Ceritasilat Novel Online

Asmara Berdarah 26


Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo Bagian 26



Kata pria itu yang bukan lain adalah Jenderal Lui Siong Tek berkata sambil tertawa menerima cumbuan wanita cantik yang bertubuh menggiurkan itu.

   "Hemm, siapa sih yang kepingin? Apa kau kira aku tergesa-gesa mengajakmu tidur? Tak tahu malu..."

   Dengan sikap genit wanita itu mencela.

   "Ha ha ha, engkau menarikku dari meja makan, lalu kini menarik-narikku ke atas tempat tidur, mau apalagi kalau..."

   "Pikiranmu memang penuh dengan itu-itu saja!"

   Siang Hwa terkekeh manja dan merangkul leher pria itu.

   "Aku tidak mau bicara di depan para pelayan maka aku tergesa-gesa mengajakmu masuk kamar. Bukan untuk itu, melainkan untuk bicara."

   "Bicara apakah, Siang Hwa? Engkau minta apakah?"

   "Lui-ciangkun, benarkah... benarkah engkau cinta padaku...?"

   Jenderal itu merangkul dan menciumnya.

   "Aihhh, Siang Hwa, masihkah engkau tidak yakin akan cintaku? Semenjak kita berjumpa di hutan itu, ketika aku berburu dan engkau berjalan sendirian, aku sudah menyangka engkau seorang bidadari dan aku sudah jatuh cinta padamu."

   "Ciangkun, sudah sepekan lebih aku berada di sini, melayanimu dengan sepenuh hati, akan tetapi mengapa engkau belum juga mau memenuhi permintaanku, tidak mau membalaskan dendam sakit hatiku?"

   "Aaahh... itu...?"

   Tiba-tiba saja jenderal itu kehilangan kegembiraan dan gairahnya, lalu duduk di tepi tempat tidur. Hui Song cepat menyusup ke dalam kolong lagi, menarik kepalanya yang tadinya dikeluarkan agar dia dapat mendengar dan melihat lebih jelas, karena setelah jenderal itu duduk di tepi tempat tidur, dia akan dapat kelihatan kalau menjulurkan kepalanya.

   "Ciangkun, sejak kita saling jumpa dan saling mencinta, tidak ada permintaan lebih dariku kecuali yang satu itu. Lui-ciangkun, aku telah menyerahkan segala-galanya kepadamu, hanya untuk itu..."

   Jenderal itu mengerutkan alisnya dan kelihatan berduka.

   "Sayangku, kenapa justeru itu yang kau minta? Mintalah yang lain. Apa saja tentu akan kupenuhi, kecuali itu. Aku adalah seorang panglima yang setia, yang sejak nenek moyangku menjunjung tinggi nama dan kehormatan, mana mungkin engkau memintaku agar aku memberontak terhadap pemerintah?"

   Hui Song terkejut bukan main mendengar ini. Ah, dia mengerti sekarang. Gadis iblis ini tentu sedang melakukan tugasnya, dan tugas itu adalah menggoda dan membujuk panglima benteng Cengtek ini untuk bersekutu dengan pemberontak! Kiranya Raja Iblis sudah mendengar akan kelemahan jenderal ini terhadap wanita cantik, maka menyuruh muridnya sendiri yang selain lihai juga cantik manis itu untuk menjebak sang jenderal dan kini Siang Hwa sedang menjalankan peranannya dengan amat baik. Mendengar ucapan sang jenderal, Siang Hwa membujuk-bujuk lagi.

   "Ciangkun, di dalam hidupku ini tidak ada lagi hal lain yang kuinginkan kecuali membalas dendam. Ayah bundaku, saudara-saudaraku semua tewas oleh pemerintah, difitnah dan dihukum mati sekeluargaku! Aku harus membalas dendam dan satu-satunya jalan hanyalah memberontak terhadap pemerintah! Ciangkun, engkau memegang kekuasaan atas puluhan ribu tentara, betapa akan mudahnya kalau engkau mau memenuhi permintaanku itu..."

   "Hushhh... diamlah dan jangan bicara lagi tentang hal itu, sayang. Mudah saja kau bicara begitu. Kalau bukan engkau yang bicara, tentu sudah kutangkap atau kubunuh karena kata-katamu itu berarti pemberontakan. Dan mudah saja melawan pemerintah, ya? Apa artinya balatentara puluhan ribu ini menghadapi balatentara pemerintah yang ratusan ribu? Sudahlah, jangan melamun yang bukan-bukan dan anggap saja malapetaka yang menimpa keluargamu itu memang sudah menjadi nasibmu yang ditentukan takdir."

   "Ciangkun, kiraku bukan aku saja yang mendendam kepada pemerintah. Engkau dapat mencari kawan-kawan dalam hal ini, dan aku sanggup mencarikan kawan-kawan sehaluan. Lui-ciangkun, aku... aku akan mencintamu sampai mati kalau engkau mau memenuhi permintaanku ini..."

   Dan wanita itu merangkul dan menciumi. Akan tetapi tiba-tiba jenderal itu menghardik.

   "Siang Hwa, cukup! Aku tidak mau bicara lagi tentang hal itu! Kau dengar baik-baik, aku adalah seorang panglima yang setia, kehormatan dan kesetiaanku lebih berat dari pada dirimu, bahkan lebih berat dari pada nyawaku sendiri, mengerti?"

   Diam-diam Hui Song merasa kagum juga kepada jenderal ini. Boleh jadi dia memiliki kelemahan terhadap wanita, mata keranjang dan menjadi hamba nafsu kelamin, akan tetapi harus diakui bahwa dia seorang laki-laki yang gagah dan teguh pendiriannya.

   "Bagus! Begitukah, ciangkun? Setelah kuserahkan segala-galanya selama sepekan ini kepadamu, menyenangkan hatimu, menahan kemuakan hatiku sendiri, semua itu hanya untuk sia-sia belaka? Kalau begitu, ketahuilah bahwa aku adalah murid dari Pangeran Toan Jitong yang akan memimpin pemberontakan, dan karena penampikanmu, engkau tidak boleh hidup lebih lama lagi!"

   Hui Song terkejut bukan main dan seperti kilat cepatnya dia sudah menerobos keluar dari dalam kolong tempat tidur. Namun terlambat. Dia mendengar jenderal itu memekik keras dan tubuh yang tinggi besar itu terguling roboh di atas lantai tanpa nyawa lagi karena jari-jari tangan gadis iblis itu telah menusuk pelipisnya! Gui Siang Hwa telah menyambar segulung kertas dari atas meja, akan tetapi gadis itu terkejut setengah mati ketika tiba-tiba muncul seorang pemuda dari kolong tempat tidur, apalagi ketika di bawah sinar lampu ia melihat dan mengenal wajah pemuda itu.

   "Kau... kau... Cia Hui Song..."

   Serunya dengan suara gemetar dan muka berobah pucat.

   "Perempuan jahat!"

   Hui Song memaki marah karena dia melihat betapa munculnya terlambat dan jenderal itu tidak dapat ditolong lagi. Maka diapun segera langsung menyerang ke arah wanita itu dengan maksud untuk merobohkannya dan menangkapnya, apalagi dia melihat bahwa Siong Hwa mengambil gulungan kertas yang menurut dugaannya tentu merupakan benda penting. Akan tetapi, tiba-tiba wanita itu tertawa dan tangan kirinya bergerak ke depan. Sinar hijau yang berbau harum menyambar ke arah muka Hui Song. Pemuda ini sudah mengenal kelicikan dan kelihaian wanita itu, maka diapun mengelak dengan lemparan diri ke kiri. Kesempatan itu dipergunakan oleh Siang Hwa untuk melompat keluar dari dalam kamar terus melarikan diri dalam keadaan masih memakai pakaian dalam dan kedua kakinya telanjang tanpa sepatu.

   "Mau lari ke mana kau?"

   Bentak Hui Song sambil mengejar. Akan tetapi, suara ribut-ribut itu memancing datangnya serombongan penjaga dan Hui Song mendengar Siang Hwa berkata,

   "Tolong, pengawal... Penjahat itu membunuh Lui-ciangkun..."

