Ceritasilat Novel Online

Pendekar Mata Keranjang 21


Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Bagian 21



Maka, ketika mendengar bahwa ada seorang pemuda berkelahi melawan lima orang pendeta Lama, mereka pun berbondong keluar dan mereka masih sempat menyaksikan betapa pemuda gagah itu dengan ilmu mirip Pek-sim-kun, telah mengusir lima orang pendeta Lama yang mengeroyoknya tadi. Pek Kong dan Souw Bwee, isterinya, melangkah maju mendekati Han Siong. Sepasang suami isteri ini mengamati wajah Han Siong akan tetapi tentu saja mereka berdua ragu-ragu. Sejak bayi mereka berpisah dari anak mereka, maka kini tentu saja mereka tidak mengenal pemuda yang berdiri dengan tegap, gagah dan tampan di depan mereka. Mereka takut kalau-kalau mereka kecelik lagi, seperti ketika di situ muncul Hay Hay yang mereka sangka anak mereka.

   "Apakah engkau Pek Han Siong?"

   Tanya Pek Kong, suaranya gemetar, penuh ketegangan dan harapan. Han Siong memandang suami isteri itu. Seorang laki-laki yang kelihatan gagah, berusia kurang lebih empat puluh satu tahun, dan seorang wanita yang usianya beberapa tahun lebih muda, wanita cantik dan lembut akan tetapi di wajahnya nampak guratan-guratan kehidupan yang membayangkan penderitaan batin. Ketika ditanya oleh pria itu, Han Siong merasa jantungnya berdebar tegang. Dia dapat menduga bahwa kedua orang inilah agaknya yang menjadi ayah dan ibu kandungnya, akan tetapi dia ingin memperoleh kepastian, maka dengan suara lembut dan hormat dia pun bertanya.

   "Bolehkah saya mengetahui, siapakah Ji-wi yang mulia?"

   Dengan suara gemetar Pek Kong berkata,

   "Aku bernama Pek Kong dan ini isteriku....."

   "Ayah! Ibu...!"

   Pek Han Siong tak dapat menahan dirinya lagi, langsung saja menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki ayah kandungnya.

   "saya adalah Pek Han Siong...."

   "Han Siong....!"

   Souw Bwee menubruk dan jatuh pingsan di dalam rangkulan puteranya! Dengan sikap tenang dan sudah menguasai diri sepenuhnya, Han Siong memondong tubuh ibunya dan berkata kepada ayahnya,

   "Ayah, marilah kita masuk ke dalam karena Ibu perlu dirawat. Ia telah menderita guncangan batin."

   Pek Kong memandang puteranya dengan sinar mata kagum. Puteranya telah dewasa dan sikapnya demikian tenang, juga tadi dia telah menyaksikan kehebatan ilmu kepandaiannya sehingga demikian mudahnya mengalahkan lima orang pendeta Lama yang berilmu tinggi. Kini, menghadapi ibunya yang pingsan,dia bersikap dewasa dan tenang sekali.

   "Baik,"

   Katanya dan mereka semua memasuki perkampungan. Setelah merebahkan Ibunya di atas pembaringan, kemudian mengurut beberapa jalan darah sehingga ibunya siuman kembali, Han Siong duduk di tepi pembaringan.

   "Ibu, tenanglah. Anakmu telah kembali, Ibu."

   "Han Siong... ah, Han Siong...!"

   Wanita itu menangis.

   "Engkau telah datang, Anakku... eh, mana Eng-ji? Eng-ji, pulanglah, kakakmu telah datang, Eng-ji! Pulanglah Nak..."

   Melihat ibunya berduka, Han Siong mengelus dahi Ibunya sambil mengerahkan tenaga batinnya dan tak lama kemudlan ibunya tertidur pulas! Han Siong bangkit dan menghampiri ayahnya yang sejak tadi melihat kesemuanya itu dengan hati terharu.

   "Ayah, siapakah Eng-ji yang disebut-sebut Ibu tadi?"

   "Mari kita bicara di luar kamar, Anakku. Engkau perlu mengenal semua anggauta keluarga kita."

   Kata Pek Kong mengajak puteranya keluar dan memasuki ruangan dalam di mana telah berkumpul Pek Ki Bu juga para murid kepala Pek-sim-pang.

   "Anakku, ini adalah kakekmu yang bernama Pek Ki Bu."

   Kata Pek Kong memperkenalkan.

   "Ah, Kong-kong! Kakek Buyut Pek Khun sering menyebut nama Kong-kong, juga Ayah."

   Han Siong lalu menjatuhkan diri berlutut, memberi hormat kepada Pek Ki Bu, kakek yang usianya enam puluh tahun lebih itu. Pek Ki Bu menyentuh pundak cucunya dan mengangguk-angguk dengan wajah berseri.

   "Aku merasa berbahagia sekali melihat engkau pulang sebagai seorang gagah yang berilmu tinggi. Semoga engkau dapat mengangkat kembali nama besar Pek-sim-pang."

   Han Siong lalu dlperkenalkan kepada murid-murid kepala Pek-sim-pang dan mereka bercakap-cakap dengan penuh kegembiraan.

   "Eng-ji adalah adik kandungmu. Han Siong,"

   Ayahnya menerangkan.

   "Engkau mempunyai adik kandung bernama Pek Eng yang usianya telah tujuh belas tahun."

   "Ah! Kakek buyut tidak pernah bercerita tentang ini! Di manakah Adikku itu, Ayah?"

   Wajah ketua Pek-sim-pang itu menjadi agak muram.

   "Itulah yang menyebabkan Ibumu menjadi berduka. Sudah beberapa bulan lamanya ia pergi meninggalkan rumah tanpa pamit, hanya meninggalkan surat ini,"

   Katanya sambil mengeluarkan selembar kertas dari saku bajunya dan memberikannya kepada Han Siong. Pemuda ini mengerutkan alisnya, hatinya kecewa mendengar adiknya, seorang perempuan remaja, minggat dari rumah tanpa pamit! Gadis macam apa yang menjadi adiknya itu, pikirnya. Dia menerima surat itu dan membacanya. Hanya beberapa baris kata-kata saja.

   "Ayah dan Ibu tercinta. Aku tidak mau menikah dengan siapa pun. Aku mau pergi mencari Kakak Pek Han Siong. Ampunkan anakmu."

   "Ditinggalkannya surat itu di atas meja dalam kamarnya."

   Kata Pek Kong. Kini, rasa kecewa yang tadi menyelinap di dalam hatinya terhadap adik perempuannya, terganti perasaan geli. Adiknya itu seorang gadis yang penuh semangat dan agaknya keras hati bukan main.

   "Maaf, Ayah. Apakah ia dipaksa untuk kawin?"

   Dia bertanya, menatap wajah ayahnya yang masih nampak tampan gagah itu. Ayahnya menarik napas panjang.

   "Ia dipinang oleh keluarga Song, ketua Kang-jiu-pang di Cin-an yang telah bertahun-tahun menjadi sahabat baik keluarga kita, untuk putera ketua Kang-jiu-pang bernama Song Bu Hok yang gagah perkasa dan pantas menjadi suaminya. Kami dengan senang hati menerima pinangan itu, dan ketika kami memberitabukan kepada Eng-ji, ia menangis. Dan pada keesokan harinya, ia telah pergi meninggalkan surat ini."

   Han Siong mengangguk-angguk,

   "Hemm, alangkah keras hatinya. Biarlah aku akan mencarinya, Ayah. Setelah lbu sehat kembali, aku akan pergi mencari Adik Eng."

   "Kami merasa curiga dengan kehadiran Hay Hay itu, karena kepergiannya justru ketika Hay Hay tiba di sini,"

   Kata Pek Ki Bu dan Pek Kong menganggu-angguk. Memang dia dan isterinya pun merasa curiga. Bukankah Hay Hay dikabarkan sebagai seorang pemuda mata keranjang yang pandai silat dan sihir, dan bukankah terdapat hubungan intim antara Pek Eng dan Hay Hay?

   "Siapakah Hay Hay itu, Ayah?"

