ia lalu memandang kepada paman dan bibinya.
"Paman Cia Sun dan bibi, sebetulnya, memang perjalananku sekali ini membawa tugas atau keperluan yang penting, yaitu mencari dua orang yang jahat. Karena tidak menemukan jejak mereka, maka aku mencari ke arah kota raja dan sekalian hendak berkunjung ke sini, selain sudah rindu juga siapa tahu kalau-kalau paman dan bibi dapat membantuku dan mendengar tentang dua orang yang kucari-cari itu."
"Siapakah dua orang jahat yang kau cari itu, Kui Hong? Terus terang saja, sudah lama sekali aku dan bibimu tidak lagi berkecimpung di dunia kang-ouw sehingga kami tidak banyak mengetahui tentang mereka yang hidup di dunia sesat."
Kata Cia Sun.
"Akupun ingin mendengar siapa yang kau cari itu, Kui Hong. Barangkali aku dapat membantu pula."
Kata Menteri Cang Ku Ceng.
"Nama mereka Sim Ki Liong dan T ang Cun Sek."
Cia Sun dan isterinya saling pandang dan mereka menggeleng kepala. Dua buah nama itu tidak ada artinya bagi mereka karena mereka belum pernah mengenalnya. Akan tetapi Cang Tai-jin mengerutkan alisnya dan mengingat-ingat.
"Sim Ki Liong?"
Katanya perlahan sambil mengingat-ingat nama itu.
"Aku seperti pernah mendengar nama ini, akan tetapi kapan dan di mana?"
"Tai-jin tentu pernah mendengarnya karena dia seorang di antara tokoh jahat yang membantu gerakan pemberontakan Kulana."
Kata Kui Hong.
"Ah, benar! Tokoh yang lihai dan berhasil lolos dari kepungan para pendekar. Akan tetapi nama ke dua itu belum pernah aku mendengarnya."
"Tentu saja belum, Cang Tai-jin. Yang bernama Tang Cun Sek itu adalah seorang murid "Cin-ling-pai yang murtad."
"Kui Hong, kenapa engkau bersusah payah mencari dua orang itu?"
Cia Sun bertanya.
"Sim Ki Liong pernah menjadi murid Pulau Teratai Merah dan dia minggat sambil membawa lari pedang pusaka Gin-hwa-kiam dari Pulau Teratai Merah, sedangkan Tang Cun Sek minggat melarikan pedang pusaka Hong-cu-kiam milik kong-kong Cia Kong Liang."
"Aihhh...!"
Tan Siang Wi berseru marah mendengar betapa pedang pusaka milik gurunya dilarikan orang.
"Sungguh kurang ajar benar Tang Cun Sek itu. Murid Cin-Iing-pai berani berbuat semacam itu!"
"Aneh sekali memang,"
Kata pula Cia Sun. Kenapa ada murid Pulau Teratai Merah Juga melarikan sebuah pusaka dari sana?"
Kui Hong mengangguk.
"Sepandai-pandainya orang, sekali waktu dapat saja lengah, paman. Agaknya sekali inipun, kedua kong-kong (kakek), baik kakek Ceng Thian Sin dari Pulau Teratai Merah maupun kakek Cia Kong Liang dari Cin-ling-pai, keduanya lengah sehingga ada orang jahat dapat menyusup masuk menjadi murid, yaitu Sim Ki Liong dan Tang Cun Sek. Aku sudah berjanji kepada kedua kakekku untuk pergi mencari mereka dan merampas kembali kedua pedang pusaka itu."
"Akan tetapi, sampai sekarang engkau belum berhasil menemukan jejak mereka?"
Kui Hong menggeleng kepala.
"Aku bertemu dengan Sim Ki Liong ketika kami membantu Cang Tai-jin membasmi gerombolan Kulana, akan tetapi tidak berhasil merampas kembali pedang pusaka Gin-hwa-kiam dari Pulau Teratai Merah, bahkan dia berhasil meloloskan diri. Adapun jejak Tang Cun Sek akupun belum menemukannya. Sungguh aku akan merasa tidak enak kepada kedua kakekku kalau gagal merampas kembali kedua batang pedang pusaka."
"Hemm, akupun tidak pernah mendengar berita tentang Sim Ki Liong yang tempo hari lolos,"
Kata Cang Tai-jin,"
Akan tetapi aku akan dapat memerintahkan orang-orangku menyebar penyelidik untuk mencari jejak kedua orang itu. Jangan khawatir, Kui Hong, engkau tinggallah di rumah kami di kota raja. Aku yakin orang-orangku yang banyak akan segera dapat menemukan jejak mereka. Yang seorang itu... aku tidak pernah mengenal nama Tang Cun Sek. Akan tetapi she Tang? Hemm, hal itu mengingatkan aku akan suatu peristiwa yang sampai kini masih terasa tidak enak bagiku. Dan mungkin engkau dapat membantuku melakukan penyelidikan di kota raja, Kui Hong."
"Ada peristiwa hebat dan penting apakah yang terjadi di kota raja, Cang Tai-jin?"
Tanya Cia Sun setelah mempersilakan tamunya minum dan makan hidangan yang dikeluarkan oleh para pelayan. Cang Tai-jin minum air teh yang dihidangkan, lalu menarik napas panjang.
"Sebetulnya urusan itu amat menggelisahkan, akan tetapi juga bagi kami mengalami kesukaran untuk memecahkannya, karena urusannya menyangkut dalam istana Sri Baginda Kaisar! Mula-mula terjadi penyelewengan yang dilakukan seorang selir Sri Baginda dengan seorang perwira muda she Tang. Tidak ada yang tahu akan peristiwa itu sampai pada suatu malam, selir itu bersama dayangnya lenyap dari dalam istana. Tak seorangpun menduga bahwa selir itu berhubungan gelap dengan perwira pengawal istana yang bernama Tang Gun itu. Sri Baginda menjadi marah dan sudah disebar orang untuk mencari selir yang hilang, namun sia-sia belaka karena disembunyikan oleh Tang Gun, perwira muda yang menjadi kekasihnya itu."
Cia Sun, isterinya, dan Kui Hong mendengarkan penuh perhatian. Biarpun agaknya tidak ada hubungannya dengan mereka, akan tetapi mereka maklum bahwa kalau Menteri Cang Ku Ceng sudah menceritakan sesuatu hal, maka tentu urusan itu amat penting. Cang Taijin kembali meneguk air teh lalu melanjutkan ceritanya.
"Nah, selagi kaisar marah dan para petugas hampir putus harapan untuk dapat menangkap selir dan dayangnya yang melarikan diri secara aneh, muncullah orang gagah yang bernama Tang Bun An itu. Dan dia telah menangkap Tang Gun dan selir itu, berikut dayangnya. Dia menghadapkan tiga orang itu kepada kaisar yang tentu saja berterima kasih kepadanya. Selir dan dayang itu dihukum menjadi nikouw, dan perwira Tang Gun dihukum buang."
Menteri Cang berhenti pula.
"Ah, Tai-jin, kalau begitu, berarti urusannya sudah selesai, bukan? Yang bersalah sudah ditangkap dan dihukum."
Kata Kui Hong.
"Bukan hanya sampai di situ,"
Kata Menteri Cang.
"Masih ada kelanjutannya dan dalam urusan itu terkandung hal-hal yang aneh. Apakah kalian tidak merasakan sesuatu yang aneh?"
"Hanya ada satu hal yang agak aneh, Tai-jin. Perwira yang melarikan selir kaisar itu she Tang, dan penangkapannya juga seorang yang she Tang. Apakah ini kebetulan saja?"
Tanya Cia Sun. Menteri Cang mengangguk.
"Memang hal itu juga menarik perhatian, dan Sudah pula kuselidiki. Akan tetapi agaknya tidak terdapat hubungan kekeluargaan antara Tang Bun An dan Tang Gun itu, karena keduanya hidup sebatangkara dan tidak berkeluarga. Akan tetapi ada hal lain yang amat menarik. Tang Gun telah dijatuhi hukuman buang, dan ketika hukuman dilaksanakan dan dia dikawal menuju ke tempat pembuangan, di tengah perjalanan dua orang pengawal itu dibunuh orang dan Tang Gun meloloskan diri. Tak seorangpun tahu siapa penolongnya itu."