   Karena para pengawal mengenal Siang Hwa sebagai kekasih baru Jenderal Lui, mereka percaya dan serta merta mereka menghadang dan menyerang Hui Song dengan senjata mereka!

   "Perempuan itulah pembunuhnya! Ia siluman jahat..."

   Hui Song berseru, akan tetapi mana mungkin para penjaga percaya kepadanya? Mereka tidak mengenalnya, sebaliknya, wanita itu telah mereka kenal baik sebagai kekasih atasan mereka.

   Mereka mengurung sambil berteriak-teriak. Dengan gemas Hui Song tidak mau melayani mereka, mendorong mereka roboh terpelanting ke kanan kiri dan melanjutkan pengejarannya. Akan tetapi, serbuan para penjaga itu membuatnya terlambat dan dia sudah kehilangan jejak Siang Hwa yang sudah menghilang entah ke jurusan mana. Hui Song membanting-banting kaki dan diapun tidak mau melanjutkan pengejarannya. Keadean sudah amat gawat. Tidak perlu membuang waktu. Bagaimanapun juga, Jenderal Lui telah tewas dan dia harus menyerahkan surat dari Kok-taijin kepada wakil dari jenderal itu. Dengan hati tabah Hui Song lalu kembali lagi ke benteng. Tentu saja dia disambut oleh para penjaga dengan tombak di tangan. Hui Song mengangkat tangan kanan ke atas dan berkata dengan suara nyaring,

   "Sobat-sobat harap jangan salah sangka. Aku adalah tamu dari Sanhaikoan, membawa pesan dari Kok-taijin untuk Lui-ciangkun. Akan tetapi, kebetulan sekali kedatanganku melihat betapa Lui-ciangkun dibunuh oleh perempuan iblis itu..."

   "Bohong! Wanita itu adalah selir Lui-ciangkun dan dia ini..."

   "Tenang dulu, sobat! Pikirlah baik-baik. Di mana adanya perempuan itu sekarang? Kalau memang ia orang baik-baik, kenapa ia melarikan diri? Karena kalian menghadangku, maka aku sampai tidak berhasil menangkapnya. Lui-ciangkun telah dibunuhnya, dan ketahuilah bahwa wanita itu adalah seorang tokoh pemberontak!"

   Akan tetapi para penjaga tidak mau percaya begitu saja walaupun ada di antara mereka yang mencari-cari dan tidak dapat menemukan Siang Hwa. Di dalam gedung Lui-ciangkun sudah geger dan terdengar tangisan dari isteri-isterinya.

   "Sebaliknya kalian bawa aku menghadap wakil dari Lui-ciangkun. Biar yang menentukan apakah aku bersalah atau tidak!"

   Usul ini dapat diterima oleh para penjaga dan dengan pengawalan ketat, Hui Song digiring masuk ke dalam benteng dan dihadapkan kepada Bhe-ciangkun yang menjadi wakil dari Lui-ciangkun. Bhe-ciangkun adalah seorang panglima yang sudah berpengalaman dan usianya sudah lima puluh tahun lebih. Sekali pandang saja dia dapat menduga bahwa yang dibawa menghadap padanya adalah seorang pemuda yang gagah perkasa dan memiliki kepandaian tinggi, juga sikapnya tabah dan gagah, sama sekali tidak membayangkan watak yang jahat. Dengan jujur Hui Song membuat laporan di depan panglima itu.

   "Harap ciangkun maafkan bahwa saya telah menimbulkan keributan dan salah sangka. Saya adalah utusan pribadi dari Kok-taijin di Sanhaikoan, membawa surat untuk Lui-goanswe. Karena tidak ingin membuang waktu, malam-malam saya langsung memasuki benteng hendak menghadap Lui-goanswe. Akan tetapi, saya melihat seorang wanita yang saya kenal, yaitu Gui Siang Hwa. Ia adalah murid Raja Iblis yang sedang menghimpun para datuk sesat untuk memberontak, maka kehadirannya di Cengtek tentu saja membuat saya heran dan curiga. Demikianlah, saya melakukan pengintaian di kamar Lui-goanswe dan tak saya sangka-sangka, iblis perempuan itu membunuh Lui-goanswe ketika rayuan dan bujukannya terhadap panglima itu agar ikut memberontak ditolak oleh Lui-goanswe. Dan ia pergi membawa gulungan kertas dari dalam kamar. Saya mengejarnya, akan tetapi para penjaga salah sangka dan tertipu oleh perempuan jahat itu, sehingga ia dibiarkan pergi dan saya malah yang dikeroyok."

   Dengan tenang Bhe-ciangkun mendengarkan pula laporan para penjaga dan mendengar bahwa memang ternyata wanita bernama Gui Siang Hwa itu telah lenyap dan wanita itu pergi dalam keadaan setengah telanjang. Bhe-ciangkun menerima surat kiriman dari Kok-taijin. Begitu membaca surat itu, wajahnya berobah dan dia lalu mengajak Hui Song untuk masuk ke dalam sebuah kamar untuk diajak bicara empat mata. Tentu saja para penjaga merasa heran dan baru mereka tahu bahwa mereka tadi telah salah tangkap. Sementara itu, setelah tiba di dalam kamarnya bersama Hui Song, Bhe-ciangkun berkata,

   "Ah, kiranya pengkhianat Ji Sun Ki itu bersekongkol dengan pemberontak?"

   Hui Song mengangguk.

   "Dia malah merencanakan dengan para pemberontak untuk membujuk Kok-taijin, akan tetapi tidak berhasil. Agaknya mereka akan menguasai Sanhaikoan untuk dijadikan basis gerakan pemberontakan mereka. Karena itu, Kok-taijin mengharap bantuan pasukan dari sini, ciangkun."

   Hui Song lalu menceritakan semua tentang sayembara dan bagaimana dia memasuki sayembara karena curiga dan kemudian dia membantu Kok-taijin.

   "Hemm, agaknya para tokoh pemberontak itu berusaha keras untuk mempengaruhi pula Lui-goanswe dan ketika mereka tidak berhasil, Lui-goanswe dibunuh dan gulungan kertas itu adalah catatan keadaan kekuatan di benteng ini. Sungguh berbahaya sekali. Cia-sicu, jasamu besar sekali dan jangan khawatir, aku akan mempersiapkan pasukan besar untuk sewaktu-waktu menggempur pasukan Ji-ciangkun kalau dia benar-benar berani memberontak."

   "Terima kasih, ciangkun. Tugas saya di sini sudah selesai. Saya mengkhawatirkan keadaan di Sanhaikoan, maka saya akan kembali ke sana secepatnya."

   Demikianlah, pada keesokan harinya, pagi-pagi Hui Song kembali ke Sanhaikoan dan Bhe-ciangkun memberi seekor kuda yang baik, lengkap dengan satu stel busur dan anak panah yang memang diminta oleh Hui Song sekedar untuk penjagaan diri karena dia maklum bahwa setelah dirinya terlihat oleh Siang Hwa, bukan tidak mungkin gadis itu mempersiapkan teman-temannya untuk menghadangnya apabila dia kembali ke Sanhaikoan. Kekhawatiran Hui Song itu sama sekali tidak terbukti. Dia tidak tahu bahwa pada saat itu, Siang Hwa dan kawan-kawannya sedang sibuk untuk suatu urusan yang lebih penting lagi, yaitu persiapan untuk menguasai benteng Sanhaikoan! Hal ini terjadi di luar sangkaan dan perhitungan Hui Song. Tak disangkanya bahwa secepat itu Ji-ciangkun akan bergerak untuk merampas dan menguasai benteng untuk kaum pemberontak.

