Ceritasilat Novel Online

Pendekar Mata Keranjang 14


Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Bagian 14



Pek Kong mengerutkan alisnya. Dia merasa kasihan kepada isterinya yang sudah menderita bertahun-tahun, selalu berduka kalau teringat akan putera mereka.

   "Ayah, memang tidak seharusnya membenamkan diri dalam duka dan tangis. Akan tetapi, menurut perhitungan saya, kini Han Siong sudah berusia dua puluh tahun lebih, sudah cukup dewasa. Kenapa belum juga dia pulang? Tentu kami merasa khawatir sekali, Ayah, karena bagaimanapun juga, dia adalah putera kami satu-satunya, dialah penyambung satu-satunya keturunan keluarga Pek!"

   Mendengar puteranya menyinggung tentang keturunan keluarga Pek, Kakek Pek Ki Bu terdiam dan dia pun mengerutkan alisnya dengan khawatir. Kekhawatiran timbul karena andaikata cucunya itu benar-benar telah tidak ada, bukankah hal itu berarti bahwa keluarga Pek akan terputus keturunannya? Dan hal ini tentu saja akan merupakan hal yang amat menyedihkan.

   Sejak tadi Pek Eng mendengarkan dengan alis berkerut. Ia duduk bersimpuh merangkul ibunya untuk menghiburnya ketika ibunya menangis, sementara ia mendengarkan percakapan mereka. Ketika ayahnya menyinggung soal keturunan keluarga Pek, kerut alisnya makin mendalam dan sepasang matanya yang agak sipit itu mengeluarkan sinar penasaran, mukanya yang manis itu menjadi merah gelap. Hatinya tak pernah mau menerima sikap orang-orang tua bangsanya yang selalu
(Lanjut ke Jilid 13)
Pendekar Mata Keranjang (Seri ke 09 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 13
mementingkan anak laki-laki daripada anak perempuan. Keturunan! Hanya nama keturunan, hanya she. Ia tahu bahwa ia tidak akan melahirkan keturunan Pek, melainkan keturunan marga orang yang akan menjadi suaminya. Dan hal ini menyakitkan hatinya sekali! Ia merasa seolah-olah didorong ke samping sehingga berdiri di luar kalangan atau lingkaran keluarga Pek! Tiba-tiba ia melepaskan rangkulan dari pundak ibunya dan bangkit berdiri. Sikapnya gagah ketika ia berkata.

   "Kakek, Ayah dan Ibu, biarkan aku berangkat pergi mencari Koko Pek Han Siong yang menimbulkan kedukaan dalam keluarga Pek!"

   Tiga orang tua itu terkejut, seolah-olah baru ingat akan adanya Pek Eng di situ.

   "Eng-ji (Anak Eng), engkau seorang anak perempuan..!"

   Seru ibunya. Seruan ibunya membuat rasa penasaran dan marah di hati Pek Eng semakin bergelora.

   "Apa salahnya seorang anak perempuan, Ibu? Aku tidak kalah oleh seorang anak laki-laki. Aku tidak pernah menyusahkan hati Ibu, tidak seperti Koko! Daripada Ibu susah-susah selalu, biarlah aku akan pergi mencari Koko sampai dapat!"

   "Eng-ji, jangan bicara tidak karuan!"

   Bentak ayahnya.

   "Kami saja tidak tahu di mana Han Siong berada, apalagi engkau. Ke mana engkau hendak mencarinya?"

   "Ke mana saja, Ayah. Kalau memang Koko masih hidup, pasti akan dapat kucari dan kutemukan. Aku akan mulai dengan daerah Kun-lun-san di mana kakek buyut bertapa dan mencari keterangan di sana."

   "Jangan, Eng-ji, engkau jangan pergi!"

   Ibunya berseru penuh kekhawatiran.

   "Pek Eng, apakah engkau akan menjadi seorang anak yang durhaka? Ibumu sedang berduka memikirkan kakakmu yang belum juga pulang dan sekarang engkau malah hendak pergi meninggalkannya?"

   Terdengar Pek Ki Bu berkata halus menegur cucunya yang amat disayangnya. Pek Eng cemberut memandang kakeknya. Anak ini paling manja terhadap kakeknya, dan setiap kali ditegur, ia merasa kecewa dan marah.

   "Kong-kong, aku hendak mencari Koko justeru agar Ibu tidak selalu berduka. Hemmm, mentang-mentang aku ini anak perempuan, apa pun yang kulakukan serba tidak kebetulan saja. Huh!"

   Gadis itu membanting kakinya lalu meninggalkan ruangan itu. Dengan uring-uringan Pek Eng keluar dari rumahnya, lalu berjalan-jalan menuju ke pintu gerbang di depan perkampungan mereka. Hatinya masih terasa jengkel dan kesal. Diam-diam ia merasa tak suka kepada kakaknya, rasa tidak suka yang timbul pada saat itu karena ia merasa iri hati.

   Biasanya ia sendiri merasa rindu kepada kakak yang selama hidup belum pernah dilihatnya itu. Sudah seringkali ibu dan ayahnya bicara tentang kakak yang sejak bayi dibawa pergi kakek buyutnya. Ia ingin sekali melihat bagaimana wajah kakak kandungnya itu. Seperti ayahnyakah? Atau seperti ibunya? Orang bilang ia sendiri mirip ibunya dan ia merasa bangga karena ibunya amat cantik. Setelah tiba di pintu gerbang, ia hanya menjawab sambil lalu saja ketika para penjaga pintu gerbang menyapanya. Semua anggauta Pek-sim-pang yang sebetulnya masih terhitung saudara-saudara seperguruannya, karena mereka adalah murid-murid ayahnya atau kakeknya, menyebutnya Pek-siocia (Nona Pek), panggilan menghormat karena biarpun saudara seperguruan, gadis remaja ini adalah puteri ketua mereka.

   "Pek-siocia, senja telah mendatang, engkau hendak ke manakah? Sebentar lagi pintu gerbang akan ditutup."

   Kata seorang di antara mereka. Semua penjaga memandang gadis itu dengan sinar mata penuh kagum. karena siapakah yang tidak tertarik dan kagum kepada gadis yang amat manis itu? Biasanya Pek Eng bersikap manis kepada semua anggauta Pek-sim-pang. Ia memang seorang gadis yang lincah jenaka dan gembira. Akan tetapi saat itu hatinya sedang murung, maka pertanyaan orang itu diterimanya sebagai suatu gangguan.

   "Aku mau pergi jalan-jalan. Biar sudah kau tutup, apa disangka aku tidak dapat masuk?"

   Berkata demikian, ia lalu meloncat dan berlari cepat sekali sehingga sebentar saja bayangannya sudah menghilang. Para penjaga itu hanya menggeleng kepala, kagum akan kelihaian gadis itu. Tentu saja mereka akan selalu berjaga di situ, walaupun pintu gerbang sudah ditutup nanti, besiap-siap untuk cepat membuka pintu gerbang kalau gadis itu pulang. Tentu saja mereka maklum bahwa walaupun pintu gerbang ditutup, tanpa dibuka sekalipun, dengan ilmu kepandaiannya yang tinggi, gadis itu akan mampu meloncat dah masuk melalui atas pagar tembok.

   Dengan hati masih kesal Pek Eng lalu berlari menuju ke kaki bukit di mana ia tahu merupakan tempat tinggal sekelompok suku bangsa Yi yang menjadi sahabatnya. Dusun suku Yi itu sudah nampak dari situ dan ia mempunyai banyak kawan baik di sana. Senang mendengar cerita orang-orang tua suku bangsa Yi menceritakan pengalaman mereka yang menegangkan ketika terjadi perang, menceritakan kegagahan nenek moyang mereka. Akan tetapi ketika ia tiba di pintu gerbang dusun Yi, ia melihat belasan orang Yi mengepung seorang pemuda yang menggendong buntalan, dan seorang gadis Yi nampak duduk bersimpuh di atas tanah sambil menangis, seorang pemuda Yi marah-marah sedangkan orang-orang Yi lainnya mendengarkan, tangan memegang gagang senjata dan semua mata ditujukan kepada pemuda itu.

