Ceritasilat Novel Online

Kumbang Penghisap Kembang 3


Si Kumbang Merah Penghisap Kembang Karya Kho Ping Hoo Bagian 3



Malam itu, di dalam kamar rumah penginapan, Bun An tidak dapat tidur. Dia berbaring dengan gelisah karena wajah wanita pemilik rumah makan itu selalu terbayang di depan matanya! Akhirnya, diapun keluar dari kamarnya, bahkan lalu keluar dari rumah penginapan itu dan seperti orang mimpi saja, kakinya melangkah menuju ke arah rumah makan tadi! Rumah makan itu, seperti took-toko lain di jalan raya itu, telah ditutup dan keadaan di jalan itu sudah sunyi. Malam itu memang dingin sekali, membuat orang malas sekali untuk keluar rumah. Bun An lalu mempergunakan ilmu meringankan tubuh untuk meloncat ke atas genteng dan bagaikan seekor kucing saja, dia berloncatan di atas genteng tanpa mengeluarkan suara berisik.

   Akhirnya, dia mendekam di atas sebuah kamar dan mengintai ke dalam kamar melalui genteng yang dibukanya. Kamar inilah yang dicarinya setelah dia tadi mencari-cari dan mengintai ke dalam rumah. Kamar dari suami gendut bersama isterinya yang manis. Sedikitpun tidak ada niat dalam hati Bun An untuk datang mengganggu wanita manis itu, dia memang tertarik, dan kagum sekali karena menganggap wanita itu seorang isteri yang dapat membahagiakan suami, dan dia hanya ingin tahu benarkah dugaannya itu. Ketika dia mengintai ke dalam, dia melihat wanita yang dipikirkannya sejak siang tadi telah berada di atas pembaringan. Memang seorang wanita yang amat menarik sekali, pikirannya sambil memandang dengan jantung berdebar. Wanita itu mengenakan pakaian dalam yang tipis dan merangsang, dan tidur telentang dengan sikap yang menantang dan memikat pula.

   Ia belum tidur, rebah telentang sambil bermain-main dengan mata kalungnya. Baju didadanya terbuka memperlihatkan bukit dada yang membusung. Suami itu tidak nampak. Tak lama kemudian, terdengar langkah kaki berat dan suami yang gendut itupun menggelinding masuk! Nampak dari atas, kaki pria itu tertutup oleh kepala dan perut yang bulat maka kelihatan memang seperti menggelinding saja dan Bun An tersenyum. Pria itu memang lucu dan menggelikan, akan tetapi isterinya sungguh memikat. Seperti juga isterinya, pria itu mengenakan pakaian tidur yang longgar dan membuatnya nampak semakin lucu. Ketika sang suami memasuki kamar, isterinya menghentikan permainannya dengan mata kalung, lalu bangkit duduk dan tersenyum manis sekali.

   "Lama benar sih, aku sudah menantimu sejak tadi...,"

   Kata sang isteri dengan suara manja dan sikap mesra sekali, bahkan wanita itu mengembangkan kedua lengannya seolah-olah memberi isyarat bahwa dia sudah siap untuk menerima pria gendut itu dalam pelukannya. Akan tetapi, pria itu menghela napas panjang dan mengelus perutnya yang gendut,

   "Aku menghabiskan sisa bakmi tadi, dan perutku kenyang sekali. Aaahh, tubuhku lelah, dan aku ngantuk sekali. Aku mau tidur saja, besok harus bangun pagi-pagi persediaan daging babi habis, besok harus mengatur penyembelihan babi... auuuuuhhhhhh..."

   Pria itu menguap lalu menjatuhkan diri di atas pembaringan.

   Pembaringan itu bergoyang dan mengeluarkan suara menjerit seperti menerima tubuhnya yang gembrot. Akan tetapi, dia segera miringkan tubuh, membelakangi isterinya dan belum ada lima menit dia sudah tidur mendengkur seperti babi yang disembelih! Isteri itu mengerutkan alisnya, masih duduk memandang suaminya, menggeleng-geleng kepala dan beberapa kali menghela napas panjang, nampaknya jengkel sekali. Setelah suami itu mendengkur dengan nyenyaknya, wanita yang manis itu perlahan-lahan turun dari atas pembaringan, memadamkan lilin di atas meja. Bun An sudah siap untuk pergi, akan tetapi dia tertarik ketika melihat bayangan wanita itu berjingkat-jingkat menuju ke pintu kamar! Wanita itu setelah memadamkan api lilin, tidak kembali tidur di atas pembaringan, melainkan keluar dari kamar itu!

   Dengan hati tertarik sekali, Bun An lalu melayang turun dari atas genteng, lalu menyelinap ke dalam rumah itu, lalu mengintai dari bawah, mengikuti bayangan wanita itu yang dengan hati-hati kini melangkah menuju kebelakang. Didekat dapur terdapat sebuah kamar lain yang bentuknya kecil, dan nampak wanita itu dengan perlahan mengetuk pintu kamar ini. Tiga kali, berhenti, lalu tiga kali lagi, berhenti, lalu tiga kali lagi, berhenti, demikian berkali-kali sehingga Bun An dapat menduga bahwa ketukan itu adalah ketukan rahasia yang merupakan isyarat. Daun pintu kamar itu terbuka dan sesosok tubuh pria yang tinggi besar nampak muncul. Biarpun cuaca tidak begitu terang, namun Bun An segera mengenal wajah orang itu sebagai wajah pelayan rumah makan yang siang tadi melayaninya! Agaknya, pelayan rumah makan itu selain bekerja di rumah makan, juga memperoleh pondokan disitu.

   "Aih, masih sore begini engkau berani ke sini...?"

   Pria itu berbisik.

   "Sssstt, dia sudah tidur mendengkur seperti babi!"

   Kata si wanita yang segera menubruk pria itu. Pria itu menyambut dengan pelukan dan mereka berciuman, daun pintu itu ditutup kembali! Hampir saja Bun An tertawa bergelak melihat adegan ini! Tertawa karena dianggapnya lucu, dan betapa tololnya dia! Dikiranya wanita itu seorang isteri yang setia dan baik, yang membahagiakan suaminya! Ternyata, tiada bedanya seujung rambutpun dengan isterinya sendiri. Wanita iblis berhati kotor penuh racun!

   Dengan beberapa loncatan saja, Bun An sudah berada di dalam kamar pria gendut, suami yang tidur mendengkur itu. Dia menyalakan lilin, lalu menotok leher dan pundak pria gendut pemilik rumah makan itu sehingga pria itu seketika menjadi gagu dan terkulai lemas. Bagaikan orang menyeret seekor babi, Bun An menyeret keluar dari dalam kamar, menuju ke kamar belakang dimana isteri pemilik restoran tadi bercumbu dengan pelayannya. Sekali tendang, daun pintu itu roboh dan Bun An menepuk pundak dan leher si gendut, memulihkan dia masih sempat melihat dua insan yang tak tahu malu itu bergumul di atas pembaringan, lalu Bun An berkelebat lenyap meninggalkan tempat itu. Sambil tertawa bergelak loncat ke atas genteng, masih sempat mendengar suara ribut-ribut di bawah. Suara makian dan jerit tangis wanita. Namun dia tidak perduli lagi dan meninggalkan tempat itu secepat mungkin.

   Aneh, dia merasa lega dalam dadanya! Kenyataannya bahwa wanita yang manis dan menarik perhatiannya itu ternyata tiada bedanya dengan mendiang isterinya, membuat dia merasa lega karena kini tidak ada lagi iri hati menggoda hatinya! Dia melihat kenyataan akan kelemahan wanita cantik. Isterinya lemah karena menginginkan kekayaan dan terjatuh ke dalam lembah kehinaan karena mengejar kekayaan. Isteri pemilik rumah makan itu lemah dan terjatuh ke dalam lembah kehinaan karena mengejar kenikmatan sex yang tidak bisa didapatkannya dari suaminya. Mendiang isterinya juga tidak akan mungkin mendapatkan kekayaan darinya, suaminya. Apakah kalau begitu, untuk membuat seorang isteri setia, maka dua hal itu harus dipenuhinya, yaitu kekayaan dan sex yang cukup?

