Pendekar Lembah Naga 22
Pendekar Lembah Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 22
"Dess! Desss!"
Pukulan kedua tangan Sin Liong itu dengan tepat mengenai tubuh kakek cebol itu, akan tetapi alangkah kagetnya hati Sin Liong ketika merasa betapa kedua pukulannya itu seperti dua buah batu dilempar ke dalam air. Tenaganya amblas dan pukulannya mengenai tubuh yang lunak dan yang membuat tenaga pukulan buyar, dan tahu-tahu dia sudah kena dipegang dan dicengkeram pundaknya. Ketika Sin Liong hendak mengerahkan tenaga dari pusar, tiba-tiba saja tubuhnya menjadi lemas dan dia tidak mampu bergerak lagi karena kaki tangannya seperti lumpuh, semua jalan darahnya seperti tiba-tiba menjadi kacau dan dia tidak mengerahkan tenaga lagi!
"Jahanam berani engkau mengacau di sini!"
Bun Houw sudah membentak dan sambil meloncat dia telah mengirim pukulan jarak jauh ke arah kakek cebol itu.
Melihat ada pukulan jarak jauh yang mengeluarkan suara mencicit seperti itu, Ouwyang Bu Sek terkejut dan kagum. Hebat, pikirnya dan dia menggunakan tangan kirinya mengebit. Dua tenaga sakti bertemu di udara dan biarpun kakek cebol itu berhasil menangkis pukulan Bun Houw, namun dia terkejut karena tangan kirinya tergetar. Pada saat itu, terdengar bunyi lengking nyaring dan Yap In Hong sudah menyerang dari depan. Kembali kakek itu melihat tenaga dahsyat sekali seperti angin puyuh menerjangnya! Diapun cepat menggerakkan tangan kirinya mengebut dan kembali pukulan In Hong yang dilakukan sambil menerjang ke depan itu dapat ditangkisnya, dan juga sekali ini Ouwyang Bu Sek terkejut karena wanita cantik itu memiliki tenaga yang tidak kalah dahsyatnya dibandingkan dengan penyerang pertama.
"0rang tua, siapa engkau dan mengapa engkau berani mengacau di sini?"
Tiba-tiba terdengar bentakan halus dan Ouwyang Bu Sek makin kaget karena tahu-tahu suara itu telah berada di belakangnya dan ketika dia membalik, dia melihat seorang laki-laki gagah berusia kurang dari lima puluh tahun yang gerakannya mendatangkan angin dahayat ketika orang itu mengulurkan tangan menepuk ke arah pundaknya.
Ternyata orang inipun lihai bukan main, dapat bergerak tanpa diketahuinya, bahkan gerakan tangannya itu sama sekali tidak mendatangkan angin atau suara ketika menuju ke pundak, tahu-tahu sudah dekat dan mengandung kekuatan dahsyat! Cepat dia mengelak dan meloncat mundur. Ketika dia melihat mereka itu menghampirinya dari depan dengan langkah-langkah ringan dan pandang mata penuh kemarahan, dia menjadi jerih juga. Bukan main, pikirnya. Keluarga Cia ini memang hebat! Kalau hanya melawan mereka satu demi satu, tentu saja dia tidak akan gentar. Akan tetapi kalau harus menghadapi pengeroyokan orang-orang yang memiliki kepandaian seperti mereka, biarpun dia sudah memiliki kesaktian hebat, dia tahu bahwa akhirnya dia yang akan celaka.
"Ha-ha-ha! Berhenti kalian semua! Kalau tidak, serangan kalian akan mengenai tubuh anak ini!"
Dia mengangkat tubuh Sin Liong dan mempergunakan tubuh itu sebagai perisai.
Melihat ini, Yap Kun Liong yang tadi merupakan penyerang terakhir, cepat berhenti dan demikian pula para pendekar itu berhenti melangkah. Mereka semua adalah orang-orang yang berjiwa pendekar. Biarpun mereka tidak senang kepada Sin Liong, akan tetapi mereka melihat betapa Sin Liong adalah orang yang pertama kali membela jenazah itu dan mungkin saja kakek cebol itu tadi sudah berhasil merusak jenazah kalau tidak dihalangi dan diserang oleh Sin Liong, maka kini mereka tidak berani turun tangan terhadap kakek itu yang sudah menawan Sin Liong. Kakek cebol itu jelas memiliki kepandaian tinggi, maka kalau mereka nekat menyerang dan kakek itu mempergunakan tubuh Sin Liong sebagai senjata atau perisai, tentu anak itu yang akan kena pukulan.
"Ha-ha-ha, dengarlah baik-baik, kalian keluarga dari Cia Keng Hong! Aku Ouwyang Bu Sek, mewakili keluarga Ouwyang dan kedatanganku tadinya hendak menagih hutang nyawa kepada Cia Keng Hong. Akan tetapi dia sudah mati dan dia menebus dosanya dengan menyerahkan cucunya ini kepadaku. Ha-ha, biarlah aku menerimanya dan hitung-hitung sudah lunas hutangnya kepada keluarga Ouwyang!"
Setelah berkata demikian, kakek itu meloncat dan semua orang terkejut karena kakek itu ternyata dapat bergerak cepat bukan main, loncatannya membawanya melayang jauh dan dia lalu melarikan diri sambil membawa Sin Liong. Yap Kun Liong mengerutkan alisnya.
"Ouwyang...? Ah, kiranya keluarga dari dia si jahat itu...!"
Semua orang mendekati pendekar ini.
"Siapakah yang kaumaksudkan, Yap twako?"
Tanya Bun Houw.
"Dahulu ada musuh besar ayahmu yang bernama Ban-tok Coa-ong Ouwyang Kok, seorang di antara datuk-datuk kaum sesat dari utara. Ouwyang Bu Sek tadi tentu masih keluarganya yang datang untuk membalas dendam,"
Jawab Yap Kun Liong.
"Dan dia telah membawa pergi Sin Liong!"
In Hong berkata dengan suara menyesal.
"Kita tidak mampu mencegahnya,"
Kata pula Cia Giok Keng penasaran.
"Biarlah aku akan mengejarnya dan merampas kembali anak itu, ibu,"
Kata Lie Seng dengan penuh semangat.
"Benar kata sute, biarlah aku membantunya. Kami tentu akan dapat merampas kembali anak itu, ayah!"
Kata Yap Mei Lan kepada ayahnya. Yap Kun Liong menggeleng kepalanya dan mengerutkan alisnya.
"Kukira tidak bijaksana itu. Merampas kembali anak itu dengan kekerasan bahkan mungkin akan membahayakan nyawa anak itu. Kurasa kakek cebol itu tidak akan membunuh anak itu, karena kalau dia berniat demikian, tentu tadi sudah dibunuhnya. Dia hanya ingin mempergunakan Sin Liong tadi sebagai sandera agar dia dapat lari dari sini dan mungkin dia hendak membalas dengan cara menculik anak itu agar kita menjadi berduka. Dia tidak tahu bahwa anak itu bukan keluarga Cia, bukan cucu dari musuh besarnya."
Semua orang teringat kini betapa tadi Sin Liong berteriak agar kakek itu jangan mengganggu jenazah kong-kongnya, jadi anak itu seolah-olah mengaku sebagai cucu Cia Keng Hong. Kakek cebol itu telah salah mengerti, mengira bahwa Sin Liong adalah cucu ketua Cin-ling-pai!
"Kalau begitu, biarkan sajalah,"
Kata Bun Houw yang merasa tidak suka kepada anak itu.
"Anak itu hanya mendatangkan sial belaka, bahkan urusan sampai berlarut-larut, keluarga kita terperosok ke dalam permusuhan pula, sampai-sampai ayah turun tangan dan menghadapi lawan, semua adalah gara-gara bocah itu. Biarlah, memang dia lebih pantas berdekatan dengan orang-orang macam kakek ibils tadi."
