Pendekar Mata Keranjang 37
Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Bagian 37
"Heii... Nanti dulu.!"
Hay Hay berteriak dan berlari cepat ke tempat itu.
Gadis itu terkejut sekali, tidak mengira akan ada orang berteriak seperti itu di tempat sunyi itu. Saking tersentak kaget, pegangannya pada ekor kijang itu terlepas dan ia menoleh menghadapi Hay Hay dengan mata terbelalak. Dan Hay Hay terpesona! Dia kini tiba di depan gadis itu, berdiri berhadapan dalam jarak tiga meter. Hay Hay seperti terpukau, tak bergerak seperti patung, hanya mengamati wajah gadis di depannya itu. Seorang gadis yang usianya masih muda, takkan lebih dari delapan belas tahun. Pakaiannya sederhana, bahkan nyentrik, setengah pakaian pemburu, setengah pakaian puteri, agak kedodoran namun tidak menyembunyikan tubuh yang padat dan sempurna lekuk-lengkungnya, tubuh seorang gadis yang bagaikan sekuntum bunga mulai mekar meranum. Rambutnya awut-awutan, terlepas dari gelungnya,
Namun menjadi penambah manis wajah yang sudah amat manis itu. Anak rambut di pelipis dan sinom di dahi itu bergerak-gerak lembut, wajah yang bulat telur itu berdagu runcing, sepasang matanya tajam seperti mata kucing tapi lebih indah, dan hidung itu kecil mancung dan ujungnya seperti kemerahan dan dapat bergerak lucu, mulutnya memiliki bibir yang penuh dan tipis, seperti kulit buah tomat yang mudah pecah, merah basah. Mata yang indah itu mengerling seperti gunting saja tajamnya, akan tetapi nampak galak. Gadis yang tadinya terkejut itu agaknya sudah dapat menenteramkan hatinya yang kaget dan melihat seorang pemuda bercaping lebar berdiri seperti patung memandanginya seperti itu, alisnya berkerut dan matanya menyambar dengan kerling tajam. Mati aku, pikir Hay Hay, memuji kerling mata setajam itu.
"Hemm, mau apa kau teriak-teriak mengagetkan orang, sekarang berdiri bengong seperti orang kehilangan ingatan? Apakah engkau seorang tolol?"
Gadis itu membentak. Ketika bicara, bibirnya bergerak-gerak dan nampak kilatan giginya, membuat Hay Hay menjadi semakin terpesona.
"Bukan main... hemmm, bukan main...!"
Katanya berkali-kali, masih saja mengamati wajah itu. Gadis itu membanting kaki kanannya ke atas tanah.
"Heh, tolol! Apa maksudmu berkata bukan main? Siapa yang main-main?"
"Wah-wah-wah, belum pernah aku melihat yang seperti ini selama hidupku! Melebihi semua yang pernah kujumpai. Begini jelita, begini bebas dan liar, seperti... bunga mawar hutan, atau seekor singa betina, seekor naga betina, hebat bukan main, ya cantik, ya gagah, ya berani!"
"Hei, apakah engkau ini orang gila?"
Gadis itu membentak sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka Hay Hay.
"Aku? Tidak, belum gila, Nona, walaupun terpesona. Dan Nona ini, apakah Dewi Penjaga Hutan dan bukit ini?"
Gadis itu kembali membanting kakinya dan mukanya menjadi merah sekali, matanya yang indah melotot seperti hendak membakar wajah Hay Hay.
"Apa kau bilang? Aku penjaga hutan dan gunung? Kau kira aku ini setan? Engkaulah yang iblis, engkau siluman monyet, siluman babi, engkau setan dan arwah gentayangan, engkau setan isi neraka, engkau... engkau.."
Ia kehabisan makian karena tidak tahu lagi nama-nama bangsa setan sehingga gelagapan sendiri.
"Aduh, jangan marah, Nona. Aku bukan memaki, melainkan memujimu karena kusangka engkau Sang Dewi. Kalau engkau manusia biasa, seorang gadis muda, mana mungkin tahu-tahu muncul di tempat sepi ini?"
Gadis ini cemberut dan memandang perut bangkai kijang itu.
"Sialan! Di tempat begini bertemu orang tolol!"
Dan ia pun lalu menyambar kaki depan bangkai itu dan diangkatnya, dipanggulnya.
"Lhoh! Nanti dulu, Nona! Bangkai kijang itu punyaku!"
Hay Hay mencela dan dia pun melangkah maju menghampiri. Kini nona itu menoleh dan kembali matanya melotot. Hay Hay seolah-olah dapat merasakan hawa panas keluar dari sepasang lubang hidung itu, demikian marahnya gadis itu.
"Apa kau bilang? Engkau berteriak mengejutkan aku, lalu memandangi orang seperti tolol, kemudian mengatakan orang mahluk penjaga gunung, dan sekarang engkau malah berani mengaku bahwa bangkai kijang ini punyamu? Heh, orang sialan tak tahu diri, engkau ini sebenarnya mau apakah? Jangan membikin Nonamu marah dan sekali tendang engkau akan kulempar ke dalam jurang di bawah tebing!"
"Maafkan aku, Nona, dan bersabarlah, harap jangan marah-marah dulu. Seorang yang suka marah lekas tua, Nona dan sayang kalau engkau yang secantik jelita dan semanis ini cepat menjadi tua. Aku tidak berbohong kalau mengatakan bahwa bangkai kijang ini milikku, karena akulah yang telah membunuhnya tadi."
"Apa? Jangan sembarangan membuka mulut, ya? Akulah yang telah membunuhnya dan menyambitnya dengan sebuah batu!"
"Hemm, aku pun tadi menyambitkan sebuah batu dan batuku itulah yang membunuhnya!"
Hay Hay membantah, penasaran karena betapa pun cantik jelitanya, kalau gadis ini hendak merampas buruannya dan mengaku-aku membunuh kijang itu, dia tidak akan menerimanya begitu saja.
"Bohong! Penipu! Akulah yang telah merobohkannya dengan sambitanku. Orang tolol macam engkau ini mana mungkin dapat merobohkan kijang dengan sambitan batu?"
"Hemm, sebaiknya dilihat dulu buktinya, Nona. Engkau tadi menyambit kijang ini, mengenai apanya?"
"Mengenai kepalanya, tepat di antara matanya! Kau berani mengira aku membohongimu?"
Gadis itu menurunkan kembali kijang tadi dan mengangkat leher kijang itu, diperlihatkan kepada Hay Hay.
"Lihat ini, di antara kedua matanya, bukankah ada luka menghitam karena sambitanku?"
"Aku pun tadi menyambitnya, tepat mengenai tengkuknya, tempat yang mematikan."
Kata Hay Hay dan dia pun kini memeriksa dan memperlihatkan kepada gadis itu. Gadis itu mengamati dan benar saja, tulang di tengkuk kijang itu patah dan ada tanda menghitam bekas sambitan. Ia mengerutkan alisnya, akan tetapi lalu mengangkat bangkai kijang itu dan dipanggulnya.
"Tak peduli, yang jelas ada tanda sambitan di antara matanya. Kijang ini punyaku, aku yang membunuhnya dan engkau mau apa?"
"Tidak mau apa-apa, hanya ingin sebagian dagingnya untuk mengisi perutku yang lapar."
"Hemm, kijang ini punyaku, aku yang menentukan harus diberikan kepada siapa!"
"Apakah engkau masih mempunyai kawan lain yang membutuhkan dagingnya, Nona?"
"Tidak, aku hanya seorang diri."
"Kalau begitu, untuk kita berdua juga sudah lebih daripada cukup!"
"Itu urusanku! Aku boleh memberikan kepada siapa dan menolak memberi siapa pun. Dan aku tidak akan memberi padamu yang tolol dan kurang ajar!"
"Ehh? Aku kurang ajar?"
"Semua laki-laki kurang ajar!"
Hay Hay merasa penasaran dan perutnya terasa panas. Gadis ini keterlaluan galaknya, tidak ketulungan lagi.
"Dan semua perempuan tak tahu diri!"
Gadis itu membanting bangkai kijangnya, kemudian telunjuknya menuding hampir mengenai hidung Hay Hay sehingga pemuda itu melangkah mundur.