"Hemm, sungguh menarik sekali!"
Kata Kui Hong.
"Peristiwa itu penuh teka-teki."
"Ada satu hal lain yang kiranya patut kalian ketahui, yaitu bahwa Tang Gun ketika masih perwira pengawal istana, seringkali membual bahwa dia adalah keturunan Si Kumbang Merah."
"Ahhh...!"
Seruan itu keluar dari tiga mulut pendengarnya, hampir berbareng. Nama Ang-hong-cu, (Si kumbang Merah) bukan nama asing bagi mereka, bahkan nama yang tak pernah mereka lupakan. Bagi Cia Sun suami isteri nama itu amat dibenci karena Ang-hong-cu itulah yang pernah memperkosa puteri mereka! Dan bagi Kui Hong, iapun sudah terlalu sering mendengar nama itu, bahkan pernah ia bertemu dengan Ang-hong-cu yang menyamar menjadi Han Lojin, dan Han Lojin inipun malah membantu para pendekar dalam membasmi gerombolan Kulana! Lebih dari itu malah. Han Lojin ini sebagai penyamaran Ang-hong-cu diakui oleh Hay Hay sebagai ayah kandungnya! Dan sekarang, Tang Gun itu mengaku sebagai keturunannya, berarti bahwa Tang Gun adalah seayah dengan Hay Hay. Tentu saja hal itu mengejutkan hati mereka bertiga yang mendengar keterangan Menteri Cang Ku Ceng.
"Kalau begitu, sangat boleh jadi orang yang membebaskan Tang Gun itu adalah Si Kumbang Merah!"
Kata Kui Hong. Pembesar itu mengangguk-angguk.
"Boleh jadi, akan tetapi siapa tahu? Sebelum kami dapat menangkap Tang Gun yang menjadi buronan, kami tidak akan dapat mengetahui siapa yang membebaskannya. Akan tetapi, yang akan kubicarakan ini adalah soal lain. Mengenai Tang Gun, biarlah tak perlu kita pikirkan karena dia telah menjadi pelarian dan buruan pemerintah. Ada hal lain yang memusingkan akan tetapi juga bagiku mengkhawatirkan, yaitu mengenai Tang Bun An."
"Orang yang menangkap Tang Gun dan selir Sri Baginda itu, Tai-jin?"
Tanya Cia Sun.
"Ada apa dengan dia?"
Tanya Kui Hong.
"Tang Bun Ang telah berjasa dengan menangkap selir dan Tang Gun, dan Sri Baginda tentu saja tidak melupakan jasanya. Dia diangkat menjadi seorang panglima yang memimpin seluruh pasukan pengawal istana!"
"Wah, tinggi benar kedudukan itu!"
Seru Cia Sun.
"Hemm, apakah dia memiliki kemampuan untuk menjadi komandan seluruh pasukan pengawal istana?"
Tan Siang Wi ikut pula bertanya. Biarpun ia tidak banyak cakap, namun nyonya ini juga amat tertarik dan mencurahkan perhatian karena yang dibicarakan itu amat penting dan tadi menyangkut pula nama Ang-hong-cu.
"Tentu saja dia tidak diterima begitu saja. Dia telah diuji oleh Sri Baginda dan diadu melawan Perwira Coa, raksasa yang amat kuat dan lihai, jagoan di antara para perwira pengawal. Dan dia menang. Agaknya memang Tang Bun An itu lihai sekali ilmu silatnya, dan memang pantas dia menjadi komandan pasukan pengawal. Semenjak dia menjadi komandan pengawal, keamanan dan ketertiban di istana lebih terjamin."
"Kalau begitu, apa yang menjadi persoalannya?"
Tanya Kui Hong heran. Menteri Cang Ku Ceng menghela napas panjang.
"Sebetulnya urusan ini terlalu kecil untuk ditangani oleh seorang pejabat tinggi, bahkan dapat memalukan. oleh karena itu, para pejabat tinggi di kota raja kalau mendengarnya, pura-pura tidak tahu saja. Akan tetapi, biarpun aku sendiri tidak dapat berbuat apa-apa, namun hatiku selalu gelisah akan keselamatan Sri Baginda Kaisar. Dan semua disebabkan oleh desas-desus yang membocor dari istana bahwa kalau dulu terjadi aib karena penyelewengan seorang selir dengan perwira Tang Gun, maka kini terjadi aib yang lebih besar lagi!"
Sebagai seorang gadis, Kui Hong merasa rikuh dan malu untuk mendesak minta penjelasan mengenai penyelewengan dan aib seperti itu, walaupun hatinya tertarik sekali.
"Ada terjadi penyelewengan apa lagi, Tai-jin?"
Tan Siang Wi yang bertanya.
"Hanya desas-desus bahwa kini terjadi lagi penyelewengan, bukan oleh seorang dua orang selir, bahkan semua selir terlibat, melakukan penyelewengan dengan seorang laki-laki!"
"Ah, bagaimana mungkin itu? Bukankah istana dijaga ketat oleh para pengawal luar dan dalam, bahkan masih banyak pula para thai-kam (laki-laki kebiri) yang berjaga di bagian puteri?"
Seru Cia Sun.
"Itulah sebabnya maka berita itu hanya merupakan desas-desus yang tidak ada buktinya sehingga sukar sekali bagi kami untuk melakukan tindakan. Bahkan para thai-kam sendiri tidak ada yang membenarkan adanya desas-desus itu. Pernah hal itu disinggung secara halus kepada Hong-houw (permaisuri) akan tetapi beliau marah-marah dan mengatakan bahwa selama ia berada di istana, hal kotor itu takkan mungkin terjadi! Nah, kalau permaisuri sendiri sudah mengatakan demikian, apa yang dapat kami lakukan?"
"Tai-jin, kalau demikian halnya, maka mungkin desas-desus itu hanya kabar bohong saja yang timbul karena pengaruh peristiwa yang lalu antara seorang selir dan Tang Gun itu."
"Kurasa tidak sesederhana itu, Kui Hong. Engkau tentu tahu bahwa kalau ada asap, walaupun sedikit, tentu ada apinya. Kalau ada desas-desusnya, tentu ada kenyataannya."
Kui Hong mengerutkan alisnya.
"Maaf, Tai-jin, akan tetapi saya tidak sependapat. Bagaimana kalau desas-desus itu disiarkan dengan sengaja oleh seseorang untuk menjatuhkan fitnah?"
"Kurasa tidak demikian karena desas-desus itu keluar mula-mula dari mulut seorang thai-kam tua yang mati karena sakit. Beberapa saat sebelum mati dia mengeluarkan ucapan itu, bahwa para selir tidak ada yang setia, semua melakukan penyelewengan dengan seorang pria."
"Dan pria itu?"
Kui Hong mendesak.
"Itulah! Thai-kam. itu tidak sempat menceritakan siapa pria itu. Andaikata dia menyebut namapun, siapa percaya? Tanpa bukti, tidak mungkin kami bertindak."
"Dan Tai-jin agaknya sudah mempunyai prasangka siapa pria itu?"
Pembesar itu menghela napas dan menggeleng kepala.
"Aku tidak mau sembarangan menuduh. Hanya menurut penyelidikanku, orang yang bernama Tang Bun An itu memang aneh. Setelah dia menjadi seorang komandan pasukan pengawal, memang dia bersikap baik, sopan santun, tegas dan bahkan dia memberi latihan silat yang baik kepada anggauta pasukannya. Akan tetapi kalau kita menjenguk keadaan di rumah tinggalnya, hmm...!"
"Mengapa, Tai-jin?"
Tanya Cia Sun.