Semua orang tidak ada yang mau membantah, karena merekapun tidak mengenal siapa sebenarnya Sin Liong, anak yang demikian disayang oleh mendiang Cia Keng Hong sehingga ditarik sebagai muridnya. Mereka semua sama sekali tidak pernah menduga bahwa anak yang bernama Sin Liong itu oleh kakek Cia Keng Hong telah dipilih untuk menjadi ahli warisnya dan telah diberi pelajaran seluruh ilmu yang dimilikinya, walaupun sebagian besar hanya baru dipelajari teorinya saja. Dan tentu saja mereka, terutama Bun Houw, tidak pernah mimpi bahwa anak itu adalah benar-benar cucu dari ayahnya, karena anak itu adalah anak kandungnya!
Kita tinggalkan keluarga yang masih berkabung dan yang sebentar saja sudah melupakan Sin Liong yang diam-diam tidak mereka sukai itu, dan mari kita mengikuti pengalaman Sin Liong yang dilarikan oleh kakek cebol yang amat sakti itu. Ouwyang Bu Sek tertawa-tawa dengan hati puas. Dia telah memperlihatkan kepada semua keluarga musuhnya, juga kepada para tamu yang terdiri dari orang-orang kang-ouw, bahwa keluarga Ouwyang bukanlah keluarga yang lemah, bahwa keluarga Ouwyang tidak melupakan penghinaan yang ditimpakan orang kepadanya bahwa hari ini keluarga Ouwyang telah membalas sakit hati keluarga itu dengan menculik cucu dari ketua Cin-ling-pai! Akan tetapi terjadi keanehan dalam perasaan hatinya terhadap Sin Liong. Dia tadi sudah terkejut dan kagum sekali ketika bocah ini menyerangnya. Seorang bocah yang belum dewasa, paling banyak empat belas tahun usianya, sudah memiliki tenaga yang demikian dahsyat.
Cucu dari pendekar sakti Cia Keng Hong ini memang tidak memalukan menjadi cucu ketua Cin-ling-pai yang terkenal sekali kelihaiannya itu. Dan yang lebih mengagumkannya lagi adalah sikap anak ini. Sama sekali tidak mengeluh! Sama sekali tidak ketakutan, apalagi menangis! Setiap kali dia melirik dan memandang wajah anak yang dipanggulnya itu, dia melihat sepasang mata yang mencorong seperti mata naga, dan wajah yang sedikitpun tidak kelihatan takut atau khawatir! Ouwyang Bu Sek melarikan diri dengan cepat sekali dan tidak pernah berhenti. Dia hanya berhenti untuk menotok lagi tubuh Sin Liong kalau merasa betapa anak itu sudah mulai dapat bergerak, sehinga anak itu terus menerus dalam keadaan lumpuh. Setelah hari mulai gelap, baru kakek itu melempar tubuh Sin Liong ke atas tanah yang berumput. Mereka tiba di sebuah hutan yang sunyi. Sejenak kakek cebol itu memandang kepada Sin Liong yang rebah terlentang. Anak itupun memandangnya dengan sinar mata berapi-api.
"Ha-ha-ha, mengapa engkau melotot kepadaku?"
Ouwyang Bu Sek bertanya, tertawa untuk menutupi kemendongkolan hatinya. Dia ingin melihat cucu dari musuhnya ini menderita, menangis, atau setidaknya mengeluh. Hal itu amat baik baginya. Dia sudah mengorbankan waktu puluhan tahun lamanya untuk dapat membalas dendam kepada Cia Keng Hong, akan tetapi ternyata setelah dia memiliki kepandaian, musuh besar itu telah mati. Tentu saja dia amat kecewa, dan kalau dia melihat cucu musuhnya ini menderita, hal itu tentu akan memperingan kekecewaannya.
"Kakek cebol, engkau adalah seorang manusia yang berhati iblis, jahat dan kejam. Tentu saja semua orang akan memandang kepadamu dengan penuh kebencian!"
Wajah kakek itu menjadi merah. Dia belum pernah melakukan hal yang kejam, kecuali tentu saja kalau menghadapi musuh! Apalagi jahat, dia malah menentang kejahatan! Maka ucapan itu tentu saja membuat dia marah.
"Bocah bandel, lancang mulut! Kau mau memamerkan keberanianmu kepadaku, ya? Kau sombong, mentang-mentang menjadi cucu Cia Keng Hong kau boleh bersikap kepala batu, ya? Merasa gagah dan tidak takut mati, ya?"
"Aku memang tidak takut mati. Hayo kau bunuh aku, kakek tua bangka yang berhati curang dan pengecut besar, beraninya hanya kepada anak kecil!"
Kakek itu makin marah dan penasaran. Anak ini akan tahu rasa, pikirnya. Dia dihadapkan pada suatu tantangan lain sekarang. Dia harus melihat anak ini ketakutan, menangis dan minta ampun. Baru akan dilepaskannya anak ini.
"Wah, kau benar-benar tidak mengenal takut? Mari kita sama-sama melihatnya! Kalau aku tidak bisa membikin kau menjerit-jerit minta ampun, menangis ketakutan, jangan panggil aku Ouwyang Bu Sek!"
Setelah berkata demikian, dia menyambar tubuh Sin Liong dan menyeretnya memasuki hutan itu lebih dalam lagi. Setelah hari menjadi gelap, kakek itu telah mendaki sebuah puncak bukit yang penuh dengan padang rumput dan alang-alang yang liar dan luas. Sambil terkekeh senang kakek itu lalu membuat salib dari dua batang balok besar, lalu mengikat tangan dan kaki Sin Long pada kayu salib itu.
"Kau tidak mengenal takut? Benar-benar kau tidak mau minta ampun kepadaku?"
Sejenak Sin Liong memandang wajah kakek yang tingginya hanya sampai di dadanya itu, lalu tiba-tiba dia meludah,
"Cuhh! Daripada minta ampun kepadamu, lebih baik aku mati seribu kali!"
Ouwyang Bu Sek berjingkrak, berloncatan saking marahnya. Sudah gatal-gatal kedua tangannya hendak menghantam anak itu dan sekali hantam saja tentu Sin Liong akan mati.
"Begitu, ya? Nah, kau boleh mati seribu kali, selaksa kali!"
Teriak kakek itu dengan marah dan dia lalu meninggalkan Sin Liong yang terbelenggu di atas kayu salib dengan kedua lengan terpentang itu. Malam itu bulan hanya muncul seperempat bagian saja. Cuaca remang-remang menyeramkan, apalagi ditambah dengan suara angin yang menggerakkan ujung rumpun ilalang dan yang mengeluarkan bunyi mengerikan, seolah-olah semua iblis dan setan berkeliaran di tempat itu.
Malam makin larut dan di langit terdapat banyak awan berarak. Sin Liong menengadah dan memandang ke atas. Awan-awan itu membentuk makluk-makluk aneh dan berarak perlahan-lahan menuju bulan. Kalau awan-awan itu melintasi bulan, maka cuaca menjadi gelap remang-remang dan nampak betapa bayangan bulan sepotong itu seperti berlari cepat di antara awan-awan yang sebentar-sebentar merubah bentuknya. Bukan main indahnya Sin Liong hampir lupa bahwa dia sedang terbelenggu dan berada dalam keadaan tertotok lumpuh. Bahkan ada rasa gembira di dalam hatinya menyaksikan keindahan langit itu! Dan rasa gembira ini bukan hanya karena melihat pemandangan indah itu, melainkan juga oleh perasaan bahwa dia telah berkorban untuk kong-kongnya! Dia tidak percuma menjadi cucu kakeknya yang gagah perkasa itu, dia telah membela nama kakeknya dan biarpun dia akan mati karenanya, dia merasa puas. Akan tetapi kalau dia teringat kepada ayah kandungnya dan semua keluarga kakeknya, dia merasa marah dan benci. Jelas bahwa ayah kandungnya itu benci kepadanya. Dia dilarikan musuh, namun tidak ada seorangpun di antara mereka yang memperdulikannya. Dia juga tidak butuh dengan pertolongan mereka! Keangkuhan dan perasaan tinggi hati ini memenuhi benak dan hati Sin Liong. Tidak, dia tidak membutuhkan mereka! Tiba-tiba, di antara suara desir angin yang menggerakkan ujung rumpun ilalang di sekelilingnya, terdengar suara aneh. Suara melengking nyaring yang makin lama makin keras, yang datangnya dari arah kanan. Sin Liong tidak mampu bergerak karena terbelenggu dan juga tertotok, akan tetapi dia dapat melirik dan tiba-tiba matanya terbelalak. Dia merasa tengkuknya dingin sekali dan seolah-olah semua bulu tubuhnya bangkit berdiri karena merasa seram. Sin Liong bukan seorang penakut, akan tetapi apa yang dilihatnya membuat dia terkejut dan ngeri. Dia melihat sesosok tubuh tanpa kepala yang berloncat-loncatan di sebelah kanannya dan yang mengeluarkan suara melengking nyaring memekakkan telinga. Setan! Iblis! Tak salah lagi. Mana mungkin ada mahluk lain seperti ini? Akan tetapi, Sin Liong adalah seorang anak yang memiliki kekuatan luar biasa, dia tabah dan sebentar saja rasa kaget dan ngerinya telah mereda, bahkan kini dia memandang dengan penuh perhatian karena amat tertarik. Dia melihat betapa mahluk itu berkerudung kain putih, tanpa kepala, akan tetapi kedua kakinya kecil bersepatu dan tiba-tiba dia tersenyum,
"Kakek cebol tolol! Kau kira aku takut dengan permainanmu ini?"