"Apa kau bilang? Berani kau mengatakan bahwa semua perempuan tak tahu diri? Apakah Ibumu bukan perempuan? Kalau begitu Ibumu juga tak tahu diri?"
"Dan engkau bilang semua laki-laki kurang ajar! Apakah Ayahmu bukan laki-laki? Kalau begitu Ayahmu juga kurang ajar?"
"Sialan engkau berani memaki Ayahku!"
Bentak gadis itu.
"Engkau juga lebih dulu memaki Ibuku!"
"Apa? Jadi engkau hendak menantang aku berkelahi? Boleh, kalau memang engkau sudah hosan hidup!"
Gadis itu memasang kuda-kuda.
"Siapa mau berkelahi? Aku hanya menuntut hakku, akan tetapi kalau engkau memang sudah begitu kelaparan, kalau dapat menghabiskan semua daging kijang ini, silakan, aku dapat mencari yang lain."
Hay Hay mundur dan menghindarkan perkelahian. Bagaimanapun juga, dia kagum kepada gadis ini walaupun gadis ini liar, berani, dan galaknya bukan buatan lagi.
"Nah, bilang saja kalau tidak berani!"
Gadis itu mengomel dan memanggul lagi bangkai kijang. Ketika ia hendak melangkah pergi, Hay Hay mengomel lirih.
"Huh, gembulnya! Apa tidak akan meledak pecah perut kecil itu nanti!"
Kaki yang sudah melangkah itu ditahan lagi dan untuk ke dua kalinya bangkai kijang itu dibanting.
"Kau bilang apa tadi? Aku gembul dan perutku akan pecah kalau makan daging kijang ini?"
Hay Hay tersenyum mengejek.
"Aih, engkau memang pemarah, Nona. Siapa bilang engkau yang gembul dan akan pecah perutnya? Aku tidak pernah menyebut siapapun juga!"
Kembali bangkai kijang itu dipanggul dan kini Hay Hay memandang sambil mengerahkan kekuatan sihirnya.
"Sungguh aneh, Nona cantik mengaku menangkap kijang, padahal yang dipanggulnya bangkal anjing!"
Kembali kaki yang baru melangkah lima tindak itu ditahan dan gadis itu kembali menengok, siap untuk memaki, akan tetapi lebih dahulu ia melirik ke arah kepala kijang yang berada di atas pundaknya.
"Ehhhh..??"
Ia berseru kaget dan melempar bangkai itu dari pundaknya karena memang sebenarnyalah kata-kata pemuda itu, yang dipanggulnya bukan bangkai kijang, melainkan bangkai anjing! Matanya terbelalak menatap bangkai anjing yang menggeletak di atas tanah kemudian ia mencari-cari dengan pandang matanya. Apakah ia salah pungut tadi? Di mana bangkai kijang yang diperebutkan tadi? Sementara itu, sambil tersenyum Hay Hay mengambil bangkai itu dan dipanggulnya sambil berkata,
"Kalau aku memang merobohkan seekor kijang aseli!"
Dengan pandang matanya gadis itu mengikuti semua gerakan Hay Hay dan kini ia terbelalak kaget. Bangkai "anjing"
Yang dilemparkannya tadi, ketika kini dipanggul oleh pemuda itu, mendadak berubah menjadi bangkai kijang yang tadi lagi!
"Hei, keparat, tunggu!"
Bentak gadis itu sambil meloncat dan mengejar, melampaui Hay Hay dan kini menghadang di depannya.
"Hemm, mau apa lagi? Apakah ingin minta sebagian daging kijangku karena perutmu sudah lapar sekali seperti perutku?"
"Keparat, kembalikan kijangku!"
Gadis itu membentak dan sikapnya siap untuk menyerang! Melihat sikap itu, Hay Hay mengalah.
"Hemm, kijangmu? Baiklah. Aneh, tadi dibuang setelah diambil orang lain, ribut-ribut dan memintanya kembali."
"Habis, tadi kulihat seperti..."
Ia menahan kelanjutan kata-katanya, lalu melanjutkan ketus.
"Biar saja! Mau kubuang, mau kuambil, mau kuapakan juga, sesuka hatiku karena kijang itu memang milikku. Kau mau apa?"
Hay Hay menarik napas panjang akan tetapi tetap tersenyum. Dilepaskan bangkai itu dari pundaknya dan gadis itu pun menyambar kaki kijang dan dipanggulnya lagi, siap untuk pergi cepat-cepat dari situ. Akan tetapi Hay Hay cepat berkata, kembali mengerahkan kekuatan sihirnya,
"Sungguh aneh sekali. Gadis yang cantiknya seperti dewi kahyangan, kini memanggul bangkai seekor ular besar! Apakah ia doyan daging ular?"
Gadis itu tadinya tidak mau peduli, akan tetapi begitu ia melihat bangkai di pundaknya, wajahnya berubah agak pucat. Kini bukan anjing atau kijang yang dilihatnya, melainkan kepala seekor ular yang besar! Dan tubuh bangkai itu pun tubuh ular yang panjang dan besar, melingkar-lingkar di atas pundaknya, terasa dingin dan licin. Menjijikkan! Akan tetapi gadis itu agaknya kini mengeraskan hatinya, bahkan mulutnya menyuarakan isi hatinya.
"Tidak peduli biar bangkai kijang atau bangkai anjing, bangkai ular, gajah atau bangkai setan sekalipun!"
Agaknya ia mengeraskan hatinya untuk mengusir rasa ngeri yang memenuhi hatinya dan ia pun melangkah lagi untuk cepat meninggalkan pemuda itu dan setelah tidak nampak lagi, tentu ia akan cepat membuang jauh-jauh bangkai ular yang menjijikkan itu! Melihat ini, Hay Hay tersenyum dan kagumlah dia akan kekerasan hati gadis itu.
Seorang gadis yang luar biasa menarik dalam pandangannya, usianya tidak akan lebih dari delapan belas tahun, gagah dan galak namun wajahnya manis bukan main, terutama sekali mulutnya. Mulut, itu nampak manis selalu, baik sedang cemberut, marah atau sedang terkejut dan ketakutan. Dan hidung yang kecil mancung itu, cuping hidungnya yang tipis itu seperti bergerak-gerak, lucu bukan main dan kerling matanya dapat meruntuhkan hati laki-laki yang bagaimana pun alimya! Gadis yang hebat! Yang memiliki daya tarik yang istimewa dan lain lagi daripada gadis-gadis yang pernah ditemuinya. Dan melihat betapa gadis itu dengan sekali sambit, mengenai kepala kijang, di antara kedua matanya, dapat dilihat bahwa gadis ini pun tentu memiliki ilmu silat yang cukup lihai. Cara ia mengangkat dan memanggul kijang itu saja sudah membuktikan pula akan kekuatannya.
"Wah, hati-hati, Nona! Hati-hati, ular itu masih hidup! Dan ular seperti itu gigitannya membahayakan, mengandung racun!"
Tiba-tiba Hay Hay berseru keras. Sesungguhnya gadis itu sudah merasa jijik dan ngeri sekali dan ia sudah mengerahkan tenaganya untuk berlari cepat. Selagi ia hendak berhenti dan membuang bangkai ular itu, tiba-tiba saja ia mendengar suara pemuda itu tepat di belakangnya! Peringatan itu membuat ia terkejut setengah mati dan rasa jijik ngerinya bertambah, apalagi ketika ia mengerling dan melihat betapa kepala ular yang tadinya terkulai mati itu, kini sudah terangkat dan mulutnya ternganga lebar seperti hendak mencaplok kepalanya! Dan tubuh ular itu pun menggeliat-geliat di atas pundaknya, mengelus lehernya mendatangkan rasa dingin yang menjijikkan.
"Ihhh.!"
Ia menjerit dan tentu saja ia cepat membuang bangkai ular yang tiba-tiba hidup kembali itu ke atas tanah dan ia pun melompat ke belakang dengan muka pucat. Ketika ia berlari cepat tadi, Hay Hay semakin kagum. Ternyata gadis itu memiliki ilmu berlari cepat yang cukup hebat sehingga dia sendiri pun payah mengejarnya dan hampir tertinggal. Maka dia pun cepat tadi meneriakkan kata-kata yang mengandung sihir. Saking kaget dan jijiknya, gadis itu sampai tidak ingat betapa pemuda yang menjengkelkan itu ternyata mampu mengejarnya. Dengan mata terbelalak saking jijik dan ngerinya, ia memandang ular besar yang kini bergerak-gerak di atas tanah.
