Ceritasilat Novel Online

Asmara Berdarah 30


Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo Bagian 30




   Asmara Berdarah (Seri ke 08 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 28
"Aku bukan penjahat..."

   Teriak Hui Song akan tetapi percuma saja karena anak panah yang amat banyak itu sudah mcluncur ke arah dirinya. Hui Song terpaksa menanggalkan jubahnya dan memutar jubahnya itu untuk melindungi tubuhnya. Semua anak panah runtuh dan tidak ada sebatangpun yang mengenai dirinya, akan tetapi jubahnya robek-robek, juga bajunya ada yang robek, terkena anak panah.

   Begitu anak panah itu dapat diruntuhkannya semua, tiba-tiba nampak sinar hitam meluncur dan dia melihat bahwa itu adalah tali-tali hitam panjang yang berbentuk laso pada ujungnya. Dia tersenyum dan berdiri tegak tidak mengelak. Dan lasolaso itu ternyata dengan amat cepatnya telah mengalungi lehernya, bahkan kedua tangannya juga kena dibelenggu. Harus diakuinya bahwa pelempar-pelempar laso itu amat mahir dan agaknya para penghuni dusun ini adalah peternak-peternak lembu karena hanya peternak peternak lembu saja yang pandai menggunakan laso untuk menangkap lembu-lembu mereka yang binal atau kabur. Setelah tubuhnya terbelit-belit laso, terdengar sorak kegirangan dan kini muncul puluhan orang, laki-laki dan wanita, yang kesemuanya berpakaian indah, berwajah cantik-cantik dan tampan-tampan, akan tetapi yang pada saat itu memandang kepadanya dengan penuh kemarahan!

   Mereka muncul sambil mengacungkan senjata mereka yang berupa tombak-tombak, golok dan juga anak panah, semua diacungkan dan diangkat tinggi-tinggi. Agaknya mereka itu siap untuk mengeroyok dan menghancurkan tubuhnya. Akan tetapi terdengar bentakan nyaring dan mereka semua itu berhenti, lalu muncul seorang laki-laki muda yang tampan. Usia laki-laki ini tiga puluh tahun lebih, wajahnya tampan dan pakaiannya paling indah, dengan jubah dari bulu tebal. Laki-laki ini maju dan dia diiringkan oleh belasan orang wanita yang kesemuanya muda-muda dan cantik-cantik, usia mereka dari lima belas sampai dua puluh lima tahun! Laki-laki bermantel bulu dan bartopi lebar ini melangkah maju dan semua orang yang mengepung Hui Song hanya memandang, namun siap untuk mengeroyok Hui Song andaikata pemuda yang sudah terbelenggu banyak tali laso itu memberontak.

   Kini laki-laki bertopi itu berdiri di depan Hui Song yang masih berpura-pura tidak berdaya dalam lilitan laso. Kalau dia mau, tentu saja sekali meronta semua tali laso akan putus dan dia dapat bergerak bebas. Akan tetapi dia hendak melihat dahulu perkembangannya, ingin tahu mengapa orang-orang yang tidak dikenalnya ini memusuhinya. Kemunculan mereka saja sudah menarik perhatiannya karena mereka itu tidak nampak seperti orang-orang liar yang kasar, bahkan gerak-gerik mereka halus, pakaian mereka indah dan tubuh mereka terpelihara rapi dan bersih. Laki-laki bertopi inipun nampak tampan dan bersih, dan wanita-wanita yang datang bersamanya juga cantik-cantik dan berpakaian rapi.

   "Aha, kiranya engkau tampan juga!"

   Kata laki-laki bertopi itu.

   "Dengan ketampanan dan kemudaanmu, apa sukarnya bagimu untuk menjatuhkan hati wanita-wanita cantik. Kenapa engkau harus mencari wanita dengan cara menculik dan memperkosanya?"

   Tentu saja Hui Song melongo mendengar tuduhan-tuduhan ini. Seorang di antara para wanita itu, yang termuda dan paling manis tiba-tiba melangkah maju menghampirinya. Mata wanita ini merah oleh tangis.

   "Kembalikan adikku..."

   Bentaknya dan tiba-tiba tangan yang kecil halus itu bergerak menampar.

   "Plak! Plak!"

   Dua kali pipi Hui Song ditamparnya dan laki-laki bertopi itu cepat menangkap lengannya dan melarangnya memukul lagi. Wanita itupun mundur sambil terisak.

   "Ia adalah kakak gadis yang kau culik semalam. Nah, tidak tergerakkah hatimu menyusahkan hati seorang gadis semanis ia? Padahal, kalau engkau menjadi orang baik-baik, banyak kiranya gadis yang akan jatuh hati kepadamu, yang menyerahkan jiwa raga kepadamu tanpa kau paksa atau perkosa..."

   Biarpun pria itu bicara dengan halus, dengan bahasa yang teratur dan tidak kaku, bahkan halus dan sopan seperti bahasa orang terpelajar, namun Hui Song merasa tersinggung dan bingung. Tamparan tadi tidak begitu dirasakannya, akan tetapi tuduhan bahwa ia menculik dan memperkosa wanita, sungguh keterlaluan. Tahulah dia mengapa dia dimusuhi. Kiranya dia disangka penculik wanita yang agaknya sudah beberapa kali menculik wanita-wanita dari suku ini dan malam ini sengaja mereka berusaha menjebak dan menangkap si pencuri anak perawan!

   "Aku bukan pencuri perawan! Untuk apa aku mencuri wanita...?"

   Dia berseru beberapa kali. Akan tetapi agaknya yang mengerti bahasanya hanyalah pria bertopi, Gadis-gadis pengikutnya dan beberapa orang saja. Yang tidak mengerti lalu bertanya-tanya dan keadaan menjadi berisik. Tiba-tiba saja terdengar jerit wanita melengking nyaring. Semua orang terkejut. Jerit itu keluar dari rumah terbesar yang berada di tengah dusun.

   "Adikku perempuan..."

   Laki-laki bertopi itu berteriak gelisah.

   Hui Song segera dapat mengerti apa yang telah terjadi. Agaknya, selagi dia ditawan dan dituduh sebagai pencuri anak perawan, si pencuri yang aseli sedang bekerja dan agaknya sekali ini yang dicurinya bukan perawan kepalang tanggung, melainkan adik dari orang bertopi yang agaknya menjadi pemimpin mereka itu! Dan inilah kesempatan baik baginya untuk membuktikan bahwa dia bukanlah penculik perawan, dan kesempatan baik baginya untuk mencegah terjadinya perbuatan terkutuk dan juga membasmi penjahat pemetik bunga itu. Maka diapun bergerak dan sekali meronta, terdengar suara keras dan semua tali laso itupun putus. Orang-orang berteriak kaget dan Hui Song meloncat dengan gerakan seperti seekor burung terbang saja.

   "Aku akan menangkap penjahat itu!"

   Serunya kepada si kepala dusun dan tanpa memperdulikan lagi teriakan-teriakan atau halangan-halangan dari mereka, dia berlompatan menuju ke arah suara jeritan wanita tadi. Gerakannya yang memang lincah sekali itu tidak terlambat. Dia melihat bayangan berkelebat keluar dari rumah itu, memanggul tubuh seorang wanita yang kelihatan pingsan atau mungkin juga tertotok.

   "Perlahan dulu, sobat!"

   Hui Song berkata dan dia sudah menerjang ke depan, jari tangan kirinya menotok ke arah pundak. Orang itu nampak terkejut dan gerakannya ternyata juga amat cepat dan ringan. Dengan mudahnya dia menggerakkan pundak, mengelak dan melanjutkan larinya. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika tahu-tahu tangan yang tadi luput menotok itu dilanjutkan dengan totokan ke arah lambungnya sedangkan tangan lain menyambar ke atas, mencengkeram ke arah kepalanya. Dan dua gerakan ini mengandung hawa yang amat kuat! Agaknya orang itu sama sekali tidak pernah menyangka akan bertemu dengan orang sepandai ini di daerah liar itu, maka dia mengeluarkan ke arah kepalanya.