Mendengar ucapan itu, mahluk aneh itu mengeluarkan seruan kecewa dan sekali berkelebat mahluk itu telah lenyap dan suasana menjadi sunyi kembali. Sin Liong menengadah dan melanjutkan lamunannya. Kakek itu sengaja hendak menakut-nakutinya, pikirnya. Hemm, dia ingin sekali melihat aku ketakutan dan mengeluh, minta-minta ampun. Engkau takkan berhasil! Biar sampai mati aku tidak akan memperlihatkan rasa takut di depanmu. Demikianlah watak Sin Liong, makin ditekan dia, makin melawan dia. Makin dihimpit, makin keras dia menentang. Dia seperti baja keras yang tidak tunduk menghadapi tempaan yang mengandalkan kekerasan. Tiba-tiba dari sebelah kirinya terdengar suara seperti orang menangis dan merintih. Sin Liong mengerling ke kiri dan dia melihat bayangan sebuah kerangka manusia dengan tengkorak yang menakutkan bergerak-gerak. Kini Sin Liong sudah bebas dari rasa takut. Dia memandang penuh perhatian dan pandang matanya yang amat tajam itu melihat tali-tali halus di antara kerangka itu yang menggerak-gerakkan kaki tangan kerangka itu dan dia tertawa.
"Ha-ha-ha, kakek tolol. Kau kira aku anak kecil yang mudah kautakut-takuti begitu saja? Membuang-buang waktu saja. Kalau kau mau bunuh, lekas bunuh, siapa takut padamu?"
Kerangka manusia itu kembali lenyap, dan Sin Liong melanjutkan renungannya. Memang, rasa takut itu hanya timbul dari bayangan yang dipantulkan oleh pikiran kita sendiri. Kita tidak mungkin dapat takut akan sesuatu yang tidak kita kenal. Kita hanya takut akan sesuatu yang telah kita kenal, baik kita kenal melalui pengalaman kita sendiri, maupun melalui pengalaman lain orang yang kita dengar atau baca dalam buku. Orang yang takut setan tentu pernah mengenal setan itu melalui cerita orang atau dongeng dalam buku. Dia membayangkan setan itu dalam benaknya dan membayangkan betapa akan ngerinya kalau dia bertemu setan itu. Maka terpantullah bayangan-bayangan setan yang menakutkannya ketika dia berada seorang diri di tempat sunyi, dan terjadilah rasa takut. Orang yang tidak pernah mendengar tentang setan takkan mungkin takut terhadap setan. Orang yang tidak pernah mendengar tentang siksa neraka tentu tidak akan takut terhadap neraka. Dan selanjutnya lagi. Jadi rasa takut timbul dari kenangan masa lalu yang dihubungkan dengan kemungkinan masa depan. Kita pernah membaca tentang setan sehingga terbentuk bayangan setan dalam benak kita. Lalu kita khawatir kalau-kalau kita akan diganggu setan, maka timbullah rasa takut. Kita pernah melakukan sesuatu di masa lampau, perbuatan yang tidak patut dan memalukan, dan kita khawatir kalau-kalau di masa depan akan ada orang mengetahui perbuatan itu, maka timbullah rasa takut. Jelaslah bahwa rasa takut timbul kalau kita membayang-bayangkan sesuatu yang tidak enak bagi kita! Dan segala yang dibayangkan itu pastilah sesuatu yang belum atau yang tidak ada! Yang merasa takut akan wabah tentulah dia yang belum terkena penyakit itu, dia membayangkan betapa bahaya dan ngerinya kalau terkena penyakit wabah itu, maka takutlah dia. Kalau dia sudah benar-benar terkena penyakit itu? Tentu saja hilang pula rasa takut terhadap penyakit itu, akan tetapi rasa takut yang berikutnya yaitu takut kalau-kalau akan mati! Dan demikian selanjutnya.
Dengan membuka mata memandang semua ini, timbullah pengertian bahwa yang menyebabkan rasa takut adalah pikiran kita, pikiran yang membayangkan hal yang lalu, yaitu ingatan-ingatan, kemudian membayangkan hal yang mendatang, yang kita kira mungkin akan terjadi menimpa diri kita. Oleh karena itu kalau kita terbebas dari masa lalu, terbebas dari segala macam ingatan masa lalu dan kepercayaan dan ketahyulan yang termasuk hal-hal masa lampau, apakah ada lagi rasa takut di dalam batin kita? Kalau kita tidak mengenangkan soal-soal yang berhubungan dengan setan umpamanya, maka kiranya andaikata ada setan muncul pada suatu waktu di depan kita, tanpa kenangan masa lalu tentang setan, kita akan memandang dan timbullah keinginan tahu untuk menyelidiki, seperti kalau kita tiba-tiba melihat seekor kupu-kupu yang aneh dan belum pernah kita lihat! Hidup penuh dengan rasa takut, kekhawatiran, hampir di semua lapangan. Setelah mengerti akan semua itu, tidak mungkinkah bagi kita untuk hidup tanpa rasa takut sama sekali?
Akhirnya Sin Liong tak dapat menahan kelelahan dan kantuknya. Dia dapat tidur pulas dengan kedua lengan bergantung pada kayu salib itu! Memang luar biasa anak ini, pikir Ouwyang Bu Sek sambil berdiri bertolak pinggang di depan anak itu, memandangi anak yang tidur pulas sambil bergantung pada kayu salib. Anak itu tidur pulas, mendengkur halus dan wajahnya tenang dan cerah, bahkan bibirnya agak tersenyum seolah-olah anak itu sedang mimpi indah! Rasa kagum dan heran membuat hati tua itu makin penasaran karena dia ingat bahwa anak ini adalah cucu dari musuh besarnya.
"Hendak kulihat apakah dia masih dapat bersikap setabah itu kalau benar-benar menghadapi ancaman bahaya maut yang mengerikan,"
Katanya penasaran dan kakek cebol itu lalu berkelebat pergi.
Salak dan gonggong anjing yang riuh rendah membangunkan Sin Liong. Dia membuka kedua matanya dan menjadi silau oleh sinar matahari. Kiranya matahari telah naik tinggi. Dia cepat memandang ke bawah dan melihat ada empat ekor anjing menyalak-nyalak dan menggonggong-gonggong di sekelilingnya. Bukan anjing, pikirnya, melainkan srigala! Srigala-srigala yang liar dan buas! Kedua matanya terbelalak dan otaknya segera bekerja mencari akal. Dia terancam bahaya! Srigala-srigala itu meraung-raung, dan lidah mereka terjulur keluar, lidah yang basah dan air liurnya berpercikan ke mana-mana, tanda bahwa mereka itu sudah lapar betul dan ingin menikmati daging manusia muda itu!
"Ha-ha-ha, anak bandel. Kalau tidak minta ampun kepadaku, empat ekor srigala itu akan mencabik-cabik kulit dan dagingmu, mengganyangmu hidup-hidup!"