   Karena tidak ingin mengganggu dan ingin sekali tahu apa yang terjadi, Pek Eng lalu menyelinap dan mengintai sambil mendengarkan. Juga ia memperhatikan pemuda itu yang kelihatannya tenang-tenang saja dikepung oleh orang-orang Yi yang kelihatannya marah-marah. Seorang pemuda yang bertubuh sedang namun tegap, dengan dada bidang. Yang menarik adalah wajahnya yang berseri dan sikapnya yang tenang, matanya bersinar-sinar, mulutnya tersenyum-senyum, seolah-olah dia menghadapi sekumpulan sahabat baik yang menyambutnya, bukan sekumpulan orang Yi yang sedang marah kepadanya. Pemuda itu bukan lain adalah Hay Hay! Seperti kita ketahui, Hay Hay berguru kepada Pek Mau San-jin selama satu tahun dan setelah gurunya itu meninggal dunia dan dikuburnya sebagaimana mestinya,

   Hay Hay lalu melanjutkan perjalanannya, yaitu mencari keluarga Pek di Secuan. Sore hari itu, tibalah dia di sebuah hutan, tak jauh dari dusun Yi itu. Karena hari telah sore, dia bergegas hendak menuju ke dusun yang sudah dilihatnya dari jauh tadi, agar dia dapat melewatkan malam di dusun itu. Akan tetapi tiba-tiba dia mendengar suara wanita menjerit. Cepat dia lari ke arah datangnya suara dan betapa marahnya melihat seorang gadis suku Yi sedang dipeganggi dua orang laki-laki suku Miau yang agaknya hendak menyeretnya dan menculiknya. Dia mengenal mereka dari pakaian-pakaian mereka dan memang dia sudah mendengar dalam perjalanannya bahwa ada permusuhan antara kedua suku bangsa itu. Tidak salah lagi, dua orang suku Miau itu tentu hendak menculik gadis Yi yang cukup cantik itu.

   "Lepaskan gadis itu!"

   Hay Hay membentak dalam bahasa Han karena dia tidak dapat berbahasa Yi ataupun Miau. Dua orang laki-laki itu terkejut dan ketika mereka melihat bahwa yang membentak itu adalah seorang pemuda Han yang kelihatan biasa saja, keduanya menjadi marah. Seorang di antara mereka mencabut parang, sedangkan orang ke dua masih memegangi kedua lengan gadis yang meronta-ronta itu. Si pemegang Parang yang tinggi besar itu segera menerjang Hay Hay dengan parangnya, menyerang dengan dahsyat. Namun Hay Hay melihat bahwa orang ini hanya memiliki tenaga besar saja, maka dengan mudah dia mengelak dan sekali kakinya bergerak, lutut kanan orang itu telah tercium ujung sepatu Hay Hay dan dia pun terpelanting.

   Melihat ini, orang ke dua melepaskan gadis Yi dan ikut mengeroyok. Namun, dengan kedua kakinya saja, tanpa menggunakan tangan, Hay Hay menghajar mereka, menendangi mereka sampai akhirnya mereka lari tunggang-langgang meninggalkan gadis yang masih menangis terisak-isak. Hay Hay tidak mengejar, hanya tersenyum dan dia menghampiri gadis itu. Gadis itu mengangkat muka memandang, kemudian sambil menangis menubruk dan merangkul Hay Hay, menangis di dada pemuda itu. Tentu saja Hay Hay merasa senang sekali karena gadis itu memang manis. Otomatis tangannya mengusap-usap rambut itu, dibelainya rambut itu dan dia pun balas merangkul. Sampai beberapa lamanya gadis itu berada dalam pelukannya.

   "Nona manis, di manakah rumahmu? Hari sudah hampir malam, sebaiknya kalau engkau pulang saja."

   Akhirnya Hay Hay berkata setelah bajunya menjadi basah di bagian dada oleh air mata gadis Yi itu. Gadis itu melepaskan diri dan bicara dalam bahasa Yi, akan tetapi karena Hay Hay tidak mengerti gadis itu lalu menuding-nuding ke arah letak dusunnya. Hay Hay mengangguk, lalu menggandeng tangan gadis itu, diajaknya pulang ke dusunnya. Mereka berjalan sambil bergandeng tangan dan biarpun mereka tak dapat saling bicara,

   Namun setiap kali gadis itu menoleh dan memandang wajahnya, Hay Hay dapat menangkap sinar mata penuh rasa syukur dan terima kasih terpancar dari sinar mata yang bening itu. Seorang gadis yang manis, pikirnya senang bahwa dia sudah secara kebetulan dapat menyelamatkan gadis ini dari tangan dua orang penculiknya. Dia membayangkan betapa malam ini dia akan diterima sebagai tamu agung oleh keluarga gadis itu, dijamu dan memperoleh kamar yang enak di mana dia dapat membiar kan tubuhnya yarig penat itu beristirahat! Karena berpikir demikian, wajah Hay Hay cerah, berseri dan mulutnya tersenyum ketika dia dan gadis itu tiba di luar pintu gerbang dusun tempat tinggal suku bangsa Yi itu dan melihat beberapa orang keluar dari pintu gerbang dan bicara dengan hiruk-pikuk sambil menuding-nuding ke arah dia dan gadis itu.

   Gadis itu melepaskan tangannya yang digandeng Hay Hay, lalu berlari menghampiri kelompok orang itu, bicara kepada mereka sambil tangannya menuding ke arah Hay Hay, agaknya menceritakan apa yang telah terjadi. Akan tetapi seorang di antara mereka, seorang pemuda yang bertubuh jangkung mengeluarkan suara keras dan menampar gadis itu. Gadis itu menjerit, lalu menjatuhkan diri bersimpuh dan menangis. Melihat ini, Hay Hay terkejut sekali dan cepat dia berlari menghampiri mereka. Orang-orang itu mengurungnya dengan sikap mengancam. Demikianlah keadaan di situ ketika Pek Eng tiba dan gadis ini mengintai untuk melihat dan mendengar apa yang telah terjadi. Ia melihat sikap pemuda Han itu yang tenang dan tersenyum-senyum. Seorang di antara para pengepung itu yang agaknya merupakan satu-satunya di antara mereka yang pandai berbahasa Han, melangkah maju dan menudingkan telunjuknya dengan marah kepada Hay Hay.

   "Engkau telah menodai nama baik keluarga Hamani!"

   Hay Hay mengerutkan alisnya.

   "Aku? Menodai nama baik keluarga orang? Hemm, apa kesalahanku? Dan siapa itu Hamani?"

   Tiba-tiba gadis itu bangkit berdiri, menghampiri Hay Hay dan dengan muka ketakutan ia bicara dalam bahasa Yi dan menepuk dada sendiri sambil berkata.

   "Hamani."

   Mengertilah Hay Hay bahwa gadis yang ditolongnya itu berkata Hamani dan agaknya dimarahi orang banyak dan agaknya membutuhkan perlindungannya pula. Maka dengan sikap melindungi, dia merangkul pinggang gadis itu.

   "Jangan takut, Hamani, aku akan melindungimu."

   Bisiknya. Melihat ini, orang-orang itu makin ribut dan menuding-nuding.

   "Orang asing, engkau telah menggandeng dan merangkul Hamani. Tidak seorang pun laki-laki boleh memeluk seorang gadis kecuali dia menjadi tunangannya atau suaminya."

   Hay Hay terkejut dan otomatis rangkulannya pada plnggang ramping itu pun dilepaskan.

   "Akan tetapi aku... aku hanya menolongnya dari ancaman orang-orang jahat, dan aku hanya ingin melindungi...!"

   Dia memprotes keras.

   "Apalagi engkau seorang asing, telah berani menghina seorang gadis kami. Oleh karena itu, engkau harus ikut bersama kami untuk melangsungkan pernikahan!"

   Kalau pada saat itu ada kilat menyambarnya, belum tentu Hay Hay akan sekaget seperti ketika mendengar ucapan orang itu. Sepasang matanya terbelalak dan dia undur dua langkah, menjauhi Hamani. Menikah? Apaapaan ini? Dia menggelengkan kepalanya.

   "Tidak, aku tidak mau menikah"

   Katanya. Pek Eng mendengarkan semua itu dan merasa geli hatinya. Ia tahu akan peraturan dan kebiasaan suku bangsa Yi. Kalau seorang gadis sudah mau digandeng, apalagi dipeluk oleh seorang pemuda, maka berarti bahwa gadis dan pemuda itu saling mencinta. Dan bagi keluarga gadis itu, tentu akan merasa ternoda dan terhina kalau si pemuda tidak mau kawin dengan gadis yang telah "dinodainya"

   Itu, dalam arti kata, diperlakukan dengan mesra di depan umum. Mendengar penolakan Hay Hay, orang itu menterjemahkannya dalam bahasa Yi dan marahlah orang-orang itu.