   "Dukk..."

   Dan orang yang tidak mengerahkan semua tenaganya itu terhuyung!

   "Eh, siapa kau...?"

   Bentaknya dan dari suaranya Hui Song tahu jelas bahwa orang ini adalah seorang Han. Dan setelah orang itu kini melempar korbannya ke atas tanah dan menghadapinya, dia melihat di dalam keremangan senja bahwa dia adalah seorang laki-laki muda yang berwajah tampan bertubuh tegap dan berpakaian pesolek. Dia teringat akan putera Siangkoan Lojin Si Iblis Buta. Bukan, pemuda ini bukan putera datuk sesat itu, melainkan seorang pemuda tampan pesolek yang gerak-geriknya halus. Kalau di tempat seperti ini ada seorang penjahat bangsa Han, jelaslah bahwa penjahat itu tentu anggauta dari para datuk sesat anak buah Raja Iblis!

   "Aku adalah pembasmimu, jai-hwa-cat terkutuk!"

   Hui Song membentak dan dia sudah menerjang lagi dengan tamparan-tamparan yang amat kuat karena dia mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang menghadapi penjahat yang dia dapat menduga juga lihai ini. Tamparan-tamparan itu hebat sekali dan si penjahat agaknya mengenal pukulan lihai, maka dia menggerakkan tangan, sekali ini mengerahkan seluruh tenaganya untuk menangkis.

   "Plakk! Dukkk..."

   Sekali ini, dua tenaga raksasa bertemu dan akibatnya, keduanya terdorong mundur dan seluruh tubuh mereka tergetar. Hui Song terkejut dan marah, akan tetapi pada saat itu, orang-orang dusun sudah datang dengan senjata di tangan. Mereka berteriak-teriak dan hendak maju mengeroyok, sebagian lagi, dipimpin pemuda bertopi, menolong gadis yang tadi dilemparkan ke atas tanah. Melihat keadaan tidak menguntungkan, penjahat pemetik bunga itu lalu mengeluarkan seruan panjang dan meloncat jauh, terus lari menghilang dalam cuaca yang sudah mulai gelap. Hui Song tidak mengejar karena penjahat itu sudah melepas korbannya. Mengejar seorang musuh selihai itu di dalam gelap amatlah berbahaya, dan pula, tugasnya adalah menyelidiki suku-suku bangsa ini, bukan mengejar-ngejar jai-hwa-cat. Si pria bertopi kini menghampiri dan merangkulnya.

   "Engkau telah menyelamatkan adikku. Maafkan kecurigaan kami tadi. Kami mengira engkau penjahat itu, siapa tahu engkau malah penolong kami."

   "Sudahlah, kesalah-pahaman itu dapat kumengerti dan dapat kumaafkan. Betapapun juga, penjahat itu telah menolongku."

   "Menolongmu?"

   Pria bertopi itu berseru heran.

   "Kalau tidak dia muncul mencuri adikmu, tentu aku masih terus didakwa pencuri anak perawan."

   Hui Song tertawa dan orang itupun tertawa, juga belasan orang wanita cantik yang mengerti omongannya tertawa. Suasana berobah gembira sekali.

   "Ha-ha, ternyata engkau selain tampan dan lihai, juga periang seperti kami. Saudara yang baik, siapakah namamu tadi? Engkau tadi pernah memperkenalkan nama ketika muncul untuk pertama kali, akan tetapi sayang aku tidak begitu memperhatikan karena kemarahan menyangka engkau penjahat."

   "Namaku Cia Hui Song."

   "Bagus sekali, Cia-taihiap. Namaku adalah Lamnong dan aku kepala suku bangsaku, bangsa Mancu Timur yang terpencil dan tidak besar jumlahnya. Kami hidup sebagai nelayan dan juga Kadang-kadang memburu atau beternak, akan tetapi kami masih suka merantau seperti kebiasaan nenek moyang kami. Betapapun juga, kami hidup bahagia. Lihat, kami selalu bergembira, bukan? Saudaraku yang baik dan gagah, engkau menjadi tamu kehormatan kami. Malam ini kami akan berpesta untuk menyatakan kegembiraan kami."

   Dengan suara lantang kepala suku bernama Lamnong itu lalu memerintahkan pembantu-pembantunya untuk menyembelih domba dan lembu dan mempersiapkan pesta untuk menghormati Cia Hui Song. Hui Song menerima dengan gembira dan sambil bergandeng tangan dengan Lamnong yang diiringkan belasan orang wanita cantik, Hui Song diajak memasuki bangunan terbesar di dalam dusun itu.

   "Dusun ini hanya menjadi tempat peristirahatan selama beberapa pekan saja, maka kami membangun pondok-pondok darurat."

   Lamnong menerangkan ketika mereka sudah mengambil tempat duduk di atas lantai bertilamkan kulit domba.

   "Taihiap, orang seperti engkau ini tentulah seorang pendekar seperti yang pernah kudengar diceritakan orang tentang dunia persilatan. Akan tetapi bagaimana seorang pendekar seperti engkau sampai tersesat ke sini?"

   Hui Song tidak ingin bicara tentang pertemuan para pendekar dan diapun teringat kepada Sui Cin. Tadipun dia sudah cemas membayangkan Sui Cin yang kehilangan ingatan itu bertemu dengan jai-hwa-cat yang jahat seperti orang tadi.

   "Aku... aku sedang mencari seorang teman..."

   Dia teringat betapa tadi dituduh pencuri anak perawan, maka dia menahan lidahnya yang hendak bercerita tentang Sui Cin, seorang teman perempuan! Dia tidak mau kalau nanti disangka seorang mencari wanita lagi.

   "Aku ingin mencari keterangan tentang Harimau Terbang..."

   "Ah! Maksudmu perkumpulan rahasia Harimau Terbang?"

   "Ya, benar!"

   Hui Song bertanya gembira. Dia memang sedang melakukan penyelidikan tentang Perkumpulan Harimau Terbang yang lencananya tertinggal di dalam Gua Iblis Neraka yang menunjukkan bahwa mereka itulah pencuri harta pusaka di dalam gua itu.

   "Apakah di daerah ini terdapat perkumpulan bernama Harimau Terbang?"

   Mendengar pertanyaan ini, wajah Lamnong yang tadinya gembira dan tersenyum-senyum itu berobah agak pucat dan alisnya berkerut, bahkan dia menengok ke kanan kiri seolah-olah tidak ingin percakapan itu didengar orang lain. Melihat sikap ini, berdebar rasa hati Hui Song. Agaknya penyelidikannya tentang pencuri harta pusaka itu akan mendapatkan jejak.

   "Harap jangan takut, saudara Lamnong, kalau ada ancaman datang dari mereka, akulah yang akan menghadapinya!"

   Katanya dengan suara tegas dan meyakinkan. Agaknya jaminan ini melegakan hati Lamnong dan wajahnya berseri kembali, bibirnya tersenyum lagi.

   "Cia-taihiap, bukannya kami takut, melainkan kami tidak suka berurusan dengan nenek iblis itu."

   "Nenek iblis siapa yang kau maksudkan?"

   "Namanya Yelu Kim, menurut pengakuannya. Ia adalah keturnan dari Menteri Yelu Cetai penasihat agung dari Jenghis Khan. Kini ia menjadi tokoh sesat di daerah utara dan dianggap sebagai penasihat para kepala suku."

   "Dan apa hubungannya dengan Perkumpulan Harimau Terbang?"

   "Hemm, biarpun ia tidak pernah mengaku dan tidak pernah terbukti karena perkumpulan itu merupakan rahasia yang bergerak secara rahasia pula, akan tetapi semua orang di sini tahu belaka bahwa nenek itulah pemimpin Perkumpulan Harimau Terbang."