"Kalau engkau tidak menghendakinya, biarlah aku yang akan membawanya pergi karena memang kijang ini hakku, Nona!"
Kata pemuda itu dan kini, tiba-tiba saja gadis itu melihat bahwa "ular hidup"
Itu bukan lain adalah bangkai kijang tadi yang dipanggul oleh pemuda itu di atas punggung dan tengkuknya, kedua tangan pemuda itu masing-masing memegang dua kaki depan dan belakang bangkai kijang. Pemuda itu melompat dan melarikan diri. Gadis itu membanting kaki kanannya dan secepat kilat ia pun mengejar. Ginkangnya (ilmu meringankan tubuh) memang hebat, dan sebentar saja ia sudah dapat menyusul Hay Hay dan melewati tubuh pemuda itu, menghadang sambil berteriak.
"Berhenti dulu kamu!"
Hay Hay masih tersenyum.
"Eh, engkau lagi, Nona? Ada apa lagi? Apakah akhirnya engkau menuntut bagian separuh dari daging kijang ini yang memang menjadi hakmu? Aku suka menyerahkan dengan senang hati dan.."
"Cukup!"
Gadis itu membentak lagi dan kini untuk kesekian kalinya, telunjuk tangan kirinya menuding, hampir menyentuh hidung Hay Hay yang melangkah mundur selangkah.
"Kiranya engkau ini iblis, tukang sihir, dukun lepus, penipu dengan permainan sulap! Manusia iblis seperti engkau ini berbahaya sekali bagi masyarakat kalau dibiarkan hidup dan aku akan membasmi dan membunuhmu!"
Berkata demikian, secepat kilat gadis itu menyerang dengan tangan. kiri yang menyambar ke arah dada Hay Hay dan sekali ini, benar-benar pemuda itu terkejut bukan main melihat betapa Pukulan itu amat hebatnya. Bercuitan suara Pukulan itu dan mendatangkan hawa Pukulan yang amat kuat, juga amat cepatnya sehingga hampir saja tiada waktu lagi baginya untuk menangkis. Terpaksa ia melempar tubuhnya ke belakang, berjungkir balik.
"Crakkk.!"
Dan tubuh bangkai kijang yang berada di punggungnya itu terobek perutnya oleh cengkeraman tangan gadis itu! Hay Hay semakin kaget dan cepat melepaskan bangkai kijang dan memandang dengan mata terbelalak. Kiranya Pukulan itu walaupun sudah dapat dia hindarkan, berubah menjadi cengkeraman dan mungkin saja punggung atau tengkuknya akan termakan cengkeraman kalau tidak ada perisai istimewa berupa perut kijang! Perut itu terobek dan isi perutnya terburai! Bukan main hebatnya serangan gadis ini, pikirnya dan untuk sesaat dia terpukau. Tentu saja gadis ini hebat dan lihai, dan Hay Hay tentu akan lebih terkejut lagi kalau mengetahui siapa ia. Gadis. ini bukan lain adalah Cia Kui Hong, puteri ketua Cin-ling-pai dan cucu Pendekar Sadis!
Cia Kui Hong bukan saja memperoleh pendidikan ilmu silat dari ayah dan ibunya yang merupakan sepasang pendekar terkenal dan pernah menggegerkan dunia persilatan dua puluh tahun yang lalu (bacaAsmara Berdarah ), akan tetapi bahkan selama tiga tahun ia digembleng oleh kakek dan neneknya. Kalau ayahnya dan ibunya yang bukan lain adalah Cia Hui Song dan Ceng Sui Cin sudah lihai, kakek dan neneknya lebih lihai dan lebih terkenal pula. Kakeknya adalah Pendekar Sadis Ceng Thian Sin, sedangkan neneknya tak kalah lihainya, yaitu nenek Toan Kim Hong yang pernah menjadi "datuk"
Kaum sesat dengan julukan Lam Sin. Tentu saja, setelah selama tiga tahun digembleng oleh kakek dan neneknya, ilmu kepandaian Kui Hong meningkat dengan pesatnya dan kini ia menjadi seorang gadis berusia delapan belas tahun yang amat lihai, gagah perkasa, galak dan juga manis dan agak ugal-ugalan!
"Wah, wah, tobat, nanti dulu, Nona.!"
Kata Hay Hay ketika melihat gadis itu menerjangnya lagi dengan hantaman yang lebih hebat dari tadi. Melihat betapa pemuda yang menjengkelkan hatinya itu tadi mampu menghindarkan dirinya dari satu jurus Ilmu Silat Hok-mo Sin-kun (Silat Sakti Penaluk Iblis) yang dipergunakan,
Kini Kui Hong maklum bahwa pemuda itu pun bukan orang sembarangan, maka ia cepat menyerang lagi dan kini ia sengaja mengeluarkan ilmu silat yang paling rumit dan sulit ketika ia pelajari dari kakeknya. Ilmu silat itu adalah Hok-liong Sin-ciang yang hanya delapan jurus, namun delapan jurus yang teramat hebat, dan sukar dilawan karena merupakan jurus-jurus pilihan yang luar biasa. Juga di dalam ilmu silat ini dipergunakan sin-kang yang amat kuat. Sebetulnya, Ilmu Silat Hok-liong Sin-ciang (Silat Sakti Penaluk Naga) ini khusus menjadi ilmu simpanan Pendekar Sadis Ceng Thian Sin, akan tetapi karena sayangnya kepada cucunya, dia mengajarkannya kepada cucunya walaupun tidak mudah bagi Kui Hong untuk menguasainya. Namun, biar belum sempurna ia menguasai ilmu silat itu, sudah cukup dahsyat kalau dipergunakan.
"Wuuuutttt.!"
Demikianlah angin menyambar kuat ketika gadis yang tadinya membuat gerakan merendahkan tubuhhya sampai berjongkok itu tiba-tiba menerjang ke arah Hay Hay dengan Pukulan kedua tangan, didorongkan dan mulutnya mengeluarkan bentakan yang melengking.
"Haiiiiittt.!"
Hay Hay melihat dan mengenal Pukulan dahsyat. Karena dia pun mempunyai watak yang ugal-ugalan, dan suka sekali menguji kepandaian dan tenaga orang lain, maka dia pun sambil tersenyum mendorongkan kedua tangan menyambut Pukulan itu.
!"Dessss..!"
Dua kekuatan yang sama dahsyatnya bertemu di udara dan akibatnya, tubuh Hay Hay terdorong hebat sehingga dia harus melangkah mundur sampai lima langkah, akan tetapi di lain pihak, Kui Hong tak dapat menahan kekuatan dorongan yang amat hebatnya, yang membuat tenaganya membalik dan tubuhnya terdorong ke belakang sampai ia terjengkang dan terpaksa ia harus bergulingan agar tidak terbanting hebat!
Akan tetapi, ia sudah mampu mengerahkan sin-kangnya sehingga tidak sampai terluka oleh tenaganya sendiri yang membalik tadi, dan baru setelah tubuhnya menabrak batang pohon, ia berhenti bergulingan lalu meloncat berdiri dengan muka berubah pucat, lalu berubah pula menjadi merah sekali. Mukanya merah karena ia menjadi marah dan juga malu! Menurut kakeknya, Pukulan dengan Ilmu Hok-liong Sin-ciang itu amat hebatnya, jarang ada orang yang mampu menahannya, maka hal itu hanya berarti bahwa lawan itu memiliki tingkat kepandaian yang jauh lebih tinggi darinya. Sementara itu, melihat gadis itu bergulingan sampai menabrak batang pohon, Hay Hay terkejut bukan main dan merasa menyesal. Dia meloncat dengan gerakan ringan ke depan gadis itu, senyumnya lenyap terganti kekhawatiran.
"Ah, harap engkau suka memaafkan aku, Nona. Sungguh aku tidak sengaja untuk mencelakakan dirimu. Apakah engkau terluka, Nona?"
Sikap baik dari Hay Hay ini membuat Kui Hong menjadi semakin marah. Ia merasa diejek dan perutnya terasa panas bukan main.