"Dia tidak berkeluarga, akan tetapi di rumahnya penuh dengan wanita muda yang cantik! Bahkan kumpulan wanita-wanita itu lebih banyak dan lebih cantik dari pada para selir Sri Baginda sendiri! Dan menurut keterangan yang kuperoleh, Tang Bun An itu masih terus mengumpulkan wanita, sering mengganti yang lama, dan kabarnya dia memang seorang yang gila wanita!"
"Hemm, tapi apa hubungannya hal itu dengan penyelewengan para selir?"
Tanya Cia Sun.
"Memang tidak ada kaitannya, hanya harus diingat bahwa yang berkuasa bagian keamanan di istana adalah Tang Bun An, dan mengingat bahwa dia adalah seorang yang gila wanita..."
"Berapa usianya, Tai-jin?"
Tiba-tiba Kui Hong bertanya.
"Menurut pengakuannya, sudah lima puluh lima tahun, akan tetapi kelihatannya jauh lebih muda."
"Ihh...!"
Kui Hong berseru dan bangkit berdiri.
"Dialah itu!"
"Siapa, Kui Hong?"
Pembesar itu memandang kepadanya dengan tajam.
"Ang-hong-cu..."
"Ahhh...!"
Cia Sun dan isterinya berseru dan merekapun bangkit berdiri. Menteri Cang Ku Ceng tersenyum dan mengangkat kedua tanganya.
"Harap kalian tenanglah dan silakan duduk kembali."
Kui Hong, Cia Sun dan Tan Siang Wi duduk kembali. Pembesar itu mengangguk kepada Kui Hong dan berkata.
"Dugaanku juga presis seperti dugaanmu, akan tetapi setelah kuteliti kembali, ternyata tidak ada alasan untuk menyangka bahwa Tang Bun An adalah Si Kumbang Merah atau yang dulu menyamar sebagai Han Lojin. Biarpun usianya sebaya dan kesukaannya sama..."
"Akan tetapi ada hal yang belum Tai-jin ketahui. Si Kumbang Merah itu juga she Tang!"
Kata Kui Hong, teringat bahwa Hay Hay adalah she Tang, yaitu nama selengkapnya Tang Hay. Mendengar ini, sepasang mata pembesar itu terbelalak.
"Ah, benarkah itu? Dan nama lengkapnya?"
"Saya tidak tahu nama lengkapnya, Tai-jin, akan tetapi jelas bahwa dia she Tang."
"Hemm, kalau begitu semakin mencurigakan. Akan tetapi samanya nama keturunan bukan merupakan bukti yang sah. Bisa saja orang lain memiliki she yang sama. Aku sudah mengenal Han Lojin, tahu akan ciri-cirinya, dan Tang Bun An ini sama sekali berbeda. dengan Han Lo-jin. Agaknya, Han Lojin lebih kurus dan lebih tinggi, juga Han lojin memelihara kumis dan jenggot yang rapi, akan tetapi Tang Ciangkun ini mukanya halus dan bersih tanpa jenggot ataupun kumis. Juga sikapnya, gerak-gerik dan suaranya sangat berbeda."
"Tai-jin, ada ilmu penyamaran yang akan dengan mudah mendatangkan perbedaan-perbedaan itu. Tinggi orang dapat ditambah dengan ganjal dalam sepatu. Gerak gerik dan sikap dapat dibuat-buat, dan suara dapat diubah kalau mulut mengulum sesuatu. Jenggot dan kumis dapat dicukur..."
"Benar, Kui Hong, akan tetapi andaikata benar bahwa Tang Bun An itu Si Kumbang Merah atau Han Lojin, berarti Tang Gun itu adalah puteranya. Bagaimana mungkin dia menangkap dan mencelakai puteranya sendiri?"
Mereka tertegun dan termenung, akan tetapi hati mereka semua tertarik sekali. Kemudian Kui Hong bertanya,
"Tadi paduka mengatakan bahwa saya. dapat membantu paduka, lalu bantuan apa yang dapat saya lakukan, Tai-jin?"
"Menurut suara hatiku, perubahan dalam istana itu, geger tentang penyelewengan para selir itu terjadi semenjak Tang Bun An menjadi komandan pasukan pengawal. Oleh karena itu, menurut pendapatku, dia pasti terlibat, setidaknya dia mengetahui apa yang terjadi di istana dan kalau benar para selir itu menyeleweng, siapa pria yang berani mati menodai istana itu. Dan aku bertekad untuk menyelidiki keadaan dalam istana, khususnya dalarn istana bagian puteri. Oleh karena itu, hanya engKau lah yang akan dapat menolong dan membantuku, Kui Hong."
"Bagaimana caranya, Tai-jin."
"Hal itu kita rundingkan dulu nanti di rumahku, Kui Hong. Yang penting, bersediakah engkau membantuku, demi keselamatan kaisar dan keamanan negara?"
"Saya bersedia Tai-jin!",
"Bagus, bagus! Legalah hatiku, Kui Hong! Aih, kalau saja engkau selalu dapat berdekatan denganku, sebagai anakku... atau sebagai... mantuku, aku akan selalu merasa aman dan senang."
"Ihh, Tai-jin...!"
Kui Hong berkata tersipu dengan kedua pipi berubah merah.
"Apa salahnya? Cia-Taihiap, bagaimana pendapatmu? Sudah pantaskah kalau Kui Hong menjadi mantuku? Atau kalau ia tidak cocok dengan puteraku,bagaimana kalau ia menjadi anak angkatku?"
Cia Sun saling pandang dengan isterinya dan mereka mengangguk-angguk.
"Paduka adalah seorang Menteri yang terkenal pandai dan bijaksana, dan Kui Hong adalah seorang gadis pendekar yang gagah perkasa dan budiman, tentu saja sudah pantas dan cocok sekali, Tai-jin!"
Kata Cia Sun dan tentu saja Kui Hong menjadi semakin tersipu malu. Setelah bercakap-cakap sampai tengah hari, Menteri Cang lalu berpamit dan dia mengajak Kui Hong melanjutkan perjalanan berkuda menuju ke kota raja. Kui Hong yang menganggap bahwa tugas yang akan diserahkan kepadanya amat penting, mengikuti pembesar itu dengan hati yang agak tegang karena ia akan berurusan dengan istana kaisar!
Biarpun dia tahu bahwa dirinya terancam bahaya besar di tangan tiga orang pendeta Lama yang sakti itu, namun Pek Han Siong tidak merasa gentar, bahkan dia berbesar hati. Tiga orang pendeta Lama yang memiliki ilmu sihir yang amat berbahaya itu dapat dia hadapi dengan perlindungan batu giok mustika yang dia terima dari Hay Hay, dan di samping itu, diapun yakin bahwa Hay Hay selalu membayanginya dan selalu siap untuk membantunya apa bila dirinya terancam bahaya maut. Dan sebagai seorang kawan, dia dapat mengandalkan kemampuan Hay Hay. Kalau mereka berdua yang maju, maka dia sama sekali tidak gentar menghadapi lawan yang bagaimanapun. Han Siong bahkan merasa gembira mengingat akan ajakan Hay Hay untuk bertualang ke Tibet.
Si Kumbang Merah Penghisap Kembang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Memang, urusannya dengan Dalai Lama harus diselesaikan dengan baik. Kalau tidak, selama hidupnya dia akan dibayangi ancaman dari Tibet yang agaknya tidak pernah mau menghentikan usaha mereka untuk menculik dan membawanya ke Tibet untuk dijadikan Dalai Lama! Dan bertualang bersama seorang sahabat seperti Hay Hay tentu akan menggembirakan, bukan hanya karena Hay Hay memiliki ilmu kepandaian yang boleh diandalkan, juga memiliki ilmu sihir yang kuat, akan tetapi juga dia sudah mengenal Hay Hay sebagai,seorang pendekar yang gagah perkasa dan baik budi walaupun mata keranjang tidak ketulungan lagi. Dia mulai mengenal Hay Hay. Mata keranjang memang, akan tetapi tidak pernah melakukan pelanggaran susila.