   "Dia menghina kita!"

   "Dia hendak mempermainkan gadis kita!"

   "Orang asing. ini harus dibunuh sebagai musuh kalau tidak mau mengawini Hamani!"

   Ucapan terakhir ini dikeluarkan oleh pemuda yang tadi menampar Hamani karena dia adalah kakak kandung gadis itu. Mendengar betapa pemuda yang menolongnya itu menolak untuk menjadi suaminya, Hamani sendiri terkejut dan ia pun lari menghampiri Hay Hay dengan muka pucat dan mata terbelalak. Dalam bahasa Yi ia berteriak-teriak.

   "Engkau telah menyelamatkan aku, dan aku telah menyerahkan diri, dan engkau menerimaku, memelukku, menggandengku, memandang dengan mesra, kita telah sama-sama tersenyum dan sepakat dalam pandang mata kita, dan kau... kau sekarang menolak untuk menikah dengan aku? Aihhh, engkau merayuku dan hendak meninggalkan? Engkau jahat... jahat sekali.!"

   Dan kini Hamani menggunakan kedua tangannya untuk memukul dan mencakar muka Hay Hay. Hay Hay tidak mengerti akan semua itu, akan tetapi melihat sikap Hamani, dia terkejut dan cepat dia mengelak ke belakang. Akan tetapi pada saat itu, semua orang telah maju dengan sikap mengancam untuk menyerangnya. Hay Hay merasa bingung sekali. Tak disangkanya sama sekali bahwa dia akan menerima penyambutan seperti ini! Tidak ada gunanya untuk membela diri dengan kata-kata karena agaknya di antara mereka hanya seorang saja yang dapat mengerti bahasanya. Dan tidak ada gunanya melayani mereka yang marah-marah itu, maka dia pun cepat membalikkan tubuhnya dan melarikan diri dari tempat itu!

   "Kejar...!"

   "Tangkap..!"

   "Hajar dia...!"

   Orang-orang itu mengejarnya, akan tetapi Hay Hay telah berlari cepat memasuki hutan yang mulai gelap. Pek Eng yang melihat semua ini, diam-diam merasa geli hatinya. Biarlah, pemuda itu memang perlu dihajar, pikirnya.

   Tentu pemuda itu telah mempergunakan ketampanan wajahnya yang selalu cerah tersenyum-senyum itu untuk memikat hati Hamani, akan tetapi dia tidak berani bertanggung jawab dan menolak ketika disuruh mengawini gadis itu. Bukan urusannya. Ia pun lalu meninggalkan tempat itu untuk kembali ke perkampungannya sendiri. Dibatalkan niatnya untuk berkunjung ke dusun orang-orang Yi itu. Ia merasa tidak enak karena pemuda itu adalah bangsa Han, bangsanya. Tentu kalau ia berkunjung, percakapan akan mengenai pemuda Han itu dan bagaimanapun juga, ia akan merasa tersinggung. Hemm, pemuda mata keranjang tukang perayu, rasakan kau sekarang, pikirnya sambil tersenyum geli, akan tetapi juga jengkel terhadap pemuda itu. Hamani adalah kembang dusun itu dan ia mengenalnya sebagai seorang gadis yang baik.

   Bagaimanapun juga, sedikit ketegangan karena persitiwa di dusun suku Yi tadi telah banyak mengurangi perasaan kesal dan dongkolnya yang dibawa dari rumah tadi, dan begitu tiba di pintu gerbang, ternyata para penjaga masih berada di situ menunggunya dan membukakan pintu. Hal ini membuat ia semakin tenang dan ia pun kembali ke rumah keluarganya, langsung masuk ke kamar dan tidur. Dengan sikap uring-uringan Hay Hay merebahkan diri di antara cabang-cabang pohon yang tinggi itu. Sialan, dia mengomel. Membayangkan sambutan yang meriah dan ramah ternyata yang diterima adalah caci maki bahkan serangan dan ancaman! Membayangkan tidur nyenyak dengan perut kenyang di dalam kamar yang bersih di atas tempat tidur beralaskan kasur dqn bantal, ternyata kini dia rebah tak enak sekali di atas cabang pohon, di antara ranting dan daun, kotor dan basah, dengan perut lapar pula! Sialan! Sialan gadis itu, pikirnya penasaran.

   Ditolong malah mencelakakan! Itu namanya dia memberi air susu dibalas air tuba! Tapi gadis itu manis, dan pinggangnya ramping sekali, dia membayangkan dan senyumnya muncul kembali. Bagaimanapun juga, dia sudah merangkulnya, merasakan kehangatan tubuhnya, kelembutan kulitnya, dan jalan bersama sambil bergandeng tangan! Kawin? Sialan! Siapa yang ingin kawin? Dengan keadaan gelisah akhirnya Hay Hay dapat tidur nyenyak di antara ranting dan daun pohon, jauh tinggi di atas, aman dari pengejaran orang-orang Yi yang sama sekali tidak menyangka bahwa orang buruan mereka itu berada di atas pohon yang tinggi, yang beberapa kali mereka lewati. Baru setelah matahari menembuskan sinarnya di antara celah-celah daun dan menimpa mukanya, Hay Hay terbangun pada keesokan harinya.

   Sinar keemasan matahari pagi nampak indah, seperti jalur-jalur benang emas di antara daun-daun. Hay Hay bangkit duduk, lalu berdiri di atas cabang yang paling tinggi, memandang ke kanan kiri untuk melihat apakah masih ada orang-orang Yi yang mencarinya di tempat itu. Sunyi saja di sekeliling pohon itu, akan tetapi dia melihat sesuatu yang menarik. Tidak jauh dari situ, di lereng bukit, dia melihat tembok perkampungan dan jantungnya berdebar tegang. Dia mengenal bentuk pagar tembok orang-orang Han. Perkampungan itu tentulah perkampungan orang Han dan agaknya dia akan dapat mencari keterangan tentang keluarga Pek yang kabarnya tinggal di sekitar pegunungan ini. Dia lalu meloncat turun setelah mengikatkan buntalan pakaian yang tadi dipakai sebagai bantal itu di punggungnya.

   Hay Hay segera keluar dari hutan itu dan menuju ke arah bukit di mana dia tadi melihat ada pagar tembok sebuah perkampungan. Tak lama kemudian dia sudah berdiri di depan pintu gerbang perkampungan Pek-sim-pang! Hatinya girang bukan main ketika dia melihat papan dengan huruf-huruf besar PEK SIM PANG terpasang di depan pintu gerbang itu. Tidak salah, inilah perkampungan Pek-sim-pang, tempat tinggal keluarga Pek yang merupakan satu-satunya keluarga di dunia ini yang dapat menceritakan siapa dirinya yang sesungguhnya, siapa pula orang tuanya! Jantungnya berdebar penuh ketegangan, juga keharuan. Pagi itu suasana di situ masih sunyi, pintu gerbang agaknya baru saja dibuka dan masih nampak kesibukan di sebelah dalam perkampungan itu, akan tetapi tidak nampak orang keluar masuk

   Tiba-tiba saja, muncul seorang gadis yang membuat Hay Hay membelalakkan matanya. Seorang gadis yang baru saja berangkat dewasa berusia antara enam belas atau tujuh belas tahun. Mata itu, bibir itu! Mempesonakan! Dengan wajah penuh senyum cerah Hay Hay melangkah maju menghampiri gadis yang baru keluar dari pintu gerbang itu. Gadis itu adalah Pek Eng. Begitu ia melihat Hay Hay, alisnya berkerut. Tentu saja ia segera mengenal pemuda yang menjadi orang buruan suku Yi semalam. Kiranya dia dapat melarikan diri, pikirnya. Melihat pemuda itu menghampirinya dengan wajah berseri, pandang mata bersinar dan mulut tersenyum-senyurn, Pek Eng menghardiknya.

   "Mau apa kau cengar-cengir di sini? Hayo pergi atau aku akan menyeretmu ke dusun orang-orang Yi agar engkau dihukum!"