   Tang Bun An masih juga merasa bimbang dan didalam perantauannya, dia mulai mengadakan penyelidikan sendiri. Setiap kali dia bertemu dengan isteri orang yang cantik, maka dia lalu menggodanya! Dia menggunakan rayuan, atau uang, untuk menjatuhkan hati mereka dan dia mendapatkan kenyataan yang pahit, yang membuat dia semakin tidak percaya kepada wanita, bahwa sedikit sekali isteri orang yang menolak semua rayuannya dan setia kepada suaminya. Dari sepuluh wanita yang menjadi isteri orang, hanya dua atau tiga orang saja yang setia dan mereka yang setia ini bukan termasuk yang tercantik! Semua pengalaman dengan wanita yang dicobanya inilah yang membuat suatu watak yang aneh dalam diri Tang Bun An!

   Dia mulai menanam benih-benih kebencian dan memupuknya benih yang mulai timbul karena ulah ibunya dan isterinya itu. Dia tidak mau menikah lagi karena tidak percaya kepada wanita, dan mulailah dia bertualang diantara wanita-wanita cantik. Dia juga berkeliaran diantara rumah-rumah pelacuran yang paling terkenal di setiap kota, bahkan mendatangi kota raja dan mengenal semua wwanita pelacur di kota raja. Mudah saja baginya untuk mendapatkan uang. Dengan menggunakan kepandaiannya, dia dapat memasuki gudang harta setiap orang bangsawan atau hartawan dan mengambil yang dibutuhkannya. Semua hasil pencuriannya itu dihamburkan habis dalam rumah-rumah pelesir. Jadilah Tang Bun An seorang laki-laki yang penuh pengalaman dan dia mempelajari segala macam kepandaian merayu dari wanita-wanita pelacur itu.

   Setelah benih kebencian itu tumbuh subur, bersama dengan benih mata keranjang yang membuat dia mudah tertarik dan timbul gairahnya setiap kali melihat seorang wanita cantik, mulailah Bun An menggoda wanita-wanita yang dianggapnya cantik dan menarik hatinya, yang membangkitkan gairahnya. Dia tidak perduli, apakah wanita itu masih perawan, ataukah isteri orang! Dia mengguanakan rayuan dengan modal wajah tampan dan mulut manis, menggunakan uang, atau dengan bantuan obat perangsang, dan kalau semua itu tidak berhasil membuat wanita yang ditaksirnya bertekuk lutut menyerahkan diri dengan suka rela, dia tidak segan-segan mempergunakan kekerasan! Hal ini mudah baginya karena memiliki ilmu kepandaian tinggi! Tang Bun An menjadi seorang jai-hwa-cat, seorang penjahat pemetik bunga, seorang tukang pemerkosa wanita, atau seekor kumbang yang suka menghisap madu kembang!

   Dia lupa yang menyebabkan banyak wanita menjadi isteri orang jatuh olehnya, bukanlah semata karena kelemahan wanita itu sendiri, melainkan juga disebabkan terutama sekali oleh ketampanan dan kegagahannya, kepandaiannya merayu. Tang Bun An suka keindahan, dan tidak segan-segan pula merusak keindahan yang dikaguminya itu, demi kesenangannya, demi kepuasan hatinya, dan demi pelaksanaan dendam sakit hati dan kebenciannya. Dia menganggap dirinya seperti seekor kumbang yang beterbangan diantara kembang-kembang. Pada suatu hari, dia melihat betapa ganasnya seekor kumbang yang merahh menghisap kembang sampai layu dan rontok, dan betapa kumbang merah ini ganas pula menerjang setiap saingannya, yaitu kumbang lain untuk memperebutkan setangkai bunga yang harum dan segar.

   Karena tertarik dan kagum sekali kepada kumbang ini, maka Tang Bun An lalu membuat perhiasan berbentuk kumbang merah dan selanjutnya dia meninggalkan sebuah perhiasan ini kepada setiap orang wanita yang menjadi korbannya! Ada kalanya wanita itu dibunuh, yaitu mereka yang tidak mau menyerahkan diri secara suka rela, mereka yang melawannya, ataupun mereka yang mengecewakan hatinya karena tidak sehebat yang dibayangkannya semula! Entah sudah berapa ribu wanita yang menjadi korbannya selama puluhan tahun ini, dan berapa ratus yang telah dibunuhnya! Dan semenjak dia meninggalkan sebuah kumbang merah pada setiap orang wanita yang menjadi korbannya, hidup atau mati, di dunia kang-ouw mengenalnya sebagai Si Kumbang Merah (Ang Hong Cu)!

   Namun, si Kumbang Merah ini tidak pernah memperlihatkan wajah aslinya! Dia memang pandai menyamar dan selalu muncul dalam penyamaran. Karena itu, tidak ada seorangpun yang pernah melihat wajah aslinya dan hal ini menyukarkan para pendekar maupun para petugas keamanan untuk dapat menangkapnya! Para korban, wanita cantik yang bagaikan kembang sudah dihisap habis-habisan oleh kumbang merah ini, hanya mengatakan bahwa si Kumbang Merah itu adalah seorang pria yang perkasa dan tampan, namun wajah yang digambarkan oleh semua wanita itu berbeda-beda! Karena itulah, maka biarpun namanya amat terkenal, namun sampai puluhan tahun Ang Hong Cu tidak pernah dapat ditangkap biarpun para pendekar mengerahkan tenaga mereka untuk mencarinya.

   Demikianlah riwayat singkat dari Ang-hong-cu yang bernama Tang Bun An! Nama Tang Bun An jarang dikenal orang, bahkan Ang-hong-cu sendiri sudah hampir tidak lagi mengingat namanya. Hanya pada wanita-wanita tertentu saja, yaitu korbannya yang benar-benar memikat hatinya, kadang-kadang dia memperkenalkan she (nama keturunan) Tang. Namun, hal ini jarang sekali terjadi. Kalau dia bertemu seorang wanita yang amat memikatnya, yang membuat dia hampir jatuh
(Lanjut ke Jilid 03)
Ang Hong Cu (Seri ke 10 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 03
hati dan benar-benar mencintanya, dia hanya membuat wanita itu menjadi kekasihnya, seringkali dikunjunginya dan dilimpahkan kasih sayangnya, akan tetapi sesudah itupun sudah.

   Diapun berusaha secepat mungkin melupakannya dan mematahkan ikatan batinnya terhadap wanita itu, dengan jalan mencari dan mendapatkan seorang korban baru! Ang-hong-cu juga tidak perduli apakah korbannya itu seorang murid dari sebuah perguruan besar. Sudah beberapa kali dia tidak segan-segan untuk mencemarkan nama perkumpulan besar dengan memperkosa pendekar-pendekar wanita yang menarik hatinya! Dan karena dia melakukan hal itu dalam penyamaran, maka para pimpinan perguruan silat yang besar itupun tidak berdaya, hanya tahu bahwa murid perempuan mereka diperkosa oleh Ang-hong-cu. Akan tetapi mereka tidak tahu siapa itu Ang-hong-cu atau di mana bisa menemukannya!

   Itulah kakek yang berusia lima puluh lima tahun itu, yang pada permulaan kisah ini kita temui sedang menuruni bukit dipagi hari itu dengan santai, dan wajah pria itu masih nampak gagah dan tampan. Itulah wajah Ang-hong-cu yang sebenarnya, wajah yang aseli. Wajah itu halus dan sama sekali tidak dikotori kumis atau jenggot, masih segar seperti wajah seorang pemuda saja. Langkahnya tegap dan tenang, seperti langkah seekor harimau, dan dari mulutnya terdengar nyanyian yang dinyanyikan dengan suara yang lepas dan merdu, suara yang mengandung kegembiraan dan juga kebanggaan kepada diri sendiri, yang mengarah kesombongan!