   "Di manakah sarang mereka? Di mana aku bisa bertemu dengan nenek Yelu Kim itu?"

   Cia Hui Song bertanya dengan penuh semangat.

   "Tinggallah bersama kami dan engkau akan dapat bertemu dengannya, Cia-taihiap. Besok lusa kami akan berangkat menuju ke padang pasir di mana para ketua suku mengadakan pertemuan dan pemilihan calon pemimpin. Aku yakin bahwa nenek Yelu Kim pasti akan hadir pula di sana."

   "Para suku bangsa di utara ini hendak melakukan pemilihan pemimpin? Untuk apa dan apakah yang terjadi?"

   Hui Song bertanya girang. Tak disangka-sangkanya bahwa selain berita yang baik sekali mengenai Harimau Terbang yang diselidikinya, juga dia mendengar berita tentang kepala-kepala suku. Justeru inilah tugas yang diberikan gurunya kepadanya.

   "Di perbatasan terjadi pergolakan yang mengguncangkan kehidupan tenteram para suku kami. Menurut berita, golongan hitam di selatan telah bersekutu dengan para pemberontak, dan mereka bahkan telah merampas dan menduduki benteng Sanhaikoan, dan kabarnya akan terus bergerak melebarkan wilayah mereka sebelum mereka menyerang ke selatan. Kami terancam, dan... menurut rekan-rekan yang berambisi, inilah saatnya terbaik bagi kami untuk bergerak, menegakkan kembali kekuasaan Mongol di selatan. Sebetulnya aku sendiri pribadi tidak menyukai ambisi itu, akan tetapi kalau memang ketenteraman kami terancam oleh para pemberontak dan diadakan persatuan untuk menghadapi mereka, tentu aku setuju. Nah, kini para kepala suku akan mengadakan pemilihan pimpinan dan lusa kami akan berangkat."

   Bukan main girangnya rasa hati Hui Song. Sambil tersenyum dan dengan wajah berseri dia segera menyatakan setuju untuk menemani Lamnong dan anak buahnya yang akan berangkat ke tempat pertemuan itu

   Malam itu, dengan penuh kegembiraan Lamnong mengadakan pasta untuk menghormati Hui Song. Seperti telah menjadi kebiasaan mereka, pesta itu dilakukan di luar rumah, di sebuah lapangan rumput di mana dibangun tenda besar dan dinyalakan api unggun. Hui Song diberi pakaian orang Mancu dan mereka duduk di atas rumput. Dagingdaging domba dan lembu dipanggang dengan bumbu-bumbu sedap sehingga asap dan uapnya memenuhi tempat itu, mengundang selera. Lamnong duduk di samping Hui Song, diapit-apit belasan orang wanita cantik yang ternyata adalah selir-selirnya! Hui Song sampai melongo ketika Lamnong memperkenalkan mereka sebagai isteri-isterinya! Seorang dengan isteri demikian banyak, kesemuanya muda-muda dan cantik-cantik!

   "Kenapa engkau kelihatan heran, Cia-taihiap? Aku hanya mempunyai empat belas orang isteri, itu masih sangat sedikit sekali kalau dibandingkan dengan yang dipunyai kepala-kepala para suku bangsa lainnya. Ada seorang kawanku mempunyai empat puluh empat orang isteri, ha ha ha!"

   Lamnong tertawa bergelak melihat keheranan di wajah Hui Song. Hui Song yang disuguhi arak istimewa buatan suku bangsa itu, arak yang amat harum dan keras, tertawa lepas. Memang wataknya bebas gembira, maka kini dengan hawa arak di benaknya, dia menjadi semakin gembira.

   "Ha-ha, saudara Lamnong. Aku pernah melihat seekor ayam jantan dengan puluhan ekor ayam betina, hal itu masih dapat kupercaya dan kumengerti. Akan tetapi manusia? Seorang harus... dengan demikian banyak...?"

   "Ha ha Ha-ha!"

   Lamnong tertawa dan para selirnya yang rata-rata mengerti bahasa Han itupun tersenyum dan tersipusipu, menutupi mulut mereka dengan saputangan atau punggung tangan.

   "Kalau perlu aku bisa lebih kuat dari pada seekor ayam jantan, ha ha ha! Cia-taihiap, memang manusia berbeda dengan ayam, karena itu dalam hal itupun berbeda, tidak sembarang saat seperti ayam."

   Merekapun tertawa-tawa dan suasana menjadi meriah ketika para selir yang memiliki suara merdu itu bernyanyi-nyanyi diiringi suara gendang, tambur dan suling. Dan mulailah selir termuda dari Lamnong, yang manis sekali dengan kedua pipi kemerahan bukan oleh pemerah muka melainkan merah karena sehat saking halusnya kulit pipi, bangkit dan atas isyarat Lamnong, selir itupun mulai menari. Dan Hui Song memandang dengan terpesona. Selir ini pandai sekali menari, tubuhnya demikian lembut dan lemas meliuk-liuk di depannya, seolah-olah tubuh seekor ular saja. Suara gendang dan tambur menambah kuat gerakan pinggul dan leher itu.

   "Sekarang permainan yang kami namakan Bulan Jatuh. Siapa kejatuhan bulan harus bangkit dan menari, siapapun tidak boleh menolak karena menolak bulan yang jatuh ke pangkuannya berarti mengundang malapetaka dan tidak menghormati orang lain."

   Lamnong berkata kepada Hui Song. Tentu saja pemuda ini tidak mengerti apa artinya kata-kata itu dan dia tidak pernah mendengar tentang permainan ini. Sambil tertawa gembira Lamnong menerangkan. Permainan itu seperti permainan kanak-kanak yang dikenal oleh Hui Song di selatan, akan tetapi kini dimainkan oleh orang-orang dewasa!

   Selir yang menari tadi membuka permainan. Kedua matanya ditutup dengan sehelai saputangan diikatkan ke belakang kepalanya, kemudian oleh dua rekannya ia diputar-putar, hal ini dimaksudkan agar selir yang tertutup matanya itu akan lupa di mana dan siapa yang duduk di sekitarnya. Setelah itu dilepas dan mulailah ia meraba-raba. Kalau ia berhasil menangkap seorang yang duduk berkeliling, ia akan meraba-raba muka orang itu dan mengatakan siapa dia. Kalau dugaannya keliru, yang ternyata setelah ia diperkenankan membuka penutup mata, maka ia harus menari lagi, kemudian setelah habis satu lagu, ia akan mencari sasaran lagi. Bagaikan bulan meluncur di antara awan-awan, penari itu akan meraba-raba dan kalau bulan itu "jatuh"

   Kepada seseorang dan orang itu dapat ditebak siapa adanya,

   Maka ia kejatuhan bulan dan ialah yang harus menggantikan permainan itu dan menari. Demikian selanjutnya. Tentu saja dengan adanya Hui Song di situ, permainan itu menjadi lucu dan selain menegangkan hati Hui Song, juga membuatnya merasa malu-malu dan sungkan sekali. Selir muda yang cantik itu sudah diputar-putar dan dilepas. Kini dengan mata tertutup selir itu melangkah ke depan perlahan-lahan, kedua tangannya diluruskan ke depan meraba-raba. Hui Song merasa betapa jantungnya berdebar tegang, apalagi ketika kedua kaki yang kecil itu agaknya hendak maju ke arah tempat dia duduk! Akan tetapi kedua kaki itu meragu, dan membelok ke kiri, kemudian maju terus dan akhirnya berhenti karena kaki itu terantuk kaki seseorang yang duduk di situ. Selir itu terkekeh, lalu berjongkok dan kedua tangannya meraba-raba kepala dan muka orang itu.

   "Ihhh..."

   Jeritnya kecil ketika ia meraba topi orang itu dan tahulah ia bahwa ia telah menangkap atau "jatuh"

   Kepada seorang pemukul tambur atau gendang.