"Manusia iblis, Kau kira aku sudah mengaku kalah?"
Berkata demikian, ia pun menerjang lagi dan sekali ini, walaupun Pukulannya tidak sedahsyat tadi, namun gerakannya jauh lebih cepat daripada tadi.
Memang, Kui Hong maklum bahwa mempergunakan tenaga sakti dan mengandalkan ilmu silat yang keras tidak akan menolongnya karena ternyata lawannya memiliki tenaga yang lebih kuat. Maka, ia pun menyerang dengan mengandalkan gin-kangnya. Gadis ini sudah menguasai ilmu meringankan tubuh yang disebut Bu-eng-hui-teng (Lari Terbang Tanpa Bayangan), yang dipelajarinya dari ibunya, disempurnakan oleh gemblengan neneknya yang memiliki gin-kang lebih hebat lagi. Dan untuk lebih memperhebat gin-kangnya, ia memilih ilmu silat yang paling cepat, yang dipelajarinya dari kakeknya, yaitu Ilmu silat Pat-hong Sin-kun (Silat Sakti Delapan Penjuru Angin). Gerakannya demikian cepatnya sehingga tubuhnya berkelebatan, lenyap bentuknya berubah menjadi bayangan yang sukar diikuti oleh pandang mata.
"Ih, engkau memang lihai sekali, Nona!"
Kata Hay Hay dan dia pun kini menjadi lega karena jelas bahwa benturan tenaga tadi tidak membuat gadis itu terluka sama sekali! Dia menjadi semakin kagum. Gadis ini lihai ilmu silatnya, kuat sin-kangnya dan hebat pula gin-kangnya. Kiranya hanya Kok Hui Lian sajalah yang akan mampu menandingi gadis hebat ini, pikirnya. Melihat betapa kini gadis itu menggunakan ilmu silat yang luar biasa cepatnya, dia pun melayaninya dengan gerakan cepat. Namun, diam-diam dia merasa menyesal dan khawatir karena melihat betapa gadis itu bersungguh-sungguh dalam penyerangannya dan agaknya gadis itu sudah marah bukan main. Kiranya akan sukarlah menundukkan gadis yang keras hati ini dengan sikap manis, maka dia pun mengalah dan hanya mengelak ke sana-sini sambil berloncatan dan tak pernah membalas.
Akan tetapi, biarpun Hay Hay sengaja mengalah agar gadis itu menyadari sendiri bahwa dia tidak ingin bermusuhan, ternyata diterima dengan keliru pula oleh Kui Hong. Karena Hay Hay sama sekali tidak membalas, hanya mengelak dengan amat cepatnya, dan kadang-kadang menangkis dengan tenaga lunak, maka ia pun menganggap bahwa hal itu membuktikan bahwa lawannya ini amat memandang rendah kepadanya dan sedang mempermainkannya! Namun, diam-diam ia pun terkejut bukan main karena baru sekarang ia tahu benar betapa tingginya ilmu kepandaian orang ini. Benar kata kakeknya. Dia yang mampu menahan Pukulan dari Ilmu Silat Hok-mo Sin-kun tentu memiliki kepandaian yang lebih tinggi darinya. Akan tetapi, bukan watak Kui Hong untuk merasa jerih dan mau mengaku kalah!
Ia memperhebat serangannya, mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya sehingga ia berhasil mendesak Hay Hay yang sama sekali tidak mau membalas itu. Menghadapi seorang cucu Pendekar Sadis yang sedang marah, yang menyerangnya bertubi-tubi tanpa membalas sama sekali, biar Hay Hay memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi lagi, tentu akan berbahaya dan terdesak. Tidak mungkin mengandalkan pengelakan dan tangkisan belaka untuk membendung serangan yang datang bertubi-tubi seperti gelombang samudera yang sedang mengamuk itu. Hay Hay mulai merasa bingung. Ia tidak mau mempergunakan ilmu sihir lagi karena akibatnya tentu akan membuat gadis itu semakin marah dan benci kepadanya. Amukan gadis ini pun karena tadi ia mempergunakan sihir dan ia dimaki sebagai manusia iblis dan dukun lepus!
"Haiiii, Nona, tahan dulu! Aku sama sekali tidak ingin bermusuhan denganmu!"
Teriaknya berkali-kali. Akan tetapi, agaknya Kui Hong sudah menulikan telinga, tidak sudi mendengarkan omongannya lagi, bahkan menyerang terus walaupun kini leher dan dahinya telah berkeringat, dan napasnya sudah agak memburu karena sejak tadi ia menyerang dengan sepenuh tenaga dan telah mengerahkan ginkangnya.
"Nona yang baik, ambillah kijang itu, aku tidak mendapat bagian pun tidak mengapa!"
Teriak pula Hay Hay menjadi semakin bingung. Kalau dilanjutkan, akhirnya ia akan terpukul dan celaka, atau nona itu akan kehabisan napas dan tenaga dan ini membahayakan pula gadis yang nekat itu.
Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Maka dia pun melompat lagi lalu melarikan diri ke arah puncak bukit! Akan tetapi, Kui Hong juga mengerahkan ilmu berlari cepatnya dan melakukan pengejaran dengan amat nekat. Celaka, pikir Hay Hay. Gadis itu justeru memiliki ilmu berlari cepat yang amat hebat. Dia pun mengerahkan tenaganya dengan harapan bahwa kalau dia sudah lebih dulu melewati puncak bukit akan menemukan hutan yang lebat di sebelah sana dan dia akan mampu bersembunyi. Bagaimanapun juga, gadis ini sudah lelah dan tentu dia akan mampu mendahuluinya sampai ke puncak bukit di atas itu. Perhitungan Hay Hay memang benar. Ketika dia mengerahkan tenaga mempercepat larinya, Kui Hong agak tertinggal. Gadis itu sudah merasa lelah sekali, akan tetapi dengan nekat ia berusaha mengejar dan menyusul.
Hatinya gemas bukan main terhadap pemuda yang telah mempermainkannya seenak perutnya sendiri itu. Ia harus dapat menghajarnya sampai pemuda itu minta-minta ampun! Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Hay Hay ketika dia tiba di puncak bukit itu. Ternyata di sebelah sananya bukan terdapat hutan, bahkan tidak terdapat jalan turun karena di sebelah sana yang ada hanya jurang yang amat curam! Tebing yang tegak lurus, yang memisahkan puncak itu dengan daratan lain bagian bukit itu selebar kurang lebih dua ratus meter. Tidak mungkin dilompati, kecuali kalau dia pandai terbang. Dan dia bukan burung! Sementara itu, Kui Hong sudah dapat menyusulnya dan biarpun kini napas gadis itu sudah terengah-engah, tetap saja Kui Hong menyerangnya lagi dengan dahsyat.
"Cukuplah, Nona, biarlah aku mengaku kalah dan salah!"
Kata Hay Hay yang merasa terjebak dan tidak mampu lari lagi mengelak. Akan tetapi, tanpa menjawab, dengan napas mendengus-dengus, Kui Hong sudah menyerangnya dengan cengkeraman ke arah kepalanya. Terpaksa Hay Hay menangkap pergelangan tangan itu dengan maksud untuk menundukkan dengan kepandaiannya.