Tiba-tiba terdengar suara kakek cebol di sebelah kanannya. Kehadiran kakek ini seketika mengusir semua kekhawatiran di hati Sin Liong, terganti oleh keangkuhan dan kekerasan hati yang luar biasa. Dia tersenyum.
"Anjing-anjingmu ini tidaklah sekejam engkau, kakek iblis. Biar kau tambah dengan engkau sendiri yang menyalak-nyalak, aku tidak merasa takut sama sekali!"
"Bocah setan!"
Kakek itu berkelebat pergi dengan hati kecewa, dan dari jauh dia mengintai karena dia tidak percaya kalau anak itu benar-benar sedemikian tabahnya sehingga menghadapi kematian yang amat mengerikan dengan sikap begitu tenang saja. Lihat kalau dia sudah digigit srigala, pikirnya.
Sin Liong kembali memandang kepada empat ekor srigala yang mengelilinginya sambil menyalak-nyalak itu. Naluri kebinatangannya timbul seketika dan diapun lalu menyeringai, memperlihatkan gigi seekor monyet muda dan mengeluarkan gerengan dari kerongkongannya. Srigala-srigala itu terkejut dan undur, akan tetapi melihat orang muda itu tidak bergerak menyerang, mereka berani lagi dan mulai mengelilingi lebih dekat. Aku harus dapat membebaskan diri, pikir Sin Liong. Dia lalu memejamkan kedua matanya dan mengingat-ingat pelajaran yang dia terima dari kakek Cia Keng Hong. Dia sudah menguasal Thi-khi-i-beng, dan dia sudah menghafalkan semua bagian jalan darah di tubuh. Kini dia tertotok oleh kakek cebol itu, dan dia merasa betapa jalan darah utama di punggungnya yang dibikin lumpuh sehingga kaki tangannya tidak mampu bergerak. Dia memutar otak mengingat-ingat jurus Thai-kek-sin-kun dan dengan tenaga sin-kang dari pusar,
mulailah dia menyalurkan tenaga itu menurut pelajaran Ilmu Thai-kek-sin-kun yang telah dia hafal di luar kepala. Semua pelajaran yang telah diterimanya dari kakeknya adalah teorinya belaka yang sudah dihafalnya baik-baik dan kini dalam keadaan terhimpit bahaya maut, Sin Liong mulai menyalurkan hawa dari pusar itu sesuai dengan pelajaran itu. Mula-mula hawa itu macet di sana-sini karena dia berada dalam keadaan tertotok, hawa murni di tubuhnya seperti air mengalir yang berhenti di tempat-tempat saluran yang tersumbat. Akan tetapi, hawa itu berkumpul dan menjadi makin kuat di setiap sumbatan, bagaikan air yang kelihatan lembut namun mengandung kekuatan dahsyat, satu demi satu sumbatan itu jebol dan hawa murni seperti air itu mengalir terus, makin lama makin kuat membobolkan sumbatan-sumbatan akibat totokan itu dan jalan darahnyapun mulai lancar kembali.
Perlahan-lahan Sin Liong berhasil membebaskan diri dari totokan yang amat luar biasa dari kakek itu! Hal ini saja sudah merupakan sesuatu yang amat hebat dan tentu akan membuat kakek itu terheran-heran dan terkejut sekali karena jarang ada tokoh persilatan di dunia kang-ouw yang akan mampu membebaskan totokannya dalam waktu sesingkat itu, apalagi hanya seorang anak-anak! Akan tetapi, pada saat itu, empat ekor anjing srigala tadi sudah mulai menerjangnya! Dengan suara gerengan menyeramkan, mereka menubruk dan ada yang menggigit kaki Sin Liong, ada yang mencakar dadanya sehingga bajunya robek dan kakinya berdarah. Dari jauh, Ouwyang Bu Sek memandang penuh perhatian dan siap untuk turun tangan membunuh empat ekor srigala itu begitu dia mendengar anak itu menjerit, menangis atau mengeluh.
Akan tetapi, anak itu sama sekali tidak mengeluarkan suara keluhan! Sebaliknya malah, gigitan srigala pada kakinya itu dibarengi gonggong dan gerengan binatang-binatang itu membangkitkan hawa murni dari dalam pusar Sin Liong. Dia terbelalak dan dari dadanya, melalui kerongkongannya, terdengar lengking yang menyeramkan dan pada saat itu, putuslah semua tali yang mengikat tubuhnya! Itulah tenaga sin-kang yang diwarisinya dari Kok Beng Lama, tumbuh sepenuhnya dan bangkit serentak sehingga sedikit gerakan saja tali-tali itupun putuslah! Dan kini Sin Liong mengamuk! Srigala yang masih menggigit kakinya itu terlempar ke atas ketika Sin Liong menggerakkan kakinya. Tangan kirinya dikepal dan memukul muka anjing yang menggigit dadanya.
"Prakk!"
Tubuh anjing srigala itu terbanting dan kepalanya pecah, dengan rintihan aneh srigala itu menggerak-gerakkan tubuh, berkelojotan dan mati! Anjing yang terlempar tadi terbanting ke atas tanah, akan tetapi dia sudah menerjang lagi bersama dua ekor temannya. Sin Liong mengeluarkan suara gerengan seperti seekor monyet, disambarnya ekor srigala yang terdekat, diangkatnya dan sekali dia membantingkan tubuh srigala itu,
Terdengar suara "krakk!"
Dan kepala srigala itu pecah berantakan karena menimpa batu! Dua ekor lagi menubruk dan menggigit Sin Liong, akan tetapi kini tubuh anak itu sudah menjadi kebal dan keras sehingga gigitan itu tidak merobek kulitnya, hanya merobek bajunya. Sin Liong menggunakan kedua tangannya, yang kiri mencekik leher srigala ke tiga sedangkan yang kanan kembali memukul kepala srigala ke empat. Pukulannya itupun membuat pecah kepala srigala, dan saking marahnya, Sin Liong lalu menggunakan mulutnya menggigit leher srigala yang dicengkeramnya dengan tangan kiri. Demikian kuat dia menggigit sehingga robeklah leher srigala itu yang sia-sia saja meronta karena cengkeraman tangan Sin Liong membuat jari-jari tangannya menembus kulit srigala! Setelah puas merobek-robek leher srigala, dia mengangkat tubuh srigala itu dan membantingnya.
"Nguikk!"
Srigala terakhir itu berkelojotan dan mati pula. Dari tempat sembunyinya, Ouwyang Bu Sek terbelalak dan melongo, seperti melihat setan di tengah hari. Akan tetapi, dia melihat anak itu terhuyung, mengeluh dan memegangi kepalanya, lalu terhuyung ke depan dan hampir roboh. Melihat ini, kakek cebol itu cepat melompat dan mulutnya berkata,
"Ah, anak luar biasa...!"
Dan tepat ketika Sin Liong terguling, dia sudah tiba di situ dan dia menyambut tubuh anak itu sehingga tidak sampai terbanting.
"Anak luar biasa... anak baik... anak ajaib...!"
Ouwyang Bu Sek berkali-kali mengeluarkan pujian ini ketika dia memeriksa tubuh Sin Liong dan melihat bahwa tubuh itu hanya luka-luka sedikit, dan di dalam tubuh itu mengandung hawa sin-kang yang luar biasa sekali, yang tarik-menarik secara kuat sehingga anak itu sendiri sampai tidak kuat menahan dan menjadi pingsan. Dia lalu mendukung anak itu dan dibawanya lari cepat meninggalkan tempat itu.
Ouwyang Bu Sek adalah seorang manusia yang berwatak aneh. Tadinya dia memang tidak berniat untuk menculik Sin Liong. Hanya ketika menduga bahwa anak itu adalah cucu musuh besarnya yang telah mati dan melihat betapa di Cin-ling-san terdapat banyak sekali orang sakti yang takkan sanggup dilawannya kalau dikeroyok, maka dia menawan anak itu untuk dipergunakan sebagai perisai agar dia dapat meloloskan diri. Kemudian, diapun tidak mempunyai niat untuk membunuh atau menyiksa anak itu. Hanya melihat kebandelan dan kekerasan hati Sin Liong, dia menjadi penasaran, merasa seperti ditantang dan dia lalu menakut-nakuti anak itu untuk mematahkan kebandelannya. Namun, melihat betapa Sin Liong bahkan dapat membebaskan diri dan membunuh empat ekor srigala, dia merasa terkejut, terheran-heran dan juga kagum sekali. Timbul rasa suka di dalam hatinya, maka dengan rasa sayang dia lalu membawa pergi Sin Liong untuk dirawat.