   "Bebas lepas beterbangan
dari taman ke taman
mencari kembang harum jelita
untuk kuhisap sari madunya
setelah puas kunikmati
kutinggalkan kembang layu merana
untuk mencari kembang segar yang baru
Si Kumbang Merah, inilah aku!"

   Dialah Ang-hong-cu si Kumbang Merah, jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) yang tiada keduanya di dunia ini! Laki-laki yang nampak jauh lebih muda dari pada usia yang sebenarnya itu, tiba-tiba berhenti melangkahkan kakinya dan dia lalu duduk di atas rumput di lereng bukit itu. Daru tempat dia duduk, didepannya terbentang keindahan alam yang menakjubkan. Dia duduk membelakangi matahari, memandand ke bawah sana. Semua bermandikan cahaya matahari pagi yang seolah-olah memberi kehidupan baru kepada segala yang nampak.

   Pohon-pohonan menjadi cerah, warna hijau bercampur dengan sinar matahari yang masih lembut kuning keemasan, padi-padian menghampar luas di depan, seolah-olah dengan satu langkah saja dia akan dapat melampaui hamparan di bawah itu. Dan duduk menghhadapi tamasya alam yang amat indah itu, di bawah sinar matahari pagi yang cerah, di hembus angin bersilir nyaman, seolah-olah menhanyutkan semangat Si Kumbang Merah kepada msa lampaui. Segala peristiwa yang mengesankan hatinya terbayang di dalam kepalanya, seolah-olah dia membalik-balik lembaran buku catatan penuh gambar yang mengasikan. Terlalu banyak wanita digaulinya, baik secara suka rela maupun paksa, demikian banyaknya sehingga jarang yang teringat olehnya, baik nama maupun rupa.

   Akan tetapi ada beberapa orang wanita yang meninggalkan kesan cukup mendalam di hatinya. Sebagai seorang manusia biasa, bukan tidak pernah dia jatuh cinta keada korbanya! Namun, selalu perasan cintanya di campakan jauh-jauh, dipandang sebagai racun ang berbahaya bagi dirinya sendiri. Tidak ada perempuan yang baik di dunia ini, demikian pikiran dan pendapatnya. Pendapat seperti itu memberi kekuatan kepadanya untuk membuang jauh-jauh cinta kasih yang timbul dan untuk memutuskan ikatan yang muncul kalau dia tertarik lahir batin kepada seseorang korbanya. Biasnya, setelah memperkosa seorang korban atau menggauli seorang korban yang sukarela menyerahkan diri setalah jatuh oleh rayuannya, dia akan meninggalkan begitu saja, mati atau hidup, meninggalkan pula sebuah hiasan kumbang merah kepada korban itu.

   Akan tetapi, kalau hatinya tertarik oleh seorang korban dan timbul rasa sayangnya, dia akan mengunjungi korban ini beberapa kali sampai dia merasa bosan, atau samapai dia mengambil keputusan untuk segera meninggalkan wanita itu sebelum hatinya terikat!. Tidak banyak wanita yang demikian itu. Dan yang paling mengesankan, bahkan sampai dia berusia setengah abad belum pernah dapat dilupakannya, adalah seorang gadis yang bernama Teng Bi Hwa. Sesuai dengan namanya, gadis berusia tujuh belas tahun itu benar-benar seperti bi-hwa (kembang cantik), bagaikan setnagkai bunga mawar sedang mekar semerbak! Begitu melihat Bi Hwa, Tang Bun An yang ketika itu masih muda, kurang lebih dua puluh tiga tahun usianya, menjadi tergila-gila!

   Dia merasa sayang kalau harus memperkosa gadis yang membuatnya tergila-gila itu. Didekatinya gadis itu, dirayunya. Karena dia memang tampan, pandai pula merayu seperti yang dipelajarinya dari para pelacur tingkat tinggi, dan dengan bantuan obat perangsang yang berhasil di campurkannya ke dalam minuman Bi Hwa, akhirnya dia berhasil membuat gadis itu bertekuk lutut dan jatuh cinta kepadanya! Berhasillah Bun An mnguasai gadis itu lahir batin, membuat gadis cantik itu dengan suka rela menyerahkan diri. Bi Hwa baru sadar setelah semuanya terjadi. Gadis itu maklum bahwa ia diperkosa secara halus, akan tetapi karena iapun mencintai pemuda itu, ia berpegang kepada harapan agar Bun An yang hanya dikenalnya sebagai Tang-Kongcu (tuan muda tang) akan suka mengawini!

   Akan tetapi, pemuda itu hanya minta waktu saja, sementara setiap malam membawanya pergi dari kamarnya untuk bermain cinta, berasyik-masyuk, bermesraan berenang dalam lautan madu asmara sampai Bi Hwa menjadi mabok kepayang! Dan hal yang paling dikhwatirkanpun terjadilah! Bi Hwa mengandung! Dan Tang-Kongcu minggat tampa pamit lagi, hanya meninggalkan sebuah hisan berbentuk kumbang emas! Bi Hwa menangis sampai pingsan, namun tidak berdaya, hanya menyesali kelemahan hatinya sendiri. Teringat akan Bi Hwa Si Kumbang Merah tersenyum, akan tetapi senyum pahit. Harus diakuinya bahwa dia sungguh mencintai Bi Hwa! Hanya kebencian terhadap wanitalah yang membuat dia memaksa dirinya meninggalkan wanita itu, walaupun hatinya dipenuhi kerinduan selama berbulan-bulan sesudah dia pergi.

   "Aahhh, semua itu telah berlalu!"

   Dia mencela diri sendiri dan mengusir bayangan Bi Hwa yang cantik.

   Tidak perlu memikirkan satu dua orang wanita, banyak sekali yang telah menjadi korbanya dan dia tidak merasa menyesal. Diapun tahu bahwa di diantara banyak wanita yang di tinggalkannya dalam keadaan hidup, apa lagi yang prnah menarik hatinya sehingga beberapa kali dia menggauli korban itu, yang kemungkinan besar mengandung anak keturunannya. Akan tetapi dia tidak peduli! Takan ada orang yang mengenal wajahku, pikirnya sambil mengusap wajah aslinya yang halus dan tampan. Dia selalu menyamar setiap kali menundukkan seorang wanita, setiap kali terjun ke tempat ramai. Andaikata dia mempunyai keturunan, para wanita itupun tidak akan dapat memberitahu kepada anak mereka, bagaimana macam wajahnya, karena yang diberitahukan tentulah wajahnya yang palsu, hasil penyamaran.

   Dan namanyapun tidak ada yang pernah tahu, kecuali hanya she-nya, nama keturunannya yang kadang-kadang dia perkenalkan kepada beberapa orang wanita yang jatuh cinta kepadanya. Tang-Kongcu, hanya itulah yang mereka ketahui she-nya saja, kalau tidak tahu bagaimana wajah aselinya? Dan hiasan kumbang emas itupun tidak dapat memberi keterangan sesuatu, kecuali bahwa wanita itu menjadi korban Ang-hong-cu Si Kumbang Merah. Dia lalu membayangkan bagaimana andaikata dia tidak behasil memutuskan ikatan dengan seorang di antara para korban itu yang menarik hatinya dan dicintainya. Tentu dia akan mengawini wanita itu dan hidup selama puluhan tahun di samping wanita itu, mempunyai beberapa orang anak. Dan kini, tentu dia sudah menjadi kakek, hidupnya terikat erat-erat seperti belenggu pada kaki tangannya, membuatnya tidaj leluasa bergerak!

   Dia tersenyum cerah. Ah, enakan begini! Bebas merdeka, boleh melakukan apa saja yang dikehendaki dan disenanginya, tampa ada halangan atau ikatan yang mengganggu!. Tiba-tiba dia termenung. Kebebasan inipun terasa membosankan! Orang yang terikat tentu mendambakan kebebasan seperti dia, aneh sekali, kadang-kadang mendambakan ikatan! Memang aneh hidup ini! Yang nampak indah menyenangkan itu hanya segala yang belum didapatkan, belum di miliki, yang sedang dalam pengejaran. Kalau segala yang tadinya di dambakan itu sudah berada dalam tangan, lambat laun takkan terasa lagi keindahannya, bahkan dapat membosankan! Rahasianya terletak kepada keinginan! Keinginan memiliki sesuatu yang tidak atau belum dimiliki menciptakan pengejaran!