   Hay Hay membelalakkan matanya.

   "Ehh? Bagaimana Nona tahu? Pernahkah kita saling bertemu? Rasanya belum pernah walaupun aku akan merasa berbahagia sekali dapat bertemu dengan Nona, biarpun hanya dalam mimpi."

   Selama hidupnya belum pernah Pek Eng menghadapi seorang laki-laki yang bicara seperti ini, maka ia tertegun, hatinya tertarik untuk mengetahui dan bertanya,

   "Kenapa merasa berbahagia kalau dapat bertemu denganku?"

   Pemuda ini memang tampan dan memiliki wajah yang ramah menyenangkan dan menarik hati, pikirnya sambil menatap wajah Hay Hay. Kini Hay Hay juga memandang dengan penuh kagum. Setelah tadi membuka mulut dan bicara, nampak jelas bahwa gadis ia memang manis bukan main, ketika menggerakkan mulutnya, muncullah lesung pipit di pipi sebelah kiri. Dan sinar mata gadis itu pun demikian penuh gairah hidup, wajahnya membayangkan kelincahan dan kejenakaan. Seorang gadis pilihan di antara seribu!

   "Kenapa, Nona? Siapa yang takkan berbahagia bertemu dengan seorang gadis yang cantik jelita dan manis sepertimu ini?"

   Pek Eng adalah seorang gadis yang lincah jenaka, pandai berdebat. Akan tetapi dia sudah melihat pemuda ini hampir dikeroyok orang kemarin sore, karena berani bermain-main dengan seorang gadis Yi. Kiranya seorang pemuda yang pandai merayu wanita, dengan kata-kata manis.

   "Hemm, engkau memang mata keranjang dan perayu. Akan tetapi jangan harap akan dapat memikat aku dengan rayuan gombalmu itu, ya? Hayo lekas pergi dari sini, kalau tidak, terpaksa aku akan menghajarmu!"

   Hay Hay membuka mata lebar-lebar dan mulutnya mengomel.

   "Hayaaa... agaknya daerah ini ditinggali oleh orang-orang yang ringan mulut ringan tangan, mudah menghajar orang yang tidak bersalah. Nona yang baik, aku jauh-jauh datang untuk bertemu dengan Ketua Pek-sim-pang, maka ijinkanlah aku masuk dan menghadap Pek-sim Pangcu (Ketua)."

   Pek Eng mengerutkan alisnya. Orang ini benar tidak tahu diri. Mau apa minta bertemu dengan Ketua Pek-sim-pang? Ia tidak percaya bahwa ayahnya mengenal seorang pemuda seperti ini... tiba-tiba wajahnya berubah pucat dan ia bertanya dengan suara agak gemetar.

   "Kau... kau... siapakah namamu...?"

   Hay Hay merasa terkejut juga melihat perubahan pada wajah dara cantik ini. Kalau tadi nampak galak dan lincah, kini nampaknya pucat dan suaranya gemetar. Dia merasa tidak tega untuk bermain-main, maka dengan suara sungguh-sungguh dia pun menjawab.

   "Namaku Hay, biasa dipanggil Hay Hay.."

   Wajah itu nampak lega akan tetapi masih ragu-ragu.

   "Benarkah? Namamu bukan... Han Siong...?"

   Hay Hay tersenyum lebar.

   "Aih, kalau namaku Han Siong, kenapa aku mengaku Hay Hay? Aku tidak mempermainkanmu, Nona, aku tidak berani. Namaku Hay Hay, dan aku ingin sekali bertemu dengan Ketua Pek-sim-pang.."

   "Apakah engkau mengenal Ayahku?"

   Kini Hay Hay terkejut bukan main.

   "Eh, jadi Nona... engkau adalah puteri Pek-sim-pang?"

   "Benar, sekarang jawab, apakah engkau mengenal Ayahku?"

   Hay Hay menggeleng kepala.

   "Kalau begitu pergilah dan jangan ganggu kami lagi. Pergilah sebelum ada orang Yi datang ke sini dan mengenalmu. Engkau tentu akan diseret!"

   "Tidak, Nona, aku harus menghadap Pangcu lebih dulu. Aku mempunyai keperluan yang teramat penting..."

   Hay Hay mendesak. Pada saat itu, tujuh orang penjaga pintu gerbang murid-murid Pek-sim-pang, sudah keluar karena mereka tertarik oleh keributan antara nona mereka dengan seorang pemuda asing.

   "Pek-siocia, apakah yang terjadi?"

   "Siapakah dia ini?"

   Pek Eng menoleh kepada para penjaga itu.

   "Dia seorang pendatang yang kemarin telah membuat keributan di perkampungan orang Yi, dan sekarang minta bertemu dengan Ayah. Suruh dia pergi dan jangan mengganggu lebih lanjut."

   Kata Pek Eng dan ia pun masuk ke dalam gardu penjagaan di pintu gerbang dengan sikap tidak peduli lagi.

   "Eh, sobat. Kalau engkau datang untuk minta pekerjaan, di sini tidak ada pekerjaan."

   Kata komandan jaga kepada Hay Hay.

   "Aku datang bukan ingin minta pekerjaan atau minta apa pun, aku datang untuk bertemu dengan Pek-sim Pangcu karena ada suatu hal yang amat penting bagiku untuk kutanyakan kepada Pangcu. Harap kalian suka menyampajkan hal ini kepada Pangcu agar aku dapat diterima menghadap."

   Karena tadi Pek Eng sudah memberi perintah agar pemuda ini diusir, maka para anggauta Pek-sim-pang itu bersikap keras.

   "Tidak bisa, Pangcu tidak boleh diganggu dan Siocia tadi sudah minta agar engkau pergi. Pergilah dan jangan ganggu kami."

   Kata komandan jaga. Hay Hay mengerutkan alisnya dan melirik ke arah Pek Eng yang sudah duduk di bangku tempat jaga dengan sikap acuh. Dia menarik napas panjang lalu berkata seperti kepada diri sendlri.

   "Ribuan li jauhnya aku melakukan perjalanan dan mendengar bahwa Pek-sim-pang adalah perkumpulan orang-orang gagah. Akan tetapi melihat kenyataannya, lebih tepat kalau huruf Pek (Putih) di diganti dengan Hek (Hitam) saja!"

   "Ee-eeeh-eeehhh!"

   Tiba-tiba saja tubuh Pek Eng meluncur dari dalam gardu itu, bagaikan seekor burung terbang saja kini melayang dan tiba di depan Hay Hay, bertolak pinggang dan matanya terbelalak walaupun masih agak sipit mencorong penuh kemarahan, dan ia berdiri tegak, dada dibusungkan, kepala ditegakkan dan kedua tangannya bertolak pinggang, lalu tangan kirinya bergerak, telunjuknya yang agak melengkung bentuknya itu, kecil mungil, menunjuk ke arah hidung Hay Hay.

   "Apa kamu bilang tadi? Menghina kami, ya? Apa maksudmu mengatakan bahwa Pek-sim-pang harus diganti menjadi Hek-sim-pang (Perkumpulan Hati Hitam)?"

   Hay Hay juga sudah marah karena dia ditolak menghadap Ketua Pek-sim-pang.

   "Sikap kalian yang menyebabkan aku bermulut lancang, Nona. Nama perkumpulannya Pek-sim-pang, sepatutnya para anggautanya juga berhati putih. Hati putih berarti hatinya baik, akan tetapi melihat sikap kalian menerima kunjunganku sungguh jauh daripada baik dan lebih pantas kalau kalian menjadi anggauta Perkumpulan Hati Hitam saja."

   "Keparat bermulut kotor! Kau muncul dan merayu gadis orang, kemudian melarikan diri ketika akan dikawinkan, sudah terlalu bagus perbuatanmu itu, ya? Kamu sendiri jahat, hatimu lebih hitam daripada arang, masih berani memaki kami?"

   "Pukul saja mulut lancang itu, Pek-siocia!"

   Kata komandan jaga yang marah sekali mendengar perkumpulannya dihina orang. Para murid Pek-sim-pang sudah menghampiri Hay Hay dengan sikap mengancam. Pada saat ini terdengar suara yang berat,

   "Omitohud... orang-orang Pek-sim-pang sekarang hanya menjadi tukang-tukang pukul yang suka mengeroyok orang!"