   Dipercepatnya pengambil-alihan benteng Sanhaikoan oleh para pemberontak ada hubungannya dengan pertemuan antara Hui Song dan Siang Hwa di dalam kamar Lui-ciangkun di Cengtek itu. Setelah bertemu dengan Hui Song dan menyampaikan berita ini secepatnya kepada gurunya dan Raja Iblis juga segera minta kepada Ji-ciangkun untuk bergerak pada hari itu juga! Raja Iblis dapat menduga bahwa munculnya Cia Hui Song di Cengtek itu tentu ada hubungannya dengan Kok-taijin, bahkan dia hampir yakin bahwa pemuda itu yang menjadi pengawal pribadi Kok-taijin itu tentu menjadi utusan gubernur Sanhaikoan untuk minta bantuan kepada benteng Cengtek! Karena desakan yang mendadak ini, Ji-ciangkun menjadi sibuk.

   Dia belum melaksanakan rencananya menculik Kok Hui Lien, anak perempuan dari Kok-taijin itu. Karena desakan Raja Iblis, mau tidak mau harus mempergunakan kekerasan. Demikianlah, pada hari itu juga dia mengerahkan pasukannya untuk mengepung gedung Kok-taijin. Gubernur ini yang sudah siap siapa menghadapi segala kemungkinan, segera mengumpulkan para pengawalnya. Pasukan pengawal yang berada di luar gedung segera berkumpul dan menjaga rumah majikan mereka dengan ketat. Ji-ciangkun masih hendak mempergunakan bujukan. Setelah gedung dikepung, dia menyampaikan pesan kepada gubernur itu melalui para pengawal, agar sang gubernur menyerah saja dari pada harus diserbu dengan kekerasan. Akan tetapi Gubernur Kok membalas dengan makian dan semua pengawalnya juga siap untuk melindunginya.

   Terjadilah penyerbuan yang dilakukan oleh pasukan Ji-ciangkun. Akan tetapi, para pengawal melakukan perlawanan dengan gagah perkasa sehingga terjatuhlah banyak korban di antara kedua pihak. Sampai sehari lamanya, gedung Kok-taijin masih dapat dipertahankan oleh para pengawal walaupun jumlah mereka sudah banyak berkurang dan gedung itu masih tetap dikurung. Dalam keadaan seperti itulah Hui Song muncul. Dari para penghuni Sanhaikoan yang lari mengungsi keluar kota, dia mendengar akan terjadinya pertempuran antara pasukan Ji-ciangkun melawan para pengawal Kok-taijin dan bahwa gedung gubernur telah dikepung pasukan Ji-ciangkun. Maka diapun membalapkan kudanya dan ketika dia memasuki pintu gerbang kota benteng itu, keadaan masih kacau-balau.

   Hui Song tidak perduli dan terus membedal kudanya menuju ke gedung Gubernur Kok. Dia menerjang semua perajurit yang berani menghalanginya dan ketika para pengawal Gubernur Kok mengenalnya, mereka membukakan pintu dan membiarkan Hui Song memasuki pintu gerbang yang mereka jaga ketat. Sedih juga hati Hui Song melihat betapa mayat para pengawal sudah bertumpuk-tumpuk dan berserakan, dan betapa besar jumlah pasukan Panglima Ji yang mengepung rumah gedung itu. Melihat perbandingan jumlah pasukan, jelaslah bahwa tak mungkin pihak gubernur akan dapat bertahan lebih lama lagi. Dia segera menghadap Kok-taijin yang berkumpul di ruangan dalam bersama keluarganya. Keluarga gubernur itu sudah menangis dan nampak ketakutan, hanya sang gubemur yang masih bersikap tenang dan tabah, walaupun wajahnya juga pucat sekali.

   "Cia-sicu..."

   Gubemur itu girang sekali melihat Hui Song dan merangkulnya.

   "Ah, engkau dapat datang juga? Bagaimana dengan tugasmu?"

   Dengan singkat dan cepat Hui Song menceritakan pengalamannya dan bahwa Bhe-ciangkun di Cengtek sudah menyanggupi untuk mengirim pasukan. Akan tetapi dia menambahkan bahwa dia dan mereka yang berada di Cengtek sama sekali tidak menduga bahwa pengkhianat Ji Sun Ki akan bertindak demikian cepatnya, sehingga tentu saja bantuan dari Cengtek tidak dapat diharapkan akan datang hari ini. Mendengar ini, sang gubernur menarik napas panjang dan menjatuhkan diri di atas kursi dengan lemas. Para keluarga wanita makin keras menangis ketika mendengar bahwa tidak ada harapan datangnya pertolongan.

   "Diam! Jangan menangis lagi!"

   Bentak sang gubernur. Suara tangisan itu membuat dia semakin bingung. Kemudian dia menoleh kepada Hui Song dan berkata.

   "Biarlah, kalau mereka terlambat datang, aku akan memimpin semua pengawalku melakukan perlawanan sampai titik darah terakhir!"

   "Taijin, saya mempunyai usul. Bagaimana kalau taijin menyelamatkan diri keluar dari Sanhaikoan? Biarlah saya yang akan mengawal taijin menyelamatkan diri, dibantu oleh pasukan pengawal."

   Gubernur itu menggeleng kepala.

   "Tidak ada gunanya, sicu. Mana mungkin menyelamatkan seluruh keluarga yang begini besar keluar dengan selamat? Dan engkau tentu akan repot sekali, tidak mungkin dapat melindungi kami semua. Pula, sebagai seorang gubernur, mana aku ada muka untuk melarikan diri ketakutan seperti anjing mau disembelih? Tidak, aku akan tetap bersama kcluargaku di sini, akan kuhadapi semua dengan tabah. Lebih baik aku tewas sebagai seorang pejabat yang membela kehormatannya sampai akhir dari pada harus lari terbirit-birit ketakutan. Hanya ada satu permintaanku kepadamu, sicu. Kau selamatkanlah Hui Lian, anakku satu-satunya ini."

   Dan gubemur itu menuntun tangan Hui Lian, ditariknya ke depan Hui Song.

   Hui Song yang baru beberapa hari lamanya berdekatan dengan gubernur itu, sudah dapat mengenal wataknya yang gagah dan teguh, maka diapun tahu bahwa berbantah tidak akan ada gunanya. Di samping itu, diapun menyangsikan apakah dia dan para pengawalnya akan berhasil kalau hendak menyelamatkan gubemur itu sekeluarganya karena pihak musuh terlampau banyak dan kalau kereta yang membawa gubernur itu dihujani snak panah, bagaimana pula dia akan dapat melindungi mereka? Berbeda halnya kalau hanya menyelamatkan satu orang saja, apalagi yang bertubuh kecil seperti anak perempuan ini. Dan diapun tahu akan hati seorang ayah seperti Gubernur Kok, yang lebih senang melihat puterinya selamat dari pada dirinya sendiri.

   "Baik, taijin, akan saya coba untuk menyelamatkan adik ini,"

   Katanya sambil memegang tangan anak perempuan itu. Anak itu tidak nampak ketakutan karena agaknya ia belum mengerti benar apa sebetulnya yang sedang terjadi. Rambutnya yang hitam diikat menjadi dua di atas kepalanya, seperti sepasang sayap burung saja dan ia memakai pita merah. Ia tersenyum ketika tangannya digandeng Hui Song yang biarpun belum dikenalnya benar, namun agaknya ia tahu bahwa orang ini adalah sahabat ayahnya. Akan tetapi ketika Hui Song menggandengnya dan mengajaknya keluar dari ruangen itu, anak itu menangis.

   "Ayah..., Ibu..., Aku ikut ayah dan ibu..."

   Ibunya menangis, akan tetapi Kok-taijin memberi isyarat kepada Hui Song untuk membawa anak itu keluar. Hui Song lalu mengangkat dan memondongnya. Anak itu meronta-ronta, akan tetapi tidak berdaya dalam pondongan Hui Song.

   "Diamlah, adik yang manis, kita keluar untuk menyelamatkanmu. Marilah!"

   Hui Song membujuk dengan halus. Dia lalu berlari keluar dan meloncat ke atas punggung kudanya.