   "Dia adalah bayi yang dulu menjadi penggantimu,"

   Kata ayahnya. Han Siong mengerutkan alisnya dan memandang heran.

   "Apa maksud Ayah?"

   "Aih, engkau perlu mendengar tentang keadaan dirimu, tentang hal-hal aneh yang terjadi karena engkau terlahir sebagai Sin-tong."

   Pek Kong dan Pek Ki Bu lalu menceritakan segala riwayat Han Siong semenjak dia dalam kandungan sudah diramalkan sebagai Sin-tong oleh para pendeta Lama. Han Siong sendiri hanya tahu dari kakek buyutnya dan dari Ceng Hok Hwesio ketua Siauw-lim-si bahwa dia dianggap Sin-tong dan dicari-cari oleh para pendeta Lama dan diperebutkan pula oleh para datuk sesat.

   Baru sekarang dia mendengar dengan jelas apa yang terjadi dengan dirinya dan segala akibatnya. Betapa sejak bayi dia dilarikan dan disembunyikan oleh kakek buyutnya, dan sebagai gantinya, bayi yang ditemukan kakek buyutnya ditinggalkan kepada ayah ibunya, betapa bayi yang menjadi penggantinya itu diculik orang dan diganti pula oleh bayi yang telah mati! Betapa kemudian, bayi yang pernah menggantikannya itu, yang kini telah menjadi dewasa dan menurut keluarga Pek, bernama Hay Hay dan amat lihai pula, muncul di perkampungan keluarga Pek dan membikin gempar. Hay Hay itu telah pula mengalahkan pendeta-pendeta Lama! Dan betapa Hay Hay disangka dirinya dan betapa adiknya Pek Eng, minggat pada hari itu pula setelah Hay Hay muncul di perkampungan keluarga Pek.

   "Nah, demikianlah, Han Siong. Kami tidak menuduh Hay Hay yang bukan-bukan, karena dia seorang pemuda gagah perkasa pula. Akan tetapi, mengingat bahwa dia adalah anak haram dari seorang jai-hwa-cat berjuluk Ang-hong-cu, betapa sikapnya amat menarik bagi wanita, berwatak mata keranjang menurut keterangan adikmu, maka kami hanya curiga. Ataukah mungkin hanya kebetulan saja."

   Han Siong masih tertegun mendengar cerita tadi. Demikian banyak hal aneh dan mengerikan terjadi sebagai akibat dia dianggap Sin-tong, sampai melibatkan bayi lain.

   "Ayah, aku akan pergi mencari Adik Eng, dan akan kuingat baik-baik tentang diri Hay Hay itu, walaupun aku masih sangsi bahwa dia mempunyai hubungan dengan kepergian Adik Eng. Kurasa Adik Eng pergi karena tidak setuju akan perjodohan itulah."

   Han Siong merawat ibunya sampai sehat betul, barulah dia berani meninggalkan perkampungan Pek-sim-pang. Ibunya setuju mendengar bahwa dia hendak pergi mencari Pek Eng, karena ibu ini tentu saja merasa gelisah sekali memikirkan puterinya.

   Kalau puteranya pergi, dia tidak merasa khawatir, apa lagi puteranya telah menjadi seorang yang amat lihai. Barpun Pek Eng juga bukan gadis sembarangan, namun bagaimana juga ia hanya seorang wanita remaja yang tentu akan menghadapi banyak gangguan. Kepergin Pek Eng sudah kurang lebih lima enam bulan, maka tidaklah mudah bagi Han Siong untuk mengikuti jejaknya. Dia pergi secara untung-untungan saja dan karena kepergian Pek Eng memakai alasan untuk mencarinya, maka dia pun menuju ke Pegunungan Heng-tuan-san, ke arah kuil Siauw-lim-si. Tentu adiknya pergi ke sana. Diurungkan niatnya mengunjungi kakek buyutnya, karena dari ayah dan kakeknya, dia mendengar bahwa kakek buyutnya itu telah meninggal dunia karena usia tua.

   Hay Hay berjalan seorang diri di padang rumput yang cukup luas itu. Wajahnya yang tampan dengan sepasang mata yang bersinar-sinar, mulut yang selalu dihiasi senyum, hidung yang mancung. Jalannya seenaknya, dengan lenggang lepas, dadanya yang bidang itu tegak dan tubuhnya yang tegap dan sedang besarnya itu seperti tubuh seekor harimau kalau sedang berjalan. Pakaiannya sederhana, berwarna biru dengan garis-garis tepi berwarna kuning, dua warna kesukaannya. Dipunggungnya nampak sebuah buntalan pakaian. Sepasang matanya yang tajam menangkap segala sesuatu yang terbentang di depan matanya, barisan rumput hijau segar yang bergerak-gerak tertiup angin, nampak seperti air berombak-ombak, daun-daun pohon yang melambai-lambai. Bukit kecil di depannya nampak demikian tenang, tidak terikat waktu, tenang dan indah hening.

   Hanya keheningan yang mengandung keindahan, karena sekali keheningan terganggu kesibukan maka keindahan pun membuyar lenyap. Ketika berjalan seperti itu, melahap segala yang nampak dengan kedua matanya, ketika pikirannya tidak diganggu sesuatu, batinnya menjadi hening dan keindahan pun menyentuh seluruh pribadinya. Matahari sudah condong jauh ke barat, sudah tertutup bukit. Hay Hay cepat mendaki bukit itu. Dari puncak bukit itu, pasti indah pemandangannya, keindahan matahari terbenam di kaki langit sebelah barat. Ketika dia sudah melewati padang rumput, pikirannya teringat akan keadaan dirinya. Dia anak jai-hwa-cat, anak seorang penjahat yang digolongkan sebagai penjahat yang paling rendah dan hina, bahkan dipandang hina oleh para penjahat lainnya. Seorang berwatak keji, tukang memperkosa wanita! Dan dia adalah anaknya, anak haram lagi!

   Biasanya, kalau sudah teringat akan hal ini, bermacam perasaan mengaduk hatinya dan keheningan pun lenyap. Keindahan pun tidak nampak lagi. Yang ada hanya rasa penasaran, kekecewaan dan kemarahan. Kemarahan datang dari pikiran. Pikiran yang membesar-besarkan akunya, pikiran yang melihat betapa aku nya direndahkan sebagai anak penjahat, anak haram, maka aku pun menjadi marah dan penasaran! Padahal baru saja, sebelum pikiran mengunyah-ngunyah ingatan itu, tidak ada sedikit pun rasa sesal atau marah mengganggu Hay Hay. Kemarahan tidak muncul dengan sendirinya. Kini Hay Hay telah tiba di puncak bukit dan seperti awan tipis disapu angin, semua kesibukan pikiran yang tadi pun lenyap. Indah sekali di puncak bukit itu. Ada sebidang padang rumput yang rata,

   Di sana-sini nampak pohon tua yang sudah mulai mengundurkan diri ke dalam keremangan yang penuh rahasia, seperti raksasa-raksasa, dan nun di sana, di barat, matahari nampak besar kemerahan membakar langit di atas dan kanan kirinya, menciptakan warna pelangi dan keperakan yang teramat indah! Pena siapakah yang mampu melukis keindahan matahari terbenam seperti itu? Pena siapa yang mampu mencatat semua keindahan itu? Dia akan kehabisan warna, ruang dan bentuk untuk menggambarkannya dan dia akan kekurangan kata untuk menceritakannya. Dengan hati terasa lega, seolah-olah segala beban batin pada saat itu diangkat terlepas dari menindih hatinya, Hay Hay menjatuhkan diri duduk di atas rumput yang lunak, menurunkan buntalan pakaiannya dan termangu-mangu memandangi awan yang sedang terbakar sinar kemerahan yang teramat indah itu.