   Pek Eng dan para murid Pek-sim-pang terkejut dan cepat menengok. Kiranya di situ telah berdiri tiga orang pendeta Lama. Usia mereka antara enam puluh sampai enam puluh lima tahun, memakai jubah panjang berwarna kuning dengan garis-garis merah. Pek Eng dan para murid Pek-sim-pang sudah mendengar belaka akan riwayat perkumpulan mereka yang terpaksa lari mengungsi dari Tibet karena ulah para pendeta Lama ini. Apalagi Pek Eng. Sejak kecil ia mendengar tentang peristiwa yang menimpa keluarganya, gara-gara para pendeta Lama ingin merampas kakaknya yang mereka namakan Sin-tong. Maka, sejak kecil sudah tertanam perasaan tidak suka kepada para pendeta Lama. Kini di situ muncul tiga orang pendeta Lama, maka seketika ia dan para murid Pek-sim-pang tidak lagi memperhatikan Hay Hay yang dianggap tidak penting.

   "Apakah kalian bertiga ini pendeta-pendeta Lama dari Tibet?"

   Tanya Pek Eng dengan sikap yang sama sekali tidak menghormat. Bukan wataknya demikian. Ia cukup terdidik baik dan biasanya ia bersikap sopan dan halus terhadap orang-orang tua, apalagi terhadap pendeta. Akan tetapi, karena memang ia sudah merasa sakit hati kepada pendeta-pendeta Lama, maka kini ia bersikap kasar ketika menduga bahwa tiga orang ini tentulah pendeta-pendeta Lama dari Tibet.

   "Omitohud, tidak keliru dugaanmu, Nona. Kami adalah tiga orang pendeta Lama dari Tibet. Kami ingin bertemu dengan Pek Kong atau ayahnya, Pek Ki Bu."

   Kata seorang di antara mereka yang mukanya penuh bopeng dan matanya melotot lebar.

   "Aku adalah Pek Eng, puteri Ketua Pek-sim-pang. Tidak perlu bicara dengan Ayahku, kalau ada keperluan, cukup kalian bicara saja dengan aku. Mau apakah kalian datang ke tempat kami ini?"

   Hatinya makin kesal membayangkan betapa keluarganya bersama para anggauta Pek-sim-pang terpaksa melarikan diri karena ulah orang-orang ini. Tiga orang pendeta itu saling pandang, kemudian Si Muka Bopeng yang agaknya menjadi wakil pembicara mereka, berseru.

   "Omitohud... Kiranya Nona adalah puteri Pek Kong? Jadi Nona adalah Adik Sin-tong... hemmm, baiklah, kami akan bicara denganmu, Nona. Sampaikan kepada Ayahmu bahwa kami datang untuk menagih hutang. Sudah dua puluh tahun kami menanti dengan sabar, kini Sin-tong telah menjadi dewasa, maka keluarga Pek harus menyerahkan Sin-tong kepada kami!"

   
Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tentu saja hati Pek Eng yang sudah sakit dan marah terhadap para pendeta Lama, kini menjadi semakin panas mendengar ucapan pendeta muka bopeng itu. Ia pun melangkah maju, membusungkan dadanya dan suaranya nyaring dan keras penuh kemarahan ketika ia membentak.

   "Kalian iblis-iblis neraka yang menyamar menjadi pendeta-pendeta, seperti harimau-harimau berkerudung bulu domba! Kalian inilah manusia-manusia terkutuk yang telah membuat kakak kandungku semenjak lahir berpisah dengan keluarga kami. Masih belum puas kalian yang jahat ini mengacau keluarga kami sampai dua puluh tahun, kini datang lagi. Sungguh, manusia-manusia terkutuk macam kalian ini harus dibasmi!"

   Kini ada dua belas orang anak murid Pek-sim-pang yang berkumpul di situ dan mendengar kata-kata keras nona mereka, empat orang yang berada paling depan sudah menerjang pendeta Lama muka bopeng itu.

   "Pergilah!"

   Pendeta Lama itu membentak sambil mengebutkan lengan bajunya ke depan, menyambut serangan empat orang itu. Empat orang itu seperti daun-daun kering dilanda angin keras, tubuh mereka terpelanting dan terbanting keras sampai bergulingan di atas tanah. Melihat ini, delapan orang murid Pek-sim-pang lainnya cepat mengikuti gerakan Pek Eng yang mengepung tiga orang pendeta Lama itu. Pek Eng sudah mencabut sebatang pedang, juga delapan orang itu mengambil senjata masing-masing. Empat orang murid yang tadi roboh ternyata tidak terluka berat dan mereka pun kini ikut mengepung.

   "Omitohud, kiranya Pek-sim-pang kini hanya menjadi Perkumpulan tukang pukul yang beraninya hanya main keroyokan saja!"

   Kembali kakek pendeta bermuka bopeng itu berseru mengejek. Mendengar ini, Pek Eng lalu membentak para murid itu.

   "Kalian mundurlah dan jangan mengeroyok! Biarkan aku menghadapi anjing gundul muka bopeng ini!"

   Kemarahan Pek Eng sudah memuncak sehingga ia tidak ingat akan sopan santun lagi, kini terang-terangan ia memaki pendeta Lama itu sebagai anjing! Pendeta Lama termuda di antara mereka lalu maju, dan dengan bahasa Han yang lucu dan patah-patah dia berkata,

   "Omitohud, biarlah pinceng yang melayani Nona ini, Suheng."

   Kiranya pendeta ini sute dari Si Muka Bopeng. Dia seorang pendeta yang tubuhnya kurus sekali, seperti tulang-tulang dibungkus kulit saja, mukanya seperti tengkorak hidup, sepasang mata yang cekung itu nampak kehitaman, mengerikan sekali wajah pendeta Lama ini. Dia melangkah maju sambil mengebutkan jubah kuningnya. Si Muka Bopeng mengangguk dan mundur, berdiri di samping pendeta lainnya yang sejak tadi diam saja.

   "Huh, engkau ini anjing kurus kurang makan mau banyak menjual lagak? Menggelindinglah dari sini!"

   Bentak Pek Eng yang marah dan gadis ini sudah melangkah maju dan mengirim tendangan yang cepat dan kuat dengan kaki kanannya. Tendangan itu cepat datangnya, mengarah pusar lawan, gerakannya seperti terputar dan ini merupakan tendangan khas dari ilmu silat keluarga Pek, yaitu ilmu silat yang mereka namakan Pek-sim-kun.

   "Hemm, gadis manis yang ganas!"

   Terdengar pendeta kurus kering itu berseru perlahan, namun dengan miringkan tubuhnya, dia dapat mengelak dari sambaran kaki Pek Eng; tangannya menyambar untuk menangkap kaki yang menendang itu. Melihat ini, Hay Hay mengerutkan alisnya. Orang ini, biarpun memakai pakaian jubah pendeta, akan tetapi, mempunyai hati yang condong ke arah kecabulan dan kekurangajaran, pikirnya.

   Dia sendiri tidak akan tega, bahkan malu sendiri kalau menyerang dengan cara menangkap kaki lawan yang merupakan seorang gadis remaja! Akan tetapi, pedang di tangan Pek Eng berkelebat menyambut tangan pendeta Lama itu! Sang Pendeta menarik kembali tangannya, membuat langkah memutar sehingga tubuhnya berputar dan keetika membalik, dia sudah membalas dengan cengkeraman tangannya ke arah kepala Pek Eng. Sungguh merupakan serangan yang amat ganas dan juga berbahaya sekali! Begitu melihat gerakan-gerakan mereka, Hay Hay sudah maklum bahwa agaknya lawan gadis itu lebih unggul dan lebih berbahaya, maka diam-diam dia sudah siap siaga untuk membantu dan menyelamatkan kalau sampai gadis itu terancam bahaya.

   Tentu saja dia menaruh perhatian besar atas peristiwa ini, peristiwa yang dekat sekali hubungannya dengan dirinya. Masih teringat dia betapa ketika masih kecil dia menjadi rebutan orang-orang sakti, karena dia disangka Sin-tong. Kiranya sampai sekarang, para pendeta Lama di Tibet itu masih saja meributkan urusan Sin-tong dan masih merasa penasaran, berani datang menyerbu Pek-sim-pang untuk menuntut agar Sin-tong yang kini lelah dewasa itu diserahkan kepada mereka! Pek Eng dapat bergerak lincah. Ketika rnetihat sambaran tangan dengan lengan baju lebar itu ke arah kepalanya, ia cepat melempar tubuh ke belakang, berjungkir balik, lalu memutar pedangnya dan membuat serangan lagi. Pedangnya yang diputaar-putar itu mendahului gerakan kakinya ke depan dan tiba-tiba pedang meluncur menjadi serangan tusukan ke arah dada pendeta Lama yang kurus kering.