   Dan pengejaran untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan inilah sumber segala konflik, sumber segala kesengsaraan dalam kehidupan ini. Pengejaran akan sesuatu yang belum kita miliki, karena itu lalu kita inginkan, membuat mata kita menjadi seperti buta, tidak lagi melihat apa yang ada pada kita! Mungkinkah kita hidup tampa membiarkan angan-angan menggambarkan keindahan dan kesenangan yang belum kita miliki sehingga kita selalu akan di hinggapi penyakit INGIN mendapatkan segala gambaran angan-angan itu? Tentu saja dapat kalu kita hidup seutuhnya, sepenuhnya menghayati apa adanya! Kalau pikiran kita di curahkan sepenuhnya kepada apa adanya, maka pikiran itu tidak mempunyai waktu luang lagi untuk termenung mengkhayalkan gambaran-gambaran keindahan yang belum ada. Sekali kita di hinggapi penyakit ingin mendapatkan sesuatu yang dianggap indahdan lebih menyenangkan,

   Maka penyakit itu tidak akan pernah meninggalkan kita, kecuali kalau kita menghentikan seketika satu yang diingikan terdapat, timbul lain keinginanyang dianggap lebih baik dan lebih menyenagkan lagi, dan kita terus terseret ke dala lingkaran setan. Bukan berarti kita lalu mandeg, statis, berhenti atau mati, tidak kreatif lagi! Melainkan tidak menginginkan sesuatu yang tidak kita miliki! Dengan cara menghayati segala yang ada pada kita sehingga kita akan mampu melihat bahwa dalam segala sesuatu terdapat keindahan itu! Karena kini bayangan kesenangan dari kebebasnnya itu melenyap, tidak terasa lagi kesenangannya, Si Kumbang Merah lalu merenungkan hal-hal yang baru saja terjadi. Dia terpaksa melarikan diri! Dia, Ang-hong-cu yang perkasa, yang selama puluhan tahun malang-melintang, memetik setiap kembang,

   Menghisap madunya dan menikmati keharumannya lalu mencampakkan begitu saja kembang yang sudah layu dalam remasan tangannya itu, dia kini melarikan diri! Sungguh lucu dan juga menyedihkan! Dia melarikan diri,karena kalau dia tidak lari, sekarang tentu dia telah mati, mungkin tubuhnya akan dihancur-lumatkan oleh para pendekar perkasa itu, yang tentu amat membecinya! Dan yang lebih menyakitkan hatinyalagi, seorang seorang diantara para pendekar itu, bahkan yang paling lihai, adalah seorang pemuda she tang, puteranya sendiri! Dia tidak tahu bagaimana bisa muncul seorang puteranya! Akan tetapi dia merasa yakin bahwa tentu pemuda itu puteranya. Hal itu terbukti dari tiga hal. Petama, pemuda itu memilki sebuah hiasan kumbang emas, kedua, pemuda itu she tang, dan ke tiga dan hal ini amat meyakinkan hatinya, pemuda itu memiliki wajah yang mirip sekali dengan wajahnya di waktu muda!

   Hanya dia tidak tahu, siapa ibu pemuda itu, yang mana di antara gadis-gadis yang diperkosanya dan di hamilinya!. Pertemuan dengan pemuda yang bernama Tang Hay itu terjadi secara kebetulan saja. Dia mendengar akan adanya pemberontakan oleh para tokoh sesat yang di pimpin oleh Lam-hai-Giam-Lo. Biarpun dia sendiri oleh para pendekar dianggap sebagai seorang penjahat kejam, seorangjai-hwa-cat dan di golongkan sebagai orang sesat, namun sesungguhnya belum pernah dia berkawan dengan golongan sesat. Bahkan dia condong untuk menentang perbuatan jahat dan bertindak sebagai seorang pendekar. Dia hanya mengambil uang dari gudang harta pembesar atau hartawan yang kaya raya, sekedar untuk menutupi kebutuhan hidupnya, bukan untuk bermewah-mewahan.

   Maka, mendengar akan gerakan Lam-hai Giam-lo dan kawan-kawannya yang dia tahu amat berbahaya bagi keselamatan rakyat, karena perang pemberontakan hanya akan menjatuhkan banyak korban di antara rakyat dan yang sengsara oleh perang hanya rakyat kecil, maka diapun tidak tinggal diam. Dia lalu secara diam-diam membantu pemerintah untuk menentang gerombolan pemberontak ini. Untuk itu, dia menyamar dan memakai nama Han Lojin dan dia telah membuat jasa dalam bantuannya ini. Namun, dalam perjuangan ini, penyakit lamanya kambuh dan diapun tidak mampu menahan diri ketika melihat gadis-gadis pendekar yang cantik jelita dan menawan hati. (Baca Kisah Pendekar Mata Keranjang Bagian Pertama). Secara kebetulan, dia bertemu dengan Tang Hay dan terkesan sekali melihat pemuda ini.

   Gagah perkasa dan memiliki ilmu kepandaian tinggi, bahkan dia harus mengakui bahwa tingkat kepandaiannya sendiri masih belum mampu menandingi kelihaian pemuda itu! Dan dia merasa yakin bahwa Tang Hay adalah putera kandungnya, entah dari ibu yang mana! Dan dia melihat betapa Tang Hay juga memiliki watak yang sama dengan dia, yaitu mata keranjang! Hanya bedanya, kalau dia setiap kali tertarik seorang wanita, langsung dia lalu melaksanakan hasrat hatinya dan menggoda wanita itu sampai dapat olehnya, baik dengan cara halus maupun kasar, sebaliknya pemuda itu hanya merayu dengan kata-kata saja dan tidak pernah melanjutkan. Bahkan kalau si wanita nampaknya sudah tertarik dan jatuh cinta, pemuda itu selalu mengelak dan tidak pernah mau menggaulinya!

   Hal ini membuathati Si Kumbang Merah menjadi kecewa dan penasaran sekali. Masa puteranya penakut seperti itu? Sungguh tidak jantan menurut anggapannya! Apakah puteranya yang diam-diam dibanggakannya karena memiliki ilmu silat yang amat tinggi itu ternyata seorang pengecut dan penakut? Ataukah mmempunyai kelainan sehingga tidak mampu menggauli wanita?. Dia melihat betapa dua orang gadis pendekar yang amat cantik dan juga perkasa, diam-diam jatuh cinta kepada Tang Hay. Akan tetapi biarpun selalu bersikap manis bahkan mengeluarkan kata-kata yang merayudan pandai menjatuhkan hati setiap orang wanita, agaknya menganggap pergaulan mereka itu sebagai sahabat biasa saja dan tidak mau melangkah yang jauh. Ketika dia menduga bahwa Tang Hay di kekang oleh perasaan tata susila, hati si kumbang merah seperti tertusuk dan nyeri rasanya!

   Mereka yang menasihatkan agar pria selalu menghormati wanita, memperlakukanya dengan sopan, agaknya belom tahu betapa jahatnya hati perempuan, demikian pikirnya. Rasa kecewa dan penasaran ini membuat Ang-hong-Cu bertindak lebih jauh lagi. Dia sengaja memperkosa dua orang pendekar wanita itu, dan sengaja melakukanya di tempat gelap dan dia menanggalkan penyamaranya sehingga wajahnya halus dan kedua orang gadis pendekar itu menduga bahwa pelaku pemerkosaan itu adalah Tang Hay! Biar tau rasa, pikirnya. Harus kuajar dan kuberi contoh puteraku yang tolol itu! Tentu saja terjadi geger. Dua orang pendekar wanita itu bukanlah orang-orang sembarangan. Yang seorang bernama Pek Eng, berusia tujuh belas tahun dan ia adalah puteri dari ketua Pek-sim-pang perkumpulan yang amat terkenal.