Akan tetapi, tiba-tiba saja gadis itu menggerakkan kepalanya dan rambutnya terlepas dari gelungnya, rambut yang hitam panjang dan harum itu kini menyambar ke arah muka dan pundak kanan Hay Hay, mengeluarkan suara bersiut seperti serangan cambuk saja. Bukan main! Gadis ini pandai mempergunakan rambut sebagai senjata! Memang benar, Kui Hong telah mempelajari ilmu mempergunakan rambut ini dari neneknya! Dan jangan dikira rambut itu tidak berbahaya! Lecutannya seperti sebatang cambuk dan kalau sampai mengenai muka, terutama mata, dapat mencelakai lawan! Menghadapi lecutan rambut ini, terpaksa Hay Hay melepaskan pegangannya dan meloncat ke belakang, akan tetapi pada saat itu, tangan kiri Kui Hong bergerak dan sinar merah menyambar ke arah tubuh Hay Hay. Pemuda ini cepat menggerakkan tangan untuk menangkis senjata rahasia itu dengan angin Pukulannya,
Dan beberapa batang jarum merah itu pun runtuh. Hay Hay semakin kaget. Jarum merah itu tentu mengandung racun. Memang itulah Ang-tok-ciam (Jarum Racun Merah) yang dipelajari oleh Kui Hong dari neneknya. Diam-diam gadis itu pun kagum melihat betapa pemuda itu mampu meruntuhkan jarum-jarumnya hanya dengan hawa Pukulan tangannya. Akan tetapi hal ini bahkan membuat ia merasa penasaran sekali dan kini ia maju lagi sambil mendesak lawan dengan ilmu silat yang nampaknya halus dan lemah. Melihat Pukulan lemah itu, Hay Hay merasa heran. Apakah akhirnya gadis ini sudah kehabisan tenaganya setelah menyerangnya dengan rambut dan kemudian jarum merah? Dia mencoba untuk menangkis Pukulan lemah itu, untuk mengukur apakah benar gadis itu sudah kehabisan tenaga.
"Plakk.!"
Dan Hay Hay terkejut bukan main. Lengannya bertemu dengan telapak tangan yang halus dan lunak sekali. Itulah Rian-kun (Silat Tangan Kapas) yang memang nampaknya saja lunak, namun begitu halusnya sehingga tenaga sin-kang dan kekerasan pihak lawan akan luluh seperti batu dilempar pada permukaan telaga saja!
Ketika merasa betapa tenaganya luluh, Hay Hay maklum bahwa gadis ini murid seorang yang amat sakti. Itulah puncak dari ilmu silat, yang selalu mendasarkan kepada pegangan pokok bahwa dengan kelemahan mengalahkan kekerasan! Dia cepat meloncat lagi ke belakang, akan tetapi tangan yang halus lunak itu telah memegang lengannya sehingga ketika dengan sepenuh tenaga Hay Hay meloncat ke belakang, tubuh Kui Hong terbawa pula. Dan, karena Hay Hay terlalu tegang menghadapi serangan-serangan maut tadi, dia sampai lengah, tidak melihat ke mana dia melompat, tidak tahu bahwa lompatannya kali ini membuat tubuhnya dan tubuh Kui Hong melayang melalui tepi tebing dan mereka, tanpa dapat dicegah lagi, terjun melayang ke dalam jurang yang amat curam itu!
"Ihhh.!"
Saking kagetnya, Kui Hong melepaskan lengan Hay Hay dan ia melihat betapa tubuh mereka melayang ke bawah dengan cepatnya. Matikah aku sekali ini, pikirnya, namun ia seorang gadis gemblengan yang tidak pernah gentar menghadapi kematian, maka karena ia tidak melihat jalan keluar untuk dapat menyelamatkan dirinya, dara ini pun pasrah, menyerahkan jiwa raganya ke tangan Tuhan. Ia tidak memejamkan mata, bahkan membuka matanya lebar-lebar, seolah-olah ia hendak menyambut datangnya maut dalam keadaan sadar sepenuhnya dan dengan mata terbuka!
Hay Hay terkejut bukan main. Akan tetapi, seperti Kui Hong, dia pun tidak merasa takut, bahkan dia membuka mata dan siap untuk setiap kemungkinan menyelamatkan dirinya. Setelah Kui Hong melepaskan pegangan pada pergelangan tangannya, luncuran tubuhnya ke bawah tidaklah begitu cepat lagi seperti ketika dibebani oleh tubuh Kui Hong, akan tetapi bagaimanapun juga, masih lebih cepat daripada Kui Hong karena tentu saja berat tubuhnya lebih banyak dibandingkan gadis itu. Ketika di sebelah bawahnya dia melihat sebatang pohon yang secara aneh tumbuh di tebing, menonjol keluar atau seperti tumbuh miring, Hay Hay lalu mengayun tubuhnya agar luncuran tubuhnya mendekati tebing. Hal ini amat berbahaya karena kalau sampai tubuh itu menyerempet batu yang runcing dan tajam, tentu kulitnya akan terobek,
Bahkan mungkin terkoyak dan membunuhnya sebelum tubuhnya hancur lebur menimpa dasar jurang di mana sudah menanti batu-batu yang keras dan keras. Hidup dan mati adalah suatu rangkaian, suatu proses, suatu rahasia besar yang tidak dikuasai dan tidak pula dimengerti manusia. Kita hanya tinggal menerima saja. Jangankan mati, hidup pun manusia tidak dapat menguasai diri sendiri. Berdetaknya jantung, pertumbuhan badan, rambut dan kuku dan seluruh anggauta tubuh, sama sekali terjadi di luar kekuasaan kita! Kita ini diadakan dan hanya menerima apa adanya saja! Ketika kita lahir, dijadikan apa pun, laki-laki atau wanita, dilahirkan oleh ibu yang mana pun, keluarga kaya atau miskin, berkedudukan tinggi atau rakyat biasa, kita dilahirkan dengan tubuh dan wajah yang dianggap oleh umum bagus atau tidak, semua itu terjadi di luar kehendak dan kekuasaan kita.
Kita ini diadakan, dan ada yang mengadakan, melalui orang tua kita sebagai proses kelahiran manusia baru. Kita tidak menguasai diri kita sendiri, baik hidupnya maupun matinya! Kita diadakan oleh Yang Maha Pencipta, dan kita ditiadakan melalui kematian oleh Dia pula! Kalau Dia masih menghendaki kita hidup, biar dikelilingi seribu macam ancaman bahaya, dengan satu dan lain cara kita akan terlepas dan selamat. Sebaliknya, kalau Dia menghendaki mati, biar kita bersembunyi di dalam benteng baja atau ke dalam lubang semut sekalipun, tetap saja maut akan datang menjemput! Demikian pula dengan Hay Hay. Jelaslah bahwa Yang Maha Pencipta masih menghendaki dia hidup sehingga biarpun tubuhnya sudah meluncur dari ketinggian yang mengerikan dan menurut perhitungan akal manusia,
Sudah wajarlah kalau dia mati di dasar jurang yang curam itu dengan tubuh hancur, namun secara "kebetulan! sekali, di tengah tebing itu ada sebuah pohon tumbuh menonjol dan "kebetulan"
Pula Hay Hay melihatnya, kemudian "kebetulan! ke tiga adalah bahwa pemuda ini memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi sehingga memungkinkan dia untuk meraih cabang pohon yang mencuat sehingga tubuhnya yang meluncur itu tertahan. Andaikata tidak ada kebetulan pertama, ke dua atau ke tiga itu, sudah tentu Hay Hay akan tamat riwayatnya! Begitu tubuhnya tertahan, Hay Hay teringat kepada gadis itu dan melihat betapa tubuh gadis itu pun meluncur ke bawah, tak jauh di atasnya, cepat dia menjulurkan kakinya ke depan, ke arah yang akan dilalui tubuh gadis itu dalam luncurannya.
"Cepat tangkap kakiku!"
Teriak Hay Hay sekuat tenaga. Agaknya Kui Hong melihat dan mendengar pula semua itu, atau lebih tepat lagi Tuhan agaknya masih menghendaki ia hidup, maka cepat Kui Hong menjulurkan tangannya dan ia pun berhasil memeluk sebatang kaki yang dijulurkan itu.
(Lanjut ke Jilid 35)
Pendekar Mata Keranjang (Seri ke 09 - Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 35
Sentakan ketika tubuh Kui Hong tertahan merupakan sentakan yang amat kuat dan kalau bukan Hay Hay yang memiliki kaki itu, di mana dia sudah mengerahkan sin-kangnya, tentu kaki itu akan copot sambungan tulangnya, atau pegangan tangan Hay Hay pada batang pohon itu akan terlepas! Demikianlah, pemuda dan gadis itu bergantungan di cabang pohon itu, dan di bawah mereka, maut ternganga lebar siap menelan tubuh mereka. Hay Hay memperhatikan keadaan mereka, memperhatikan pohon yang ternyata cabangnya cukup kuat menahan tubuh mereka berdua. Akan tetapi, perhatiannya yang sedang melakukan penyelidikan itu terganggu oleh suara omelan Kui Hong yang bergantung pada betis dan pegangan kaki kirinya. .
"Hemm, nyawamu berada di tanganku."