   "Trakkk...!"

   Pedang di tangan Pek Eng terpukul miring dan gadis itu harus mempertahankan pedangnya yang hampir saja terlepas dari tangannya saking keras dan kuat tangkisan pendeta itu.

   Dan kesempatan ini dipergunakan oleh Sang Pendeta untuk mencengkeram pundak Pek Eng dari samping. Namun, gadis itu memiliki gerakan lincah dan gesit sekali. Dalam keadaan berbahaya itu ia masih sempat melempar tubuh ke atas tanah, bergutingan menjauh dan melompat bangun lagi setelah terbebas dari ancaman lawan. Bukan main marahnya hati Pek Eng. Ia mengeluarkan suara melengking nyaring dan menyerang lagi. Hay Hay kini siap siaga. Gadis itu sudah nekat dan ini tandanya ia terancam bahaya. Ilmu silat gadis itu memang cukup baik, apalagi ia memiliki ginkang yang lumayan, yang membuat tubuhnya dapat bergerak dengan gesit sekali, akan tetapi dalam hal ilmu kepandaian silat, jelas ia masih kalah jauh dibandingkan pendeta kurus kering itu. Kalau ia nekat menyerang, ia dapat celaka.

   Terjangan Pek Eng disambut dengan senyum dingin oleh pendeta kurus kering. Beberapa kali ia mengelak dan mengebutkan lengan baju, melindungi diri sambil mencari kesempatan. Ketika tangkisan kebutan lengan bajunya kembali membuat tubuh gadis itu miring, kakinya menendang cepat. Pek Eng berusaha menarik kakinya dan miringkan tubuh namun tetap saja pahanya tersentuh ujung sepatu lawan dan ia pun terpelanting, lalu cepat bergulingan menjauhi. Ketika ia meloncat bangun, mukanya agak pucat, pakaiannya kotor dan kakinya agak terpincang. Akan tetapi agaknya ia tidak menjadi kapok bahkan kini ia memutar pedang di atas kepala untuk melakukan serangan lebih nekat lagi. Pada saat itu muncullah beberapa orang keluar dari pintu gerbang.

   "Eng-ji, tahan senjata!"

   Terdengar bentakan orang dan Pek Eng terpaksa menghentikan gerakan pedangnya ketika mendengar suara ayahnya. Dengan muka merah saking marah dan penasaran, ia lalu berdiri dengan pedang masih di tangan. Pek Kong dan Pek Ki Bu telah berdiri di situ bersama Souw Bwee dan beberapa murid Pek-sim-pang yang lebih tua. Melihat betapa Pek Eng berkelahi melawan seorang pendeta Lama, Ketua Pek-sim-pang dan ayahnya memandang kepada tiga orang pendeta Lama itu dengan alis berkerut. Mereka berdua mengenal tiga orang pendeta Lama itu sebagai tokoh-tokoh para Lama di Tibet, tokoh tingkat tiga yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Jangankan Pek Eng, walaupun Pek Kong sendiri bukan lawan mereka, dan Pek Ki Bu sendiri pun meragukan apakah dia akan mampu melawan seorang di antara mereka.

   "Omitohud... selamat bertemu, Pek-sim-pangcu!"

   Kata pendeta Lama muka bopeng sambil menjura kepada Pek Ki Bu diturut oleh dua orang temannya. Pek Ki Bu balas menjura dan berkata,

   "Sam-wi keliru, bukan saya yang menjadi ketua sekarang, melainkan anak saya Pek Kong."

   "Aih, maaf... maaf... kiranya Pek-taihiap telah memperoleh banyak kemajuan dan menjadi Ketua Pek-sim-pang."

   Kata pula pendeta muka bopeng. Pek Kong mengerutkan alisnya dan menjura ke arah tiga orang pendeta itu.

   "Harap maafkan kalau puteri kami yang masih terlalu muda itu berlancang tangan dan mulut terhadap Sam-wi Losuhu. Akan tetapi, kami Pek-sim-pang agaknya sudah tidak mempunyai urusan lagi dengan Cu-wi di Tibet, maka, apa maksud Sam-wi datang berkunjung ke tempat kami?"

   Kata-kata itu sopan dan merendah, namun mengandung teguran. Sejak tadi Hay Hay memandang penuh perhatian dan dia merasa kagum kepada keluarga Pek itu. Mereka adalah orang-orang gagah, pikirnya.

   "Perlukah Pangcu bertanya lagi? Sudah dua puluh tahun lebih kami bersabar dan kini terpaksa kami harus datang untuk menjemput Sin-tong yang kini tentu telah menjadi dewasa, untuk mengangkatnya dengan upacara kebesaran menjadi seorang pendeta Lama, calon Dalai Lama."

   Pek Kong mengerutkan alisnya dan dia mendongkol bukan main.

   "Pihak para Lama di Tibet sungguh terlalu mendesak orang!"

   Dia berkata, nada suaranya jelas menunjukkan kemarahannya.

   "Sejak kecil putera kami itu hilang entah ke mana, hal ini semua orang juga mengetahui. Bahkan kami sebagai orang tuanya, merasa prihatin dan berduka karena kami tidak tahu dia berada di mana. Bagaimana sekarang Sam-wi datang-datang menuntut kami menyerahkan putera kami? Kami sedang berduka akan tetapi Sam-wi bahkan hendak menekan, sungguh suatu perbuatan yang tidak layak dan tidak mulia sama sekali."

   "Omitohud, semoga Sang Buddha mengampuni kita sekalian!"

   Pendeta muka bopeng berseru, lalu dia tersenyum menyeringai.

   "Pangcu dapat saja membohongi orang lain, akan tetapi tidak mungkin membohongi para Dalai Lama yang arif bijaksana dan mengetahui segala sesuatu yang terjadi di permukaan bumi ini. Menurut ramalan dan penglihatan tajam beliau, kini Sin-tong telah menjadi dewasa. Selama ini, anak itu diberi nama Pek Han Siong, bukan? Dan dia mempelajari ilmu-ilmu dan kini telah menjadi seorang pemuda dewasa yang perkasa. Nah, kalau dia belum pulang ke sini, katakan saja dimana dia dan kami akan segera menjemputnya, Pangcu." .

   "Kami tidak tahu!"

   Tiba-tiba Souw Bwee, isteri Pek Kong menjawab dengan suara mengandung isak.

   "Andaikata kami tahu sekalipun, tidak akan kami beritabukan kepada kalian, pendeta-pendeta keparat!"

   Sakit sekali rasa hati ibu yang dipisahkan dari puteranya ini, merasa sakit hati yang dipendam selama ini sekarang meledak setelah melihat betapa tiga orang pendeta Lama itu mendesak.

   "Omitohud..., Toanio, tidak baik memaki kami para pendeta. Toanio akan dikutuk dan akan hidup dalam kesengsaraan.."

   Pendeta muka bopeng menegur.

   "Tidak peduli!"

   Wanita yang sudah marah itu membentak.

   "Selama ini aku sudah hidup sengsara dlpisahkan dari puteraku oleh kalian pendeta-pendeta busuk. Sekarang aku malah ingin membunuh kalian!"

   Berkata demikian, nyonya itu sudah bergerak maju menyerang Si Muka Bopeng. Suaminya terkejut sekali, akan tetapi tidak keburu mencegah.

   "Plakk!"

   Si Muka Bopeng menggerakkan tangan dan lengan bajunya yang panjang lebar itu menyambar. Tubuh nyonya itu terhuyung ke belakang.

   "Ibu...!"

   Pek Eng menubruk dan merangkul ibunya yang mukanya menjadi pucat. Pipi kanan ibunya membiru dan darah mengalir dari mulutnya. Ternyata ujung lengan baju itu menampar muka dan biarpun tidak mengakibatkan luka berbahaya, namun pipi wanita itu bengkak dan membiru. Melihat ini, Pek Kong tak dapat menahan kesabarannya lagi, demikian pula Pek Ki Bu.