   Terdengar suara ketawa dari para selir dan selir yang menjadi bulan itu membuka penutup matanya, cemberut secara main-main mencela kesialan dirinya. Kalau kebetulan menangkap seorang pemain musik, maka hal itu dianggap sial karena itu berarti bahwa ia harus main lagi. Pemain musik tidak masuk hitungan karena kalau dia harus main, lalu siapa yang memukul gendang? Kembali selir itu ditutup mukanya dengan saputangan dan diputar-putar. Akan tetapi selir tadi sudah melirik ke arah Hui Song dan tersenyum. Ketika ia dilepas, iapun berjalan perlahan-lahan, berkeliling dan kedua kaki kecil tertutup sepatu baru itulah yang yang kini meraba-raba dan ketika kakinya menginjak bagian yang agak menonjol, iapun berhenti lalu membalik dan kini kedua kakinya itu bergerak perlahan menuju ke arah Hui Song duduk!

   Selir ini memang menjatuhkan pilihannya kepada Hui Song dan sebagai orang yang sudah biasa melakukan permainan Bulan Jatuh ini, tentu saja ia mengerti akan akal-akal yang dipergunakan orang dalam permainan ini. Tadi ketika ia membuka penutup matanya, ia telah memperhatikan dan mempelajari tanah di depan Hui Song dan ia melihat ada tanah menonjol di depan pemuda itu dan inilah yang dapat menuntunnya kepada Hui Song. Maka tadi ia berjalan keliling sampai kakinya mengijak tanah menonjol, baru ia menujukan langkahnya kepada Hui Song. Ia hendak memilih pemuda yang telah menolong adik suaminya ini untuk penghormatan dan bukan hanya selir ini, juga selir-selir yang lain dan mereka yang hadir di situ ingin sekali melihat Hui Song menjadi bulan dan menari-nari.

   Dengan jantung berdebar penuh ketegangan Hui Song melihat betapa selir itu menggerakkan dua buah kaki kecilnya menghampirinya. Dia tidak mungkin dapat lari, dan hanya tersenyum tegang. Diapun tidak dapat mengelak ketika kaki kecil itu menumbuk kakinya dan ketika selir muda itu terkekeh kecil dan berjongkok di depannya, Hui Song memejamkan mata karena hidungnya mencium bau yang amat harum dan melihat kulit muka yang demikian halusnya. Dia tetap memejamkan mata ketika wanita itu meraba-raba kepalanya, lalu mukanya, meraba-raba telinganya, hidungnya, bibir dan dagunya. Hui Song merasa betapa jari-jari tangan yang berkulit halus dan hangat itu merayap di mukanya dan dia merasa betapa semua bulu di tubuhnya meremang.

   "Haii... ini... ini... Cia-taihiap..."

   Kata selir itu dan tebakannya disambut tepuk sorak memuji. Selir itu cepat membuka penutup matanya dan sambil tersenyum manis ia menjura dan mempersilakan.

   "Silakan, taihiap, kami mohon taihiap menjadi bulan,"

   Katanya merdu.

   "Ha ha ha, nasibmu baik, Cia-taihiap. Kami ingin sekali menyaksikan keindahan tarianmu!"

   Kata Lamnong gembira. Suling, tambur dan gendang dipukul gencar dan Hui Song yang mukanya menjadi merah itu terpaksa bangkit berdiri. Dia merue tubuh dan kepalanya ringan karena pengaruh arak. Hal ini membuat dia tidak malu-malu lagi dan karena dia tidak pandai menari, maka diapun mencoba untuk menirukan gerakan selir tadi. Maka nampaklah pemandangan yang amat lucu ketika Hui Song melengganglenggok menggoyang pinggul mengikuti irama musik, berjoget dangdut! Karena dia memang ahli silat yang amat pandai,

   Biarpun gerakannya lucu, namun juga lemas dan Kadang-kadang bahkan diisi dengan gerak-gerak silat. Para selir tertawa-tawa dan bertepuk-tepuk tangan memuji, membuat Hui Song bertambah gembira dan tariannyapun menjadi semakin panas. Ketika tiba giliran Hui Song untuk ditutup kedua matanya dengan saputangan, dengan mudah saja, mengandalkan ketajaman pendengarannya, dia menjatuhkan pilihannya kepada Lamnong! Biarpun Hui Song seorang pemuda romantis dan lincah jenaka dan gembira, namun dia belum cukup berani untuk menjatuhkan pilihannya kepada para selir itu, merasa tidak berani kalau harus meraba-raba muka seorang di antara mereka. Hal ini mengecewakan hati para selir karena mereka ingin sekali kejatuhan bulan! Mereka merasa suka kepada pemuda yang lincah ini dan ingin mempererat persahabatan.

   Lamnong adalah seorang kepala suku. Tentu saja diapun tahu bagaimana caranya untuk menjatuhkan pilihannya kepada Hui Song sehingga terjadilah hal lucu, yaitu hanya dua orang itu saja yang silih berganti menari! Akhirnya Lamnong menyuruh para selirnya menari bersama-sama dan suasana menjadi semakin gembira dan suara ketawa mereka riuh rendah ketika mereka menari bersama-sama. Hui Song merasa suka sekali kepada keluarga kepala suku ini dan mereka makan minum dan bernyanyi-nyanyi, menari-nari sampai hampir pagi. Demikianlah, bersama rombongan ini, Hui Song ikut pula hadir ketika diadakan pertandingan jagoan di antara kepala-kepala suku. Lamnong sendiri tidak mengajukan jagoan. Dia bersama para pangikutnya datang hanya untuk menyaksikan saja siapa pimpinan yang terpilih.

   Dan Hui Song yang hendak melakukan penyelidikan tentang Perkumpulan Harimau Terbang, bersembunyi di antara orang-orang Mancu Timur itu dan dapat dibayangkan betapa besar rasa girang, kaget dan herannya melihat Sui Cin bersama seorang nenek yang menurut keterangan Lamnong adalah nenek Yelu Kim, kepala dari Perkumpulan Harimau Terbang yang dicari-carinya itu! Dia merasa curiga dan heran, lalu diam-diam dia memperhatikan sambil menyelinap di antara anak buah Lamnong. Demikianlah, tanpa disengaja, tiga orang muda itu ikut menghadiri pertemuan antara para suku di utara yang sedang mengadakan pertandingan untuk menentukan siapa di antara mereka yang hendak menjadi pimpinan para suku untuk memulai dengan gerakan mereka menegakkan kembali kekuasaan Mongol yang sudah runtuh.

   Dan mereka bertiga terpisah-pisah dalam kelompok suku yang berlainan, dengan alasan yang berlainan pula. Sui Cin berada di situ karena ia telah ditolong oleh nenek Yelu Kim yang menjadi gurunya dan kini ia membantu Yelu Kim sebagai balas budi. Siangkoan Ci Kang berada bersama suku Khin untuk membantu Moghu Khali, ketua suku Khin yang telah menjadi sahabatnya, bahkan dia mau dianggap menjadi jagoan suku itu. Adapun Hui Song berada di tempat itu karena dia hendak menyelidiki Perkumpulan Harimau Terbang, juga untuk menyelidiki keadaan para suku bangsa di utara ini sesuai dengan tugas yang dibebankan kepadanya oleh gurunya, yaitu Siangkiang Lojin atau Si Dewa Kipas. Kini pertandingan telah dimulai dan seperti sudah diduga semula oleh setiap pengikut, jagoan-jagoan itu memang masing-masing memiliki ketangguan yang mengagumkan.

   Suku Mongol yang merupakan suku kedua terbesar sesudah suku Mancuria, mengajukan jagoan seorang ahli gulat yang bertubuh raksasa dan jagoan ini tidak menunggang kuda, juga tidak memegang senjata apapun. Akan tetapi, ketika dia sudah maju karena menurut undian dia harus maju lebih dahulu, dia menghadapi lawan yang menunggang kuda secara mengagumkan dan mengerikan. Lawannya itu menggunakan sebatang golok dan menunggang seekor kuda. Ketika lawan itu menerjangnya dengan golok diputar dan kaki depan kuda itu mengancam hendak menumbuknya, raksasa Mongol ini tertawa, menangkap dua kaki depan kuda itu dan sekali putar, kuda itu terpelanting dan kedua tulang kaki depan itu patah membuat kuda itu tidak ammpu bangkit kembali. Lawannya cukup tangguh, ketika kuda terpelanting, dia melompat turun dan kini dia menerjang si raksasa dengan goloknya.