Kata gadis itu, agaknya kini kemarahannya bangkit kembali setelah melihat bahwa mereka selamat biarpun hanya untuk sementara waktu.
"Sekali aku menggerakkan tangan, engkau akan mampus!"
Hay Hay tersenyum. Pemuda ini memang luar biasa sekali.
Dalam keadaan seperti itu, dia masih dapat tertawa dan tidak kehilangan kegembiraan dan kejenakaannya. Betapa bahagianya orang seperti Hay Hay ini yang memandang segala hal dalam segala keadaan dari sudut yang menggembirakan dan cerah selalu. Apakah sukarnya untuk dapat hidup seperti Hay Hay ini? Syaratnya, kalau mau disebut syarat, hanyalah satu, yakni pikiran tidak mengada-ada, tidak sarat oleh keinginan-keinginan akan hal yang tidak ada! Berarti menerima segala sesuatu seperti apa adanya, setiap saat. Dengan demikian, takkan pernah ada kekecewaan, takkan pernah mengeluh, karena memang tidak mengharapkan hal-hal yang tidak ada. Hanya orang yang mengharapkan sesuatu yang tidak ada sajalah yang akan kecewa kalau kemudian yang diharapkannya itu tidak terjadi.
"Ha-ha-ha, Nona manis. Engkau agaknya lupa diri. Kalau aku kau bunuh, tentu tanganku akan terlepas dari cabang ini dan Kau kira engkau akan dapat selamat kalau bersama mayatku meluncur ke bawah sana itu?"
Agaknya Kui Hong baru teringat akan hal ini karena tadi kemarahan telah memenuhi hatinya. Ia marah bukan hanya teringat akan perebutan kijang,
Bukan hanya karena berkali-kali ia merasa dipermainkan bahkan setelah bertanding ia tidak mampu mengalahkan pemuda itu, akan tetapi ia marah terutama karena mengingat bahwa kecelakaan ini adalah karena ulah pemuda itu! Kalau pemuda itu tidak melompat ke jurang, tentu ia pun tidak akan terbawa! Kini, mendengar ucapan itu, ia tidak mampu menjawab dan otomatis matanya melirik ke bawah. Ia menahan diri untuk tidak mengeluarkan suara jeritan ketika melihat bawah yang demikian jauhnya. Kalau sampai terjatuh, tentu tubuhnya akan remuk! Biarpun mulutnya tidak mengatakan sesuatu, namun pelukannya pada kaki kiri Hay Hay itu dipererat dan hal ini terasa oleh Hay Hay yang menjadi semakin lebar senyumnya. Memang dia nakal dan ugal-ugalan, bukan saja suka sekali melihat keindahan dan kecantikan wanita, suka memuji-muji mereka, akan tetapi dia pun suka menggoda!
"Nona, kalau aku mau, tentu kaki kananku ini dapat menendangmu, menendang kedua tanganmu yang merangkul kaki kiriku dan engkau akan terlepas dan jatuh. Akan tetapi jangan khawatir, aku tidak sekejam dan seganas engkau yang haus darah ingin membunuh orang. Sayang kalau seorang gadis secantik engkau sampai mati di bawah sana."
Kui Hong merasa betapa mukanya panas dan ia tahu bahwa wajahnya berubah merah sampai ke telinganya. Untung bahwa ia berada di bawah dan pemuda di atasnya itu tidak dapat melihat mukanya yang ditundukkan.
"Sudahlah, tutup mulutmu dan kita pikirkan bagaimana agar dapat terlepas dari keadaan berbahaya ini!"
Akhirnya ia berkata, bersungut-sungut. Sejak tadi Hay Hay sudah mempelajari keadaan mereka. Pohon itu tumbuh keluar dari celah-celah batu menonjol keluar dan agaknya cukup kuat ter tanam dan terbelit di antara batu-batu bukit itu. Dia dapat saja merayap ke batang pohon, akan tetapi percuma saja karena permukaan tebing di sekeliling pohon itu rata. Dan ketika dia memandang ke atas, ternyata mereka tadi terjatuh dari tempat yang amat tinggi. Mendaki ke atas merupakan hal tidak mungkin sama sekali melihat betapa permukaan tebing itu rata dan licin, tiada sama sekali tempat untuk berpijak dan berpegang.
"Naikkanlah kakimu agar aku dapat meraih cabang itu!"
Kui Hong berkata lagi. Tentu saja ia dapat merayap naik melalui tubuh pemuda itu, akan tetapi hal ini tidak akan dilakukannya karena ia merasa malu. Seolah-olah ia meraba-raba seluruh tubuh pemuda itu kalau ia merayap naik melalui tubuhnya!
"Dan setelah engkau duduk di atas cabang ini, engkau langsung menyerangku agar aku terjatuh, begitukah?"
Hay Hay bertanya.
"Berjanjilah dulu bahwa engkau tidak akan menyerangku, baru aku mau menaikkan kakiku."
Kui Hong menjadi semakin gemas. Akan tetapi ia pun teringat betapa ia telah bersikap terlampau galak. Ia harus mengakui bahwa memang di tengkuk kepala kijang itu terdapat luka bekas sambitan. Tak dapat disangkal bahwa agaknya mereka berdua merobohkan kijang itu pada saat yang sama. Pemuda ini tidak bersalah. Akan tetapi sikapnya itu. Seperti mempermainkan, itulah yang membuat ia marah. Dan pemuda itu tukang sihir pula! Ia bergidik.
"Baiklah, aku berjanji tidak akan menyerangmu, asal engkau tidak mempergunakan ilmu hitammu itu!"
Hay Hay tertawa.
"Terima kasih, aku pun berjanji tidak akan main-main dengan ilmu sihir. Namaku Hay Hay, dan siapakah engkau, Nona?"
Kui Hong mengerutkan alisnya. Kurang ajar, pikirnya. Pemuda itu memerasnya! Menggunakan kemenangannya karena kakinya dijadikan tempat bergantung, mengajak berkenalan. Akan tetapi apa salahnya? Saling mengenal nama lebih baik daripada asing sama sekali padahal mereka ini sedang menghadapi bahaya maut bersama-sama. Dan pemuda itu telah memperkenalkan namanya. Hay Hay. Nama yang aneh, tanpa nama keturunan.
"Namaku Kui Hong."
Katanya, juga hanya memperkenalkan namanya tanpa she (nama keturunan).
"Kui Hong... Kui Hong... nama yang indah dan manis, seperti pemiliknya."
Hay Hay memuji. Kalau pemuda ini memuji, maka dia memuji dari lubuk hatinya, bukan sekedar memuji untuk merayu atau mengambil hati. Tidak, Hay Hay tidak pernah ingin mengambil hati atau merayu. Justeru karena dia menyukai keindahan, maka dia memuji seperti yang dirasakannya, dan karena itu seperti orang merayu!
"Sudahlah, tutup mulutmu dan angkat kakimu agar aku dapat naik ke cabang itu!"
Kui Hong membentak, akan tetapi jantungnya berdebar aneh, seperti merasa girang oleh pujian itu. Hay Hay lalu mengangkat kaki kirinya naik dan gadis itu lalu meraih cabang pohon di sebelah, lalu melepaskan kaki Hay Hay dan kini ia sudah duduk di atas cabang pohon, berhadapan dengan Hay Hay yang memandangnya sambil tersenyum.
"Untung ada pohon ini yang menyelamatkan nyawa kita, Nona Kui,"
Kata Hay Hay, kini sikapnya hormat karena dia melihat api kemarahan masih bernyala di dalam kedua mata gadis itu. Mendengar sebutan itu, Kui Hong merasa lucu dan ia pun tersenyum. Lenyaplah semua kegalakannya dalam senyum itu sehingga Hay Hay terpesona.
"Aih, Nona Kui. Kenapa engkau tidak memperbanyak senyummu itu? Bukan main! Senyummu membuat aku lupa bahwa aku terjebak di mulut maut ini!"
Senyum ini pun lenyap seketika.
"Hemm, sudahlah, engkau sungguh memualkan perutku!"
Hay Hay membelalakkan matanya.
"Memualkan perut? Wah aneh! Akan tetapi biarlah, hanya aku ingin tahu apa yang menyebabkan engkau tersenyum tadi, Nona Kui? Bukankah benar kataku bahwa pohon ini menyelamatkan nyawa kita?"