   "Adik yang manis, kau rangkullah leherku dan kugendong di belakangku. Jangan takut, aku akan menyelamatkanmu,"

   Katanya dan diapun sudah mengambil busur dan mempersiapkan anak panahnya, lalu membedal kudanya keluar. Para pengawal sudah tahu bahwa pemuda ini bertugas menyelamatkan puteri sang gubernur, maka mereka melindunginya dengan anak panah yang mereka luncurkan ke depan. Pertempuran sudah terjadi lagi dan kini Hui Song membalapkan kudanya di antara pertempuran. Dia dihujani anak panah, akan tetapi semua itu dapat dia runtuhkan dengan busurnya dan Kadang-kadang diapun melepas anak panah merobohkan beberapa orang perajurit musuh yang berani menghadang.

   Kadang-kadang dia menggunakan tangan atau tendangan kakinya merobohkan musuh yang berani mendekat. Kebakaran-kebakaran terjadi ketika para perajurit Ji-ciangkun menghujankan panah api ke arah gedung. Hui Song melompati pagarpagar yang terbakar dengan kudanya. Ketika ada beberapa batang anak panah menyambar dari atas, dia membalas dengan anak panahnya, dan robohlah dua orang perajurit yang menyerangnya dari atas benteng. Dan para petajurit agaknya gentar juga menyaksikan sepak terjangnya, karena siapapun yang menghalang di depannya, kalau tidak terpelanting ditabrak kuda pendekar itu, tentu roboh oleh tamparan tangan atau tendangan kakinya. Akhirnya, biarpun dengan susah payah, berhasillah Hui Song membawa anak perempuan itu keluar dari pintu gerbang Sanhaikoan.

   Legalah hatinya dan dia terus membalapkan kudanya memasuki sebuah hutan. Akan tetapi, tiba-tiba ada benda-benda berkilauan menyambarnya dengan kecepatan luar biasa. Hui Song terkejut sekali dan sambil memondong tubuh Hui Lian, dia meloncat turun dari atas punggung kudanya. Kuda itu ketakutan, sejak tadi memang kuda itu sudah panik di antara pertempuran yang terjadi di Sanhaikoan, setelah dia terbebas dari beban penunggangnya, dia membalap melarikan diri. Setelah meloncat turun dan menengok ke kanan dari mana pisau-pisau terbang tadi menyambar, tahulah dia siapa yang tadi menyerangnya. Si pisau terbang Huito Cinjin sudah berdiri di situ, bersama Kangthouw Lomo si gendut dan tak ketinggalan pula Gui Siang Hwa! Mereka bertiga berdiri di situ dan memandang kepadanya dengan senyum mengejek.

   "Hemm, kembali si tampan gagah putera ketua Cin-Ling-Pai mencampuri urusan kita,"

   Kata Siang Hwa biarpun suaranya mengandung ejekan, namun sinar matanya tidak dapat menyembunyikan perasaan kagum dan sukanya kepada pendekar yang tampan dan gagah itu.

   "Ha ha ha, sekali ini kita tidak boleh membiarkan tikus ini terlepas!"

   Kangthouw Lomo tertawa dan Huito Cinjin yang merasa penasaran karena serangan pisau-pisau terbangnya tadipun gagal, kini sudah mencabut sepasang belatinya dan siap untuk menyerang dengan sikap mengancam. Hui Lian yang berada dalam gendongan Hui Song, ketakutan dan menangis. Anak itu mulai memanggil-manggil ayah ibunya dan kembali Siang Hwa tertawa.

   "Hihik, kiranya Cia Hui Song yang gagah perkasa itu kini menjadi seorang pangasuh anak-anak."

   Dan kini wanita itu mengeluarkan sebatang pedang yang tadi terselip di punggungnya dan suaranya menjadi keren dan ganas ketika ia berkata.

   "Tidak, sekali ini dia tidak boleh lolos. Pekerjaanku di Cengtek hampir saja gagal karena campur tangannya."

   Kangthouw Lomo juga sudah mengambil guci araknya dan membuka tutup guci, minum araknya sambil menyeringai. Hui Song maklum bahwa dia kini menghadapi tiga orang musuh besarnya yang pernah hampir menewaskannya di dalam Guba Iblis Neraka. Selain maklum akan kelihaian dan kecurangan mereka, juga dia ingin sekali membalas kelicikan mereka ketika di dalam gua dahulu itu. Sekali ini dia harus dapat membasmi tiga orang iblis ini, karena kalau tidak, mereka ini hanya akan menimbulkan kekacauan-kekacauan saja di dalam dunia. Maka, diapun segera menurunkan anak perempuan itu, melepaskannya di bawah sebatang pohon tidak jauh dari situ.

   "Adik yang baik, kau duduklah di sini dulu, dan jangan pergi ke manapun,"

   Katanya. Anak itu berhenti menangis dan duduk sambil memeluk batang pohon, seolah-olah hendak mencari perlindungan pada sebatang pohon yang kokoh kuat itu. Setelah melepaskan anak itu, Hui Song merasa lega dan dia lalu dengan senyum di bibir, sikapnya tenang dan tabah sekali, menghampiri tiga orang musuh yang sudah siap mengeroyoknya itu.

   "Huito Cinjin, Kangthouw Lomo dan Gui Siang Hwa, kalian ini tiga orang manusia berhati iblis, jangan harap akan dapat melakukan kecurangan lagi kepadaku. Sekali ini aku akan menghajar dan menghukum kalian yang sudah terlalu banyak melakukan dosa!"

   Pendekar ini memang tidak pernah membawa pedang dan sudah biasa menghadapi lawan yang tangguh dengan tangan kosong saja. Bagi seorang pendekar seperti Hui Song yang sudah mewarisi ilmu-ilmu dari keluarga Cin-Ling-Pai, bertangan kosongpun tidak kurang berbahayanya dari pada kalau dia bersenjata dan setiap benda bisa saja menjadi senjata baginya. Tiga orang lawan yang sudah memegang senjata andalan mereka masing-masing itu melihat Hui Song melangkah maju tanpa senjata, diam-diam merasa gentar juga. Orang yang sudah berani maju bertangan kosong, apalagi dengan sikap sedemikian tenangnya, tentu memiliki ilmu silat yang amat tinggi.

   Dan merekapun sudah pernah menguji kehebatan ilmu silat pemuda ini, maka kini mereka bertiga bersikap hati-hati dan diam-diam mereka mempersiapkan senjata rahasia masing-masing. Namun, gerakan mereka itu sudah diketahui oleh Hui Song. Apalagi pemuda ini sudah mengenal kecurangan mereka. Kalau dia teringat kepada gadis yang menjadi pujaan hatinya, Sui Cin, yang sekarang entah berada di mana, yang mengalami gegar otak dan kehilangan ingatannya, bahkan nyaris tewas ketika terkena sambitan batu yang dilontarkan oleh Kangthouw Lomo, dia merasa sakit hati sekali. Sekali ini dia harus mampu membalaskan penderitaan Sui Cin dan dia sendiri, juga melenyapkan tiga orang manusia jahat ini dari permukaan bumi berarti mengurangi terjadinya kejahatan yang timbul dari perbuatan mereka.

   "Bocah sombong, bersiaplah untuk mampus!"

   Tiba-tiba Huito Cinjin menyerang dengan kedua pisaunya. Gerakannya memang cepat dan lengannya yang panjang itu bergerak dari atas bawah dan kanan kiri, ujung pisaunya yang runcing tajam menyambar-nyambar seperti patukan maut. Namun, dengan lincahnya Hui Song mengelak dan menangkis hantaman Kangthouw Lomo yang sudah menyusul pula dengan serangan hantaman ciu-ouw di tangannya.

   "Dess..."

   Tangkisan Hui Song membuat tubuh gendut itu terhuyung dan pada saat itu nampak sinar berkelebat dan tahu-tahu pedang di tangan Siang Hwa telah menyambar ke arah leher Hui Song.

   "Mampuslah kau!"

   Bentak Siang Hwa dan pedangnya mengeluarkan suara berdesing ketika menyambar lewat karena dengan mudah saja Hui Song dapat mengelak dengan merendahkan dirinya sedangkan kaki kanan pemuda itu sudah meluncur ke kanan, menghantam ke arah perut gendut Kangthouw Lomo. Kakek ini terkejut dan menangkis dengan tangan kirinya yang dimiringkan sambil mengerahkan tenaganya.