   Bahkan kakak dari gadis bernama Pek Eng itu adalah seorang pendekar yang amat sakti pula, bernama Pek Han Siong dan di waktu kecilnya amat terkenal dengan sebutan Sin Tong (anak ajaib) yang di jadikan rebutan oleh para tokoh Kang-ouw! Adapun gadis ke dua yang di perkosa Ang-hong-cu adalah seorang pendekar wanita berusia tujuh belas tahun lebih bernama Cia Ling. Dan pendekar wanita yang kedua ini adalah cucu buyut pendekar Lembah Naga, juga masih keluarga dari Cin-ling-pai! Ketika menyadari bahwa perbuatanya itu akan merupakan ancaman maut bagi Tang Hay, diam-diam Ang-hong-cu merasa menyesal. Semua pendekar sakti memusuhi Tang Hay yang disangka pelaku pemerkosaan itu, dan betapapun lihainya pemuda itu, mana mungkin kuat menghadapi para pendekar yang sakti itu? maka dia pun lalu sengaja meninggalkan tanda hiasan kumbang merah dari emas,

   Sebagai tanda bahwa pemerkosa kedua orang pendekar itu adalah Ang-hong-cu, bukan Tang Hay. Akan tetapi, setelah melakukan pengakuan ini, dia sendiri harus cepat-cepat melarikan diri! kalau dia tidak lari, dan dia tertangkap sebagai penyamaran Ang-hong-cu, dia bisa mati konyol! Demikianlah renungan yang bermain di dalam otak Ang-hong-cu Si kumbang merah itu! berkali-kali dia menarik napas panjang, tersenyum-senyum, menghela napas lagi. Puteranya itu memang hebat. Hanya sayang, tidak cukup jantan sehingga tidak berani melanjutkan perbuatanya yang sudah dimulai dengan baik sekali itu. Agaknya, kalau puteranya itu mau mewarisi kebiasaanya, Tang Hay tidak perlu banyak melakukan pemerkosaan, karena sebagian besar wanita, mungkin semua, akan bertekuk lutut dan takluk hanya oleh rayuan mautnya!

   "Huh, engkau lihai akan tetapi tolol! Memalukan aku yang menjadi ayah!"

   Akhirnya dia menympah-nyumpah dan bangkit berdiri. Wajahnya sudah cerah kembali karena semua kenangan tadi telah di usirnya. Dia harus mengakui bahwa semua petualangan itu akhirnya membosankanya. Semua wanita itu, yang merengek minta di sayang, atau merengek karena di perkosanya, akhirnya sama saja baginya mendatangkan kemuakan saja! Kalau dulu dia merasakan kenikmatan dan kesenangan yang besar, bukan hanya kesenangan menikmati tubuh para wanita itu, akan tetapi juga menikmati perasaan balas dendam terhadap permpuan pada umumnya, kini dia tidak lagi merasakan kenikmatan dan kesenangan itu. Dia bahkan muak! Kadang-kadang dia merasa mirip seperti binatang jantan yang memaksakan kehendaknya terhadap binatang betina, terjadi pemaksaan untuk pelampiasan nafsu.

   "Aku sudah tua sekarang,"

   Pikirnya menghitung-hitung usianya.

   "Kalau ku lanjutkan petualanganku seperti yang sudah, apa akan jadinya dengan hari akhirku?"

   Dia melihat masa depannya suram. Sudah cukup dia membalas sakit hatinya kepada permpuan, dan kini sisa hidupnya harus diisi dengan perbuatan yang berguna, misalnya, mencari kedudukan agar kelak meninggalkan nama besar!

   Bukankah mendiang ayahnya juga bukan orang sembarangan, melainkan seorang bangsawan tinggi? Tentang ibunya"

   Ah, dia tidak perlu mengenang ibunya lagi. Semua permpuan memang tidak baik! Ang-hong-cu mengepal tinju. Aku kini akan menjadi seorang yang berjasa terhadap kerajaan, agar aku mendapatkan kedudukan yang mulia. Dengan demikian, hari tuaku akan terjamin, sebagai seorang terhormat dan mulia, bukan sebagai seorang Jai-hwa-cat yang dikutuk semua orang! Dengan pikiran ini wajahnya menjadi cerah sekali dan kini dia melangkahkan kakinya dengan tegap menuruni bukit. Tujuanya adalah kota raja, darimana dia berasal! Dan kini dia tidak perlu lagi menyamar. Dialah Tang Bun An, seorang yang terhormat! Tidak ada hubungannya dengan Ang-hong-cu lagi.

   "Kumbang merah, maapkan saja, untuk sementara ini atau mungkin selamanya, namamu akan ku pendam. Kumbang Merah telah lenyap dan muncullah riwayat baru, ha-ha-ha!"

   Kalau ada kebetulan melihatnya, tentu menganggap bahwa yang sedang melangkah dengan tegap itu adalah seorang pria setengah tua yang tampan berwibawa,

   Berwajah simpatik, ramah dengan mulut selalu tersenyum, sepasang matanya bersinar-sinar, pakaianya seperti seorang sasterawan, rapi dan bersih, seorang yang penampilannya mengesankan dan mendatangkan rasa suka kedalam hati orang lain. Petualangan para tokoh sesat di dunia kang-ouw yang dipimpin oleh mendiang Lam-hai Giam-lo, melakukan pemberontakan, melibatkan banyak sekali tokoh sesat. Karena itu, para pendekarpun turun tangan membantu pemerintah sehingga pemberontakan itu dapat dihancurkan sebelum menjadi-jadi. Banyak sekali tokoh sesat yang tewas dalam pertempuran bebas antara para pemberontak dan pasukan pemerintah, dan antara tokoh-tokoh sesat dan para pendekar. Lam-hai Giam-lo sendiri, yang menjadi pemimpin bersama Kulana, seorang bangsawan dan pelarian Birma yangs akti, tewas dalam pertempuran itu.

   Hampir semua tokoh sesat yang membantu gerombolan pemberontak itu tewas, kecuali beberapa orang saja. Diantara para tokoh pimpinan, semua tewas kecuali dua orang yang termasuk pimpinan penting. Yang seorang adalah Sim Ki Liong, seorang pemuda berusia sekitar dua puluh dua tahun yang amat lihai karena dia ini adalah murid dari Pendekar Sadis dan isterinya di Pulau Teratai Merah. Murid ini sebenarnya adalah putera bekas musuh yang menyelundup dan berhasil menjadi murid Pendekar Sadis, dan setelah dia pandai, dia minggat, kemudian bergabung dengan para pemberontak. Nyaris dia tewas pula kalau tidak cepat mearikan diri! Adapun tokoh kedua yang bernama Ji Sun Bu, seorang wanita cantik jelita berusia tiga puluh tahun, seorang wanita cabul berkepandaian tinggi dan berjuluk Tok-sim Mo-li (Iblis Betina Berhati Racun),

   Ketika bertempur sebagai tokoh sesat yang membantu pemberontakan, terjatuh ke dalam jurang dan tidak ada yang tahu bagaimana nasibnya, namun melihat betapa jurang itu amat curam, semua orang mengira bahwa tentu iblis betina inipun telah tewas pula. Di dalam pertempuran yang mati-matian itu, di pihak para pendekar banyak pula yang roboh dan tewas. Akan tetapi para pendekar yang terpenting, keluar dengan selamat. Diantara para pendekar yang kemudian kembali ke tempat tinggal masing-masing adalah Cia Kui Hong. Ia seorang gadis yang kini usianya sudah sembilan belas tahun. Wajahnya manis sekali, dengan mulut yang penuh gairah, hidungnya kecil mancung dan ujungnya, yaitu cupingnya dapat bergerak-gerak lucu, matanya tajam berkilat, kadang-kadang lembut dan jenaka.