   Dia lupa akan diri sendiri, merasa seolah-olah melayang di antara awan nun dibalik warna merah, awan yang menciptakan beribu macam bentuk yang indah-indah, aneh-aneh, malang-melintang, coret-moret tidak karuan namun ajaibnya, kesemuanya itu merupakan satu kesatuan yang amat harmonis! Lihat rumput-rumput itu. Malang-melintang, ada yang condong ke kanan, ke kiri, ada yang rebah, ada yang besar ada yang kecil, panjang pendek, tua muda, ada yang kerlng layu, akan tetapi tidak ada pertentangan sedikit pun di antara mereka. Bahkan kesemuanya itu pun merupakan suatu kesatuan yang amat harmonis, dan membentuk suatu keindahan yang lengkap. Timbullah semacam pemikiran dan perbandingan di antara benak Hay Hay, dan agaknya terbawa oleh suasana dan keadaan, terlontarlah pemikiran ini melalui kata-kata dari mulutnya.

   "Matahari timbul di waktu pagi cemerlang menjadi raja sehari kemudian menyuram di kala senja tenggelam dan lenyap, gelap gulita! Timbul tenggelam, terang gelap silih berganti yang pernah hidup berakhir mati apa artinya duka nestapa, kalau memang sudah demikian keadaannya? Selagi hidup kenapa layu dan mati? lebih baik bergembira hari ini!"

   Hay Hay tersenyum kemudian tertawa, mentertawakan diri sendiri. Tangannya menyentuh sesuatu di saku bajunya. Dikeluarkan benda itu dan ternyata itu adalah sebuah perhiasan berbentuk tawon merah yang buatannya cukup indah, terbuat dari emas muda dan permata merah. Ang-hong-cu, Si Tawon Merah! Julukan jai-hwa-cat yang menjadi ayah kandungnya!

   Akan tetapi kini Hay Hay memandang dan mengamati benda itu dengan mulut tersenyum. Kebetulan saja orang itu menjadi ayahnya, menjadi jembatan bagi dia muncul ke permukaan dunia ini. Boleh jadi Si Jai-hwa-cat itu atau orang lain, akan tetapi yang jelas, dia dan orang yang menjadi ayah kandungnya itu sama sekali tidak ada sangkut-pautnya, memiliki nyawa sendiri-sendiri, pikiran sendiri-sendiri. Mereka berdua merupakan dua orang manusia yang sama-sama utuh, tidak ada sangkutannya kecuali suatu kebetulan saja bahwa dia menjadi anaknya dan orang itu menjadi ayahnya! Ayah yang bagaimana! Tidak, dia tidak akan menganggapnya sebagai ayah. Bukankah menurut cerita keluarga Pek yang disampaikan kepadanya, jai-hwa-cat yang berjuluk Ang-hong-cu dan bernama keturunan Tang itu, meninggalkan wanlta yang mengandungnya begitu saja?

   Wanita yang menjadi ibu kandungnya itu kemudian membunuh diri bersama dia, akan tetapi kalau lautan menerima Ibunya yang kemudian menjadi tewas, agaknya lautan menolaknya sehingga dia tidak menjadi mati bersama ibunya! Tidak, tak mungkin dia menerima laki-laki yang demikian kejam terhadap wanita yang menjadi ibunya itu sebagai ayahnya! Masih lebih baik orang-orang seperti Siangkoan Leng dan Ma Kim Li itu, suami isteri yang berjuluk Lam-hai Siang-mo, yang bagaimanapun juga pernah menunjukkan rasa kasih sayang sebagai orang tua terhadap dirinya, daripada jai-hwa-cat she Tang itu. Dan dia pun tidak sudi menggunakan keturunan Tang. Lebih baik tak bernama keturunan, tanpa marga, tanpa she. Biarlah, namanya Hay Hay begitu saja, titik. Tentu saja dia pun tidak mau menggunakan she Siangkoan.

   "Hemmm...., Ang-hong-cu....."

   Bisiknya sambil memutar-mutar benda kecil itu di antara jari-jari tangannya. Matahari makin dalam tenggelam sehingga tidak nampak lagi kecuali cahayanya yang kemerahan. Cuaca menjadi remang-remang. Tawon merah itu tidak kelihatan lagi merahnya, kelihatan hitam. Tawon Merah! Orang yang membunuh dan memperkosa dua orang gadis dusun itu, yang seorang dibunuh karena melawan, yang seorang lagi diperkosa. Gadis-gadis yang demikian manis, demikian polos dan bersih! Terkutuk! Teringat akan gadis-gadis manis itu dan nasib mereka yang tertimpa malapetaka dengan kemunculan jai-hwa-cat Ang-hong-cu tanpa disadarinya, sambil mempermainkan benda perhiasan itu diantara jari-jari tangannya, dia pun bersajak.

   "Gadis yang cantik jelita manis menarik dan manja bagaikan bunga sekuntum indah semerbak mengharum setiap pria ingin menyuntingnya untuk menyemarakkan hidupnya. Namun kumbang merah datang menyerbu menghisap habis sari madu meninggalkan bunga terkulai layu sungguh keji, sungguh gila...!"

   Hay Hay mengepal tinju dan baris terakhir dari sajaknya itu keluar dari mulutnya seperti makian. Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dari belakangnya.

   "Ang-hong-cu memang penjahat keji dan gila, dan harus mampus!"

   Bentakan itu ditutup dengan datangnya serangan yang hebat sekali. Anginnya menyambar dahsyat ke arah tengkuk Hay Hay, disusul dengan sambaran angin yang tidak kalah hebatnya yang datang dari kanan kiri. Dia telah diserang tiga orang sekaligus yang agaknya diam-diam telah menghampirinya dari arah belakang.

   Karena angin menerpa dari depan, dan dia sedang melamun dan tenggelam dalam keheningan senja, maka Hay Hay tadi tidak tahu bahwa ada tiga orang datang menghampirinya. Apalagi karena gerakan mereka memang amat ringan, tanda bahwa mereka adalah tiga orang yang berilmu tinggi. Ketika merasa betapa ada angin Pukulan dahsyat datang menyambarnya dari tiga arah, Hay Hay cepat berjungkir balik ke depan, menggelundung di atas rumput di depannya dan baru meloncat bangkit berdiri setelah tidak merasakan lagi adanya angin serangan. Begitu cepat gerakan yang dilakukan Hay Hay itu sehingga para penyerangnya terkejut karena Pukulan-Pukulan mereka sama sekali tidak menyentuh sasaran dan tahu-tahu kini pemuda yang mereka serang itu telah meloncat berdiri di depan mereka!

   Hay Hay yang merasa terheran-heran dan penasaran, mengamati tiga orang penyerangnya itu dan menjadi semakin heran dan penasaran. Dia tidak merasa pernah berjumpa apalagi berkenalan dengan tiga orang ini! Mereka bertiga itu berusia kurang lebih empat puluh tahun dan biarpun cuaca mulai remang-remang, masih dapat dilihat wajah mereka yang membayangkan kemarahan, wajah-wajah yang tampan dan gagah, dengan pakaian sederhana ringkas seperti pakaian para pendekar. Di punggung mereka nampak gagang pedang beronce merah dan melihat sikap mereka, Hay Hay menduga bahwa dia berhadapan dengan orang-orang gagah, bukan dengan penjahat atau peranpok. Maka diapun mendahului mereka, bersoja dengan kedua tangan di rangkap di depan dada, sikapnya hormat dan bersungguh-sungguh, walaupun wajahnya masih berseri ramah dan mulutnya terhias tersenyum.

   "Harap Sam-wi (Anda Bertiga) suka memaafkan aku, akan tetapi sungguh aku merasa penasaran sekali. Apa gerangan dosaku kepada Sam-wi yang sama sekali belum kukenal, maka Sam-wi tiba-tiba saja menyerangku mati-matian?"

   Tiga orang itu nampak marah dan seorang diantara mereka, yang bermuka penuh brewok yang terelihara rapi sehingga dia nampak gagah seperti tokoh Thio Hwi dalam dongeng Sam Kok, melangkah maju mendekat. Dengan telunjuk kiri menuding ke arah muka Hay Hay, dia pun memaki.

   "Jai-hwa-cat laknat! Biarpun kami bertiga belum pernah bertemu denganmu, akan tetapi kami mengenal namamu. Engkau adalah jai-hwa-cat yang paling kejam di seluruh dunia ini dan engkau layak mampus karena orang macam engkau ini bagaikan iblis yang hanya mengancam keselamatan para wanita dan harus dibasmi dari permukaan bumi!"