   "Plakkk!"

   Raksasa Mongol itu tidak mengelak, bahkan menerima golok itu dengan tangan kosong begitu saja. Akan tetapi, bukan tangannya yang terluka, melainkan golok itu sendiri yang terlempar dan di lain saat, raksasa itu sudah menangkap pergelangan tangan lawan dan sekali mengerahkan tenaga, tubuh lawan itu sudah terlempar jauh sekali dan terbanting dengan keras ke atas tanah sehingga jatuh pingsan dengan tulang remuk!

   Sorak sorai yang riuh rendah menyambut kemenangan raksasa Mongol ini dan diapun memperoleh waktu beristirahat menurut peraturan walaupun si raksana Mongol itu masih menantangnantang dengan congkaknya. Menurut hasil undian, kini tiba giliran jagoan Mancu. Seperti juga jagoan Mongol, maka jago dari Mancu inipun bertubuh tinggi besar dan terutama sekali sepasang kakinya amat panjang dan berotot kekar sekali. Kaki itu memakai sepatu panjang sampai ke lutut dan solnya dilapisi besi dan diapun tidak menunggang kuda dan tidak memegang senjata. Setelah dia melawan seorang jagoan lain, Hui Song yang nonton dari dalam kelompoknya melihat bahwa raksasa Mancu ini tidak kalah hebatnya dibandingkan dengan raksasa Mongol tadi. Kalau raksasa Mongol tadi kebal dan kuat sekali, juga ahli dalam ilmu gulat, maka raksasa Mancu yang lebih tinggi ini selain ahli dalam ilmu gulat campur silat, juga tangguh sekali dengan kedua kakinya!

   Dalam satu gebrakan saja, lawannya yang menunggang kuda dan memegang tombak, dihadapi dengan tendangan kakinya yang panjang dan kuat itupun terpelanting jauh! Lawannya berhasil melompat dan menyerangnya dengan tombak. Akan tetapi, kembali kakinya bergerak dan tombak itu dihantam tangan yang amat kuat, membuat tombak itu patah menjadi tiga potong! Lawannya masih penasaran dan menyerang dengan pukulan-pukulan, akan tetapi setiap pukulan ini ditangkis oleh tendangan secara sedemikian cepat dan tepatnya seolah-olah kedua kaki itu merupakan sepasang tangan yang lengannya panjang sekali, dan sebelum lawan itu mampu mengelak, tiba-tiba sebuah kaki melayang dan menghantam kepalanya dari samping. Orang itu terjengkang dan roboh pingsan, atau mungkin juga mati karena ketika digotong oleh kawan-kawannya, dia sama sekali tidak bergerak dan terkulai lemas!

   Ketika Ci Kang menerima gilirannya, Hui Song memandang dengan alis berkerut. Sejak tadi dia sudah melihat pemuda ini dan dia merasa heran, bertanya-tanya dalam hati mengapa putera Si Iblis Buta itu berada di sini, bahkan menjadi seorang di antara jagoan suku utara! Akan tetapi karena pertandingan itu bukan urusannya diapun diam saja dan hanya nonton. Dengan tombaknya, Ci Kang dengan mudah mengalahkan lawan, akan tetapi berbeda dengan pemenang-pemenang terdahulu, lawannya dirobohkannya tanpa menderita luka apapun, kecuali senjatanya runtuh dan lawan itu ditodong ujung tombak pada lehernya sehingga tidak mampu bergerak dan terpaksa mengaku kalah. Dan hal inipun dilakukan setelah dia membiarkan lawan menyerangnya sampai belasan jurus sehingga lawannya yang kalah itu tidak sampai terlalu kehilangan muka seperti yang diderita mereka yang tadi kalah dalam satu gebrakan saja!

   Setelah semua jagoan dipertandingkan, akhirnya hanya tinggal satu orang yang belum kalah, yaitu raksasa Mongol, raksasa Mancu dan Ci Kang. Dua orang raksasa itu telah memenangkan tiga kali pertandingan yang mereka selesaikan hanya dalam beberapa jurus saja, sedangkan Ci Kang memenangkan dua pertandingan. Dan kini, menurut undian, dua orang raksasa itulah yang akan saling berhadapan. Tentu saja para penonton menjadi tertarik sekali karena sudah depat dibayangkan betapa akan hebatnya kalau dua orang raksasa yang sama tangguhnya itu maju dan saling melawan! Mereka berdua sudah melangkah maju, kakinya melangkah seperti kingkong, dengan kedua lengan tegak terpentang,

   Kedua kaki agak membungkuk, kepala ditundukkan dan mata mereka mengintai dari bawah alis mata yang tebal, mulut mennyeringai seperti mulut orang hutan marah. Langkah mereka seperti menggetarkan bumi dan ketegangan semakin memuncak setelah akhirnya mereka saling berhadapan dalam jarak dua meter. Agaknya mereka saling menilai dan menimbang keadaan lawan dengan pandang mata mereka. Keduanya berdiri seperti arca yang menyeramkan, sedikitpun tidak bergerak. Tiba-tiba terdengar gerengan nyaring dan kaki bersepatu itu meluncur dengan kecepatan kilat ke arah dada si raksasa Mongol. Demikian cepatnya kaki itu menyerang sehingga tidak sempat dielakkan oleh raksasa Mongol yang lamban itu, namun raksasa itu memasang dadanya dan mengerahkan tenaga sampai perutnya mengembung besar dan otot-otot menonjol di dadanya.

   "Blukkk..."

   Hebat sekali benturan antara kaki dan dada itu dan akibatnya, tubuh raksasa Mongol terdorong mundur tiga langkah, akan tetapi tubuh si penendang itupun terlempar ke belakang dalam jarak yang hampir sama! Keduanya kini berdiri saling pandang dan tahulah mereka bahwa tenaga mereka seimbang dan si raksasa Mancu juga tahu bahwa lawannya sungguh kebal, walaupun dia dapat menduga bahwa kekebalan itu hanya sebatas kulit saja dan tendangannya tadi setidaknya mengguncangkan isi dada lawan. Hal ini memang benar karena si raksasa Mongol merasa betapa tendangan tadi menyesakkan napasnya, maka diapun bersikap hati-hati sekali. Ketika mereka maju kembali, si raksasa Mancu melancarkan serangan tendangan lagi.

   Akan tetapi kini lawannya menangkis bertubi-tubi dengan kedua lengan sehingga semua tendangannya gagal dan pada suatu saat, kaki kirinya dapat dicengkeram oleh tangan kanan jagoan Mongol. Dengan tenaga yang besar, raksasa Mongol itu mengangkat tubuh lawan ke atas dan diputar-putar dengan maksud akan dilemparkan atau dibantingkan. Akan tetapi, jagoan Mancu itu dengan kaki kanannya berhasil menendang pundak kanan lawan, sehingga cengkeramannya mengendur dan pada saat hampir dibanting, jagoan Mancu depat melepaskan dirinya. Dia terbanting akan tetapt tidak terlalu keras sedangkan lawannya yang tertendang pundaknya juga terhuyung ke belakang. Keduanya kini terengah-engah dan berdiri saling pandang bagaikan dua ekor gajah yang sedang berlaga. Kemudian keduanya mengeluarkan teriakan-teriakan keras dan mereka saling menerjang ke depan dengan cepat.

   "Bress..."