   "Dukkk..."

   Kembali kakek itu terhuyung. Terkejutlah kakek gendut ini. Dia adalah seorang tokoh Cap-sha-kui, yang terkenal memiliki tenaga besar, akan tetapi dalam beberapa gebrakan saja sudah dua kali dia terhuyung karena terdorong oleh kekuatan besar sekali dalam pertemuan tenaga itu. Hal ini tidaklah mengherankan. Hui Song telah mewarisi tenaga sakti Thian-te Sin-ciang dari ayahnya dan ketika dia digembleng selama tiga tahun oleh Dewa Kipas Siangkiang Lojin, tenaganya itu bertambah kuat saja.

   Terjadilah perkelahian yang amat seru antara Hui Song dengan ketiga orang pengeroyoknya. Biarpun tiga orang lawannya mempergunakan senjata, Hui Song sama sekali tidak nampak terdesak. Dengan mudahnya dia dapat mengelak dari semua seranan, atau Kadang-kadang menangkis dengan lengannya yang tidak kalah kuatnya dibandingkan dengan senjata lawan. Bahkan jari-jari tangan pemuda ini berani menangkis pedang di tangan Siang Hwa, membuat gadis itu terpekik kagum dan kaget karena jari-jari tangan pemuda itu kalau menangkis pedang, membuat pedangya terpental dan mengeluarkan suara berdencing seolah-olah pedangnya bertemu dengan baja. Hui Song sama sekali tidak terdesak, bahkan diapun dapat membagi-bagi pukulan atau tendangan sebagai balasan. Badan pemuda itu Kadang-kadang dilindungi ilmu kekebalan yang luar biasa kuatnya, yaitu ilmu kebal Tiat-po-san yang membuat kulitnya tidak tembus oleh bacokan senjata tajam.

   Karena ini, biarpun beberapa kali pisau atau pedang mengenai tubuhnya karena dia memang tidak merasa perlu untuk menghindarkan diri, senjata-senjata tajam itu bertemu dengan kulit dan membalik. Hanya baju pemuda itu saja yang robek oleh senjata-senjata tajam itu. Dan permainan ilmu silat sakti Thai-kek Sin-kun yang mempunyai daya tahan amat kuat itu membingungkan tiga orang lawannya, membuat mereka sukar sekali mencari tempat lowong, seolah-olah seluruh tubuh pemuda itu dilindungi oleh bayangan lengan yang merupakan benteng yang kokoh kuat. Huito Cinjin menjadi penasaran dan tidak sabar. Dia mengeluarkan pekik nyaring dan ada tiga sinar berkelebat terbang ke arah Hui Song. Itulah tiga batang pisau terbang yang dilepasnya kepada pemuda itu.

   "Tring tring tringg..."

   Jari-jari tangan Hui Song menyambut dengan sentilansentilan dan tiga batang pisau terbang itu membalik ke arah pemlliknya! Nyaris leher Huito Cinjin terkena pisaunya sendiri kalau dia tidak cepat merendahkan tubuhnya. Akan tetapi pada saat dia merendahkan tubuh, tiba-tiba tubuh Hui Song berkelebat datang dan sebuah tendangan kaki kiri pendekar muda itu tidak mampu dihindarkan oleh si kakek yang berpakaian tosu itu, walaupun dia mencoba mengelak dengan miringkan tubuhnya.

   "Dess..."

   Pinggulnya disambar kaki Hui Song dan kakek ini terlempar dan terbanting jatuh. Dia menyeringai karena merasa pinggulnya nyeri sekali dan ketika dia bangkit bangun dan berjalan, langkahnya terpincang-pincang.

   Hanya kemarahan dan rasa malu yang membuat dia nekat menyerang lagi dengan sepasang pisaunya. Guci arak di tangan si gendut Kangthouw Lomo menyambar ke arah dada Hui Song. Pemuda ini tidak ingin berkelahi terlalu lama karena kalau dia tidak cepat merobohkan mereka ini mungkin teman-teman mereka akan datang atau andaipun tidak, dia akan berada dalam ancaman bahaya kalau sampai ada pengejaran dari pasukan anak buah Ji-ciangkun. Maka, melihat datangnya guci arak yang menyambar ke dadanya, dia cepat mengerahkan tenaga Tiat-po-san melindungi dadanya. Pada saat guci itu menghantam dadanya, dia membarengi tamparan tangan kanannya dengan tenaga Thian-te Sin-ciang ke arah perut gendut itu.

   "Bunggg..."

   Terdengar perut itu berdengung ketika terkena hantaman dan tubuh si gendut itu terjengkang dan terguling-guling sampai jauh. Akan tetapi, ternyata dia juga memiliki kekebalan bukan hanya di kepalanya, melainkan juga di perutnya. Perutnya itu kuat seperti bola karet yang penuh hawa,

   Maka ketika kena hantaman Thian-te Sin-ciang, isi perut itu tidak terluka hanya tubuhnya saja yang terlempar dan hanya terasa nyeri karena babak-belur saja terguling-guling. Kakek berbaju hwesio ini bangkit dan mukanya berobah merah karena malu dan marah. Dia tertatih-tatih maju lagi mengayunayun guci araknya di atas kepala. Sementara itu, melihat betapa dua orang pembantunya sempat dirobohkan Hui Song, Siang Hwa menjadi marah. Gerakan pedangnya semakin gencar dan ia menerjang ke depan bagaikan kesetanan dan tiba-tiba tangan kirinya mengebutkan saputangan merah yang mengandung racun pembius itu. Akan tetapi sekali ini, Hui Song sudah bersiap-siap. Dia menahan napas dan meniup ke arah debu yang mengepul dari sapu tangan dan buyarlah debu itu, bahkan membalik ke arah Siang Hwa sendiri.

   "Keparat!"

   Siang Hwa berteriak marah. Pada saat itu terdengar bentakan nyaring Huito Cinjin,

   "Cia Hui Song, hentikan perlawananmu atau anak ini akan kusembelih!"

   Hui Song terkejut bukan main. Dia meloncat mundur dan ketika menengok ke arah suara itu, mukanya berobah pucat. Kiranya Huito Cinjin sudah menjambak rambut anak perempuan itu dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya yang memegang pisau tajam berkilauan itu ditempelkan di leher anak kecil yang mulai menangis ketakutan itu!

   "Jahanam busuk! Lepaskan anak itu dan mari kita bertanding sampai satu di antara kita roboh tewas!"

   Hui Song membentak marah akan tetapi tosu itu menyeringai.

   "Kau menyerah atau anak ini kusembelih lebih dulu... aihhhh..."

   Tiba-tiba tosu itu menjerit dan terhuyung, dari lambungnya bercucuran darah segar dan diapun terguling roboh dan berkelojotan. Kiranya diam-diam muncul seorang pria yang menggunakan pedang menusuk lambung kakek berpakaian tosu itu. Gerakannya demikian aneh dan cepat sehingga tosu itu tidak sempat mengelak dan kini dia menyelipkan pedangnya di sarung pedang, kemudian menyambar tubuh Kok Hui Lian dengan lengan kanannya lalu dia melompat pergi dari situ tanpa mengeluarkan sepatahpun kata.

   "Ciang-suheng..."

   Hui Song berseru, kaget dan juga girang. Dia mengenal orang yang lengan kirinya buntung itu karena orang itu adalah Ciang Su Kiat, bekas murid Cin-Ling-Pai yang membuntungi lengan kiri sendiri karena dipersalahkan oleh ketua Cin-Ling-Pai.

   Akan tetapi, laki-laki buntung sebelah lengannya itu tidak menjawab, menolehpun tidak, bahkan berlari semakin cepat. Larinya cepat sekali sehingga mengagetkah hati Hui Song yang dapat menduga bahwa bekas suhengnya itu kini memiliki kepandaian tinggi. Tentu saja Kangthouw Lomo dan Siang Hwa terkejut sekali melihat betapa kawan mereka tewas secara tidak terduga-duga, hanya karena serangan satu kali saja dari orang buntung tadi. Akan tetapi mendengar Hui Song menyebut "suheng"

   Kepada orang itu, tentu saja mereka terkejut dan gentar. Baru Hui Song sudah begini lihai, apalagi suhengnya! 0rangorang yang berwatak kejam biasanya berjiwa pengecut. Tanpa banyak kata lagi, dua orang itu lalu membalikkan tubuhnya dan lari! Melihat ini, Hui Song mengejar,

   "Keparat, kalian hendak lari ke mana?"