Sebelum dia mengambil keputusan memberanikan diri pergi ke Cin-ling-san untuk mencari ketua Cin-ling-pai dan membalaskan sakit hati atas kematian pamannya, Ouwyang Bu Sek yang baru turun dari Gunung Himalaya itu berada di selatan sampai hampir tiga tahun. Karena ilmu kepandaiannya memang tinggi sekali, maka sebentar saja dia dikenal oleh semua tokoh kang-ouw di dunia selatan, bahkan dia diakui sebagai seorang di antara datuk-datuk dunia persilatan dan disegani orang. Akan tetapi, kakek ini memang seorang yang amat aneh, dia selalu menjauhkan diri dan tidak mau menerima murid. Akan tetapi hampir semua tokoh besar dunia kang-ouw mengenal kakek cebol ini, dan setiap ada pertemuan-pertemuan penting, pesta-pesta dan sebagainya, tentu kakek cebol ini menerima undangan dan menjadi tamu kehormatan.
Sepak terjang Ouwyang Bu Sek memang aneh dan kadang-kadang mencengangkan orang di dunia kang-ouw. Kakek ini agaknya sudah tidak mau mengenal lagi rasa sungkan dan tidak mau memperdulikan segala petaturan dan sopan santun, akan tetapi ketika terjadi pemilihan bengcu di daerah selatan, kakek ini sempat menghebohkan dunia kang-ouw. Ketika itu, dua tahun yang lalu, di daerah selatan diadakan pemilihan bengcu, yaitu seorang yang dianggap cukup pandai, berwibawa dan cakap untuk menjadi kepala atau pemimpin, dari apa yang dinamakan golongan hitam di selatan. Dan yang mempunyai harapan besar untuk terpilih sebagai bengcu dan wakil-wakilnya adalah tiga orang tokoh besar di selatan yang dikenal sebagai Lam-hai Sam-lo (Tiga Datuk Laut Selatan).
Mereka bertiga ini selain terkenal sebagai tokoh-tokoh tua di selatan, juga terkenal memiliki kepandaian tinggi dan juga mempunyai pengaruh yang amat luas, terutama sekali karena seluruh bajak laut di laut selatan adalah anak buah mereka atau setidaknya mengakui mereka sebagai datuk para bajak laut. Akan tetapi, kesempatan baik dan harapan tiga orang datuk ini hancur oleh munculnya Ouwyang Bu Sek dalam persidangan pemilihan bengcu itu dengan pembongkaran rahasia tiga orang kakek itu yang oleh Ouwyang Bu Sek dinyatakan tidak patut menjadi bengcu karena mereka bertiga itu adalah orang-orang berjiwa cabul dan suka mengeram dara-dara muda untuk perbuatan-perbuatan cabul! Seluruh hadirin tercengang menyaksikan keberanian Ouwyang Bu Sek,
akan tetapi karena Ouwyang Bu Sek mengajukan hal itu sebagai fakta-fakta dengan mengajukan pula bukti dan saksi, maka tiga orang datuk itu tidak mampu menyangkal, hanya dengan marah menyatakan bahwa urusan dalam kamar adalah urusan pribadi yang tidak ada sangkut-pautnya dengan pemilihan bengcu. Betapapun juga, pembongkaran rahasia oleh Ouwyang Bu Sek itu tentu saja menjatuhkan nama mereka dan banyak pemilih yang menarik kembali suara mereka sehingga akhirnya pemilihan bengcu jatuh pada orang lain. Tentu saja tiga orang datuk ini menaruh dendam yang amat mendalam kepada Ouwyang Bu Sek. Mereka tidak berani menyatakan permusuhan itu secara berterang, karena hal itu akan membuat mereka makin jatuh di dalam mata para tokoh kang-ouw yang memandang tinggi kepada Ouwyang Bu Sek.
Bagi dunia kang-ouw di selatan perbuatan Ouwyang Bu Sek membongkar rahasia kecabulan tiga orang Lam-hai Sam-lo itu bukan dianggap sebagai penyerangan pribadi, melainkan sebagai tindakan bijaksana demi pemilihan bengcu yang tepat. Dan memang sesungguhnya Ouwyang Bu Sek tidak memusuhi Sam-lo itu, hanya karena dia seorang yang aneh dan tidak mau memakai banyak peraturan dan sopan santun maka dia berani membongkar rahasia kecabulan mereka di depan umum, bukan dengan niat menghina atau mendatangkan aib, melainkan untuk melihat bahwa bengcu yang dipilih benar-henar tepat. Kalau tiga orang datuk itu mendendam kepada Ouwyang Bu Sek, sebaliknya kakek cebol ini sama sekali tidak memusuhi mereka, bahkan dia sudah lupa bahwa dia pernah menghalangi mereka menjadi bengcu.
Akan tetapi, mengapa Ouwyang Bu Sek selalu menyembunyikan diri di dalam pondok sunyi di puncak Bukit Tai-yun-san di Propinsi Kwan-tung di selatan? Kalau dia tidak merasa bermusuh dengan Lam-hai Sam-lo, mengapa dia harus bersikap seperti orang yang mengasingkan diri atau menyembunyikan diri? Memang kakek aneh ini menyimpan suatu rahasia besar dan memang dia selalu merasa takut akan sesuatu. Rahasia itu adalah bahwa kepergiannya dari Pegunungan Himalaya adalah sebagai seorang pelarian! Dari sebuah kuil tua sekali di Pegunungan Himalaya, kuil yang disebut Kuil Sanggar Dewa, di mana hampir semua pendeta dan pertapa dari seluruh dunia singgah ke tempat suci itu untuk berdoa, dia melarikan sebuah peti hitam yang terisi pusaka-pusaka yang sudah ratusan tahun usianya,
pusaka-pusaka yang merupakan kitab-kitab kuno yang tak pernah dibuka orang, karena selain tulisan-tulisan dalam kitab-kitab itu amat sukar dibaca, juga kitab-kitab itu dianggap sebagai barang keramat dan tidak boleh sembarangan disentuh tangan. Para pendeta dan pertapa mempunyai kepercayaan bahwa kitab-kitab itu adalah peninggalan dari Sang Buddha, oleh karena itu dianggap sebagai benda keramat. Inilah sebabnya mengapa Ouwyang Bu Sek kini melarikan diri jauh ke selatan dan jarang mencamputi urusan dunia kang-ouw sungguhpun namanya dikenal sebagai seorang datuk yang disegani. Dan di luar tahunya siapapun, dia menyimpan kitab-kitab kuno itu dan dengan penuh ketekunan dia mempelajarinya, mencoba untuk memecahkan rahasia tulisan kuno dalam kitab-kitab itu.
Demikianlah sedikit catatan tentang keadaan kakek cebol luar biasa itu, yang tanpa direncanakan lebih dulu telah menawan Sin Liong dan kemudian karena merasa suka dan kagum, dia membawa Sin Liong yang pingsan untuk pulang ke tempat tinggalnya, di dalam pondok sunyi di puncak Bukit Tai-yun-san, di mana dia merawat dan mengobati Sin Liong yang menderita luka dalam. Ketika Sin Liong siuman dari pingsannya dan merasa betapa tubuhnya dipondong dan dilarikan dengan sangat cepatnya oleh si kakek cebol, dia merasa heran sekali. Kemudian teringatlah dia betapa dia telah disiksa oleh kakek ini, bahkan diberikan kepada srigala-srigala untuk dikeroyok, maka dia cepat meronta.
"Eh, eh, kau sudah sadar...?"
Ouwyang Bu Sek yang merasa betapa tubuh yang dipanggul dan dipondongnya itu meronta, lalu berhenti berlari dan menurunkan tubuh Sin Liong. Pemuda kecil itu turun dan terhuyung-huyung, kepalanya terasa pening sekali. Tentu dia sudah jatuh kalau tidak cepat dipegang tangannya oleh kakek cebol itu.