   Keduanya bertumbukan, mempergunakan kedua tangan dan kaki, juga dada untuk mengadu kekuatan dengan lawan. Kembali keduanya terjengkang! Mereka merangkak bangun dan melanjutkan pertandingan yang kini semakin seru bahkan mati-matian. Jagoan Mancu masih mengandalkan tendangan-tendangan, yang disambut lawan dengan kekebalan dan kelincahan sehingga tiap kali kena dicengkeram, dia selalu dapat melepaskan diri, bahkan beberapa kali dia terbanting, akan tetapi dapat bangun kembali. Juga raksasa Mongol beberapa kali kena terjangan kedua kaki yang melakukan tendangan terbang, sampai terjengkang akan tetapi juga dapat bangkit kembali.

   Sorak sorai dan tepuk tangan riuh rendah menyambut pertandingan yang hebat ini. Pertandingan itu memang ramai sekali. Dua orang raksasa itu pukul-memukul, tendang-menendang, saling mencengkeram dan berusaha merobohkan lawan mengandalkan kekuatan otot-otot tubuh yang melingkar-lingkar dan melindungi diri masing-masing dengan kekebalan tubuh. Mereka seperti dua ekor ayam jantan yang tidak mengenal artinya menyerah. Dan agaknya mereka itu akan berkelahi terus sampai mati. Para penonton menjadi seperti binatang-binatang haus darah, ingin sekali melihat seorang di antara mereka roboh dan tewas! Akan tetapi tiba-tiba kepala suku Mongol dan kepala suku Mancu memasuki arena pertandingan dan masing-masing menyerukan kepada jagoan-jagoan itu untuk menghentikan perkelahian mereka. Dua orang reksasa itu mentaati dan mereka mundur, berdiri terengah-engah dan tubuh mereka yang kokoh itu basah oleh keringat.

   "Kami sudah melihat cukup!"

   Kata kepala suku Mongol.

   "Kedua orang jagoan ini sama kuat dan kalau dilanjutkan, mungkin keduanya akan tewas. Hal ini tidak adil karena masih ada seorang jago lagi yang akan memperoleh kemenangan tanpa berkelahi kalau mereka berdua ini keduanya tewas."

   "Benar!"

   Sambung kepala suku Mancu.

   "Biarlah jagoan ketiga maju dulu melawan seorang di antara mereka menurut undian, baru kemudian perkelahian antara dua jagoan ini dilanjutkan!"

   Agaknya kedua kepala suku itu merasa yakin bahwa jagoan ketiga itu tentu akan dapat dikalahkan dengan mudah. Mendengar itu, Ci Kang sudah membisiki sahabatnya, Moghu Khali kepala suku Khin itu. Moghu Khali bangkit berdiri dan berkata dengan suara lantang,

   "Memang benar. yang tinggal hanya tiga orang jago. Agar adil, maka biarlah tiga orang jago itu maju bersama, saling serang sampai seorang di antara mereka tinggal sebagai pemenang dan yang dua orang lagi roboh."

   Usul kepala suku Khin ini disetujui oleh semua orang. Tentu saja para penonton menjadi semakin gembira. Orang muda berjubah kulit hartmau itupun tadi mereka lihat cukup tangguh sehingga kalau tiga orang jagoan tangguh itu maju bersama dan saling serang, tentu mereka dapat menonton perkelahian yang sungguh menarik, seru dan mati-matian. Kini tiga orang jagoan itu sudah maju ke tengah arena pertandingan. Ci Kang yang maklum akan kekuatan lawan dan juga kekebalan tubuh mereka, maju sambil menunggang kuda putihnya dan memegang tombak kongce yang bergagang panjang itu. Sikapnya tenang saja.

   Dia sebetulnya tidak gentar kalau harus menghadapi mereka dengan jalan kaki dan bertangan kosong, akan tetapi dia tidak mau membiarkan dirinya terancam bahaya terlalu besar karena menghadapi dua orang itu dengan tangan kosong amatlah berbahaya, kecuali kalau dia menggunakan ilmunya untuk membunuh mereka dengan pukulan-pukulan ampuh. Justeru dia sama sekali tidak ingin membunuh orang, apalagi dalam suatu pertandingan adu kepandaian ini di mana dia hanya menjadi wakil kepala suku Khin yang menjadi sahabatnya. Sementara itu, dua orang raksasa Mongol dan Mancu itu tadi telah menerima bisikan kepala suku masing-masing. Mereka memang cerdik. Mereka berdua itu maklum bahwa antara mereka terdapat tingkat kekuatan yang seimbang dan biarpun masing-masing belum dapat menentukan kemenangan,

   Akan tetapi setidaknya kesempatan mereka untuk menang adalah setengah bagian. Akan tetapi, kalau seorang di antara mereka sampai dibantu oleh pemuda berbaju kulit harimau itu yang dikeroyok akan celaka Maka, jalan satu-satunya bagi mereka adalah maju bersama mengeroyok pemuda berkuda itu dan setelah pemuda itu roboh, hal yang mereka yakin akan dapat mereka lakukan dengan cepat kalau mereka maju berdua, barulah mereka berdua akan dapat bertanding kembali untuk menentukan siapa yang lebih unggul. Ci Kang sama sekali tidak menyangka bahwa dia akan dikeroyok dan barulah dia tahu akan hal ini ketika dua orang raksasa itu maju menghampirinya dari kanan kiri dengan sikap mengancam dan wajah beringas. Ci Kang sama sekali tidak merasa gentar, akan tetapi, diam-diam dia mengkhawatirkan kudanya,

   Maka diapun meloloskan kedua kakinya dari injakan agar kedua kakinya bebas. Gerengan dari kanan kiri menandakan bahwa dua orang raksasa itu sudah mulai menyerangnya. Raksasa Mongol itu menyerang dari kiri dengan kedua tangan menubruk seperti seekor harimau sedangkan raksasa Mancu yang mengandalkan kekuatan kakiya telah mengirim tendangan ke arah perut Ci Kang. Pemuda ini sudah siap siaga, menyambut tubrukan raksasa Mongol dengan tombaknya. Dia bukan menusuk tubuh melainkan menggunakan ujung tombak yang dibalik, yaitu menggunakan gagang tombak, menusuk ke arah mata! Inipun hanya gertakan saja, atau siasat untuk mencegah raksasa itu melanjutkan serangannya. Sementara itu, tendangan kaki raksaaa Mancu ke arah perutnya itu dia sambut dengan kaki kanannya.

   "Dukkk..."

   Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Terdengar dua orang raksasa itu mengeluarkan seruan kaget bukan main. Raksasa Mongol terkejut karena tiba-tiba saja ada ujung gagang tombak menyambar cepat ke arah matanya. Dia boleh mengandalkan kekebalannya, akan tetaipi kalau matanya dicolok dengan gagang tombak, tentu akibatnya celaka baginya. Maka tidak ada jalan lain baginya kecuali membuang diri ke belakang dan bergulingan setelah mengeluarkan seruan kaget. Sedangkan raksasa Mancu yang mengandalkan kekuatan kakinya itu, begitu kakinya bertemu dengan kaki pemuda itu,

   Tubuhnya terjengkang dan diapun bergulingan sambil menahan rasa nyeri yang membuat tulang kering kakinya berdenyut-denyut panas! Dua orang raksasa itu meloncat bangun lagi dan suasana menjadi sunyi senyap karena semua penonton melongo ketika melihat betapa dalam gerakan pertama saja pemuda itu sudah berhasil membuat dua orang raksasa yang mereka jagoi itu jatuh bergulingan! Bahkan orang-orang Khin sendiri yang mengajukan Ci Kang sebagai jagoan mereka, nampak sunyi dan melongo, terlalu heran dan kaget sehingga lupa untuk bersorak. Bukan hanya karena ini saja, akan tetapi juga karena suku itu diam-diam merasa takut dan segan kepada suku Mongol dan Mancu yang merupakan suku-suku terbesar dan terkuat, maka melihat kepala suku mereka diam saja merekapun tidak berani untuk bersorak sorai.