   Bentaknya dan diapun mengerahkan ginkangnya melakukan pengejaran. Semenjak berlatih di bawah bimbingan Si Dewa Kipas, ilmu meringankan tubuh pemuda ini memang meningkat dengan hebat. Belum lama dia mengejar, dia sudah dapat menyusul Kangthouw Lomo yang larinya tidak secepat Siang Hwa.

   "Iblis tua, engkau hendak lari ke mana?"

   Hui Song membentak. Karena maklum bahwa lari tiada gunanya, Kangthouw Lomo menjadi nekat. Dia membalik dan menghantamkan guci araknya ke arah muka Hui Song. Pemuda yang sudah marah ini tidak mengelak, bahkan menggunakan tangan kanan yang terbuka memapaki pukulan itu dengan pengerahan tenaga Thian-te Sin-ciang.

   "Prokkk..."

   
Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Guci arak itu pecah berantakan dan isinya, setengahnya masih berisi arak, berhamburan memercik ke mana-mana dan terciumlah bau arak yang sangat menyengat hidung. Melihat senjatanya yang amat disayangnya itu pecah, Kangthouw Lomo marah bukan main. Dia lalu melangkah mundur dan menundukkan kepalanya,

   Tubuhnya direndahkan dan seperti seekor kerbau mengamuk, dia lalu lari ke depan, menggunakan kepalanya yang botak itu untuk menyeruduk ke arah perut Hui Song! Hebat bukan main serangan ini dan agaknya kakek yang sudah putus harapan dan nekat ini mempergunakan senjatanya yang terakhir, yaitu kepalanya. Kepalanya memang sudah terlatih, dapat membentur pecah batu karang, kuat bukan main. Hui Song belum tahu sampai di mana kekuatan yang berada dalam kepala itu, maka diapun tidak mau sembrono menerima serudukan itu begitu saja. Cepat dia miringkan tubuhnya dan ketika kepala botak itu meluncur lewat dekat perutnya, dia menggerakkan tangan kanannya, mengerahkan Thian-te Sin-ciang dan tangan kanannya itu seperti sebatang golok atau sebuah palu godam menyambar turun dari atas, tepat ke arah tengkuk di belakang kepala botak besar itu.

   "Ngekkk..."

   Tengkuk itu besar dan kuat seperti tengkuk kerbau, akan tetapi kekuatan yang berada di tangan Hui Song amat hebat. Maka sekali pukul saja, kakek itu mengeluh dan terpelanting roboh dan matanya mendelik, nyawanya putus bersama dengan patahnya tulang tengkuknya! Tewaslah Kangthouw Lomo. Hui Song sejenak meragu. Siapakah yang harus dikejar? Siang Hwa ataukah bekas suhengnya? Siang Hwa sudah tidak nampak lagi dan dia tahu betapa lihainya wanita itu. Kalau sampai wanita itu mendahuluinya mencapai guru-gurunya, dia akan celaka. Bagaimanapun lihainya, dia masih ragu-ragu apakah dia akan dapat menandingi Raja dan Ratu Iblis yang dia tahu sakti bukan main itu. Dan diapun mengkhawatirkan keselamatan puteri gubernur, maka dia mengejar ke arah larinya Ciang Su Kiat.

   Akan tetapi, iapun kehilangan jejak bekas suhengnya ini dan akhirnya dia menghibur hatinya sendiri bahwa puteri gubernur itu tentu selamat berada di tangan Ciang Su Kiat yang dia yakin memiliki jiwa pendekar yang gagah perkasa. Maka diapun lalu kembali ke Sanhaikoan untuk melihat bagaimana perkembangan di kota benteng itu. Akan tetapi, dia tidak dapat masuk. Sanhaikoan sudah jatuh ke tangan pasukan Ji-ciangkun yang memberontak! Dan pintu gerbang dijaga ketat. Juga di atas tembok-tembok benteng terdapat barisan anak panah yang siap menyerang siapa saja yang berani naik. Apa gunanya lagi memasuki Sanhaikoan, pikirnya. Keluarga gubernur telah terbasmi dan dari para pengungsi dia mendengar bahwa gubernur sekeluarganya telah tewas dalam gedungnya yang terbakar habis. Sebagian dari pasukan pengawal menyerah kepada pasukan Ji-ciangkun dan pembersihan masih terus dilakukan.

   Siapapun juga yang mencurigakan ditangkap, dan yang condong memihak Kok-taijin dibunuh. Kekacauan terjadi di kota Sanhaikoan dan karena dia sudah dikenal sebagai pengawal pribadi Kok-taijin, tentu saja Hui Song tidak begitu bodoh untuk memasuki kota itu. Dia lalu mengambil keputusan untuk kembali ke Cengtek dan mengabarkan jatuhnya Sanhaikoan ke tangan pemberontak itu kepade Bhe-ciangkun yang kini menjadi komandan sementara di Cengtek menggantikan kepalanya yang telah tewas. Mendengar tentang jatuhnya Sanhaikoan itu, Bhe-ciangkun tidak berani sembarangan turun tangan dan segera mengutus anak buahnya untuk cepat menunggang kuda ke kota raja dan mengirimkan berita ke kota raja, menanti keputusan dan perintah selanjutnya dari pusat pemerintahan mengenai pemberontakan Ji-ciangkun itu.

   Pemuda yang berjalan seorang diri di luar Tembok Besar itu amatlah gagahnya. Usianya masih muda, paling banyak dua puluh dua tahun, akan tetapi tubuhnya tinggi tegap dan wajahnya tenang serius sehingga dia nampak jauh lebih dewasa dari pada usia yang sebenarnya. Rambutnya yang hitam dan lebat itu dikuncir tebal dan panjang, dikalungkan ke lehernya yang nampak kokoh kuat itu. Pakaiannya amat sederhana, terbuat dari kain kasar saja, namun bersih dan di sebelah luarnya dia mengenakan jubah pendek terbuat dari kulit harimau. Dandanan sederhana dan gagah ini memberi kesan bahwa dia adalah seorang pemuda yang gagah, seorang pendekar muda atau setidaknya seorang pemburu, atau orang yang biasa hidup menghadapi kesukaran dan kekerasan.

   Sinar matanya tajam mencorong dan membayangkan kekerasan hati, walaupun terdapat kelembutan dan kejujuran, terutama pada bentuk dagu dan tarikan mulutnya. Pemuda tinggi tegap yang gagah perkasa ini adalah Siangkoan Ci Kang yang pada waktu itu sudah berusia dua puluh satu tahun. Seperti telah kita ketahui, pemuda ini adalah putera tunggal dari mendiang Siangkoan Lojin yang berjuluk Iblis Buta yang merupakan seorang datuk kaum sesat yang amat ditakuti. Akan tetapi, datuk sesat ini tewas di tangan Ratu Iblis. Dan sebelumnya, seperti telah diceritakan di bagian depan, Ci Kang melarikan diri dari ayahnya setelah antara anak dan ayah ini terdapat bentrokan paham, bahkan oleh para tokoh Cap-sha-kui pemuda itu dianggap musuh yang harus ditangkap atau dibunuh.