Akan tetapi, kegembiraan itu segera lenyap kalau dia teringat kepada Ouw Ci Goat, teringat akan peristiwa yang terjadi di malam jahanam itu. Biarpun di luar kesadarannya, biarpun dia telah menggauli Ci Goat di luar kehendaknya dan di bawah pengaruh ilmu hitam yang jahat, namun dia harus bertanggung jawab! Dan inilah yang amat menyusahkan hatinya. Dia harus mengawini Ci Goat untuk menebus aib yang diderita gadis itu, akan tetapi hal itu akan dilakukannya secara terpaksa karena sesungguhnya, walaupun dia merasa suka dan kasihan kepada Ci Goat, namun dia tidak mencintanya. Han Siong mengira bahwa perjalanan menuju Tibet itu tentu akan memakan waktu yang lama sekali. Akan tetapi, sungguh di luar dugaannya bahwa ketika mereka tiba di perbatasan Tibet, tiga orang pendeta Lama itu mengajaknya menuju ke sebuah bukit, bukan melanjutkan perjalanan ke barat.
Ketika tiga orang pendeta Lama itu mengatakan hal ini, mereka tiba di sebuah dusun yang indah di perbatasan Tibet. Dusun ini bernama Wang-kan di kaki Pegunungan Ning-jing-san, di sebelah timur Sungai Lan-cang (Mekong). Tiga orang pendeta Lama itu mengajaknya singgah di sebuah kedai makan di dusun Wang-kan itu, sebuah kedai yang menjual makanan cia-Ji (pantang daging). Ketika tiga orang pendeta Lama itu bersama Han Siong memasuki kedai yang cukup besar itu, para pelayan segera menyambut mereka dengan sikap hormat. Agaknya, tiga orang pendeta Lama ini tidak asing di situ dan melihat sikap para pelayan itu, mereka nampak takut-takut sehingga Han Siong dapat menduga bahwa tiga orang pendeta ini merupakan tokoh-tokoh yang ditakuti orang di daerah itu. Pada hal, kota Lasha, ibu kota Tibet di mana Dalai Lama tinggal, masih cukup jauh dari situ.
"Hidangkan sayur dan roti terbaik, kami lapar sekali. Dan arak yang tua, hawanya begini dingin dan kami ingin menghangatkan badan."
Kata Pat Hoa Lama, orang termuda di antara tiga pendeta Lama itu. Han Siong tidak merasa heran mendengar pendeta itu memesan minuman arak, minuman yang biasanya dipantang oleh para pendeta. Selama dalam perjalanan, tiga orang pendeta Lama itu bukan saja minum arak, bahkan tidak memantang daging pula! Dan para pelayah di kedai makan itupun agaknya tidak merasa heran. Hal ini saja sudah aneh dan tidak sewajarnya, pikir Han Siong. Memang banyak hal yang mencurigakan pada tiga orang pendeta Lama ini.
Pernah di suatu malam, ketika Han Siong pura-pura pulas dia mendengar tiga orang pendeta Lama ini membicarakan wanita, pengalaman mereka dengan wanita dan dia mendapat kesan bahwa merekapun agaknya tidak pantang menggauli wanita! Orang-orang macam apakah para pendeta Lama ini, yang mengaku sebagai utusan Dalai Lama? Pada hal menurut apa yang pernah didengarnya, Dalai Lama dan para pendeta Lama di Tibet adalah orang-orang yang memusatkan seluruh kehidupan mereka untuk urusan rohani, bukan saja pantang makanan barang berjiwa dan pantang minuman keras, juga pantang bergaul dengan wanita dan menjauhi kesenangan dunia. Akan tetapi tiga orang pendeta Lama ini makan daging, minum arak dan bicara tentang wanita! Akan tetapi tentu saja Han Siong pura-pura tidak mempedulikan itu semua.
Setiap malam, dia selalu merasa betapa ada daya tarik yang amat kuat, dan dia tahu bahwa pada saat seperti itu, tiga orang pendeta Lama itu memperkuat pengaruh ilmu hitam mereka kepada dirinya dan diapun berpura-pura jatuh ke bawah pengaruh mereka. Kalau ada dorongan agar dia tidur pulas, dia, pun pura-pura tidur! Padahal, dengan bantuan pengaruh batu giok mustika, dia mampu menolak semua pengaruh ilmu hitam itu, diperkuat oleh tenaga saktinya sendiri. Ketika hidangan dikeluarkan, tanpa ragu dan tanpa rikuh lagi Han Siong juga ikut makan, diam-diam dia menduga di mana adanya Hay Hay dan apakah kawan itupun sedang makan. Dia kagum bukan main karena selama dalam perjalanan ini, tak pernah dia melihat bayangan Hay Hay. Demikian pandainya Hay Hay membayangi perjalanan mereka sehingga sama sekali tidak sampai terlihat atau terdengar oleh mereka yang dibayangi.
Selagi mereka makan dan hampir selesai, tiba-tiba masuklah seorang tamu baru dan melihat betapa tiga orang pendeta itu menoleh dengan mata terbelalak kagum, diapun melirik. Dan diapun kagum. Gadis yang memasuki kedai itu memang pantas untuk dikagumi setiap orang pria. Seorang gadis yang bentuk tubuhnya tinggi semampai dan padat, dengan lekuk lengkung yang sempurna, dada bidang membusung, leher panjang, pinggang ramping dan pinggul besar dan bulat. Rambutnya yang hitam panjang dikuncir dua seperti kebiasan gadis Tibet, dan wajahnya manis sekali. Kulit mukanya putih kemerahan dan segar, sepasang mata sipit namun sinarnya tajam, sepasang alis yang hitam sekali, subur namun bentuknya kecil panjang melengkung, hidungnya agak besar seperti hidung kebanyakan orang Tibet. Namun mulutnya kecil, dengan sepasang bibir yang penuh dan kemerahan karena sehat.
Pakaiannya sederhana dan ringkas, pakaian wanita Tibet pada umumnya. Yang menarik, di ikat pinggangnya, terselip sebatang pecut yang biasa dipergunakan orang untuk menggembala ternak. Han Siong yang melirik merasa heran sekali. Apakah gadis yang usianya paling banyak delapan belas tahun ini seorang gadis penggembala? Akan tetapi, ketika ia melangkah masuk ke dalam kedai makan itu, langkahnya bebas dan tegap, sama sekali tidak malu-malu seperti kebiasan gadis dusun. Bahkan sepasang mata yang sipit itu dengan terbuka menatap ke kanan kiri dan memandang kepada tiga orang pendeta Lama penuh perhatian, kemudian ketika gadis itu memandang kepadanya sepasang alis yang hitam subur itu berkerut. Hanya sebentar karena gadis itu sudah disambut oleh seorang pelayan tua yang tersenyum ramah kepadanya.
"Heii, nona Mayang! Engkau sudah kembali lagi dari mengantar domba-domba itu menyeberang Sungai Lan-cang? Silakan duduk, hendak makan sayur labu kesukaanmu itu?"
Gadis itu tersenyum dan Han Siong semakin kagum. Indah sekali deretan gigi seperti mutiara teratur rapi itu ketika gadis yang disebut Mayang itu tersenyum.
"Benar, paman, sudah menyeberang dengan selamat. Ya, aku ingin makan dengan sayur labu, dan tolong beri anggur manis."
Pelayan itu mengangguk-angguk dan kini Han Siong melihat betapa tiga orang pendeta Lama itu berbisik-bisik di depan nya. Dia pura-pura tidak melihat atau mendengar, seperti orang yang setengah sadar, akan tetapi diam-diam dia memperhatikan dan mendengar Pat Hoa Lama yang dia tahu paling cabul dan mata keranjang itu berbisik kepada dua orang temannya.
"Wah, suheng, tak kusangka di sini terdapat yang seperti ia! Hebat... ah, sebaiknya kalau malam ini kita bermalam di sini semalam. Bagaimana?"
Gunga Lama yang paling tua di antara mereka, menyeringai!
"Dasar engkau rakus dan mata keranjang, sute. Akan tetapi baiklah, akan tetapi harus aku yang pertama kali menghisap madu kembang itu."