"Ada beberapa hal yang membuatku geli dan ingin tersenyum."
Kata Kui Hong.
"Pertama, karena engkau menyebutku Nona Kui seolah-olah aku she Kui. Padahal, Kui Hong adalah namaku, dan Kui bukan nama keturunan keluargaku."
"Aih, begitukah? Mengapa engkau memperkenalkan diri hanya nama saja tanpa nama keturunan?"
"Hemm, sungguh tak tahu diri? Kenapa engkau tidak mau bercermin?"
Kui Hong mencela. Hay Hay memandang wajah yang manis itu, keduanya saling pandang dan Hay Hay mengerutkan alisnya.
"Aih Nona Hong!"
Dia merobah panggilannya, tidak lagi Nona Kui melainkan Nona Hong.
"Jangan engkau main-main!"
"Main-main? Aku...?", Kui Hong bertanya marah. Orang ini sungguh keterlaluan, dia yang main-main kini malah mengatakan ia yang main-main!
"Di tempat ini mana ada cermin? Bagaimana mungkin aku bercermin? Aku bukan pesolek dan.."
"Tolol!"
"Memang aku tolol, tapi mengapa."
"Maksudku bercermin diri, bukan bercermin muka. Engkau sendiri mengaku, namamu Hay Hay, tanpa menyebutkan she-mu. Tidak mungkin engkau she Hay bernama Hay. Mana ada she Hay di dunia ini? Kalau engkau tidak mau menyebutkan shemu, apakah aku perlu memperkenalkan sheku?"
Hay Hay tersenyum dan diam-diam Kui Hong harus mengakui bahwa pemuda ini tampan dan menarik sekali, senyumnya tidak dibuat-buat dan sepasang matanya itu kadang-kadang mencorong seperti mata seekor naga dalam dongeng. Akan tetapi kalau teringat betapa pemuda itu pandai ilmu sihir, ia bergidik dan segera menundukkan mukanya, tidak berani terlalu lama bertemu pandang.
"Ah, kiranya engkau membalas? Baiklah, Nona Hong, biarpun selama ini aku ini tidak pernah mempergunakan sheku, akan tetapi nama keturunanku adalan Tang jadi nama lengkapku adalah Tang Hay. Akan tetapi sungguh mati, aku lebih suka dikenal sebagai Hay Hay saja."
"Aneh kalau ada orang ingin mengingkari nama keturunan ayahnya!"
Kata Kui Hong.
"Aku sendiri she Cia "
"Heiiii.!"
Kui Hong sampai tersentak kaget.
"Gilakah engkau? Teriak-teriak mengejutkan orang! Ada apa sih engkau berteriak mendengar nama keturunanku?"
"She Cia? Aku jadi teringat kepada seorang suhengku. Menurut keterangan seorang di antara guru-guruku, beliau mempunyai seorang murid yang juga she Cia, nama lengkapnya Cia Sun "
"Ihhhh.!"
Kini bagian Hay Hay yang tersentak kaget.
"Wah, wah, hampir aku terjatuh karena kaget. Kenapa sih engkau menjerit mendengar nama Suhengku itu? Apakah engkau mengenalnya?"
"Mengenal? Tentu saja! Dia masih keluarga kami dari Cin-ling-pai."
Hay Hay mengangguk-angguk.
"Aku sudah mendengar akan keluarga Cin-ling-pai. Perkumpulan yang terkenal gagah perkasa. Kiranya engkau ini murid Cin-ling-pai?"
"Aku puteri ketuanya!"
Kata Kui Hong sambil mengangkat dada. Kembali Hay Hay kagum. Bentuk dada dan bahu wanita itu sungguh indah, ketika diangkat dada itu, membusung dan nampak lekuk-lengkung yang menarik.
"Wah-wah, kalau begitu aku bersikap kurang hormat. Engkau puteri Ketua Cin-ling-pai, keluarga Cia yang amat terkenal, sedangkan aku hanya seorang perantau tanpa nama, dan tentang kijang itu... maafkanlah aku, Nona. Sebetulnya bukan maksudku untuk berebutan akan tetapi."
"Sudahlah. Mengapa kita mengobrol ke barat dan timur tanpa arah ini? Lebih baik kita bicara tentang keadaan kita. Bagaimana kita dapat keluar dari sini. Apa engkau ingin hidup selamanya di pohon ini?"
Kata Kui Hong, sambil menatap wajah Hay Hay. Yang ditatap tersenyum lebar, dan Kui Hong juga tersenyum karena merasa betapa lucunya pertanyaan itu. Tentu tidak akan ada manusia di dunia ini yang suka hidup selamanya di pohon itu!
"Ya, aku ingin dan mau hidup selamanya di pohon ini asal bersamamu, Nona!"
Lenyap senyum Kui Hong dan mukanya kembali menjadi merah, akan tetapi matanya mencorong dan alisnya berkerut.
"Engkau mau mempermainkan aku dan kurang ajar lagi?"
"Tidak, tidak, mana aku berani? Maafkanlah, Nona. Aku memang suka bergurau. Sudahlah, aku tidak akan bicara main-main lagi, mari kita selidiki tempat ini. Lihat, aku tidak mungkin memanjat ke atas, permukaan tebing itu demikian licin dan rata, tidak ada celah-celah atau tempat kaki berpijak dan tangan bergantung. Untuk turun juga tidak mungkin, dinding tebingnya.sama, bahkan lebih jauh daripada kalau naik. Akan tetapi di sana itu terdapat sebuah guha. Lihat!"
Kui Hong memandang ke bawah sebelah kanan dan benar, kurang lebih tiga puluh meter dari tempat mereka duduk di cabang pohon itu, nampak sebuah guha yang cukup besar.
"Akan tetapi guha itu terlalu jauh, bahkan ke situ pun tidak mungkin merayap melalui dinding tebing yang rata dan licin itu."
Kata Kui Hong.
"Aku dapat mencoba dengan mengerahkan sin-kang untuk menggunakan kedua tangan menempel dinding dan merayap ke sana. Akan tetapi apa gunanya? Kalau gagal, aku akan terjatuh ke bawah, sedangkan kalau berhasil, paling-paling hanya bertukar tempat tanpa jalan keluar, dari pohon ini ke guha itu."
"Akan tetapi, kalau kita bisa ke sana, setidaknya kita dapat bergerak lebih leluasa, dapat merebahkan diri untuk tidur, dapat pula berjalan dan berdiri, mungkin bisa mencari makanan di dalam guha itu. Kalau di sini? Kita hanya duduk di batang pohon dan akhirnya kita akan mati kelaparan. Sayang, bangkai kijang itu tidak kita bawa! Gemuk dan muda lagi!"
Diingatkan akan kijang itu, Kui Hong membayangkan betapa lezatnya membakar daging kijang dan tanpa disengajanya, perutnya berkeruyuk.
"Nah, perut siapa yang berkeruyuk?"
Kata Hay Hay untuk mempertahankan suasana agar gembira. Wajah Kui Hong berubah merah sekali.
"Kau berani menghinaku dan mengatakan perutku berkeruyuk?"
Bentaknya marah.
"Aih, siapa yang mengatakan demikian, Nona? Aku hanya mendengar suara perut berkeruyuk dan tidak tahu perut siapa itu yang berkeruyuk."
"Perutku tidak!"
Kui Hong mempertahankan, tentu saja malu untuk mengaku.
"Pula, perut berkeruyuk tidak perlu memalukan, dan bukan suatu penghinaan kalau terdengar orang. Kalau perutmu tidak berkeruyuk, tentu perutku. Nah, dengar, berkeruyuk lagi.!"
Benar saja, terdengar perut Hay Hay berkeruyuk karena memang sejak berburu kijang, dia sudah lapar sekali. Dan pada saat yang hampir bersamaan, perut Kui Hong berkeruyuk lagi!
"Wah, jagonya yang berkeruyuk ada dua ekor!"
Kata Hay Hay tertawa dan kini Kui Hong tak dapat menahan diri untuk tidak tertawa. Ia tidak merasa malu lagi karena jelas perut Hay Hay terdengar lebih dulu berkeruyuk, lebih nyaring lagi!