   Kemudian, pemuda ini bertemu dengan Ciu-sian Lokai, tokoh sakti yang berpakaian pengemis itu, dan digembleng sebagai muridnya. Di bawah bimbingan Ciu-sian Lokai, bakat dan watak yang baik dan gagah pemuda ini berkembang, bahkan Ciu-sian Lokai, seperti telah diadakannya perjanjian dan perlombaan mendidik murid dengan Gobi Sanjin, telah menanamkan pandangan hidup Cia Han Tiong, ketua Pek-Liong-Pang di Lembah Naga, kepada muridnya itu. Maka, biarpun Ci Kang terlahir di kalangan sesat dan sejak kecil bergaul dengan datuk-datuk sesat, melihat segala macam tindakan yang kejam, ganas dan curang, kini dapat melihat dengan jelas betapa buruknya kehidupan di antara teman-teman ayahnya itu. Jiwa kependekarannya semakin bangkit dan biarpun dia tetap ingin menentang segala bentuk kejahatan,

   Namun dia sudah berjanji kepada diri sendiri untuk meluruskan yang bengkok, menyadarkan yang sesat, dan bukannya mematahkannya atau membunuhnya, sesuai dengan pesan-pesan Ciu-sian Lokai yang mentrapkan pandangan hidup Cia Han Tiong kepada muridnya ini. Setelah lewat tiga tahun, Ciu-sian Lokai menyuruh muridnya untuk pergi ke Benteng Jeng-hwa-pang di luar Tembok Besar. Gurunya itu memberi tahu kepadanya bahwa di tempat ini akan diadakan pertemuan para pendekar untuk membicarakan tentang bangkitnya para datuk sesat yang hendak mengadakan gerakan bemberontakan dan pemuda itu ditugaskan oleh gurunya untuk ikut pula menentang usaha para datuk sesat. Berangkatlah Ci Kang meninggalkan gurunya akan tetapi bagaimanapun juga, dia teringat akan ayahnya yang sudah tua dan buta.

   Biarpun ayahnya menjadi seorang datuk sesat, akan tetapi kasih sayangnya sebagai seorang anak terhadap ayahnya membuat Ci Kang lebih dahulu pergi mengunjungi ayahnya di Pohai, Sensi, sebelum dia melakukan perjalanan keluar Tembok Besar di utara. Akan tetapi, dia tidak dapat bertemu dengan ayahnya, bahkan dia mendengar berita bahwa ayahnya telah tewas di tangan Raja dan Ratu Iblis, datuk sesat baru yang kini menguasai seluruh datuk sesat ketika terjadi pertemuan antara para datuk di lereng Pegunungan Tapie-san. Dia hanya menarik napas panjang, tahu bahwa kematian ayahnya di tangan datuk sesat itu hanyalah akibat dari pada sikap dan perbuatan ayahnya
(Lanjut ke Jilid 25)
Asmara Berdarah (Seri ke 08 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 25
sendiri. Dia akan menentang para datuk sesat, terutama Raja Iblis, akan tetapi bukan karena dendam terhadap kematian ayahnya, melainkan karena sudah menjadi kewajiban seorang pendekar untuk menentang kejahatan.

   Andaikata ayahnya masih hidup sekalipun, dia akan menentang kejahatan yang dilakukan ayahnya dan anak buahnya. Ketika pada pagi hari itu dia berjalan seorang diri di luar Tembok Besar di wilayah yang dahulu pernah dikuasai oleh Jeng-hwa-pang, tempat itu masih nampak sunyi. Pemuda ini tidak tahu bahwa dia datang terlalu pagi. Waktu yang ditentukan oleh para pendekar untuk mengadakan pertemuan di tempat itu masih satu bulan lagi. Akan tetapi, akhirnya dia tiba juga di bekas benteng Jeng-hwa-pang yang tembok-temboknya masih kokoh kuat akan tetapi kini hanya menjadi sebuah dusun kecil yang dihuni oleh orang-orang yang biasa melakukan pekerjaan sebagai pemburu dan juga menjadi tempat persinggahan para pedagang atau mereka yang sering berlalu-lalang melalui Tembok Besar. Hatinya agak tegang dan berdebar karena dia merasa gembira. Biarpun dia dahulu selalu bergaul dengan datuk sesat,

   Akan tetapi dia selalu menentang perbuatanperbuatan mereka yang tidak baik dan dia merasa tidak pernah suka bergaul dengan mereka. Akan tetapi kini, dia datang ke tempat itu sebagai seorang pendekar yang menghadiri pertemuan antara kaum pendekar! Hatinya merasa gembira sekali karena dia akan bertemu dan berkenalan dengan orang-orang gagah yang menurut gurunya akan berkumpul di tempat ini dan di antara mereka terdapat orang-orang sakti yang berilmu tinggi. Sungguh merupakan pertemuan yang akan membuka matanya dan menambah pengalaman dan meluaskan pengetahuannya. Ketika dia tiba di tempat itu, dia pertama-tama melihat serombongan orang gagah, terdiri dari tujuh orang lima pria dua wanita. Usia mereka antara dua puluh lima sampai tiga puluh lima tahun dan sikap mereka nampak gagah sekali dengan pedang di punggung mereka.

   Karena dari sikap mereka saja Ci Kang sudah dapat menduga bahwa mereka adalah pendekar-pendekar yang datang menghadiri pula pertemuan maka diapun menghampiri mereka. Mereka bertujuh sedang duduk di bawah pohon, di luar bekas benteng itu dan tujuh ekor kuda yang baik ditambatkan di batang pohon itu. Di atas sebuah di antara sela-sela kuda, dia melihat berkibarnya sebuah bendera kecil berwarna kuning yang bertuliskan tiga buah huruf Hoa-kiam-pang (Perkumpulan Pedang Bunga) dan ada gambar sepasang pedang melintang. Ci Kang belum pernah mendengar tentang nama perkumpulan itu, akan tetapi dia dapat menduga bahwa tentu ini nama sebuah perkumpulan pendekar pedang yang tangguh. Dia semakin gembira dan cepat menjura kepada mereka dengan sikap hormat dan wajah ramah.

   "Selamat berjumpa, cuwi-enghiong (para pendekar sekalian)! Cuwi tentu tokoh-tokoh dari Hoa-kiam-pang yang terkenal."

   Seorang di antara mereka, seorang laki-laki jangkung yang kurus dan paling tua di antara mereka, agaknya menjadi pemimpin rombongan, bersama yang lain membalas penghormatan itu dan si jangkung kurus menjawab,

   "Selamat bertemu, sobat. Kami hanyalah murid-murid Hoa-kiam-pang yang diutus oleh para pemimpin kami untuk melihat-lihat keadaan. Selamat berkenalan! Bolehkah kami mengenal siapa adanya sobat yang gagah ini?"

   Ci Kang tersenyum ramah.

   "Saya bernama Siangkoan Ci Kang dan saya diutus oleh suhu untuk menghadiri pertemuan para pendekar yang akan diadakan di tempat ini. Bukankah cuwi juga datang untuk keperluan itu?"

   Si jangkung kurus memandang tajam.

   "Pertemuan itu akan diadakan sebulan lagi. Engkau datang terlalu pagi, sobat. Kami sendiri datang hanya untuk melihat-lihat keadaan, apakah tempat ini aman untuk pertemuan itu dan selain kami, ada pula belasan orang sahabat dari berbagai perkumpulan pendekar yang juga datang, melihat keadaan."

   "Benarkah? Ah, saya ingin sekali belajar kenal dengan para pendekar itu."

   "Mereka berkumpul di sebelah dalam bekas benteng, di sebuah kedai arak kecil yang dibuka oleh penduduk tempat ini. Mari, saudara Siangkoan Ci Kang, mari kita perkenalkan."

   Tujuh orang itu lalu mengajak Siangkoan Ci Kang memasuki bekas benteng Jeng-hwa-pang dan ketika mereka menghampiri sebuah kedai arak, beberapa orang yang nampaknya gagah-gagah dan yang duduk minum arak di kedai itu memandang penuh perhatian.

   "Cuwi-enghiong!"

   Kata murid Hoa-kiam-pang yang jangkung kurus itu memperkenalkan.

   "ini seorang pendatang baru, seorang pendekar muda bernama Siangkoan Ci Kang..."

   "Dia tokoh sesat!"

   Tiba-tiba terdengar suara orang dan seorang pemuda tampan gagah meloncat keluar kedai dan menghadapi Ci Kang dengan mata mencorong penuh kemarahan. Ci Sang terkejut dan memandang. Dia tidak lupa.