"Heh, hati-hatilah, engkau masih lemah, tidak boleh mengerahkan tenaga dulu biarpun sudah tidak berbahaya lagi."
Sin Liong mengerutkan alisnya dan menatap wajah kakek cebol itu, memandang dengan sinar mata penuh perhatian. Teringatlah dia betapa dia dikeroyok srigala-srigala dan setelah berhasil membunuh binatang-binatang itu, dia roboh pingsan. Dia memandang ke sekeliling dan mendapatkan dirinya berada di lereng sebuah gunung. Dia merasa kepalanya masih pening dan dadanya masih terasa nyeri. Mendengar ucapan kakek itu dia bertanya,
"Apakah engkau telah menolongku dan mengobatiku?"
Kakek itu terkekeh dan mengangguk.
"Kalau tidak begitu dan aku meninggalkan engkau di sana, apa kau kira masih hidup saat ini?"
Sepasang mata Sin Liong memandang dengan sinar mata mencorong, membuat kakek itu makin kagum sekali.
"Kau menawanku, menyiksaku, kenapa lalu menolongku? Apa kehendakmu?"
Bukan main, pikir Ouwyang Bu Sek. Bocah ini memang luar biasa sekali, sikapnya penuh wibawa. Benar-benar seorang bocah yang memiliki dasar dan bakat hebat sekali. Akan tetapi diapun berwatak aneh dan biasanya diapun tidak mau tunduk kepada siapapun juga.
"Aku memang mau begitu."
"Aku tidak membutuhkan pertolonganmu."
"Akupun tidak perlu engkau minta tolong, aku memang mau menolong."
"Engkau memusuhi keluarga Cin-ling-pai."
"Huh, apa kau kira engkau disuka oleh mereka? Engkau agaknya berbakti kepada kong-kongmu, akan tetapi jelas engkau tidak disuka oleh keluarga Cin-ling-pai."
"Buktinya?"
"Mereka itu tentu sudah mengejarku kalau memang mereka sayang kepadamu. Mereka tidak mengejar, berarti mereka tidak menghiraukan nasibmu."
Sin Liong menundukkan mukanya, menarik napas panjang dan perasaan hatinya sakit juga. Memang benar, mereka itu, termasuk ayah kandungnya, sama sekali tidak berusaha menolongnya, padahal dia telah membela peti mati kakeknya, ketika hendak diganggu oleh kakek cebol ini. Hatinya menjadi panas.
"Betul juga, mereka tidak suka kepadaku,"
Katanya. Kakek itu memandang wajah yang menunduk itu dengan mata terbelalak heran. Anak ini makin aneh saja dalam pandang matanya.
"Siapakah ayahmu? Apakah ayah bundamu tidak berada di sana dan ikut berkabung?"
Sin Liong mengangkat mukanya yang menjadi agak pucat dan memandang kepada kakek yang wajahnya lucu
(Lanjut ke Jilid 21)
Pendekar Lembah Naga (Seri ke 04 "
Serial Pedang Kayu Harum)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 21
itu.
"Aku tidak punya ayah ibu, tidak punya keluarga, tidak punya siapa-siapa di dunia ini!"
"Eh? Dan kau bilang engkau cucu dari mendiang Cia Keng Hong?"
Sin Liong menggeleng kepalanya.
"Dia pernah menolongku dan kusebut kong-kong... beliau satu-satunya orang yang baik kepadaku..."
"Dan beliau sudah meninggal, dan yang lain-lain itu tidak suka kepadamu? Ah, kebetulan sekali!"
"Apa kebetulan?"
"Kau sebatangkara, aku sebatangkara, aku suka kepadamu dan..."
"Dan aku tidak suka padamu!"
"Kenapa?"
"Kau jahat! Kau mengganggu peti jenazah kong-kong."
"Dia yang mulai lebih dulu. Dia dahulu membunuh pamanku. Aku terlambat datang karena dia sudah mati, maka sedikit mengganggu peti jenazahnya untuk melepaskan rasa mendongkol di hatiku, apa salahnya?"
"Kau jahat, engkau menyiksaku, hampir membunuh."
Pendekar Lembah Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Anak bodoh! Itu hanya untuk mengujimu, karena engkau bandel dan membikin hatiku penasaran."
"Lalu kau mau apa sekarang?"
Tanya Sin Liong.
"Mau apa? Mau mengajakmu ke tempatku di puncak Tai-yun-san, tinggal di sana bersamaku, menjadi muridku, menjadi anakku... heh-heh, kita memiliki sifat-sifat yang cocok!"
"Tidak, aku mau pergi saja!"
"Kembali ke Cin-ling-san di mana semua orang tidak suka padamu?"
"Tidak, aku tidak sudi ke Cin-ling-san. Aku akan pergi ke mana saja!"
"Kalau tidak karuan yang kau tuju, mengapa tidak bersamaku saja ke selatan? Aku akan mengajarkan ilmu-ilmuku kepadamu."
Sin Liong memandang dengan sinar mata penuh selidik, lalu berkata dengan nada suara mengejek,
"Engkau? Mengajarku? Huh, apa sih kepandaianmu, baru menghadapi orang-orang Cin-ling-pai saja engkau lari terkencing-kencing!"
"Aku? Lari? Hah, bocah tolol, engkau tidak tahu siapa Ouwyang Bu Sek! Kalau aku sudah berhasil menguasai ilmu-ilmu rahasiaku, biar mereka semua itu ditambah seratus orang lagi, takkan mampu melawanku. Sekarangpun, kalau mereka maju satu demi satu, apa kau kira aku kalah?"
"Cin-ling-pai adalah gudang orang-orang sakti, dan mendiang kong-kong merupakan seorang yang luar biasa tinggi ilmunya. Aku pernah dididik oleh kong-kong, sekarang mana bisa aku merendahkan diri menjadi muridmu? Kepandaianmu sampai di mana aku belum tahu."
Kakek itu mencak-mencak saking marahnya. Lalu dia meloncat ke depan, tangan kanannya menghantam sebatang pohon kayu sebesar tubuh manusia, tangan kirinya menampar sebongkah batu sebesar kerbau di bawah pohon itu. Sin Liong hanya mendengar suara "plak-plak!"
Akan tetapi pohon dan batu itu sama sekali tidak bergoyang! Sin Liong hampir tak kuat menahan ketawanya. Dia memandang dengan senyum mengejek. Kakek ini lucu seperti badut, pikirnya.
"Uh, hanya sebegitu saja kepandaianmu? Lalatpun tidak akan mati kau tampar, dan kau bilang mau mengambil aku sebagai murid?"
"Eh, apa engkau buta? Bocah bodoh, lihatlah baik?baik!"
Kakek itu lalu menggunakan tangannya mendorong batu dan batang pohon itu.
Sin Liong terbelalak memandang dengan kaget karena ternyata batu itu telah hancur lebur dan batang pohon itu tumbang. Pukulan-pukulan yang kelihatan perlahan dan tidak berakibat apa-apa tadi ternyata telah meremukkan batu dan mematahkan pohon di bagian dalamnya, akan tetapi permukaan batu dan kulit pohon tidak kelihatan pecah. Dia tidak dapat membandingkan siapa yang lebih sakti antara kakeknya dan kakek cebol ini, akan tetapi dia tahu bahwa kakek ini benar-benar lihai sekali. Kalau dia dapat terdidik langsung oleh kakek ini, sungguh merupakan keuntungan baik. Pula, biarpun dia sudah banyak mempelajari ilmu dari mendiang kong-kongnya, namun yang dipelajarinya baru teorinya saja, karena kong-kongnya agaknya sudah dapat menduga bahwa dia akan meninggal dunia tak lama lagi, maka semua ilmunya diturunkan kepada Sin Liong secara tergesa-gesa.
"Bagaimana? Kau masih memandang rendah kepadaku?"
Ouwyang Bu Sek bertanya ketika melihat anak itu bengong saja.
"Aku... aku suka belajar silat kepadamu, locianpwe, akan tetapi aku tidak tahu apakah aku mau menjadi muridmu...?"