Mereka bertiga menyeringai dengan genit dan diam-diam Han Siong. mengerahkan tenaga batinnya untuk bersabar agar mukanya tidak membuka rahasia hatinya. Biarpun dia tidak mengenal gadis itu, akan tetapi kalau tiga orang monyet tua ini hendak mengganggunya, terpaksa dia akan turun tangan menghalangi mereka. Biar sandiwaranya gagal, tidak mengapa karena bagaimanapun juga, dia tidak rela membiarkan kekejian terjadi di depan matanya tanpa dia melakukan sesuatu untuk menentangnya. Setelah selesai makan, Pat Hoa Lama bangkit dari tempat duduknya dan dengan lagak seorang pendeta sejati, diapun menghampiri meja gadis manis itu dan merangkap. kedua tangan di depan dada sambil membungkuk.
"Omitohud..., semoga engkau dilimpahi berkah yang membuat hidupmu bahagia, nona."
Gadis itu yang sedang makan mengangkat mukanya dan memandang kepada pendeta Lama yang berdiri di depannya. Han Siong melirik dan diapun melihat betapa sepasang mata pendeta Lama itu mencorong penuh wibawa, maka tahulah dia bahwa Pat Hoa Lama telah menggunakan sihir untuk mempengaruhi gadis itu! Akan tetapi, dia belum berani melakukan sesuatu, hendak melihat bagaimana perkembangan selanjutnya. Kalau sudah mencapai titik berbahaya bagi gadis itu, barulah dia akan turun tangan dengan resiko ketahuan permainan sandiwaranya. Dia melihat gadis itu mengejap-ngejapkan matanya yang sipit, lalu gadis itupun berkata dengan lembut.
"Maafkan aku, Lo-Suhu. Sayang sekali aku belum menerima upah menggiring sekelompok domba itu menyeberang sehingga hari ini aku tidak mungkin dapat menyerahkan sumbangan kepadamu. Uangku hanya tinggal cukup untuk pembayar makanan ini. Maaf, dan lain kali. saja."
Pat Hoa Lama kelihatan tersenyum dan mengangguk-angguk.
"Omitohud, nona memang dermawan dan bijaksana. Tidak mengapa, nona. Malam nantipun masih belum terlambat kalau nona hendak menyerahkan kebaktian. Pinceng menanti di gubuk peristirahatan, di luar pintu gerbang barat dusun ini"
"Nah, sampai malam nanti, nona. Kami tunggu!"
Dalam kalimat terakhir ini terkandung getaran kuat yang terasa pula oleh Han Siong. Dia melihat nona itu mengangguk dan diam-diam Han Siong marah bukan main. Dia dapat menduga bahwa tentu gadis itu telah terpengaruh sihir dan mudah diduga bahwa malam nanti gadis itu tentu akan datang ke tempat yang dijanjikan Pat Hoa Lama, datang seperti seekor kijang muda menyerahkan diri kepada sekelompok srigala yang buas dan haus darah!
Biarlah, pikir Han Siong. Kalau sampai terjadi gadis itu datang, dan kelihatan terancam bahaya, dia akan turun tangan. Sukur kalau Hay Hay yang membayangi mereka tahu pula akan bahaya yang mengancam gadis Tibet bernama Mayang itu dan Hay Hay yang turun tangan menyelamatkannya agar dia tidak usah membuka rahasia permainan sandiwaranya. Tiga orang pendeta Lama itu mengajak Han Siong bangkit dan mereka menghampiri meja kasir. Ketika Han Siong melirik, dia melihat gadis itu justeru sedang mengamati mereka dengan penuh perhatian. Celaka, pikir Han Siong gemas, tentu gadis itu benar-benar telah terpengaruh sihir! Pat Hoa Lama yang agaknya mengenal baik pemilik kedai itu, setelah membayar lalu bertanya lirih kepada pemilik kedai makan.
"Siapakah gadis penggembala itu?"
"Ah, Lo-Suhu maksudkan Mayang? Ia bukan gadis dusun ini dan pekerjaannya adalah mengawal atau menggiring kelompok domba atau ternak lain dari satu ke lain daerah. Ia terkenal cekatan dan dapat dipercaya, juga pandai sekali menggiring ternak yang ratusan ekor banyaknya. Ia memang gadis luar biasa. Kenapa Lo-Suhu bertanya tentang Mayang? Ia puteri seorang janda, begitu kami dengar, sudah tidak berayah lagi."
"Omitohud, kasihan sekali,"
Kata Pat Hoa Lama sambil merangkap kedua tangan depan dada. Kami hendak mendoakannya, dan siapa tahu, barangkali kami dapat mengabarkan tentang pekerjaannya sehingga akan banyak saudagar ternak yang akan menggunakan tenaganya."
Mereka lalu meninggalkan kedai itu dan keluar dari dusun Wang-kan dan ketika tiba di luar pintu gerbang, dari jauh nampaklah sebuah gubuk yang berdiri di tepi jalan, di luar sebuah hutan kecil.
Agaknya gubuk ini dibangun penduduk Wangkan sebagai tempat peristirahatan. Agaknya orang-orang daerah itu memang memiliki kebiasaan membangun bangunan gubuk sederhana di luar dusun sebagai tempat peristirahatan bagi para pendatang yang tidak mempunyai keluarga di dusun itu, atau sebagai tempat peristirahatan bagi para pedagang atau perantau yang kebetulan lewat di dusun itu. Gubuk itu sederhana sekali, lantainya tanah dan hanya ada sebuah ruangan dan sebuah kamar. Di lantai tanah kering itu terdapat jerami kering dan di dalam kamar terdapat sebuah dipan kayu sederhana dan kasar, ditilami jerami kering sebagai kasurnya. Biarpun sederhana tempat itu cukup bersih. Agaknya para pendatang yang mempergunakan tempat itu pun tahu diri dan selalu membersihkan tempat itu sebelum meninggalkannya.
"Kita berhenti di sini dan malam ini kita bermalam di gubuk ini."
Kata Gunga Lama kepada Han Siong. Han Siong menundukkan mukanya dan mengangguk. Sikapnya amat penurut dan taat seperti orang yang kehilangan semangat sehingga tiga orang pendeta Lama itu merasa lega.
"Kau mengasolah di dalam kamar itu, Pek Han Siong. Malam nanti engkau tidur di ruangan ini karena kamar itu kami pakai."
Kata Pat Hoa Lama sambil menyeringai. Kembali Han Siong mengangguk dan diapun memasuki kamar itu dan merebahkan diri di atas dipan berkasur jerami kering. Dengan pendengarannya yang terlatih tajam itu dia mengetahui bahwa tiga orang pendeta Lama itu duduk bersila di atas jerami yang menilami lantai tanah di ruangan dan mereka berbisik-bisik.
Han Siong mengerahkan pendengarannya dan kembali perutnya terasa panas karena mereka itu membicarakan gadis bernama Mayang tadi! Mereka itu menunggu gadis itu bagaikan segerombolan srigala yang sudah mengilar melihat seekor kijang yang datang mendekati tempat persembunyian mereka. Han Siong turun dari dipan, hati-hati agar jangan sampai terdengar mereka. Tiga orang itu merasa yakin bahwa dia berada di bawah pengaruh ilmu hitam mereka, maka tentu saja mereka lengah dan tidak menyangka bahwa dia sebetulnya masih sadar sepenuhnya, berkat pengaruh batu giok mustika yang memperkuat daya tahannya sendiri. Dia lalu mendekati bilik dan dari celah-celah bilik dia mengintai ke luar, ke arah belakang gubuk itu. Dan kebetulan sekali dia melihat bayangan biru berkelebat ke atas sebatang pohon besar tak jauh dari gubuk itu. Hay Hay! Siapa lagi kalau bukan kawannya itu yang meloncat ke atas pohon besar itu?