   "Akan tetapi aku... aku bukan jai-hwa-cat..!"

   "Hemm, sudah jahat pengecut pula!"

   Teriak orang ke dua yang tinggi besar dan mukanya kemerahan.

   "Suheng, tak perlu banyak cakap kiranya. Iblis keji ini pandai bicara, tidak perlu dilayani. Hantam
(Lanjut ke Jilid 20)
Pendekar Mata Keranjang (Seri ke 09 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 20
saja!"

   Teriak orang ke tiga yang kurus dan mukanya kuning.

   "Sungguh mati, aku bukanlah penjahat, aku tidak pernah memperkosa wanita!"

   Kata Hay Hay penasaran. Kembali Si Brewok yang bicara.

   "Menjadi penjahat pemerkosa sudah rendah, akan tetapi menyangkalnya secara pengecut lebih hina lagi. Engkau sungguh seorang yang berahlak rendah dan hina. Ang-hong-cu, tak perlu lagi menyangkal, mari hadapi kami dengan senjatamu, bukankah kabarnya selain jahat engkau juga lihai sekali?"

   "Sungguh, aku bukan jai-hwa-cat, aku bukanlah Ang-hong-cu seperti yang kalian kira.."

   "Hemm, percuma saja engkau menyangkal. Kami telah melihat benda yang berada di tanganmu tadi. Bukankah benda itu merupakan tanda dari Ang-hong-cu?"

   "Benar, akan tetapi aku bukanlah Ang-hong-cu. Harap kalian tidak ngawur! Apakah kalian tidak pernah mendengar bagaimana macamnya orang yang berjuluk Ang-hong-cu itu? Usianya? Bentuk wajah dan tubuhnya?"

   "Hemm, tak perlu menyangkal lagi. Kami mendengar bahwa dia seorang pria yang tampan, dan tak seorang pun tahu berapa usianya. Bentuk tubuhnya tegap dan sedang. Engkau pun tampan bertubuh tegap, membawa tanda Ang-hong-cu. Siapa lagi kalau bukan engkau?"

   "Bukan, aku bukan Ang-hong-cu."

   Tiga orang itu saling pandang. Agaknya mereka bersikap hati-hati. Kemudian seorang di antara merekat yang bermuka merah dan bertubuh tinggi besar itu, berkata,

   "Ketahuilah bahwa kami adalah tiga orang murid Bu-tong-pai yang bertugas untuk mencari dan membunuh Ang-hong-cu Si Keparat Jahanam!"

   "Kenapa sih engkau hendak membunuhnya?"

   Tanya Hay Hay dengan sikap tenang, padahal tentu saja ingin dia mendengar tentang orang yang kebetulan menjadi ayah kandungnya itu.

   "Dia telah memperkosa seorang murid Bu-tong-pai sehingga sumoi kami itu membunuh diri di depan Suhu! Jangan pura-pura tidak tahu karena engkaulah orangnya yang melakukan perbuatan keji itu! Engkaulah Ang-hong-cu mengaku saja!"

   "Aku bukan Ang-hong-cu bagaimana harus mengaku sebagai dia?"

   "Kalau bukan, bagaimana engkau dapat memiliki lambang hiasan tawon merah itu? Darimana kau dapatkan itu? Dan apa hubunganmu dengan Ang-hong-cu?"

   Hay Hay tidak dapat menjawab. Tentu saja dla tidak mau menceritakan bahwa dia putera Ang-hong-cu!

   "Itu... itu urusanku sendiri, tidak perlu kuberitabukan kepada kalian. Yang jelas, aku bukan Ang-hong-cu. Tidak percayakah engkau?"

   "Tidak, aku tidak percaya!"

   Kini yang bermuka kuning dan bertubuh kurus membentak.

   "Engkau bohong, engkau pengecut! Tadi pun engkau bersajak memuji-muji kecantikan wanita sambil bermain-main dengan tanda tawon merah. Engkau Ang-hong-cu!"

   "Apakah engkau juga butuh kepalaku? Nah, ambillah!"

   Murid Bu-tong-pai yang tinggi besar itu seperti orang bingung. Dia hanya bengong memandang ke arah kepala pemuda itu yang masih menempel di tubuhnya, lalu menoleh dan memandang ke arah kepala yang tergantung di tangan kiri suhengnya. Dia bergidik, akan tetapi dia lalu mengeluarkan lengking panjang dan dia melompat ke depan, menggerakkan pedang di tangan kanan sekuat tenaga membacok ke arah leher yang disodorkan itu.

   "Crattt!"

   Kembali pedang itu menabas buntung leher Itu dan kepalanya sudah disambar oleh Si Muka Merah. Akan tetapi, biarpun jelas bahwa kepala yang berada di tangan kirinya dengan dijambak rambutnya itu adalah kepala Ang-hong-cu, akan tetapi kini pemuda yang duduk di dekat api unggun itu masih mempunyai kepala yang utuh menempel di lehernya. Bahkan kini pemuda itu menyodorkan lagi kepalanya dan melirik ke arah Si Muka Kuning.

   "Engkau juga mau kepalaku? Nah, ambillah agar kalian bertiga dapat pulang membawa masing-masing sebuah kepala!"

   Seperti juga kedua orang temannya, Si Muka Kuning itu bengong, dengan mata terbelalak dan mulut celangap, menoleh ke arah pemuda itu, kemudian memandang kepada dua buah kepala yang dijambak rambutnya oleh dua orang temannya. Dia pun jelas nampak jerih dan ketakutan, bahkan bergidik dan kedua pundaknya menggigil seperti orang kedinginan. Akan tetapi, melihat betapa kedua orang suhengnya telah memegang sebuah kepala, dia pun mengatupkan giginya, lalu berteriak.

   "Biarpun engkau siluman atau iblis, Ang-hong-cu, aku akan memenggal kepalamu!"

   Dan dia pun meloncat sambil mengayun pedangnya, mengerahkan tenaganya ketika pedang itu mengeluarkan sinar kilat menyambar ke arah leher itu.

   "Crattt!"

   Untuk ke tiga kalinya, leher itu terbabat dan sebuah kepala disambar tangan kiri Si Muka Kuning. Ketiganya kini memandang dan ternyata pemuda itu masih duduk tenang di dekat api dengan kepala masih utuh.

   Tiga kali kepalanya dipenggal, dan tiga buah kepala kini berada di tangan kiri tiga orang murid Bu-tong-pai itu dan mereka berloncatan menjauh. Ketika mereka melihat lebih seksama, ke arah muka dari kepala yang dijambak rambutnya, ketiganya menjerit penuh kengerian karena muka dari kepala yang dipenggal dan berada di tangan mereka itu kini berubah menjadi muka mereka sendiri! Bagaikan memegang ular berbisa mereka cepat melepaskan kepala itu yang terjatuh ke atas tanah dan lenyap begitu saja! Tiga orang jagoan Bu-tong-pai itu kini terbelalak pucat dan jelas nampak betapa tubuh mereka menggigil, tangan yang memegang pedang juga gemetar. Mereka memandang ke arah pemuda yang masih duduk bersila di dekat api unggun. Biarpun dia takut setengah mati, namun Si Brewok mengumpulkan nyalinya dan berteriak lantang.

   "Ang-hong-cu, biarpun engkau memiliki ilmu siluman, kami bertekad untuk membasmimu dan kami tidak takut kehilangan nyawa untuk membasmi kejahatan!"

   Setelah berkata demikian, sambil mengeluarkan lengking nyaring, Si Brewok sudah berlari menerjang ke arah Hay Hay, diikuti oleh kedua orang sutenya yang juga sudah menjadi nekat. Melihat kenekatan mereka, Hay Hay bangkit menyambar buntalan pakaiannya.

   "Sialan, mengganggu orang saja!"