Mendengar anak itu kini menyebutnya locianpwe, Ouwyang Bu Sek tersenyum dan diapun berkata,
"Akupun tidak mudah menerima murid dan selama hidupku belum pernah aku mempunyai murid. Mari kita saling mencoba dulu, seperti orang hendak membeli buah boleh dicoba dulu, kalau cocok baru beli. Kitapun saling coba, kalau cocok, barulah menjadi guru dan murid."
Sin Liong tidak dapat menolak lagi. Memang dia tidak ingin kembali ke Cin-ling-san setelah kong-kongnya tidak ada, dan ke manakah dia hendak pergi? Keluarga Na Ceng Han telah terbasmi musuh dan dia tidak tahu apa yang terjadi dengan Na Tiong Pek dan Bhe Bi Cu. Dulu, ketika dia meninggalkan utara, dia masih mempunyai tujuan, yaitu mencari ayah kandungnya di Cin-ling-san. Kini, setelah melihat ayah kandungnya mempunyai isteri lain dan tidak suka kepadanya sungguhpun belum tahu bahwa dia adalah puteranya, maka dia tidak lagi mempunyai tujuan.
"Baik, saya mau ikut locianpwe,"
Katanya. Ouwyang Bu Sek girang sekali dan dia cepat menyambar tubuh Sin Liong lalu dibawanya lari lagi seperti terbang cepatnya. Dan karena kakek cebol ini hendak memamerkan kepandaiannya kepada bocah yang agaknya masih belum percaya kepadanya itu, maka dia mengerahkan seluruh tenaganya dan Sin Liong terpaksa memejamkan mata ketika melihat tubuhnya meluncur seperti terbang di atas tanah, kadang-kadang melewati jurang yang amat curam. Dan diam-diam dia makin kagum kepada kakek yang benar-benar amat sakti ini.
Perjalanan itu memakan waktu cukup lama, sampai hampir satu bulan barulah mereka tiba di puncak Pegunungan Tai-yun-san di selatan itu. Di sepanjang perjalanan, setiap hari Sin Liong dibantu memulihkan kesehatannya oleh Ouwyang Bu Sek, yang menempelkan telapak tangan di dada anak itu dan menyalurkan sin-kangnya mengobati luka di dalam dada Sin Liong. Beberapa kali kakek ini terheran-heran dan merasa takjub ketika dia merasakan sin-kang yang benar luar biasa sekali, yang terkandung dalam tubuh anak itu. Dia tidak tahu bahwa anak itu telah mewarisi sin-kang dari Kok Beng Lama, dan hanya menduga bahwa anak ini memang memiliki bakat yang amat hebat. Setelah mereka tiba di puncak Pegunungan Tai-yun-san yang sepi, melihat pondok sederhana dan kebun luas di belakang pondok yang menjadi tempat tinggal kakek itu Sin Liong merasa suka sekali.
Tempat itu amat indah, hawanya sejuk dan kesunyian tempat itu yang penuh dengan hutan mengingatkan Sin Liong akan Lembah Naga di mana dia terlahir. Mulailah Sin Liong dengan hidup baru yang penuh keheningan dan ketenteraman di tempat sunyi itu, setiap hari hanya mengurus kebun sayur dan mempelajari ilmu silat yang mulai diajarkan oleh Ouwyang Bu Sek kepadanya. Akan tetapi di samping mempelajari ilmu silat yang aneh dari kakek itu, diam-diam Sin Liong mulai pula melatih diri dengan teori-teori ilmu-ilmu yang pernah dia pelajari dari mendiang kong-kongnya. Tiga bulan telah lewat dengan aman dan damai di pondok sunyi puncak Bukit Tai-yun-san itu. Akan tetapi pada suatu malam terang bulan, terjadilah hal yang amat mengejutkan hati Sin Liong dan yang seketika mengusir ketenteraman hidup yang telah tiga bulan itu.
Pada waktu itu, bulan purnama menciptakan pemandangan yang amat indah dan hawa yang amat sejuk sehingga Sin Liong merasa sayang untuk meninggalkan itu semua, maka dia tidak mau memasuki kamarnya yang sederhana, melainkan duduk di belakang pondok, di atas batu besar dalam keadaan setengah bersamadhi atau merenung. Tiba-tiba anak itu dikejutkan oleh suara orang bercakap-cakap dan ketika dia mendengar bahwa di antara suara itu terdapat suara Ouwyang Bu Sek, dia cepat meloncat turun dan berindap-indap menuju ke depan pondok dari mana suara-suara itu datang. Dia terheran-heran melihat tiga orang kakek berdiri berhadapan dengan Ouwyang Bu Sek di depan pondok itu, di bawah sinar bulan purnama. Sikap tiga orang kakek itu kaku dan marah, sebaliknya Ouwyang Bu Sek tersenyum ramah.
"Ha-ha-ha, kiranya Lam-hai Sam-lo, tiga iblis penghuni laut selatan yang datang berkunjung. Ha-ha-ha, selamat datang, tiga orang sahabat baik. Agaknya sinar bulan purnama yang mendorong kalian bertiga berkunjung ke pondokku yang buruk!"
Ouwyang Bu Sek menyambut mereka sambil tertawa-tawa.
Sin Liong memperhatikan tiga orang kakek yang kelihatan marah itu. Orang pertama adalah seorang kakek berusia enam puluh tahun lebih, bertubuh tinggi besar dengan muka menyeramkan, seperti muka Panglima Tio Hui di jaman Sam Kok, penuh cambang bauk yang membuatnya nampak gagah. Kakek ini dijuluki Hai-liong-ong (Raja Naga Laut) Phang Tek. Kakek ini orangnya pendiam, serius dan ilmu pedangnya amat disegani oleh seluruh dunia kang-ouw di selatan. Hai-liong-ong Phang Tek inilah yang mewarisi kepandaian dari mendiang Lam-hai Sin-ni, seorang di antara datuk-datuk dunia hitam pada waktu puluhan tahun yang lalu (baca cerita Pedang Kayu Harum). Karena dia tidak pandai bicara, maka dalam segala macam pertemuan, dia menyerahkan kesempatan kepada adik kandungnya untuk menjadi wakil pembicara dari Lam-hai Sam-lo (Tiga Kakek Laut Selatan).
Adiknya itu bernama Phang Sun, berjuluk Kim-liong-ong (Raja Naga Emas), berusia enam puluh tahun akan tetapi sungguh tidak patut dia menjadi adik kandung Hai-liong-ong Phang Tek. Kalau kakaknya itu merupakan seorang pria yang tinggi besar dan gagah sekali, sebaliknya Phang Sun ini tubuhnya pendek kecil seperti orang berpenyakitan, kepalanyapun kecil lonjong tidak ditumbuhi rambut tapi matanya tajam sekali. Dia kelihatan aneh, lebih mirip setan daripada manusia karena selain bentuk kepala gundul lonjong dan tubuhnya yang aneh itu, juga dia mempunyai kebisaan janggal, yaitu tidak pernah memakai baju dan sepatu. Tubuh atasnya telanjang, hanya tubuh bawah tertutup celana panjang sampai ke bawah betis, kemudian kedua kakinya itupun telanjang. Pada lengan kirinya yang kecil pendek itu nampak sebuah gelang emas tebal. Akan tetapi, biarpun kakek ini kelihatan aneh dan ringkih,
Namun sesungguhnya dia lihai bukan main, tidak kalah lihai dibandingkan dengan kakaknya. Dia memiliki tenaga sin-kang yang luar biasa, di samping kecerdikannya dan juga dia terkenal memiliki kepandaian tentang racun-racun jahat. Orang ke tiga dari Lam-hai Sam-lo juga memiliki wajah yang mengerikan. Bentuk tubuh dan pakaiannya biasa saja, akan tetapi wajahnya amat buruk mengerikan, dengan hidung pesek sekali, melesak ke dalam dan mulut lebar dengan gigi tidak karuan susunannya, membuat wajahnya itu nampak seperti tengkorak. Akan tetapi, kakek yang usianya juga sudah enam puluh tahun ini memiliki tenaga kasar yang amat kuat, sekuat gajah dan ilmu silatnya juga tinggi sehingga kalau dibandingkan dengan kedua orang rekannya, dia hanya kalah sedikit saja. Namanya Hek-liong-ong (Raja Naga Hitam) Cu Bi Kun.