Tempat yang baik sekali untuk membayangi mereka yang berada di dalam gubuk. Lega rasa hati Han Siong melihat kawannya begitu dekat Kalau gadis bernama Mayang itu datang tentu Hay Hay akan melihatnya dan bukan Hay Hay kalau tidak menjadi "hijau"
Matanya melihat gadis yang demikian manisnya, dan sudah pasti Hay Hay tidak akan tinggal diam saja melihat seorang gadis semanis itu memasuki gubuk. Dia tentu akan mengintai dan kalau melihat gadis itu terancam bahaya, sudah pasti Hay Hay akan turun tangan menolong. Dan dia tidak perlu lagi membuka rahasia permainan sandiwaranya! Dengan hati terasa lega dan tenang Han Siong lalu merebahkan dirinya lagi di atas dipan dan tak lama kemudian diapun tidur nyenyak. Tidak keliru dugaan Han Siong. Bayangan biru yang berkelebat ke atas pohon besar itu memang Hay Hay.
Berhari-hari pemuda ini membayangi ke manapun tiga orang pendeta Lama membawa Han Siong pergi. Seringkali dia harus mengomel panjang pendek karena dia sungguh harus mengalami banyak penderitaan dengan pekerjaannya yang tidak enak ini. Karena dia harus membayangi dengan hati-hati, maka dia tidur di mana saja asal dapat mengamati mereka. Kalau mereka itu enak-enak tidur di rumah penginapan atau di rumah keluarga di dusun, dia terpaksa harus tidur di udara terbuka untuk mengamati mereka. Kalau mereka makan di kedai, dia harus puas makan seadanya dan membeli roti dan daging kering untuk bekal. Tadipun ketika Han Siong dan tiga orang pendeta itu makan di kedai, Hay Hay terpaksa mencari penjual makanan dan membeli lalu membungkus makanan itu untuk bekal.
Dan sekarang, mereka berhenti lagi, tidak meneruskan perjalanan, bahkan memasuki gubuk peristirahatan umum itu! Kembali dia harus mencari tempat persembunyian sambil mengamati dan melihat sebatang pohon besar tak jauh dari gubuk itu diapun meloncat ke atas pohon dan bersembunyi di balik daun-daun pohon yang lebat. Dia duduk nongkrong di atas dahan, bersembunyi di balik daun-daun dan terpaksa menggaruk-nggaruk leher ketika ada semut merah menggigitnya. Dia menggaruk leher, memelintir semut itu dan mengomel, lalu mengeluarkan buntalan makanan yang dibelinya tadi. Mana ada enaknya makan sambil nongkrong di dahan pohon yang banyak semutnya itu? Apa lagi kalau makanan itu kue atau roti model Tibet yang sederhana dan rasanya hambar!
"Hemm, Pek Han Siong, kalau kelak engkau tidak bersikap baik kepadaku, engkau sungguh seorang manusia yang tidak mengenal budi!"
Dia mengomel sambil makan roti yang hambar itu,sekedar untuk mengisi perutnya yang menjerit-jerit kelaparan.
"Untuk kepentinganmu aku harus bersusah-payah begini. Hemm...!"
Akan tetapi kalau dia mengenang nasib Pek Han Siong, timbul perasaan iba di dalam hatinya. Memang, dia sendiri juga terseret ke dalam banyak kesengsaraan hanya karena dia harus menggantikan tempat si anak ajaib itu!
Akan tetapi dibandingkan dengan apa yang menimpa diri Han Siong, sungguh nasibnya masih jauh lebih baik. Memang dia pernah difitnah, disangka menjadi jai-hwa-cat (penjahat pemerkosa wanita), akan tetapi sangkaan itu segera terhapus setelah ternyata bahwa pelakunya bukan dia, melainkan Ang-h.ong-cu Si Kumbang Merah yang ternyata adalah ayah kandungnya sendiri itu! Han Siong bernasib jauh lebih buruk. Adik kandungnya, Pek Eng menjadi korban Si Kumbang Merah. Dan sejak kecil, Han siong dikejar-kejar para pendeta Lama untuk diculik dan dipaksa menjadi pendeta! Kemudian, baru saja Han siong telah "memperkosa"
Atau menggauli Ci Goat di luar kesadarannya, dan dia belum tahu bahwa gadis yang digaulinya itu telah tewas di tangan tiga orang pendeta Lama yang terkutuk itu!
Kasihan Han siong yang tentu kini dikejar-kejar perasaan berdosa terhadap Ci Goat. Pemuda itu memang pantas dibantu dan ditolong. Pikiran ini mengusir kekesalan hati Hay Hay dan mendadak saja roti Tibet yang tadinya hambar itu kini terasa lezat! Memang, bumbu yang paling sedap untuk makanan adalah perut lapar dan hati tenteram! Setelah makan, dan melihat betapa sepinya gubuk di bawah itu, Hay Hay lalu turun dari pohon. Dengan hati-hati sekali dan dengan cara menyusup-nyusup, bahkan kadang-kadang dia harus bertiarap dan merangkak-rangkak, dia mendekati gubuk. Dengan pendengarannya yang tajam, dari luar gubuk dia dapat menangkap pernapasan lembut dari Han Siong yang tidur nyenyak di dalam kamar, dan suara tiga orang pendeta Lama itu bercakap-cakap diiringi tawa kecil di ruangan.
Dia lalu mundur lagi dan naik ke pohon. Han Siong tidur dan tiga orang pendeta itupun beristirahat. Agaknya mereka akan bermalam di gubuk itu, pikirnya. Diapun harus beristirahat. Malam nanti dia harus berjaga, maka sore ini sebaiknya tidur, seperti Han Siong! Dan tak lama kemudian Hay Hay pulas tanpa dengkur. Hal ini penting sekali karena kalau sampai dia mendengkur dalam tidurnya, tentu akan mudah didengar orang dan tempat persembunyiannya tidak lagi menjadi tempat persembunyian! Malam itu udara dingin bukan main dan kembali Hay Hay menyumpah-nyumpah ketika melihat api unggun dinyalakan orang di bawah di gubuk itu Han Siong enak-enak di gubuk dan dihangatkan api unggun.
Dia harus menahan dingin di dalam pohon yang banyak semut dan nyamuknya! Karena daun-daun di sekelilingnya mendatangkan hawa yang lebih dingin, diapun lalu turun dari atas pohon dan duduk bersembunyi di balik batang pohon. Tanah mengeluarkan hawa yang hangat, tidak sedingin di antara daun-daun itu. Malam itu dingin dan sunyi, akan tetapi langit bersih, penuh bintang sehingga cuaca tidak begitu gelap. Tiba-tiba Hay Hay terkejut dan cepat menyelinap ke balik batang pohon, seperti hendak mengecilkan tubuhnya agar jangan kelihatan orang. Dia kaget sekali karena tidak menyangka-nyangka bahwa di tempat sunyi itu akan ada orang lewat. Dia mengintai dari balik pohon dan hampir saja mulutnya mengeluarkan siulan saking kagumnya. Cuaca remang-remang.
Dia tidak dapat melihat wajah itu dengan jelas, akan tetapi garis-garis lengkung tubuh itu nampak jelas. Tubuh seorang wanita! Jelas masih muda. Pinggang itu! Dada itu! Pinggul itu! Dia terbelalak
(Lanjut ke Jilid 17)
Ang Hong Cu (Seri ke 10 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 17
kagum. Seorang wanita muda dengan bentuk tubuh yang hebat! Sempurna! Belum pernah dia melihat seorang wanita muda dengan tubuh sesempurna itu. Agak jangkung, ramping dengan garis lengkung yang indah. Dan lenggangnya. Bukan main! Akan tetapi, kekagumannya seketika lenyap ketika dia melihat wanita muda itu melenggang-lenggok ke arah gubuk! Celaka, pikirnya. Wanita muda itu agak nya tidak tahu siapa yang berada di dalam gubuk. Seperti seekor kelinci memasuki guha di mana terdapat tiga ekor harimau kelaparan yang tentu akan merobek-robek tubuh dan mengganyang dagingnya yang lunak!