   Katanya dan sekali berkelebat dia pun lenyap dari depan tiga orang itu yang menjadi bengong terlongong. Mereka tidak tahu harus mengejar kemana. Pula, mereka kini yakin bahwa Ang-hong-cu atau bukan, orang muda itu sungguh memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat, bukan hanya pandai ilmu sihir yang berkali-kali membuat mereka kecelik, akan tetapi juga memiliki ilmu silat tinggi. Buktinya, gerakan pemuda itu sedemikian cepatnya seperti pandai menghilang saja. Mereka terpaksa pergi meninggalkan bukit itu dan di sepanjang perjalanan, mereka tak pernah berhenti membicarakan orang muda luar biasa itu dan ada kesangsian di dalan hati mereka apakah benar pemuda itu Ang-hong-cu, karena kalau benar si penjahat cabul, tentu mereka tidak akan dibiarkan hidup. Melihat pembawaan dan sikap pemuda itu, agaknya tidak patut disebut orang jahat, walaupun pemuda itu tampan dan membawa hiasan tawon merah.

   Sementara itu, dengan bersungut-sungut dengan hati yang mengkal sekali, Hay Hay terpaksa meninggalkan bukit indah itu dan karena dari tempat tinggi itu dia tidak melihat adanya dusun dekat situ, terpaksa dia memasuki sebuah hutan lebat yang nampak gelap sekali. Lebih baik ditempat tersembunyi itu agar tidak terganggu lagi, pikirnya. Malam ini dia ingin tidur nyenyak. Dia memanjat sebatang pohon besar dan tak lama kemudian Hay Hay telah tidur nyenyak, terjepit diantara tiga cabang pohon yang saling melintang. Suara suling itu naik turun dengan merdunya, kadang-kadang melayang tinggi di angkasa, bermain-main dengan awan yang bergerak menuju ke timur, kemudian di lain saat menukik turun bermain-main di permukaan anak sungai, berdendang bersama riak air yang berkejaran di antara batu-batu hitam mengkilat,

   Bahkan kemudian menyelam dan menjadi satu dengan suara yang dalam dan aneh dari perut bumi, untuk di lain saat muncul kembali berdendang mengiringi angin yang bersilir sejuk di antara daun-daun, gemerisik suara daun-daun, kemudian menyatu dengan kicau burung yang menyambut pagi. Sementara Hay Hay melayang-layang hanyut oleh suara suling itu. dia ikut melayang diantara awan-awan, kemudian naik cahaya matahari pagi turun sampai ke permukaan sungai, ikut berkejaran bersama suara suling dengan riak air di antara batu-batuan, ikut pula menyelam sampai dalam tak terukur lagi. Tiba-tiba suara suling itu terhenti dan Hay Hay tersentak kaget, lalu membuka mata dan bangkit duduk. Baru teringat bahwa dia berada di antara tuga batang pohon besar. Sinar matahari telah menyusup di antara celah-celah cabang, ranting dan daun pohon,

   Menciptakan cahaya yang kecil tajam menyilaukan mata, mengusir kabut yang mulai membubung naik dari atas tanag da ndari daun-daun pohon di mana semalam mereka berkumpul. Burung-burung berkicau dan beterbangan dari dahan ke dahan, suasananya cerah dan riang bukan main seolah-olah semua mahluk hidup, baik yang bergerak maupun yang tidak, menyambut datangnya pagi itu dengan penuh keriangan. Cahaya pagi memang merupakan sesuatu yang baru, yang mengakhiri cuaca gelap yang emmbuat semua mahluk mengundurkan diri, dan cahaya pagi seolah-oleh menghidupkan kembali segala sesuatu yang mati untuk semalam. Hay Hay terseret oleh arus kegembiraan yang menyelimuti seluruh permukaan alam disekitarnya. Dia lupa lagi akan suara suling yang di dengarnya tadi, dan dianggapnya bahwa dia tadi bermimpi, mimpi yang indah bukan main.

   Buntalan yang semalam dipergunakan sebagai bantal, kini diikatkan kembali ke punggungnya, dan dia pun merayap turun perlahan-lahan. Dia tidak mau meloncat karena melihat betapa beberapa ekor kelinci berloncatan saling kejar di antara semak-semak di bawah pohon dan dia tidak ingin mengejutkan dan membuat takut mereka. Kegembiraan di sekelilingnya menular kepada Hay Hay. Dia merasa gembira, hatinya ringan, pikirannya bebas tanpa beban, dan hal ini membuat sekuruh anggauta tubuhnya bekerja dengan sempurna dan akibatnya dia merasa amat lapar! Hal ini sudah wajar kalau diingat bahwa sejak kemarin siang, dia tidak pernah makan sedikit pun. Kini terdengar suara berkeruyuk di dalam perutnya. Dia harus mencari makanan, pikirnya. Kelinci-kelinci itu! Agaknya banyak terdapat kelinci di dalam hutan ini dan daging kelinci yang lunak dan cukup sedang untuk mengisi perutnya.

   Daging kelinci dipanggang, di beri garam dan bumbu yang terdapat di dalam buntalan pakaiannya, hemmm, sedap bukan main. Mengingat akan ini, perut Hay Hay makin meronta dan menjerit. Dia memungut dua buah batu sebesar empat jari kaki. Cukup untuk menjatuhkan seekor atau dua ekor kelinci gemuk! Dengan dua buah batu ditangannya, Hay-Hay lalu mencari kelinci. Tak lama kemudian, dia melihat empat ekor kelinci di balik semak-semak, berkerjaran dan mereka itu nampak bergembira. Agaknya satu keluarga, piker Hay-Hay. Dua ekor yang besar dan dua ekr yang kecil. Sayang masih terlampau kecil, pikirnya. Maka dia lalu memilih diantara dua ekor besar. Cukup besar dan gemuk, seekor pun akan cukup untuk mengenyangkan perut. Di pilihnya yang putih bersih bulunya dan di lain saat, begitu dia menggerakkan tangan, sebuah batu melayang dengan amat cepatnya ke arah leher kelinci itu.

   
Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Takk! batu itu runtuh di tengah jalan! Hay Hay terbelalak, merasa penasaran dan batu kedua melayang, lebih cepat dan kuat ke arah kepala kelinci putih itu. menurut perhitungannya, kalau batu pertama tadi hanya akan membuat kelinci itu jatuh pingsan, batu kedua ini akan membunuhnya.

   "Takk!"

   Kembali batu itu runtuh seolah-olah menabrak dinding yang tidak nampak. Akan tetapi pandang mata yang tajam dari Hay Hay melihat meluncurnya sinar hitam kecil dari samping dan sinar itulah yang menahan batu-batunya. Dia tidak tahu sinar apa itu, akan tetapi dia pun tidak sempat melakukan penyelidikan karena dia harus cepat menangkap kelinci sebelum empat ekor binatang itu melarikan diri ke dalam semak belukar penuh duri. Maka, dia pun cepat meloncat ke balik semak-semak, bagaikan seekor harimau dia menerkam ke arah kelinci putih dengan tangan di ulur untuk menangkapnya

   "Wuuutttt...!"

   Tiba-tiba saja empat ekor kelinci itu seperti ditiup angin, lenyap demikian cepatnya sehingga dia hanya menangkap angin saja!

   Ketika dia mengangkat muka memandang ke arah berkelebatnya binatang-binatang itu, dia melihat betapa empat ekor kelinci itu, dengan tubuh gemetar, berada di atas pangkuan seorang kakek yang duduk bersila di bawah pohon, tadi tidak nampak karena tertutup semak belukar. Dan Hay Hay terbelalak penuh kekagetan dan keheranan, mengamati kakek itu penuh perhatian karena selama hidupnya belum pernah dia melihat seorang kakek seaneh ini. Dua orang gurunya, yaitu Ciu-sian Sin-kai dan See-thian Lama atau Go-bi San-jin, juga merupakan dua orang kakek aneh, bahkan gurunya ketiga, Pek Mau San-jin pertapa di Min-san, lebih aneh lagi. Akan tetapi mereka bertiga itu masih menyerupai manusia yang hidup terikat oleh peraturan umum, baik sikap, pakaian dan bicaranya. Akan tetapi kakek ini, baru melihat keadaannya saja sudah tidak lumrah manusia.