   Sikapnya selalu manis dan jenaka, namun berandalan dan gagah perkasa. Muka yang bulat telur dengan dagu runcing itu memang manis. Sepasang pedang yang tergantung dipunggungnya mendatangkan kesan gagah berwibawa. Ia bukan seorang gadis biasa, walaupun manis sekali menggetarkan jantung setiap pria yang memandangnya. Ia adalah puteri ketua Cin-ling-pai. Ini saja sudah dapat menjadi bahan perkiraan bahwa tentu ia telah memiliki ilmu silat yang amat hebat, warisan dari ayah ibunya. Lebih hebat lagi, ibunya adalah puteri Pendekar Sadis dari Pulau Teratai Merah! Dan gadis inipun selain mewarisi ilmu dari ibunya, juga pernah digembleng oleh kakek dan neneknya, sepasang suami isteri sakti di Pulau Teratai Merah. Maka, dapat dibayangkan betapa lihainya Cia Kui Hong, gadis manis itu!

   Ketika terjadi pertempuran antara para tokoh sesat yang membantu pemberontakan dan para pendekar yang membantu pemerintah, Cia Kui Hong juga ikut berperan, bahkan ia merupakan seorang diantara tokoh-tokoh penting. Setelah pertemuan selesai, gadis inipun berpisah dari para pendekar lainnya, dan ia langsung pulang ke Cin-ling-pai, yaitu perkumpulan yang diketuai ayahnya di Pegunungan Cing-lin-san. Cin-ling-pai merupakan sebuah diantara perkumpulan-perkumpulan atau perguruan silat yang besar pada waktu itu. Banyak pendekar besar gagah perkasa dan budiman datang dari Cin-ling-pai, sebagai murid perguruan ini. Perguruan ini amat terkenal karena memang murid-muridnya pilihan, dan perkumpulan itu memegang teguh peraturan, berdisiplin dan keras terhadap murid-muridnya sehingga sudah terkenal di dunia persilatan bahwa Cin-ling-pai adalah tempat orang-orang gagah.

   Ketika Kui Hong meninggalkan Cin-ling-pai untuk membantu pemerintah membasmi pemberontak, terjadilah hal-hal yang hebat dalam keluarga ayahnya. Ayahnya, Cia Hui Song yang menjadi ketua Cin-ling-pai, hanya mempunyai seorang anak saja, yaitu ia seorang. Hal ini membuat kakeknya, yaitu Cia Kui Liang merasa tidak puas. Kakek ini menginginkan seorang cucu laki-laki, seorang keturunan yang akan melanjutkan silsilah keluarga Cia. Karena itu, dia memaksa puteranya untuk menikah lagi agar dapat memperoleh keturunan laki-laki. Hal ini menimbulkan masalah besar dalam keluarga Cia. Istri ketua itu, Ceng Sui Cin, ibu Kui Hong,adalah seorang wanita yang keras hati, puteri pendekar sadis ini sama sekali tidak setuju dan menantang kehendak ayah mertuanya itu, Hui Song yang menjadi bingung, berada di tengah antara ayahnya dan istrinya.

   Dia tidak mampu menolak kemauan ayahnya, maka terpaksa dia menikah lagi dengan seorang wanita muda bernama Siok Bi Nio, yang usianya hanya tiga tahun lebih tua dari Kui Hong puterinya! Hal ini membuat isterinya marah. Ceng Sui Cin mengajak puterinya meninggalkan Cin-ling-pai dan pulang ke pulau Teratai Merah. Dimana Kui Hong di gembleng oleh kakek dan neneknya. Pernikahan antara Cia Hui Song dan isterinya yang muda itu benar saja telah menghasilkan seorang anak laki-laki yang di beri nama Cia Kui Bu. Setelah Kui Bu berusia dua tahun, Hui Song yang merasa rindu kepada isterinya yang pertama dan merasa berdosa,memberanikan diri pergi menghadap mertuanya dan isterinya di Pulau teratai Merah. Dia mengaku bersalah dan membujuk isterinya agar suka kembali ke Cin-ling-pai. Akan tetapi isterinya mengajukan syarat, bahwa kalau ia kembali ke Cin-ling-pai, maka Siok Bi Nio harus di bunuh, dan ia mau memelihara Cia Kui Bu sebagai anak sendiri.

   Memang keras sekali hati puteri tunggal pendekar sadis itu. Hui Song menyerahkan keputusanya kepada isterinya yang pertama dan merekapun pergi ke Cin-ling-pai. Setelah tiba di situ, Siok Bi Nio maklum akan isi hati suaminya dan juga madunya. Wanita ini telah terlanjur mencinta suaminya dan mau melakukan apa saja demi kebahagiaan suaminya. Hui Song menceritakan secara terus terang kepada Bi Nio tentang kehendak Sui Cin, dan Sui Cin pun bukan seorang yang jahat dan kejam. Ia menghendaki agar Bi Nio pergi, dan ia akan merawat Kui Bu seperti anaknya sendiri. Hancur rasa hati Bi Nio disuruh berpisah dari puteranya. Tentu saja ia tidak mau, dan ia lalu memondong puteranya untuk dibawa pergi dari situ. Pada saat itu, Cia Kong Liang, ayah Sui Hong, merampas cucunya dari tangan ibunya, melarang Bi Nio membawa pergi Kui Bu.

   Bi Nio yang merasa terdesak dan terhimpit, hanya melihat satu jalan untuk mengatasi semua masalah itu. Ia ingin melihat suaminya berbahagia, akan tetapi iapun tidak mungkin dapat hidup berpisah dari puteranya. Maka, diluar dugaan semua orang, Bi Nio membunuh diri! Peristiwa ini menghancurkan hati keluarga itu. Semua merasa berdosa terhadap Bi Nio, Cia Kong Liang lalu mengurung diri di dalam kamar samadhi dan tidak mau lagi mencampuri urusan dunia, seolah-olah hendak menghukum dirinya dan hendak menghabiskan waktunya untuk minta ampun kepada Tuhan. Cia Hui Song yang merasa berdosa terhadap isteri mudanya,dan menayadari betapa besar cinta kasih Bi Nio kepadanya, juga lalu membuat pondok kecil di dekat makam Bi Nio dan menjaga makam itu sambil bertapa! Tinggal Sui Cin yang juga merasa menyesal dan untuk menebus perasaan bersalah,

   Ia merawat Kui Bu dengan penuh kasih sayang, seperti merawat puteranya sendiri. Cin-ling-pai menjadi pincang para murid menjadi bingung karena mereka seolah-olah kehilangan pimpinan, kehilangan guru dan ketua. Ketua lama, Cia Kui Liang, mengurung diri dalam kamar dan tidak mau mencampuri segala urusan. Ketua baru, Cia Hui Song, juga acuh dan tak pernah mau meninggalkan makam isteri mudanya! Masih untung bahwa Ceng Sui Cin cukup berwibawa dan lihai sehingga para murid dan anggauta Cin-ling-pai masih segan kepadanya dan mereka itu masih dapat dikendalikan oleh nyonya ketua itu. Dalam keadaan seperti itu Cin-ling-pai menyambut pulangnya Cia Kui Hong yang baru saja datang dari petualangannya membantu pemerintah membasmi gerombolan pemberontak!

   Dapat dibayangkan betapa kagetnya Kui Hong, apalagi ketika ibunya menyambutnya dengan rangkulan dan ibunya menangis tersedu-sedu tanpa mengeluarkan sepatah pun kata! Ia sama sekali tidak pernah menduga bahwa ia akan bertemu ibunya di Cin-ling-pai. Ketika ia pergi, ibunya masih ada di Pulau Teratai Merah, tempat tinggal kakek dan nenenknya. Ia tidak tahu bahwa ayahnya telah berkunjung ke pulau itu dan berhasil membujuk Ceng Sui Cin, ibunya, pulang ke Cin-ling-pai. Hal ini tentu saja akan menggirangkan hatinya, kalau tidak melihat ibunya menyambutnya dengan rangkulan dan tangisan. Padahal, ia mengenal betul siapa ibunya, seorang wanita yang keras hati, tabah dan biasanya pantang memperlihatkan kedukaan hatinya, bahkan hampir tidak pernah ia melihat ibunya menangis. Seorang pendekar wanita sejati! Dan kini, ibunya menyambutnya dengan rangkulan dan menangis tersedu-sedu di atas pundaknya.