Dia hendak memperingatkan, namun wanita itu sudah terlampau dekat dengan gubuk. Kalau dia bersuara, tentu akan terdengar dari dalam. Diapun bangkit dan bermaksud hendak meloncat dan menangkap wanita itu dan dibawanya pergi menjauhi gubuk. Akan tetapi tiba-tiba dia tertegun dan menahan gerakannya, karena dia melihat gadis yang "lemah"
Itu, disangkanya lemah karena melihat lenggang-lenggok yang demikian lemah gemulai, kini mengeluarkan sebatang cambuk dari ikat pinggangnya, dan gadis itu berdiri di depan gubuk, tangan kanan memegang gagang cambuk dan tangan kiri bertolak pinggang! Sikapnya sama sekali tidak menunjukkan kelemahan atau rasa takut, bahkan ada sikap menantang! Pada saat itu, terdengar suara dari dalam gubuk, suara parau seorang di antara tiga pendeta Lama itu, suara yang mengandung getaran penuh wibawa.
"Omitohud...! Engkau telah datang, nona Mayang? Masuklah, kami sudah sejak tadi menanti kunjunganmu, nona manis. Kami sudah siap untuk melayanimu!"
Hay Hay mengerutkan alisnya. Benarkah itu suara seorang di antara tiga pendeta Lama itu? Kata-katanya begitu genit dan mengandung kecabulan! Apakah wanita ini seorang tokoh sesat yang menjadi kawan mereka? Ataukah seorang calon korban yang datang karena pengaruh sihir? Karena jelas bahwa suara tadi didukung kekuatan sihir yang dahsyat! Akan tetapi, wanita itu tetap berdiri tegak dan kini terdengar suaranya, nyaring lantang dan terdengar merdu.
"Hemm, tiga orang pendeta Lama palsu! Memang aku telah datang berkunjung memenuhi panggilan kalian. Keluarlah kalian untuk menerima hajaran, karena pendeta-pendeta palsu macam kalian lebih berbahaya dari pada penjahat yang paling besar!"
Sebagai penutup kata-katanya, wanita muda itu menggerakkan tangan kanannya dan terdengarlah bunyi ledakan yang nyaring dari cambuknya. Hay Hay terbelalak kagum! Suaranya merdu, nyaring dan gagah! Dan cambuk yang dapat mengeluarkan ledakan macam itu tentu digerakkan oleh tangan yang mengandung tenaga sin-kang hebat! Apa lagi nampak betapa ujung cambuk itu ketika meledak mengeluarkan asap!
"Ehhh...???"
Dari dalam gubuk terdengar seruan kaget dan tak lama kemudian, pintu gubuk itu terbuka. Cahaya api unggun kini menyorot keluar dan kembali Hay Hay harus menahan mulut untuk tidak bersiul nyaring.
Kini seberkas cahaya jatuh menimpa wajah wanita itu dan dia terpesona! Wajah gadis itu serasi dengan keindahan bentuk badannya. Manis sekali! Dan usianya nampak begitu muda! Kini muncullah tiga orang pendeta Lama itu dan mereka melangkah maju menghampiri wanita itu dengan mata terbelalak penuh keheranan. Terutama sekali Pat Hoa Lama yang tadinya mengira bahwa dia telah berhasil menguasai Mayang dengan ilmu sihirnya. Karena penasaran, begitu berhadapan dengan gadis itu, Pat Hoa Lama mengerahkan kekuatan sihirnya melalui pandang mata, gerakan tangan dan suaranya. Matanya menatap tajam kedua mata gadis itu, tangan kirinya membuat gerakan bergoyang kekanan kiri dan suaranya terdengar lembut namun penuh kekuatan yang menggetarkan hati, bahkan terasa pula oleh Hay Hay yang mengintai dari balik batang pohon.
"Nona Mayang, engkau berhadapan dengan kami, tiga orang yang memiliki kekuatan jauh lebih besar darimu! Kami perintahkan padamu, berlututlah dan menyerah, engkau akan merasa berbahagia! Huahhhh...!"
Teriakan terakhir itu amat kuat. Hay Hay terkejut karena dia mengira bahwa tentu gadis itu tidak akan mampu bertahan menghadapi serangan ilmu sihir yang mengandung kekuatan gabungan tiga orang itu. Akan tetapi, dia terbelalak melihat gadis itu tertawa, suara ketawanya merdu akan tetapi juga mengerikan karena dalam keadaan seperti itu, gadis itu masih mampu tertawa mengejek dan kembali cambuknya mengelukarkan suara ledakan-ledakan yang membuyarkan pengaruh sihir yang dilontarkan Pat Hoa Lama.
"Heh-heh-hi-hi-hik! Kalian ini tiga ekor monyet tua masih berani menjual lagak di depanku? Apakah kalian telah menjadi tiga ekor monyet yang hendak membadut? Tidak laku di sini, sama sekali tidak laku!"
Hampir saja Hay Hay bersorak! Dia begitu gembira sampai mulutnya terasa melebar karena dia tertawa bergelak tanpa mengeluarkan suara, sampai perutnya terasa keras dan kaku! Entah ilmu apa yang dikuasai gadis manis itu, akan tetapi yang jelas, sihir tiga orang pendeta Lama itu sama sekali tidak mampu menguasainya, mempengaruhi apa lagi menundukkannya! Tiga orang pendeta Lama itu agaknyapun menyadari akan hal ini. Mereka menjadi marah sekali.
"Bagus, kiranya engkau ini siluman betina cilik yang banyak bertingkah! Engkau tidak mau dihadapi dengan lembut, agaknya minta kami mempergunakan kekerasan!"
Kata Gunga Lama dan sekali tangannya bergerak,
Tongkatnya yang memakai kelenengan hitam mengeluarkan bunyi berkelening nyaring dan ujung tongkat itu sudah menyambar ke arah kepala gadis itu. Hebat serangan ini karena pendeta yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa itu memiliki tenaga yang dahsyat. Bahkan suara kelenengan yang berdentingan nyaring itu saja sudah merupakan suatu serangan yang dapat membingungkan lawan. Gadis itu dengan gerakan yang lincah, juga indah karena memang bentuk tubuhnya elok, ketika mengelak itu pinggang yang ramping seperti batang pohon yang liu mematah ke samping dan pinggul yang menonjol besar dan bulat itu seperti menari, dan dari samping, cambuknya meledak menyambar dengan serangan balasan yang tak kalah hebatnya ke arah punggung lawan! Agaknya, gadis itu memperlakukan Gunga Lama seperti seekor di antara ternak yang digembalanya, yang nakal dan tidak penurut, maka yang dicambuk adalah punggungnya.
"Tarrr...!"
Akan tetapi, dengan memutar tongkatnya, Gunga Lama sudah berhasil menangkis pecutan itu dan diapun menyerang lagi. Terjadilah perkelahian seru antara kedua orang ini. Melihat pertempuran antara dua orang itu, baru beberapa jurus saja Hay Hay dapat menilai bahwa ternyata gadis itu dalam hal ilmu silat tidaklah selihai kekuatan sihirnya. Agaknya, menandingi Gunga Lama itu saja akan sukarlah baginya untuk menang bahkan mungkin akhirnya ia akan kalah. Dan dua orang pendeta Lama yang lainnya belum turun tangan! Diam-diam dia merasa khawatir dan bingung. Kalau dia muncul menolong gadis itu, tentu rahasia Han Siong akan ketahuan.
Kalau tidak menolong, tentu gadis itu akhirnya tertawan dan dia bergidik ngeri membayangkan apa yang akan terjadi kalau gadis itu tertawan oleh tiga orang pendeta yang ternyata jahat itu! Kini barulah dia tahu bahwa tiga orang pendeta Lama itu bukanlah orang-orang suci seperti yang mereka tonjolkan, melainkan orang-orang jahat yang bahkan tidak pantang mengganggu seorang gadis remaja, dengan niat yang jahat dan cabul! Melihat betapa dua orang pendeta Lama yang lain menonton sambil siap dengan senjata mereka, Hay Hay lalu menyelinap pergi mendekat gubuk dari belakang dan tak lama kemudian, nampaklah api besar membakar gubuk itu! Dia tadi mendekati bilik dari mana dia tadi mendengar dengkur atau pernapasan Han Siong yang tertidur, dan menempelkan mulut pada bilik itu dia berbisik,
"Han Siong pemalas kau! Bangun, gubuk ini akan kubakar untuk menolong gadis itu di luar!"