   "Kalian sungguh tak tahu diri!"

   Kata Pek Ki Bu sambil menerjang ke depan.

   "Tamu-tamu tak tahu aturan!"

   Pek Kong juga menerjang maju. Pek Kong disambut oleh pendeta muka bopeng, sedangkan Pek Ki Bu disambut oleh pendeta tinggi besar muka hitam yang agaknya merupakan pendeta tertua dan terlihai di antara mereka.

   "Dess..!"

   Pukulan tangan Pek Ki Bu ditangkis dan disambut oleh pendeta muka hitam, mengakibatkan Pek Ki Bu terdorong ke belakang tiga langkah, sedangkan lawannya hanya mundur selangkah.

   "Dukkk!"

   Pukulan Pek Kong juga tertangkis oleh Si Muka Bopeng dan tangkisan ini membuat tubuh Pek Kong terhuyung. Dalam pertemuan segebrakan ini saja dapat dilihat bahwa baik Pek Kong maupun Pek Ki Bu, bukanlah lawan para pendeta yang amat lihai dan kokoh kuat itu. Akan tetapi kini anak buah Pek-sim-pang sudah keluar semua, jumlah mereka berpuluh-puluh dan mereka sudah memegang senjata semua, siap untuk mengepung dan mengeroyok. Pada saat itu, Hay Hay yang sejak tadi hanya menjadi penonton, merasa perlu untuk turun tangan. Bagaimanapun juga, dirinya terlibat secara langsung dalam urusan Sin-tong ini, maka dia pun melangkah lebar ke depan tiga orang pendeta itu dan dengan suara lantang dia berkata,

   "Sam-wi Losuhu jauh-jauh datang dari Tibet, apakah untuk menjemput Sin-tong? Nah, setelah Sin-tong berada di depan kalian, mengapa kalian tidak lekas menyambut dan memberi hormat?"

   Berkata demikian, dia berdiri tegak dengan dada terangkat dan sikapnya angkuh dan agung sekali. Semua orang terkejut. Pek Eng juga terkejut akan tetapi dara ini pun mendongkol bukan main, segera membisiki ayahnya yang berdiri di dekatnya,

   "Ayah, dia itu pemuda mata keranjang yang kurang ajar."

   Akan tetapi Pek Kong dan Pek Ki Bu memandang tajam penuh perhatian, bahkan Pek Kong mengangkat tangan memberi isyarat kepada anak buah atau murid-murid Pek-sim-pang agar tidak bergerak dan tidak menyerang sebelum ada aba-aba darinya. Semua orang kini memandang kepada Hay Hay dan tiga orang pendeta itu dengan hati tegang, apalagi mereka tadi mendengar pengakuan pemuda itu bahwa dia adalah Sin-tong, putera ketua mereka yang selalu ditunggu-tunggu kedatangannya. Juga tiga orang pendeta Lama itu terbelalak, mengamati Hay Hay dengan penuh perhatian, penuh selidik memandang pemuda itu dari kepala sampai ke kaki.

   Sementara itu, Pek Kong dan isterinya, Siauw Bwee, terbelalak menatap wajah Hay Hay, mengingat-ingat, apakah benar pemuda tampan yang kini berdiri dengan mulut tersenyum itu adalah Pek Han Siong, putera mereka. Demikian pula Pek Ki Bu memandang dengan penuh keheranan, juga penuh harapan karena dia pun tidak dapat menentukan apakah benar pemuda ini adalah cucunya atau bukan. Hanya Pek Eng yang mendongkol, ingin dara ini memaki pemuda itu karena ialah yang tahu bahwa pemuda itu bukan Pek Han Siong, bukan kakaknya, melainkan seorang pemuda mata keranjang. Akan tetapi karena kemunculan pemuda ini agaknya hendak membantu dan berpihak kepada keluarganya, maka ia pun diam saja dan hanya memandang dengan heran mengapa pemuda itu berani menentang tiga orang pendeta Lama yang demikian lihainya.

   Bahkan mulai timbul keraguan. Siapa tahu pemuda itu memang benar kakaknya, Pek Han Siong, dan tadi tidak mau mengaku kepadanya hanya untuk mempermainkannya saja. Siapa tahu!. Tiga orang pendeta Lama itu kini berdiri bingung, kadang-kadang saling pandang dan pada wajah mereka terbayang ketegangan, harapan akan tetapi juga keraguan. Selama ini Sin-tong dilarikan keluarganya, disembunyikan dari para pendeta Lama. Mungkinkah kini Sin-tong muncul dan memperkenalkan diri begitu saja? Mereka adalah tokoh-tokoh Tibet, termasuk pimpinan para pendeta Lama tingkat tiga. Tentu saja selain memiliki ilmu kepandaian tinggi, juga tiga orang Pendeta Lama ini adalah orang-orang yang cerdik, tidak akan mudah menipu mereka.

   "Orang muda, jangan engkau main-main dengan kami! Kalau kau hendak menipu kami, dosamu besar sehingga kematian pun belum akan membebaskanmu daripada hukuman!"

   Kata pendeta yang kurus pucat.

   "Omitohud..!"

   Hay Hay berseru, menirukan lagak seorang pendeta.

   "Menipu adalah perbuatan yang tidak benar, aku sebagai Sin-tong mana mau melakukannya? Sejak terlahir aku disebut Sin-tong, diperebutkan sebagai Sin-tong, setelah kini menjadi dewasa dan mengaku bahwa akulah Sin-tong, Sam-wi Losuhu dari Tibet malah tidak percaya kepadaku! Sam-wi mengingkari Sin-tong, bukankah itu merupakan dosa yang amat besar pula?"

   Tiga orang pendeta Lama itu saling pandang dan kini sikap mereka menjadi agak berbeda, pandang mata mereka mulai menghormat walaupun masih ada keraguan. Nampaknya mereka mulai percaya bahwa pemuda di depan mereka itu mungkin sekali Sin-tong yang mereka cari-cari.

   "Dia bukan Sin-tong! Dia bukan putera kami!"

   Tiba-tiba Souw Bwee berseru. Tentu saja seruan ini mengejutkan dan mengherankan hati Pek Kong dan Pek Ki Bu. Bagaimana wanita itu dapat memastikan bahwa pemuda itu bukan Pek Han Siong?

   "Memang Ibu benar! Dia bukan Kakak Pek Han Siong, dia seorang pemuda mata keranjang yang tidak tahu malu, berani memalsukan Kakakku!"

   Teriak pula Pek Eng yang mengira ibunya mengenal betul bahwa pemuda itu bukan Pek Han Siong. Padahal teriakan Souw Bwee tadi sama sekali bukan karena ia tahu bahwa pemuda itu bukan puteranya. Ia sendiri ragu-ragu dan tentu saja tidak tahu benar, karena puteranya itu dipisahkan dari sampingnya semenjak masih bayi. Kalau ia tadi berteriak menyangkal justru terdorong oleh rasa khawatirnya. Kalau benar pemuda ini puteranya dan hal ini diketahui oleh tiga orang pendeta Lama yang lihai itu, tentu puteranya itu akan mereka bawa!

   Dan ia tidak mau kehilangan lagi puteranya yang baru saja pulang. Inilah sebabnya ia berteriak menyangkal agar tiga orang pendeta Lama itu percaya kepadanya dan tidak akan membawa pergi puteranya. Dan Pek Eng yang salah mengerti, kini bahkan membantunya dengan sangkalannya bahwa pemuda itu bukan kakaknya yang dicari-cari. Pek Kong dan Pek Ki Bu memandang dengan bingung, akan tetapi begitu bertemu pandang dengan isterinya, Pek Kong melihat betapa sinar mata isterinya itu mengandung kegelisahan dan ketakutan dan tahulah dia bahwa penyangkalan isterinya tadi hanya merupakan usaha untuk menyelamatkan pemuda itu! Maka dia sendiri pun merasa bingung dan tidak berkata apa-pa, hanya menanti untuk melihat perkembangan selanjutnya.