   "Ibu... ibu..., ada apakah? Kenapa ibu menangis? Di mana ayah dan... kong-kong...?"

   Ia tentu saja menduga hal-hal yang buruk mungkin menimpa diri ayahnya atau kakeknya. Ceng Sui Cin tidak lama menangis. Ia segera dapat menguasai dirinya dan kini ibu dan anak itu saling pandang. Kui Hong melihat bahwa terjadi perubahan pada ibunya. Kini ibunya agak kurus dan matanya sayu. Sebaliknya, Sui Cin gembira melihat keadaan puterinya, yang bukan saja pulang dalam keadaan selamat, akan tetapi juga nampak sehat dan gagah perkasa, semakin cantik pula.

   "Mari kita bicara di dalam,"

   Kata ibu ini sambil menggandeng tangan puterinya. Mereka masuk ke dalam dan kembali Kui Hong merasa heran karena rumah itu kelihatan sunyi sekali.

   Hanya beberapa orang pelayan yang menyambutnya dengan pemberian hormat. Tidak nampak isteri muda ayahnya. Tidak nampak pula murid Cin-ling-pai. Ketika tadi ia memasuki pintu gerbang Cin-ling-pai, ia sudah melihat perubahan yang mencurigakan. Para murid nampaknya bermalas-malasan menyambutnya, padahal mereka sudah tahu akan kedatangannya dan dahulu, Kui Hong amat disayang oleh para murid Cin-ling-pai. Kini mereka hanya menyambutnya dengan sikap dingin saja, dan hanya beberapa orang yang nampak gembira. Ketika Sui Cin mengajak Kui Hong masuk ke dalam kamar, gadis ini melihat seorang anak laki-laki berusia kurang lebih tiga tahun sedang diajak bermain-main oleh seorang pengasuh. Ketika melihat Sui Cin, anak itu lalu merentangkan kedua lengannya dan memanggil dengan suara nyaring,

   "Ibuuu...! Ibu...!"

   Sui Cin mengangkat anak itu, menciuminya beberapa kali lalu menyerahkannya kepada pelayan pengasuh, menyuruh pelayan membawa anak itu bermain-main di luar. Diam-diam Kui Hong merasa heran bukan main. Tidak mungkin ibunya mempunyai lagi anak sebesar itu karena kepergiannyapun paling lama setahun, sedangkan anak itu sudah berusia tiga tahun!

   "Ibu, siapakah anak itu? Apakah yang telah terjadi? Mana ayah dan kong-kong?"

   Tanya Kui Hong tak sabar lagi setelah pengasuh itu pergi bersama anak asuhannya. Kini nyonya itu sudah tenang kembali. Ia menghela napas beberapa kali, lalu berkata,

   "Duduklah dengan tenang, anakku, dan dengarkan ceritaku."

   Mereka duduk berdampingan di atas pembaringan dan berceritalah Ceng Sui Cin kepada puterinya tentang segala hal yang telah terjadi. Betapa ayah gadis itu, Cia Hui Song, berkunjung ke Pulau Teratai Merah dan membujuk ia untuk kembali ke Cin-ling-pai. Betapa kemudian di Cin-ling-pai, Siok Bi Nio membunuh diri karena tidak ingin berpisah dalam keadaan hidup dari puteranya.

   "Aku merasa berdosa, Hong-ji. Kasihan Bi Nio. Setelah ia tewas, baru aku menyadari betapa besar cintanya terhadap ayahmu. Ia tidak bersalah, ia tidak sengaja merampas ayahmu dariku, melainkan ia juga menjadi korban keadaan, dan ia amat mencinta ayahmu, mungkin lebih besar daripada cintaku. Aku masih mementingkan diri dalam cintaku, akan tetapi ia... ah, rela mengorbankan nyawanya demi kebahagiaan ayahmu. Aku sungguh menyesal sekali, dan untuk menebus kesalahanku itu, aku berjanji akan merawat dan mendidik puteranya, Cia Kui Bu, anak yang kau lihat tadi."

   "Ahhh...!"

   Kui Hong yang sejak tadi mendengarkan, termangu-mangu. Sungguh hebat apa yang terjadi menimpa keluarga orang tuanya!

   "Ayahmu juga tidak bersalah. Dia ingin berbakti kepada orang tuanya, dan buktinya, setelah dia menikah lagi dengan Bi Nio, keluarga Cia memperoleh seorang keturunan laki-laki. Juga kong-kongmu tidak bersalah. Wajarlah kalau dia menjadi cemas melihat betapa kami, ayah ibumu tidak mempunyai keturunan laki-laki dan dia berusaha agar puteranya suka menikah lagi hanya agar memperoleh keturunan yang akan melanjutkan silsilah keluarga Cia. Tidak ada yang bersalah, semua menjadi korban keadaan. Kesalahan kami adalah ketika mendesak dan menyudutkan Bi Nio sehingga ia membunuh diri..."

   Ceng Sui Cin termenung, wajahnya muram.

   "Sudahlah, ibu. Segalanya telah terjadi, tidak ada gunanya disesalkan lagi. Lalu, dimana ayah sekarang?"

   Ceng Sui Cin mengerutkan alisnya.

   "Diapun dihantui penyesalan seperti aku, dan semenjak kematian Bi Nio, dia jarang sekali disini, lebih banyak dia berdiam di pondok yang dibangunnya di dekat makam Bi Nio, di bukit belakang itu."

   Mendengar ini, Kui Hong menjadi semakin berduka.

   "Dan kong-kong?"

   "Dia selalu mengurung diri di dalam kamar samadhinya, tidak pernah mau keluar lagi."

   "Ah, ahhh..., mengapa keluarga kita menjadi begini? Biar kucoba jumpai mereka!"

   Kui Hong lari meninggalkan kamar ibunya, lalu dicarinya makam Siok Bi Nio di bukit belakang kebun Cin-ling-pai. Dan benar saja, di makam yang sunyi itu ditemukannya ayahnya, sedang duduk bersamadhi di dalam sebuah pondok sederhana yang di bangun dekat sebuah makam sederhana.

   "Ayah...!"

   Kui Hong menjatuhkan diri berlutut di depan pria itu sambil memegang lututnya, mengguncang-guncangnya. Cia Hui Song adalah seorang pendekar yang usianya sudah empat puluh dua tahun. Dulu, diwaktu mudanya, dia terkenal lincah, gembira, ugal-ugalan dan nyentrik. Ilmu kepandaiannya tinggi, sebagai ahli waris ilmu-ilmu keluarga Cin-ling-pai dan juga pernah menjadi murid Siangkiang Lojin, satu diantara Delapan Dewa yang kini telah tiada. Akan tetapi, semenjak dia diharuskan menikah lagi dan terpaksa anak isterinya pergi meninggalkannya, wataknya sudah berubah menajdi pendiam. Kini, dia lebih berubah lagi. Sinar matanya redup ketika dia membuka dia membuka mata memandang kepada Kui Hong, dan senyum lemah menghias bibirnya. Wajahnya juga kurus dan rambutnya kusut, agaknya tidak pernag dia mempersolek diri.

   "Kui Hong, engkau datang...?"

   Katanya sambil membuka lipatan kedua kakinya, lalu duduk diatas bangku yang terdapat di pondok itu.

   "Duduklah."

   Kui Hong bangkit dan iapun mengambil tempat duduk diatas bangku, berhadapan dengan ayahnya. Pria itu pura-pura tidak melihat sinar mata anaknya yang penuh keprihatinan dan tuntutan, lalu bertanya,

   "Bagaimana dengan perjalananmu, Kui Hong? Bagaimana pula dengan pemberontakan yang beritanya santer sampai disini pula itu?"