   Kakek ini sukar di taksir berapa usianya, mungkin sudah tua sekali melihat mukanya yang penuh keriput dan garis-garis malang melintang itu. Kepalanya besar, tidak normal, bagian belakangnya seperti membengkak dan kepala itu gundul bukan karena dicukur, melainkan botak dan tidak ditumbuhi rambut. Akan tetapi, kumis dan jenggotnya tumbuh lebat dan masih hitam, membuat muka yang sempit itu nampak seperti monyet atau manusia hutan yang liar, lebih mendekati monyet daripada manusia. Tubuhnya nampak kecil pendek, bukan memang karena ukurannya, melainkan karena tubuh itu bongkok dan punggungnya melengkung seperti tubuh udang. Sepasang mata itu kecil bundar seperti mata monyet, dikelilingi kerut merut, akan tetapi Hay Hay merasa silau bertemu pandang dengan mata itu, karena sepasang mata kecil itu bagaikan dua titik api membara!

   Hidungnya juga pesek seperti hidung monyet, mulutnya kecil dan tersenyum mengejek. Yang lebih mengherankan adalah tubuh kakek itu yang tidak tertutup pakaian! Hanya ada semacam cawat tergantung di pinggang, terbuat dari kulit pohon. Kakinya telanjang tanpa alas kaki. Sungguh merupakan seorang manusia hutan yang agaknya tak pernah mengenal peradaban! Akan tetapi ketika Hay Hay mendengar suaranya, ia tertegun! Bukan manusia liar, bukan setengah binatang, melainkan seorang manusia yang dapat mengeluarkan kata-kata penuh kasih sayang terhadap empat ekor kelinci di atas pangkuannya itu! Hanya sebentar saja kakek itu membalas pandang mata Hay Hay karena dia lalu sibuk mengelus-elus tubuh empat ekor kelinci itu bergantian, kemudian mulutnya bicara dengan kata-kata yang penuh kasih sayang.

   "Jangan takut, sayang, jangan khawatir. Selama ada Kakek Song di sini, tidak ada seorang pun manusia jahat mampu mengganggumu. Tenanglah dan pergilah sana bermain-main. Akan tetapi, hati-hati selalu kalau melihat ada manusia, bersembunyilah karena manusia lebih jahat dari ular, lebih keji dari iblis. Pergilah, sayang..!"

   Kakek itu mengelus punggung empat ekor kelinci dan mendorong mereka masuk ke dalam semak-semak. Binatang-binatang itu nampak jinak sekali terhadap Si Kakek. Melihat sikap dan mendengar kata-kata kakek itu, Hay Hay merasa tidak enak sekali. Dengan sikap hormat dia pun melangkah maju menghampiri kakek itu lalu menjura.

   "Maafkan aku, Kek. Apakah kelinci-kelinci itu peliharaanmu?"

   Kakek itu bangkit dan nampak tubuhnya semakin bongkok, matanya mengeluarkan sinar menyambar ke arah muka Hay Hay, lalu dia menudingkan sebatang telunjuk yang bengkok.

   "Manusia jahat, masih muda sudah jahat kau, tahunya hanya menangkap binatang untuk dipelihara atau dimakan dagingnya. Keji, sungguh kejam dan jahat! Semua binatang di dunia ini adalah sahabatku, aku tidak mengenal apa ittu peliharaan. Dan awas kau, kalau kau ganggu seekor pun binatang terkecil, akan kubunuh kau!"

   "Tapi, Kek.."

   "Huh, tidak ada tapi! Lihat, pagi begini indah, alam begini elok dan suasana begini suci dan penuh bahagia..."

   Tiba-tiba Hay Hay melihat betapa wajah itu membayangkan kelembutan dan suaranya berubah halus, kata-katanya indah seperti sajak.

   "Dan engkau manusia jahat datang, tidak mempedulikan semua keindahan itu, dengan hati penuh kebencian, penuh nafsu membunuh!"

   "Tapi, Kakek yang baik, hatiku tidak penuh kebencian, tidak penuh nafsu membunuh. Yang benar, perutku yang penuh keluh kesah dan jerit karena lapar!"

   "Gila kau! Masa perut lapar hendak membunuh kelinci?"

   Bentak kakek itu.

   "Kau lebih jahat daripada segala mahluk. Binatang jauh lebih baik daripada manusia macam kau!"

   Hay Hay merasa penasaran sekali. Dia melihat ke atas dan nampak seekor burung sedang makan ulat.

   "Kakek yang baik, jangan sembarangan memaki orang. Lihat binatang-binatang pun sesama mahluk hidup kalau mereka lapar. Burung itu makan ulat, juga cacing dan serangga. Kucing makan tikus dan cecak. Harimau dan singa makan kijang, kambing dan kelinci!"

   "Tentu saja, tolol! Karena memang makanannya! Harimau tidak suka makan rumput, kalau tidak ada kijang atau kambing atau binatang kecil lainnya, dia akan mampus kelaparan. Sebaliknya, kerbau tidak suka makan daging, makanannya adalah rumput, kalau tidak ada rumput dia mampus kelaparan! Akan tetapi engkau, manusia, apa saja yang tidak kamu makan? Kamu makan daging bukan karena lapar, melainkan karena mencari enak! Tidak boleh disamakan dengan harimau!"

   Kakek itu mencak-mencak dan nampak marah.

   "Kakek yang baik, sekarang ini perutku lapar bukan main. Kalau aku tidak boleh menangkap binatang untuk kumakan dagingnya, aku pun tentu akan mati kelaparan."

   "Bohong, begini banyaknya makanan di sekelilingmu. Daun-daunan, buah-buahan, bahkan rumput dapat kau makan."

   Hay Hay tertegun.

   "Apakah engkau sendiri juga tidak pernah makan daging, Kek? Hanya makan rumput, daun dan buah?"

   "Tentu saja! Aku bukan manusia jahat pelahap macam engkau! Aku penyayang binatang karena mereka itu jauh lebih suci daripada manusia yang berhati palsu, curang, kejam dan munafik, ha-ha-ha!"

   Tiba-tiba kakek itu berjingkrak dan tertawa. Hay Hay merasa betapa bulu tengkuknya meremang. Kakek ini bukan hanya aneh, akan tetapi juga agaknya sudah miring otaknya, sudah gila! Suara ketawanya itu tidak wajar dan muka yang dapat berubah-ubah itu, menunjukkan bahwa kakek itu memang tidak waras. Agaknya untuk membuktikan kata-katanya, kakek itu lalu mencabut rumput hijau muda dan memakannya. Nampak enak seperti seperti seekor sapi makan rumput, kemudian memetik pupus daun pohon dan memakannya pula. Melihat ini Hay Hay tersenyum.

   "Kakek yang baik, apa Kau kira karena makan rumput dan daun saja, engkau tidak membunuh? Rumput dan daun itu pun telah kau bunuh ketika engkau memakannya, belum lagi terhitung kutu-kutu dan binatang-binatang kecil yang tidak nampak oleh mata, yang berada di daun dan rumput itu, ikut pula kau kunyah dan kau telan. Entah berapa ratus ekor binatang kecil sekali yang kau makan bersama rumput dan daun itu!"

   Kakek itu memandang dengan sepasang mata mencorong, dan mulutnya yang tadi sedang mengunyah daun itu menghentikan gerakannya, kemudian kalamenjing itu bergerak menelan makanan rumput dan daun, agak sukar nampaknya. Setelah semua sayur itu habis di telannya, baru dia dapat berkata marah,

   "Engkau gila! Sudah, aku tidak sudi bicara dengan orang gila, aku tidak mau naik darah dan membunuh orang gila! Akan tetapi awas, sekali saja kau ganggu seekor binatang, kubunuh kau, manusia jahat!"

   Sebelum Hay Hay menjawab, sekali berkelebat kakek itu pun lenyap. Hay Hay tertegun. Tak disangkanya bahwa kakek itu memiliki gerakan sedemikian cepatnya, seperti menghilang saja. Maklumlah dia bahwa kakek itu bukan orang sembarangan. Tadi ketika menangkis sambitan batunya sampai dua kali, kemudian menghindarkan kelinci-dari tubrukannya, sudah membuktikan bahwa kakek itu memiliki kepandaian yang amat tinggi. Siapakah kakek itu pikirnya. Tingkahnya seperti orang yang miring otaknya, seperti orang gila, akan tetapi kakek itu memaki dia sebagai orang gila. Kakek itu menyayang binatang, hal ini jelas, dan menganggap orang yang makan daging binatang amatlah biadab.