   Sementara itu, Hay Hay juga terkejut mendengar teriakan nyonya dan puterinya itu. Tak disangkanya mereka berteriak menyangkalnya. Dia berpura-pura menjadi Sin-tong untuk mengalihkan perhatian tiga orang pendeta yang lihai agar tidak lagi mendesak keluarga Pek, akan tetapi ternyata nyonya rumah bahkan menyangkalnya! Apakah mereka itu tidak tahu bahwa dia sengaja hendak membantu mereka? Ataukah keluarga Pek itu demikian tinggi hati sehingga tidak sudi menerima pertolongannya, walaupun jelas bahwa mereka terancam bahaya? Ataukah nyonya itu tidak ingin orang lain celaka karena keluarga mereka? Banyak sekali kemungkinan untuk menjawab dan mencari sebab ulah ibu dan anak itu, akan tetapi dia harus dapat meyakinkan tiga orang pendeta Lama itu bahwa dia benar-benar Sin-tong!

   "Hemm, Sam-wi Losuhu adalah tokoh-tokoh pandai dari Tibet, mana mungkin dapat dibohongi? Mereka menyangkal diriku, tentu saja, karena tentu saja mereka tidak ingin melihat aku kalian bawa pergi dari sini!"

   Ucapan Hay Hay ini memang tepat sekali sehingga Nyonya Souw Bwee menahan jeritnya, mukanya menjadi pucat dan matanya terbelalak memandang kepada pemuda itu. Tiga orang pendeta Lama yang tadinya sudah merasa ragu-ragu mendengar teriakan Nyonya Souw Bwee dan Pek Eng yang menyangkal pemuda itu sebagai Sin-tong, kini saling pandang dan harapan baru memancar lagi dari wajah mereka ketika mereka memandang Hay Hay. Memang tepat sekali ucapan pemuda itu, pikir mereka. Kalau benar pemuda ini Sin-tong, tentu ibunya dan adiknya berusaha menyelamatkannya dan satu-satunya cara adalah menyangkalnya!

   "Omitohud..!"

   Pendeta Lama bermuka bopeng berseru lalu tertawa bergelak.

   "Ha-ha-ha, kami bukanlah orang-orang bodoh yang mudah dipermainkan dan ditipu. Orang muda, kau tanggalkanlah bajumu!"

   Keluarga Pek menjadi pucat. Mereka tahu bahwa Pek Han Siong yang dianggap Sin-tong oleh para pendeta Lama itu memang memiliki tanda tahi lalat merah di punggungnya sehingga kalau pemuda ini tidak memiliki tanda itu, biar mengaku bagaimanapun juga akan nampak bohongnya. Akan tetapi di samping kekhawatirannya ini, juga mereka merasa tegang karena mereka pun ingin melihat siapa sebenarnya pemuda ini, Pek Han Siong ataukah bukan. Hay Hay tersenyum. Sebelum tuntutan ini diajukan, dia memang sudah menduganya. Sambil tersenyum dia berkata kepada Pek Eng.

   "Adik yang baik, jangan menuduh aku kurang ajar kalau aku melepas bajuku di depanmu, karena aku dipaksa oleh ketiga Locianpwe ini."

   Berkata demikian, Hay Hay lalu menanggalkan bajunya, membiarkan tubuhnya bagian atas telanjang. Nampak dadanya yang bidang dan tubuh bagian atas yang tegap, dengan otot-otot yang menonjol kuat dan kulit yang putih halus, dada seorang pemuda yang sedang mekar dan kokoh kuat. Dia lalu membalikkan tubuhnya, membiarkan punggungnya nampak oleh mereka. Keluarga Pek dan tiga orang pendeta Lama ini memandang ke arah punggung dan dengan mudah menemukan tahi lalat merah yang cukup besar di punggung itu!

   "Anakku..!"

   Teriak Souw Bwee.

   "Koko..!"

   Pek Eng juga berseru, akan tetapi ketika mereka hendak maju, keduanya dicegah oleh Pek Kong dan Pek Ki Bu. Keluarga itu lalu menonton saja, ingin tahu dengan hati tegang apa yang selanjutnya akan terjadi. Kiranya pemuda itu benar Pek Han Siong, pikir mereka dengan jantung berdebar.

   Tentu saja dugaan mereka itu keliru. Pemuda itu adalah Hay Hay, bukan Pek Han Siong. Tanda merah di punggungnya ltu hanyalah hasil muslihat Hay Hay saja. Sebelum tadi turun tangan, pemuda ini sudah berpikir panjang dan teringat bahwa satu-satunya tanda dari Sin-tong yang tak pernah muncul sejak bayi, hanyalah tahi lalat tanda merah di punggungnya, maka tadi diam-diam sebelum turun gelanggang, dia telah lebih dulu menutul kulit punggungnya dengan tinta merah. Dengan kecerdikannya, menggunakan kesempatan selagi orang ribut-ribut mengepung tiga orang pendeta Lama, dia menyelinap masuk ke dalam rumah dan berhasil mendapatkan tinta merah yang dicarinya. Maka, ketika dIa terjun ke dalam lapangan itu, di balik bajunya, di atas kulit punggungnya, telah terdapat tanda merah yang sengaja dibuatnya itu!

   "Sin-tong..!"

   Tiga orang pendeta Lama itu terkecoh dan mereka bertiga cepat merangkapkan kedua tangan di depan dada dan memberi hormat kepada "Anak Ajaib! itu!

   "Pinceng bertiga mendapat kehormatan untuk menjemput Paduka dan mengiringkan Paduka menuju ke istana Paduka di Tibet."

   Kata pendeta Lama bermuka bopeng dengan sikap hormat sekali, seperti sikap seorang menteri terhadap rajanya. Hampir saja Hay Hay tertawa karena gelinya. Sikap tiga orang Lama itu menggelitik hatinya. Demikian lucu seolah-olah dia sedang main sandiwara di atas panggung saja. Biarlah, dia akan bermain sandiwara sepuasnya, pikirnya. Bagaimanapun juga, dia telah berhasil memindahkan perhatian tiga orang pendeta Lama yang lihai itu dari keluarga Pek kepada dirinya. Tentu kini yang terpenting baglimereka hanyalah dirinya yang sudah dipercaya dan diterima sebagai Sin-tong!

   "Hemm, begini sajakah penerimaan para pendeta Lama terhadap diriku? Tahukah kalian siapa yang menjelma menjadi diriku sekarang ini?"

   Tanyanya dengan sikap agung berwibawa.

   "Pinceng tahu... Paduka adalah calon Dalai Lama, penjelmaan Sang Buddha, omitohud..!"

   Kata pendeta Lama bermuka bopeng.

   "Nah, kalau kau sudah tahu, kenapa yang menyambutku hanya tiga orang pendeta Lama tingkat rendahan saja?"

   "Kami bertiga yang rendah adalah anggauta pimpinan tingkat tiga..."

   Kata pendeta Lama kurus pucat untuk memberi tahu bahwa tingkat mereka sudah terhitung tinggi.

   "Hemm, seharusnya Dalai Lama sendiri, atau setidaknya harus utusan yang berilmu tinggi. Akan tetapi karena kalian bertiga sudah tiba di sini, baiklah. Aku akan ikut kalian kalau saja kuanggap ilmu kepandalan kalian tinggi sehingga aku akan merasa cukup terhormat. Nah, kalian majulah. Ingin kulihat sampai di mana kelihaian kalian, apakah patut untuk menjadi orang-orang yang ditugaskan menjemput diriku."

   Tiga orang pendeta Lama itu saling pandang dan mereka kelihatan terkejut dan juga terheran-heran, lalu menjadi bingung sendiri. Selama mereka menjadi pendeta Lama, baru sekali inilah ada Sin-tong yang ketika dijemput hendak menguji dulu kepandaian para penjemputnya! Biasanya, yang sudah-sudah, seorang Sin-tong hanya pandai menghafal isi kitab-kitab suci, merupakan seorang setengah dewa yang lemah-lembut dan sama sekali tidak pernah mempergunakan kekerasan. Akan tetapi, Sin-tong yang ini menantang mereka untuk menguji kepandalan silat! Padahal tingkat mereka dalam ilmu silat sudah amat tinggi. Keluarga Pek yang merupakan orang-orang gagah terkenal dari Pek-sim-pang saja bukan tandingan mereka, apalagi pemuda ini yang kelihatan begitu lemah!

   

Siluman Gua Tengkorak Eps 5 Asmara Berdarah Eps 37 Asmara Berdarah Eps 22

Cari Blog Ini