   Sementara itu Ci Kang maklum bahwa kalau dia menunggang kuda menghadapi dua orang lawan yang ingin dia jatuhkan tanpa membunuh, maka kudanya tentu akan terancam bahaya, dan agak sukarlah baginya untuk melindungi kuda itu. Maka begitu kedua orang itu melompat bangun, dia sudah meloncat dari atas kudanya. Ci Kang sengaja meloncat dengan gaya lompatan ke atas, tinggi dan kemudian tubuhnya berjungkir balik beberapa kali di udara sebelum meluncur turun, didahului oleh tombaknya yang menancap di atas tanah dan Ci Kang berdiri tegak di atas tombak itu dengan sebelah kaki. Sedikitpun tubuhnya tidak bergoyang! Tentu saja hal ini amat mengagumkan para penonton dan orang-orang Khin tidak dapat lagi menahan kebanggaan dan kegembiraan hati mereka. Ketika kepala suku mereka bertepuk tangan memuji, merekapun bersorak gembira sehingga suasana menjadi riuh kembali. Nenek Yelu Kim terkejut sekali dan ia mendekati Sui Cin, berbisik,

   "Pemuda itu hebat sekali, apakah engkau sanggup menandinginya?"

   Sui Cin juga melihat semua itu dan diam-diam kagum akan kelihaian Ci Kang. Akan tetapi kalau hanya ginkang seperti yang dipertontonkan Ci Kang itu, dia masih sanggup menandinginya, bahkan mengatasinya.

   "Harap subo jangan khawatir,"

   Bisiknya kembali.

   Sementara itu, Hui Song yang juga melihat Ci Kang bergaya, diam-diam merasa panas hatinya walaupun dia harus pula akui bahwa pemuda putera Iblis Buta itu agaknya telah memperoleh kemajuan dan kini mungkin lebih lihai dari pada dahulu, Hal yang sudah diduganya ketika Ci Kang muncul di bekas benteng Jeng-hwa-pang. Ada timbul keinginan untuk mencoba kepandaian pemuda itu. Akan tetapi hal itu tidak mungkin dilakukan di sini karena tentu akan mengacaukan pemilihan pimpinan itu dan dia tidak mau menyusahkan rombongan Lamnong. Maka diapun diam saja dan hanya menonton, sambil diam-diam seringkali melirik ke arah rombongan nenek Yelu Kim dan Sui Cin. Dua orang raksasa itu sudah menjadi marah sekali karena dalam gebrakan pertama tadi mereka telah dibikin malu. Walaupun mereka tidak terluka, akan tetapi mereka telah dipaksa roboh bergulingan.

   Maka kini, biarpun mereka juga kaget melihat betapa pemuda itu memperlihatkan keringanan tubuh yang istimewa, mereka berlari menerjang dengan marah. Akan tetapi betapa kaget dan heran mereka ketika tiba-tiba saja pemuda itu lenyap bersama tombaknya dan mereka hanya menubruk tempat kosong, bahkan hampir saling pukul sendiri. Kalau saja mereka berdua itu tidak mempunyai siasat untuk lebih dahulu merobohkan Ci Kang, tentu mereka sudah saling hantam karena mereka kini saling berhadapan dekat sekali. Akan tetapi keduanya sama sekali tidak melakukan hal ini, melainkan cepat membalik dan mencari Ci Kang. Ketika melihat pemuda itu berdiri tak jauh di belakang mereka sambil melintangkan tombaknya, merekapun menyerbu lagi. Kini semua penonton maklum bahwa dua orang raksaka yang tadi saling banting-membanting itu tiba-tiba saja sudah bersatu untuk menghadapi dan mengeroyok pemuda berbaju kulit harimau itu!

   "Curang..."

   Moghu Khali, kepala suku Khin itu mengomel akan tetapi tidak berani bicara keras. Bagaimanapun juga, setelah memasuki arena pertandingan, tiga orang itu bebas berkelahi dengan cara bagaimanapun juga. Dia hanya mengkhawatirkan keselamatan jagoannya karena menghadapi pengeroyokan dua orang raksasa itu sungguh amat berbahaya sekali. Juga Sui Cin dan Hui Song menonton dengan hati tegang. Mereka juga dapat merasakan betapa berbahayanya keadaan Ci Kang sekarang. Akan tetapi Ci Kang menghadapi mereka dengan sikap tenangtenang saja. Diapun bukan orang bodoh dan majunya ke tempat itu hanya untuk membantu Moghu Khali yang menjadi sahabatnya. Kalau dia mengerahkan tenaga dan kepandaiannya,

   Kiranya akan mudah baginya melawan dan menewaskan dua orang raksasa ini. Akan tetapi dia tahu bahwa dengan melakukan hal ini, tentu akan timbul iri dan penasaran dalam hati para kepala suku Mongol dan Mancu yang merupakan suku yang terbesar dan kuat. Dan hal itu tentu akan membuat keadaan Moghu Khali tidak menguntungkan dan mungkin dimusuhi. Oleh karena itu, dia mengambil keputusan untuk mencapai kemenangan setelah memberi muka kepada dua orang raksasa ini, yang berarti memberi muka kepada kepala suku masing-masing. Oleh karena itu, ketika dua orang raksasa itu datang menyerbu lagi, dia hanya mengelak dan menangkis, mampergunakan kegesitannya untuk menghindarkan diri. Terjadilah perkelahian yang kelihatannya saja seru dan menegangkan, akan tetapi bagi orang-orang pandai seperti Sui Cin dan Hui Song,

   Nampak jelas bahwa Ci Kang sengaja mengalah dan belum pernah membalas. Dan mereka berdua inipun setelah mengamati gerak-gerik kedua orang raksasa itu mendapat kenyataan bahwa dua jagoan tinggi besar itu hanya memiliki tenaga besar saja namun dalam hal ilmu berkelahi masih jauh kalah kalau dibandingkan dengan tingkat ilmu silat Ci Kang. Setelah membiarkan dirinya dihujani serangan sampai tiga puluh jurus lebih, tiba-tiba Ci Kang memutar-mutar tombaknya dan tombak itu lenyap berubah menjadi gulungan sinar putih yang membungkus tubuhnya. Tubuh Ci Kang sendiri lenyap, hanya nampak kedua kakinya saja Kadang-kadang menginjak tanah. Melihat ini, dua orang raksasa itu menjadi terkejut dan tentu saja merasa ragu-ragu karena mereka gentar untuk menerjang dinding yang terbuat dari gulungan sinar putih itu.

   Ci Kang tidak bermaksud membunuh lawan. Dia memutar tombak itu hanya untuk menciptakan dinding sinar yang menutup tubuhnya, dan memang menjadi maksudnya agar kedua orang lawan itu menghentikan serangan mereka. Pada saat kedua orang raksaaa itu berdiri bimbang, tiba-tiba Ci Kang meloncat ke depan, menggunakan tombak yang dibalik untuk menotok kedua lutut raksasa Mancu yang ahli tendang itu dan berbareng tangan kirinya menampar ke arah tengkuk raksasa Mongol sambil mengerahkan tenaga sinkang. Dua serangan yang dilakukan Ci Kang ini sudah memakai perhitungan dan pemusatan tenaga, maka mengenai suarannya secara tepat sekali. Dua orang raksasa itu terpelanting dan tidak mampu bangkit kembali! Raksasa Mancu tertotok kedua lututnya dan kedua kakinya menjadi lumpuh, sedangkan raksasa Mongol yang kena dihantam tengkuknya dengan tangan yang dimiringkan itu roboh pingsan.