   Pemuda ini adalah seorang di antara para pendekar yang dahulu membela Jenderal Ciang di dalam perayaan pasta ulang tahun Ang-kauwsu di kota Paofan! Pemuda ini selalu bersama Ceng Sui Cin, gadis cantik gagah puteri Pendekar Sadis itu. Ah, benar. Pemuda ini adalah putera ketua Cin-Ling-Pai seperti yang diketahuinya dari para tokoh Cap-sha-kui! Tentu saja seruan yang dikeluarkan oleh Hui Song ini mengejutkan semua pendekar yang berkumpul di situ. Seperti kita ketahui, Hui Song tidak dapat kembali ke Sanhaikoan yang sudah diduduki oleh pemberontak dan diapun pergi ke benteng Jeng-hwa-pang di mana dia bertemu dengan beberapa orang pendekar dan dia bercerita tentang gerakan para pemberontak kepada mereka. Ketika tujuh orang murid Hoa-kiam-pang itu muncul bersama Ci Kang, dia segera mengenal pemuda berbaju kulit harimau ini dan tentu saja dia menjadi marah.

   "Dia ini tokoh pemberontak sesat, tentu datang untuk memata-matai kita!"

   Hui Song berseru lagi sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka Ci Kang. Ci Kang menjura dengan sikap hormat dan gagah, akan tetapi juga tenang, walaupun ucapan putera ketua Cin-Ling-Pai itu seperti pedang menusuk jantung.

   "Maaf, saya datang sebagai utusan suhu yang berjuluk Ciu-sian Lokai, harap cuwi tidak salah sangka."

   Nama Ciu-sian Lokai tidak terkenal di dunia kang-ouw karena memang kakek ini, seperti juga kakek-kakek sakti lain yang baru bermunculan setelah dunia kang-ouw dikacau oleh Cap-sha-kui dan terutama sekali karena munculnya Raja dan Ratu Iblis. Oleh karena itu, nama ini tidak mendatangkan kesan di hati pendekar muda yang berkumpul di situ. Akan tetapi, Hui Song juga bukan seorang pemuda sembrono dan dia mau yakin dulu apakah benar pemuda ini yang pernah dilihatnya membantu Cap-sha-kui lolos dari kepungan beberapa tahun yang lalu.

   "Hemm, namamu Siangkoan Ci Kang, engkau putera tunggal dari datuk sesat Siangkoan Lojin Si Iblis Buta, bukan?"

   "Benar, akan tetapi saya tidak pernah mencampuri semua perbuatan jahat dunia sesat,"

   Jawab Ci Kang dengan jujur dan gagah.

   "Hemm, bukankah engkau pernah beberapa kali menggunakan anak panah membantu para tokoh Cap-sha-kui lolos dari tangkapan?"

   Hui Song mendesak lagi. Siangkoan Ci Kang terlalu jujur dan gagah untuk menyangkal. Dia mengangguk.

   "Benar..."

   "Nah, mau bicara apa lagi? Engkau mata-mata kaum sesat, terimalah ini!"

   Hui Song menerjang sambil mengirim tamparan dengan tenaga Thian-te Sin-ciang yang amat dahsyat. Tamparannya itu mendatangkan angin bersiut menyambar ke arah muka Siangkoan Ci Kang. Pemuda ini tidak mempunyai kesempatan lagi untuk membantah dan melihat betapa serangan Hui Song demikian hebatnya, diapun menggerakkan lengan menangkis.

   "Dukkk..."

   Keduanya mengeluarkan seruan kaget karena pertemuan lengan itu membuat kedua orang pemuda itu terdorong ke belakang seolah-olah bertemu dengan gelombang tenaga yang amat kuat.

   Mereka saling pandang dan tahulah mereka bahwa keduanya menemukan lawan yang amat tangguh. Sementara itu, para pendekar yang berada di situ semua mengenal Hui Song sebagai putera ketua Cin-Ling-Pai yang berkepandaian tinggi. Tentu saja mereka lebih percaya kepada Hui Song. Apalagi, pemuda berjubah kulit harimau itu sudah mengaku sebagai putera Si Iblis Buta. Hal ini saja sudah cukup membuat mereka semua memusuhinya, dan serentak mereka lalu mencabut senjata dan menerjang maju. Dihujani senjata, Ci Kang cepat berloncatan dengan amat gesitnya mengelak ke sana-sini. Dia tahu bahwa percuma saja membantah dan bicara untuk membersihkan dirinya dan tidak baik kalau sampai dia bentrok dengan para pendekar ini, maka sambil mengeluh panjang dia lalu meloncat dan melarikan diri dari tempat itu.

   "Aku datang hendak membantu kalian menentang kejahatan, sayang kalian tidak percaya!"

   Teriaknya dan tubuhnya sudah berkelebat cepat sakali meninggalkan benteng itu. Hui Song tidak melakukan pengejaran dan para pendekar itupun tidak karena mereka maklum betapa lihainya putera Si Iblis Buta itu. Hui Song sendiri tentu saja dapat mengimbangi kecepatan gerakan Ci Kang dan dapat melakukan pengejaran kalau dia mau, akan tetapi dia teringat bahwa bagaimanapun juga Siangkoan Ci Kang itu pernah menyelamatkan Sui Cin dan biarlah kini dia berlaku murah untuk membalas budi Ci Kang terhadap gadis pujaan hatinya itu.

   Ci Kang berlari cepat sekali dengan hati murung. Dia lari ke barat dan tidak tahu harus pergi ke mana. Dia telah datang terlalu pagi dan dia tidak dapat menghadiri pertemuan para pendekar itu tanpa adanya gurunya. Kalau ada Ciu-sian Lokai di situ, baru dia akan dapat hadir karena tentu gurunya yang akan dapat memberi kesaksian akan kebersihan dirinya. Dia tidak menyalahkan Cia Hui Song putera ketua Cin-Ling-Pai itu, melainkan hanya merasa mendongkol sekali. Bagaimanapun juga, memang pemuda Cin-Ling-Pai itu pernah melihat dia membantu dan menyelamatkan orang-orang Cap-sha-kui bersama ayahnya. Sudah tentu saja Hui Song curiga kepadanya. Dan satu-satunya orang yang akan dapat menanggung dirinya agar dipercaya oleh para pendekar hanyalah gurunya, Ciu-sian Lokai yang belum nampak ada di tempat itu.

   Hatinya murung sekali dan ketika dia memasuki sebuah desa kecil di mana terdapat sebuah kedai arak, diapun memasuki kedai itu. Kedai yang cukup besar, bahkan terlalu besar untuk sebuah dusun yang penghuninya sedikit dan agaknya hanya terdiri dari orang-orang miskin atau pemburu-pemburu. Agaknya kedai ini dibuka orang belum begitu lama dan agaknya dibuka untuk menjadi pemberhentian orang-orang yang melakukan perjalanan dan lewat di tempat ttu. Bagaimanapun juga, bau arak yang sedap menarik perhatian Ci Kang dan diapun yang diganggu rasa mendongkol perlu beristirahat menenangkan hatinya. Ci Kang mengambil tempat duduk di atas kursi yang kasar buatannya, menghadapi sebuah meja yang kasar pula. Seorang pelayan cepat menghampirinya dan dengan membungkuk-bungkuk penuh senyum menjilat pelayan itu menyapanya.

   "Selamat siang, tuan. Tuan hendak makan dan minum apakah?"

   "Bawakan aku seguci besar arak!"

   Kata Ci Kang. Pemuda ini setelah menjadi murid Ciu-sian Lokai, mewarisi kebiasaan gurunya, suka minum arak. Tentu saja dia tidak minum terlalu banyak walaupun banyaknya arak dapat dilawannya dengan kepandaiannya sehingga dia tidak akan terpengaruh, akan tetapi saat itu hatinya sedang mendongkol dan dia hendak minum sebanyaknya!

   

Harta Karun Jenghis Khan Eps 6 Harta Karun Jenghis Khan Eps 3 Pendekar Lembah Naga Eps 55

Cari Blog Ini