   Siapakah yang gila, kakek itu ataukah dia? Dia tahu bahwa banyak sekali binatang kecil yang tak dapat dilihat oleh mata saking kecilnya, hidup di dalam dan di luar daun-daun dan sayur-sayuran sehingga makan sayur mentah pun tanpa disengaja membunuh banyak binatang tanpa disengaja! Ah, disinilah letak perbedaannya, pikir Hay Hay. Kakek itu pantang membunuh, walaupun tadi mengancamnya akan membunuh kalau dia berani mengganggu binatang. Kakek itu pantang membunuh, apalagi membunuh untuk makan! Membunuh sengaja dan tanpa sengaja jelas berbeda. Membunuh binatang untuk makan dagingnya memupuk kekejaman dan memperbesar nafsu mengejar kesenangan melalui makanan. Agaknya inilah inti pelajaran yang tersembunyi di balik tiingkah yang aneh dari kakek tadi.

   Ah, peduli amat, perutnya lapar! Hay Hay menengok ke kanan kiri dan tidak nampak bayangan kakek tadi, juga tidak terdengar suara, maka dia merasa yakin bahwa kakek itu tentu telah jauh dari situ. Dia pun mulai lagi mencari binatang buruan untuk dijadikan calon korbannya, calon mangsanya. Tiba-tiba matanya tertarik oleh gerakan di atas pohon. Dia berhenti bergerak dan melihat adanya seekor ular yang merayap turun dari atas pohon melalui sebatang cabang yang menjulur ke bawah. Gerakan ular itu lambat sekali, tidak mengeluarkan suara, bahkan seperti tidak nampak bergerak namun tubuhnya semakin maju dan lidahnya bergerak keluar masuk monconganya dengan amat cepat seperti tusukan pedang di tangan seorang ahli. Ketika Hay Hay memperhatikan ke bawah, dia melihat seekor tikus besar sedang makan bangkai ayam hutan.

   Demikian asyiknya tikus hitam itu makan daging bangkai ayam sehingga ia agaknya lupa akan segala. Biarpun matanya selalu bergerak ke kanan kiri dengan waspada, namun ia tidak melihat benda bergerak yang hidup dan mengancam di atas kepalanya itu. Seekor ular sedang mengintai dan merunduk calon korban dan mangsanya, pikir Hay Hay. Hatinya tertarik sekali dan dia pun tidak berani bergerak, takut kalau akan mengejutkan pemburu di atas pohon dan buruannya yang berada di dekat semak di bawah cabang pohon itu. sebagai seorang ahli silat, perasaannya peka sekali terhadap setiap gerakan dan dia seolah-olah dapat merasakan ketegangan dan kegembiraan penuh harapan dari ular itu, kegembiraan seorang pemburu mengintai dan mengejar calon korban!

   Diam-diam Hay Hay yang mengikuti gerakan ular itu, ikut pula merasakan kegembiraan itu dan dia bahkan membuat ancang-ancang, seolah-olah dia yang hendak menerkam tikus itu. Dan ternyata perhitungannya tepat sekali. Ketika dia sudah merasakan bahwa saatnya tiba untuk menerkam melihat posisi ular yang sudah tiba di dekat ujung cabang yang mulai melengkung karena bobot ular, binatang itu pun menjatuhkan diri ke bawah! Karena cabang pohon itu kehilangan beban berat, maka melenting ke atas dan daunnya mengeluarkan bunyi. Hal ini cukup membuat tikus yang berada di bawah menjadi ketakutan dan meloncat karena perasaan nalurinya membisikkan ancaman bahaya. Akan tetapi, tubuh panjang ular itu memungkinkannya untuk menyambar dengan moncong terbuka ke arah meloncatnya tikus itu sehingga loncatan itu terhenti di udara karena tubuhnya sudah tertahan oleh gigitan ular yang tepat mengenai lehernya.

   Tikus itu meronta-ronta, mencakar dan mengeluarkan suara bercuitan menyedihkan. Hay Hay memejamkan mata sejenak sampai suara itu terhenti. Ketika dia membuka mata lagi, nampak betapa ular itu mulai menelan tubuh tikus yang tak bernyawa lagi itu perlahan-lahan, sedikit demi sedikit karena perut tikus yang gendut itu lebih besar daripada lebar mulutnya. Sepasang mata ular itu meram melek dan kelihatan betapa menikmati santapannya! Hay Hay menarik napas panjang. Betapa mengerikan, betapa kejamnya. Sejenak timbul keinginannya untuk membunuh ular itu. Akan tetapi dia teringat bahwa memang demikianlah cara ular mempertahankan hidupnya, yaitu membunuh dan memakan binatang lain yang lebih kecil atau juga lebih besar namun kalah kuat. Ular takkan dapat hidup dari makan rumput, daun atau buah.

   Makananya adalah bangkai binatang lain! Tikus itu pun tadi sedang makan bangkai ayam hutan yang mulai membusuk! Dia mulai melihat kebenaran tingkah dan sikap kakek gila tadi. Tidak, ular itu tidak kejam, tidak buas. Ular membunuh untuk mempertahankan hidupnya. Akan tetapi manusia? Tiba-tiba terdengar suara lengkingan bening. Hay Hay segera meloncat ke arah darimana datangnya suara itu. Suara rusa betina! Dia mengenal suara itu. Daging rusa amat enak, lebih lezat dan gurih daripada daging domba! Masa bodoh dengan peringatan kakek gila itu dan filsafatnya, masa bodoh dengan ular itu, yang penting dia lapar dan dia membutuhkan daging rusa yang enak! Dengan ilmu lari cepat, sebentar saja Hay Hay melihat rusa betina yang mengeluarkan lengking tadi. Dia mengintai dari balik semak-semak.

   Di depan, di dekat sebuah rawa kecil, nampak seekor rusa betina bersama seekor anaknya dan rusa betina itu nampak marah, bersikap melindungi anaknya dan siap menyerang seekor rusa jantan yang mendekatinya. Sejenak mereka berdua itu mendengus-dengus, si jantan hendak mendekati, si betina marah dan menolak. Akhirnya rusa jantan itu kecewa, menggerakkan kepala ke atas lalu memutar tubuhnya, membalik dan berlari pergi. Rusa betina itu agak kurus, maklum karena menyusui, dan anaknya masih terlalu kecil untuk di makan dagingnya. Hay Hay sudah siap untuk meloncat dan menangkap rusa betina itu. Biarpun rusa itu gesit dan berlari cepat, dia yakin akan mampu menangkapnya. Apalagi rusa betina itu sedang menjaga anaknya, tentu tidak akan mau meninggalkan anaknya, melainkan mengajaknya melarikan diri dan rusa kecil itu belum begitu kuat untuk berlari secepat induknya.

   Akan tetapi tiba-tiba timbul keraguan di hati Hay Hay. Apakah dia akan sama dengan ular tadi? Kalau dia membunuh induk rusa itu, lalu bagaimana dengan anaknya? Tentu akan mati karena tidak ada yang menyusuinya! Dan bagaimana pula kalau diketahui oleh kakek tadi? Berarti dia mencari musuh. Sekaligus dia akan menukar beberapa potong daging rusa yang belum tentu enak melihat rusa itu kurus dengan tiga kerugian. Pertama, dia akan membayangkan bahwa dia tidak ada bedanya dengan ular tadi, ke dua dia akan selalu teringat sebagai seorang yang kejam yang membunuh induk rusa dan membiarkan anak rusa mati kelaparan, dan ke tiga, mungkin dia akan di benci dan dimusuhi kakek gila yang sakti tadi.