"Kalau tinggal di sini terus, walau kita kuat bertahan, perut kita ini yang tidak akan kuat bertahan. Kita harus mencari.."
"Hay Hay, lihat.!"
Tiba-tiba Kui Hong berteriak sambil menuding ke arah guha. Hay Hay tersenyum mendengar namanya dipanggil dan tentu dia akan menggodanya kalau saja dia tidak melihat apa yang ditunjukkan oleh gadis itu. Ketika dia menoleh ke arah guha, dia melihat sebuah kepala nongol keluar dan dia terkejut. Sebuah muka yang sesungguhnya cantik, akan tetapi kotor sekali. Rambut yang sudah berwarna dua itu awut-awutan, disanggul sembarangan saja, dan wajah itu adalah wajah seorang nenek-nenek yang sukar ditaksir berapa usianya. Tentu lebih dari enam puluh tahun melihat keriput pada pipinya. Namun, wajah itu memang cantik, setidaknya menunjukkan dengan jelas bahwa dahulunya wanita itu tentulah seorang yang cantik sekali. Akan tetapi matanya! Mata itu merah dan liar seperti mata serigala, atau mata seekor anjing gila.
"Hi-hi-hik,"
Nenek itu tertawa dan nampaklah bahwa mulutnya sudah tidak bergigi lagi. Pantas saja nampak kempot dan kisut. Andaikata nenek itu masih bergigi, tentu kedua pipinya masih halus, melihat betapa dahinya, lehernya, masih kelihatan mulus seperti dahi dan leher orang muda saja.
"Sepasang monyet muda, sasaran bagus sekali untuk latihanku, hi-hi-hik!"
Hay Hay dan Kui Hong mengamati nenek itu yang kini kelihatan lebih banyak dari bagian tubuhnya yang lain, sampai sebatas pinggang. Pakaiannya hitam dan lapuk pula, kotor sekali, akan tetapi tubuhnya padat dan ramping seperti tubuh wanita muda! Kini mereka melihat tangan nenek itu memasukkan dua buah kerikil ke mulutnya dan begitu ia meniup, dua buah kerikil yang runcing tajam karena kerikil itu pecahan dari batu keras, menyambar ke arah muka Hay Hay dan Kui Hong dengan kecepatan luar biasa sampai mengeluarkan suara bercuitan!
"Awas.!"
Hay Hay berseru dan cepat tangannya menyambar batu itu yang hendak lewat ketika dia miringkan kepala. Dia terkejut bukan main karena telapak tangannya merasa nyeri, tanda bahwa sambaran batu kerikil itu kuat bukan main!
Kui Hong juga melihat sinar menyambar itu, dan dengan mudahnya ia miringkan kepala dan batu itu lewat dengan cepatnya di dekat kepalanya. Hay Hay membuka kepalan tangannya. Hanya sebuah kerikil tajam dan runcing, akan tetapi bagaimana mungkin orang dapat meniupkan kerikil itu sedemikian kuatnya? Kalau nenek itu mempergunakan tangannya, dia masih tidak heran. Akan tetapi mempergunakan mulut meniup? Kui Hong kagum juga, bukan hanya kagum kepada nenek itu yang dapat melepas kerikil sebagai senjata rahasia dengan tiupan mulutnya, akan tetapi juga kagum kepada Hay Hay yang mampu menangkap batu kecil itu ketika tadi menyambar ke arah mukanya. Ia sendiri harus mengaku bahwa ia tidak akan mampu melakukannya, kecuali kalau sambaran batu kecil itu tidak secepat dan sekuat tadi. Sementara itu, nenek yang melepas dua buah kerikil itu nampak terkejut dan penasaran.
"Ehhh? Kaliah mampu menghindarkan tiupanku? Hemm, coba yang ini!"
Nenek itu kembali meniup dan kini ditambah dengan gerakan kedua tangannya. Kini dua buah kerikil menyambar ke arah muka dan dada Hay Hay, dua buah yang lain lagi menyambar ke arah muka dan dada Kui Hong! Dengan kecepatan dan kekuatan yang lebih besar daripada tadi! Kui Hong yang sudah siap siaga, tadi sudah mengerahkan tenaga dan begitu melihat dua sinar menyambar, ia sudah meloncat ke atas sehingga dua buah kerikil itu lewat di bawah tubuhnya. Akan tetapi Hay Hay masih memperlihatkan kehebatan ilmunya, dia hanya miringkan tubuhnya dan cepat kedua tangannya berhasil menangkap dua buah kerikil itu!
"Nenek iblis jahat!"
Bentak Kui Hong marah.
"Hay Hay, balas iblis itu, serang ia dengan kerikil-kerikil itu!"
Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hay Hay menggeleng kepalanya.
"Kalau engkau tidak mau, kesinikan kerikil-kerikil itu, biar aku yang akan menyambitnya!"
Kui Hong marah sekali dan tidak berdaya karena dari jarak sejauh itu, kalau ia menggunakan jarum-jarum merahnya, hasilnya tidak akan memuaskan.
"Jangan, biarkan aku bicara dengannya."
Sementara itu, melihat kembali mereka berdua mampu menghindarkan diri, apalagi melihat betapa dua butir kerikilnya dapat ditangkap oleh pemuda itu, nenek itu berseru.
"Celaka, kalian tentu urusannya untuk datang membunuhku! Baik, akan kulihat kalau aku menghujankan kerikil beracun kepada kalian. Kalian hendak menghindar ke mana?"
Melihat nenek itu sudah siap hendak menyerang lagi, tentu kini lebih hebat, cepat Hay Hay mengerahkan tenaga sihirnya memandang kepada nenek itu lalu berseru nyaring, suaranya mengandung getaran yang penuh wibawa,
"Nenek yang baik, nenek yang cantik, lihatlah baik-baik. Kami bukan musuh-musuhmu, dan aku bahkan suamimu sendiri. Lihatlah, apa engkau sudah lupa kepada suamimu sendiri?"
"Gilakah engkau, Hay Hay?"
Kui Hong berkata, akan tetapi segera gadis ini teringat bahwa pemuda itu memiliki ilmu kepandaian aneh, yaitu ilmu sihir, maka ia pun menutup mulutnya, dapat menduga bahwa tentu pemuda itu kini sedang mempergunakan ilmu sihirnya untuk mempengaruhi nenek itu. Ia melihat betapa nenek itu terpukau sejenak, lalu matanya memandang kepada Hay- Hay, nampak terkejut, heran, seperti tidak percaya dan mengusap-usap kedua matanya sendiri dengan punggung tangan kanan, memandang lagi, dan... nenek itu seketika menjadi merah mukanya dan kelihatan marah bukan main.
"Hek-hiat-kwi (Setan Berdarah Hitam) Lauw Kin, kiranya engkau sendiri yang datang untuk membunuh aku? Atau untuk mengejek dan sengaja membawa pacarmu yang baru, gadis muda yang cantik itu? Bagus, jangan kira aku tidak berdaya lagi setelah bertahun-tahun ini, engkaulah yang akan mampus lebih dahulu, setan!"
Dan tiba-tiba saja nenek itu menyerang dengan banyak sekali kerikil yang disambitkan atau ditiupkan,
Semua ke arah Hay Hay sehingga pemuda ini menjadi sibuk bukan main karena kini benar-benar dia dihujani batu kerikil yang datang menyerang bertubi-tubi dan semua itu dilepas dengan kekuatan dahsyat, bahkan masing-masing batu kerikil menyerang ke arah bagian berbahaya dari tubuhnya. Dia terpaksa berloncatan di atas cabang, lalu dari dahan ke dahan sambil memutar-mutar caping yang sudah diambilnya dari punggung untuk menangkis. Diam-diam Kui Hong merasa geli juga melihat hasil sihir pemuda itu, akan tetapi ia pun kagum bukan main melihat cara pemuda itu menghindarkan diri. Kalau ia yang diserang seperti itu, sukarlah baginya untuk mampu menyelamatkan diri. Dan diam-diam ia merasa khawatir sekali, maka ia pun segera mengerahkan khikang dan dengan suara nyaring mengandung kekuatan khi-kang ia pun berteriak.
Pendekar Sadis Eps 40 Asmara Berdarah Eps 31 Asmara Berdarah Eps 10