Han Siong sudah tergugah oleh suara ledakan-ledakan cambuk tadi dan mendengar suara Hay Hay ini, dia merasa girang bukan main. Memang diapun dapat menduga bahwa suara cambuk itu tentulah cambuk gadis yang siang tadi berada di rumah makan.
"Lakukanlah!"
Bisiknya kembali. Hay Hay membakar gubuk itu dari belakang dan begitu melihat api berkobar, Han Siong segera berteriak-teriak,
"Kebakaran...! Ahh, sam-wi Lo-Suhu..., kebakaran!"
Dia berlari keluar seperti orang kebingungan, lalu masuk kembali, presis kelakuan seorang yang sudah kehilangan akal karena berada di bawah pengaruh sihir. Janghau Lama dan Pat Hoa Lama yang sudah siap untuk mengeroyok dan menangkap Mayang, terkejut dan melihat Han Siong masuk kembali ke dalam gubuk yang terbakar, mereka menjadi khawatir sekali. Pemuda itu amat penting baginya, lebih penting daripada gadis yang hanya akan menjadi permainan mereka belaka. Maka mereka lalu berlari meninggalkan Gunga Lama yang masih berkelahi melawan Mayang untuk menolong Han Siong dari ancaman api yang mengamuk.
Mayang ternyata bukan seorang gadis yang bodoh. Begitu bertanding melawan Gunga Lama, diam-diam ia terkejut dan juga khawatir. Di luar perkiraannya, lawannya itu tangguh bukan main! iapun tahu bahwa ia masih kalah dalam hal tenaga, dan melawan seorang saja, banyak kemungkinan ia akan kalah, apa lagi kalau sampai mereka. bertiga maju bersama. Ia memang sudah memperhitungkan dan sudah siap mencari kesempatan untuk menyelamatkan diri sebelum dua orang pendeta yang lain maju mengeroyoknya. Kini, melihat betapa gubuk itu terbakar dan dua orang pendeta berlari ke arah gubuk, sedangkan pendeta yang menyerangnya juga nampak terkejut, iapun mempergunakan kesempatan itu untuk melompat jauh ke dalam kegelapan malam. Setelah gadis itu melarikan diri, baru Gunga Lama penasaran.
"Heii, siluman betina, hendak lari ke mana kau?"
Teriaknya sambil mengejar dengan langkah kakinya yang lebar. Tiba-tiba Gunga Lama merasa ada angin menyambar dari kiri. Cepat dia merendahkan tubuh mengelak dan sebutir batu menyambar lewat diatas kepalanya.
"Huhh!"
Dia mendengus dan cepat dia meloncat ke arah dari mana menyambarnya batu tadi, tongkatnya menghantam dengan keras.
"Desss...!"
Tongkat itu menghantam semak-semak yang kosong. Tidak ada seorangpun di balik semak-semak. Ketika Gunga Lama hendak mengejar lagi dia sudah kehilangan jejak. Pula, yang terpenting adalah menyelamatkan Pek Han Siong, maka diapun lari ke arah gubuk yang masih terbakar itu. Hatinya lega melihat dua orang sutenya sudah berada di luar gubuk bersama Han Siong, dalam keadaan selamat.
"Mana iblis betina itu, suheng?"
Tanya Pat Hoa Lama. Gunga Lama menggeleng kepala.
"Siluman itu menghilang ke dalam kegetapan,"
Katanya acuh, tidak perduti betapa Pat Hoa Lama kelihatan kecewa bukan main. Daging yang sudah berada di ujung bibir dapat lolos! "Bagaimana gubuk itu dapat terbakar?"
Tanya Gunga Lama kepada kedua orang sutenya. Dua orang pendeta itu menggeleng kepala dan mereka memandang kepada Han Siong dengan penuh selidik. Akan tetapi pemuda itu nampak muram dan tidak bersemangat. Mereka bertiga rupanya curiga dan dengan pemusatan kekuatan sihir, mereka memandang pemuda itu dan Gunga Lama berseru dengan suara menggeledek.
"Pek Han Siong, katakan siapa yang membakar gubuk?"
Han Siong dilindungi batu giok mustika, maka biarpun dia merasa betapa seluruh tubuh menggetar, namun pikirannya masih sadar. Dia pura-pura linglung dan menggeleng kepalanya.
"Tidak tahu..., aku tidur... tahu-tahu ada kebakaran. Aku berteriak-teriak..."
"Hemmm, tentu siluman itu mempunyai kawan yang melakukan pembakaran itu."
Kata Janghau Lama.
"Heran sekali, siapakah sebetulnya gadis itu? Ia mampu menahan kekuatan ilmu kita!"
"Memang perlu diselidiki kelak. Ilmu silatnyapun tidak jelek. Akan tetapi, urusan kita lebih penting. Mari kita bawa Sin-tong, terpaksa kita harus melanjutkan perjalanan malam ini juga."
Mereka lalu menggandeng tangan Han Siong, diajak menuju ke sebuah bukit, berjalan dengan hati-hati dan tidak dapat cepat karena jalan menuju ke pendakian bukit itu hanya merupakan jalan setapak yang liar.
"Nona, ke sini. Cepat lari ke arah ini!"
Gadis itu terkejut melihat seorang pemuda menggapai kepadanya. Akan tetapi karena ia maklum bahwa keselamatannya terancam oleh tiga orang pendeta Lama itu, iapun menurut saja, meloncat ke arah pemuda itu berdiri, kemudian mengikuti pemuda itu lari menuruni bukit dan memasuki sebuah hutan. Setelah pemuda itu berhenti di tempat terbuka di tengah hutan, barulah ia berhenti. Tangan kanannya masih memegang cambuknya dan pernapasannya agak memburu.
"Siapa engkau?"
Tanyanya sambil mencoba untuk menembus kesuraman malam mengamati wajah pemuda yang berpakaian biru itu. Seorang pemuda yang bertubuh sedang, nampak tegap karena dadanya yang bidang. Dipunggung pemuda itu nampak sebuah buntalan dan sebuah caping lebar menutupi buntalan, tergantung di punggung.
"Aku? Aku tukang bakar gubuk."
Kata Hay Hay sambil tersenyum, diusahakan agar senyumnya manis dan menarik walaupun usaha ini sia-sia belaka karena betapapun manisnya senyum yang dipamerkan, tetap saja gadis itu tidak dapat melihat jelas!
"Ah, jadi engkau yang membakar gubuk tadi?"
Gadis itu tertegun karena ia tadipun merasa betapa terbakarnya gubuk itu telah menyelamatkannya dari ancaman bahaya.
"Kenapa engkau lakukan itu?"
"Aha! Kenapa? Aku memang suka bermain-main dengan api, nona. Api itu demikian indahnya membakar gubuk. Warnanya kuning merah keemasan. Seperti emas! Ya, seperti emas, lebih indah lagi karena hidup, tidak seperti emas yang mati. Aku suka bermain api, nona."
Mayang mengerutkan alisnya, mencoba lagi menembus malam yang tidak begitu terang untuk memperhatikan wajah pemuda itu.
"Apa kau gila?"
Tiba-tiba ia bertanya.
"Apa? Gila? Aku? Wah, belum! Mudah-mudahan tidak pernah. Pula, bagaimana membedakan orang waras dan gila? Apakah tiga orang pendeta tadi juga waras?"
"Kalau tidak gila, kenapa jawabanmu begitu? Kenapa engkau membakar gubuk itu? Tak mungkin karena kau suka bermain api!"
Suara gadis itu mengandung kedongkolan, merasa seperti dipermainkan.
Pendekar Mata Keranjang Eps 8 Asmara Berdarah Eps 22 Asmara Berdarah Eps 30