"Ouwyang Bu Sek, kami bertiga datang bukan untuk beramah-tamah atau mengobrol denganmu!"
Kata Kim-liong-ong Phang Sun si kecil pendek dengan suaranya yang lantang dan besar, sungguh berlawanan dengan bentuk tubuhnya.
"Aihhh... habis mau apa? Sayang aku tidak memiliki arak wangi dan hidangan sedap maka tidak dapat menyuguhkan apa-apa."
"Ouwyang Bu Sek, bersiaplah engkau. Kami datang untuk membuat perhitungan denganmu. Marilah kita selesaikan perhitungan di antara kita dengan mengadu kepandaian,"
Kata pula Phang Sun.
"Wah-wah, ini namanya mengkhianati alam yang begini indah! Tadinya kukira kalian hanya ketularan penyakit umum dari manusia yang tidak dapat menikmati keadaan sehingga orang-orang di tepi laut tidak dapat menikmati lagi keindahan lautan dan pergi mencari keindahan di pegunungan, sebaliknya orang pegunungan sudah bosan dengan keindahan di pegunungan lalu pergi mencari keindahan di tepi lautan. Kiranya kalian datang untuk menantangku berkelahi mati-matian mengotori pemandangan yang begini indah. Dan kalian ingin menyelesaikan perhitungan, padahal aku tidak merasa mempunyai hubungan apa-apa kepada kalian."
"Ouwyang Bu Sek, tak perlu berpanjang lidah! Dua tahun yang lalu engkau telah menjatuhkan fitnah atas diri kami ketika diadakan pemilihan bengcu. Apakah engkau masih hendak menyangkal hal itu?"
Bentak Kim-liong-ong marah sedangkan Hek-liong-ong sudah mengepal tinjunya, Hai-long-ong sudah memukul-mukulkan tongkatnya ke atas tanah. Kembali kakek cebol itu tertawa, kelihatannya tenang-tenang saja melihat betapa mereka itu marah-marah.
"Aih-aihh, jadi kiranya hal itukah yang kalian maksudkan? Aku tidak merasa menjatuhkan fitnah. Kawan-kawan, tahukah kalian apa artinya fitnah? Fitnah adalah tuduhan terhadap orang lain tanpa bukti nyata, itulah fitnah. Akan tetapi, aku telah membongkar rahasia kecabulan kalian bertiga dengan bukti-bukti, itu sama sekali bukan fitnah namanya!"
Wajah tiga orang kakek itu menjadi marah sekali dan kemarahan mereka makin berkobar.
"Kau mencampuri urusan pribadi orang lain!"
Bentak Hai-liong-ong Phang Tek.
"Kau menghina kami di depan orang banyak!"
Bentak pula Hek-liong-ong Cu Bi Kun.
"Ouwyang Bu Sek, tak perlu banyak cakap. Kami datang untuk membalas penghinaan yang kaulemparkan ke atas kepala kami. Hayo kaulawan kami, kalau tidak berani, lekas berlutut minta ampun, barangkali kami masih hendak mempertimbangkan hukumanmu!"
Kim-liong-ong Phang Sun berkata.
"Ha-ha-ha, aku tidak berani? Lam-hai Sam-lo, kalau aku melawan, apamukah yang kalian andalkan untuk dapat menang?"
Mendengar ucapan ini, Hek-liong-ong sudah tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Sebagai seorang datuk yang amat terkenal, biarpun tadi dia sudah meraba-raba gagang goloknya, namun dia tidak mau sembarangan mengeluarkan senjata. Kepandaiannya terlalu tinggi untuk secara sembrono mempergunakan senjata, karena kaki tangannya saja sudah merupakan senjata-senjata maut yang ampuh. Maka sambil menggereng marah dia sudah menubruk maju dan karena kakek raksasa muka hitam ini memang kuat bukan main, begitu dia menjejakkan kakinya di atas tanah untuk landasan menubruk, bumi seperti tergetar dan gerakannya didahului angin yang kuat.
"Wuuuttt... bresss...!"
Debu mengepul tinggi ketika kakek raksasa ini menubruk, akan tetapi yang ditubruknya telah lenyap sehingga dia menangkap angin belaka. Demikian cepatnya gerakan Ouwyang Bu Sek, sehingga elakannya itu sampai tidak kelihatan oleh lawannya yang menyerang. Akan tetapi tentu saja nampak oleh Hai-liong-ong Phang Tek yang juga memiliki gin-kang istimewa, maka melihat tubrukan temannya itu luput dan melihat betapa kakek cebol itu menggunakan gin-kangnya yang hebat, diapun lalu berseru keras dan tubuhnya menyambar ke depan seperti kilat cepatnya, lalu kedua tangannya sudah menampar dari kanan kiri dengan gerakan melingkar sehingga gerakan kedua tangan ini sudah menutup semua jalan keluar!
"Bagus!"
Ouwyang Bu Sek memuji karena memang serangan orang pertama dari Lam-hai Sam-lo itu hebat bukan main dan dia tidak lagi melihat jalan keluar untuk mengelak sehingga otomatis dia harus memapaki dua tamparan dari kanan kiri dengan tangkisan kedua lengannya yang pendek.
"Dukk! Dukkk!"
Hebat sekali benturan antara dua pasang lengan itu dan akibatnya, tubuh Hai-liong-ong Phang Tek terdorong ke belakang sedangkan kakek cebol itu menertawakannya! Jelas bahwa kakek cebol itu lebih kuat dalam mengadu tenaga sin-kang tadi.
"Hemmm...!"
Suara ini keluar dari mulut Kim-liong-ong yang sudah menggerakkan tangan menyerang. Sekali ini, Ouwyang Bu Sek terkejut karena sambaran angin dahsyat yang keluar dari tangan kakek kurus pendek ini ternyata amat kuatnya dan terdengar suara mencicit nyaring.
"Bagus!"
Dia memuji lagi dan cepat diapun mendorongkan tangannya menyambut.
"Plakk!"
Dua telapak tangan kanan bertemu dan melekat, dari dalam dua telapak tangan itu meluncur tenaga sin-kang yang amat kuat dan kini mereka saling mendorong. Biarpun Kim-liong-ong Phang Sun nampak terdorong ke belakang, namun dia dapat mempertahankan dan Ouwyang Bu Sek maklum bahwa orang ke tiga dari Lam-hai Sam-lo ini memiliki sin-kang yang terkuat di antara mereka bertiga. Dan tiba-tiba dia mengeluarkan seruan aneh ketika merasa betapa telapak tangannya gatal-gatal.
"Ih, kau iblis beracun!"
Bentaknya dan Ouwyang Bu Sek yang maklum bahwa selain amat kuat sin-kangnya, juga Kim-liong-ong ini ternyata memiliki tangan beracun, mengerahkan tenaganya dan tubuh lawannya itu terpental, telapak tangan mereka terlepas dari lekatan lawan.
Namun, Hai-liong-ong dan Hek-liong-ong sudah menyerang lagi dari kanan kiri, membuat Ouwyang Bu Sek kewalahan juga. Kakek cebol ini masih tertawa-tawa ketika dia menyambut serangan mereka dan gerakannya aneh dan lincah, tubuhnya yang kecil itu menerobos ke sana-sini di antara sambaran tangan dan kaki tiga orang lawannya yang lihai. Namun, biarpun kakek cebol itu masih tertawa-tawa, sebenarnya dia repot bukan main menghadapi pengeroyokan Lam-hai Sam-lo. Tiga orang kakek ini bukan orang sembarangan melainkan datuk-datuk selatan yang lihai sekali, selain memiliki sin-kang yang amat kuat juga mereka memiliki ilmu-ilmu silat yang aneh. Kalau mereka bertiga tidak mengeluarkan senjata, hal ini adalah karena selain si cebol juga bertangan kosong,
Dewi Maut Eps 43 Petualang Asmara Eps 47 Dewi Maut Eps 25