   Selagi dia hendak meninggalkan tempat itu karena nafsunya untuk makan daging kijang lenyap sama sekali, terdengar auman nyaring dan suara itu bergema di seluruh hutan, menggetarkan bumi. Hay Hay melihat munculnya seekor harimau di balik semak-semak, tak jauh dari tepi rawa di mana induk rusa tadi berada. Anak rusa cepat mendekati induknya dan rusa betina menggigil, keempat kakinya gemetar, akan tetapi dengan gagah ia melindungi anaknya dan memasang kepalanya ke bawah, matanya melirik ke arah harimau itu, siap melindungi anaknya sampai saat terakhir! Melihat ini, Hay Hay lupa segala. Dorongan batinnya untuk menolong yang lemah terancam membuat dia melompat bersama dengan lompatan harimau yang menerkam rusa. Dua tubuh itu bertemu di udara dan Hay Hay sudah menggerakkan tangan terbuka menghantam ke arah kepala harimau itu.

   "Dukkk!"

   Pukulan tangan miring itu amat kerasnya, mengenai belakang telinga kiri harimau. Tubuh harimau itu terbanting keras, mengaum tiga kali akan tetapi lalu berkelojotan lalu mati. Dari mulut, hidung dan telinganya mengalir darah. Induk dan anak rusa itu sudah berloncatan pergi entah kemana, entah muncul darimana pula, ditempat rusa itu telah berdiri kakek yang gila dan aneh tadi. Tentu saja Hay Hay menjadi terkejut sekali. Cara kakek itu muncul dan kini berdiri memandangnya dengan mata lebar melotot, membuat dia mengerti bahwa kakek itu telah melihat segalanya dan kini marah karena dia telah membunuh harimau itu. Maka dia pun cepat melangkah maju dan menjura dengan sikap hormat.

   "Locianpwe (Orang Tua Gagah), harap maafkan. Bukan aku sengaja membunuh dan mengganggu binatang, akan tetapi ketika melihat betapa harimau itu hendal membunuh induk rusa, aku merasa kasihan kepada induk rusa dan anaknya, maka aku lupa diri dan membela mereka."

   "Huh! Kasihan kepada rusa dan anaknya, akan tetapi tidak kasihan kepada harimau itu! Entah sudah berapa hari dia kelaparan dan pada saat dia mendapatkan calon penyambung hidupnya, ada saja orang yang usil bahkan membunuhnya dalam keadaan kelaparan!"

   Hay Hay terkejut. Tak disangkanya akan demikian jalan pikiran kakek aneh itu. Otomatis dia memandang ke arah bangkai harimau dan melihat binatang itu menggeletak mati dengan mulut, hidung dan telinga berdarah, dengan perut yang kempis, tiba-tiba saja dia merasa kasihan juga.

   "Maaf, Locianpwe. Aku tidak pernah berpikir sampai sejauh itu. Yang kulakukan hanya apa yang timbul dalam perasaanku pada saat itu. Melihat rusa dan anaknya itu terancam.."

   "Perlukah harus membunuh harimau itu? Dengan kepandaianmu, mudah saja kalau engkau mengusir tanpa membunuh. Engkau membunuhnya untuk mendapatkan dagingnya sebagai ganti daging rusa itu bukan? Kejam, sungguh kejam!"

   "Maaf, Locianpwe,"

   Kata pula Hay Hay, khawatir kalau-kalau peristiwa itu akan menimbulkan kebencian dalam hati kakek itu terhadap dirinya sehingga mereka akan bermusuhan, hanya oleh sebab yang amat sepele itu.

   "Huh, kalau aku tidak melihat engkau membunuhnya untuk melindungi rusa, apa Kau kira aku akan tinggal diam saja? Engkau terlalu mengandalkan ilmu kepandaian, nah, sekarang aku ingin mencoba sampai dimana kelihaianmu itu. Bersiaplah!"

   Tanpa memberi kesempatan kepada Hay Hay untuk membantah lagi, kakek itu sudah menerjang kalang kabut kepada pemuda itu! Hay Hay terkejut bukan main.

   Kakek itu menyerang dengan gerakan yang aneh dan seperti ngawur saja, ada sipat gerakan segala macam binatang terkandung di dalam semua serangannya, akan tetapi ternyata serangan-serangan itu dahsyat dan berbahaya bukan main. Gerakan itu agaknya sepenuhnya berdasarkan naluri dan tidak terkendali oleh pikiran, sepeti yang dilakukan binatang kalau sedang berkelahi. Akan tetapi, kalau binatang memiliki kekuatan terbatas sesuai dengan sifat dan keadaan tubuh mereka, kakek ini memiliki tenaga terlatih yang tumbuh berkat latihan, dan memiliki tenaga sinkang yang luar biasa kuatnya. Karena repot kalau harus mengelak terus ke sana-sini dan kemana pun tubuhnya mengelak selalu di bayangi kedua tangan kakek itu yang bergerak otomatis melanjutkan serangan yang gagal, terpaksa Hay Hay menggunakan lengan tangannya menangkis.

   "Dukkk!"

   Keduanya terpental ke belakang. Hay Hay merasa betapa tubuhnya tergetar, sebaliknya kakek itu mengeluarkan suara menggereng karena dia pun merasa betapa pertemuan tenaga itu membuat isi perutnya terguncang hebat.

   "Eh, kau boleh juga!"

   Kata kakek itu memuji dan kini dia menyerang lagi, lebih hebat dari tadi dan lebih aneh karena kini dia menyerang dengan jalan menyeruduk dengan kepala di depan seperti tingkah seekor binatang buas yang bertanduk kalau melakukan penyerangan. Akan tetapi kakek itu tidak bertanduk, dan mempergunakan kepalanya yang gundul botak dan membendol besar dan karena memang tubuhnya agak bongkok melengkung, maka ketika dia menyeruduk seperti itu, tiada ubahnya seperti seekor kerbau yang menyerang lawan. Akan tetapi kalau binatang bertanduk hanya mengandalkan tanduknya dalam serangan,

   Kakek ini selain menggunakan kepalanya, juga di bantu oleh kedua tangan yang menyerang dari kanan kiri, bahkan kakinya siap untuk melakukan tendangan!nHay Hay menjadi sibuk mengalak ke sana-sini, akan tetapi karena serangan kakek itu memang aneh bukan main, sukar di duga kemana perkembangan gerakan serangan itu, dan mengandung tenaga yang bukan main kuatnya, juga amat cepat, tetap saja Hay Hay terdorong oleh angin Pukulan tangan kanan yang membuatnya terpelanting! Namun pemuda yang sudah memiliki ilmu yang hebat itu cepat meloncat lagi begitu tubuhnya menyentuh tanah, dan dia pun muali menjadi marah. Kakek ini, gila ataupun tidak, sungguh keterlaluan, mendesaknya sedemikian rupa. Maka dia pun mulai membalas! Melihat ini, kakek itu mengelak sambil mengibaskan lengan menangkis dan terkekeh.

   "Heh-heh-heh, bagus, engkau mulai mempunyai nyali untuk menyerangku. Nah, orang muda kejam, jangan kira engkau akan dapat merobohkan aku seperti engkau merobohkan harimau tadi. Hayo keluarkan semua kepandaianmu!"

   Katanya sambil berdiri tegak.

   Setegak-tegaknya kaki itu berdiri terpentang, tetap saja dia seperti seekor monyet besar berdiri karena punggungnya yang bongkok. Matanya mencorong dan seperti ada api membara di dalamnya, mulutnya yang tersenyum menyeringai itu malah nampak seperti orang cemberut atau mengejek. Aneh sekali, timbul perasaan iba di dalam Hay Hay melihat kakek ini. Kakek yang tua sekali, tidak seperti manusia lumrah, demikian buruk rupanya seperti monyet saja, terlantar tanpa baju tanpa sepatu, hanya bercawat, padahal memiliki ilmu kepandaian yang demikian tingginya! Timbul perasaan tidak tega untuk menyerang kakek ini, maka diam-diam dia mengerahkan tenaga batinnya, hendak menggunakan sihir untuk menundukkan kakek ini, dan membuat dia tidak marah dan tidak menyerangnya lagi.

   

Pendekar Sadis Eps 44 Harta Karun Jenghis Khan Eps 2 Asmara Berdarah Eps 11

Cari Blog Ini