   Akan tetapi Kui Hong tidak menjawab pertanyaan ayahnya, dan tak pernah ia melepaskan pandang matanya yang dengan tajam mengamati wajah ayahnya. Kemudian ia berkata, suaranya penuh tuntutan.

   "Ihhh! Ayah dan ibu lupa bahwa aku berada disini, hik-hik!"

   Kui Hong dengan nakal berseru. Hui Song dan Sui Cin menghentikan ciuman dan dengan muka merah mereka memandang puteri mereka. Seketika, merekapun sadar akan kekeliruan masing-masing.

   Membiarkan diri muram dan bersedih, menyesali hal-hal yang telah lalu, sungguh tidak ada gunanya sama sekali! Itu merupakan suatu kebodohan besar! Menyadari kekeliruan atau kesalahan yang telah dilakukan dalam hidup adalah suatu kebijaksanaan! Waspada akan diri sendiri sehingga setiap saat dapat melihat kesalahan diri sendiri, kelemahan dan keburukan diri sendiri, adalah kebijaksanaan yang mutlak perlu kita miliki. Akan tetapi, kesadaran ini membuat gerakan spontan, sekaligus dalam kesadaran ini lalu dibarengi tindakan menghentikan kesalahan atau kekeliruan itu. Bukan lalu menyesali dan membenamkan diri dalam duka! Sikap seperti tiu sungguh tidak ada gunanya, tidak ada artinya sama sekali, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain, bagi seluruh isi alam mayapada maupun penciptanya, yaitu Sang Maha Pencipta!

   "Ih, anak bengal! Kau seperti anak kecil saja mau menggoda orang tua!"

   Kata Sui Cin dengan kedua pipi kemerahan. Wanita ini nampak cantik sekali dan kini tanpa disadarinya, kedua tangannya merapikan rambut kepalanya!

   "Wah, ibu cantik sekali kalau begini. Lihat, ayah. Bukankah ibu cantik sekali? Dan ayah harap berganti pakaian yang baik, mencukur kumis itu dan mencuci rambut ayah!"

   Hui Song tersenyum, maklum akan godaan puterinya.

   "Sudahlah, anakku. Engkau berjasa besar bagi kehidupan ayah ibumu. Sekarang, ceritakan semua pengalamanmu."

   Sambil duduk di antara kedua orang tuanya dan merangkul ibunya, Kui Hong lalu menceritakan dengan singkat apa yang telah dialaminya ketika ia membantu pemerintah membasmi pemberontak. Juga diceritakannya betapa ia bertemu dengan banyak pendekar-pendekar lihai di sana.

   "Hampir semua tokoh sesat yang membantu pemberontakan dapat ditewaskan, dan pasukan pemberontak dapat dibasmi,"

   Demikian Kui Hong mengakhiri ceritanya.

   "Mungkin hanya sedikit saja yang lolos."

   Ayah ibunya mengangguk-angguk, dan mereka saling pandang, teringat betapa anak mereka bukanlah anak kecil lagi, melainkan seorang gadis yang sudah dewasa, lebih dari dewasa untuk mendirikan kehidupan baru sebagai seorang isteri di samping suaminya tercinta!

   "Ah, pengalamanmu itu amat berharga, Hong-ji, dan tentu dapat menambah pengetahuanmu, juga membuatmu semakin matang. Tahukah engkau, berapa usiamu sekarang?"

   Tanya Sui Cin.

   "Eh, ibu ini! Kenapa sih tanya-tanya usia? Bukankah ibu juga ingat bahwa usiaku sekarang sembilan belas tahun?"

   "Sembilan belas tahun!"

   Hui Song yang sudah tahu akan isi hati isterinya berseru.

   "Betapa cepatnya waktu! Sekarang engkau sudah seorang gadis yang dewasa, terlalu dewasa untuk hidup sendirian lebh lama lagi."

   Kui Hong mengerutkan alisnya dan menoleh kepada ayahnya.

   "Apa maksud ayah dengan ucapan itu?" Hui Song tertawa,

   Si Kumbang Merah Penghisap Kembang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Ha, apalagi kalau bukan sudah tiba waktunya bagi kami untuk mempunyai seorang menantu? Sembilan belas tahun sudah bukan kanak-kanak lagi, Hong-ji, dan kami akan merasa gembira kalau engkau sudah mempunyai seorang pilihan hati sendiri. Mungkin, engkau bertemu dengan seorang pemuda yang berhasil menjatuhkan hatimu?"

   Wajah Kui Hong berubah merah. Ayahnya ini benar sudah pulih kembali wataknya, bicara tentang hal itu demikian terang-terangan! Dan ibuya juga tersenyum-senyum. Iapun teringat kepada Hay Hay! Terbayang pengalaman ketika itu untuk pertama kalinya bertemu dengan pemuda itu.

   Sikap dan wajah Hay Hay sangat menarik perhatiannya dan kata-kata Hay Hay yang demikian penuh rayuan juga kehebatan ilmu silat pemuda itu, telah menjatuhkan hatinya. Bahkan di dalam hutan, ia pernah berciuman dengan pemuda yang di kaguminya itu. Akan tetapi, Hay Hay menolak hubungan yang lebih akrab. Ketika ia mengaku cinta, pemuda itu dengan terus terang mengatakan bahwa biarpun pemuda itu suka dan kagum kepadanya, namun ia tidak mencintainya! Betapa nyeri rasa hatinya! Apalagi ketika ia mendengar tuduhan-tuduhan, betapa Hay Hay adalah seorang jai-hwa-cat, seorang penjahat cabul yang memperkosa wanita, ia merasa benci sekali dan ingin membunuhnya. Namun, kemudian ternyata bahwa pemerkosa itu bukan Hay Hay, melainkan Ang-hong-cu! Dan setelah melihat kenyataan bahwa Hay Hay bukanlah pemuda jahat seperti yang dituduh orang, cintanyapun tumbuh kembali.

   "Hei, Hong-ji, kenapa engkau menjadi melamun? Jawablah pertanyaan ayahmu tadi. Agaknya benar bahwa ada seorang pemuda yang telah menjatuhkan hatimu, ya?"

   Tegur ibunya. Kui Hong mengangguk, akan tetapi mukanya tidak menunjukkan kegembiraan, sehingga ayah ibunya saling pandang, kemudian memandang anaknya dengan khawatir dan pandang mata mereka penuh pertanyaan. Kui Hong menarik napas panjang, lalu memaksa diri tersenyum, akan tetapi senyumnya pahit.

   "Aku telah jatuh cinta kepada seorang pemuda, akan tetapi... dia tidak cinta kepadaku..."

   Lehernya terasa seperti dicekik, akan tetapi Kui Hong mengeraskan hatinya dan iapun mampu tersenyum.

   "Sudahlah, aku tidak mau bicara tentang dia lagi!"

   Diam-diam suami isteri itu merasa terharu dan kasihan kepada puteri mereka. Ceng Sui Cin mengerutkan alisnya dan diam-diam ia mengutuk pemuda yang telah menjatuhkan hati puterinya itu. Butakah pemuda itu sehingga ia menolak cinta kasih seorang gadis seperti Kui Hong? Apakah kekurangannya? Cantik, jelita, manis, bentuk tubuhnya indah, budi pekertinya baik, gagah perkasa dan tinggi ilmu silatnya. Adapun Hui Song hanya tersenyum walaupun hatinya juga dipenuhi perasaan iba, lalu dia berkata untuk menghibur hati anaknya.

   "Cinta tidak datang sepihak saja, cinta tidak mungkin bertepuk sebelah tangan. Engkau benar, Kui Hong, tidak perlu lagi mengingat tentang orang yang tidak mencintaimu. Sebaiknya kita melakukan persiapan untuk mengadakan pesta dan pertemuan besar."

   

Asmara Berdarah Eps 37 Asmara Berdarah Eps 40 Pendekar Mata Keranjang Eps 29

Cari Blog Ini