   Ternyata kekebalannya tidak mampu melindungi tengkuknya dari hantaman yang mengandung tenaga sinkang amat kuat itu. Suasana kembali menjadi sunyi, karena semua orang untuk ke sekian kalinya tertegun dan melongo, hampir tidak percaya bahwa pemuda itu akan mampu mengalahkan dua orang jagoan raksasa yang mengeroyoknya itu sedemikian mudahnya! Ketika tadi Ci Kang memperlihatkan kepandaiannya, tak pernah dapat dirobohkan oleh kedua orang penyerangnya, orang-orang mulai menjadi tegang dan mengira bahwa tentu akan terjadi perkelahian mati-matian. Akan tetapi siapa kira pemuda itu akan mampu mengakhiri pertandingan itu sedemikian mudah dan cepat. Akan tetapi Ci Kang tidak perduli dan dia sudah meloncat lagi ke atas punggung kuda putihnya sambil melintangkan tombaknya.

   Dengan gagahnya, Ci Kang menjalankan kudanya berputaran di lapangan itu, tidak bersikap sombong, melainkan menanti kalau-kalau masih ada jagoan lain yang akan maju menandinginya, sementara itu dua orang raksasa yang roboh telah digotong pergi oleh teman-temannya. Setelah Moghu Khali mengangkat tangan bersorak, berulah anak buahnya berani bertepuk tangan dan bersorak kegirangan melihat betapa jagoan mereka mendapat kemenangan, dan tak lama kemudian hampir semua orang yang hadir bersorak menyambut kemenangan ini. Bagaimanapun juga, mereka itu adalah suku-suku bangsa yang menghargai kegagahan dan melihat kehebatan Ci Kang, mereka merasa kagum sekali. Melihat sikap semua orang ini, Moghu Khali berbesar hati untuk menuntut haknya, yaitu menjadi pimpinan karena jagoannya telah keluar sebagai pemenang. Dia melangkah maju dan mengangkat kedua tangan ke atas dan berseru dengan suara lantang.

   "Seperti saudara sekalian menyaksikannya, jagoan yang kami ajukan telah menjadi juara dan mengalahkan semua jagoan lainnya, oleh karena itu..."

   "Tunggu dulu..."

   Suara nenek Yelu Kim melengking dan mengatasi semua suara sehingga semua orang menengok kepadanya. Nenek ini sudah bangkit berdiri pula dan mengebut-ngebutkan hudtim di tangannya. Karena nenek ini dikenal sebagai seorang yang disegani bahkan ditakuti, dan nasihat-nasihatnya selalu ditaati oleh para suku bangsa di utara karena nasihat-nasihat itu memang amat baik dan tepat, maka kini semua orang memandang dan menanti apa yang aken dikatakan oleh nenek itu.

   "Saudara sekalian harap tenang dulu. Aku sendiri masih mempunyai seorang jago, dan aku berhak mengajukan jagoku, setidaknya untuk menguji sampai di mana kemampuan jago dari saudara-saudara suku Khin itu!"

   Tiba-tiba terdengar suara auman harimau yang menggetarkan jantung dan dari belakang rombongan nenek Yelu Kim melompatlah keluar seekor harimau besar yang ditunggangi oleh seorang bertubuh kecil ramping yang muka dan kepalanya ditutupi kain hitam sebagai kedok. Hanya sepasang matanya yang mencorong itu saja yang nampak dari lubang pada kain hitam itu. Orang ini menunggang harimau seperti menunggang kuda saja, tanpa sela, dan tangan kanannya memegang sebatang tongkat yang panjangnya hanya dua kaki lebih.

   "Harimau Terbang..."

   Terdengar orang berbisik-bisik dengan mata terbelalak, dan mereka memandang dengan gentar. Hui Song yang sejak tadi memandang ke arah rombongan nenek Yelu Kim di mana terdapat pula Sui Cin, kini ikut terbelalak karena tadi dia hanya melihat gadis itu menyelinap lenyap di antara rombongan nenek itu, kini muncul orang menunggang harimau dan Sui Cin tidak nampak pula. Biarpun orang itu menyembunyikan kepala dan mukanya di balik kedok kain sutera hitam, akan tetapi dia mengenal perawakannya dan juga tadi Sui Cin memakai pakaian seperti yang kini dipakai penunggang harimau itu. Saking herannya Hui Song hanya memandang saja. Apa artinya semua ini, pikirnya. Sui Cin maju sebagai jagoan nenek Yelu Kim pemimpin perkumpulan rahasia Harimau Terbang, bahkan kini Sui Cin memakai kedok dan menunggang harimau!

   Ci Kang juga terkejut sekali melihat munculnya orang menunggang harimau itu. Dari Moghu Khali, dalam percakapan mereka, dia sudah mendengar akan nenek Yelu Kim yang disegani itu, juga bahwa nenek itu memimpin sebuah perkumpulan rahasia yang bernama Harimau Terbang dan nenek itu bertindak sebagai penasihat dan pengawas para suku di utara. Kini, melihat munculnya penunggang harimau itu, dia bersikap tenang tetapi waspada. Dia tahu bahwa penunggang harimau itu seorang wanita, dan kalau seorang wanita sudah mampu menunggang harimau dengan gerakan seperti itu, tentulah wanita itu lihai sekali. Akan tetapi calon lawannya itu agaknya tidak memberi banyak waktu baginya untuk berpikir dan melamun. Dengan lompatan-lompatan jauh, harimau itu sudah datang mendekat dan Ci Kang sudah siap siaga dengan tombaknya.

   "Lihat serangan!"

   Tiba-tiba penunggang harimau itu membentak dan harimau itu sudah melompat, menerkam ke arah Ci Kang dan kudanya, sedangkan penunggangnya juga menggerakkan tongkatnya menusuk ke arah mata Ci Kang! Sungguh hebat bukan main serangan itu dan melihat kenyataan betapa orang ini memberi peringatan sebelum menyerang, dalam bahasa Han yang tidak kaku, Ci Kang dapat menduga bahwa orang di balik kedok sutera hitam itu tentulah seorang pendekar wanita dari selatan! Menghadapi serangan maut itu, yang amat berbahaya bagi dirinya dan juga kuda yang ditungganginya, Ci Kang bergerak cepat. Tangan kirinya diangkat ke atas menangkis tusukan tongkat.

   "Dukkk..."

   Tangan kirinya yang kuat itu bertemu dengan tongkat dan tongkat itu terpental, akan tetapi Ci Kang juga merasa betapa lengan kirinya tergetar. Pada saat itu diapun harus menyelamatkan kudanya, maka dia menggerakkan tombaknya menangkis dua kaki depan harimau yang menerkam itu.

   "Bresss..."

   Dua kaki harimau itu tertangkis dan tombaknya dilanjutkan menusuk dada harimau yang masih melompat itu.

   "Dukkk..."

   Kini ujung tombaknya ditangkis oleh tendangan wanita penunggang harimau! Ci Kang terkejut sekali. Sungguh hebat gerakan wanita itu dan kini harimau itu sudah menyerang lagi dengan cepat setelah tadi meloncat turun, membalik dan mengaum.

   Ci Kang terpaksa memutar tombaknya untuk melindungi dirinya sendiri dan juga kudanya. Dan binatang tunggangannya itu menjadi panik, mengangkat kaki depan ke atas dan meringkikringkik ketakutan, juga meronta-ronta. Hal ini sungguh membahayakan dirinya dan hampir saja pundaknya terkena pukulan tongkat. Kalau dilanjutken begini, menunggang seekor kuda yang ketakutan, dia akhirnya akan celaka, pikirnya. Maka Ci Kang lalu meloncat turun dari atas kudanya dan begitu kuda itu merasa terbebas dari kendali, diapun meringkik dan melarikan diri ketakutan! Kini Ci Kang berdiri di atas tanah, siap dengan tombaknya. Dia merasa penasaran dan marah, apalagi mendengar wanita itu tertawa lirih di balik kedoknya. Engkau curang, pikirnya, mengandalkan harimau itu untuk membikin takut kuda. Maka, melihat harimau itu kembali menubruk, diapun memapakinya dengan tusukan tombaknya yang panjang.

   

Harta Karun Jenghis Khan Eps 1 Pendekar Lembah Naga Eps 55 Pendekar Sadis Eps 28

Cari Blog Ini